Ayo Belajar Seni Rupa Untuk Anak Usia Dini

(1)

Ayo Belajar Seni Rupa Untuk Anak Usia Dini

Apa yang Anda ketahui mengenai seni dan keindahan? Dapatkah Anda menjelaskan pengertian seni dan keindahan tersebut?

Keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Misal: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu mempunyai nilai kecantikan, dari contoh tersebut kita dapat membedakab antara keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang kongkrit.

Seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari perasaan yang bersifat indah, hingga dapat menggerakan jiwa perasaan manusia (Menurut Ki Hajar Dewantoro) Seni adalah kegiatan psikis(rohani) manusia yang merefleksi kanyataan (realitas) menurut Akhadiat Kartamiharja. Seni adalah alat buatan manusia yang menimbulkan efek-efek psikologis atas manusia lain yang melihatnya.

Keindahan adalah sesuatu yang menghasilkan kesenangan. Seni diolah melalui proses kreatiff dari pikiran menuju pada penciptaan obyek yang dihasilkan oleh getaran emosi. Inti keindahan adalah emosi (ini pendapat Joganatha).

Pendapat lain mengatakan bahwa keindahan adalah sesuatu yang memberikan kesenangan tanpa rasa kegunaan. Yang menyebabkan rasa estetik adalah faktor luar dan faktor dalam (pendapat Rabindranath Tagore). Ia juga menerangkan untuk sebuah sajaknya,, bahwa ia tidak dapat menerangkan bekerjanya proses alamiah yang misterius itu, tetapi seolah-olah terjadi dengan sendirinya. Nampaknya ada sesuatu di atas kekuasaannya sendiri yang siap menuntun impulsinya dalam suatu jalan sehingga memungkinkan memberi bentuk pada pandangan intuisinya dari dalam.


(2)

yang mendorong seorang berkarya seni?

Motivasi atau dorongan berkarya seni dapat muncul dari mana dan kapan saja. Sumbernya dapat berasal dari seniman itu sendiri atau dari luar dirinya seperti dari alam atau buatan manusia.

1) Gagasan dari Alam

Pelukis yang menjadi perintis perkembangan seni rupa modern kita, Raden Saleh, dikenal sering menggali gagasan yang berasal dari kehidupan di alam. Lukisan kehidupan satwa di alam liar adalah contohnya. Demikian pula pada masa sesudahnya dengan hadirnya kecenderungan seni lukis yang berangkat dari keindahan alam Nusantara. Pemandangan gunung yang tinggi, lautan yang membiru, sawah yang menghampar, desa yang damai dan tentram, atau gadis-gadis cantik menjadi gagasan pokok lukisan yang coraknya Naturalisme. Kelompok pelukis yang aktif pada tahun awal Abad ke-20 ini dikenal dengan nama Mooi Indie atau Indonesia Jelita dan terdiri dari bangsa pribumi dan asing. Beberapa nama di antaranya adalah Abdullah Suryosubroto, Mas Pirngadi, Wakidi, W. G. Hofker, Ernest Dezentje, dan C. L. Dake Jr.

2) Gagasan dari Diri

Beragam pengalaman atau perasaan seorang pelukis mendorong terciptanya karya seni lukis yang menjadi ciri khasnya. Pelukis surealistis Indonesia Lucia Hartini dikenal banyak mengangkat pengalaman pribadinya sebagai seorang perempuan sekaligus ibu yang harus berjuang bagi diri serta anaknya. Gagasan berupa perasaan simpati atau bahkan empati dapat ditemui pada karya Affandi atau Sudjana Kerton yang kerap menghadirkan kaum miskin pada kanvas lukisannya. Contoh lukisan Affandi atau Kerton yang menggambarkan kaum papa.

Salah satu pendekatan umum dalam seni rupa adalah pendekatan aspek manajerial? Dapatkah anda menjelaskan tentang pedekatan aspek manajerial?

Ada tiga pendekatan umum dalam aspek manajerial, yaitu: (1) pendekatan otoritatif, (2) pendekatan permisif dan (3) pendekatan demokratis dapat dipilih untuk


(3)

disesuaikan dengan kebutuhan belajar.

