Efektivitas Ekstrak Biji Kapas (Gossypium Hirsutum L.) Terhadap Jumlah Dan Kualitas Embrio Mencit (Mus Musculus L )

EFEKTIVITAS EKSTRAK BIJI KAPAS (Gossypium hirsutum L.)
TERHADAP JUMLAH DAN KUALITAS EMBRIO
MENCIT (Mus musculus L.)

NOFRI ZAYANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Ekstrak Biji
Kapas (Gossypium hirsutum L.) terhadap Jumlah dan Kualitas Embrio Mencit
(Mus musculus L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2016

Nofri Zayani
NRP B352140061

RINGKASAN
NOFRI ZAYANI. Efektivitas Ekstrak Biji Kapas (Gossypium hirsutum L.)
terhadap Jumlah dan Kualitas Embrio Mencit (Mus musculus L.). Dibimbing oleh
IMAN SUPRIATNA dan MOHAMAD AGUS SETIADI.
Ekstrak biji kapas (Gossypium hirsutum L.) mengandung gosipol yang bersifat
sebagai zat antifertilitas. Efeknya mampu mengurangi dan merusak folikel
berkembang yang disertai dengan kerusakan oosit. Kerusakan oosit ini
mengakibatkan penurunan jumlah, kualitas, viabilitas, dan hambatan
perkembangan embrio. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efektivitas ekstrak
biji kapas (Gossypium hirsutum L.) terhadap jumlah dan kualitas embrio mencit
(Mus musculus L.).
Dosis ekstrak biji kapas yang digunakan terdiri atas 0 (kontrol); 1.5; 2.1; dan
2.7 g kg-1 BB peroral selama 24 hari. Ekstraksi biji kapas dilakukan dengan

metode maserasi menggunakan etanol 80%. Penelitian ini menggunakan 24 ekor
mencit betina strain DDY, berumur kisaran 14 sampai 15 minggu, dan bobot
badan berkisar 30 sampai 35 g. Mencit kemudian dikawinkan pada hari ke-24
pemberian ekstrak biji kapas. Koleksi embrio dilakukan pada hari ke empat
kebuntingan dengan metode flushing kornua uterus dan ditentukan jumlah,
kualitas dan stadium perkembangannya. Embrio kemudian dikultur secara in vitro
selama 48 jam dalam medium kultur modifikasi phosphate buffered saline (PBS)
yang disuplementasi dengan 10% fetal bovine serum (FBS) berdasarkan stadium
perkembangan untuk mengamati viabilitas embrio.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak biji kapas pada dosis 1.5; 2.1;
dan 2.7 g kg-1 BB mengakibatkan jumlah embrio lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol (P < 0.05). Ekstrak biji kapas pada dosis 2.7 g kg-1 BB
menurunkan kualitas embrio seperti ditemukannya embrio retarded dan
degenerasi, serta oosit yang tidak terfertilisasi. Hasil pengamatan pada stadium
perkembangan embrio menunjukkan terjadinya hambatan perkembangan pada
hari ke empat (D4) kebuntingan sejalan peningkatan dosis pemberian. Pada dosis
2.7 g kg-1 BB terdapat embrio dengan stadium perkembangan 8 sel, 4 sel dan oosit
yang tidak terfertilisasi. Data dari kultur embrio secara in vitro selama 48 jam
menunjukkan penurunan jumlah embrio yang berhasil berkembang ke tahapan
blastosis, expanded blastosis, dan hatched blastosis. Embrio retarded (4 sampai 8

sel) dan degenerasi tidak berkembang pada kultur 24 jam. Dapat disimpulkan
bahwa ekstrak biji kapas yang mengandung gosipol mampu menurunkan fertilitas
melalui pengurangan jumlah, kualitas, viabilitas, dan menghambat perkembangan
embrio mencit sehingga dapat dijadikan sebagai kandidat kontrasepsi herbal.
Kata kunci: gosipol, jumlah embrio, kualitas embrio, mencit, viabilitas embrio

SUMMARY
NOFRI ZAYANI. Effectiveness of the Cottonseed Extract (Gossypium hirsutum
L.) on the Number and Quality of Mice Embryo (Mus musculus L.). Supervised
by IMAN SUPRIATNA and MOHAMAD AGUS SETIADI.
The cottonseed (Gossypium hirsutum L.) contained gossypol as antifertility
agents. The effect of cottonseed extract treatment could be decrease and impaired
follicles development were accompanied by oocytes damage. Damage of oocytes
resulted reduction of number, quality, stadium of development, and viability of
mice embryo. The objective of this study was to evaluate the effectiveness of the
cottonseed extract (Gossypium hirsutum L.) on the number and quality of mice
(Mus musculus L.) embryo.
Doses of the cottonseed extract were used consist of 0 (control); 1.5; 2.1; and
2.7 g kg-1 of body weight (BW) for 24 days via oral route. Extraction of the
cottonseed were done by maceration method used 80% ethanol. This research

used 24 animals of female DDY mice 14-15 weeks old and 30-35 g BW. Mice
then were mated on days 24 of cottonseed extract treatment. Collecting embryos
were done in days 4 of pregnancy by flushing method from uterine cornua and
determinated the number, quality, and stage of development. Embryos then were
cultured in vitro for 48 hours in modified phosphate buffered saline (PBS)
supplemented with 10% fetal bovine serum (FBS) culture medium based on the
stage of development to examine the viability of embryos.
The result showed that the cottonseed extract at 1.5; 2.1; and 2.7 g kg-1 BW
doses produced lower number of embryos compared with the control group (P <
0.05). The cottonseed extract at 2.7 g kg-1 BW dose decreased quality of embryos
(P < 0.05) like retardation, degeneration embryos, and unfertilization oocytes. The
result of observation on stage of embryos showed retardation of development on
days 4 of pregnancy along increasing doses. At a dose of 2.7 g kg-1 BW contained
stage of embryos development with 8 cells, 4 cells, and unfertilization oocytes (P
< 0.05). Data from embryos culture in vitro along 48 hours significantly reduced
number of embryos (P < 0.05) that developed to the blastocysts, expanded
blastocysts, and hatched blastocysts. Retardation (4-8 cells) and degeneration of
embryos did not develop in culture for 24 hours. It can be concluded that the
cottonseed extract which contained gossypol decreased the fertility by reduced
number, quality, viability, and inhibited mice embryo development, so that it can

be used as a candidate of herbal contraseption.
Keywords: gossypol, mice, number of embryo, quality of embryo, viability of
embryo

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFEKTIVITAS EKSTRAK BIJI KAPAS (Gossypium hirsutum L.)
TERHADAP JUMLAH DAN KUALITAS EMBRIO
MENCIT (Mus musculus L.)

NOFRI ZAYANI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP., PhD

Judul Tesis

: Efektivitas Ekstrak Biji Kapas (Gossypium hirsutum L.) terhadap
Jumlah dan Kualitas Embrio Mencit (Mus musculus L.)

