Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (Tu)

(1)

ULTRASTRUKTUR HEPAR MENCIT (Mus musculus L.)

SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica

papaya L.) dan TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU)

SKRIPSI

GUSTIKA MARYATI

070805013

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

ULTRASTRUKTUR HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH

PEMBERIAN EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) dan

TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

GUSTIKA MARYATI 070805013

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(3)

PERSETUJUAN

Judul : ULTRASTRUKTUR HEPAR MENCIT (Mus

musculus L.) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) dan TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU)

Kategori : SKRIPSI

Nama : GUSTIKA MARYATI

Nomor Induk Mahasiswa : 070805013

Program Studi : SARJANA (S-1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Komisi Pembimbing

Pembimbing 2

:

Diluluskan di

Medan, April 2013

Pembimbing 1

Masitta Tanjung, S.si, M.si

NIP. 19710910 200012 2 001 NIP. 19660209 199203 1 003

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed

Diketahui/Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

NIP. 19630123 199003 2 001 Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc


(4)

PERNYATAAN

ULTRASTRUKTUR HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH

PEMBERIAN EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) dan

TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, April 2013

070805013


(5)

PENGHARGAAN

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus musculus L.) Setelah

Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron

Undekanoat (TU). Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita

Rasulullah Muhammad SAW. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Masitta Tanjung, S.Si., M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta motivasi hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Emita Sabri, M.Si selaku Dosen Penguji I dan Ibu Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku Dosen Penguji II yang memberikan banyak masukan, bimbingan serta waktu demi kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Drs. Arlen H. J, M.Si. yang juga selaku Dosen Penasehat Akademik, dan kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc selaku Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, dan Bapak Drs. Kiki Nurjahja, M.Sc, selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Sukirmanto (Alm) dan Ibu Nurhasni Muluk selaku laboran dan analis di Laboratorium dan Ibu Roslina Ginting serta Bapak Endra Raswin selaku Pegawai Administrasi Departemen Biologi FMIPA USU.

Pada kesempatan ini, ribuan kata terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda Asmar dan Ibunda Darmawati yang telah memberikan do’a, harapan, moril, materi serta kasih sayangnya tak pernah padam, semoga Allah senantiasa memuliakan, memberi kebahagiaan serta keselamatan dunia dan akhirat. Adinda (Mainur Samsi, Maryanto, Habi Bullah, Puteri Mulya Aini, dan Mulyono) terima kasih atas do’a dan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini, terima kasih atas kasih sayangnya. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman istimewa yang selama ini selalu menemani disaat suka dan duka serta dukungan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan Desy Hikmatullah, Maria Lestari, Dwi Putri Akarina, Warysatul Ummah dan Zulvia Maika Letis atas kerjasamanya dalam menempuh penelitian ini, semoga suka duka dan usaha yang dipupuk hari ini menjadi kenangan dan kesuksesan di kemudian hari. Kepada sahabatku, Fitri Fajrianti, S.Pd, Dwi Utami Ningsih, S.Kep dan Nuraini Andryani S., S.Pt terima kasih atas hiburnya ketika sedih, motivasi dan kedewasaan dalam memaknai kehidupan serta kesabaranya dalam menemani hari-hari penulis, semoga persahabatan ini menjadi ukhuwah yang sejati. Teman-teman angkatan 2007 (Like D’Antz) Nia, Nila, Riwil, Anti, Aini, Asril, Misel, Eka, Farid, Eva, Resti, Dwi, Nisa, Mirza, Anggun, Ibeth, Sari, Ayu, Yanti, Siti, Natal, Jayana, Umi, Rizma, Ria, Laura, Dina, Fatma, Irma, Affan, dan Astri terima kasih atas kebersamaannya yang tak akan lekang oleh waktu. Teman kost: Nova, Natalia, Preti, Eva, terima kasih atas do’a dan dukungannya. Kakanda (Jane, Hilda, Desmina, Nikmah, Ami), adinda (Igun, Nanin,


(6)

Ahri, Ummi, Zulfi, Inur), adik-adik Asisten Fisiologi Hewan (Mella, Asmitra, Indri, Pesta) adik stambuk 2009, 2010, dan seluruh Mahasiswa Biologi FMIPA USU serta seluruh pihak yang terlibat di dalamnya yang tidak dapat penulis utarakan satu persatu, penulis mengucapkan terima kasih atas ilmu, motivasi serta do’a sehingga skripsi ini selesai.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhir kata, demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Amin Yaa Rabbal ‘Alamiin

Medan, April 2013

Penulis


(7)

Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian

Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron

Undekanoat (TU)

ABSTRAK

Hati merupakan organ yang memiliki fungsi sebagai detoksifikasi toksin. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) terhadap ultrastruktur hati mencit (Mus musculus L.) telah dilakukan di Laboratorium Struktur Hewan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 kelompok kontrol dan 5 kelompok perlakuan, jumlah mencit masing-masing 5 ekor, dengan perlakuan lama waktu pajanan selama 24 minggu. Penyuntikan TU 0,25mg/0,1ml/ekor/mencit jantan interval waktu 6 minggu sekali secara intramuskular dan pemberian ekstrak biji pepaya 30mg/0,5ml/ekor/mencit jantan setiap hari secara oral. Setiap 6 minggu sekali mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher, kemudian dibuat preparat hati dengan metode blok parafin dan pewarnaan hematoksilin-eosin. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, nekrosis ditemukan pada setiap minggu pengamatan (p<0,05) dan steatosis ditemukan pada minggu ke 6 dan minggu ke 18 (p<0,05), sedangkan degenerasi hidrofik hanya pada pengamatan minggu ke 12 dan minggu ke 18. Namun pengamatan morfologi tidak berpengaruh nyata (p>0,05).


(8)

ULTRASTRUCTURE OF MOUSE LIVER ( Mus musculus L.)

AFTER THE APPLICATION OF PAPAYA ( Carica papaya L.)

SEED WATER EXTRACT AND TESTOSTERONE

UNDECANOATE (TU)

ABSTRACT

The influence of papaya (Carica papaya L.) seed water extract and testosterone undekanoat (TU) to the structure of mouse liver (Mus musculus L.) was be conducted in a Laboratory of Animal Structure-Biology Departement, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan. This research used completely randomized design that consist of 5 controls and 5 treatments, using 5 mice. The treatments were conducted for 24 weeks. Each mouse was treated by muscular injection with TU 0,25mg/0,1ml/ with interval 6 weeks and papaya seed extract was given 30mg/0,5 orally every day. After 6 weeks the mouse was killed by neck dislocation and the liver was treated by paraffin block stained by hematoxilin-eosin. The result indicated that there is a significant different between control and treatment group, livers necrosis is found in every observation (p<0,05) and steatosis was found on 6 weeks and 18 weeks (p<0,05), while hydrophic degeneration only found on 12 and 18 weeks of observation. How ever the treatments have no significant effect on liver morphology.


(9)

DAFTAR ISI Halaman PERSETUJUAN PERNYATAAN PENGHARGAAN ABSTRAK ABSTRACT iii iv v vii viii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

xii xiii

I. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 3

1.4 Hipotesis Penelitian 4

1.5 Manfaat Penelitian 4

II. TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Pepaya (Carica papaya L.) 5

2.2 Testosteron Undekanoat (TU) 6

2.3Anatomi dan Fisiologi Hati (hepar) 8

2.3.1 Stroma 9

2.3.2 Histologi Lobulus Hati (hepar) 10

2.3.3 Hepatosit 11

2.4 Kerusakan Hati (hepar) 12

III. BAHAN DAN METODE 14

3.1 Waktu dan Tempat 14

3.2 Alat dan Bahan 14

3.3 Metode penelitian 14

3.4 Prosedur Penelitian 15

3.4.1 Hewan Percobaan 15

3.4.2 Pembuatan Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) 15 3.4.3 Uji Skrining Fitokimia Biji Pepaya (Carica papaya L.) 16 3.4.4 Pemberian Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan

Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.)

17

3.4.5 Pembuatan Preparat Histologi Hati (hepar) Mencit Jantan (Mus musculus L.) dengan Metode Parafin

19

3.5 Parameter Pengamatan 20

3.5.1 Pengamatan Morfologi Hati (hepar) 20


(10)

3.6 Analisis Statistik 21

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 22

4.1 Kandungan Ekstrak Air Biji Pepaya 22

4.2 Hasil Gambaran Morfologi Hati 24

4.3 Ultrastruktur Hati 25

4.3.1 Kerusakan Hati Berupa Nekrosis 25

4.3.2 Kerusakan Hati Berupa Steatosis 28

4.3.3 Kerusakan Hati Berupa Degenerasi Hidrofik 30

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 33

5.1 Kesimpulan 33

5.2 Saran 33

DAFTAR PUSTAKA 34


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Model Rancangan Penelitian 15

Tabel 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Biji Pepaya 22


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Rumus Bangun Testosteron Undekanoat 7

Gambar 2 Skema Lobulus Hati 11

Gambar 3 Jadwal Kegiatan Pemberian TU dan Ekstrak Air Biji Pepaya 18 Gambar 4 Histologi Hati Mencit Pewarnaan Hematoksilin-Eosin, 400x 27

(Nekrosis)

Gambar 4.3.1 Grafik Histologi Hati Berupa Nekrosis 26

Gambar 4.3.2 Histologi Hati Mencit Kontrol Pewarnaan Hematoxylin-Eosin,400x27 Gambar 4.3.3 Histologi Hati Mencit Pewarnaan Hematoxylin-Eosin, 400x 27

(Nekrosis)