Pendekatan Otoritatif. Pendekatan ini menekankan pada disiplin dan penegakan kewibawaan. Cara ini penting untuk melatih dan membina aspek kedisiplinan, ketelitian, prosedur/teknik pembuatan karya tertentu. Ada kegiatan-kegiatan belajar dan aturan kerja yang harus diikuti untuk mencapai sasaran tertentu. Pebelajar tidak bisa berlaku dan bekerja seenaknya.

Pendekatan Permisif. Jenis pendekatan ini menekankan pada segi kebebasan penuh terhadap anak didik. Kebebasan adalah hak setiap orang. Belajar itu sendiri berlangsung dalam diri masing-masing, tak dapat dipaksakan. Hasil belajar dianggap akan optimal jika sesuai dengan minat dan keinginan peserta didik. Oleh sebab itu, menurut pandangan ini, jangan ada pengarahan-pengarahan atau petunjuk- petunjuk. Pendekatan permisif digunakan sewaktu-waktu untuk memberi kesempatan peserta didik menciptakan bentuk baru atau mencoba bahan baku. Misalnya, pembelajaran kerajinan membatik teknik ikat celup untuk siswa kelas Sekolah Dasar; setiap siswa dibolehkan menciptakan sendiri bentuk-bentuk baru. Contoh lainnya, dalam kegiatan menggambar ekspresi (menggambar bebas). Namun sesungguhnya pendekatan permisif penuh jarang dilakukan, karena ada saja keharusan mentaati aturan kerja atau ada saat-saat siswa perlu petunjuk instruktur.

Pendekatan demokratis. Pendekatan ini bertumpu pada pandangan bahwa tiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat. Berbeda dengan pendekatan permisif, gagasan pendekatan demokratis tidak menghendaki kebebasan penuh, sebab kebebasan seseorang harus juga memperhatikan kebebasan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat. Pendekatan demokratis lebih cocok digunakan sebagai kebijakan umum, terutama jika mengingat bahwa peserta didik adalah manusia dewasa yang sudah memiliki kesadaran diri dan kesadaran sebagai warga negara. Setiap warga negara atau peserta didik dapat mengajukan gagasannya dalam rangka memperbaiki mutu hasil karya. Mereka hanya akan senang belajar dalam suasana kondusif-demokratis. Peran guru dalam hal ini sebagai fasilitator dan dinamisator.


(4)

Apa yang anda ketahui tentang bagaimana memahami sifat lukisan anak didik?

Gambar anak memiliki keunikan dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini terjadi karena anak-anak masih memiliki keaslian dalam tata ungkapan emosinya dalam bentuk gambar atau karya. Secara khusus, berikut ini disarikan berdasarkan pendapat Soesatyo (1994: 32 –33) bahwa sifat lukisan (gambar) anak-anak sebagai berikut:

Ideographisme. Lukisan anak merupakan ekspresi berdasar pengertian dan logika anak, contoh: anak melukis muka manusia dari samping, meskipun dalam kenyataan penglihatan, matanya nampak sebuah saja, tetapi berdasarkan pengertian anak bahwa manusia itu bermata dua, maka dilukislah kedua mata itu disamping.

Steorotif atau otomatisme. Ciri gambar anak yang kedua adalah ditemukannya gejala umum penggambaran bentuk benda secara berulang-ulang dengan ukuran yang monoton. Gejala ini dinamakan stereotipe. Misalnya figure manusia yang diulang dalam bentuk yang sama meski warnanya berbeda-beda. Atau bunga-bunga yang sama diulang-ulang. Bahkan sampai pada tema yang terus diulang-ulang.

Gejala finalitas. Sungguh unik bila kita cermati dan amati gambar anak, anak menggambarkan peristiwa yang mengandung unsur ruang dan waktu. Biasanya anak melukiskan manusia atau mahluk lainnya dalam gerak. Penggambaran suatu peristiwa yang sedang terjadi divisualisasikan dengan membuat objek gambar yang diulang-ulang. Namun tidak semua bagian atau anggota badan dilukis, hanya yang perlu-perlu saja atau yang dirasakan penting dalam tema lukisan. Misalnya ibu yang sedang menyapu, dilukis hanya satu tangan saja yang memegang sapu itu, sedang tangan yang satu yang tidak berperan tidak dilukis. Atau tangan yang lebih berperan dilukis lebih besar dan lebih mendapat tekanan.