Nama


: Nofri Zayani

NRP

: B352140061

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Drh Iman Supriatna
Ketua

Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Reproduksi


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi

Dr Ir Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian : 1 November 2016

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Mei 2016 ini adalah
“Efektivitas Ekstrak Biji Kapas (Gossypium hirsutum L.) terhadap Jumlah dan
Kualitas Embrio Mencit (Mus musculus L.)”. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan sekarang dan dimasa
yang akan datang.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada instansi Institut Pertanian
Bogor (IPB) sebagai tempat menimba ilmu pada Program Studi Biologi

Reproduksi dan meraih gelar Magister Sains (M.Si). Ucapan terima kasih juga
diucapkan kepada Bapak Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi selaku Ketua
Program Studi Biologi Reproduksi (BRP) atas segala arahannya selama penulis
mengenyam pendidikan pada program studi ini. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada semua staf dan pegawai Program Studi BRP yang telah
memberikan fasilitas dan pelayanan yang menunjang perkuliahan kepada penulis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Drh Iman Supriatna dan
Bapak Prof Dr Drh Mohamad Agus Setiadi selaku pembimbing tesis atas segala
arahan, saran, dan bimbingannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Drh Ni Wayan Kurniani Karja, MP., PhD selalu penguji tesis yang telah
banyak memberikan saran. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
ucapkan kepada keluarga tercinta Ayahanda Zaidir (almarhum), Ibunda Yunibar,
Kakak Zaiyu Rahman dan Zulmaneti, serta Adik Yudya Fauzan, Dila Yunita, dan
Fauziah Tulhusna atas seluruh do’a, dukungan semangat, kasih sayang, serta
kesabarannya dalam membantu penulis selama menempuh pendidikan di Institut
Pertanian Bogor.
Ungkapan terima kasih penulis haturkan kepada sahabat tersayang Siska
Adelya Ramadhani yang setia membantu dan menemani semenjak menempuh
pendidikan Strata 1 sampai sekarang. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan
untuk adek kosan Baiq Hayyul Hidayati dan Euis Marlina yang sudah

memotivasi, memberikan warna, dan kebersamaan yang telah tercipta selama kita
di Bogor. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada Haniffudin yang
selalu memberikan dorongan semangat pantang mundur dan mendengarkan keluh
kesah tentang perkuliahan. Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada
“group IVF 2014” yang telah menemani dan membantu selama dalam masa
penelitian dan juga terima kasih kepada teman-teman seperjuangan “Biologi
Reproduksi 2014” yang telah mengisi hari-hari perkuliahan dengan keseriusan,
canda tawa, dan keisengan. Akhir kata, penulis berharap semoga karya ilmiah ini
bermanfaat bagi yang membaca pada umumnya dan penulis khususnya.

Bogor, Desember 2016

Nofri Zayani

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL


ii

DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kerangka Pemikiran
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biji Kapas (Gossypium hirsutum L.)
Mekanisme Kerja Gosipol
Stadium Perkembangan Embrio
Kualitas Embrio
Viabilitas Embrio Kultur secara In Vitro
Mencit (Mus musculus L.)

3
4
5
6
7
9

3 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan Penelitian
Desain Penelitian
Prosedur Penelitian
Pembuatan Ekstrak Biji Kapas
Persiapan Hewan Coba
Pemberian Ekstrak Biji Kapas dan Pengawinan Hewan Coba
Pengamatan Jumlah, Stadium Perkembangan, dan Kualitas
Embrio
Pengamatan Viabilitas Embrio dalam Kultur Embrio secara
In Vitro
Parameter yang Diamati
Analisis Data

10
10
10
11
11
11
12
12
12
13
13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah, Stadium Perkembangan, dan Kualitas Embrio
Viabilitas Embrio dalam Kultur secara In Vitro

13
17

5 SIMPULAN DAN SARAN

21

DAFTAR PUSTAKA

22

LAMPIRAN

27

RIWAYAT HIDUP

33

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Stadium dan waktu perkembangan embrio mencit
Klasifikasi kualitas embrio mencit pada D4 kebuntingan
Sifat biologi mencit betina (Mus musculus L.)
Perolehan stadium perkembangan embrio mencit
pada D4 kebuntingan setelah pemberian ekstrak biji kapas
5 Total persentase embrio mencit yang berkembang setelah kultur
secara in vitro selama 48 jam

6
7
9
14
19

DAFTAR GAMBAR
1 Morfologi biji kapas (Gossypium hirsutum L.)
2 Jumlah embrio mencit (Mus musculus L.) pada D4 kebuntingan
setelah pemberian ekstrak biji kapas (Gossypium hirsutum L.)
3 Kualitas embrio mencit (Mus musculus L.) pada D4 kebuntingan
setelah pemberian ekstrak biji kapas(Gossypium hirsutum L.)
4 Persentase kualitas embrio mencit (Mus musculus L.)
setelah pemberian ekstrak biji kapas (Gossypium hirsutum L.)
5 Persentase embrio morula, morula kompak, blastosis awal dan
blastosis yang berkembang setelah kultur in vitro selama 48 jam

3
14
16
17
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Rincian kegiatan penelitian
2 Komposisi medium kultur embrio secara in vitro
3 Berat badan indukan mencit sebelum dan setelah
pemberian ekstrak biji kapas
4 Persentase kebuntingan indukan mencit
5 Persetujuan komisi etik atas perlakuan hewan
6 Surat keterangan asal hewan coba

