Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut

(1)

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM

POLDA SUMUT

SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIMAS B SAMUEL SIMANJUNTAK

NIM : 110200477

JURUSAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM

POLDA SUMUT SKRIPSI

Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

DIMAS B SAMUEL SIMANJUNTAK NIM : 110200477

JURUSAN HUKUM PIDANA Disetujui,

Ketua Departemen Hukum Pidana

(Dr.M.Hamdan,S.H,MH) NIP.195703261986011001

Dosen pembimbing I Dosen pembimbing II

(Dr.Madiasa Albisar,S.H,M.S) (Syafruddin Hasibuan,S.H,M.H,DFM)

NIP.196104081986011001 NIP.196305111989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan anugerah-Nya yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan bagi penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak yang terkait. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan, kerja sama, dan masukan (motivasi) yang penulis terima selama ini dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh mahasiswa/I di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.H, DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Pembimbing II penulis yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini;


(4)

4. Bapak OK Saidin, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Penulis sangat berterima kasih kepada bapak Dr.Madiasa Albisar,S.H,M.S selaku Pembimbing I yang telah memberikan petunjuk, masukan, bimbingan, motivasi dan bantuan kepada penulis selama penulisan skripsi ini;

6. Bapak Syaiful Azam, S.H, M.Humselaku Dosen Pembimbing Akademik. Terimakasih kepada bapak yang selama ini telah memberikan bimbingan dan nasehat-nasehat kepada penulis dalam menjalankan program studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Ibu Liza Erwina, S.H, M.H selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Bapak KOMBES POL. Drs. Reynhard S. P. Silitonga, M.Si selaku Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut yang telah memberikan izin kepada penulis untuk mengadakan riset/studi dan membantu dalam melakukannya;

10. Bapak AKBP Bazawanto Zebua, S.H, M.H selaku Kabag Bin Opsnal Direktorat Reserse Narkoba Polda sumut yang telah memberikan arahan serta motivasi kepada penulisuntuk melakukan riset/studi dan membantu dalam melakukannya;

11. Bapak KOMPOL J. Silaban selaku Kasubbag Min Opsnal Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis selama melakukan riset, serta seluruh staff pegawai yang telah memberikan bantuan selama riset/studi;


(5)

12. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pengajar yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13. Penulis sangat berterima kasih kepada ayahanda Pukka Simanjuntak dan Ibunda Sukawatini yang telah bersusah payah membesarkan, mengasuh dan mendidik serta memberikan dorongan penulis secara moril, materil, dan spiritual dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan.

14. Saudara kandung penulis kakak-adek yang selalu memberikan nasihat dan dukungan : Christin Simanjuntak, Dhenok Simanjuntak, dan Febro Hutabarat 15. Sahabat-sahabatku Billy, Reno, Junita, Rani, Baktiaruddin, dinand, Rendy, Rencius, Nurul, Vienna, boy, andriano, joces, roy, stanley, pudan, nobel, andreas alfonso, dan seluruh teman-teman baik di Fakultas Hukum USU ataupun diluar kampus, dan terkhusus Grup D Stambuk 2011 yang telah banyak kontribusinya dalam membantu serta mendukung penulis menyelesaikan skripsi ini.

16. Dan kepada semua pihak yang telah turut membantu didalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima komentar dan masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan penulisan tugas akhir ini, akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dikemudian hari.


(6)

Medan, Mei 2015 Penulis

Dimas B Samuel Simanjuntak


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. PERUMUSAN MASALAH ... 9

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 10

1. Tujuan Penulisan ... 10

2. Manfaat Penelitian ... 10

D. KEASLIAN PENULISAN ... 12

E. TINJAUAN PUSTAKA ... 12

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika ... 12

2. Pengertian Polisi... 21

3. Pengertian Penegakan Hukum ... 25

F. METODE PENELITIAN ... 36

1. Jenis Penelitian ... 36

2. Pendekatan yang digunakan ... 37

3. Lokasi Penelitian ... 37


(8)

5. Sumber Data ... 38

6. Tehnik Pengumpulan Data ... 39

7. Metode Analisa Data... 40

G. SISTEM PENULISAN ... 41

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA 43 A. PENGGOLONGAN ... 43

B. KETENTUAN PIDANA MENURUT UNDANG- UNDANG REPUBLIK INDONESIA... 49

1. Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika ... 49

2. Menurut Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika... 52

BAB III PERANAN POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA .... 68

A. Pre-emtif ... 68

B. Preventif ... 70

C. Represif... 71

D. Treatment dan Rehabilitasi... 81

E. Peran Serta Masyarakat ... 87

F. Upaya Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika di lingkungan Kampus khususnya wilayah Hukum Polda Sumut ... 90


(9)

MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA DI WILAYAH HUKUM POLDA

SUMUT ... 92

A. Intern ... 92

B. Ekstern ... 94

BAB V PENUTUP ... 96

A. Kesimpulan... 96


(10)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT

*)Dimas Simanjuntak **)Madiasa Albisar ***)Syafruddin Hasibuan

Narkotika adalah segolongan obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh, berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif). Semakin hari peredaran narkotika semakin marak terjadi bahkan memasuki dunia pendidikan dengan modus operandi yang semakin canggih terkhusus di lingkungan Kampus wilayah hukum Polda Sumut. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana narkotika adalah kejahatan, namun hal ini diatur karena penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan timbulnya hal yang membahayakan pada nyawa manusia. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku masyarakat. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, dimana dengan adanya penegakan hukum tindak pidana narkotika terkhusus di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut dapat terwujud.

Penelitian yang dilakukan ini ditujukan untuk mengetahui terlaksananya penegakan hukum atas tindak pidana narkotika yang terjadi di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut. Oleh karena itu maka metode penelitian yang dilakukan denggan menggunakan 2 (dua) metode, yang pertama yaitu metode Field research (penelitian lapangan) yaitu langsung ke lokasi penelitian yakni Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut dengan mengadakan wawancara, dan mengambil data-data yang dibutuhkan, metode yang kedua ialah Library research (penelitian kepustakaan) melalui sumber-sumber bacaan baik buku, majalah, internet, juga peraturan perundang-undangan.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlunya pembuatan MoU antara pihak Kampus (Rektorat) dengan Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika dalam rangka kerjasama untuk melakukan pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dilingkungan Kampus, sehingga mempermudah Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika melakukan penindakan terhadap para pelaku Tindak Pidana Narkotika yang berada di lingkungan kampus. Diharapkan masyarakat turut serta membantu memberantas peredaran gelap narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.

.