Gambar 4.3.4 Grafik Histologi Hati Berupa Steatosis 28

Gambar 4.3.5 Histologi Hati Mencit Pewarnaan Hematoxylin-Eosin, 400x 29 (Steatosis)

Gambar 4.3.6 Grafik Histologi Hati Berupa Degenerasi Hidrofik 30 Gambar 4.3.7 Histologi Hati Mencit Pewarnaan Hematoxylin-Eosin, 400x 31


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran A Data Rataan Kerusakan Hati Berupa Nekrosis 38

Lampiran B Data Rataan Kerusakan Hati Berupa Steatosis 44 Lampiran C Data Rataan Kerusakan Hati Berupa Degenerasi Hidrofik 48

Lampiran D Cara Pembuatan Ekstrak Air Biji Pepaya 52

Lampiran E Uji Alkaloid Biji Pepaya 53

Lampiran F Uji Flavonoid Biji Pepaya 54

Lampiran G Uji Steroid Biji Pepaya 55

Lampiran H Uji Terpenoid Biji Pepaya 56

Lampiran I Pembuatan Preparat Histologi Hati 57


(14)

Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian

Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron

Undekanoat (TU)

ABSTRAK

Hati merupakan organ yang memiliki fungsi sebagai detoksifikasi toksin. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) terhadap ultrastruktur hati mencit (Mus musculus L.) telah dilakukan di Laboratorium Struktur Hewan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 kelompok kontrol dan 5 kelompok perlakuan, jumlah mencit masing-masing 5 ekor, dengan perlakuan lama waktu pajanan selama 24 minggu. Penyuntikan TU 0,25mg/0,1ml/ekor/mencit jantan interval waktu 6 minggu sekali secara intramuskular dan pemberian ekstrak biji pepaya 30mg/0,5ml/ekor/mencit jantan setiap hari secara oral. Setiap 6 minggu sekali mencit dibunuh dengan cara dislokasi leher, kemudian dibuat preparat hati dengan metode blok parafin dan pewarnaan hematoksilin-eosin. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan nyata antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, nekrosis ditemukan pada setiap minggu pengamatan (p<0,05) dan steatosis ditemukan pada minggu ke 6 dan minggu ke 18 (p<0,05), sedangkan degenerasi hidrofik hanya pada pengamatan minggu ke 12 dan minggu ke 18. Namun pengamatan morfologi tidak berpengaruh nyata (p>0,05).


(15)

ULTRASTRUCTURE OF MOUSE LIVER ( Mus musculus L.)

AFTER THE APPLICATION OF PAPAYA ( Carica papaya L.)

SEED WATER EXTRACT AND TESTOSTERONE

UNDECANOATE (TU)

ABSTRACT

The influence of papaya (Carica papaya L.) seed water extract and testosterone undekanoat (TU) to the structure of mouse liver (Mus musculus L.) was be conducted in a Laboratory of Animal Structure-Biology Departement, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan. This research used completely randomized design that consist of 5 controls and 5 treatments, using 5 mice. The treatments were conducted for 24 weeks. Each mouse was treated by muscular injection with TU 0,25mg/0,1ml/ with interval 6 weeks and papaya seed extract was given 30mg/0,5 orally every day. After 6 weeks the mouse was killed by neck dislocation and the liver was treated by paraffin block stained by hematoxilin-eosin. The result indicated that there is a significant different between control and treatment group, livers necrosis is found in every observation (p<0,05) and steatosis was found on 6 weeks and 18 weeks (p<0,05), while hydrophic degeneration only found on 12 and 18 weeks of observation. How ever the treatments have no significant effect on liver morphology.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Program Keluarga Berencana (KB) telah lama dikenal dan dijalankan masyarakat Indonesia. Pemerintah menganjurkan keluarga berencana modern menggunakan pil, suntikan, norplant atau tusuk KB, kondom, vasektomi (sterilisasi pria), tubektomi (sterilisasi wanita) dan keluarga berencana tradisional menggunakan pantang berkala, senggama terputus, pijat atau urut dan jamu (Sundari, 2007 dalam Mulya, 2003).

Kontrasepsi tradisional dengan menggunakan tanaman obat telah lama digunakan oleh masyarakat. Obat tradisional telah dikenal dan digunakan secara luas oleh bangsa kita, baik untuk tujuan pengobatan maupun untuk pemeliharaan kesehatan. Pemerintah telah mengambil kebijakan dalam berbagai upaya dibidang kesehatan dengan peran aktif masyarakat untuk mencapai kemampuan hidup sehat. Salah satu cara agar dapat hidup sehat adalah dengan membudidayakan pemanfaatan tanaman yang berkhasiat obat secara alternatif yang sekarang lebih dikenal dengan istilah obat asli Indonesia. Salah satu dari tanaman tersebut adalah pepaya (Carica papaya L.) (Nurhida, 1995).

Di Indonesia banyak tanaman pepaya, bijinya selalu dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan kecuali oleh petani pepaya untuk bibit. pepaya jantan atau gandul yang umumnya digunakan sebagai obat atau jamu terutama untuk wanita (Kloppenburg, 1915 dalam Amir, 1992). Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli dan dilaporkan bahwa biji pepaya mempunyai khasiat sebagai antifertilitas pada hewan. Ekstrak biji pepaya dapat menyebabkan penurunan fertilitas tikus jantan setelah disuntik dengan dosis 20 mg/0,2/tikus/hari selama 8 minggu, yang diberikan secara oral pada tikus jantan fertil (Yunardi, 2002).


(17)

Bahan antifertilitas dapat bersifat sitotoksik atau bersifat hormonal dalam memberikan pengaruhnya. Bila bersifat sitotoksik maka pengaruhnya langsung terhadap sel kelamin, dan bila bersifat hormonal maka bekerja pada organ yang responsif terhadap hormon yang berkaitan (Sutasurya, 1989 dalam Rusmiati, 2007).

Testosteron Undekanoat (TU) merupakan suatu bentuk ester dari testosteron alami. Bentuk aktif testosteron yang dihasilkan dari hidrolisasi esternya. Efek utama dari testosteron hasil dari hidrolisasi TU tersebut terjadi setelah adanya ikatan testosteron terhadap reseptor spesifiknya yang membentuk komplek hormon reseptor. Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun bersifat aman, efektif, reversibel, dan aseptibel (Ilyas, 2008).

Hati (hepar) merupakan salah satu organ yang memiliki fungsi sebagai detoksifikasi toksin (Setiadi, 2007). Penumpukan bahan-bahan toksik ini dalam parenkim hati dapat melukai hepatosit. Pemberian obat-obatan yang berlebihan dan bahan toksik yang dimakan tanpa disadari dapat menimbulkan kelainan patologik parenkim hati seperti nekrosis berat atau sirosis hepatis (Tambunan, 1994). Menurut Rusmiati (2007), adanya zat yang bersifat toksik pada hati ditandai dengan adanya degenerasi sel yang meliputi degenerasi perlemakan dengan membentuk vakuola dan nekrosis. Gangguan metabolisme sel mencit (Mus musculus) didahului dengan berkurangnya oksigen karena pengaruh masuknya senyawa toksik dalam ekstrak kayu secang (Caesalpinia sappan L.) ke dalam tubuh, terganggunya suplai oksigen sehingga reaksi seluler tidak berjalan sebagaimana mestinya. Infiltrasi sel radang limfosit pada vena sentralis disebabkan rusaknya sel endotel yang sangat peka terhadap zat racun. Peradangan pada hati dimulai pada vena sentralis sebagai tempat penampung darah yang berasal dari arteri hepatika dan vena porta. Akibat pembendungan ini sirkulasi darah terganggu dan dapat mengakibatkan sel hati mengalami degenerasi hingga nekrosis karena kekurangan natrium dan oksigen.


(18)

Pembuktian adanya pengaruh negatif terhadap kesehatan dari kombinasi Testosteron Undekanoat dan ekstrak air biji pepaya dapat dilihat dari gambaran histologi hati dan fungsi hati. Penentuan kadar enzim SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) adalah salah satu parameter yang digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kerusakan sel-sel hati (Dudley et al., 1982).

1.2Permasalahan

Pria merupakan fokus baru untuk program KB yang selama ini belum banyak diperhatikan. Hingga saat ini kontrasepsi untuk pria yang dianggap sudah mantap adalah kondom dan vasektomi. Namun penggunaan kondom sebagai alat kontrasepsi menimbulkan keluhan psikologik, sedangkan vasektomi walaupun merupakan kontrasepsi yang dapat diandalkan, seringkali menimbulkan efek samping yang permanen (irreversible). Maka dilakukan dengan mengunakan bahan dari alam salah satunya adalah biji pepaya untuk menekan spermatozoa dan dikombinasikan dengan testosteron undekanoat yang dapat menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia. Namun tidak menimbulkan efek toksisitas bagi pemakainya maka dilakukan penelitian terhadap gambaran ultrastruktur hati (hepar) pada mencit (Mus musculus L.) jantan setelah pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU).

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) terhadap ultrastruktur hati (hepar) mencit (Mus musculus L.) jantan.


(19)

1.4 Hipotesis

Pemberian kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) berpengaruh terhadap ultrastruktur hati (hepar) mencit (Mus musculus L.) jantan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diambil setelah pelaksanaan penelitian ini berakhir adalah:

a. Memberikan gambaran pengaruh kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan biji pepaya (Carica papaya L.) terhadap ultrastruktur hati (hepar) mencit (Mus musculus L.) jantan.

b. Menambahkan informasi adanya bahan yang mungkin dapat dijadikan sebagai kontrasepsi pria.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pepaya (Carica papaya L.)

