Identifikasi Kalus Embriogenik pada BeberapaVarietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) dengan Pemberian 2,4D dan Kinetin pada Kondisi Hipoksia Secara In Vitro

DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2005. Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta. Hal 18-23.
Azriati, E., Asmeliza dan Yurmita, N., 2008. Respon Regenerasi Eksplan Kalus
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Terhadap Pemberian NAA Secara
In Vitro. Universitas Negeri Padang, Padang.
Darmayanti, F. 2007. Pengaruh Pemberian ZPT Terhadap Pertumbuhan Kalus
Kedelai. FMIPA Universitas Mulawarman. Samarinda.
Demiral, T dan Turkan, I., 2004. Comparative lipid peroxidation, antioxidant
defense systems and proline content in roots of two rice cultivars
differing in salt tolerance. Department of Biology Science Faculty
Ege University. Turkey.
Dwidjoseputro, D. 1987. Pengantar Fisiologi Tanaman. Gramedia. Jakarta.
Fernando J.A., Carneiro M.L., Geraldi I.O., and Appezzato-da- Gloria B. 2002.
Anatomical Study of Somatic Embryogenesis in Glycine max (L.)
Merill. Brazilian Archives of Biology and Technology 45 (3) : 277 –
286.
George EF and PD Sherrington. 1994. Plant Propagation by Tissue Culture.
Exegetics Limited. England.
Gullen, H dan Eris, A., 2003. Effect of heat stress on peroxidase activity and total
protein content in strawberry plants. Department of Horticulture
Faculty of Agriculture Uludag University. Turkey.

Gunawan, L.W. 1992. teknik Kultur jaringan tumbuhan. IPB-Press, Bogor.
Harahap, A., 2009. Pengaruh Umur Panen Terhadap Viabilitas dan Vigor Benih
serta Pertumbuhan Kecambah Tiga Varietas Kedelai (Glycine max (L.)
Merill). Universitas Sumatera Utara, Medan.
Henuhili, V., 2013. Kultur Jaringan Tanaman. Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta.
Irwan, A.W. 2006. Budidaya Tanaman
Kedelai (Glycine max (L.) Merill).
Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Jackson, M.B. & P.C. Ram. 2003. Physiological and Molecular Basis
Susceptibility and Tolerance of Rice Plants to Complete Submergence.
Annals of Botany. 91: 227-241. doi:10.1093/aob/mcf242

Universitas Sumatera Utara

Kemeterian Pertanian. 2015. Pedoman teknis pengelolaan produksi kedelai tahun
2015. Direktorat Budidaya Aneka Kacang dan Umbi. Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.
Komariah, A. 2008. Identifikasi Varietas Kedelai Toleran Terhadap Genangan.
Fakultas Pertanian Universitas Winajaya Mukti, Sumedang.

Laublin G, Saini HS and Cappadocia M. 1991. In Vitro Plant regeneration via
Somatic Embryogenesis from Root Culture of Some Rhizomatous
Irises. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 27, 15-21.
Lestari, E.G. 2007. Kultur Jaringan: Menjawab Persoalan Pemenuhan Kebutuhan
akan Peningkatan Kualitas Bibit Unggul dan Perbanyakannya secara
Besar-Besaran. Bogor (ID). Ganang Dwi Kartika Pr.
Lestari, E.G., 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman
melalui Kultur Jaringan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor.
Nanang, D. A. 2009. Optimasi Pengembangan Media untuk Pertumbuhan
Chlorella sp. pada Skala Laboratorium. Skripsi. Program studi Ilmu
dan teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Nopriani., I.Widiyawati, N. Gromokora., M.Engelbert. 2011. Pengamatan
Stomata Tanaman C3, C4, dan CAM. Intitiut Pertanian Bogor. Bogor.
Nursyamsi, 2010. Teknik Kultur Jaringan Sebagai Alternatif Perbanyakan
Tanaman untuk Mendukung Rehabilitasi Lahan. Balai Penelitian
Kehutanan Makassar, Makassar.
Ohorella, Z., 2011. Respon Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai pada
Sistem Olah Tanah yang Berbeda. Universitas Al Amin

Muhammadiyah Sorong, Papua Barat
Rubatzky, V. E. Dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 2 : Prentice-Hall, Inc,
New York.
Sari, W., 2009. Aktivitas Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase pada Kalus
Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) Setelah Diinduksi Kolkisin.
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Sastrosumarjo, S. 2006. Panduan laboratorium, hal. 38 - 63. Dalam
S.Sastrosumarjo (Ed.) Sitogenetika Tanaman. IPB Press. Bogor.
Serres, J. B dan Voesenek, L.A C. J. 2008. Flooding Stress: Acclimations and
Genetic Diversity. Plant Ecophysiology, Institute of Environmental
Biology, Utrecht University, Natherlands.

Universitas Sumatera Utara

Steenis, C. G. G. J. V. 2005. Flora. PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Suprapto, H.S. 2001. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutrian, Y. 2004. Pengantar Anatomi Tumbuh-Tumbuhan. Rineka Cipta. Jakarta
Suwignyo, R.A. 2007. Ketahanan Tanaman Padi terhadap Kondisi Terendam:
Pemahaman terhadap Karakter Fisiologis untuk Mendapatkan Kultivar
Padi yang Toleran di Lahan Rawa Lebak. Fakultas Pertanian

Universitas Sriwijaya, Palembang.
Tabin, A. 2010. Petunjuk Praktek Mikrobiologi Hasil Pertanian 2. Jakarta:
Departemen Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan.
Wawan, A., 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merill).
Universitas Padjajaran, Bandung.
Wulandari, S., 2009. Aktivitas Enzim Peroksidase dan Polifenol Oksidase pada
Kalus Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) Setelah Diinduksi
EMS (Ethyl Methane Sulphonate). Universitas Sumatera Utara,
Medan.

Universitas Sumatera Utara

BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Percobaan
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan pada bulan Maret 2016 sampai
dengan selesai.
Bahan dan Alat
Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan eksplan:
biji kedelai yang diperoleh dari koleksi Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang meliputi benih kedelai varietas

Baluran, Gepak kuning dan Willis Media yang digunakan yaitu media Murashige
and Skoog, zat pengatur tumbuh 2,4 D dan Kinetin, agar, aquades steril, bahan
sterilisasi alat dan bahan yaitu detergen, alkohol 70%, klorox 10%, betadine,
dithane, dan benlate. Bahan buffer pH yaitu NaOH 0,1 N dan HCL 0,1 N.
Aluminium foil digunakan untuk menutup botol kultur. Bahan kimia untuk
analisis histologi kalus embriogenik yaitu larutan FAA, butanol, lilin paraplast,
safranin 1%. Bahan kimia untuk identifikasi kalus embriogenik toleran genangan
yaitu larutan MS cair tanpa perlakuan, bahan larutan analisa klorofil yaitu aseton
85%, kertas saring; bahan analisa protein yaitu H2SO4

pekat katalis

(CuSO4:K2SO4 dengan perbandingan 1:1), akuades, NaOH 40% metil merah
0,02%, metil biru 0,02% dan alkohol; bahan larutan analisa enzim SOD yaitu
PVPP, nitrogen cair, buffer ekstrak, buffer pottasium phospate, EDTA, LMethionin, NBT dan riboflavin; bahan larutan analisa Enzim POD yaitu PVPP,
nitrogen cair, CaCl, fenol, Amino antiphirine dan buffer MES Ph 6.