* Mahasiswa

** Pembimbing I /staff Pengajar Fakultas Hukum USU *** Pembimbing II /staff Pengajar Fakultas Hukum USU


(11)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM OLEH POLISI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT

*)Dimas Simanjuntak **)Madiasa Albisar ***)Syafruddin Hasibuan

Narkotika adalah segolongan obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh, berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif). Semakin hari peredaran narkotika semakin marak terjadi bahkan memasuki dunia pendidikan dengan modus operandi yang semakin canggih terkhusus di lingkungan Kampus wilayah hukum Polda Sumut. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana narkotika adalah kejahatan, namun hal ini diatur karena penyalahgunaan narkotika dapat mengakibatkan timbulnya hal yang membahayakan pada nyawa manusia. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku masyarakat. Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, dimana dengan adanya penegakan hukum tindak pidana narkotika terkhusus di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut dapat terwujud.

Penelitian yang dilakukan ini ditujukan untuk mengetahui terlaksananya penegakan hukum atas tindak pidana narkotika yang terjadi di lingkungan kampus wilayah hukum Polda Sumut. Oleh karena itu maka metode penelitian yang dilakukan denggan menggunakan 2 (dua) metode, yang pertama yaitu metode Field research (penelitian lapangan) yaitu langsung ke lokasi penelitian yakni Direktur Reserse Narkoba Polda Sumut dengan mengadakan wawancara, dan mengambil data-data yang dibutuhkan, metode yang kedua ialah Library research (penelitian kepustakaan) melalui sumber-sumber bacaan baik buku, majalah, internet, juga peraturan perundang-undangan.

Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perlunya pembuatan MoU antara pihak Kampus (Rektorat) dengan Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika dalam rangka kerjasama untuk melakukan pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dilingkungan Kampus, sehingga mempermudah Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika melakukan penindakan terhadap para pelaku Tindak Pidana Narkotika yang berada di lingkungan kampus. Diharapkan masyarakat turut serta membantu memberantas peredaran gelap narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.

.

* Mahasiswa

** Pembimbing I /staff Pengajar Fakultas Hukum USU *** Pembimbing II /staff Pengajar Fakultas Hukum USU


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Istilah “narkotika” ini muncul sekitar tahun 1998. Istilah ini bukan lagi istilah yang asing bagi masyarakat mengingat begitu banyaknya berita, baik dari media cetak maupun media elektronik yang memberitakan tentang penggunaan narkotika dan bagaimana korban dari berbagai kalangan dan usia berjatuhan akibat penggunaannya.

Masalah penyalahgunaan narkotika mempunyai dimensi yang sangat luas dan kompleks. Penggunaan narkotika dapat merusak tatanan kehidupan keluarga, lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah atau kampus, bahkan langsung atau tidak langsung merupakan ancaman bagi kelangsungan pembangunan serta masa depan bangsa dan negara Indonesia. Pada saat ini, Narkotika merupakan musuh terbesar negara yang dimana orang yang menggunakan narkotika ini tidak mengenal usia baik muda maupun tua.

Kasus-kasus narkotika yang melibatkan warga masyarakat, narkotika dapat sampai ke tangan seorang pengguna atau pemakai adalah dari pedagang gelap. Demikian pula dengan para pemakai narkotika, mereka menggunakan barang haram tersebut tidak lagi melihat tempat, baik itu di


(13)

dalam perjalanan, di sekolah ataupun di kampus, di tempat-tempat hiburan malam, dan sebagainya.1

Ada dua faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yaitu faktor lingkungan dan faktor individu adalah sebagai berikut :2

1. Faktor lingkungan

Faktor ini meliputi keluarga dan lingkungan pergaulan baik di sekitar rumah, sekolah atau kampus, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor orang tua ataupun keluarga merupakan penyebab seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna barang haram atau yang biasa disebut dengan narkotika tersebut adalah sebagai berikut : a. Komunikasi yang kurang baik antara orang tua dengan anak; b. Akibat Orang tua yang mengalami perceraian, selingkuh dan

atau kawin lagi;

c. Orang tua yang terlalu sibuk atau tidak acuh terhadap anaknya; d. Orang tua yang serba melarang;

e. Sekolah yang kurang disiplin;

f. Sekolah yang dekat dengan tempat hiburan ataupun dekat dengan tempat penjualan narkotika;

g. Adanya murid atau mahasiswa yang menggunakan narkotika; h. Kurangnya pengawasan.

2. Faktor individu

Faktor ini menjadi salah satu penyebab bagi penyalahguna narkotika dikarenakan adanya perubahan biologik, psikologik, maupun sosial di dalam diri para pengguna narkotika. Terdapat ciri-ciri tertentu bagi para pengguna yang mempunyai resiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna narkotika (NAPZA), antara lain sebagai berikut :

a. Kurangnya Ibadah dari para pengguna yang mengakibatkan Imannya mudah tergoda;

b. Hilangnya rasa percaya diri;

c. Adanya keinginan untung mengikuti mode zaman yang semakin lama semakin tidak terbatas;

d. Bersifat memberontak dan menolak otoritas; e. Keinginan agar diterima di dalam suatu pergaulan; f. Adanya keingintahuan yang besar untuk mencoba;

g. Tidak adanya sikap tegas dan kesiapan mental dalam hal untuk menolak penawaran yang diberikan didalam pergaulan.

1

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), cetakan pertama hlm 2.

2

Singlesmilesoup.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-penyalahgunaan-narkoba. html? m=1


(14)

Akhir-akhir ini kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi serta dengan teknologi yang canggih. Dalam hal ini, diharapkan kepada penegak hukum (polisi) untuk mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia khususnya bagi generasi penerus bangsa.3

Narkotika diperlukan oleh manusia untuk pengobatan sehingga diperlukan suatu produksi narkotika yang terus menerus untuk para penderita tersebut. Dalam dasar menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa adanya pengawasan yang ketat. Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur menurut takaran/dosis akan dapat menimbulkan bahaya fisik dan mental bagi yang menggunakan serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna itu sendiri.4

Maraknya penyalahgunaan narkotika tidak hanya di kota-kota besar, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil di seluruh wilayah Republik Indonesia

3

A.Hamzah dan RM. Surachman, Kejahatan narkotika dan Psikotropika, (jakarta :Sinar Grafika,1994), hal.6)

4

.A. W. Widjaya, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika,(Bandung: armico,1995), hal 25-26


(15)

mulai dari tingkat social economi menengah bawah sampai tingkat social economi menengah atas. Penyalahgunaan narkotika paling banyak berumur antara 15-26 tahun. Dimana generasi muda adalah sasaran yang paling strategis oleh pedagang gelap narkotika.