Menurut Corner & Watanabe (1969), klasifikasi pepaya adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Kelas : Dicotiledonae Ordo : Cistales Famili : Caricaceae Genus : Carica

Species : Carica papaya L.

Tanaman pepaya berasal dari negara Mexico. Sekarang tanaman pepaya telah tersebar luas, baik didaerah tropik maupun subtropik. Batang yang lurus, bulat silindris, sebelah dalam menyerupai spons dan berongga, tinggi 2,5-10 m. Dari bentuk bunga yang dihasilkan oleh tanaman pepaya dapat diketahui macam tanaman tersebut. Misalnya tanaman pepaya jantan, ditunjuk oleh bunga jantan, pepaya betina ditunjukan oleh bunga betina (Harkness, 1967 dalam Amir, 1992). Bunga tunggal, bentuk bintang, diketiak daun, berkelamin satu atau berumah dua. Bunga jantan terletak disebelah tandan yang serupa malai, kelopak kecil, kepala sari bertangkai pendek, kuning, mahkota berbentuk terompet, tepi bertajuk lima, dan bertabung panjang kekuningan. Bunga betina berdiri sendiri, kepala putik lima, bakal biji beruang satu dan putih kekuningan (Sutarno & Utami, 1994 dalam Mulya, 2003).

Buah pepaya yang masih muda umumnya dapat dibuat sayuran, lalap, manisan, acar dan selai. Biji pepaya terletak dalam rongga buah yang terdiri dari lima larikan. Banyaknya biji tergantung dari besar kecilnya buah. Bentuk biji agak bulat telur memanjang, berwarna hitam atau coklat gelap, dengan permukaan biji yang agak


(21)

keriput dan dibungkus oleh kulit ari yang bersifat seperti agar atau transparan, kotiledon putih, rasa biji pedas atau tajam dengan aroma yang khas (Rismunandar, 1982).

Minyak biji pepaya berwarna kuning diketahui mengandung 71,60% asam oleat, 15,13% asam palmitat, 7,68% asam linoleat, 3,60% asam stearat dan asam-asam lemak lain dalam jumlah relatif sedikit atau terbatas. Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, dan saponin (Warisno, 2003 dalam Sukadana et al., 2008).

Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid dan saponin. Secara kualitatif, berdasarkan terbentuknya endapan atau intesitas warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia diketahui bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya (Sukadana et al., 2008).

Biji pepaya selain mengandung enzim proteolitik seperti papain, cymopapain A, cymopapain B dan peptidase pepaya juga mengandung kandungan kimia lain seperti : 25% minyak campuran, 26,2 % lemak, 24,3% protein 17% serat, 15,5 % karbohidrat, 8,8 % abu dan 8,2 % air (Burkill, 1966 dalam Amir, 1992). Kandungan kimia yang terdapat pada biji pepaya adalah asam oleat, asam p-hidroksi benzoate, asam vaniat, asam siringat, dan asam ferulat (Lusiana, 1994 dalam Rahmawati, 2003).

2.2 Testosteron Undekanoat (TU)

Testosteron undekenoat (TU) yang dikembangkan untuk kontrasepsi pria digunakan dalam bentuk injeksi (liquid). Tujuan utama dari pemberian testosteron adalah mempertahankan tingginya tingkat serum testosteron jangka panjang pada pria yang ikut dalam kontrasepsi pria. Hal ini bertujuan untuk menekan spermatogenesis sehingga terjadi azoospermia atau oligozoospermia berat yang berlangsung lebih lama namun aman, efektif, reversible, dan aseptibel. Testosteron Undekanoat (Gambar 1)


(22)

dihasilkan melalui esterifikasi testosteron alami pada posisi 17β. TU ini merupakan

steroid dengan 19 atom karbon dengan rumus kimia C Kosentrasi testosteron stabil dalam rentang fisiologi minggu pertama setelah pemberian pertama kali. Pola metabolisme TU mengikuti pola testosteron yang menghasilkan dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol. Pemberian testosteron undekanoat dapat meningkatkan kosentrasi testosteron plasma dan menurunkan kosentrasi gonadotropin (Ilyas, 2008).

Gambar 1. Rumus Bangun Testosteron Undekanoat (TU)

Menurut Goodman & Gilman (1980), diperlukan molekul testosteron yang asli untuk menghasilkan respon androgenik yang lengkap. Aromatisasi testosteron menjadi estradiol menambah suatu peranan diotot dan mempunyai makna dalam sistem hipotalamus. Lagi pula dalam otak pria telah ditemukan reseptor estradiol spesifik, yang menunjukkan suatu efek serebral tertentu dan telah dilaporkan berpengaruh terhadap libido dan hati.

Testosteron merupakan androgen yang secara langsung mempunyai aksi genomik dengan berikatan pada reseptor androgen (RA). Reseptor androgen memiliki family reseptor inti yang bertindak sebagai ligand-responsive transcription factor (Sadate-Ngatchou et al., 2003). Pemberian TU secara oral telah digunakan untuk terapi substitusi androgen dan tujuan lain dalam perawatan klinik lebih dari 2 dekade. Sebagai kontrasepsi baik tunggal maupun kombinasi dengan Cyproterone Asetat (CPA), testosteron bermanfaat untuk pengendalian kesuburan laki-laki. Tingkat fluktuasi serum cukup mempengaruhi gonadotropin dan spermatogenesis sehingga pemberian TU secara oral tidak efektif untuk kontrasepsi hormonal laki-laki (Zhang et al., 1999).


(23)

2.3 Anatomi dan Fisiologi Hati (Hepar)

Hati adalah organ terbesar kedua ditubuh (yang terbesar adalah kulit) dan kelenjar terbesar, dengan berat sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut di bawah diafragma. Hati merupakan organ tempat pengolahan dan penyimpanan nutrien yang diserap dari usus halus untuk dipakai oleh bagian tubuh lainnya. Hati menjadi perantara antara sistem pencernaan dan darah. Kebanyakan darahnya (70-80%) berasal dari vena porta, jumlah yang lebih kecil berasal dari arteri hepatika. Seluruh materi diserap melalui usus tiba di hati melalui vena porta, kecuali lipid kompleks, yang terutama diangkut melalui pembuluh limfe. Posisi hati dalam sistem sirkulasi sangat cocok untuk menampung, atau mengubah dan mengumpulkan metabolit serta untuk menetralisasi dan mengeluarkan zat toksik. Pengeluaran ini terjadi melalui empedu, yakni suatu sekret eksokrin dari hati yang penting untuk pencernaan lipid. Hati juga memiliki fungsi penting untuk menghasilkan protein plasma seperti albumin dan protein pembawa lainnya (Junqueira & Carneiro, 2007).

Di dalam sel-sel hati terjadi berbagai proses didalamnya. Kebutuhan tubuh diberi sinyal oleh hormon dan enzim yang mengatur metabolisme lemak. Di dalam hati asam lemak disintesis melalui proses lipogenesis sehingga membentuk trigliserida baru. Bahan ini kemudian keluar dari hati dengan bantuan lipoprotein yang membawanya ke jaringan adiposa untuk disimpan (Syaifuddin, 2001). Sitoplasma sel hati menunjukkan berbagai perubahan tergantung pada aktifitas fungsionalnya terutama penyimpanan glikogen dan lemak. Mitokondria banyak di dalam sitoplasma, dan aparatus golgi biasanya tampak terletak dekat inti atau di tepi sel dan dekat kanalikuli biliaris (Leeson et al., 1996).

Hati bervariasi baik lokasi maupun jumlah lobusnya dari satu spesies hewan ataupun ke spesies lain (Frandson, 1992). Hati mencit memiliki empat lobus utama yang saling berhubungan satu sama lain dan bisa dilihat pada bagian dorsal hati. Keempat lobus ini dapat dibedakan yakni satu lobus median, dua lobus lateral (kiri dan kanan), dan satu lobus caudal yang terbagi setengah dibagian dorsal dan setengah lainnya dibagian ventral (Covelli, 1972 dalam Anggraeni, 2008).


(24)

Hati mempunyai peran yang dominan seperti tempat utama untuk aktivitas sintesis, katabolisme, dan detoksifikasi dalam tubuh, menetukan ekspresi pigmen darah (heme) serta berperan dalam reaksi imunologi (Robbins, 2004 dalam Kusuma, 2010). Hati juga berfungsi menghasilkan enzim pencernaan berupa garam empedu untuk menghidrolisa lipid dan metabolisme karbohidrat (Ganong, 2002). Terganggunya fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat akan mengakibatkan turunnya produksi glikogen dalam tubuh. Menurunnya produksi glikogen dan tidak adanya masukan lipid tubuh mengakibatkan turunnya berat badan (Oktavianti et al., 2005).

Hati mempunyai kemampuan regenerasi yang luar biasa meskipun sel-selnya diperbaharui secara lambat. Percobaan pada hewan tikus, hati dapat memulihkan kehilangan sampai 75% berat total hati hanya dalam waktu satu bulan (Junqueira & Carneiro, 2007). Sel yang mengalami nekrosis dapat digantikan dengan sel baru melalui mitosis hepatosit yang berdekatan (Lu, 1995). Kesempurnaan pemulihan sangat tergantung pada keutuhan kerangka dasar jaringan. Pada hati yang cedera, jika kerangka retikulum endoplasma masih utuh akan terjadi regenerasi sel hati yang teratur dan struktur lobuli yang kembali normal serta fungsinya akan pulih kembali (Robbins, 2004 dalam Kusuma, 2010).