Perebahan atau lipatan. Sifat ini merupakan peristiwa yang lucu namun logis buat anak-anak. Disebut juga sifat tegak lurus atau sifat rabatemen. Benda apa saja yang berdiri tegak pada suatu garis dasar akan dilukis


(5)

tegak lurus pada garis dasar tersebut meskipun garis dasar itu berbelok atau miring arahnya. Akibatnya semua benda tampak rebah atau malah terjungkir.

Transparan. Kebiasaan dan kecenderuangan anak menggambarkan hal-hal atau peristiwa pada ciri ke tiga ini adalah penggambaran yang tembus pandang. Sebagai contoh bila anak melihat kucing makan ikan, kemudian kita suruh anak itu untuk menggambarkan kucing, maka anak biasanya akan menggambar kucing dengan perut yang kelihatan ada ikannya.

Pada usia tertentu kita dapat menjumpai lukisan anak dengan sifat tembus pandang. Anak cenderung melukiskan semua yang ia pikirkan dn ia mengerti meskipun ada beberapa benda objek yang berada di dalam ruang atau tempat tertutup. Akibatnya adalah peristiwa tembus pandang atau sinar X (x–ray). Contoh: ibu dan bapak duduk di dalam rumah dan tertutup dinding, namun dilukis lengkap dengan benda dan perabot lain. Kucing makan tikus. Tikus yang di dalam perut kucing dilukis juga.

Satu nilai yang dapat kita tiru dari anak-anak dengan karakterisrik gambar ini adalah kejujuran dan kepolosan jiwa anak. Tentunya hal ini berbeda dengan orang dewasa yang penuh dengan kepura-puraan.

Juxtaposisi. Sifat Pemecahan masalah ruang (kedalaman jauh dekat) dalam bidang datar, diatasi dengan dasar pemikiran praktis. Anak melukis benda atau objek yang jauh di bagian atas kertas sedang yang dekat dibagian bawah. Bertebar namun artistic, mirip lukisan Bali.

Simetris (setangkep). Dalam melukis suatu objek sering timbul gejala atau hasrat untuk melukis hal-hal yang asimetris menjadi asimetris. Misalnya dua pohon besar di kiri dan di kanan, dua buah gunung kembar dengan matahari di tengah, setangkai bunga dengan daun kiri dan di kanan, dan sebagainya.

Proporsi (perbandingan ukuran). Anak-anak lebih mementingkan proporsi nilai dari pada fisik. Hal-hal yang dianggap lebih penting dibuat lebih besar atau lebih jelas.

Lukisan bersifat cerita (naratif). Lukisan/gambar yang dibuat anak merupakan ungkapan perasaan atau gejolak jiwa. Jadi lukisan adalah cerita anak, bukan sekedar mencoret sebagai aktivitas motorik atau gerak anatomis saja. Maka perlu ditanggapi secara wajar dan dalam sikap


(6)

menerima serta mengahargai.

Perkembangan anak dalam menggambar terdapat beberapa periode, jelaskan periode menggambar anak?

Menggambar bagi anak adalah bagian dari permainan, dimana mereka dapat mengembangkan daya imajinasinya. Sebagaimana kemampuan lain pada umumnya, kemampuan menggambar anak sudah berkembang bahkan sejak periode batita. Lebih dari itu gambar yang dihasilkan oleh seorang anak di setiap periode memiliki arti dan karakteristik yang berbeda-beda. Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth (1982) meneliti tingkat perkembangan menggambar anak berdasarkan usia, menganalisis tentang periodisasi yang menjadi ciri umum lukisan anak-anak sesuai waktu (usia) dan tahap perkembangan sosial intelektual mereka, sebagai berikut:

a. Periode Coreng-moreng (Scribbling Stage).