Akibat maraknya penyalahgunaan narkotika membuat para pasien pengguna narkotika di panti-panti rehabilitasi medis ataupun non medis di beberapa kota besar semakin hari semakin bertambah. Dengan situasi penduduk yang semakin bertambah, pengangguran dan kemiskinan juga semakin meningkat, maka muncul keinginan orang untuk memperoleh rejeki dengan cara apapun. Kalau di tahun 1970-an Indonesia hanya sebagai wilayah pemilik, maka di tahun 1990-an berubah sebagai pemakai dan sekaligus menjelang tahun 1998 sebagai negara produsen.

Hasil riset di Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut bahwa di dapat pengungkapan Tindak Pidana Narkoba yang dilakukan Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut dan jajaran sebagai berikut :


(16)

N O

THN JENIS NARKOBA J U M L A H

HEROIN KOKA IN MORFIN GA NJA PUTA UW SHA BU ECSTA SY OBA T/ZA T

BERBA HA YA

PSIKOTROPI KA JENIS PIL

HA PPY FIVE (ERIMIN 5)

KSS TSK

KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK KSS TSK

1. 2. 3. 4. 5. 6. 2010 2011 2012 2013 2014 Maret 2015 -1 -2 1 -3 -2 1 -1 -1 -1.230 854 841 871 784 193 1.956 1.072 1.023 1.123 1.012 228 5 12 1 2 1 -5 15 1 3 2 -1.433 1.795 1.516 2.165 2.811 866 1.720 2.349 2.103 3.019 3.717 1.177 33 38 57 51 68 38 41 47 88 59 89 51 17 28 16 2 1 -14 28 21 2 2 -1 4 2 -1 5 2 2.718 2.728 2.432 3.094 3.670 1.099 3.736 3.514 3.237 4.209 4.828 1.458

J U M L A H 4 6 1 1 - - 4.773 6.414 21 26 10.586 14.085 285 375 64 67 7 8 15.741 20.982


(17)

(18)

Dari data tersebut diatas, dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Tahun 2013 berhasil mengungkap sebanyak 3.094 (tiga ribu sembilan puluh empat) Kasus dengan 4.209 (empat ribu dua ratus sembilan) Tersangka

2. Tahun 2014 berhasil mengungkap sebanyak 3.670 (tiga ribu enam ratus tujuh puluh) Kasus dengan 4.828 (empat ribu delapan ratus dua puluh delapan) Tersangka

3. Bulan Januari s/d Maret 2015 berhasil mengungkap sebanyak 1.099 (seribu sembilan puluh sembilan) Kasus dengan 1.458 (seribu empat ratus lima puluh delapan) Tersangka

Hasil pengungkapan tersebut, ditemukan pelaku Tindak Pidana Narkoba yang berstatus Mahasiswa sebagai berikut :

1. Tahun 2013 sebanyak 46 (empat puluh enam) Tersangka

2. Tahun 2014 sebanyak 65 (enam puluh lima) Tersangka

3. Bulan Januari s/d Maret 2015 sebanyak 15 (lima belas) Tersangka

Dilihat dari jumlah tersangka tersebut, terjadi peningkatan Tahun 2013 ke Tahun 2014 sebanyak 19 (sembilan belas) Tersangka. Hal ini berarti masih maraknya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dilakukan para mahasiswa, yang dapat mengakibatkan dampak buruk terhadap kampus dimana mahasiswa tersebut menerima pembelajaran.


(19)

Petugas Reskrim Polsek Medan Timur Polresta Medan Polda Sumut pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2015 telah melakukan penangkapan terhadap 2 (dua) Mahasiswa yang berinisial ES ,19 tahun, warga Jalan Pelita I dan NCS, 20 tahun, warga Jalan Pelita I yang sedang keluar dari Jalan Mesjid Taufik Medan dan selanjutnya sepeda motor yang dikendarai mahasiswa tersebu diberhentikan di jalan rakyat Medan kemudian dilakukan penggeledahan dan ditemukan 2 (dua) amplop yang berisi narkotika jenis ganja.5

Pada hari Sabtu tanggal 02 Mei 2015 di Jalan Gagak Hitam/Ringroad Medan, Satresnarkoba Polresta Medan Polda Sumut telah melakukan penangkapan terhadap seorang mahasiswa perguruan tinggi swasta di Kota Medan berinisial MR (22), warga Jalan BL Kelurahan Helvetia Kecamatan Medan Helvetia Medan yang diduga terlibat peredaran narkotika jenis sabu dengan barang bukti satu kilogram sabu, yang seharga Rp 2 miliar, satu unit timbangan digital, 50 buah plastik klip kosong dan satu handphone.6

Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Pasal 13 Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga peranan Polisi sangat besar di dalam kehidupan masyarakat terutama pada penyalahgunaan dan pengedar

5

KOMPOL J. Silaban, Kasubbag Min Opsnal Bag Bin Opsnal Polda Medan, Wawancara Pribadi, Medan, 18 Mei 2015


(20)

narkotika.7 Dimana di dalam proses penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, undang-undang tidak ada mengatur bahwa polisi tidak diperbolehkan memasuki wilayah kampus. Melainkan polisi menghindari adanya pertikaian dengan warga kampus agar tidak terjadi kontak fisik. Oleh karena itu, polisi memerlukan kerjasama berupa informasi dari dalam maupun luar kampus untuk upaya penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana narkotika di area kampus.

Dari uraian dan latar belakang diatas, sebagaimana yang telah penulis paparkan, maka faktor inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya menjadi topik pembahasan dalam penulisan skripsi dengan judul “Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika Di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut.

B. PERUMUSAN MASALAH

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang harus dihadapi dan harus diselesaikan oleh peneliti dalam penelitian. Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pengaturan hukum Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 ?

2. Bagaimana peran polisi dalam penegakan hukum untuk menangani Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut ?

7


(21)

3. Hambatan yang dihadapi polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis melaksanakan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pengaturan hukum pidana mengenai Tindak Pidana Narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

b. Untuk mengetahui peranan Kepolisian Negara Republik Indonesia (polisi) dalam penegakan hukum untuk menangani Tindak Pidana Narkotika

c. Untuk mengetahui apa hambatan yang dihadapi polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di lingkungan kampus

2. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan, penulis juga mengharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :

a. Secara Teoritis

Hasil penulisan skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia khususnya dalam tindak pidana narkotika. Dengan kata lain diharapkan dapat memperkaya ilmu


(22)

pengetahuan, menambah dan melengkapi perbendaharaan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran kedepannya untuk menyorot dan membahas mengenai penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang tidak mengenal umur dan terutama para remaja, dimana mereka adalah generasi muda masa depan bangsa dan juga bagaimana upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menanggulangi dan mencegah serta memberantas tindak pidana narkotika ini melihat pesatnya perkembangan teknologi sekarang yang semakin canggih. Dan juga agar para penerus-penerus bangsa yaitu anak-anak ataupun remaja sekarang tidak lagi menjadi salah satu dari penyalahguna dan pengedar narkotika yang semakin lama semakin marak berkembang. b. Secara Praktis

Hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk kita dalam membantu para penegak hukum untuk upaya pencegahan, penanggulangan dan pemberantasan kasus-kasus narkotika yang semakin lama marak dan tidak lagi mengenal usia maupun tempat untuk memakainya.