Universitas Sumatera Utara

Alat yang akan digunakan dalam penilitian ini meliputi alat-alat gelas:

gelas piala, gelas ukur, erlenmeyer, cawan petri, batang pengaduk, botol kultur,
alat-alat diseksi (scalpel, pinset, gunting, Laminar Air Flow Cabinet, timbangan
analitik, pipet), alat sterilisasi (autoklaf, lampu spiritus, dan penyemprot alkolhol
(hand sprayer) pH meter, lemari pendingin, rak kultur, alat pemotret,
thermometer, lampu louresence, lux meter, kertas label, kertas payung, kertas
lakmus, hot plate, kertas lakmus, hot plate, kertas tissue, korek, aluminium foil
dan

bekerglass.

Alat-alat

perkecambahan:

botol

kaca

sebagai


wadah

perkecambahan, botol plastik sebagai wadah penuangan air genangan pada botol
kaca kecambah.
Metode Penelitian
Penelitian ini meliputi dua kegiatan yang dilakukan secara bertahap, yaitu
pembentukan kalus embriogenik dan identifikasi kalus embriogenik toleran
genangan. Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap
(RAL) faktorial terdiri dari tiga faktor yaitu sebagai berikut :
Faktor I : Verietas yang diuji.
D1 : Baluran
D2 : Gepak Kuning
D3 : Willis
Faktor II : Media dengan Zat Pengatur Tumbuh yang diuji
K1 : 5 mg/L 2,4 D

+

0 mg/L kinetin


K2 : 10 mg/L 2,4 D

+

0,5 mg/L kinetin

K3 : 15 mg/L 2,4 D

+

1 mg/L kinetin

Universitas Sumatera Utara

Faktor III : Proses Hipoksia
P1 : Tanpa Penggenangan
P2 : Perlakuan penggenangan Ms 0 pada tiap botol Kultur dengan taraf dan
konsentrasi yang sama
Kombinasi Perlakuan ada 12, yaitu
D1K2P1 D1K2P2 D1K3P1 D1K3P2

D2K2P1 D2K2P2 D2K3P1 D2K3P2
D3K2P1 D3K2P2 D3K3P1 D3K3P2
Jumlah ulangan : 3 Ulangan
Jumlah perlakuan : 12 Kombinasi
Jumlah Varietas : 3 Varietas
Jumlah eksplan tiap tabung uji : 1 Tanaman
Jumlah seluruh eksplan : 36 Eksplan
Jumlah seluruh Botol : 36 Botol Kultur
Jumlah sampel/Botol : 1 Sampel
Data hasil penelitian dianalisis dengan sidik ragam model sebagai berikut :
Yijkl = µ + αi + βj + γk + (αβ)ij + (αγ)ik + (βγ)jk + (αβγ)ijk + εijkl
i = 1, 2, 3

j = 2, 3

k= 1, 2

l = 1, 2, 3

Dimana :

Yijkl = nilai pengamatan sampel ke-l yang memperoleh kombinasi perlakuan ke-i
(taraf perlakuan faktor V), ke-j (taraf perlakuan faktor A) dan ke-k (taraf
perlakuan faktor P);
μ = rataan umum
αi = pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor V

Universitas Sumatera Utara

βj = pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor A
γk = pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor P
(αβ)ij = interaksi taraf ke-i faktor V dan taraf ke-j faktor A
(αγ)ik = interaksi taraf ke-i faktor V dan taraf ke-k faktor P
(βγ)jk = interaksi taraf ke-j faktor A dan taraf ke-jk faktor P
(αβγ)ijk = interaksi taraf ke-i faktor V; taraf ke-j faktor A dan taraf ke-k faktor P
εijkl = pengaruh galat percobaan pada sampel ke-l yang memperoleh kombinasi
perlakuan ke-ijk
Jika perlakuan ( Varietas yang diuji, jenis ZPT auksin dan interaksi) berbeda
nyata dalam sidik ragam maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan
(DMRT) dengan taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 2007). Analisis dilakukan
menggunakan software Costat for Window.

Pelaksanaan Penelitian
Tahap 1: Pembentukan Kalus Embriogenik
Sterilisasi Alat
Untuk menghindari kontaminasi dalam kultur jaringan alat-alat yang
digunakan dilakukan sterilisasi. Semua alat seperti botol kultur, petridis, gelas
ukur, erlenmeyer, cawan petri, pipet ukur, pinset, scalpel, dan alat-alat gelas
lainnya terlebih dahulu direndam dalam deterjen dicuci bersih dan dibilas dengan
air mengalir, selanjutnya dikeringkan. Kemudian alat-alat seperti scalpel, pipet
ukur, pinset dan cawan petri dibungkus dengan kertas sampul coklat, sedangkan
untuk erlenmeyer dan gelas ukur untuk permukaannya ditutup dengan aluminium
foil. Setelah itu, semua botol kultur dan alat-alat dimasukkan kedalam autoclave

Universitas Sumatera Utara

pada tekanan 17.5 psi, dengan suhu 121 0C selama 60 menit. Kemudian alat-alat
tersebut dimasukkan ke dalam oven kecuali botol kultur.
Pembuatan Media
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media MS dengan
menggunkan zat pengatur tumbuh yaitu 2,4D dan Kinetin dengan konsentrasi
5mg/l 2,4D; 10mg/l 2,4D+ 0,5 mg/l kinetin dan 15 mg/l 2,4D+ 1 mg/l kinetin.
Perhitungan dilakukan seberapa banyak media yang akan dibuat sehingga stock
yang akan diambil untuk dicampurkan dapat diketahui dan dituliskan volume
masing-masing stock yang akan dipipet. Media dibuat dalam 1 L, semua stock
media disiapkan diatas meja kerja dari porselin.
Untuk membuat media 1 liter, dituangkan aquadest 500 ml dalam gelas
beker 1 liter, dengan batang magnetic di dalamnya. Ditimbang dan ditambahkan
30 g glukosa, 1 ml dari stok vitamin + 100 mg Myo-inositol. Dan ditambahkan
10 ml dari setiap maisng-masing larutan stok NH4NO3, KNO3, Na2 EDTA. &
FeSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, KH2PO4 dan 10 ml untuk larutan stok mikro.
Setelah itu ditambahkan zat pengatur tumbuh pada masing-masing perlakuan yang
digunakan sebanyak 10 ml. Dijadikan volume larutan hingga mendekati tanda
1 liter dengan menambahkan aquadest, diukur pH pada 5.6-5.8. Lalu dituang
medium ke dalam erlenmeyer 2 liter dan ditambahkan agar 8-10 g. Dipanaskan
hingga agar larut. Setelah itu ditunggu hingga larutan tampak bening maka larutan
siap untuk dijadikan larutan media.
Didiamkan beberapa saat terlebih dahulu larutan media yang telah di
hot plate. Sambil menunggu larutan media dingin botol kultur yang sudah
disterilkan disiapkan dan aluminium foil dipotong sesuai dengan ukuran mulut