Periode ini berlaku bagi anak berusia 2 sampai 4 tahun (masa prasekolah). Gambar yang dibuat tanpa makna, hanya perbuatan meniru orang lain, tetapi merupakan latihan gerak motorik dari koordinsai gerakan tangan dan mata, gambar berupa goresan tipis tebal dengan arah yang belum terkendali. Periode ini terditi dari 3 fase, hanya setiap fase jaraknya sangat singkat sekali, sehingga dianggap satu fase.

a.1 Goresan tak Beraturan. Gambar tanpa makna, karena anak melakukannya hanyalah meniru orang lain, belum dapat membuat coretan berupa lingkaran, karena hanya merupakan latihan gerak motorik antara mata dengan gerak tangan, bentuk garis sembarangan, bersemangat tanpa melihat ke kertas, merupakan fase yang paling awal dalam tahap perkembangan menggambar anak.

a.2 Goresan Terkendali. Berupa goresan-goresan tegak, mendatar, lengkung bahkan lingkaran, coretan dilakukan berulang-ulang. Nampak anak mulai memerlukan kendali visual terhadap coretan yang dibuatnya, disini koordinasi antara perkembangan visual (gerak mata) dengan gerak motorik (tangan) semakin lengkap. Goresan dibuat dengan penuh semangat.


(7)

a.3 Goresan Bermakna. Pengalaman anak dalam

membuat goresan semakin lengkap, gambar anak mulai terwujud menjadi satu kesatuan, bentuk yang semakin bervariasi, anak mulai memberi nama pada hasil coretannya dan mulai menggunakan warna. Dalam menggambar, anak belum mempunyai tujuan untuk menggambar sesuatu, karena fase ini lebih didasari oleh perkembangan fisik dan jiwa anak. Anak yang normal pasti suka meggambar.

b. Periode Pra Bagan (Pre Schematic Stage).

Periode ini berlaku bagi anak berusia 4-7 tahun (taman kanak-kanak). Sejalan dengan meningkatnya perkembangan anak, pengalaman anakpun makin bertambah, lingkup sosial makin luas, anak berkesempatan mencipta, bereksperimen, menjelajah, dan berbagai hal baru yang erat dengan perkembangan jiwa, rasa maupun emosinya. Anak mulai mengenal dunia baru, mengenal sekolah, teman sebaya, guru, dan lingkungan baru. Sehingga gambar yang dibuat oleh anak mulai menggambar bentuk-bentuk yang berhubungan dengan dunia sekitar mereka. Rumah, manusia pohon dan lingkungan sekitarnya menjadi obyek yang menarik perhatian anak. Terutama gambar manusia, jarang anak seusia ini menggambar manusia dari samping, mereka lebih menyukai gambar dari arah depan, karena dapat memuat unsur wajah yang lebih lengkap. Unsur warna kurang diperhatikan, anak lebih tertuju pada hubungan antara gambar dan obyek gambar. Warna menjadi subyektif karena tidak mempunyai hubungan dengan obyek. Sedangkan konsep ruang tak lain adalah apa yang ada di sekitar dirinya, menjadikan tidak logisnya antara obyek yang satu dengan obyek lainnya.

c. Periode Bagan (Schematic Stage). Periode ini berlaku bagi anak berusia 7 sampai 9 tahun. Sejalan dengan tahap perkembangan anak, pada akhir tahap ini perkembangan akal sudah mulai mempengaruhi gambar anak. Anak sudah mulai menggambar obyek dalam suatu hubungan yang logis dengan gambar lain. Konsep ruang mulai nampak dengan adanya pengaturan antara hubungan obyek dengan ruang, gambar mulai realistis, mulai mengarah ke bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan. Ciri utama gambar anak pada fase ini adalah