28
28
29
30
31
32

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penelitian dan pengembangan obat kontrasepsi herbal di Indonesia terus dikaji
dan berkembang pesat. Obat herbal lebih banyak diminati oleh masyarakat saat ini
karena bersifat reversibel, efektif, mudah didapat, dan ekonomis. Hal ini juga
sesuai dengan syarat ideal untuk pemilihan bahan kontrasepsi (Akbar 2010).
Selama ini, obat kontrasepsi banyak berasal dari bahan kimia termasuk hormon
yang cukup membahayakan kondisi kesehatan masyarakat. Beberapa efek
samping dari kontrasepsi ini di antaranya meningkatkan tekanan darah, mual,
kegemukan, perdarahan di luar siklus menstruasi, dan resiko jantung koroner
karena penumpukan kolesterol (Nawrot et al. 2003). Oleh karena itu, eksplorasi
bahan herbal kontrasepsi sangat diharapkan agar masyarakat tetap dapat mengatur
jumlah anak tanpa harus memikirkan resiko penggunaan obat.
Biji kapas (Gossypium hirsutum L.) adalah salah satu bagian tumbuhan kapas
yang berpotensi sebagai bahan obat kontrasepsi herbal. Biji kapas memiliki
kandungan utama gosipol, yaitu suatu zat antifertilitas yang memengaruhi kontrol
hormon reproduksi dan memiliki efek sitotoksik (Gadelha et al. 2014a).
Hernandez (2016) juga mengemukakan bahwa gosipol termasuk ke dalam
senyawa polifenolik yang berwarna kuning. Efek antifertilitas gosipol telah diteliti
mampu mengurangi jumlah folikel yang berkembang ke folikel dominan ovarium
(Gadelha et al. 2014b). Mekanisme kerja gosipol langsung merusak pada sel – sel
folikel ovarium (Camara et al. 2015). Pada folikel ovarium, aktivitas sitotoksik
gosipol diduga memicu pembentukan oksigen reaktif spesies (O2-) yang
menghambat kerja antioksidan superoksida dismutase (SOD) sehingga
menyebabkan stres oksidatif sel. Stres oksidatif mengakibatkan kerusakan
komunikasi antara sel (Herve et al. 1996; Cheng et al. 2003) dan transpor ion
melalui membran (Bai dan Shi 2002). Gosipol merusak transpor ion pada
membran khususnya ion logam seperti kalsium (Ca2+) dan natrium (Na+) dengan
menempati saluran Ca2+ tipe T. Hal ini mengakibatkan peningkatan ion kalsium
intraseluler yang berbahaya untuk sel. Kerusakan oleh gosipol dapat juga
menginduksi apoptosis pada sel (Zanga et al. 2003). Apoptosis merupakan
kematian sel yang terprogram dengan gejala awal berpindahnya posisi asam
lemak phosphatidilserin dari lapisan membran bagian dalam ke bagian luarnya sel
(Bakri et al. 2016). Pada sel granulosa, peningkatan oksigen reaktif (O2-)
mengakibatkan pengurangan produksi hormon steroid karena efek
antisteroidogenik gosipol menekan kerja enzim-enzim seperti sitokrom p450,
aromatase, 5α reduktase, dan hidroksisteroid dehidrogenase (γ -HSD) (Gu et al.
1991; Basini et al. 2009). Penelitian Bender et al. (1988) membuktikan bahwa
pemberian gosipol mengakibatkan rendahnya produksi hormon progesteron dan
estrogen dibandingkan kontrol.
Efek sitotoksik gosipol juga merusak pada organel sel seperti mitokondria
sehingga mengganggu metabolisme energi seluler (Yuan dan Shi. 2000). Gosipol
menghambat metabolisme oksidatif dengan menekan aktivitas enzim yang terlibat
dalam transpor elektron dan fosforilasi oksidatif (Gadelha et al. 2014a). Disfungsi
mitokondria mengakibatkan penurunan produksi adenosine triphosphate (ATP)

2
untuk proses metabolisme sel (Neganova et al. 2000). Selain itu, gosipol juga
diketahui merusak pada sisterna retikulum endoplasma halus sehingga
mengganggu sekresi protein dan hormon yang dibutuhkan sel. Serangkaian
gangguan aktivitas seluler khususnya pada folikel ini mengakibatkan atresia yang
diikuti dengan kerusakan oosit (Camara et al. 2015). Kerusakan oosit mengurangi
kompetensinya untuk berkembang menjadi embrio khususnya sampai tahapan
blastosis. Oleh karena itu, penelitian pemberian ekstrak biji kapas yang
mengandung gosipol pada mencit telah dilakukan untuk mengamati pengaruhnya
terhadap kerusakan oosit lebih lanjut yang diindikasikan dengan penurunan
jumlah, kualitas, tahapan perkembangan (stadium) embrio pada D4 kebuntingan
dan kemampuan perkembangan embrio yang dikultur secara in vitro selama 48
jam.
Kerangka Pemikiran
Ekstrak biji kapas yang mengandung gosipol dapat menurunkan fertilitas.
Gugus hidroksil gosipol berikatan dengan gugus amin dari asam amino protein
dan ikut beredar ke seluruh tubuh khususnya ke organ reproduksi primer betina
yaitu ovarium. Efek sitotoksik gosipol bekerja langsung pada ovarium dengan
jalan berikatan pada molekul fosfolipid dan lipoprotein membran sehingga
memicu terbentuknya radikal bebas berupa senyawa oksigen reaktif (O2-). Radikal
bebas ini dapat menyebabkan peroksidasi lipid pada membran sel serta organel
sel di ovarium dan menghambat aktivitas antioksidan seluler superoksida
dismutase (SOD). Hal ini mengakibatkan folikel atresia yang disertai dengan
kerusakan oosit didalamnya. Oosit sebagai sel yang aktif membelah dengan
mudah menyerap zat-zat yang masuk ke dalam sel sehingga menimbulkan
degenerasi pada oosit. Terjadinya folikel atresia dan degenerasi pada oosit
menurunkan kompetensi oosit yang diovulasikan sehingga diduga dapat
mengakibatkan penurunan jumlah dan kualitas embrio. Embrio yang rendah
kualitasnya mempunyai daya kemampuan perkembangan atau viabilitas yang
rendah pula ke stadium lebih lanjut. Viabilitas perkembangan embrio dapat
diketahui dengan melakukan kultur embrio secara in vitro.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji efektivitas ekstrak biji kapas (Gossypium
hirsutum L.) terhadap jumlah dan kualitas embrio secara in vivo serta viabilitas
embrio mencit (Mus musculus L.) secara in vitro.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:
1. Memberikan informasi ilmiah tentang efek ekstrak biji kapas terhadap jumlah
dan kualitas embrio mencit secara in vivo dan viabilitas embrio secara in vitro.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi biji kapas yang
dapat dikembangkan sebagai bahan obat kontrasepsi herbal wanita.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Biji Kapas (Gossypium hirsutum L.)
Jenis kapas yang banyak tersebar di wilayah Indonesia adalah Gossypium
hirsutum L.. Penamaan kapas dengan Gossypium hirsutum L. melambangkan zat
yang paling banyak terkandung dalam tanaman ini yaitu gossypium fenol
(gosipol). Selain gosipol, kandungan kimia yang terdapat dalam tumbuhan kapas
terdiri atas flafonoid dan steroid (Chandrashekar et al. 2013). Gosipol merupakan
senyawa polifenolik yang dihasilkan oleh kelenjar pigmen tumbuhan genus
Gossypium. Konsentrasi gosipol terbesar ditemukan dalam biji dibandingkan
bagian kapas lainnya. Biji kapas mengandung 20 sampai 25% gosipol atau
gosipol totalnya 14 g kg-1 (Gadelha et al. 2014a). Biji kapas yang tersebar di
Indonesia berbentuk bulat telur, berwarna coklat kehitaman, panjang biji antara 6
sampai 12 mm, berat biji dalam satu buah berkisar 6 sampai 17 g (Aak 1992).
Morfologi biji kapas disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Morfologi biji kapas (Gossypium hirsutum L.)
Gosipol merupakan senyawa semi polar dengan rumus kimia C30H30O8
dengan struktur kimia 2.2bis(8-formil-1.5.7-trihydroxy-5-isopropil-3methyl
naphthalene). Gosipol memiliki berat molekul 518.55 Dalton dan berbentuk
kristal kuning. Gosipol tidak dapat larut dalam air, heksan, dan eter, namun larut
dalam aseton, kloroform, metil etil keton (butanon), etanol, metanol, dan sebagian
larut dalam minyak sayur mentah. Kestabilan pelarut menurun dari aseton,
asetonitril, etanol, dan metanol. Dalam biji kapas terdapat gosipol bebas, gosipol
terikat, dan gosipol total. Gosipol bebas terdiri dari gugus karbonil bebas dapat
bereaksi dengan gugus amin dari asam amino. Sementara itu, gosipol terikat yaitu
gosipol yang gugus karbonilnya langsung berikatan dengan senyawa amin dari
asam amino pada protein sehingga akan kehilangan sifat bebasnya dan gosipol
total merupakan jumlah antara gosipol bebas dan terikat. Gosipol terikat tidak
membahayakan ternak dan manusia. Gosipol bebas dapat meracuni ternak yang
masih kecil. Konsentrasi gosipol bebas dalam kapas sekitar 0.01% sampai 1.7%
(Dalton 2003).
Gosipol dapat bersifat sebagai zat antifertilitas (Gadelha et al. 2014b),
antiimplantasi (Lin et al. 1991), dan antisteroidogenik (Basini et al. 2009). Pada
jantan, gosipol dapat mengakibatkan perubahan struktur epididimis, menurunkan
ukuran testis, regresi sel Sertoli dan sel Leydig, merusak membran plasma dan

