PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA (Studi pada Polisi Air Laut (Polair) Polda Lampung)

  

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DI WILAYAH

PERAIRAN INDONESIA

  

(Studi pada Polisi Air Laut (Polair) Polda Lampung)

Oleh :

ROMI IBRAHIM

  Pencurian Sumberdaya alam yang terdapat di perairan Indonesia sangat potensial jumlahnya sehingga banyak nelayan yang ingin memperoleh keuntungan dari kekayaan alam Indonesia. Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan kapal- kapal nelayan asing banyak yang melakukan pelanggaran sehingga menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi Indonesia. Kapal-kapal asing ini biasanya beroperasi tanpa memiliki surat izin penangkapan dan menyalahi peraturan alat tangkap dan wilayah penangkapan. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana praktek illegal fishing yang terjadi di perairan Indonesia dan melihat upaya pemerintah Indonesia dalam menanggapi masalah tersebut. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah karakteristik tindak pidana pencurian ikan berdasarkan modus operandi pelaku di wilayah perairan Indonesia dan bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap praktek tindak pidana pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia dan serta kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, pengumpulan data dengan wawancara, studi pustaka, dan studi dokumen. Sedangkan pengolahan data melalui tahap pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, lalu dintreprestasikan atau ditafsirkan untuk dilakukan pembahasan dan dianalisis secara kualitatif, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam mengamankan wilayah perairan sudah begitu

  Romi Ibrahim

  Lampung selalu beriringan dan bekerjasama serta berkoordinasi dengan institusi dan lembaga baik internasional maupun nasional yang terkait. Sebagai salah satu penyelenggara keamanan di laut Polair Polda Lampung berhak menyidik tindak pidana illegal fishing yang terjadi di laut, hal ini sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Tindak pidana illegal fishing secara keseluruhan merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan,

  

illegal fishing adalah perbuatan menangkap ikan atau memungut ikan yang

  berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil perikanan tanpa melengkapi surat keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan. Membawa alat-alat dan atau bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam penangkapan dan atau pengelolaan perikanan di kawasan pengelolaan perikanan tanpa izin pejabat yang berwenang. Kendala-kendala yang paling menonjol antara lain kurangnya aturan hukum memadai, kurang tegasnya penindakan terhadap pelaku illegal fishing, serta kurangnya koordinasi antara pihak terkait di laut Indonesia.

  Untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana pencurian ikan di Indonesia, pemerintah hendaknya membentuk forum koordinasi penegak hukum untuk menyamakan persepsi dan langkah-langkah penegakan hukum; menertibkan mekanisme penerbitan izin bagi kapal-kapal ikan lokal ataupun kapal asing dengan cara melakukan cek fisik kapalkapal yang akan diberikan izin dan merevisi kembali kapal-kapal yang telah diberi izin serta bekerja sama dengan penyidik dilapangan untuk memeriksa kembali izin setiap kapal yang akan melakukan dan atau yang sedang melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia serta mengaktifkan peranan masyarakat dalam melakukan pengawasan sumberdaya perikanan dan kelautan melalui sistem pengawasan masyarakat khususnya masyarakat nelayan.

  PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA (Studi pada Polisi Air Laut (Polair) Polda Lampung) Oleh ROMI IBRAHIM Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM Pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

  PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA (Studi pada Polisi Air Laut (Polair) Polda Lampung) (Skripsi) Oleh : ROMI IBRAHIM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2012

DAFTAR ISI

  23 E. Tindak Pidana di Bidang Perikanan ………………………………..….

  35

  34 D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ………..……..…………..

  33 C. Penentuan Populasi dan Sampel ……………….…………..…………..

  32 B. Sumber dan Jenis Data ………………………………………..………..

  32 A. Pendekatan Masalah …………………………………………..………..

  III.METODE PENELITIAN ……...……….……………………………

  29 DAFTAR PUSTAKA

  24 F. Modus Operandi Tindak Pidana Illegal Fishing……………………….

  Halaman I. PENDAHULUAN …………………………………………………….