(8)

adanya garis dasar yang merupakan tempat obyek atau benda-benda berdiri, merupakan suatu perkembangan yang wajar. Muncul gejala yang disebut “folding over”, yakni cara menggambar obyek tegak lurus pada garis dasar, meskipun obyek akan nampak terbalik. Ciri lainnya, adanya gambar yang disebut “sinar X” (X-ray), yakni gambar yang berisi benda atau obyek lain dalam suatu ruang yang sebenarnya tidak kelihatan. Gambar dibuat berdasarkan ide anak itu sendiri, misalnya gambar rumah yang kelihatan bagian dalamnya seolah-olah rumah tersebut terbuat dari kaca bening. Warna mulai obyektif, artinya anak menyadari adanya hubungan antara warna dengan obyek. Disini anak telah menemukan konsep tertentu mengenai warna, yakni bahwa obyek tertentu akan memiliki warna tertentu pula. Ciri lain yang kurang menguntungkan, gambar nampak lebih kaku. Anak cenderung mencontoh gambar orang lain, hal ini karena berkembangnya sifat kooperatif di antara mereka.

d. Periode Awal Realisme (Early Realism Stage).

Periode ini berlaku bagi anak berusia 9 sampai 12 tahun (kelas IV SD-VI SD) disebut pula “usia pembentuk kelompok”. Masa ini ditandai oleh besarnya perhatian anak terhadap obyek gambar yang dibuatnya. Bentuk-bentk gambar mulai mengarah ke bentuk realistis, tetapi nampak lebih kaku, hal ini sebagai akibat perkembangan sosial yang meningkat, mereka lebih memikirkan bentuk gambar yang dapat diterima oleh lingkungannya, akibatnya spontanitas berkurang. Anak mulai mengekspresikan obyek gambar dengan karakter tertentu, lelaki atau wanita secara jelas. Karakteristik warna mulai mendapat perhatian, walaupun belun adanya penampilan dalam hal perubahan efek warna dalam terang dan bayang-bayang. Dalam gambar adanya penemuan penggambaran bidang dasar sebagi tempat pijakan (ground) benda dan obyek gambar. Adanya garis horizon, walaupun fungsinya belum dimengerti, sehingga kesan perspektif akan kelihatan janggal. Terlihat adanya menghias (mendekorasi ) obyek gambar.

e. Periode Naturalistik Semu (Pseudo Naturalistic Stage). Periode ini berlaku bagi anak berusia 12 sampai 14 tahun. Masa pra puber. Gambar yang dibuat sesuai dengan obyek yang dilihatnya, sehingga timbul


(9)

minat terhadap naturalisme, terutama pada anak yang bertipe visual. Anak mulai menggambar sesempurna mungkin, sehingga detail lebih diperhatikan, akibatnya spontanitas hilang. Oleh karena itu pada periode ini merupakan akhir dari aktivitas spontanitas. Anak menjadi kritis terhadap karyanya sendiri. Ia mulai memperhitungkan kualitas tiga dimensi (perspektif).

Kata Bijak:

“Membebaskan” anak menggambar sama dengan membebaskan anak dalam menuangkan imajinasi dan

mengungkapkan dirinya melalui gambar. Melalui menggambar, secara tanpa disadari anak dapat belajar memecahkan persoalan yang dihadapi. Dengan menggambar anak dapat bermain dan berekspresi dengan sepuas-puasnya.

Jadi, tugas guru dan orang tua sebaiknya tidak mengajarkan konsep pendidikan seperti di masa lalu, dimana anak dianggap sebagai mahluk yang lemah, serba tidak tahu. Tugas orang dewasa hanyalah mengembangkannya secara


(1)

Apa yang anda ketahui tentang bagaimana memahami sifat lukisan anak didik?

Gambar anak memiliki keunikan dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini terjadi karena anak-anak masih memiliki keaslian dalam tata ungkapan emosinya dalam bentuk gambar atau karya. Secara khusus, berikut ini disarikan berdasarkan pendapat Soesatyo (1994: 32 –33) bahwa sifat lukisan (gambar) anak-anak sebagai berikut:

Ideographisme. Lukisan anak merupakan ekspresi berdasar pengertian dan logika anak, contoh: anak melukis muka manusia dari samping, meskipun dalam kenyataan penglihatan, matanya nampak sebuah saja, tetapi berdasarkan pengertian anak bahwa manusia itu bermata dua, maka dilukislah kedua mata itu disamping.