4
menyebabkan immotil spermatozoa (White et al. 1988; Udoh et al. 1992). Selain
itu, gosipol juga mengakibatkan berkurangnya diameter tubulus seminiferus pada
tikus dan mencit jantan (Bai et al. 2002; Amini et al. 2005; Singla dan Garg
2013). Pada betina, gosipol mengakibatkan pengurangan jumlah siklus estrus
selama 30 hari tanpa menghambat proses ovulasi pada tikus, pengurangan angka
kebuntingan dan jumlah embrio yang mampu bertahan sampai hari ke 13
kebuntingan (Bender et al. 1988). Efek pemberian gosipol juga menyebabkan
kematian embrio yang tinggi pada embrio ayam dan tikus, resorbsi janin, namun
tidak menyebabkan malformasi (Li et al. 1989). Pada hamster, pemberian gosipol
dapat menghambat perkembangan embrio untuk mencapai morula (Lin et al.
1994).
Mekanisme Kerja Gosipol
Gosipol menghambat secara langsung produksi hormon gonadotropin dengan
mengganggu kerja sel FSH dan LH pada hipofisis anterior (Udoh et al. 1992)
serta mengganggu steroidogenesis pada ovarium. Lin et al. (1992) dan Yurekli et
al. (2009) mengemukakan bahwa gosipol dapat mengganggu steroidogenesis
dengan menghambat aktivitas enzim sitokrom p450, γ –hidroksisteroid
dehidrogenase (γ –HSD), 5α–reduktase, dan aromatase. Enzim sitokrom p450
berfungsi mengkatalisis kolesterol menjadi pregnenolon, γ –HSD mengkatalisis
pregnenolon menjadi progesteron, 5α–reduktase mengkatalisis testosteron
menjadi 5–dehidrotestosteron, dan aromatase mengkatalisis testosteron menjadi
estrogen (Murray et al. 2006). Hambatan pada proses kerja enzim–enzim ini
menyebabkan hormon–hormon steroid yang dihasilkan dalam konsentrasi sedikit
sehingga menghambat proses reproduksi. Penelitian Young et al. (1985) dan
Bender et al. (1988) menemukan bahwa pemberian gosipol menyebabkan
konsentrasi progesteron dan estrogen lebih rendah dibandingkan kontrol.
Kekurangan progesteron pada awal kebuntingan dapat menyebabkan kematian
embrio dini (Randel et al. 1996 dan Basini et al. 2009).
Gosipol juga dapat memempati reseptor hormon LH sehingga LH tidak dapat
berikatan dengan reseptornya, memicu penurunan cAMP, menghambat aktivitas
adenil siklase dan protein kinase. Hal ini menyebabkan terhambatnya sel luteal
mensintesis enzim yang diperlukan untuk steroidogenesis (Lin et al. 1994). Zat
analog yang berikatan dengan reseptor hormon tidak dapat menstimulasi reseptor
tersebut (Koeman 1993). Gosipol mengakibatkan terhambatnya kerja LH untuk
menstimulasi produksi cAMP. Secara normal, cAMP berfungsi untuk
menstimulasi aktivitas protein kinase dan meningkatkan ketersediaan kolesterol
untuk side chain cleavage dan testosteron. Gosipol mengganggu produksi cAMP
juga melalui berikatannya dengan G–protein serta sub unit katalitik yang
mengkonversi ATP menjadi cAMP. Gosipol yang berikatan dan berinteraksi
dengan domain nukleotida sub unit katalitik mengakibatkan terganggunya sintesis
protein dan enzim untuk proses reproduksi (Shaaban et al. 2007). Zhanga et al.
(2003) dan Moon et al. (2011) juga menemukan bahwa gosipol mengganggu
faktor trasnkripsi (p53, p50 dan p65) sehingga menghambat pembentukan enzim
dan hormon yang diperlukan untuk reproduksi.
Mekanisme kerja gosipol yang kedua yaitu memiliki efek sitotoksik dengan
mengganggu dan merusak aktivitas seluler. Gosipol dapat berikatan dengan
komponen sistem membran plasma dan membran organel. Sel–sel di luteal

5
ovarium sapi memiliki afinitas mengikat yang paling tinggi terhadap gosipol (Lin
et al. 1992). Inteaksi lipid membran dengan gosipol dapat menyebabkan
peroksidasi lipid membran sehingga merusak transpor ion pada membran (Brocas
et al.1997), bahkan tight junction antar sel (Villasenor et al. 2008). Peroksidasi
lipid adalah proses kerusakan asam lemak penyusun membran sel dengan ditandai
adanya reaksi oksidasi asam lemak tak jenuh ganda oleh radikal bebas berupa
senyawa oksigen reaktif (O2-) (Setiawan et al. 2007). Senyawa O2- dapat
menghambat aktivitas antioksidan superoksida dismutase (SOD) sehingga
menimbulkan stres oksidatif pada sel (Shaaban et al. 2007). Gosipol merusak
transpor ion pada membran khususnya ion logam seperti Ca2+ dan Na+ (Bai dan
Shi 2002). Peroksidasi lipid dan terganggunya transpor ion pada membran
mengakibatkan kebocoran sel, kerusakan organel sel dan bahkan menyebabkan
perembesan isi sitoplasma keluar sel. Penelitian Pan et al. (1987) menemukan
bahwa gosipol pada sel granulosa menyebabkan hilangnya sisterna dari retikulum
endoplasma halus.
Gosipol juga bekerja mengganggu dalam proses penghasilan energi (ATP)
pada mitokondria. Penelitian Cuellar dan Ramirez (1993) menemukan bahwa
mitokondria memiliki tingkat afinitas tertinggi dengan gosipol dibandingkan
dengan organel sel lainnya. Gosipol selain menghambat proses metabolisme
oksidatif (Gadelha et al. 2014a), juga menganggu kerja laktat dehidrogenase X
(LDH-X). Laktat dehidrogenase X yaitu enzim yang berpartisipasi dalam sistem
transpor ion hidrogen dari sitosol ke mitokondria. Gangguan pada penghasilan
energi dapat mengakibatkan terganggunya proses perkembangan. Rendahnya
persediaan ATP dan disfungsi mitokondria dalam menghasilkan ATP dapat
memicu penurunan kemampuan perkembangan embrio mamalia. Penelitian Lin et
al. (1994) menunjukkan bahwa pemberian gosipol pada hamster menunda stadium
embrio yang berkembang mencapai morula. Penelitian Villasenor et al. (2008)
pada sapi juga menunjukkan bahwa pemberian gosipol menyebabkan rendahnya
embrio yang berkembang dari morula ke blastula dan tingginya persentase embrio
degenerasi. Embrio degenerasi ditandai dengan adanya reduksi ukuran embrio.
Berdasarkan penelitian–penelitian yang telah ada terlihat bahwa pemberian
gosipol dapat menyebabkan terganggunya sistem kerja hormonal dan aktivitas
seluler ovarium sehingga diperkirakan mengganggu proses pembentukan folikel
dan oosit yang berdampak pada penurunan jumlah dan kualitas embrio, serta
terjadi hambatan pada perkembangannya. Hal ini berarti kandungan senyawa
gosipol dalam biji kapas dapat bekerja melalui efek hormonal dan sitotoksik.
Stadium Perkembangan Embrio
Embrio merupakan perkembangan lanjutan dari zigot yang terbentuk setelah
fertilisasi. Embrio adalah organisme pada tahap awal perkembangan yang tidak
memiliki bentuk defenitif untuk dapat dikenali secara spesifik dari hewan tertentu.
Perkembangan embrio di mulai setelah terbentuk zigot. Stadium perkembangan
embrio di mulai dengan tahap pembelahan 2 sel, 4 sel, 8 sel, dan seterusnya. Zigot
yang mengalami serangkaian pembelahan mitosis disebut stadium cleavage yang
di mulai dari dua sel. Blastomer yang tersusun sudah agak menumpuk sekitar 16
sampai 32 sel disebut embrio berstadium morula. Massa sel embrio tahapan
morula menempati sebagian ruang perivitelin. Morula memiliki sel–sel bagian
luar yang lebih kompak dibandingkan sel bagian tengahnya. Susunan blastomer