Universitas Sumatera Utara

botol. Lalu larutan media yang sudah dingin dimasukkan kedalam botol kultur dan
ditutup dengan aluminium foil. Media disterilisasi dengan autoclave pada 15 psi,
121 oC selama kurang lebih 30 menit. Setelah itu media didinginkan didalam
laminar dan disimpan di kulkas.
Persiapan Ruang Kultur
Seluruh permukaan Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) sebelumnya
dibersihkan terlebih dahulu dan disemprot menggunakan alkohol 70% kumudian
dilap. Lalu blower dihidupkan dan disterilkan dengan sinar ultra violet selama
1 jam sebelum proses penanaman dilakukan, semua alat yang akan dipakai harus
disemprot dengan alkohol 70% sebelum dimasukkan ke dalam Laminar Air Flow
Cabinet (LAFC).
Sterilisasi Eksplan
Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kedelai
varietas Baluran, Detam-1 dan Gepak kuning. Benih kedelai yang digunakan
sebaiknya bermutu tinggi baik secara genetik, fisik dan fisiologi. Daya tumbuh
tinggi yaitu lebih dari 90% dan toleransi terhadap genangan.
Sterilisasi eksplan dilakukan dengan perendaman benih kedelai tersebut
selama 50 menit. Biji-biji kedelai kemudian direndam 30 menit dengan deterjen
sambil digojok, setelah itu dibilas dengan air mengalir sebanyak 3 kali. Pekerjaan
selanjutnya dilakukan di Laminar Air Flow Cabinet (LAFC) yang sudah
disterilkan dengan alkohol 70%. Eksplan yang sudah bersih direndam dalam
larutan fungisida Dithane M-45 2 g/L, kemudian digojok selama 30 menit,
selanjutnya dibilas dengan aquadest steril minimal sebanyak 3 kali. Eksplan
direndam dalam larutan Chlorox 10% selama 15 menit sambil digojok, kemudian

Universitas Sumatera Utara

dibilas dengan aquadest steril minimal 3 kali. Eksplan direndam dengan larutan
Betadine 55 selama 10 menit sambil digojok kemudian dibilas dengan aquadest
minimal sebanyak 3 kali.
Penanaman
Penanaman eksplan dilakukan di LAF yang telah disterilkan dengan
alkohol 70%. Eksplan yang akan di tanam adalah kotiledon kedelai, Eksplan yang
akan dikulturkan kedalam media tanam diletakkan di petridish, dimana kotiledon
dipisahkan dari bagian embrio. Kemudian eksplan ditanamkan ke dalam botol
median sesuai dengan perlakuan. Setiap botol media sesuai dengan perlakuan.
Setiap botol kultur terdiri dari 1 eksplan. Botol kultur diletakkan di Rak Kultur
dibawah cahaya.
Pemeliharaan
Botol-botol kultur yang telah ditanami eksplan pada rak-rak kultur
didalam ruangan kultur setiap hari disemprot dengan alkohol 70% agar bebas dari
mikroorganisme (bakteri dan jamur) yang menyebabkan terjadinya kontaminasi.
Suhu ruang kultur yang digunakan adalah 18-22 0C dan intensitas cahaya sebesar
2000 lux.
Tahap 2: Identifikasi Kalus Toleran Genangan
Aplikasi Penggenangan terhadap Kalus
Identifikasi kalus dilakukan secara 2 tahap, yaitu tahap 1 sebelum
dilakukan aplikasi penggenangan dan tahap 2 yaitu setelah dilakukan aplikasi
penggenangan.
Perlakuan penggenangan dilakukan dengan memberikan media MS
kosong cair pada kalus yang tumbuh sampai kalus tertutupi oleh media tersebut

Universitas Sumatera Utara

selama 48 jam. Proses penggenangan kalus dapat dilihat dari Gambar. 1 dibawah
ini.

Gambar 1. Proses Penggenangan Kalus
Pengukuran Kadar Klorofil (mg/l)
Pengukuran kandungan klorofil total menggunakan metode Arnon (1949)
diukur dengan spektrofotometri. Kalus segar digerus dengan mortar kemudian
serbuk kalus diukur beratnya sebanyak 1g. Sampel yang sudah digerus kemudian
diekstraksi dengan 100 ml aseton 85%. Lalu didiamkan selama 1 malam didalam
kulkas. Ekstrak tersebut disaring dengan kertas saring. Filtrat yang didapat
ditempatkan didalam cuvet untuk selanjutnya diukur kandungan klorofil total
dengan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 645 nm dan 663
nm. Kadar klorofil total dihitung dengan rumus:
Klorofil Total = 8,02 (A.663) + 20,2 (A.645) mg/l
Analisis Total Protein (mg/l)
Analisis Total Protein menggunakan metode Bradford (1976) yaitu
bahan yang digunakan adalah serum lateks sebanyak 0,1 ml yang dimasukkan
kedalam 1 ml buffer ekstrak yang kemudian disentrifugasi dengan kecepatan
10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4°C. Reagen Bradford dibuat
dengan cara menimbang 0.01 g coomasie brilian blue (CBB) G‐250.

Universitas Sumatera Utara

Campuran dilarutkan kedalam 5 ml etanol 98% , lalu ditambahkan 10 ml
asam fosfor 85%. Campuran dihomogenkan (dikocok kuat) lalu disaring
dengan kertas saring dan disimpan dalam botol gelap dan suhu rendah. Stok
pereaksi Bradford harus diencerkan 5 kali sebelum digunakan.
Larutan standar protein dibuat dengan menimbang 0,01 g BSA
(bovine serum albumin) yang kemudian ditambahkan 10 ml buffer ektraks
sehingga diperoleh larutan stok BSA dengan konsentrasi 1000 ppm.
Kemudian larutan stok konsentrasi 1000 ppm diencerkan dengan melarutkan
0,5 ml larutan stok dilarutkan dengan ditambahkan 4,5 ml buffer ektraks
sehingga diperoleh larutan stok BSA 100 ppm.
Larutan

stok

tersebut digunakan membuat kurva standar dengan

konsentrasi 0, 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 ppm. Pengukuran
standar protein dengan menambahkan 0.05 ml seri larutan standar dengan
2.5 ml reagen Bradford. Kemudian larutan divortex dan di inkubasi pada
suhu ruang selama 10‐60 menit. Larutan ini memberikan warna biru dan
dibaca pada panjang gelombang 595 nm. Dengan menggunakan regresi
linear, akan didapatkan persamaan matematik untuk larutan standar protein.
Pengukuran sampel dilakukan dengan cara menambahkan 0.05 ml
ekstrak enzim kasar dengan 2.5 ml reagen Bradford divortex dan diinkubasi pada
suhu ruang selama 10‐60 menit. Absorbansi Larutan sampel protein dibaca
pada panjang gelombang 595 nm (Anam, 2011).
Analisis Enzim Peroksidase (unit/mg/l protein)
Dimasukkan kedalam tube lateks sebanyak 1,5 ml dari masing-masing
sampel, kemudian di sentrifuse selama 15 menit dengan suhu 40C dan kecepatan

Universitas Sumatera Utara

10.000 rpm. Kemudian diambil gumpalan lateks tersebut menggunakan pinset dan
akan menyisakan serum. Selanjutnya diambil serum menggunakan mikropipet
sebanyak 0,1 ml dan ditambahkan kedalam tube yang berisi 1 ml CaCl2 (1:10).
lalu dihomogenkan menggunakan sentrifius dengan kecepatan 10000 rpm, dengan
suhu 4°C selama 15 menit. Pembuatan Larutan A phenol-aminoantipirine (larutan
fenol 810 mg dan amino antiphirine 25 mg dalam 50 ml air) dan larutan B dengan
mencampurkan 30% H2O2 ditambahkan dengan larutan Buffer MES pH 6
perbandingan 1:100 dengan konsentrasi akhir 0.01M. Larutan A dan B tidak dapat
dijadikan larutan stok. Pengukuran POD menggunakan spektrofotometer UV/Vis
dengan menambahkan 1.4 ml larutan A dan 1.5 ml larutan B kedalam kuvet 3 ml
yang lalu ditambahkan 200 µl ekstrak kedalam kuvet lalu aduk.Diukur pada
absorban 510 nm Perhitungan aktifitas peroksidase dihitung dengan rumus :
A510 = Af – Ai
A510 = unit POD dengan panjang gelombang 510 nm
Af = pembacaan peroksidase akhir (final)
Ai = pembacaan peroksidase awal (initial)
Unit POD
Aktivitas enzim peroksidase =
Protein terlarut
(Sumber : SOP. Plant Peroxidase Activity Determination, 1994).
Analisis Enzim SOD (unit/mg/L protein)
Aktivitas SOD dianalisis berdasarkan metode yang dikembangkan oleh
Beauchamp and Fridovich (1971). Aktivitas SOD diperoleh dengan membagi unit
SOD dengan kadar protein ditentukan sesuai dengan metode Bradford (1976)
(Lampiran 5) sebagaimana terlihat dalam rumus:

Universitas Sumatera Utara

Aktivitas SOD =

unit SOD
g protein

Peubah Amatan
Persentase Eksplan Membentuk Kalus Embriogenik (%)
Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian pembentukan kalus
embriogenik dengan menghitung jumlah eksplan membentuk kalus.
Persentase eksplan membentuk kalus =

x 100 %

Warna Kalus
Pengamatan dilakukan secara visual terhadap penampakan kalus. Dimana
warna kalus diamati pada tiap perlakuan dalam suatu botol kultur.
Tekstur Kalus
Pengamatan dilakukan secara visual terhadap penampakan kalus. Tekstur
kalus yang diamati yaitu kalus yang remah/friable dan kalus kompak.
Berat Bobot Kalus Total (g)
Bobot segar kalus total ditimbang pada akhir pengamatan pertumbuhan
yaitu pada umur 8 MST dengan cara menimbang kalus dengan timbangan analitik
pada tiap perlakuan dalam satu botol kultur.
Pengukuran Kandungan Klorofil (mg/l)
Kandungan klorofil diukur pada akhir identifikasi kalus embriogenik
toleran genangan. Pengukuran kadar klorofil secara spektrofotometrik didasarkan
pada hukum Lamber – Beer. Metode yang dilakukan untuk menghitung kadar
klorofil pada penelitian ini adalah Metode Arnon (1949), dalam Kumianjani
(2015) yaitu dengan menggunakan palarut aceton 85 % dan mengukur nilai
absorbansi larutan klorofil pada panjang gelombang (λ) = 663 dan 645 nm.

Universitas Sumatera Utara

Pengukuran Total Protein (mg/l)
Konsentrasi total protein (mg/l) diukur pada akhir identifikasi kalus
embriogenik

toleran

genangan.

Pengukuran

konsentrasi

total

protein

menggunakan metode Bradford (1976). Absorbansi Larutan sampel protein
dibaca pada panjang gelombang 595 nm.
Pengukuran Enzim Peroksidase (unit/mg/l protein )
Pengukuran aktivitas enzim peroksidase diukur pada akhir identifikasi
kalus embriogenik toleran genangan. Pengukuran ini menggunakan Standart
Operating Procedures (1994) yang dimodifikasi dengan mengukur absorbansi
larutan sampel kemudian dibaca oleh spektrofotometer pada panjang gelombang
510 nm menggunakan spektrofotometer UV-Vis, diukur pada 0 detik dan 60 detik
setelah didiamkan. Aktivitas satu unit enzim peroksidase dapat dilihat
peningkatan absorbansi 0,01/menit.
Aktivitas enzim superoksida dismutase (unit/mg/l protein)
Pengukuran aktivitas enzim SOD diukur pada akhir identifikasi kalus
embriogenik toleran genangan. Pengukuran ini menggunakan metode Beauchamp
and Fridovich (1971) yang dimodifikasi dengan mengukur absorbansi larutan
sampel kemudian dibaca oleh spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
560 nm. Satu unit aktivitas SOD didefenisikan sebagai aktivitas SOD mg protein.

Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tahap I. Pembentukan Kalus Embriogenik
Persentase Pertumbuhan Kalus (%)
Hasil penelitian menunjukkan persentase pertumbuhan kalus untuk
varietas Baluran (D1K1, D1K2, D1K3) adalah 0% dikarenakan semua eksplan
tidak tumbuh. Sedangkan untuk varietas Gepak Kuning (D2K1, D2K2, D2K3)
dan Varietas Willis (D3K1, D3K2, D3K3) memiliki tingkat persentase
pertumbuhan kalus adalah 100%.
Keadaan Visual Kalus
Data

hasil

pengamatan

terhadap

keadaan

visual kalus pada setiap

perlakuan dapat di lihat pada Gambar 2.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 2. (a) Perlakuan D2K1 menghasilkan kalus berwarna putih kekuningan
dengan tekstur kompak dan tipe perkembangan globular.
(b) Perlakuan D2K2 menghasilkan kalus berwarna putih dengan
tekstur kompak dan tipe perkembangan globular.
(c) Perlakuan D2K3 menghasilkan kalus berwarna putih kekuningan
dengan tekstur kompak dan tipe perkembangan globular.

Universitas Sumatera Utara

(d) Perlakuan D3K1 menghasilkan kalus berwarna coklat dengan
tekstur kompak dan tipe perkembangan globular.
(e) Perlakuan D3K2 menghasilkan kalus berwarna putih dengan
tekstur kompak dan tipe perkembangan globular.
(f) Perlakuan D3K3 menghasilkan kalus berwarna putih kekuningan
dengan tekstur kompak dan tipe perkembangan globular.
Bobot Kalus (g)
Hasil uji beda rataan berat bobot kalus dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan hasil sidik ragam diketahui bahwa varietas, zat pengatur tumbuh dan
penggenangan berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot kalus.
Tabel 1. Berat Bobot Kalus (gram)
Perlakuan

Rataan

Varietas
D2 (Gepak Kuning)

4,75 a

D3 (Willis)

4,36 b

Zat Pengatur Tumbuh
K1 (5 mg/l 2,4D)

4,15 b

K2 (10 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l kinetin)

4,36 b

K3 (15 mg/l 2,4D + 1 mg/l kinetin)

5,16 a

Penggenangan
P1 (Tanpa Penggenangan)

4,27 b

P2 (Penggenangan dengan MS 0 cair)
4,84 a
Keterangan : - angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris dan
kolom yang sama menunjukkan pengaruh nyata pada uji DMRT
pada taraf kepercayaan 5% pada kolom atau baris yang sama
Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, diketahui bahwa varietas
Gepak Kuning memiliki nilai rataaan tertinggi yaitu 4,75 g berbeda nyata dengan
varietas Willis dengan nilai rataan lebih rendah yaitu 4,36 g. Pada faktor zat
pengatur tumbuh dapat dilihat bahwa rataan bobot kalus tertinggi pada perlakuan
K3 yaitu 5,16 g dan terendah pada perlakuan K1 yaitu 4,15 g. Hasil pengamatan
sidik ragam pada faktor penggenangan menunjukkan bahwa P1 berbeda nyata
dengan P2 yang memiliki nilai rataan tertinggi yaitu 4,84 g.