D. KEASLIAN PENULISAN

Adapun judul penulisan dalam skripsi ini yakni mengenai “Penegakan Hukum Oleh Polisi Dalam Menangani Tindak Pidana Narkotika Di Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut”,


(23)

dimana sepengetahuan penulis belum pernah ada yang membahas atau mengangkat hal tersebut kedalam sebuah tulisan ilmiah.

Sebenarnya telah banyak tulisan-tulisan mengenai narkotika, namun tidak ada penulisan yang secara khusus membahas tentang Penegakan Hukum oleh Polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di Kampus. Jadi penelitian ini dapat dikatakan asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah sangat membahayakan bagi nyawa manusia.8


(24)

Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepentingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan, memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman

papaver,koka dan ganja.9

Saat ini peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi muda sudah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi lain untuk mencegah peredaran gelap narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya penyalahgunaan, maka diperlukan pengaturan di bidang narkotika. Peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya pemberantasan tindak pidana narkotika sangat diperlukan, apalagi tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis, menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih serta dilakukan secara terorganisir (organizeci crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational crime).

9

Soedjono Dirjosisworo, Hukum narkotika di Indonesia ( Bandung: PT. citra Aditya bakti, 1990)


(25)

Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini adalah hukum yang telah dikodifikasikan dalam suatu kitab undang-undang hukum pidana. Dalam hal ini Wirjono Prodjodikoro mengungkapkan mengenai definisi hukum pidana yaitu “hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai pidana”. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk :

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Pidana berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau melakukan tindak kejahatan. Dalam ilmu hukum ada perbedaan

antara istilah “pidana” dengan istilah “hukuman”. Sudarto


(26)

untuk pergantian perkataan “straft”, tetapi menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman”. Menurut Muladi dan Bardanawawi Arief “Istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari dibidang pendidikan, moral, agama, dan sebagainya. Oleh karena pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas”. Pengertian tindak pidana yang di muat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh pembentuk undang-undang sering disebut dengan strafbaarfeit. Para pembentuk undang-undang tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai

strafbaarfeit itu, maka dari itu terhadap maksud dan tujuan mengenai

strafbaarfeit tersebut sering dipergunakan oleh pakar hukum pidana dengan istilah tindak pidana, perbuatan pidana, peristiwa pidana, serta delik. Di antara istilah-istilah itu, yang paling tepat dan baik digunakan adalah istilah tindak pidana dengan pertimbangan selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum juga sangat praktis untuk diucapkan. Disamping itu, di dalam peraturan perundang-undangan Negara Indonesia pada umumnya menggunakan istilah tindak pidana.


(27)

Berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV ketentuan pidana, maka perbuatan-perbuatan yang dilarang yang berhubungan dengan narkotika adalah :

a. Menanam, memelihara, mempunyai, dalam persediaan, memiliki, menyimpan untuk dimiliki, atau untuk persediaan atau menguasai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman atau bukan tanaman.

b. Memiliki, menyimpan, untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika golongan II dan Golongan III.

c. Memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit atau menyediakan narkotika golongan I, II, III.

d. Membawa, mengirim, mangangkut atau mentransito narkotika Golongan I, II, dan III.

e. Mengimport, mengeksport, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika golongan I, II, III.

f. Menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I, II, III untuk digunakan oleh orang lain. g. Menggunakan narkotika golongan I, II, III. Bahaya narkotika

karena penyalahguna menjadi “addict” (pecandu) setelah melewati ketergantungan jiwa dan fisik. Belum lagi bahaya sampingan lainnya, situasi ketertiban dan keamanan bagi


(28)

masyarakat seperti pencurian, penodongan, perampokan, perampasan, pembunuhan, pemerkosaan.

Menurut Dr.Graham Bline, penyalahgunaan narkotika dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :10

a. Faktor Intern (dari dalam dirinya)

1) Sebagai proses untuk menentang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau instansi yang berwenang; 2) Mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual;

3) Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang berbahaya dan penuh resiko;

4) Berusaha untuk mencari atau mendapatkan arti daripada hidup;

5) Melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman sensasional dan emosional;

6) Mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, disebabkan kurang kesibukan;

7) Mengikuti kemauan teman dan untuk memupuk rasa solidaritas dan setia kawan;

8) Didorong rasa ingin tahu dan karena iseng. b. Faktor Ekstern

1) Adanya usaha-usaha subversi untuk menyeret generasi muda kelembah siksa narkotika;

2) Adanya situasi yang disharmoniskan (broken home) dalam keluarga, tidak adanya rasa kasih sayang, renggangnya hubungan antara ayah dan ibu, orang tua dan anak;

3) Karena politik yang ingin mendiskreditkan lawannya dengan menjerumuskan generasi muda atau remaja;

4) Penyalahgunaan narkotika merupakan wabah yang harus mendapatkan penanggulangan harus dilakukan dengan prioritas yang tinggi serta terpadu.