6
yang sudah kompak dan sulit dihitung dinamakan embrio berstadium morula
kompak. Pada tahapan ini, massa embrio menempati sekitar 60-70% ruang
perivitelin (Lindner et al. 1983). Hubungan komunikasi antar sel bagian dalam
terjadi melalui gap junction, sedangkan sel-sel permukaan melalui tight junction.
Tight junction menjadikan sel-sel pada daerah permukaan lebih permeabel
dibandingkan sel-sel sebelah dalam dan merangsang akumulasi cairan dalam
morula. Akumulasi cairan ini terjadi karena konsentrasi ion di bagian dalam
meningkat sehingga air mudah masuk ke dalam embrio, dan mulai membentuk
rongga yang disebut blastosol.
Embrio yang sudah terbentuk rongga yang berisi cairan disebut blastosis.
Blastosis awal ditandai dengan terbentuknya rongga blastosol yang menempati
kurang dari setengah volume embrio dan blastosis ditandai dengan telah
terbentuknya rongga blastosol yang menempati setengah atau lebih volume
embrio. Sel-sel bagian dalam blastosis membentuk inner cell mass (ICM),
sedangkan sel-sel di bagian permukaan akan menjadi trofoblas. Trofoblas
memproduksi enzim proteolitik yang berfungsi untuk menipiskan zona pelusida,
sehingga zona pelusida mudah pecah. Pertambahan jumlah sel, akumulasi cairan
dan melemahnya zona pelusida menyebabkan zona pelusida pecah dan embrio
keluar dari zona pelusida. Proses ini disebut hatching (menetas) blastosis. Secara
in vivo, stadium zigot, embrio tahapan cleavage dan morula berada dalam saluran
oviduk induk mencit. Embrio kemudian berpindah ke dalam uterobal junction
setelah embrio mencapai tahapan morula kompak, tahapan selanjutnya embrio
sudah berada dalam uterus (Theiler 1989). Stadium perkembangan embrio mencit
praimplantasi sesuai waktunya terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Stadium dan waktu perkembangan embrio mencit
Stadium perkembangan embrio
Waktu (jam)
2 sel
0 – 24
4 sel
24 – 48
8 sel - 32 sel (morula)
52 – 72
Morula kompak, blastosis
72 – 96
Hatching – hatched blastosis
120
Implanted blastosis
144
Sumber : Theiler (1989)
Kualitas Embrio
Penilaian kualitas embrio dilakukan dengan mengamati penampilan
morfologinya. Penilaian kualitas embrio penting untuk menentukan kelayakannya
untuk ditransferkan dan berkembang lanjut. Embrio dengan kualitas yang baik
mempunyai daya tahan hidup dan mampu berkembang lebih lanjut (Betteridge et
al. 1980). Kualitas embrio yang baik mampu mendukung angka keberhasilan
kebuntingan. Embrio yang berkualitas baik dicirikan dengan bentuk ikatan suatu
blastomer dengan blastomer lainnya erat, dan kompak. Dari segi struktural,
blastomer memiliki ukuran, warna dan susunan yang sama, dan berbentuk bulat
(spherical). Struktur Sitoplasma tidak bergranulasi dan mempunyai vesikel
berukuran sedang, ruang perivitelin kosong dan diameternya teratur. Zona
pelusida berbentuk rata mengembung, tidak mengkerut atau kolaps, dan tidak ada

7
reruntuhan sel (debris). Selain itu, embrio yang dikoleksi harus sesuai dengan
stadium perkembangan yang diantisipasi (Supriatna 2013). Klasifikasi kualitas
embrio mencit berdasarkan morfologinya yang dimodifikasi dari Supriatna (2013)
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Klasifikasi kualitas embrio mencit pada D4 kebuntingan
Kualitas embrio
Penampilan umum morfologi embrio
(Grade)
1 (sangat baik) Embrio hampir sempurna dengan sel blastomer sehat dan aktif
lebih 98%, bentuk bundar atau spherical (simetris), zona
pelusida intak, ikatan blastomer kuat dan kompak, ukuran
blastomer sama besar, tidak ada sel debris, dan warna agak
gelap.
2 (baik)
Sel blastomer embrio yang aktif dan sehat 75 - 98%, bentuk
tidak bundar (asimetris), zona pelusida intak, dan ada satu
blastomer yang keluar dari ikatannya.
3 (cukup)
Sel blastomer embrio yang aktif dan sehat 1.5% - 75%,
beberapa blastomer keluar dari ikatannya, dan ukuran
blastomer tidak simetris.
4 (jelek)
Sel blastomer yang aktif kurang dari 25 % .
5 (retarded
Retarded  hambatan perkembangan pada D4 kebuntingan
perkembangan
mencit (4-8 sel).
degenerasi,
Degenerasi  ikatan blastomer longar sampai lepas, warna
dan oosit tidak
intensif/gelap (piknotik).
terfertilisasi)
Oosit tidak terfertilisasi  tidak terdapat sel blastomer.
Sumber: modified Supriatna (2013)
Viabilitas Embrio Kultur secara In Vitro
Perkembangan embrio dapat terjadi baik secara in vivo mauppun in vitro.
Perkembangan embrio secara in vitro dilakukan dengan menempatkannya pada
lingkungan medium yang menyerupai kondisi alamiah dalam tubuh induk
(Harding et al. 2002). Faktor yang memengaruhi perkembangan embrio secara in
vitro yaitu kualitas embrio, komposisi medium kultur, dan lingkungan sistem
kultur. Kualitas embrio yang jelek mengakibatkan rendahnya persentase
perkembangannya ke tahapan selanjutnya. Medium yang digunakan harus sesuai
dengan kebutuhan embrio (Bettger dan McKeehan 1986). Kandungan dalam
medium yang paling penting adalah sumber energi, protein, dan larutan buffer.
Sumber energi dapat berupa asam laktat, glukosa atau glutamin tergantung
tahapan perkembangan embrio serta jenis sel yang dikultur (Gardner 2007).
Protein berfungsi sebagai bahan untuk pembangun sel yang sedang membelah
atau fungsi fisiologis yang lain. Larutan buffer digunakan untuk menjaga stabilitas
medium kultur dari perubahan derajat keasaman (pH). Faktor lingkungan yang
memengaruhi keberhasilan kultur embrio di antaranya level oksigen (O2), karbon
dioksida (CO2), pH, suhu, inkubator, cahaya, dan volume inkubasi (Freshney
1987). Karbon dioksida diperlukan untuk mempertahankan pH protein dan asam
nukleat oleh embrio mencit pada semua tahap perkembangan sebelum implantasi
(Widjiati et al. 2012).