2.3.1 Stroma

Hati dibungkus suatu lapisan tipis jaringan ikat (kapsula glison) yang menebal di hilus, tempat vena porta dan arteri hepatika memasuki hati dan keluarnya duktus hepatika kiri dan kanan serta pembuluh limfe dari hati. Pembuluh-pembuluh dan duktus ini dikelilingi jaringan ikat disepanjang perjalanannya ke bagian ujung distal (atau bagian asal) di dalam celah portal antar lobuli hati. Ditempat ini terbentuk jaringan serat retikulin halus yang menopang hepatosit dan sel endotel sinusoid dilobulus hati (Junqueira & Carneiro, 2007).

Vena-vena central bergabung untuk membentuk vena hepatika, yang mengalir ke dalam vena kava inferior. Waktu transit rata-rata untuk darah melintasi lobulus hati


(25)

dari venula portal ke vena hepatika sentral adalah sekitar 8,4 detik. Sel endotel sinusoid banyak melekat makrofag (sel kupffer) yang berproyeksi ke dalam lumen (Ganong, 2002). Sel kupffer berbentuk stelat dengan sifat histologis seperti vakuola jernih, lisosom dan reticulum endoplasma granular tersebar di seluruh sitoplasma, hal ini lah yang membedakan sel-sel kupffer dan sel-sel endotel (Junqueira & Carneiro, 2007). Sel kupffer bersifat “endogeneous peroxidase activity” dan bergenerasi atau berpoliferasi dengan sendirinya. Sel kupffer juga berperan dalam produksi imunologi, fagositosis, dan formasi darah (Jones, 1993 dalam Kusuma, 2010). Darah yang berasal dari tunggul vaskuler mengalir ke venula hepatika terminal yang terdapat di luar asinus. Dengan cara ini, sel-sel yang terdekat dengan vaskular akan menerima darah yang masih kaya oksigen dan sel ke perifer asinus mendapat darah yang relatif lebih rendah oksigennya, sehingga lebih rentan terhadap kerusakan akibat anoksia (Ganong, 2002).

2.3.2 Histologi Lobulus Hati

Sel hati atau hepatosit berbentuk polihedral dengan 5 sampai 12 sisi, dengan garis

tengah antara 15 sampai 23 μm. Intinya bulat dan tampak pucat, sitoplasmanya

mengandung granula glikogen, lemak, feritin dan pigmen hemosiderin. Permukaan sel yang menghadap ke arah kanalikuli biliaris ditaburi mikrovili dan terdapat banyak granula membran berkumpul dekat lumen (Bajpai, 1987). Hepatosit memiliki banyak retikulum endoplasma, baik halus maupun kasar. Pada hepatosit, retikulum endoplasma kasar tersebar di sitoplasma biasa disebut dengan badan basofilik. Organel ini bertanggungjawab atas proses oksidasi, metilasi, dan konjugasi yang diperlukan untuk menonaktifkan atau mendetoksifikasi berbagai zat sebelum di eksresikan dari tubuh (Junqueira & Carneiro, 2007).

Tiap lobus hati (Gambar 2) dibalut oleh peritoneum pars viseralis dengan sel-sel mesotel melekat pada kapsula tipis. Jaringan ikat dari kapsula menjulur ke dalam ruang interlobularis sambil menunjang sistem vascular dan saluran empedu. Jalinan serabut retikuler halus mengitari sel-sel hati dan sinusoid. Kandungan serabut kolagen meningkat dari 0,05% pada hewan belum dewasa, sampai 0,7% pada hewan dewasa.


(26)

Sel-sel otot polos kadang-kadang terdapat juga pada kapsula dan jaringan ikat interlobularis. Jaringan ikat yang menunjang pembuluh limfe dan percabangan dari arteri hepatika, vena porta, dan saluran empedu, tampak pada tiap sediaan hati (Dellman & Brown, 1992).

Gambar 2. Skema lobulus hati, asini hati, dan lobulus porta. Lobulus hati terdiri dari vena sentralis (CV) dan dibatasi oleh garis yang menghubungkan celah porta (PS). Romawi I, II, dan III adalah pembagian zona asinus hati (Junqueira & Carneiro, 2007).

2.3.3 Hepatosit

Sitoplasma hepatosit agak berbutir, tetapi dapat tergantung pada perubahan nutrisi serta fungsi selular. Mitokondria relatif banyak dan apparatus golgi lazimnya terletak dekat kanalikuli empedu atau dapat juga bersifat jukstanuklear. Lisosom banyak tersebar, kelompok ribosom bebas, rER dan sER cukup berkembang dan sering berdampingan. Dengan pengamatan lebih teliti glikogen tampak sebagai butir dengan konfigurasi roset. Pada sedian histologi biasa, glikogen tampak sebagai rongga-rongga yang tidak teratur, sedangkan rongga yang ditepati oleh lemak tampak kosong dan bulat, sebab glikogen dan lemak larut dalam silol serta air dipakai pada metode


(27)

pewarnaan biasa (H&E). Tidak heran tampak pigmen empedu dalam hepatosit normal (Dellman & Brown, 1992).

Setiap hepatosit memiliki sekitar 2000 mitokondria. Komponen sel lainnya yang umum dijumpai adalah droplet lipid dengan jumlah yang bervariasi. Lisosom hepatosit sangat penting untuk pergantian dan degradasi organel intrasel. Peroksisom merupakan organel yang mengandung enzim yang banyak dijumpai di hepatosit. Selain itu fungsinya adalah mengoksidasi kelebihan asam lemak, pemecahan hidrogen peroksida yang dihasilkan dari proses oksidasi tersebut, pemecahkan kelebihan purin (AMP, GMP) menjadi asam urat, dan berpartisipasi dalam sintesis kolesterol, asma empedu, dan sejumlah lipid yang digunakan untuk membentuk mielin (Junqueira & Carneiro, 2007).

2.4 Kerusakan Hati

Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati, yang mengakibatkan berbagai jenis kerusakan hati antara lain:

a. Perlemakan Hati (Steatosis)

Menurut Lu (1995), perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Kelebihan lemak dalam hati dapat dibuktikan secara histokimia. Lesi dapat bersifat akut, seperti yang disebabkan oleh etionin, fosfor, atau tetrasiklin. Menurut Batticaca (2009), kelainan ini dapat timbul karena mengkonsumsi alkohol yang berlebihan. Perlemakan hati sering berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hepatitis.

b. Nekrosis hati

Menurut Robbins & Kumar (1992), nekrosis merupakan kematian sel hati atau hepatosit. Kematian ini dapat bersifat sentral atau perifer serta masif. Nekrosis terjadi bersamaan dengan pecahnya membran plasma. Tanda jelas kematian sel terdapat di dalam inti. Kematian sel ini akan menyebabkan terjadinya perubahan sebagai berikut; (a) kariolisis, bahan inti atau kromatin mencair, (b)


(28)

pignosis, penyusutan inti, dan (c) karioreksis, dimana inti pignosis atau sebagian sel yang pignosis mengalami fragmentasi.

c. Kolestasis

Menurut Lu (1995), jenis kerusakan hati ini biasanya bersifat akut, tetapi lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan perlemakan hati dan nekrosis. Jenis kerusakan hati ini lebih sulit diinduksi pada hewan, kecuali mungkin dengan steroid. Beberapa steroid anabolik dan kontraseptif disamping taurokolat, klorpromazin, dan eritromisin laktobionat telah terbukti menyebabkan kolestasis hiperbilirubinemia karena tersumbatnya kanalikuli empedu. Tampaknya etinil estradiol dan kloropromazin merusak permiabilitas saluran empedu, sehingga menurunkan empedu yang tidak bergantung pada garam empedu.

d. Sirosis

Sullivian & Krieger (1989), sirosis ditandai oleh adanya kolagen yang tersebar di sebagian besar organ hati. Kumpulan sel hati muncul sebagai nodul yang dipisahkan oleh lapisan berserat. Kemudian Lu (1995) menyatakan, beberapa karsinogen kimia dan pemberian CCl4 jangka panjang dapat menyebabkan

sirosis pada hewan. Penyebab sirosis pada manusia yang paling penting adalah adanya konsumsi minuman alkohol secara kronis.


(29)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 sampai Juli 2011 di Laboratorium Struktur Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah hotplate cimarec 2, blender, panci, beaker glass pyrex 1000ml, freezer Gallenkamp sanyo, inkubator Jouan, timbangan digital preset counter yang mempunyai akurasi 0.01 g, jarum suntik York 1cc dan 3ml, tube, jarum gavage, gelas ukur pyrex 500ml, botol balsem, bak bedah, dissecting set, jarum pentul, objek glass, cover glass, mikrometer, mikrotom rotari, kuas, skapel, chamber, mikroskop Zeiss dan program Axiovision 4.0, camera digital Olympus.

Bahan yang digunakan adalah biji Carica papaya L., aquades, aqua bidestilata steril 500ml, mencit jantan (Mus musculus L.), Testosteron Undekanoat (TU) buatan Schering AG Jerman, pewarna Hematoxylin-Eosin, canada balsem, xylol, larutan bouin (asam pikrat, formalin 4%, asam asetat glasial) NaCl 0,9%, alkohol 30%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, dan alkohol absolut, aluminium foil, kertas label, kertas millimeter blok, kertas saring.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian menggunakan rancangan acak lengkap yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kontrol, masing-masing 5 ulangan. Pengamatan dilakukan pada interval waktu yang berbeda yaitu 0, 6, 12, 18, dan 24


(30)

minggu, yaitu P1 sampai dengan P5 dan K1 sampai dengan K5. Model rancangan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1, penentuan ulangan berdasarkan Rumus Federer 1963 dalam Ilyas 2001.