  1 A. Latar Belakang …………………………………………………………

  18 C. Jenis-Jenis Tindak Pidana………………………………………..……

  13 B. Pengertian Tindak Pidana ……………………………………………..

  13 A. Pengertian Penegakan Hukum ……..………………………………….

  12 DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………....

  9 E. Sistematika Penulisan ………………………………………………….

  8 D. Kerangka Teoritis dan Konseptual …………………………………….

  7 C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ……………………………………….

  1 B. Permasalahan dan Ruang Lingkup …………………………………….

  21 D. Tindak Pidana Pencurian ……………………………………………... E. Analisis Data ………………………………………..………………….

  36 DAFTAR PUSTAKA

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN …………………..…

  37 A. Karakteristik Responden ……………………………………….………

  37 B. Karakteristik Tindak Pidana Illegal Fishing di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan .…………………..………..

  46 C. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing Di Wilayah Perairan Provinsi Lampung …………………..………………………....

  38 D. Kendala-kendala dalam Upaya Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Illegal Fishing ……………………………………………….…..

  51 V. PENUTUP …………………………………….………………………

  55 A. Kesimpulan …………………………………………………………….

  55 B. Saran ……………………………………………………………………

  56 LAMPIRAN-LAMPIRAN

  

DAFTAR PUSTAKA

Moeljatno, 2005, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

  Soekanto, soerjono. 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. _______________, 1981, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,

  PT. Rajawali, Bandung Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, perkembangan dan penanggulangan kejahatan Terhadap kekayaan negara dan Kejahatan transnasional, Jakarta september 2008. Ansory, Lemahnya Penegakan Hukum Trehadap Pelaku Illegal Fishing, http://www.yahoo.co.id http://www.google.co.id, Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan DKP, Kerugian Akibat Pencurian Ikan. http://www.google.co.id, Perairan dan kejahatan perikanan.

  

DAFTAR PUSTAKA

Daliyo, J.B., 2001, Pengantar Hukum Indonesia, Prenhallindo, Jakarta.

  Poernomo, Bambang, 1983, Orientasi Hukum Acara Pidana, Amarta Buku, Yogyakarta __________________, 1997, Asas-asas Hukum Pidana, Yogyakarta.

  Moeljanto, 1980, Asas-Asas Hukum Pidana, Liberty, Yogyakarta Kansil, C.S.T., 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta.

  Samosir, C. Djisman, 1981, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Sukardi, 2002, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu, Edisi Revisi, Penerbit Restu Agung, Jakarta.

  Aji Sularso, Permasalahan IUU Fishing, Seminar, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

DAFTAR PUSTAKA

  Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta. Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi, 1987, Metode Penelitian dan Survey,

  Jakarta Universitas Lampung, 2008, Format Penulisan Karya Ilmiah, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

  Tindak pidana yang berlangsung lintas negara baik yang merupakan tindak pidana terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan baik secara kualitas maupun kuantitas serta menjadi isu dalam berbagai pertemuan regional maupun internasional. Beberapa aspek terkait dengan perkembangan kejahatan, antara lain: munculnya bentuk-bentuk tindak pidana baru, semakin kompleksnya modus operandi, semakin canggihnya peralatan yang digunakan oleh pelaku kejahatan, semakin luasnya lingkup wilayah operasi kejahatan, tidak terbatas pada satu negara akan tetapi juga lintas negara. Saat ini dan masa mendatang, tidak ada satupun negara di dunia yang bebas dari ancaman kejahatan lintas negara.

  Tindak pidana lintas negara di Indonesia tergolong sebagai tindak pidana yang sangat berpotensi terjadi, karena beberapa faktor sebagai berikut: Pertama, Bentuk Negara Kepulauan dengan pantai terbuka. Kedua, Posisi silang wilayah Indonesia sebagai jalur perlintasan perdagangan dunia. Ketiga, Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar dan sebagai sumber pengirim Tenaga Kerja. Keempat, Sistem perdagangan bebas yang semakin terbuka. Kelima, Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum

  ( http://www.google.co.id/20042011).

  2 Bentuk negara kepulauan dengan pantai terbuka wilayah perairan mengandung arti bahwa wilayah Perairan Indonesia yang merupakan 2/3 bagian wilayah Indonesia sebagai Negara Kepulauan, mencakup perairan kedaulatan dan yurisdiksi nasional, seluas kurang lebih 6 juta kilometer persegi. Upaya pengawasan dan pengamanan melalui tindakan pemberantasan yang dilakukan oleh Polri terhadap kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut termasuk sumber daya perikanan di wilayah perairan nasional, merupakan bagian penting dari upaya dukungan terhadap pembangunan ekonomi nasional dan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.