Universitas Sumatera Utara

Tahap 2. Identifikasi Kalus Embriogenik Toleran Genangan
Nilai Total Protein (mg/l)
Data pengamatan dan sidik ragam dari nilai total protein dapat dilihat pada
Lampiran 8. sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara varietas dan zat
pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap nilai total protein. Interaksi nilai
total protein tertinggi terdapat pada perlakuan D3K3 yaitu 243,66 mg/l sedangkan
interaksi nilai total protein terendah terdapat perlakuan D2K3 yaitu 174,50 mg/l..
Hasil uji beda rataan konsentrasi protein dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Interaksi rataan nilai total protein antara varietas dan zat pengatur tumbuh
Perlakuan
D2 (Gepak Kuning)

K1

K2

K3

Rataan

197,35 ab

199,41 ab

174,50 b

190,42

D3 (Willis)

189,76 b

199,59 ab

243,66 a

211,00

Rataan
193,55
199,50
209,08
200,71
Keterangan : - angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada
taraf 5%
- Perlakuan K1= 5 mg/l 2,4D; K2= 10 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l
kinetin; K3= 15 mg/l 2,4D+ 1 mg/l kinetin.
Berdasarkan Tabel 2. dapat dilihat bahwa interaksi rataan nilai total
protein pada perlakuan D3K3 berbeda nyata dengan interaksi perlakuan D3K1
dan D2K3. Sedangkan perlakuan D3K3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan
D2K1, D2K2 dan D3K2. Sidik ragam menunjukkan bahwa baik varietas, zat
pengatur tumbuh dan penggenangan tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap nilai total protein (mg/l).
Aktivitas Enzim SOD (unit/mg/l protein)
Hasil pengamatan dan sidik ragam dari aktivitas enzim SOD dapat dilihat
pada Lampiran 9. Berdasarkan pengamatan sidik ragam menunjukkan bahwa baik
zat pengatur tumbuh maupun penggenangan, keduanya menunjukkan pengaruh

Universitas Sumatera Utara

yang nyata terhadap aktivitas enzim SOD namun tidak ada dari interaksi serta
varietas yang menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas enzim SOD.
Tabel rataan terhadap aktivitas enzim SOD dapat dilihat dari Tabel 3.
Tabel 3. Tabel Rataan Aktivitas Enzim SOD (unit/mg/l protein)
Perlakuan

Rataan

Varietas
D2 (Gepak Kuning)

0,80 a

D3 (Willis)

0,92 a

Zat Pengatur Tumbuh
K1 (5 mg/l 2,4D)
K2 (10 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l kinetin)

1,09 a
0,69 b

K3 (15 mg/l 2,4D + 1 mg/l kinetin)

0,80 b

Penggenangan
P1 (Tanpa Penggenangan)

1,01 a

P2 (Penggenangan dengan MS 0 cair)
0,71 b
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada taraf
5%
Berdasarkan hasil pengamatan pada parameter uji aktivitas SOD
menunjukkan rataan tertinggi pada varietas terdapat pada varietas Willis (0.92
unit/mg/l protein). Nilai rataan dari faktor zat pengatur tumbuh tertinggi yaitu
dengan penggunaan konsentrasi K1= 5 mg/l 2,4 D (1,09 unit/mg/l protein)
berbeda nyata dengan K2 dan K3. Faktor

perlakuan penggenangan sendiri

memiliki rataan tertinggi pada perlakuan tanpa penggenangan (1,01 unit/ppm)
berbeda nyata dengan perlakuan dengan penggenangan MS 0 cair.
Aktivitas Enzim POD (unit/mg/l protein)
Berdasarkan pengamatan sidik ragam terhadap aktivitas enzim POD
menunjukkan bahwa penggenangan menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap
aktivitas enzim SOD serta interaksi dari varietas dan zat pengatur tumbuh juga

Universitas Sumatera Utara

menunjukkan pengaruh nyata terhadap aktivitas enzim POD. Tabel rataan
terhadap aktivitas enzim SOD dapat dilihat dari Tabel 4.
Tabel 4. Tabel Rataan Aktivitas Enzim POD (unit/mg/l protein)
Perlakuan

Rataan

Varietas
D1 (Gepak Kuning)
0,45 a
D2 (Willis)
0,56 a
Zat Pengatur Tumbuh
K1 (5 mg/l 2,4D)
0,41 a
K2 (10 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l kinetin)
0,64 a
K3 (15 mg/l 2,4D + 1 mg/l kinetin)
0,47 a
Penggenangan
P1 (Tanpa Penggenangan)
0,65 a
P2 (Penggenangan dengan MS 0
0,36 b
cair)
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada taraf
5%.
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa varietas Willis memiliki rataan
tertinggi yaitu 0,56 unit/mg/l protein. Dari faktor zat pengatur tumbuh diketahui
bahwa K2 merupakan perlakuan dengan rataan tertinggi yaitu 0,64 unit/mg/l
protein. Pada perlakuan penggenangan diketahui bahwa P1 berbeda nyata dengan
P2 dengan rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu 0,65 unit/mg/l
protein.
Pengamatan sidik ragam terhadap interaksi antara varietas dan zat
pengatur tumbuh menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas enzim
POD. Interaksi antara varietas dan zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada Tabel
4.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 5. Interaksi rataan aktivitas enzim POD antara varietas dan zat pengatur
tumbuh
Perlakuan
D2 (Gepak Kuning)

K1

K2

K3

Rataan

0,91 c

0,86 c

1,12 ab

0,89

D3 (Willis)

0,97 bc

1,22 a

0,82 c

1,09

Rataan
0,94
1,04
0,97
0,99
Keterangan : - angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang
sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan
pada taraf 5%
- Perlakuan K1= 5 mg/l 2,4D; K2= 10 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l
kinetin; K3= 15 mg/l 2,4D+ 1 mg/l kinetin.
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa interaksi rataan aktivitas enzim
POD tertinggi diperoleh pada perlakuan D3K2 yaitu 1,22 unit/mg/l protein dan
rataan terendah yaitu pada perlakuan D3K3 0,82 unit/mg/l protein. Perlakuan
D3K2 tidak berbeda nyata dengan D2K3 tetapi berbeda nyata dengan D3K1,
D2K1, D2K2 dan D3K3.
Klorofil Total (mg/l)
Pengamatan sidik ragam terhadap klorofil total (mg/l) menunjukkan
bahwa varietas dan penggenangan berpengaruh nyata terhadap nilai klorofil total.
Interaksi antara varietas dan zat pengatur tumbuh juga menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap nilai klorofil total. Hasil pengamatan dan sidik ragam dari
aktivitas enzim SOD dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan Tabel 6 dapat
dilihat bahwa varietas Gepak Kuning memiliki rataan nilai klorofil total tertinggi
yaitu 4,51 mg/l dan berbeda nyata dengan varietas Willis dengan nilai rataan
klorofil total 4,00 mg/l. Berdasarkan faktor zat pengatur tumbuh, dapat dilihat
bahwa K1 tidak berbeda nyata dengan K2 dan K3. Nilai rataan klorofil total
tertinggi merupakan pada perlakuan K3 yaitu 4,46 mg/l. Pada faktor
penggenangan menunjukkan bahwa P1 berbeda nyata dengan P2 dimana nilai

Universitas Sumatera Utara

rataan total klorofil tertinggi yaitu pada perlakuan tanpa penggenangan (P1) yaitu
4,63 mg/l.
Tabel 6. Tabel Rataan Klorofil Total (mg/l)
Perlakuan

Rataan

Varietas
D1 (Gepak Kuning)
D2 (Willis)

4,51 a
4,00 b

Zat Pengatur Tumbuh
K1 (5 mg/l 2,4D)
4,17 a
K2 (10 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l kinetin)
4,14 a
K3 (15 mg/l 2,4D + 1 mg/l kinetin)
4,46 a
Penggenangan
P1 (Tanpa Penggenangan)
4,63 a
P2 (Penggenangan dengan MS 0 cair)
3,88 b
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada taraf
5%.
Hasil pengamatan sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara
varietas dan zat pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap nilai klorofil total
(mg/l). Nilai interaksi rataan antara varietas dan zat pengatur tumbuh dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Interaksi rataan klorofil total antara varietas dan zat pengatur tumbuh
Perlakuan