8
Beberapa medium yang telah digunakan untuk perkembangan embrio mencit
melalui kultur secara in vitro yaitu modified phosphate buffered saline (mPBS)
yang disuplementasikan 10.0% fetal bovine serum (FBS) (Supriatna et al. 1993),
HECM-6 serta KSOMaa (Rosadi et al. 2008), dan medium 16 (M16) serta human
tubal fluid (HTF) (Popova et al. 2011 dan Widjiati et al. 2012). Sistem Kultur
secara in vitro untuk embrio mencit sangat diperlukan medium yang mampu
mendukung perkembangan embrio mencit mencapai tahapan hatched blastosis.
Penggunaan medium HECM-6 dan KSOMaa kurang mendukung perkembangan
embrio mencit sampai tahapan hatched blastosis karena viabilitasnya yang
dihasilkan rendah yaitu hanya mencapai 32.0% dan 30.0%. Sedangkan medium
M16 hanya mampu mendukung perkembangan embrio sampai hatched blastosis
dengan viabilitas 63.5% (Popova et al. 2011). HTF hanya mendukung embrio
sampai tahapan 4 sel (Widjiati et al. 2012). Sementara itu, penggunaan medium
mPBS yang disuplementasikan 10% FBS mampu mendukung perkembangan
embrio mencit sampai tahapan hatched blastosis dengan ditemukan persentase
viabilitasnya mencapai 88.9%. Medium PBS dirancang dengan kisaran pH 7
sampai 7.6 dan seringnya 7.4. PBS memiliki keunggulan mempertahankan pH
agar tetap konstan dan memiliki osmolaritas yang cocok (isotonis) dan tidak
toksik untuk sel (Dulbecco dan Vogt 1954). Pertumbuhan sel yang dikultur secara
in vitro normalnya terjadi pada pH 7.4 (Freshney 1987). Adanya penambahan
FBS dalam medium mPBS mendukung dengan baik perkembangan embrio
blastosis mencit karena serum ini diperoleh dari sapi pada hari ke tujuh
kebuntingannya (stadium embrionya diperkirakan pada tahapan blastosis) yang
memiliki unsur-unsur penting untuk perkembangan embrio sesuai dengan prinsip
fetal maternal relationship (Supriatna et al. 1993).
Komponen yang terkandung dalam FBS terdiri atas serum protein (albumin,
globulin, α1-antitrypsin, dan αβ-makroglobulin), protein transpor (transferrin,
transcortin, α1-lipoprotein, dan 1-lipoprotein), enzim (laktat dehidrogenase,
alkalin pospatase, -glutamil trasnferase, alanin aminotransferase, aspartat
aminotransferase), hormon (insulin, glukagon, growth hormone, prostaglandin,
paratiroid, vasopressin, kortikosteroid, tirod, dan pituitari glandotropik faktor),
faktor pertumbuhan dan sitokin, asam lemak dan lemak, vitamin, karbohidrat
sederhana (glukosa, galaktosa, manosa, dan fruktosa), dan nitrogen nonprotein
(urea, asam amino, purin atau purimidin, dan kreatinin). Fungsi penambahaan
FBS yaitu menyediakan faktor hormonal yang merangsang pertumbuhan,
proliferasi, dan differensiasi sel, protein dan mineral transpor yang membawa
hormon, faktor penstabil dan detoksifikasi untuk menjaga pH atau menghambat
enzim protease, serta melindungi sel dari stres oksidatif (Brunner et al. 2009).
Serum lainnya yang mendukung kultur embrio in vitro adalah bovine serum
albumin (BSA). BSA merupakan salah satu protein yang mempunyai kandungan
protein berlimpah dalam plasma yaitu 5g 500 ml-1 dan memiliki komposisi asam
amino sebanyak 20 macam (Friedli 2006). BSA juga terbukti dapat menunjang
pertumbuhan sel secara in vitro. BSA berfungsi menyediakan sejumlah faktor
pertumbuhan, mengandung hormon serta menyediakan protein pengikat yang
membawa dan mengikat unsur-unsur yang berukuran kecil, sumber bermacammacam lemak yang dibutuhkan sel untuk hidup dan berkembang (Summer et al.
2005).

9
Mencit (Mus musculus L.)
Mencit termasuk ke dalam Ordo Rodentia yang memiliki tipe gigi pengerat.
Mencit sering digunakan sebagai hewan uji karena siklus reproduksinya pendek,
jumlah anak yang dihasilkan dalam satu kali melahirkan banyak (politokus),
mempunyai sifat reproduksi yang hampir mirip dengan manusia dan mamalia
lainnya dan mudah dalam manajemen pemeliharaan (Smith et al. 1988). Mencit
mempunyai phase estrus yang biasanya di mulai antara jam 16.00 sampai 22.00
WIB. Mencit betina mau menerima pejantan untuk kawin pada tiga jam pertama
pada phase estrus. Pemberian air minum biasanya dilakukan tanpa ada
pembatasan (ad libitum). Konsumsi pakan oleh mencit secara normal untuk
ukuran 100 g yaitu 12 sampai 18 g (rata - rata 15 g), sedangkan konsumsi air
minum sekitar 15 ml (John 2013). Sedangkan Smith et al. (1988) mengemukakan
untuk mencit 20 sampai 35 g, konsumsi pakan antara 3 sampai lima g hari-1 dan
air minum 4-8 ml setiap hari. Air minum harus diganti 3 kali dalam seminggu.
Suhu lingkungan yang ideal untuk mencit antara 18 sampai 29 oC (65 sampai 85
o
F) dengan kelembaban relatif antara 24% sampai 2.1%. Sifat biologis mencit
lebih lengkapnya dapat terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Sifat biologis mencit betina (Mus musculus L.)
Kriteria
Keterangan
Siklus kelamin
Poliestrus
Lama siklus estrus
4 - 5 hari
Lama phase estrus
12 - 14 jam
Lama phase metestrus
21 jam
Lama phase diestrus
57 jam
Lama phase proestrus
12 jam
Ovulasi
Dekat akhir estrus, spontan
Fertilisasi
2 jam setelah kopulasi
Implantasi
4 – 5 hari setelah fertilisasi
Teknik perkawinan
4 betina untuk 1 jantan
Lama kebuntingan
19 - 21 hari
Jumlah melahirkan
5 - 10 kali per tahun
Jumlah anak setiap kelahiran
Rata-rata 6, biasanya sampai 15 ekor
Jumlah puting susu
3 pasang di dada dan 2 pasang di perut
Tipe plasenta
Diskoidal
Tipe uterus
Dupleks
Lama kawin setelah melahirkan
1 - 24 jam
Umur sapih anak
21 hari
Umur dewasa
35 hari
Umur dikawinkan
8 minggu
Berat lahir
0.5 – 1.0 g
Berat dewasa
Jantan 20 – 24 g, betina 18 - 35 g.
Kecepatan tumbuh
1 g setiap hari
Aktivitas
nokturnal
Suhu rektal
35 -39 oC (rata – rata 37.4 oC)
Lama hidup
1 – 2 tahun, bisa mencapai 3 tahun
Sumber: Smith et al. (1988)