  Berkaitan dengan pengawasan dan pengamanan tersebut, fokus upaya harus mencakup: pemberantasan penangkapan ikan secara tidak sah (Tanpa Ijin, Penyalahgunaan ijin meliputi daluwarsa, penangkapan ikan secara liar, alat tangkap), pengangkutan hasil tangkapan (Entry Point dan Exit point, Transhipment), bentuk- bentuk pelanggaran terkait lainnya.

  ( http://www.google.co.id/20042011).

  Tindak pidana terhadap kekayaan negara salah satunya adalah illegal fishing yang dapat berlangsung lintas negara di samping sangat merugikan negara dan masyarakat juga berpotensi merusak lingkungan yang membahayakan keberlangsungan tidak hanya generasi sekarang, melainkan juga generasi mendatang. Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan terhadap tindak pidana kekayaan negara dan kejahatan transnational merupakan wujud nyata penyelamatan kekayaan negara dan membangun iklim persaingan usaha maupun investasi yang sehat yang pada akhirnya

  3 akan bermuara pada meningkatnya kemakmuran rakyat dan citra Indonesia di dunia internasional. Penegakan hukum melalui tindakan pemberantasan terhadap praktek illegal fishing di wilayah perairan Indonesia yang dilakukan oleh Polri khususnya di selat malaka merupakan suatu tindakan untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dengan tujuan terselamatkanya kekayaan negara. Untuk dapat dimintakannya pertanggungjawaban pelaku kejahatan illegal fishing tentunya harus dimulai dengan kriminalisasi yang menyatakan bahwa perbuatan pelaku sebagai suatu tindak pidana dan merupakan dasar untuk melakukan penyidikan dalam rangka penegakan hukum, norma dasar penegkan hukum pidana yang dianut dalam konsepsi hukum pidana Indonesia yakni berlandaskan KUHAP yang mensyaratkan suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan. Rumusan tersebut mengandung unsur antara lain: Pertama, hukum pidana harus bersumber pada undang-undang, asas ini disebut asas legalitas (lege), karena penguasa dalam melaksanakan tugas peradilan terkait ketentuan perundang-undangan maka akan terhindar dari kesewenang-wenangan atau penilaian pribadi seenaknya, hal ini berarti terdapat kepastian hukum bagi setiap pencari keadilan yang juga terikat kepada ketentuan perundang-undangan tersebut. Kedua, asas bahwa ketentuan pidana dalam undang-undang tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif). (Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, perkembangan dan penanggulangan kejahatan Terhadap kekayaan negara dan Kejahatan transnasional, Jakarta september 2008:3)

  4 Arti pentingnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan illegal fishing adalah tertanggulangi kejahatan terhadap kekayaan negara yang wajib untuk dilindungi, namun dalam praktek penegakan hukum dibandingkan dengan jumlah kerugian negara yang mencapai angka Rp. 30 Triliun per tahun kurang efektif. Adapun catatan penanganan kasus illegal fishing tergambar bahwa tindak pidana illegal fishing yang diungkap sebanyak 429 kasus, diselesaikan 268 kasus. Kasus dimaksud antara lain Kasus M.V.Golden Blessings (Bendera Philiphina), Putusan Pengadila Negeri Jayapura 28 Februari 2007 denda Rp 500 Juta, Subsider 6 bulan penjara, barang bukti dikembalikan kepada pemilik (JPU banding), Putusan Pengadilan Tinggi Jayapura Nomor 24/Pid.B/2007/PT.JPR 5 Oktober 2007, pidana denda Rp 500 Juta, Subsider 6 bulan kurungan, Barang bukti Kapal beserta kelengkapan dan uang hasil lelang ikan tuna 200 ton seharga Rp 210 Juta dirampas untuk negara (terdakwa kasasi). (Ansory, Lemahnya Penegakan Hukum Trehadap Pelaku Illegal Fishing, http://www.yahoo.co.id/12042011) Berdasarkan rumusan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, tindak pidana illegal fishing secara keseluruhan adalah menangkap ikan atau memungut ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, mengelola dan atau membudidayakan ikan yang berasal dari kawasan perikanan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil perikanan tanpa melengkapi surat keterangan sahnya pelayaran hasil perikanan berupa ikan, membawa alat-alat dan atau bahan-bahan lainnya yang digunakan dalam penangkapan dan atau pengelolaan perikanan di

  5 sanksi pidana terhadap pelaku illegal fishing Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 khusunya pasal 84 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1. 200.000.000 (satu miliar dua ratus juta rupiah)”. Berdasarkan pengertian ini dapat diklasifikasi bahwa pencurian ikan (ilegal fishing) adalah pencurian yang dilakukan karena menangkap ikan tanpa SIUP dan SIPI, menggunakan bahan peledak, bahan beracun, bahan berbahaya dan lainnya yang mengakibatkan kerusakan dan kepunahan sumber daya ikan.