K1

K2

K3

Rataan

D2 (Gepak Kuning)

4,74 a

4,04 ab

4,75 a

4,51

D3 (Willis)

3,60 b

4,23 ab

4,17 ab

4,00

Rataan
4,17
4,14
4,46
4,26
Keterangan : - angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama
menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Duncan pada
taraf 5%
- Perlakuan K1= 5 mg/l 2,4D; K2= 10 mg/l 2,4D + 0,5 mg/l kinetin;
K3= 15 mg/l 2,4D+ 1 mg/l kinetin

Universitas Sumatera Utara

Dari tabel diatas diketahui bahwa perlakuan D2K1 merupakan interaksi
rataan klorofil total tertinggi yaitu 4,23 mg/l. Perlakuan D2K1 tidak berbeda nyata
dengan D2K3, D2K2, D2K3 dan D3K3 tetapi berbeda nyata dengan D3K1.
Pembahasan
Berdasarkan persentase pertumbuhan, kalus Baluran memiliki nilai 0 %.
Sedangkan Varietas Gepak Kuning dan Willis memiliki persentase pertumbuhan
100%. Menurut Liptan (2000) pada umumnya tanaman memiliki perbedaan
fenotip dan genotip yang sama. Perbedaan varietas cukup besar mempengaruhi
perbedaan sifat dalam tanaman. Keragaman penampilan tanaman terjadi akibat
sifat dalam tanaman (genetik) atau perbedaan lingkungan kedua-duanya.
Perbedaan susunan genetik merupakan salah satu faktor penyebab keragaman
penampilan tanaman.
Indikator pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro berupa warna dan
tekstur kalus menggambarkan penampilan visual kalus sehingga dapat diketahui
kalus yang masih memiliki sel-sel yang aktif membelah atau telah mati.
Berdasarkan hasil penelitian, warna kalus pada perlakuan D2K1 untuk setiap
ulangan umumnya menunjukkan warna putih, perlakuan D2K2 menghasilkan
kalus yang berwana putih kekuningan, pada perlakuan D2K3 kalus yang
dihasilkan pada ketiga ulangan umumnya berwarna cokelat. Pada ketiga ulangan,
perlakuan D3K1 dan D3K2 umumnya menghasilkan warna kalus putih sementara
itu pada perlakuan D3K3 menghasilkan warna kalus putih kekuningan.
Berdasarkan penelitian Purnamaningsih dan Misky (2011) menyatakan bahwa
warna kalus yang masih menunjukkan warna kekuningan menunjukkan bahwa
kalus tersebut masih aktif berdiferensiasi. Kalus yang berwarna kecoklatan

Universitas Sumatera Utara

menandakan bahwa kalus mulai mengalami oksidasi dan gejala browning
(pencoklatan) menyebabkan perkembangan kalus menjadi lambat, sehingga
proses diferensiasi sel juga berjalan lambat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tekstur kalus dari seluruh perlakuan
menghasilkan tekstur yang kompak (Gambar. 3). Menurut George and
Sherrington (1984) jenis auksin yang sama menyebabkan tipe kalus menjadi
homogen serta jenis auksin akan mempengaruhi tipe kalus bila di subkultur.
Berdasarkan tekstur dan komposisi selnya, kalus dapat dibedakan menjadi
kalus yang kompak dan remah. Tekstur kalus yang kompak dianggap baik
karena dapat mengakumulasi metabolit sekunder lebih banyak. Penelitian
Sugiyarto dan Paramita (2014) menyatakan bahwa kalus yang baik untuk
digunakan sebagai bahan penghasil metabolit sekunder yaitu memiliki tekstur
kompak (non friable). Kalus kompak

mempunyai tekstur padat dan keras,

yang tersusun dari sel-sel kecil yang sangat rapat, sedangkan kalus remah
mempunyai tekstur lunak dan tersusun dari sel-sel dengan ruang antar sel
yang banyak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap perlakuan mengahasilkan
kalus yang mempunyai tipe perkembangan globular. Pada Gambar 3. dapat dilihat
bahwa setiap kalus mengalami pembentukan embriogenik pada fase globular. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Dodeman (1997) yang menyatakan bahwa
perkembangan sel-sel embriogenik ditandai ketika sebagian besar dari sel-sel
mulai berdifrensiasi dan ukurannya bertambah besar menjadi sel bentuk globular.
Hasil pengamatan mengenai berat bobot kalus menunjukkan bahwa verietas,
zat pengatur tumbuh serta penggenangan pengaruh nyata terhadap berat bobot

Universitas Sumatera Utara

kalus . Berdasarkan hasil pengamatan pada Tabel 1, diketahui bahwa varietas
Gepak Kuning memiliki nilai rataaan tertinggi yaitu 4,75 g berbeda nyata dengan
varietas Willis dengan nilai rataan lebih rendah yaitu 4,36 g. Pada faktor zat
pengatur tumbuh dapat dilihat bahwa rataan bobot kalus tertinggi pada perlakuan
K3 yaitu 5,16 g dan terendah pada perlakuan K1 yaitu 4,15 g. Hasil pengamatan
sidik ragam pada faktor penggenangan menunjukkan bahwa P1 berbeda nyata
dengan P2 yang memiliki nilai rataan tertinggi yaitu 4,84 g. Menurut Jimnez and
Bangerth (2001) selain auksin, sitokinin juga berfungsi untuk menstimulasi
pembelahan pada massa pro-embriogenik sel. Keduanya dibutuhkan untuk inisiasi
kalus embriogenik. Penambahan auksin-sitokinin ke dalam medium tumbuh
adalah

untuk

mengatur

pembelahan,

pemanjangan,diferensiasi

sel,

dan

pembentukan organ. Dengan mengetahui pengaruh auksin dan sitokinin dalam
menginduksi kalus embriogenik pada kultur meristem kedelai, akan membantu
meningkatkan potensi regenerasi embrio somatik kedelai dan proses perbaikan
varietas, baik dengan rekayasa genetik maupun seleksi in vitro.
Hasil analisis data statistik menunjukkan bahwa interaksi antara varietas
dan zat pengatur tumbuh berpengaruh nyata terhadap parameter nilai total protein.
Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi zat pengatur tumbuh berpengaruh dalam
menginduksi kalus dari beberapa varietas kedelai. Faktor lainnya seperti varietas,
zat pengatur tumbuh dan penggenangan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
terhadap nilai total protein. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada perlakuan
tanpa penggenangan nilai total protein yang dihasilkan lebih tinggi daripada
perlakuan yang diberi penggenangan. Pada perlakuan D3K3 menghasilkan data
tertinggi yaitu 260,3 mg/l sementara data tertinggi nilai total protein dengan