Tindakan hukum perlu dijatuhkan secara berat dan maksimum, sehingga menjadi jera dan tidak mengulangi lagi atau contoh bagi lainnya untuk tidak berbuat.11 Kebijakan sanksi pidana dan pemidaannya sebagai berikut :

10

Supramono. G, Hukum Narkotika Indonesia. (Jakarta: Djambatan), hal 26. 11

AW. Widjaja, masalah kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika, (bandung,amrico, 1985)


(29)

a. Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan, penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati), pidana tambahan (pencabutan izin usaha/ pencabutan hak tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga negara asing). b. Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara

Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20 tahun dan seumur hidup.

c. Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara kumulatif (terutama penjara dan denda);

d. Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana minimal khusus (penjara maupun denda);

e. Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi, dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive). Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan kriminalisasi dari undang-undang narkotika tampaknya tidak terlepas dari tujuan dibuatnya undang-undang itu, terutama tujuan :

a. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika/psikotropika, dan


(30)

Oleh karena itu, semua perumusan delik dalam Undang-Undang Narkotika terfokus pada penyalahgunaan dari peredaran narkotikanya mulai dari penanaman, produksi, penyaluran lalu lintas, pengedaran sampai ke pemakaiannya, dan pemakaian pribadi, bukan pada kekayaan (property atau asets) yang diperoleh dari tindak pidana “narkotika” itu sendiri. Dalam ilmu hukum pidana, orang telah berusaha memberikan penjelasan tentang siapa yang harus dipandang sebagai pelaku suatu tindak pidana. Van Hamel telah mengartikan pelaku dari suatu tindak pidana dengan membuat suatu definisi sebagai berikut : “Pelaku tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas, jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seseorang diri telah melakukan sendiri tindak pidana yang bersangkutan”.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada hakekatnya merupakan reformasi hukum aspek–aspek yang direformasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1997 dan Undang–undang nomor 5 tahun 1997 yang dimaksud adalah :

a. Realitas gradasi karena variasi golongan dalam narkotika dengan ancaman hukuman yang berbeda dengan golongan 1 yang terberat di susul dengan golongan II dan III (tidak disamaratakan), suatu yang patut di puji justru dalam pemberatan pidana penjara ada ketentuan hukum minimal


(31)

(paling singkat). Hal ini adalah hal baru dalam kaedah hukum pidana.

b. Ketentuan pemberatan selain didasarkan penggolongan juga realitas bahwa dalam penyalahgunaan narkotika banyak dilakukan oleh kelompok melalui permufakatan (konspirasi), maka bila penyalahgunaan beberapa orang dengan konspirasi sanksi hukumnya diperberat.

c. Demikian pula Penanggulangan dan Pemberantasan di lakukan bila pelaku penyalahgunaan narkotika terorganisasi. Ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkotika telah ada sindikat–sindikat yang terorganisasi rapi dalam operasionalnya. d. Demikian pula apabila koporasi yang terlibat maka pidana

dendanya diperberat, tetapi pertanggung jawaban pidana korporasi belum tegas, apakah direkturnya dapat dikenakan hukum pidana penjara. Hal ini mungkin harus melalui yurisprudensi.

Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan cara mengobati


(32)

korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu.12

2. Pengertian Polisi

Istilah polisi sepanjang sejarah mempunyai arti yang berbeda-beda, sehingga pengertian polisi diantaranya adalah sebagai beriku : a. Polisi sebenarnya berasal dari bahasa yunani “politea” yang

berarti seluruh permintaan negara kota, negara Yunani pada abad sebelum masehi terdiri dari kota-kota saja yang disebut sebagai Negara Kota.

b. Di Belanda pada jaman dahulu polisi dikenal melalui konsep

praja van vallenhoven yang membagi pemerintahan menjadi 4 (empat) bagian yaitu :

1) Bestur (pemerintahan)

2) Politie (Polisi) 3) Rechtspaark ;dan

4) Regeling

Dengan demikian polisi dalam pengertian ini sudah dipisahkan dengan bestur (pemerintahan) tetapi merupakan bagian dari pemerintahan itu sendiri. Pada pengertian ini polisi termasuk organ-organ pemerintah yang mempunyai wewenang melakukan pengawasan terhadap kewajiban-kewajiban umum.13

12

Ruby Hardiati Jhony, diktat kuliah hukum pidana khusus Tindak Pidana Narkotika, (Purwekerto: Fakultas Hukum. Unsoed. 1985)

13


(33)

c. Lain halnya istilah “polisi” dalam bahasa inggris yang mengandung arti lain yang dinyatakan oleh Charles Reith dalam bukunya The blind of history yang menyatakan bahwa polisi sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini bertolak belakang dengan pemikiran bahwa manusia adalah mahluk sosial, hidup berkelompok dan membuat peraturan yang disepakati bersama. Diantara kelompok-kelompok itu terdapat anggota-anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama sehingga tumbuh masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar, dari pemikiran tersebut kemudian diperlukanlah polisi.

Kepolisian yang telah dibentuk sejak tanggal 19 Agustus 1945, mencoba memakai sistem kepolisian federal yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri dengan kekuasaan yang berada di wilayah Indonesia. Maka mulai tanggal 1 juli 1946, polisi menganut sistem Kepolisian Nasional (The Indonesian National Polite). Sistem kepolisian ini dirasa lebih pas dengan Indonesia sebagai Negara Kesatuan, karena dalam waktu singkat polisi dapat membentuk komando-komando sampai ke tingkat sektor (kecamatan) dan sistem inilah yang dipakai polisi sampai sekarang.


(34)

d. Disamping itu, pengertian polisi menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 1 ayat (1), di defenisikan bahwa pengertian Kepolisian yaitu :

“Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Dari pengertian diatas, maka Kepolisian Negara berarti berkaitan dengan lembaganya, sedangkan polisi menunjukkan person atau orang yang termasuk dalam anggota kepolisian dengan syarat-syarat tertentu yang diatur dengan undang-undang. Jadi Polisi adalah anggota atau pejabat kepolisian yang mempunyai wewenang umum kepolisian yang dimiliki berdasarkan undang-undang yang berstatus pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

e. Sedangkan menurut pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 dikatakan bahwa kepolisian adalah alat negara yang menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

f. Menurut Sadjijono, istilah “polisi” dan “kepolisian” mengandung pengertian yang berbeda. Istilah “polisi” adalah


(35)

sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam negara, sedangkan istilah “kepolisian” adalah sebagai organ dan sebagai fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintah yang terorganisir dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, pengayoman dan pelayan masyarakat.14

3. Pengertian Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya

14


(36)

aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “law enforcement” ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan “penegakan hukum” dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah “penegakan peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law” versus “the rule of just law” atau dalam istilah “the rule of law and not of man” versus istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”. Dalam istilah “the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law


(37)

and not of man” dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Dengan uraian di atas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, penegakan hukum dapat ditentukan sendiri batas-batasnya.

Penegakan hukum secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law enforcement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti


(38)

hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang mendasar. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah,

issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna yang baru terhadap ide-ide demokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy). Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu


(39)

sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia”. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk menghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan masyarakat kita pun memang belum berkembang secara sehat.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali

(resosialisasi) terpidana. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: a. institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan

prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; b. budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai


(40)

c. perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya.

Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian secara seksama sebagai berikut :

a. Pembuatan hukum (‘the legislation of law’ atau ‘law and rule making’);


(41)

b. Sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum

(socialization and promulgation of law); dan c. Penegakan hukum (the enforcement of law).

d. Adminstrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable).

Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting dan yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Dalam arti luas, “the administration of law” itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah dikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikkings), ataupun penetapan dan putusan

(vonis) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah.

Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya guna (utility) bagi masyarakat, namun disamping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita pungkiri bahwa apa yang dianggap berguna (secara


(42)

Dalam kondisi yang demikian ini, masyarakat hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak. Kenyataan sosial seperti ini memaksa pemerintah untuk segera membuat peraturan secara praktis dan pragmatis, mendahulukan bidang-bidang yang paling mendesak sesuai dengan tuntutan masyarakat tanpa perkiraan strategis, sehingga melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat sementara. Akibatnya kurang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat.

Sebaiknya mekanisme dan prosedur untuk menentukan prioritas revisi atau pembentukan undang-undang baru, masyarakat harus mengetahui sedini mungkin dan tidak memancing adanya resistensi dari masyarakat, maka setidaknya dilakukan dua macam pendekatan yaitu pendekatan sistem dan pendekatan kultural politis.

Melalui sistem pendekatan revisi atau pembentukan undang-undang yang baru, harus dilihat secara konstekstual dan konseptual yang berkaitan erat dengan dimensi-dimensi geopolitik, ekopolitik, dan demopolitik, sosiopolitik. Dengan kata lain politik hukum tidak berdiri sendiri, lepas dari dimensi politik lainnya, apalagi jika hukum mampu berperan sebagai sarana rekayasa sosial. Sempitnya pandangan yang hanya melihat hukum sebagai alat pengatur dan penertib saja, tanpa menyadari keserasian hubungannya dengan dimensi-dimensi lain, akan melahirkan produk dan konsep yang kaku


(43)

tanpa wawasan dan pandangan sistemik yang lebih luas dan menerjemahkan perasaan keadilan hukum di masyarakat.15

Substansi undang-undang sebaiknya di susun secara taat asas, harmoni dan sinkron dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk itu harus dilakukan dengan mengabstrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian menderivasi, yakni menurunkan sejumlah asas-asas untuk dijadikan landasan pembentukan undang-undang. Semua peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan secara sektoral oleh departemen-departemen yang bersangkutan harus serasi dan sinkron dengan ketentuan undang-undang. Perlu kita maklumi bahwa banyak peraturan undang-undang yang sering tidak berpijak pada dasar moral yang ditetapkan rakyat, bahkan sering bertentangan.

Pada taraf dan situasi seperti ini kesadaaran moral warga masyarakat tentu saja tidak akan lagi selalu sama dan sebangun dengan kesadaran hukum rakyat. Hukum yang dikembangkan dari cita pembaharuan dan pembangunan negara-negara nasional pun karenanya akan memerlukan dasar legitimasi lain, yang tak selamanya dipungut begitu saja dari legitimasi moral rakyat yang telah ada selama ini.16

15

M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, (bandung: Mandar Maju,1989), hal, 48 dan 94-96

16


(44)

Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan namun hukum itu tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum dan mengikat setiap orang serta menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak menyamaratakan.17 Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.

Aristoteles dalam buah pikirannya “Ethica Nicomacea” dan “Rhetorica” mengatakan, hukum mempunyai tugas yang suci, yakni memberikan pada setiap orang apa yang berhak diterima. Anggapan ini berdasarkan etika dan berpendapat bahwa hukum bertugas hanya membuat adanya keadilan saja (ethische theorie). Tetapi anggapan ini tidak mudah dipraktekkan, hal ini tidak mungkin orang membuat peraturan hukum sendiri bagi tiap-tiap manusia. Apabila itu dilakukan maka akan tentu tak akan habis-habisnya. Sebab itu pula hukum harus membuat peraturan umum, kaedah hukum tidak diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara tertentu. Kaedah hukum tidak diadakan untuk menyebut suatu nama seseorang tertentu, kaedah hukum hanya membuat suatu klasifikasi tertentu.18

Penegakan hukum, sebagaimana dirumuskan secara sederhana oleh Satjipto Raharjo, merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan

17

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 2.

18

E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (jakarta: balai buku ichtiar, 1962), hal. 24-28.


(45)

hukum yang dimaksud disini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.19

Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 20

Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum

(legal structure), komponen substansi hukum (legal substance), dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legas substance) merupakan aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati didalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan

19


(46)

dan pendapat tentang hukum.21 Dalam perkembangannya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang menjadi objek kajian peneliti.

F. METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yang dipergunakan didalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis penelitian

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian perpustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian perpustakaan adalah penelitian tentang aturan dasar pemidanaan terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika menurut peraturan perundang-undangan, sedangkan penelitian lapangan (field research) ini untuk mengetahui sejauh mana penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika di kampus khususnya di wilayah hukum Polda Sumut.

2. Pendekatan yang digunakan

Pendekatan yang digunakan dalam memahami dan mendekati objek penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis (hukum dilihat sebagai norma atau da sollen),

21

Lawrence M. Priedman, Law and Society An Introduction, (New Jersey: Prentice Hall Inc,1977) hal. 6-7.


(47)

karena dalam membahas permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum tertulis, kemudian bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pendekatan empiris (hukum sebagai kenyataan sosial, kultural atau das sein), karena dalam penelitian ini digunakan data primer yang diperoleh dari lapangan.

Jadi, pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya adalah dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder) dengan data primer yang diperoleh dilapangan yaitu tentang penegakan hukum oleh Polisi dalam menangani tindak pidana narkotika di kampus khususnya wilayah hukum Polda Sumut.

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di wilayah hukum POLDA Sumatera Utara 4. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis maksudnya adalah analisis penelitian yang mengungkapkan suatu masalah atau keadaan ataupun peristiwa sebagaimana adanya sehingga bersifat mengungkapkan fakta.

5. Sumber Data

Sumber data digolongkan menjadi : a. Data Primer

Adalah data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan berbagai narasumber yaitu aparat penegak hukum di instansi kepolisian Polda Sumatera Utara.


(48)

b. Data Sekunder

Adalah data yang secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung sumber data primer.