Steorotif atau otomatisme. Ciri gambar anak yang kedua adalah ditemukannya gejala umum penggambaran bentuk benda secara berulang-ulang dengan ukuran yang monoton. Gejala ini dinamakan stereotipe. Misalnya figure manusia yang diulang dalam bentuk yang sama meski warnanya berbeda-beda. Atau bunga-bunga yang sama diulang-ulang. Bahkan sampai pada tema yang terus diulang-ulang.

Gejala finalitas. Sungguh unik bila kita cermati dan amati gambar anak, anak menggambarkan peristiwa yang mengandung unsur ruang dan waktu. Biasanya anak melukiskan manusia atau mahluk lainnya dalam gerak. Penggambaran suatu peristiwa yang sedang terjadi divisualisasikan dengan membuat objek gambar yang diulang-ulang. Namun tidak semua bagian atau anggota badan dilukis, hanya yang perlu-perlu saja atau yang dirasakan penting dalam tema lukisan. Misalnya ibu yang sedang menyapu, dilukis hanya satu tangan saja yang memegang sapu itu, sedang tangan yang satu yang tidak berperan tidak dilukis. Atau tangan yang lebih berperan dilukis lebih besar dan lebih mendapat tekanan.

Perebahan atau lipatan. Sifat ini merupakan peristiwa yang lucu namun logis buat anak-anak. Disebut juga sifat tegak lurus atau sifat rabatemen. Benda apa saja yang berdiri tegak pada suatu garis dasar akan dilukis


(2)

tegak lurus pada garis dasar tersebut meskipun garis dasar itu berbelok atau miring arahnya. Akibatnya semua benda tampak rebah atau malah terjungkir.

Transparan. Kebiasaan dan kecenderuangan anak menggambarkan hal-hal atau peristiwa pada ciri ke tiga ini adalah penggambaran yang tembus pandang. Sebagai contoh bila anak melihat kucing makan ikan, kemudian kita suruh anak itu untuk menggambarkan kucing, maka anak biasanya akan menggambar kucing dengan perut yang kelihatan ada ikannya.

Pada usia tertentu kita dapat menjumpai lukisan anak dengan sifat tembus pandang. Anak cenderung melukiskan semua yang ia pikirkan dn ia mengerti meskipun ada beberapa benda objek yang berada di dalam ruang atau tempat tertutup. Akibatnya adalah peristiwa tembus pandang atau sinar X (x–ray). Contoh: ibu dan bapak duduk di dalam rumah dan tertutup dinding, namun dilukis lengkap dengan benda dan perabot lain. Kucing makan tikus. Tikus yang di dalam perut kucing dilukis juga.

Satu nilai yang dapat kita tiru dari anak-anak dengan karakterisrik gambar ini adalah kejujuran dan kepolosan jiwa anak. Tentunya hal ini berbeda dengan orang dewasa yang penuh dengan kepura-puraan.

Juxtaposisi. Sifat Pemecahan masalah ruang (kedalaman jauh dekat) dalam bidang datar, diatasi dengan dasar pemikiran praktis. Anak melukis benda atau objek yang jauh di bagian atas kertas sedang yang dekat dibagian bawah. Bertebar namun artistic, mirip lukisan Bali. Simetris (setangkep). Dalam melukis suatu objek sering timbul gejala atau hasrat untuk melukis hal-hal yang asimetris menjadi asimetris. Misalnya dua pohon besar di kiri dan di kanan, dua buah gunung kembar dengan matahari di tengah, setangkai bunga dengan daun kiri dan di kanan, dan sebagainya.

Proporsi (perbandingan ukuran). Anak-anak lebih mementingkan proporsi nilai dari pada fisik. Hal-hal yang dianggap lebih penting dibuat lebih besar atau lebih jelas.

Lukisan bersifat cerita (naratif). Lukisan/gambar yang dibuat anak merupakan ungkapan perasaan atau gejolak jiwa. Jadi lukisan adalah cerita anak, bukan sekedar mencoret sebagai aktivitas motorik atau gerak anatomis saja. Maka perlu ditanggapi secara wajar dan dalam sikap


(3)

menerima serta mengahargai.

Perkembangan anak dalam menggambar terdapat beberapa periode, jelaskan periode menggambar anak?