Universitas Sumatera Utara

penggenangan

diperoleh pada perlakuan D3K3 yaitu 227,0 mg/l. Hal ini

disebabkan karena terjadi proses denitrifikasi akibat
sehingga nilai total protein menjadi

perlakuan penggenangan

rendah, pada

kondisi tergenang

ketersediaan nitrogen dalam bentuk nitrat sangat rendah. Menurut Dwidjoseputro
(1987) nitrogen juga sangat berperan sebagai penyusun senyawa protein dalam
sel. Nitrogen merupakan komponen utama protein sel yang merupakan bagian
dasar kehidupan organisme dan berfungsi untuk menyokong unsur dari sel alga
serta membentuk senyawa penting di dalam sel, termasuk protein dan merupakan
bagian penting dari klorofil.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan aktivitas enzim
SOD diketahui bahwa faktor zat pengatur tumbuh dan faktor penggenangan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aktivitas enzim SOD sedangkan
tidak ada salah satu interaksi yang menunjukkan pengaruh yang nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa penggenangan mempengaruhi nilai enzim SOD pada kalus.
Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tanpa
penggenangan memiliki nilai SOD yang lebih tinggi dibandingkan dengan
perlakuan yang diberi penggenangan. Hal ini didukung oleh data pada perlakuan
D2K1 (tanpa penggenangan) memiliki nilai aktivitas SOD tertinggi yaitu 1,43
unit/ mg/l protein sedangkan pada perlakuan penggenangan, data tertinggi pada
perlakuan D3K1 yaitu 0,86 unit/mg/l protein. Dari data tersebut dapat
disimpulkan bahwa baik varietas Gepak Kuning dan Willis tidak tahan terhadap
kondisi penggenangan dikarenakan nilai dari aktivitas SOD menurun. Menurut
Bosch and Alegre (2002) sistem antioksidan di dalam sel tumbuhan menyediakan
perlindungan melawan pengaruh racun dari oksigen spesies yang aktif. Komponen

Universitas Sumatera Utara

penting dari sistem pelindungan itu adalah pertahanan secara enzimatis, seperti
SOD dan katalase yang dapat menghindari O2 - dan H2O2 selain metabolit seperti
askorbat, glutation dan tokoperol yang berfungsi untuk mengatur tingkat keaktifan
oksigen pada jaringan tanaman. Tanaman dapat bertahan apabila enzim SOD dan
katalase dapat melindungi jaringan tanaman dalam kondisi cekaman oksidatif.
Hasil analisis data statistik

menunjukkan bahwa faktor penggenangan

berpengaruh nyata terhadap nilai klorofil total. Interaksi antara varietas dan zat
pengatur tumbuh juga menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap nilai klorofil
total. Berdasarkan data penelitian menunjukkan bahwa klorofil total pada
perlakuan kontrol tertinggi yaitu pada perlakuan D2K1 sedangkan pada perlakuan
penggenangan yang tertinggi yaitu D2K2. Umumnya Gepak kuning memiliki
klorofil total lebih tinggi dibandingkan varietas Willis. Nilai total klorofil pada
kalus yang tidak diberi perlakuan penggenangan (P1) cenderung lebih tinggi
dibandingkan nilai klorofil total pada perlakuan penggenangan. Hal ini
dikarenakan kandungan klorofil berpengaruh pada proses metabolisme tumbuhan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Bidwell (1979) bahwa gangguan terhadap
metabolisme akibat anaerobic akan menghambat produksi ATP, pengaruh CO2
juga didalam kultur jaringan berkaitan erat dengan kebutuhan bagi proses
fotosintesis. Secara umum diduga bahwa CO2 merupakan syarat mutlak untuk
kultur jaringan tanaman dibawah kondisi cahaya. Metabolisme pertumbuhan kalus
juga berpengaruh terhadap pembentukan pigmen, pembelahan dan pembesaran
sel.
Berdasarkan hasil dari analisis statistic mengenai aktivitas enzim POD
menunjukkan bahwa interaksi antara varietas dan zat pengatur tumbuh

Universitas Sumatera Utara

berpangaruh nyata terhadap aktivitas enzim POD. Selain itu, faktor penggenangan
juga memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai aktivitas enzim POD. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan tanpa penggenangan memiliki nilai
POD yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan penggenangan. Hal ini
didukung dari data perlakuan D3K2 (tanpa penggenangan) memiliki aktivitas
POD yang tertinggi yaitu 1,23 unit/mg/l protein sehingga dapat disimpulkan
bahwa diantara varietas Gepak Kuning dan Willis tidak ada yang tahan terhadap
penggenangan karena adanya proses penggenangan menyebabkan nilai POD
menurun sedangkan indikasi suatu tanaman tahan tehadap cekaman yaitu
memiliki aktivitas POD yang meningkat. Menurut Agrios (2005) mengatakan
bahwa pada tanaman yang toleran/tahan diketahui terjadi peningkatan aktivitas
peroksidase (POD), sedangkan pada tanaman yang peka tidak ada perubahan atau
bahkan turun dibandingkan dengan keadaan sehat. Enzim tersebut merupakan
enzim oksidase yang paling tinggi intensitasnya di dalam jaringan luka atau sakit.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. Zat pengatur tumbuh 2,4 D dan Kinetin memberikan pengaruh yang nyata
terhadap pertumbuhan kalus dan pertambahan bobot kalus kedelai.
2. Interaksi dari kombinasi ZPT 2,4 D dan Kinetin tidak berpengaruh nyata
terhadap induksi kalus embriogenik pada beberapa varietas kedelai.
3. Hasil penelitian terhadap analisis nilai total protein menunjukkan bahwa nilai
protein pada kalus yang diberi penggenangan mengalami penurunan,
berdasarkan data aktivitas enzim SOD dan POD menunjukkan bahwa dari
kedua varietas yang diuji tidak ada yang tahan terhadap penggenangan. Data
klorofil total pada kalus yang diberi penggenangan mengalami penurunan
nilai total klorofil.
Saran
Dari hasil penelitian perlu dilakukan evaluasi terhadap varietas-varietas
kedelai yang toleran terhadap hipoksia.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman
Klasifikasi tanaman kedelai Glycine max (L.)Merill adalah
berikut :

Kingdom : Plantae;

Divisi :

Spermatophyta;

sebagai
Subdivisio:

Angiospermae; Kelas: Dicotyledonae; Ordo: Rosales; Famili: Papilionaceae;
Genus: Glycine; Species : Glycine max (L.) Merill (Steenis, 2005).
Akar kedelai mulai muncul dari belahan kulit biji yang muncul di sekitar
misofil. Pertumbuhan akar tunggang dapat mencapai panjang sekitar 2 m atau
lebih pada kondisi yang optimal, namun demikian, umumnya akar tunggang
hanya tumbuh pada kedalaman lapisan tanah olahan yang tidak terlalu dalam,
sekitar 30-50 cm. Sementara akar serabut dapat tumbuh pada kedalaman tanah
sekitar 20-30 cm. Akar serabut ini mula-mula tumbuh di dekat ujung akar
tunggang, sekitar 3-4 hari setelah berkecambah dan akan semakin bertambah
banyak dengan pembentukan akar-akar muda yang lain (Wawan, 2006).
Batang berbentuk pesergi dengan rambut coklat yang menjauhi batang
atau mengarah ke bawah. Pertumbuhan batang terdiri dari dua tipe yaitu
determinate dan interdeterminate yang didasarkan keberadaan bunga pada pucuk
batang (Irwan, 2006).
Perbedaan sistem pertumbuhan batang ini didasarkan atas keberadaan
bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan
dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga.
Sementara pertumbuhan batang tipe indeterminate dicirikan bila pucuk batang
tanaman masih bisa tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga
(Adisarwanto, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Bentuk daun kedelai yaitu bulat (oval) dan lancip (lanceolate). Tanaman
kedelai mempunyai dua bentuk daun yang dominan, yaitu stadia kotiledon yang
tumbuh saat tanaman masih berbentuk kecambah dengan dua helai daun tunggal
dan daun bertangkai tiga (trifoliate leaves) yang tumbuh selepas masa
pertumbuhan. Daun mempunyai bulu dengan warna cerah dan jumlahnya
bervariasi (Irwan, 2006).
Periode berbunga pada tanaman kedelai cukup lama yaitu 3-5 minggu
untuk daerah subtropik dan 2-3 minggu di daerah tropik, seperti di Indonesia.
Jumlah bunga pada tipe batang determinate umumnya lebih sedikit dibandingkan
pada batang tipe indeterminate. Warna bunga yang umum pada berbagai varietas
kedelai hanya dua, yaitu putih dan ungu. Setiap ketiak tangkai daun yang
mempunyai kuncup bunga dan dapat berkembang menjadi polong disebut sebagai
buku subur. Tidak setiap kuncup bunga dapat tumbuh menjadi polong, hanya
berkisar 20-80% (Wawan, 2006).
Polong biasanya bewarna hijau. Polongnya yang berkembang dalam
kelompok, biasanya mengandung 2-3 biji yang berbentuk bundar atau pipih, dan
sangat kaya akan protein dan minyak (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Biji kedelai berkeping dua yang terbungkus oleh kulit biji. Embrio terletak
diantara keping biji. Warna kulit biji bermacam-macam ada yang kuning, hitam,
hijau dan coklat. Bentuk biji kedelai pada umumnya bulat lonjong, ada yang
bundar atau bulat agak pipih. Besar biji bervariasi tergantung varietas. Di
Indonesia besar biji bervariasi dari 6 gram – 30 gram (Suprapto, 2001).
Kotiledon merupakan endosperm yang dihasilkan dari pembuahan antara
gamet jantan yang bersifat haploid dengan inti kandung lembaga yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