Data tersebut digolongkan menjadi :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti dan sifatnya mengikat, terdiri dari :

1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika

2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berkaitan

dengan penjelasan bahan hukum primer, terdiri dari :

1) Buku-buku yang membahas tentang narkotika dan psikotropika

2) Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan psikotropika

6. Tehnik pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah :

a. Interview atau wawancara

Interview adalah suatu metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan


(49)

berdasarkan pada tujuan penelitian, atau sebuah dialog yang dilakukan pewawancara untuk memperoleh informasi dari narasumber.22 Komunikasi ini dilakukan dalam keadaan berhadapan dengan aparat penegak hukum di Polda Sumatera Utara.

b. Observasi

Observasi adalah pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki dengan maksud untuk meyakinkan kebenaran data yang diperoleh dari wawancara. Dalam hal ini peneliti melakukan pengamatan terhadap wilayah kampus yang akan diteliti dan dapat dibuktikan keakuratan sumber datanya.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah tehnik pengumpulan data dengan cara membaca, mempelajari, dan mencatat data yang diperoleh dari berbagai buku hukum, surat kabar, majalah dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.

7. Metode Analisa Data

Data dianalisis secara kualitatif berpedoman kepada peraturan perundang-undangan. Analisis data dilakukan secara kualitatif yuridis, dengan mengadakan penelitian terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menghubungkan data

22


(50)

kenyataan dilapangan sesuai pemasalahan penelitian ini. Data yang diperoleh dilapangan diolah dan dianalisis secara deskriptif, normatif logis, sistematis menggunakan metode deduktif dan induktif.

Deskriptif artinya data yang diperoleh dari lapangan, digambarkan sesuai kenyataan yang sebenarnya. Normatif digambarkan untuk menganalisis data dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya berhubungan dengan permasalahan logis, artinya dalam melakukan analisis tidak boleh bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Metode deduktif artinya peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berhubungan dengan permasalahan yang bersifat umum dan dijadikan sebagai pegangan pada data yang diperoleh dari penelitian, untuk memperoleh kesimpulan. Metode deduktif artinya data bersifat khusus yang diperoleh dari penelitian serta menarik kesimpulan yang bersifat umum.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I PENDAHULUAN

Dalam pendahuluan ini akan dijelaskan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan (pengertian Tindak Pidana Narkotika, pengertian polisi, pengertian penegakkan hukum, Metode penelitian serta sistematika penulisan).


(51)

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Didalam BAB II ini, akan dibahas mengenai penggolongan Narkotika dan Ketentuan Pidana Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

BAB III PERANAN DAN HAMBATAN POLISI DALAM

PENEGAKAN HUKUM UNTUK MENANGANI

TINDAK PIDANA NARKOTIKA

Didalam BAB III ini akan dibahas mengenai upaya pre-emptif, preventif, represif dan rehabilitasi yang dilakukan oleh polisi dalam rangka penegakan hukum, serta peran serta masyarakat

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI POLISI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI LINGKUNGAN KAMPUS KHUSUSNYA WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT

Didalam BAB IV ini dibahas tentang bahas mengenai hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi polisi dalam menangani Tindak Pidana Narkotika di Lingkungan Kampus Khususnya Wilayah Hukum Polda Sumut. Dimana hambatan-hambatan tersebut terdiri dari 2 yaitu hambatan


(52)

BAB V PENUTUP

Dalam BAB V ini merupakan hasil dari keseluruhan skripsi yang dibuat dalam bentuk kesimpulan yang disertai dengan saran-saran penulis


(53)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

A. PENGGOLONGAN NARKOTIKA

1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun bukan sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran dan hilangnya rasa. Zat ini dapat mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat mengakibatkan ketergantungan. Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat, juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika inilah yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari “cengkraman”nya.

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 199723 bahwa jenis narkotika dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu : a. Narkotika golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya.

Daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah Ganja, Heroin, kokain, morfin, opium, dan lain-lain.

b. Narkotika golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya adalah petidin, dan turunannya, benzetidin, betametadol, dan lain-lain.

c. Narkotika golongan III adalah narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya kodein dan keturunanya.


(54)

Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

a. Narkotika Alami.

Narkotika alami adalah narkotika yang zat adiktifnya diambil dari tumbuh-tumbuhan (alam).

Contohnya:

1) Ganja adalah tanaman perdu dengan daun menyerupai daun singkong yang tepinya bergerigi dan berbulu halus. Jumlah jarinya selalu ganjil, yaitu 5, 7, 9. tumbuhan ini banyak tumbuh di beberapa daerah di Indonesia, seperti Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Pulau Jawa dan lain-lain. Daun ganja sering digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Bila digunakan sebagai bumbu masak, daya adiktifnya rendah. Namun, tidak demikian bila dengan dibakar dan asapnya dihirup. Cara penyalahgunaannya dengan dikeringkan dan dicampur dengan tembakau rokok atau dijadikan lalu dibakar serta dihisap.

2) Hasis adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di Amerika Latin dan Eropa. Daun ganja, hasis, dan mariyuana juga dapat disuling dan diambil sarinya. Dalam bentuk cair, harganya Sangat mahal. Gunanya adalah untuk disalahgunakan oleh pemadat-pemadat ”kelas tinggi”.


(55)

3) Koka adalah tanaman perdu mirip pohon kopi. Buahnya yang matang berwarna merah seperti biji kopi. Dalam komunitas masyarakat indian kuno, biji koka sering digunakan untuk menambah kekuatan orang yang berperang atau berburu binatang. Koka kemudian diolah menjadi kokain.

4) Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah. Dari getah bunga opium dihasilkan candu (opiat). Di Mesir dan daratan Cina, opium dulu digunakan untuk mengobati beberapa penyakit, memberi kekuatan, atau menghilangkan rasa sakit pada tentara yang terluka sewaktu berperang atau ketika sedang berburu.

b. Narkotika Semisintetis

Narkotika semisintetis adalah narkotika alami yang diolah dan diambil zat aktifnya (intisarinya) agar memiliki khasiat yang lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran.

Contohnya:

1) Morfin, dipakai dalam dunia kedokteran untuk menghilangkan rasa sakit atau pembiusan pada operasi (pembedahan)

2) Kodein, dipakai untuk obat penghilang batuk

3) Heroin, tidak dapat dipakai dalam pengobatan karena daya adiktifnya sangat besar dan manfaatnya secara medis


(56)

belum ditemukan. Dalam perdagangan gelap, heroin diberi nama putaw, atau petai. Bentuknya seperti tepung terigu halus, putih dan agak kotor.

4) Kokain, merupakan hasil olahan dari biji koka. c. Narkotika Sintetis.

Narkotika sintetis adalah narkotika palsu yang dibuat dari bahan kimia. Narkotika ini digunakan untuk pembiusan dan pengobatan bagi orang yang menderita ketergantungan obat

(subsitusi). Contohnya:

1) Petidin, digunakan untuk obat bius lokal. (operasi kecil, sunat, dan sebagainya)

2) Methadon, digunakan untuk pengobatan pecandu narkotika.