Menggambar bagi anak adalah bagian dari permainan, dimana mereka dapat mengembangkan daya imajinasinya. Sebagaimana kemampuan lain pada umumnya, kemampuan menggambar anak sudah berkembang bahkan sejak periode batita. Lebih dari itu gambar yang dihasilkan oleh seorang anak di setiap periode memiliki arti dan karakteristik yang berbeda-beda. Viktor Lowenfeld dalam bukunya Creative and Mental Growth (1982) meneliti tingkat perkembangan menggambar anak berdasarkan usia, menganalisis tentang periodisasi yang menjadi ciri umum lukisan anak-anak sesuai waktu (usia) dan tahap perkembangan sosial intelektual mereka, sebagai berikut:

a. Periode Coreng-moreng (Scribbling Stage). Periode ini berlaku bagi anak berusia 2 sampai 4 tahun (masa prasekolah). Gambar yang dibuat tanpa makna, hanya perbuatan meniru orang lain, tetapi merupakan latihan gerak motorik dari koordinsai gerakan tangan dan mata, gambar berupa goresan tipis tebal dengan arah yang belum terkendali. Periode ini terditi dari 3 fase, hanya setiap fase jaraknya sangat singkat sekali, sehingga dianggap satu fase.

a.1 Goresan tak Beraturan. Gambar tanpa makna, karena anak melakukannya hanyalah meniru orang lain, belum dapat membuat coretan berupa lingkaran, karena hanya merupakan latihan gerak motorik antara mata dengan gerak tangan, bentuk garis sembarangan, bersemangat tanpa melihat ke kertas, merupakan fase yang paling awal dalam tahap perkembangan menggambar anak.

a.2 Goresan Terkendali. Berupa goresan-goresan tegak, mendatar, lengkung bahkan lingkaran, coretan dilakukan berulang-ulang. Nampak anak mulai memerlukan kendali visual terhadap coretan yang dibuatnya, disini koordinasi antara perkembangan visual (gerak mata) dengan gerak motorik (tangan) semakin lengkap. Goresan dibuat dengan penuh semangat.


(4)

a.3 Goresan Bermakna. Pengalaman anak dalam membuat goresan semakin lengkap, gambar anak mulai terwujud menjadi satu kesatuan, bentuk yang semakin bervariasi, anak mulai memberi nama pada hasil coretannya dan mulai menggunakan warna. Dalam menggambar, anak belum mempunyai tujuan untuk menggambar sesuatu, karena fase ini lebih didasari oleh perkembangan fisik dan jiwa anak. Anak yang normal pasti suka meggambar.

b. Periode Pra Bagan (Pre Schematic Stage). Periode ini berlaku bagi anak berusia 4-7 tahun (taman kanak-kanak). Sejalan dengan meningkatnya perkembangan anak, pengalaman anakpun makin bertambah, lingkup sosial makin luas, anak berkesempatan mencipta, bereksperimen, menjelajah, dan berbagai hal baru yang erat dengan perkembangan jiwa, rasa maupun emosinya. Anak mulai mengenal dunia baru, mengenal sekolah, teman sebaya, guru, dan lingkungan baru. Sehingga gambar yang dibuat oleh anak mulai menggambar bentuk-bentuk yang berhubungan dengan dunia sekitar mereka. Rumah, manusia pohon dan lingkungan sekitarnya menjadi obyek yang menarik perhatian anak. Terutama gambar manusia, jarang anak seusia ini menggambar manusia dari samping, mereka lebih menyukai gambar dari arah depan, karena dapat memuat unsur wajah yang lebih lengkap. Unsur warna kurang diperhatikan, anak lebih tertuju pada hubungan antara gambar dan obyek gambar. Warna menjadi subyektif karena tidak mempunyai hubungan dengan obyek. Sedangkan konsep ruang tak lain adalah apa yang ada di sekitar dirinya, menjadikan tidak logisnya antara obyek yang satu dengan obyek lainnya.