  Menyangkut bentuk dan sanksi tindak pidana illegal fishing dapat dirumuskan unsur bahwa pokok subyek dan obyeknya adalah : Setiap orang ; dengan sengaja termuat pada Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Dan karena kelalaiannya termuat dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) melanggar ketentuan (melawan hukum) ; sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Tindak pidana illegal fishing juga merupakan pelanggaran atas Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) dan aturan kepidanaannya dirumuskan dalam

  Pasal 262-265 ayat (4) KUHP Tentang Kejahatan Pencurian, dengan hukuman terberatnya adalah hukuman mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

  6 Berdasarkan akibat yang ditimbulkan, maka pelaku tindak pidana illegal fishing juga dapat dijerat Pasal 187 KUHP Tentang yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, dengan hukuman terberatnya pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang lain Modus operandi kejahatan

  

illegal fishing mempunyai sifat spesifik dibandingkan dengan kejahatan lainya

  berkaitan dengan kejahatan di wilayah perairan negara Republik Indonesia baik yang dilakukan oleh orang perseorangan ataupun melibatkan pihak-pihak yang terkait sebagai organization crime. Pencegahan tindak pidana ini dapat dilakukan dengan pendekatan sistem termasuk sebagai sub sistem adalah koordinasi terpadu antar lintas negara (transnational) maupun lemabaga otoritas di bidang kelautan dan perikanan. Penanggulangan kejahatan illegal fishing secara represif dengan menggunakan kerangka KUHP merupakan tindakan pemberantasan dan sekaligus penumpasan terhadap kejahatan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (crimal

  

justice system). Penegakan hukum secara represif menempatkan Polri sebagai sub-

  sistem dari sistem peradilan pidana dalam penanganan illegal fishing pada hakekatnya merupakan tujuan dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana seperti diamanatkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil (substantial truth) dan melindungi hak-hak asasi manusia (protection of human rights). Tujuan ini merupakan tujuan besar dan utama dari proses sistem peradilan Pidana. Penyelenggaraan kegiatan mencari kebenaran materiil meskipun bermuara di dalam pemeriksaan sidang Pengadilan, hendaknya proses

  7 kepolisian, sebab sub kepolisian ini merupakan pintu gerbang yang dapat menentukan suatu dugaan terjadinya tindak pidana itu dapat dipertanggungjawabkan atau tidaknya bagi pelaku yang diperiksa dapat di identifikasikan.

  Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai tindak pidana pencurian ikan dan memaparkannya kedalam skripsi ini dengan judul “Penegakan Hukum Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Di Wilayah Perairan Indonesia (Studi Pada Polisi Air Laut (Polair) Polda Lampung)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

  1. Permasalahan

  Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah karakteristik tindak pidana pencurian ikan berdasarkan Undang-

  Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan?

  b. Bagaimanakah upaya penegakan hukum terhadap praktek tindak pidana pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia? c. Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan?

  2. Ruang Lingkup

  Agar dalam pembahasan ini tidak terlalu luas dan tersusun secara sistematis maka penulisan membatasi ruang lingkup pembahasan masalah pada karakteristik tindak pidana pencurian ikan oleh nelayan asing di dalam melakukan pencurian ikan serta

  8 upaya penegakan hukum dalam mengatasi praktek tindak pidana pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

  1. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : a. Karakteristik tindak pidana pencurian ikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

  b. Upaya penegakan hukum terhadap praktek tindak pidana pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia.

  c. Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana pencurian ikan.