Tabel 3.1 Model Rancangan Penelitian

Minggu Kelompok

0 6 12 18 24

Kontrol K0 (n=5) K1 (n=5) K2 (n=5) K3 (n=5) K4 (n=5)

Perlakuan P0 (n=5) P1 (n=5) P2 (n=5) P3 (n=5) P4 (n=5)

Keterangan: K= Kontrol P= Perlakuan n=Ulangan

Pada Kontrol, K0 sampai K4 merupakan kontrol dari masing-masing perlakuan dengan jumlah masing-masing mencit 5 ekor. Perlakuan P0 sampai P4 merupakan penyuntikan TU 0,25mg/0,1ml/ekor interval 6 minggu secara intramuskular dan pencekokan ekstrak air biji pepaya 30 mg/0,5ml/mencit jantan setiap hari secara oral.

3.4 Prosedur Penelitian

3.4.1Hewan Percobaan

Penelitian ini menggunakan mencit (Mus musculus L.) jantan yang sehat dan fertil serta berumur 8-11 minggu dengan berat 24-25 g sebanyak 50 ekor, mencit tersebut diperoleh dari Balai Penyidikan Penyakit Hewan Sumatera Utara Medan dan dibagi dalam kelompok perlakuan dan kontrol. Mencit diberi makan dan minum secara ad-libitum (Smith & Mangkoewidjojo, 1988). Kandang mencit dijaga kebersihannya dan penanganan hewan percobaan sesuai dengan persyaratan kode etik yang berlaku. Diantaranya penanganan dengan penuh kasih sayang, pemberian makanan yang cukup gizi dan sehat serta memperhatikan kebersihan kandangnya. Sebelum penelitian dilakukan diajukan permohonan untuk mendapatkan ethical clearance ke Komisi Etik Penelitian Hewan di Wilayah Sumatera Utara Medan.

3.4.2 Pembuatan Ekstrak Air Biji Pepaya

Pembuatan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dilakukan menurut cara (Chinoy, 1985 dalam Ilyas, 2001). Ekstrak Air biji pepaya disiapkan dengan mengumpulkan buah pepaya (Carica papaya L.) yang telah masak, yang berasal dari


(31)

kelurahan kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan Komplek Adam Malik kota Madya Medan, Sumatera Utara. Biji pepaya kemudian dicuci dan dikeringkan dengan inkubator pada suhu 50°C sampai kering (kadar air 20%). Biji yang telah kering dihaluskan dengan diblender dan diayak dengan ayakan tepung sehingga didapatkan 300 g bubuk halus biji pepaya. Diambil sebanyak 300 g yang telah halus kemudian dimasukkan ke dalam bejana yang telah diisi air, selanjutnya dilakukan perebusan hingga mendidih, setelah mendidih air perebusan disaring dengan kertas saring hingga diperoleh hasil dan residu. Residu yang diperoleh direbus kembali hingga diperoleh hasil dan residunya lagi, begitu seterusnya sampai residu tidak dapat dipergunakan kembali. Hasil rebusan dipanaskan hingga diperoleh reindaimen sampai berwarna coklat tua dan kental 30 g. Reindaimen yang diperoleh selanjutnya dilarutkan kembali dengan aquabidestilata steril 500ml sesuai dengan kebutuhan penelitian. Kemudian diberikan secara oral dengan dosis 30 mg/0,5 ml/hari mencit jantan.

3.4.3 Uji Skrining Fitokimia Biji Pepaya

Uji skrinning fitokimia biji pepaya yang akan dilakukan meliputi pemeriksaan kandungan senyawa alkaloid, flavonoid, steroid dan terpenoid. Pemeriksaan senyawa ini sesuai dengan prosedur yang telah dilakukan oleh Harborne (1987) yaitu:

a. Uji Alkaloid

Biji pepaya kering yang telah dihaluskan, diambil sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100ml methanol. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang terbentuk dimasukkan ke dalam 4 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi pereaksi Meyer, tabung II ditetesi pereaksi Wagner, tabung III ditetesi pereaksi Bouchard dan tabung IV ditetesi pereaksi Dragendorf. Masing-masing tabung sebanyak 3-5 tetes. Kemudian diamati endapan yang terbentuk dan dicatat hasilnya.


(32)

b. Uji Flavanoid

Biji pepaya kering yang telah dihaluskan, diambil sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100ml methanol. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang terbentuk dimasukkan ke dalam 4 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi FeCl3, tabung II ditetesi MgHCl, tabung III ditetesi

H2SO4(p) dan tabung IV ditetesi NaOH 10%. Masing-masing tabung sebanyak 3-5

tetes. Kemudian diamati perubahan warna yang terjadi dan dicatat hasilnya.

c. Uji Steroid

Biji pepaya kering yang telah dihaluskan, diambil sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100ml n-heksan. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang terbentuk dimasukkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO4 1%, tabung II ditetesi reagen Salkowsky

(H2SO4)p, tabung III ditetesi Libermen-Bouchard. Masing-masing tabung sebanyak

3-5 tetes. Kemudian diamati perubahan warna dan dicatat hasilnya.

d. Uji Terpenoid

Biji pepaya kering yang telah dihaluskan, diambil sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 100ml kloroform. Kemudian dipanaskan hingga ¼ volume awal dan disaring. Ekstrak yang terbentuk dimasukkan ke dalam 3 buah tabung reaksi. Tabung I ditetesi CeSO4 1%, tabung II ditetesi reagen Salkowsky

(H2SO4)p, tabung III ditetesi Libermen-Bouchard. Masing-masing sebanyak 3-5 tetes.

Kemudian diamati perubahan warna dan dicatat hasilnya.

3.4.4 Pemberian Kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan Ekstrak Air Biji

Pepaya (Carica papaya L.)

Testosteron undekanoat (TU) 1000mg/4mL (buatan Schering AG Jerman) dan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) 30 mg/0,5ml/hari/mencit jantan dirancang jumlahnya dengan membandingkan dosis yang diberikan pada manusia. Perbandingan berat relawan (50 kg=50.000 g) dengan mencit adalah (25 g) adalah 2000:1. Pada uji klinik digunakan 500 mg TU, maka dosis penyuntikan pada tiap ekor mencit adalah 1/2000x500 mg TU = 0,25mg TU (Ilyas, 2007). Sedangkan ekstrak air biji pepaya 30


(33)

mg/25 g berat badan mencit (Ilyas, 2001). Interval waktu injeksi intramuskular TU 6 minggu dan pencekokan ekstrak air biji pepaya setiap hari. Kondisi penelitian terdiri dari lima (5) bagian perlakuan dan kontrol.

Perlakuan penyuntikan TU dimulai dari hari ke 0 dengan interval 6 minggu selama 24 minggu, penyuntikan TU melalui intramuskular dengan menggunakan spuit sebanyak 0,25mg/0,1ml/mencit. Pemberian TU ini berdasarkan penelitian Kamischake et al. (2001) dalam Ilyas (2008), yang menyatakan bahwa injeksi TU dengan interval 6 minggu telah dapat menekan spermatogenesis, sedangkan pencekokan ekstrak biji pepaya dengan dosis 30mg/0,5 ml/mencit jantan diberikan setiap hari melalui oral (gavage) selama 24 minggu. Pengamatan parameter penelitian dilakukan dengan membedah mencit dengan setiap kelompok perlakuan (Tabel 3.1) setiap interval 6 minggu. Pada minggu ke 6 dilakukan pembedahan mencit dengan cara dislokasi leher untuk diambil hatinya, kemudian diamati parameter pengamatan yang terdiri dari morfologi yang meliputi permukaan hati dan warna hati. Dilakukan juga parameter untuk minggu ke 12, ke 18, dan ke 24. Masing-masing kelompok diberikan ekstrak air biji pepaya dan TU dari hari ke 0 selama 6 minggu untuk perlakuan P1, kemudian P1 dibedah semuanya pada minggu ke 6, selanjutnya P2, P3, dan P4 dibedah semua mencit dan diamati sesuai parameter pengamatan ( Gambar 3)

Kontrol

Minggu

Gambar 3. Jadwal kegiatan pemberian TU + ekstrak air biji pepaya selama 24 minggu.

0 6 12 18 24

Injeksi TU 0,25 mg/0,1ml/mencit jantan dan interval waktu selama 6 minggu

0 6 1 18 24

Pemberian ekstrak air biji papaya (30mg/0,5ml/mencit jantan/ hari)


(34)

3.4.5 Pembuatan Preparat Histologi Hati Mencit Jantan dengan Metode Parafin

Menurut Suntoro (1983), urutan kerja pembuatan preparat yang dilakukan dengan metode parafin adalah sebagai berikut:

a. Fiksasi, setelah mencit (Mus musculus L.) didislokasi dan dibedah, diambil organ hati kemudian dicuci dengan larutan NaCl 0,9%, lalu difiksasi dengan larutan bouin selama 1 malam.

b. Pencucian (washing), setelah hati difiksasi, dilakukan pencucian dengan menggunakan alkohol 70% yang berguna untuk menghilangkan larutan fiksasi dari jaringan.

c. Dehidrasi, langkah ini dilakukan setelah proses pencucian selesai, dengan menggunakan alkohol bertingkat dimulai dari alkohol 30%, 40%, 50%, 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, dan alkohol absolut. Botol yang berisi hati tersebut digoyang-goyangkan terus menerus (shaker) dengan menggunakan tangan agar proses dehidrasinya lebih cepat.

d. Penjernihan (clearing), penjernihan dilakukan dengan menggunakan perbandingan alkohol:xylol 3:1, 1:1, 1:3 masing-masing 1 jam dan berakhir dengan xylol murni diinapkan selama 1 malam.