10
Pemilihan strain mencit yang digunakan dalam penelitian ini yaitu DDY
karena memiliki jumlah anak yang lebih banyak dibandingkan strain mencit
lainnya yang ada di Indonesia dan termasuk hewan yang high ovulatory (Hogan et
al. 1994). Selain itu, mencit DDY sering digunakan untuk donor atau resipien
embrio pada proses transgenik hewan, dan digunakan secara luas untuk penelitian
toksikologi, farmakologi serta uji keamanan suatu produk (John 2013).

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Januari sampai Mei 2016. Penelitian
telah dilakukan di Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH)
sebagai tempat ekstraksi biji kapas, Laboratorium Teknologi Pangan Pusat Antar
Universitas (PAU) sebagai tempat evaporasi ekstrak biji kapas, Rumah Sakit
Hewan Pendidikan (RSHP) sebagai tempat pemeliharaan dan pemberian
perlakuan ekstrak biji kapas pada mencit, dan Laboratorium Fertilisasi In Vitro
Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Intitut Pertanian Bogor (IPB) sebagai tempat
pengoleksian serta pengkulturan embrio secara in vitro.
Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca Ohause, neraca
analitik, sonde (jarum gavage), perangkat bedah, spuit 3 ml, spuit 5 ml berjarum
tumpul, filter 0.22 µm, petri dish 35 mm (SPL dan Nunclon), mikroskop fase
kontras, inkubator CO2, laminar air flow, pipet Pasteur, lumpang dan alu, tapisan,
corong, gelas beker, rotary vacuum evaporator, gelas ukur, Erlenmeyer, gelas
beaker, pipet tetes, dan kamera dokumentasi. Bahan yang digunakan yaitu biji
kapas, pakan mencit, air minum, sekam, kapas, aquadest, etanol 80%, carboxy
methyl cellulose (CMC) 0.2%, NaCl 0.9%, medium koleksi modified phosphate
buffered saline (mPBS) yang disuplementasikan 5% fetal bovine serum (FBS),
medium kultur embrio mPBS yang disuplementasikan 10% FBS.
Desain Penelitian
Penelitian didesain dengan 4 perlakuan berupa dosis yang bertingkat dan 6
ulangan berupa indukan mencit. Perlakuan yang diberikan yaitu berupa pemberian
ekstrak biji kapas dengan dosis 0 g kg-1 BB (diberi pelarut ekstrak biji kapas yaitu
Na-CMC 0.2%) untuk kelompok kontrol; 1.5 g kg-1 BB untuk kelompok P2; 2.1 g
kg-1 BB untuk P3; dan 2.7 g kg-1 BB untuk kelompok P4. Pemberian ekstrak biji
kapas dilakukan selama 24 hari.

11
Prosedur Penelitian
Pembuatan Ekstrak Biji Kapas
Biji kapas yang digunakan berasal dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan
Serat (Balittas) Malang, Provinsi Jawa Timur. Biji kapas yang dipilih berasal dari
kapas panen berumur lima bulan. Bentuk morfologi biji kapas yang digunakan
yaitu bulat lonjong utuh, berwarna coklat kehitaman dan terpisah dari seratnya.
Pembuatan ekstrak biji kapas melalui dua tahapan yaitu pembuatan serbuk
simplisia dan pembuatan ekstrak etanol dengan metode maserasi (perendaman).
Biji kapas dicuci dengan air yang mengalir kemudian dikeringkan dengan
menjemur dibawah sinar matahari selama dua hari. Biji kapas kering ditimbang
sebanyak 2 kg, kemudian digerus menggunakan lumpang dan alu serta disaring
dengan tapisan untuk diambil serbuk simplisianya. Selanjutnya dilakukan
ekstraksi dengan metode maserasi yaitu merendam 500 g dalam 2 L pelarut etanol
80% selama 3 hari. Penggantian dan penampungan pelarut ekstrak dilakukan
setiap hari sampai pelarut berwarna bening. Setiap kali penampungan dilakukan
filtrasi menggunakan kapas sehingga diperoleh larutan ekstrak. Filtrat dari
penyaringan dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 68 oC
hingga diperoleh serbuk ekstrak. Kemudian ekstrak ditimbang dengan
menggunakan neraca analitik untuk mengetahui berat rendemen ekstrak. Ekstrak
biji kapas kemudian disimpan dalam kulkas pada suhu 4 oC agar tidak rusak dan
tahan lama (Chandrashekar et al. 2013). Pemberian ekstrak biji kapas pada mencit
berupa suspensi yang dibuat dengan melarutkan serbuk ekstrak dengan natriumcarboxy methyl cellulose (Na-CMC) 0.2%. Larutan Na-CMC 0.2% dibuat dengan
melarutkan bubuk CMC sebanyak 0.2 g dalam NaCl 0.9% hingga volumenya
mencapai 100 ml dan dihomogenkan dengan batang pengaduk. Larutan Na-CMC
0.2% berfungsi sebagai pelarut ekstrak.
Persiapan Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan adalah mencit betina strain DDY dengan kondisi
fisik sehat, berumur kisaran 14 sampai 15 minggu, dan bobot berkisar 30 sampai
35 g sebanyak 24 ekor. Sedangkan mencit jantan yang digunakan berumur 11
sampai 12 minggu dengan berat badan berkisar 30 sampai 35 g sebanyak 8 ekor.
Mencit diperoleh dari Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (IPB), kemudian diadaptasikan
selama 2 minggu. Mencit diberi obat pra perlakuan berupa dosis tunggal obat
cacing Combantrin® 1.4 mg kg-1 BB selama satu hari pada minggu kedua
adaptasi. Mencit ditempatkan dalam kandang tertutup kawat dengan alas kandang
berupa sekam kayu yang diganti 2 kali seminggu. Setiap kandang diisi dengan 5
ekor mencit betina dan untuk jantan dilakukan pengandangan secara individual.
Ruagan tempat kandang diberikan ventilasi yang cukup dengan suhu lingkungan
berkisar 23 sampai 27 oC. Ruangan juga dilakukan pengaturan cahaya dengan
siklus terang pukul 06.00 sampai 18.00 dan gelap pukul 18.00 sampai 06.00 WIB.
Pakan diberikan 5 g untuk satu ekor setiap harinya dan air minum diberikan secara
ad libitum. Pakan yang digunakan khusus untuk mencit produksi Indo Feed
dengan komposisi air 12%, protein kasar 23%, M.E Kcal 27.5%, lemak kasar 4%,
serat kasar 5%, kalsium 1%, phospor 0.8%, abu 8% dan protein DD 17%.
Penelitian ini telah mendapat persetujuan perlakuan etik hewan Hewan Intitut
Pertanian Bogor dengan nomor 14-2016 IPB.