  2. Kegunaan Penelitian

  Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:

  a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pidana yang menyangkut upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana yang terjadi diperairan Indonesia.

  b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi

  9 1996 tentang Perairan Indonesia, dan turut serta berpartisipasi dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidanayang terjadi di perairan Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

  Kerangka teoritis adalah konsep konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relefan oleh peneliti. (Soerjono Soekanto,1986:125). Pemberantasan praktek illegal fishing pada dasarnya diarahkan pada pertanggungjawab pelaku tindak pidana illegal fishing yang tidak dapat dipisahkan dari kriminalisasi. Kriminalisasi illegal fishing berlandaskan pada perangkat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana perikanan sebagai suatu kejahatan kekayaan negara dan berpengaruh pada perekonomian nasional. Perkembangan kriminalitas yang berkaitan dengan bidang ekonomi dewasa ini telah mengalami perkembangan yang cukup mengkhawatirkan, oleh karena itu setidak-tidaknya ada dua unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi supaya sistem kriminalisasi kejahatan ekonomi berfungsi yakni: Pertama, stabilitas (stability) dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kedua, meramalkan (predictability) yang berfungsi untuk meramalkan akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagaian rakyatnya untuk pertama kali

  10 memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial dan tradisional. Kriminalisasi kejahatan ini di bidang ekonomi ini lazim dikategorikan sebagai white collar crime.

  Penerapan hukum pidana menitikberatkan pada upaya refresif (penindakan/ pemberantasan/penumpasan) sesudah tindak pidana terjadi dengan menggunakan cara penal seperti melakukan penangkapan, pemeriksaan, dan penindakan terhadap tindak pelaku pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan asing dengan menerapkan sanksi pidana yang sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana serta Undang-Undang No. 31 Tahun 2004.

  Pasal 1 butir ke (9) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, menentukan bahwa penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

  Selanjutnya di dalam Pasal 1 butir ke (13), dinyatakan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pelaksanaan penegakan hukum terutama dilaut/perairan Indonesia haruslah selalu berpegangan teguh kepada aturan-aturan hukum yang berlaku sehingga dalam

  11 perencanaan penegakkan hukum dapat mencegah timbulnya kejahatan (onrech in

  

potentie) dan tidak hanya memberantas kejahatan yang secara nyata terjadi (onrech in

actu) (Soerjono Soekanto, 1986:98).untuk mnganalisis tindak pidana pencurian ikan

  yang dilakukan oleh nelayan asing digunakan pendapat yang dikemukakan oleh Soerjono Soerkanto, yaitu:

  a. Faktor hukum (undang–undang)

  b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang menerapkan undang-undang

  c. Faktor fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung penegakan hukum

  d. Faktor masyarakat, yaitu faktor lingkungan dimana hukum tersebut diterapkan

  e. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya cipta rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup. (Soerjono Soekanto,1981:5)

2. Konseptual

  Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubuangan antara konsep-kosep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang yang berkaitan dengan istilah yang diteliti (Soerjono Soekanto,1986:132). Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan

  12 (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1983:13).

  b. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana yang disertai dengan ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 2005 : 37)

  c. Pencurian ikan adalah melakukan perbuatan pencurian terhadap wilayah perairan Negara lain, dengan maksud memiliki barang atau ikan yang dicuri di dalam perairan Negara Indonesia (Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan)

  d. Perairan Indonesia adalah laut toritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya. (Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia).

E. Sistematika Penulisan

  I. PENDAHULUAN

  Bab ini menguraikan tentang latar belakang penulisan permasalahan yang akan dibahas beserta ruang lingkupnya. Selanjutnya memuat tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

  II. TINJAUAN PUSTAKA

  Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami arti kejahatan serta penegakan hukum dan segala aspek yang berkaitan antara lain pengertian penyidikan, tugas dan wewenang penyidik, pengertian tindak pidana, jenis-jenis

  13 III. METODE PENELITIAN

  Bab ini menguraikan tentang metode yang akan digunakan dalam penelitian berupa langkah-langkah yang akan digunakan dalam melakukan pendekatan masalah, penguraian tentang sumber data dan jenis data, serta prosedur analisis data yang telah didapat.

  IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Pada bab ini membahas pokok-pokok permasalahan yang ada dalam skripsi serta menguraikan pembahasan dan memberikan masukan serta penjelasan tentang faktor- faktor yang mendorong terjadinya pencurian ikan oleh nelayan asing, modus operandi nelayan asing di dalam melakukan pencurian ikan serta pelaksanaan penyidikan tindak pidana pencurian ikan yang dilakukan oleh nelayan asing di perairan Pripinsi Lampung.