e. Infiltrasi, proses infiltrasi dilakukan di dalam oven dengan suhu 56ºC, menggunakan perbandingan xylol:parafin 3:1, 1:1, 1:3 dan berakhir diparafin murni masing-masing selama 1 jam.

f. Penanaman (embedding), setelah proses infiltrasi, selanjutnya dilakukan proses penanaman dalam parafin, sebelum melangkah ke proses ini yang harus disiapkan adalah mencairkan parafin, membuat kotak-kotak dari karton atau kalender bekas untuk tempat penanaman, menyiapkan lampu spritus, menyediakan pinset kecil, dan menyediakan label. Setelah semuanya telah siap, proses embedding dimulai dengan menuangkan parafin yang telah cair kedalam kotak-kotak karton tadi, selanjutnya ambil organ tersebut dengan cepat dari parafin murni dengan menggunakan pinset kecil lalu dimasukkan ke dalam kotak yang telah berisi parafin cair tadi, biarkan hingga parafin menjadi keras sampai terbentuk blok-blok parafin.

g. Penyayatan (section), penyayatan atau pemotongan dilakukan dengan memotong blok parafin yang telah ditempelkan pada holder kemudian


(35)

dipasang pada mikrotom, lalu diputar sampai blok parafin yang berisi organ tadi terpotong menjadi pita-pita parafin dengan ukuran ketebalan 6-10µm. h. Penempelan (affiksing), penempelan dilakukan dengan mengambil beberapa

pita parafin yang telah terpotong dengan menggunakan skapel, kemudian ditempelkan pada objek glass, lalu dicelupkan ke dalam air dingin (air biasa) kemudian kedalam air panas. Lalu diletakkan diatas hotplate beberapa detik untuk melekatkan pita parafin ke objek glass.

i. Pewarnaan (staining), pewarnaan sedian hati, diwarnai dengan menggunakan pewarnaan Hematoxylin-Eosin. Tahapan pewarnaannya adalah sebagai berikut:

- Deparafinasi: dilakukan dengan mencelupkan objek glass yang telah berisi irisan jaringan tadi ke dalam xylol selama ±15 menit.

- Dealkoholisasi: dilakukan secara bertingkat dengan alkohol kosentrasi menurun, dengan alkohol absolut, alkohol 96%, 90%, 80%, 70%, 60%, 50%, dan 30%.

- Pewarnaan: dilakukan dengan cara objek glass yang telah berisi irisan jaringan tadi dimasukkan ke dalam larutan pewarna Hematoxilin Erlich selama 3-7 menit, dicuci dengan air mengalir ± 10 menit, dimasukkan ke dalam alkohol 30%, 50%, dimasukkan ke dalam larutan pewarna eosin 0,5% dalam alkohol 70% selama 1-3 menit, preparat dimasukkan berturut-turut ke dalam alkohol 60%, 70%, 80%, 90%, 96%, dan alkohol absolut, dikeringkan dengan kertas pengisap selanjutnya, preparat dimasukkan ke xylol.

j. Penutupan (mounting), dari xylol jaringan kemudian ditutup dengan cover glass setelah ditetesi dengan Canada balsam terlebih dahulu. Setelah itu diberi label dan diamati di bawah mikroskop.

3.5Parameter Pengamatan

3.5.1 Pengamatan Morfologi Hati

Pengamatan morfologi hati dilakukan dengan cara: mencit jantan (Mus musculus L.) didislokasi dan dibedah, diambil organ hati serta diamati hati. Organ hati kemudian dilakukan pengamatan terhadap gambaran morfologi. Pengamatan gambaran


(36)

morfologi hati meliputi permukaan luar hati dan warna hati. Penilaian disebut normal bila permukaan rata dan halus serta berwarna merah kecoklatan, sedangkan abnormal jika permukaan ditemukan jaringan ikat, kista kecil, permukaan yang benjol-benjol atau abses yang menunjukkan perubahan warna (Robbins & Kumar, 1992).

3.5.2 Pengamatan Preparat Histologi Hati

Menurut Jawi (2007), preparat histologi hati (hepar) dapat dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dalam 5 lapangan pandang yang berbeda, dengan perbesaran 400 kali. Setiap lapangan pandang dihitung 40 hepatosit. Dengan jenis kerusakan hepar yang meliputi nekrosis, steatosis, dan degenerasi hidrofik. Kemudian dicatat dan dihitung jumlah persentase kerusakan yang terjadi.

3.6 Analisis Statistik

Data yang didapat dari setiap parameter (variabel) pengamatan dicatat dan disusun ke dalam bentuk tabel. Data kuantitatif (variabel dependen) yang didapatkan, diuji kemaknaannya terhadap pengaruh kelompok perlakuan (variabel independen) dengan bantuan program statistik komputer yakni program SPSS release 13. Jika data diuji berdistribusi normal tetapi tidak homogen, maka data ditransformasi, jika data berbeda nyata taraf 5% (p<0,05), maka dilanjutkan dengan uji analisis Mann-Whitney. Jika dengan Mann-Whitney data berbeda nyata (p<0,05), pada kelompok kontrol atau kelompok perlakuan secara keseluruhan, maka dilanjutkan dengan uji analisis Friedman-Test. Untuk melihat perbedaan 2 perlakuan (kontrol dan perlakuan) dilakukan dengan uji analisis uji T (parametrik, jika normalitas dan homogenitas p>0,05) atau Mann-Whitney (nonparametrik, jika normalitas dan homogenitas p<0,05). Sumber keragaman yang dianalisis untuk melihat pengaruh perlakuan dengan kontrol adalah perbedaan waktu pengamatan (T) dimulai dari minggu 0 (hari pertama perlakuan) sampai minggu ke-24.


(37)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pemberian kombinasi Testosteron Undekanoat (TU) dan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) terhadap ultrastruktur hati mencit (Mus musculus L.) jantan diperoleh hasil sebagai berikut:

4.1 Kandungan Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.)

Kandungan senyawa-senyawa dari ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) dapat dilihat pada Tabel 4.1

Tabel 4.1 Kandungan Senyawa Biji Pepaya (Carica papaya L.)

No. Kandungan Biji Pepaya (Carica papaya L.) Pengamatan

1 Senyawa Alkaloid +++

2 Senyawa Flavonoid -

3 Senyawa Steroid ++

4 Senyawa Terpenoid ++

Keterangan: semakin banyak nilai + maka semakin banyak kandungan senyawa

yang terdapat pada ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.)

Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa senyawa alkaloid merupakan senyawa yang paling banyak terkandung pada biji pepaya dibandingkan steroid, terpenoid dan flavonoid. Alkaloid merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan di alam dan memiliki keaktifan biologis tertentu. Alkaloid dapat bersifat sitotoksik yang dapat mengakibatkan efek fisiologis dan psikologis. Menurut Sastrohamidjojo (1996), alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas biologis yang luas, bersifat basa dan mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik.


(38)

Berbagai jenis senyawa bioaktif yang terkandung pada tumbuhan, utamanya senyawa-senyawa yang berasal dari golongan alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan steroid memiliki aktifitas sebagai bahan antifertilitas (Fransworth et al., 1975). Menurut Nurhida (1995), gangguan yang terjadi pada perkembangan sel-sel spermatogenik disebabkan karena adanya bahan aktif yang terdapat pada ekstrak biji pepaya yakni alkaloid yang bersifat sitotoksik terhadap sel-sel yang sedang berkembang. Apabila efek bahan aktif ini terjadi pada sel-sel spermatogonium maka perkembangan selanjutnya akan terpengaruh, sehingga spermatogonium yang berkembang menjadi spermatozoa berkurang.

Menurut Simbala (2009), alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol, sehingga banyak digunakan dalam pengobatan. Senyawa alkaloid pada tumbuhan seringkali dihubungkan dengan efek positif sebagai antioksidan dan mengurangi permaebilitas pembuluh darah (Turana, 2003 dalam Widyastuti et al., 2008).

Menurut Harborne (1987), terpenoid secara kimia umumnya larut dalam lemak dan terdapat dalam sitoplasma sel tumbuhan. Minyak atsiri yang bagian utamanya merupakan terpenoid yang merupakan penyebab wangi, harum atau bau yang khas pada banyak tumbuhan. Menurut Sastrohamidjojo (1996), secara biologis flavonoid memiliki peranan penting dalam kaitan penyerbukkan pada tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoid mempunyai rasa pahit hingga dapat bersifat menolak jenis ulat tertentu.

Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental metanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid dan saponin. Secara kualitatif, berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya (Sukadana et al., 2007). Senyawa steroid dalam tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C-3, seringkali semuanya disebut sterol. Senyawa ini sering terdapat tidak bebas tetapi sebagai turunan senyawa yang lebih rumit seperti glikosida (Robinson, 1995).


(39)

4.2 Hasil Gambaran Morfologi Hati

Hasil pengamatan gambaran morfologi hati kelompok kontrol dan perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Gambaran morfologi hati kelompok kontrol dan perlakuan

Minggu Kontrol Perlakuan

T0

Warna merah kecoklatan, Permukaan licin dan halus

(K0)

Warna merah kecoklatan, Permukaan licin dan halus (P0)

T1

Warna merah pucat,

Permukaan licin serta halus (K1)

Warna merah sedikit lebih pucat, Serta permukaan licin dan halus (P1)

T2

Warna merah kecoklatan, Permukaan licin dan halus (K2)

Warna merah gelap, permukaan Halus dan licin

(P2)

T3

Warna merah kecoklatan, Permukaan halus dan licin (K3)

Warna merah, sedikit lebih pucat, Dan permukaan berbintik-bintik (P3)

T4

Warna merah kecoklatan, Permukaan licin dan halus (K4)

Warna merah kecoklatan, dan Permukaan licin dan halus (P4)


(40)

Gambaran morfologi antara kelompok kontrol dan perlakuan memiliki warna dan bentuk permukaan yang tidak berbeda. Namun pada P1 dan P3 mengalami perubahan warna yaitu merah pucat dengan permukaan hati berbintik. Perubahan morfologi dapat disebabkan karena perubahan fisiologi dan struktur mikroskopik hati. Penilaian disebut normal bila permukaan hati halus dan licin serta warna hati merah kecoklatan, sedangkan yang abnormal ditandai dengan permukaan berupa jaringan ikat, kista kecil, dan perubahan warna.