Selain untuk pembiusan, narkotika sintetis ini biasanya diberikan oleh dokter kepada penyalahguna narkotika untuk menghentikan kebiasaannya yang tidak kuat melawan sugesti

(relaps) atau sakaw. Narkotika sintetis berfungsi sebagai ”pengganti sementara”. Bila benar-benar sudah bebas, asupan narkotika sintetis ini dikurangi sedikit demi sedikit sampai akhirnya berhenti total.

2. Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintetis, yang memiliki khasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas


(57)

pada aktifitas normal dan perilaku. Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati ganguan jiwa (psyche). Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 199724 bahwa psikotropika dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) Golongan yaitu :

a. Golongan I adalah psikotropika dengan daya yang sangat kuat, belum diketahui manfaatnya untuk pengobatan dan sedang diteliti khasiatnya,

Contohnya adalah MDMA, ekstasi, LSD, dan STP.

b. Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.

Contohnya adalah afetamin, metamfetamin, metakualon dan sebagainya.

c. Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi yang sedang serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.

Contohnya adalah lumibal, buprenorsina, fleenitrazepam dan sebagainya.

d. Golongan IV adalah psikotropika dengan daya adiksi ringan serta berguna untuk pengobatan dan penelitian.

Contohnya adalah nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam dan lain sebagainya.

3. Zat atau Bahan Adiktif lainnya.adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan ketergantungan.

contohnya : rokok, kelompok alkohol dan minuman lain yang dapat memabukkan dan menimbulkan ketagihan, thinner, dan zat-zat lain seperti lem kayu, aseton, cat, bensin dimana bila dihisap, dihirup,dan dicium dapat memabukkan.

Setelah Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diterbitkan dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sesuai Pasal 152 Undang-Undang RI no. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi semua


(58)

peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) pada saat Undang-Undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini dan Pasal 153.

Dengan berlakunya Undang-Undang ini maka :

1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan

2. Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.25

B. KETENTUAN PIDANA MENURUT UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA

1. Menurut Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika26

a. Pasal 60

1) Barangsiapa :

a) memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau

25

Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 26


(59)

b) memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau

c) memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). 3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain

yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan. b. Pasal 61

1) Barangsiapa :

a) mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, atau

b) mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau


(60)

c) melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4); dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

c. Pasal 62

Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

d. Pasal 63

1) Barangsiapa:

a) melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau

b) melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau

c) melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah).

2) Barangsiapa :

a) tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ; atau

b) mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau


(1)

Adapun hambatan yang dihadapi Polisi dalam penegakan hukum di lingkungan kampus bahwa belum adanya kerjasama antara Pihak Kampus (Rektor) dan Polisi dalam bentuk :37

1. Melakukan Penyuluhan Bahaya Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika.

2. Melakukan Test Urine secara berkala dan dadakan terhadap para mahasiswa atau mahasiswi dan security (satpam) kampus

3. Melakukan razia di kampus maupun disekitar kampus yang merupakan tempat-tempat para mahasiswa atau mahasiswi berkumpul.

4. Pembentukan Satgas Mahasiswa atau mahasiswi anti Narkotika di lingkungan kampus.

5. Kurangnya informasi dari pihak Kampus terhadap Mahasiswa atau mahasiswi yang diduga sebagai penyalahguna dan pengedar Narkotika.


(2)

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dalam bab-bab terdahulu dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

1. Narkotika adalah segolongan obat, bahan, atau zat, yang jika masuk ke dalam tubuh, berpengaruh terutama pada fungsi otak (susunan syaraf pusat) dan sering menimbulkan ketergantungan (adiktif).

2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3698) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; dan Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

3. Perlunya pembuatan MoU antara pihak Kampus (Rektorat) dengan Polisi khususnya Fungsi Reserse Narkotika dalam rangka kerjasama untuk melakukan pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dilingkungan Kampus, sehingga


(3)

penindakan terhadap para pelaku Tindak Pidana Narkotika yang berada di lingkungan kampus.

B. SARAN

Merujuk pada kesimpulan di atas, maka saran yang dapat dikemukakan adalah :

1. Perlunya diadakan penyuluhan tentang bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika kepada staf, dosen dan security (satpam) 2. Perlunya diadakan test urine terhadap penerimaan mahasiswa atau

mahasiswi baru dan test urine secara berkala dan dadakan

3. Perlunya pihak Kampus (Rektorat) menetapkan sanksi kepada mahasiswa atau mahasiswi yang positif urinenya mengandung Narkotika

4. Perlunya dibentuk Satgas Mahasiswa Anti Narkotika dilingkungan kampus.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Litelatur

A.Hamzah dan RM. Surachman, 1994, Kejahatan narkotika dan Psikotropika,

Jakarta :Sinar Grafika.

Dirjosisworo, Soedjono, 1990, Hukum narkotika di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Friedman, Lawrence M., 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc.

Lubis, M. Solly, 1989, Serba-serbi Politik dan Hukum, Bandung: Mandar Maju. Raharjo, Sajipto, 1983, Masalah Penegakan Hukum,Bandung: Sinar Baru.

Ruby Hardiati Jhony, 1985, diktat kuliah hukum pidana khusus Tindak Pidana Narkotika, Purwekerto: Fakultas Hukum.

Sadjijono, 2006, Hukum Kepolisian, Perspektif Kedudukan dan Hubungannya

dalam Hukum Administrasi, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Subagyo, Joko, 1993, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Remaja Rosda Karya.

Supramono, Gatot, 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, cetakan pertama, Jakarta: Djambatan.

____________, 2001, Hukum Narkotika Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Widjaya, A.W., 1995, Masalah Kenakalan Remaja dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung: Armico.


(5)

Utrecht, E., 1962, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Buku Ichtiar.

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika

Masalahnya, Cetakan Pertama, Jakarta: ELSAM dan HUMA.

2. Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

3. Internet

Singlesmilesoup.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-penyalahgunaan-narkoba. html? m=1 diakses tanggal 12 Maret 2015.

https://lerrytutufile.files.wordpress.com/2013/09/perkap-nomor-14-tahun-2012-tentang-manajemen-penyidikan-tindak-pidana, diakses tanggal 12 Maret 2015.

http://www.wikipedia.org/wiki/detoksifikasi, diakses tanggal 10 April 2015.


(6)

KOMPOL J. Silaban, Kasubbag Min Opsnal Bag Bin Opsnal Polda Medan, Wawancara Pribadi, Medan, 18 Mei 2015

AKBP Bajawato Zebua, Kabag Biopnal Polda Medan, Wawancara Pribadi, Medan, 23 April 2015.