  V. PENUTUP

  Merupakan Bab Penutup dari penulisan skripsi yang secara singkat berisikan hasil pembahasan dari penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan serta saran-saran yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

II. TUNJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Penegakan Hukum

  Menurut Friedman (Siswanto Sunarso, 2004:70) menguraikan tentang fungsi sitem hukum, yaitu :

  1. Fungsi kontrol sosial, menurut Donald Black semua hukumadalahberfungsi sebagai kontrol sosial dari pemerintah.

  2. Berfungsi sebagai cara penyelesaian sengketa dan konflik. Penyelesaian sengketa ini biasanya untuk penyelesaian yang sifatnya berbebtuk pertentangan lokal berskala kecil.

  3. Fungsi redistribusi atau fungsi rekayasa sosial. Fungsi ini mengarah pada penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana yang digunakan oleh pemerintah.

  4. Fungsi pemeliharaan sosial. Fungsi ini berguna untuk penegakan hukum, agar berjalan sesuai dengan aturan mainnya.

  Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang dicita-citakan hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau tingkah laku

  Penegakan hukum pidana adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan menilai yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan (sebagai social engineering), memelihara dan mempertahankan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1983:13).

  Sistem penegakan hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut penyelesaian antara nilai-nilai dengan kaidah serta dengan prolaku nyata manusia. Pada hakikatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin hidup sosial masyarakat karena hukum dan masyarakat terdapat suatu interelasi.

  Muladi mengidentifikasikan tentang hubungan penegakan hukum pidana dengan politik sosial menyatakan bahwa “penegakan hukum pidana merupakan bagian dari penanggulangan kejahatan (politik kriminal)”. Tujuan akhir dari polotik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai tujuan utama untuk kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh kebijakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, maka wajarlah jika dikatakan bahwa usaha penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional (Siswanto Sunarso, 2004:72).

  Berdasarkan orientasi kebijakan sosial itulah, menurut Djoko Prakoso yang mengutip pandangan Soedarto dalam menghadapi masalah kriminal atau kejahatan harus diperhatikan hal-hal yanjg pada intinya sebagai berikut :

  1. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan pancasila. Sehubungan dengan itu maka penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

  2. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu kegiatan yang mendatangkan kerugian materiil dan sprituil atas warga masyarakat.

  3. Penggunaan hukum pidana juga harus memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”.

  4. Penggunaan hukum pidana juga harus memperhitungkan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai melampaui beban tugas. Penegakan hukum pidana selalu bersentuhan dengan moral dan etika. Hal ini didasarkan atas empat alasan, yaitu :

  1. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan paksaan atau kekerasan dengan kemubgkinan terjadinya kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power)

  2. Hampir semua profesional dalam penegakan hukum pidana adalah pegawai pemerintah yang memiliki kewajiban khusus terhadap publik yang dilayani.

  3. Bagi setiap orang etika dapat digunakan sebagai alat untuk membantu memecahkan dilema etis yang dihadapi seseorang dalam kehidupan profesionalnya. Menurut Moeljatno (Soejono Soekanto, 1986) hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan huk yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

  1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang yang disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

  2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

  3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

  Untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau bukan. Haruslah dilihat dari ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku di Indonesia. Dari berbagai pendapat para ahli tersebut di atas belumlah belumlah terdapat suatu rumusan yang menjadi patokan yang tepat.

  Dalam penelitian ini, pengertian hukum pidana yang dipakai adalah pengertian hikum pidana menurut Edmund Mezger (Soerjono Soekanto, 1986 :53), hukum syarat-syarat tertentu suatu akibat berupa pidana. Jadi, pengrtian hukum pidana itu meliputi dua hal pokok, yaitu aturan hukum yang mengatur perbuatan pidana yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan pidana, dapat diuraikan sebagai berikut :

  1. Perbuatan yang memenuhi syarat tertentu Yang dimaksud perbuatan yang memenuhi syarat tertntu adalah perbuatan yang dapat dikatakan sebagai tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus memnuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  a. Perbuatan tertentu itu harus merupakan perbuatan yang dilarang

  b. Perbuatan tertentu itu harus dilakukan oleh orang

  2. Pidana Pidana ini merupakan suatu hal yang mutlak diperoleh dalam hukum pidana.

  Tujuannya agar dapat menjadi sarana pencegahan umum maupun khusus bagi anggota masyarakat agar tidak melanggar hukum pidana.