Pada umumnya perubahan morfologi sulit diukur (Lu, 1994), Kerusakan sel tergantung intensitas pemaparan, dengan perubahan sedikit dan mungkin tidak tampak perubahan morfologi maupun fungsi hati. Akan tetapi, apabila paparan menjadi lebih kuat dan intensitas meningkat, maka akan menyebabkan terjadi perubahan morfologi maupun fungsi dalam sel (Darjono et al., 2001).

4.3 Ultrastruktur Hati Mencit (Mus musculus L.)

Pengamatan histologi hepatosit menggunakan mikroskop pada perbesaran 400x. Pengamatan dilakukan dengan melihat sel hepatosit yang abnormal. Dikatakan abnormal apabila sel hepatosit terdapat perlemakan (steatosis), degenerasi vakuola (hidrofik), dan nekrosis. Menurut Lu (1994), toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel dalam sel hati dan menyebabkan berbagai jenis kerusakan hati seperti perlemakan hati, nekrosis hati, kolestasis, dan sirosis.

4.3.1 Kerusakan Hati Berupa Nekrosis

Secara statistik pada kelompok perlakuan setelah dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas varians menunjukkan bahwa data berdistribusi normal p>0,05, maka dilanjutkan dengan uji Oneway annova. Karena data berdistribusi normal p>0,05 maka dilanjutkan dengan uji analisis Post Hoc-Bonferroni taraf 5%. Persentase kerusakan hati berupa nekrosis kelompok kontrol dan perlakuan ditunjukkan pada Gambar 4.3.1


(41)

Gambar 4.3.1 Persentase nekrosis sel hati mencit (Mus musculus L.) antara kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P), tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%, *= berbeda nyata pada taraf 5%

Gambar 4.3.1 menunjukkan bahwa pada minggu ke 0 (K0P0) sel nekrosis tidak berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan sedangkan pada minggu ke 6 (K1P1), minggu ke 12 (K2P2), minggu ke 18 (K3P3), dan minggu ke 24 (K4P4) sel nekrosis berbeda nyata antara kontrol dan perlakuan yaitu meningkatnya kerusakan hati berupa nekrosis pada kelompok perlakuan. Persentase tertinggi sel nekrosis terdapat pada kelompok perlakuan minggu ke 12 (P2). Hal ini diduga karena lamanya paparan pemberian ekstrak biji pepaya yang mengandung alkaloid. Intensitas ekstrak air biji pepaya yang diberikan secara terus menerus akan menyebabkan proses detoksifikasi sehingga menyebabkan senyawa metabolit dapat bereaksi dengan unsur sel dan menyebabkan kematian sel. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Robbins & Kumar (1992), senyawa yang bersifat hepatotoksin dapat menyebabkan gangguan pada jaringan hati, biasanya senyawa tersebut tergantung pada dosis pemberian dan interval waktu pemberian.

Senyawa alkaloid sering bersifat racun (toksik) bagi manusia yang dapat menunjukkan aktifitas fisiologi yang menonjol (Harborne 1987). Hati berfungsi sebagai alat detoksifikasi terhadap bahan yang dicerna oleh usus termasuk obat-obatan dan bahan toksik lainnya. Pemberian obat-obatan yang berlebihan dan bahan toksik yang dimakan tanpa disadari dapat menimbulkan kelainan patologik perenkim hati seperti nekrosis berat (Tambunan, 1994).


(42)

Gambar 4.3.2 Histologi hati mencit kontrol pewarnaan Hematoxylin-Eosin, perbesaran 400x, a. Vena sentralis b. Sinusoid c. Hepatosit d. Nukleus

Gambar 4.3.3 Histologi hati mencit pewarnaan Hematoxylin-Eosin, 400x a. Vena sentralis b. Hepatosit c. Nekrosis

Menurut Lu (1994), nekrosis hati merupakan suatu manifestasi toksik yang berbahaya tetapi tidak selalu kritis karena hati mempunyai kapasitas pertumbuhan kembali yang luar biasa. Menurut Robbin & Kumar (1992), nekrosis merupakan kematian sel hati atau hepatosit. Kematian ini dapat bersifat sentral atau perifer serta massif. Dua proses penting yang menunjukkan perubahan nekrosis adalah: pencernaan sel oleh enzim dan denaturasi protein.

Menurut Himawan (1992), menyebutkan bahwa nekrosis dapat disebabkan oleh bermacam-macam agensia etiologi dan dapat menyebabkan kematian dalam beberapa hari. Diantara agen penyebabnya yaitu racun, inshekmi; terjadi karena suplai

a

c a

b

d c


(43)

oksigen dan makanan untuk alat tubuh yang terputus dan gangguan metabolik (biasanya pada metabolisme protein), infeksi virus yang menyebabkan bentuk fluminan atau maligna hepatitis virus. Menurut Junqueira & Carneiro (2007), hati mempunyai kemampuan untuk meregenerasi sel yang mengalami kerusakan, pada tikus hati dapat meregenerasi kehilangan 75% beratnya dalam satu bulan. Menurut Robbin & Kumar (1992), sel akan mengalami proliferasi dan regenerasi untuk mengganti sel-sel yang lepas dan mati.

4.3.2 Kerusakan Hati Berupa Steatosis

Pengamatan steatosis hati dapat dilihat pada Gambar 4.3.4

Gambar 4.3.4 Persentase steatosis sel hati mencit (Mus musculus L.) antara

kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P), tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%, *= berbeda nyata pada taraf 5%

Gambar 4.3.4 setelah dilakukan uji statistik menunjukan bahwa pada kelompok kontrol dan perlakuan minggu ke 0 (K0P0) , minggu ke 12 (K2P2) dan minggu ke 24 (K4P4) tidak berbeda nyata pada pengamatan steatosis hati. Namun demikian tidak untuk minggu ke 6 (K1P1) dan minggu ke 18 (K3P3). Kerusakan sel hati berupa steatosis (Gambar 4.3.5) yang tinggi terjadi pada minggu ke 6, kemungkinan hal ini disebabkan oleh pemberian ekstrak biji pepaya yang mengandung alkaloid dapat menyebabkan gangguan metabolisme pada hati terutama metabolisme lemak. Dalam


(44)

penelitian yang dilakukan oleh Dewi & Saraswati (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi kerja zat diantaranya adalah dosis dan pemasukkan yang berulang. Dosis yang berlebih dan pemasukan yang berulang berpotensi menyebabkan kerusakan pada organ tubuh terutama hati yang berperan sebagai detoksifikasi. Kerusakan pada sel hepatosit menyebabkan terjadinya perubahan struktur sel dan gangguan pada fungsi sel tersebut.

Gambar 4.3.5 Histologi hati mencit pewarnaan Hematoksilin-Eosin, 400x, a. Vena sentralis b. Hepatosit c. Steatosis

Menurut Lu (1992), perlemakan hati adalah hati yang mengandung berat lipid lebih dari 5%. Beberapa toksikan dapat menyebabkan banyaknya butiran lemak kecil dalam suatu sel, sementara toksikan lainnya seperti etanol, menyebabkan butiran lemak besar yang menggantikan inti. Meskipun berbagai toksikan itu akhirnya menyebabkan penimbunan lipid dalam hati, mekanisme yang mendasarinya beragam. Mekanisme yang paling umum adalah rusaknya pelepasan trigliserida hati ke plasma. Menurut Sutisna (1973), perubahan berlemak merupakan penimbunan abnormal. Beberapa mekanisme pada taraf sel terkait dalam pembentukan perlemakan yaitu pengangkutan lemak dari tepi hati yang bertambah, sintesis lipoprotein yang berkurang akibat berkurangnya mobilisasi lemak dari hati, penggunaan lemak dalam sel hati yang berkurang, dan sintesis lemak dalam sel hati yang bertambah. Menurut Plaa, 1986 dalam Oktavianti et al., 2005, pada kondisi normal lemak diambil dalam bentuk asam lemak melalui pinositosis. Asam lemak disintesis menjadi trigliserida, memiliki jumlah bunga lebih banyak dibandingkan dengan kontrol, namun pada

a b


(45)

terikat pada fosfolipid dan protein kemudian diangkut oleh darah sebagai lipoprotein. Menurut Robbin & Kumar (1992), dalam keadaan normal lemak diangkut ke hati dari jaringan adiposa dan dari makanan. Dari jaringan adiposa, lemak dilepas dan diangkut hanya dalam bentuk asam lemak bebas. Lemak makanan diangkut sebagai partikel lemak yang terdiri dari trigliserida, fosfolipid dan protein.