c. Periode Bagan (Schematic Stage). Periode ini berlaku bagi anak berusia 7 sampai 9 tahun. Sejalan dengan tahap perkembangan anak, pada akhir tahap ini perkembangan akal sudah mulai mempengaruhi gambar anak. Anak sudah mulai menggambar obyek dalam suatu hubungan yang logis dengan gambar lain. Konsep ruang mulai nampak dengan adanya pengaturan antara hubungan obyek dengan ruang, gambar mulai realistis, mulai mengarah ke bentuk-bentuk yang mendekati kenyataan. Ciri utama gambar anak pada fase ini adalah


(5)

adanya garis dasar yang merupakan tempat obyek atau benda-benda berdiri, merupakan suatu perkembangan yang wajar. Muncul gejala yang disebut “folding over”, yakni cara menggambar obyek tegak lurus pada garis dasar, meskipun obyek akan nampak terbalik. Ciri lainnya, adanya gambar yang disebut “sinar X” (X-ray), yakni gambar yang berisi benda atau obyek lain dalam suatu ruang yang sebenarnya tidak kelihatan. Gambar dibuat berdasarkan ide anak itu sendiri, misalnya gambar rumah yang kelihatan bagian dalamnya seolah-olah rumah tersebut terbuat dari kaca bening. Warna mulai obyektif, artinya anak menyadari adanya hubungan antara warna dengan obyek. Disini anak telah menemukan konsep tertentu mengenai warna, yakni bahwa obyek tertentu akan memiliki warna tertentu pula. Ciri lain yang kurang menguntungkan, gambar nampak lebih kaku. Anak cenderung mencontoh gambar orang lain, hal ini karena berkembangnya sifat kooperatif di antara mereka.

d. Periode Awal Realisme (Early Realism Stage). Periode ini berlaku bagi anak berusia 9 sampai 12 tahun (kelas IV SD-VI SD) disebut pula “usia pembentuk kelompok”. Masa ini ditandai oleh besarnya perhatian anak terhadap obyek gambar yang dibuatnya. Bentuk-bentk gambar mulai mengarah ke bentuk realistis, tetapi nampak lebih kaku, hal ini sebagai akibat perkembangan sosial yang meningkat, mereka lebih memikirkan bentuk gambar yang dapat diterima oleh lingkungannya, akibatnya spontanitas berkurang. Anak mulai mengekspresikan obyek gambar dengan karakter tertentu, lelaki atau wanita secara jelas. Karakteristik warna mulai mendapat perhatian, walaupun belun adanya penampilan dalam hal perubahan efek warna dalam terang dan bayang-bayang. Dalam gambar adanya penemuan penggambaran bidang dasar sebagi tempat pijakan (ground) benda dan obyek gambar. Adanya garis horizon, walaupun fungsinya belum dimengerti, sehingga kesan perspektif akan kelihatan janggal. Terlihat adanya menghias (mendekorasi ) obyek gambar.

e. Periode Naturalistik Semu (Pseudo Naturalistic Stage). Periode ini berlaku bagi anak berusia 12 sampai 14 tahun. Masa pra puber. Gambar yang dibuat sesuai dengan obyek yang dilihatnya, sehingga timbul


(6)

minat terhadap naturalisme, terutama pada anak yang bertipe visual. Anak mulai menggambar sesempurna mungkin, sehingga detail lebih diperhatikan, akibatnya spontanitas hilang. Oleh karena itu pada periode ini merupakan akhir dari aktivitas spontanitas. Anak menjadi kritis terhadap karyanya sendiri. Ia mulai memperhitungkan kualitas tiga dimensi (perspektif).

Kata Bijak:

“Membebaskan” anak menggambar sama dengan membebaskan anak dalam menuangkan imajinasi dan

mengungkapkan dirinya melalui gambar. Melalui menggambar, secara tanpa disadari anak dapat belajar memecahkan persoalan yang dihadapi. Dengan menggambar anak dapat bermain dan berekspresi dengan sepuas-puasnya.

Jadi, tugas guru dan orang tua sebaiknya tidak mengajarkan konsep pendidikan seperti di masa lalu, dimana anak dianggap sebagai mahluk yang lemah, serba tidak tahu. Tugas orang dewasa hanyalah mengembangkannya secara