12
Pemberian Ekstrak Biji Kapas dan Pengawinan Hewan Coba
Pemberian ekstrak biji kapas pada mencit dilakukan setiap hari pukul 08.00
WIB secara oral sesuai dosis perlakuan selama 24 hari. Dosis ekstrak yang
diberikan pada mencit masing-masing 0; 1.5; 2.1; dan 2.7 g kg-1 BB. Setelah 24
hari pemberian ekstrak biji kapas, mencit dikawinkan secara alami. Teknik
pengawinan dilakukan dengan menempatkan 4 ekor betina ke dalam suatu
kandang yang berisi 1 ekor mencit jantan. Penempatan mencit betina dan jantan
dilakukan pada pukul 16.30 WIB selama ± satu minggu. Terjadinya koitus (hari
pertama (D1) kebuntingan) diamati melalui keberadaan sumbat vagina pada besok
paginya. Mencit yang telah berhasil koitus dipelihara terpisah dari mencit yang
belum koitus. Mencit yang tidak ditemukan sumbat vagina tetap dibiarkan
sekandang dengan jantan sampai terjadi koitus.
Pengamatan Jumlah, Stadium Perkembangan, dan Kualitas Embrio
Pengambilan data dilakukan pada hari ke empat (D4) kebuntingan mencit
dengan metode euthanasia dislokasi servikalis (AVMA Guidelines 2013). Koleksi
embrio dilakukan dengan metode pembilasan (flushing) pada masing-masing
kornua uterus dengan 1 ml medium koleksi mPBS yang disuplementasi dengan
5% FBS menggunakan spuit berjarum tumpul ukuran 18 G. Setiap kornua uterus
dibilas dari arah bifurcatio ke apex cornua uteri. Hasil bilasan ditampung dalam
petri dish yang berisi 1 ml medium koleksi dan diamati di bawah mikroskop fase
kontras dengan perbesaran 400 kali. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah,
stadium perkembangan, dan kualitas embrio. Pengamatan jumlah embrio
dilakukan dengan menghitung langsung embrio yang berhasil dikoleksi pada D4
kebuntingan. Pengamatan stadium perkembangan embrio mencit dilakukan
dengan menghitung jumlah sel blastomer dan berdasarkan penampilan morfologi
(Theiler 1989). Stadium perkembangan embrio yang terdapat pada D4
kebuntingan yaitu dari morula sampai blastosis. Stadium blastosis teramati jika
blastosol yang terbentuk sudah mencapai setengah ukuran embrio, blastosis awal
teramati jika blastosol yang terbentuk kurang dari setengah bagian embrio, morula
teramati jika susunan blastomer sudah agak bertumpuk dan sulit menghitung
jumlah blastomer (16 sampai 32 sel). Embrio degenerasi teramati jika sel
blastomer tidak intak, warna intensif gelap dan piknotik. Sedangkan penentuan
kualitas embrio ditentukan berdasarkan metode pemeriksaan morfologi yang
dimodifikasi dari Supriatna (2013).
Pengamatan Viabilitas Embrio dalam Kultur Embrio secara In Vitro
Embrio mencit terkoleksi yang sesuai dengan stadium perkembangannya pada
D4 kebuntingan yaitu morula, morula kompak, blastosis awal, dan blastosis
dikultur selama 48 jam. Kultur embrio dilakukan dalam 2 ml medium mPBS yang
disuplementasikan 10% FBS untuk 10 sampai 15 embrio di dalam inkubator pada
suhu 37 oC dengan kondisi udara 5% CO2. Pengamatan perkembangan embrio
secara in vitro dilakukan setiap 24 jam hingga jam ke-48. Penggantian medium
dilakukan setiap 24 jam. Viabilitas embrio diamati dengan menghitung persentase
perkembangan embrio morula dan morula kompak ke tahap blastosis awal,
blastosis, expanded blastosis, hatching blastosis; serta perkembangan embrio
blastosis awal dan blastosis ke tahap expanded blastosis, hatching blastosis,
hatched blastosis; dan embrio degenerasi (mati).

13
Parameter yang Diamati
Parameter yang telah diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perkembangan embrio mencit secara in vivo
Perkembangan embrio mencit yang diamati secara in vivo meliputi jumlah,
stadium perkembangan, dan kualitasnya. Jumlah embrio yang berhasil
dikoleksi dengan metode flushing pada D4 kebuntingan ditentukan dengan
menghitungnya langsung di bawah mikroskop. Perbesaran mikroskop yang
digunakan yaitu 400 kali. Penghitungan jumlah embrio dilakukan sejalan
dengan penentuan stadium perkembangan dan kualitasnya. Stadium
perkembangan embrio ditentukan berdasarkan morfologinya. Pengamatan
terhadap morfologi embrio dilakukan terhadap jumlah blastomer, terbentuknya
blastosol, dan bentuk zona pelusida. Sementara itu, penentuan kualitas embrio
mencit dilakukan dengan mengamati morfologi sel blastomer (bentuk, warna,
dan kesimetrisan), bentuk zona pelusida, keberadaan vakuola, pecahan sel
(debris), dan blastomer yang terlepas dari ikatannya.
2. Perkembangan embrio mencit secara in vitro Viabilitas embrio mencit yang
dikultur secara in vitro selama 48 jam
Perkembangan embrio mencit secara in vitro diamati selama 48 jam kultur
dengan mengamati viabilitasnya. Penentuan viabilitas embrio dilakukan
dengan melihat kemampuan perkembangannya ke stadium selanjutnya.
Pengkulturan dilakukan terhadap embrio berstadium morula, morula kompak,
blastosis awal, dan blastosis. Viabilitas perkembangan embrio dinyatakan
dalam bentuk persentase embrio yang berkembang ke stadium selanjutnya
yaitu blastosis, expanded blastosis, hatching blastosis, dan hatched blastosis.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 ulangan
dan 4 perlakuan (dosis). Data disidik dengan analisis varian (ANOVA). Perbedaan
hasil uji ANOVA dilakukan uji lanjut dengan Duncan multiple range test
(DMRT) pada α = 5%. Data diolah menggunakan program SPSS Versi 16.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah, Stadium Perkembangan, dan Kualitas Embrio
Perolehan embrio mencit (Mus musculus L.) setelah pemberian ekstrak biji
kapas (Gossypium hirsutum L.) peroral selama 24 hari berturut-turut disajikan
pada Gambar 2. Pemberian ekstrak biji kapas pada semua dosis mengaki