B. Pengertian Tindak Pidana

  Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Beberapa Sarjana Hukum Pidana di Indonesia menggunakan istilah yang berbeda-beda menyebutkan kata “Pidana”, ada beberapa sarjana yang menyebutkan dengan tindak pidana, peristiwa pidana, perbuatan pidana atau delik (Bambang Poernomo, 1997: 86).

  Menurut Jonkers dalam Bambang Poernomo (1997: 87), tindak pidana adalah suatu kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang dan dapat dipertanggungjawabkan. Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman) (J.B. Daliyo, 2001: 93).

  Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan diajukan kepada perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkannya kejadian itu. (Moeljatno, 2005: 54). Menurut D. Simons (dalam C.S.T. Kansil, 2004: 37), peristiwa pidana itu adalah

  

“Een Strafbaargestelde, Onrechtmatige, Met Schuld in Verband Staande

handeling Van een Toerekenungsvatbaar persoon”. Terjemahan bebasnya adalah

  perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.

  Menurut Simons (dalam C.S.T. Kansil, 2004: 37-38), unsur-unsur peristiwa pidana adalah: a. Perbuatan manusia (handeling) c. Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld) oleh Undang-undang

  d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab

  (Toerekeningsvatbaar) e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat.

  Suatu peristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang.

  b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang.

  Pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

  c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.

  d. Harus ada ancaman hukumannya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya (J.B. Daliyo, 2001: 93).

  Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak pidana/peristiwa pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada sesuatu kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang

  

(wettelijke omschrijving), kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak, kelakuan itu

dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu diancam dengan hukuman.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana

  Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:

  1. Perbuatan pidana (delik) formal adalah suatu perbuatan yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal undang-undang yang bersangkutan.

  2. Delik material adalah suatu pebuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu.

  3. Delik dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja.

  4. Delik culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpaannya mengakibatkan matinya seseorang.

  5. Delik aduan adalah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. Jadi sebelum ada pengaduan belum merupakan delik.

  6. Delik politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan negara baik secara langsung maupun tidak langsung. (J.B. Daliyo, 2001: 94)

  Dalam KUHP yang berlaku di Indonesia sebelum tahun 1918 dikenal kategorisasi tiga jenis peristiwa pidana yaitu:

  1. Kejahatan (Crimes)

  2. Perbuatan buruk (Delict)

  3. Pelanggaran (Contravention)

  Sedangkan menurut KUHP yang berlaku sekarang, peristiwa pidana itu ada dua jenis yaitu “Misdrijf” (kejahatan) dan “Overtreding” (pelanggaran) (Moeljatno, 2005: 40). Tetapi, selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain dalam:

  1. Delik Commissionis dan Delikta Commissionis.

  Delik Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat

  sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta

  Commissionis adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat

  sesuatu) pernuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana. Delikta

  Commissionis adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat.

  2. Ada pula yang dinamakan delikta Commissionis Peromissionem Commissa, yaitu delik-delik yang umumnya terdiri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat pula

  Delik Dolus dan Delik Culp.

  Bagi delik dolus harus diperlukan adanya kesengajaan, misalnya Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan, misalnya menurut Pasal 359 KUHP. dilakukan dengan tidak berbuat.

  1. Delik Biasa dan Delik yang dapat dikualifisir (Dikhususkan)

  2. Delik menerus dan tidak Menerus. (Moeljatno, 2005: 75) Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diketahui ada beberapa pengertian tindak pidana maupun perbuatan pidana, tetapi pada dasarnya mempunyai pengertian, maksud yang sama yaitu perbuatan yang melawan hukum pidana dan diancam dengan hukuman/sanksi pidana yang tegas.

D. Pengertian Pencurian

  Menurut P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir (1981:7), di dalam Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, jenis-jenis kejahatan yang termasuk ke dalam golongan “kejahatan yang ditujukan terhadap hak milik dan lain-lain hal yang timbul dari hak milik” atau apa yang di dalam Bahasa Belanda disebut “Misdrijven tegen de eigendom en de daaruit voortvloeiende zakelijke

  rechten” adalah kejahatan-kejahatan :

  1. Pencurian atau diefstal

  2. Pemerasan atau afpersing

  3. Penggelapan atau verduistering

  4. Penipuan atau bedrog, dan 5. Pengrusakan atau vernieling.

  Pencurian dalam bentuknya yang pokok (bentuk pencurian biasa) diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku II Bab XXII.