diploid, sehingga kotiledon akan bersifat triploid. Hasil yang diperoleh dalam
kultur in vitro ini hanya berupa sel-sel kalus. Jadi penelitian ini mengindikasi
perbedaan genetik yang akan mengakibatkan perbedaan kemampuan kompetensi
regenerasi atau kondisi fisiologis dari jaringan eksplant (Fernando et al., 2002).
Kultur Kalus
Salah satu teknik perbanyakan tanaman adalah dengan teknik kultur
jaringan. Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan, organ serta menumbuhkannya dalam
kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan
beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Perbanyakan tanaman melalui kultur
jaringan sangat berbeda dibandingkan dengan perbanyakan secara konvensional
karena perbanyakan melalui kultur jaringan memungkinkan perbanyakan tanaman
dalam skala besar dengan waktu yang relatif lebih cepat (Nursyamsi, 2010).
Kultur adalah budidaya, dan jaringan adalah sekelompok sel yang
mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. Kultur jaringan merupakan metode
untuk mengisolasi bagian dari tanaman, seperti sel, sekelompok sel, jaringan, dan
organ, serta menumbuhkan dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian
tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang
lengkap. Dasar orientasi kultur jaringan adalah teori totipotensi sel, yang ditulis
oleh Schleiden dan Schwann, bahwa bagian tanaman yang hidup mempunyai
totipotensi, kalau dibudidayakan di lingkungan yang sesuai, dapat tumbuh
menjadi tanaman yang sempurna (Henuhili, 2013).
Kultur in vitro adalah suatu metode untuk mengisolasi potongan jaringan
tanaman dari kondisi alami pada media nutrisi dalam kondisi aseptik, dimana

Universitas Sumatera Utara

potongan jaringan yang diambil mampu mengadakan perbesaran, perpanjangan,
dan pembelahan sel dan membentuk suatu massa sel yang belum terdiferensiasi
yang disebut kalus serta membentuk shootlet (tunas), rootlet (akar), atau planlet
(tanaman lengkap). Manfaat dari kultur in vitro ini antara lain menyediakan bibit
tanaman yang sehat dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, dalam
areal yang kecil, tidak tergantung pada musim dan memungkinkan manipulasi
genetic (Azriati et al., 2008).
Keuntungan pengadaan bibit melalui kultur jaringan antara lain dapat
diperoleh bahan tanaman yang unggul dalam jumlah banyak dan seragam, selain
itu dapat diperoleh biakan steril (mother stock) sehingga dapat digunakan sebagai
bahan untuk perbanyakan selanjutnya. Untuk mendapatkan hasil yang optimum
maka penggunaan media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat merupakan
faktor yang penting. Kombinasi media dasar dan zat pengatur tumbuh yang tepat
akan meningkatkan aktivitas pembelahan sel dalam proses morfogenesis dan
organogenesis (Lestari, 2011).
Kultur jarinngan memiliki 2 prinsip dasar yang jelas yaitu bahan tanaman
yang bersifat totipotensi dan budidaya yang terkendali. Konsep dasar ini adalah
mutlak dalam pelaksanaan kultur jaringan karena hanya dengan sifat totipotensi
ini, sel, jaringan, organ yang digunakan akan mampu tumbuh dan berkembang
sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro yang dilakukan. Sifat bahan yang
totipotensi saja tidak cukup untuk kesuksesan kegiatan kultur jaringan. Keadaan
media tempat tumbuh, lingkungan yang mempengaruhinya (kelembaban,
temperatur, cahaya) serta keharusan sterilisasi adalah hal mutlak yang harus
terkendali (Nopriani et al., 2010).

Universitas Sumatera Utara

Kultur kalus selain dapat digunakan untuk teknik perbanyakan tanaman
juga merupakan salah satu cara untuk memproduksi senyawa metabolit sekunder
(George dan Sherington, 1994). Pada kultur kalus, pemberian zat pengatur
tumbuh (ZPT) baik auksin maupun sitokinin sangat diperlukan. Penggunaan ZPT
tersebut secara tunggal atau kombinasi dengan konsentrasi yang tepat diharapkan
dapat menginduksi dan meningkatkan pertumbuhan kalus sehingga didapatkan
biomassa yang besar.
Terbentuknya kalus yang bertekstur kompak dipacu oleh adanya hormon
auksin endogen yang diproduksi secara internal oleh eksplan yang telah tumbuh
membentuk kalus tersebut. Pemberian zat pengatur tumbuh dapat mempengaruhi
produksi metabolit sekunder, hal ini disebabkan ZPT yang ditambahkan da

Dokumen yang terkait

Respon Pertumbuhan Embrio Kedelai (Glycine Max (L) Merril) Dengan Pemberian Indole Butyric Acid (Iba) Dan Benzyl Amino Purine (Bap) Secara In Vitro

0 47 78

Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. (Merill)) dengan Pemberian Pupuk Cair

1 64 86

Respons Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. (Merill)) di Lahan Kering Terhadap Pemberian Berbagai Sumber N

0 48 104

Respon Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai (Glycine max L. Merril) pada Tanah Ultisol dengan Pemberian Pupuk Hayati

0 34 129

Uji Ketahanan Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) Hasil Radiasi Sinar Gamma (M2) Pada Cekaman Aluminium Secara In Vitro

2 31 79

Identifikasi Kalus Embriogenik pada BeberapaVarietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) dengan Pemberian 2,4D dan Kinetin pada Kondisi Hipoksia Secara In Vitro

0 0 12

Identifikasi Kalus Embriogenik pada BeberapaVarietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) dengan Pemberian 2,4D dan Kinetin pada Kondisi Hipoksia Secara In Vitro

0 0 2

Identifikasi Kalus Embriogenik pada BeberapaVarietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) dengan Pemberian 2,4D dan Kinetin pada Kondisi Hipoksia Secara In Vitro

0 0 4

Identifikasi Kalus Embriogenik pada BeberapaVarietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) dengan Pemberian 2,4D dan Kinetin pada Kondisi Hipoksia Secara In Vitro

0 0 16

Identifikasi Kalus Embriogenik pada BeberapaVarietas Kedelai (Glycine max (L.) Merill) dengan Pemberian 2,4D dan Kinetin pada Kondisi Hipoksia Secara In Vitro

0 0 3