4.3.3 Kerusakan Hati Berupa Degenerasi Hidrofik

Pengamatan terhadap degenerasi hidrofik hati dapat dilihat pada Gambar 4.3.6

Gambar 4.3.6 Persentase degenerasi hidrofik sel hati mencit (Mus musculus L.)

antara kelompok kontrol (K) dan perlakuan (P), tn= tidak berbeda nyata pada taraf 5%, *= berbeda nyata pada taraf 5%

Pada kelompok kontrol dan perlakuan disetiap minggu pengamatan, hasil uji statistik menunjukkan bahwa antara kelompok kontrol dan perlakuan K0P0, K1P1 dan K4P4 tidak berbeda nyata, sedangkan kelompok kontrol dan perlakuan K2P2, K3P3 berbeda nyata terhadap sel yang mengalami degenerasi hidrofik. Kerusakan sel hati berupa degenerasi hidrofik (Gambar 4.3.7) tertinggi pada perlakuan minggu ke 18 (P3), hal ini diduga oleh pengaruh pemberian kombinasi ekstrak biji pepaya dan TU yang terus menerus dengan menyebabkan gangguan metabolisme hati, sehingga membentuk vakuola pada sel hati. Vakuola yang terbentuk pada sel hati ini menyebabkan sel hati menjadi bengkak. Menurut Ariens et al., (1993), dosis ditentukan oleh kosentrasi dan lamanya eksposisi zat yang diberikan. Keberadaan suatu bahan yang bersifat toksik akan mempengaruhi kerja organ yang bersangkutan.


(46)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Oktavianti et al., (2005), degenerasi hidrofik yang merupakan perubahan awal dari sel yang mengalami patogenesis. Akumulasi air ini dapat terjadi antara lain karena faktor mekanik dan pengaruh toksik akibat bahan-bahan kimia dan obat-obatan. Menurut Himawan (1992), pembengkakan tidak terjadi pada retikulum endoplasma dan mitokondria tetapi air juga mengumpul dalam rongga-rongga sel. Secara mikroskopik tampak vakuola-vakuola jernih tersebar di sitoplasma. Kadang-kadang vakuola kecil-kecil bersatu membentuk vakuola lebih besar sehingga inti sel terdesak kepinggir.

Menurut Tambunan (1994), degenerasi hidrofik yaitu satu atau sekelompok sel yang membengkak, sitoplasma jernih berbentuk balon dan kadang-kadang disebut degenerasi balon. Kelainan ini ada hubungannya dengan gangguan fungsi hati dan kemungkinan dan sifatnya reversible. Menurut Underwood (1999), perubahan hidrofik umumnya merupakan akibat adanya gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia. Perubahan ini reversible, walaupun dapat pula berubah menjadi irreversible apabila penyebab cederanya menetap.

Gambar 4.3.7. Histologi hati mencit pewarnaan Hematoksilin-Eosin, 400x, a. Vena sentralis b. Hepatosit c. Degenerasi Hidrofik

Menurut Sutisna (1973), degenerasi hidrofik mendahului nekrosis dan masih bersifat reversibel. Menurut Tambunan (1994), degenerasi hidrofik merupakan suatu kelompok atau satu sel hepatosit yang membengkak, sitoplasma jernih berbentuk balon yang masih bersifat bolak balik. Menurut Anderson (1992), kehilangan jaringan

a


(47)

hati akibat kerja zat-zat toksik memacu suatu mekanisme yang menyebabkan sel-sel hati mulai membelah dan hal ini terus berlangsung sampai perbaikan massa jaringan semula tercapai. Menurut Oktavianti et al., (2005), degenerasi sel menyebabkan terjadinya perubahan susunan sel, karena sel yang tidak mampu kembali ke keadaan semula menyebabkan ruang kosong sehingga sinusoid melebar.


(48)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa pemberian ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.) secara oral dengan dosis 30 mg/0,5 ml/ ekor/ mencit jantan setiap hari penyuntikan testosteron undekanoat (TU) secara intra muscular (IM) dengan dosis 0,25 mg/0,1ml/ mencit jantan dengan interval 6 minggu dapat menimbulkan kerusakan histologi pada sel hati (hepatosit), dengan kerusakan berupa nekrosis setelah minggu ke 12 pemberian, steatosis pada minggu 6, dan degenerasi hidrofik pada minggu ke 18 pada mencit (Mus musculus L.) namun tidak berpengaruh terhadap struktur morfologi hati tersebut.

5.2 Saran

Penelitian lanjutan dengan parameter pemeriksaan kadar SGOT dan kadar SGPT mencit (Mus musculus L.) jantan.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Amir, A. 1992. Pengaruh penyuntikan ekstrak biji pepaya gandul (Carica pepaya L.) terhadap sel-sel spermatogenik mencit dan jumlah anak hasil perkawinannya. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Bidang Ilmu Kedokteran Dasar. Jakarta.

Anggraini, D. R. 2008. Gambaran Makroskopis dan Mikroskopis Hati dan Ginjal Akibat Pemberian Plumbum Asetat. Tesis Biomedik Kedokteran. Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Hal. 15-16.

Anderson. 1992. Phatophysiology Clinical Concepts of Diasease Process. Jakarta: EGC. Hal. 173.

Ariens, E. J., Mutschler, E., & Simonis, A. M. 1993. Toksikologi Umum Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 49-55.

Bajpai, R. N. 1987. Histologi Dasar. Edisi 4. Jakarta: Universitas Indonesia. Hal. 162-163.

Batticaca, F. B. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Metabolisme. Jakarta : Salemaba Medika. Hal. 27.

Chusniati, S. 2008. Pengaruh Pemberian Biji Pepaya (Carica papaya) terhadap gambaran histopatologi hepar ayam yang diinfeksi telur cacing Ascaridia galli. Journal Of Poultry Disiases. 1 (1): 35.

Corner & Watanabe. 1969. Collection of Illustrated Tropical Plant. Kyoto. Page. 64.

Darjono, T. C., Kurniasih, R., Wasito, B., & Sutrisno. 2001. Patologi. Yogyakarta: UGM. Hal 1-3.

Dellmann, H. D. & Brown, E. M. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner. Terjemahan R. Hartono. Edisi ke-3. Jakarta: UI-Press. Hal. 392-395.

Dewi, U. K., & Saraswati, T. R. 2009. Efek rebusan daun tapak dara pada dosis dan frekuensi yang berbeda terhadap kerusakan dan akumulasi glikogen pada hepar mencit (Mus musculus). Bioma 11(1): 1-5.

Dudley, R. E., Svoboda, D. J. & Klassen, C. D. 1982. Acute Exposure to Cadmium Causes Severe Liver Injury in Rats. Toxicol App. Pharmacol. 65: 302-312.

Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. Cetakan 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Hal. 569-570.

Fransworth, N. R., Bingel, A. S., Cordell, G. A., Cane, F.A. & Fong, H. H. S. 1975. Potensial value of plants as source of new antifertility agents I. Journal pharmaceutal Science (64): 535-598.


(50)

Ganong, W. F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC. Hal. 481

Goodman & Gilman.1980. The Pharmaceutical Basis of Therapeautics. Edisi keenam. Macmillan Publishing Co.Inc. New York.

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 49.

Herman, R. B. 2004. Fisiologi Pencernaan. Padang: Andalas University Press. Hal. 109-110.

Himawan, S. 1992. Patologi. Jakarta: EGC. Hal. 86.

Ilyas, S. 2001. Efektivitas Ekstrak Biji Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Jumlah Spermatogonia-A, Berat Testis, Berat Badan Tikus (Rattus sp.) dan Jumlah Anak Hasil Perkawinannya. Media Farmasi 9 (2): 208-209.

Ilyas, S., 2007. Analysis of Protein Fas Expression and Caspase 3 Activated at Supression Phase to Sperm Quantity by Androgen/Progrestin Combination. Jurnal Biologi Sumatera. 2(2): 45.

Ilyas, S., 2008. Efektivitas Kontrasepsi Hormonal Pria yang Menggunakan Kombinasi Testosteron Undekanoat dan Noretisteron Enantat. Jurnal Biologi Sumatera. 3 (1): 23-28.

Jawi. 2007. Gambaran Histologi Hepar serta Kadar SGPT dan SGOT Darah Mencit yang Diberikan Alkohol secara Akut dan Kronis. Dexa Medica. 20(1): 23

Junquiera, L.C. & Carniero, J. 2007. Histologi Dasar (Basic Histology). Terjemahan Adji Dharma. Edisi ke-3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 342, 344, 347.

Kusuma, W. 2010. Efek ekstrak daun kemangi (Ocimum sanctum L.) terhadap kerusakan hepatosit mencit akibat minyak sawit dengan pemanasan berulang. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret: Surakarta.

Kalie, B. 1999. Bertanam Papaya. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 1-3.

Leeson, C. R. Leeson, T. S. & Paparo, A. A. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta: EGC. Hal. 383-386.

Lu, F. C. 1995. Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko. Edisi Kedua. Jakarta: UI-Press. Hal. 206-220.

Mangkoewidjojo, S. & Smith, J. B. 1988. Pemeliharaan, Pembiakkan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI-Press.


(51)

Muljana, W. 1985. Bercocok Tanam Pepaya. Semarang: C.V. Aneka Ilmu. Hal. 45.

Mulya, I. 2003. Pengaruh Pemberian Ekstrak Biji Pepaya (Carica pepaya L.) Terhadap Kadar Gula Darah Mencit (Mus musculus L.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam: Medan. Hal. 4-5.

Nurhida, H. 1995. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Pare Terhadap Jumlah dan Motilitas Spermatozoa Tikus Jantan. Jurnal Kedokteran 3 (2): 1.

Oktavianti, R., Marti, H., & Noor, S. H., 2005. Struktur histologi hepar mencit (Mus musculus L.) setelah pemberian aspartam secara oral. Artikel Karya Tulis Ilmiah. Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Hal. 30.

Pearce, E. 2008. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 201-202.

Rahmawati, S. 2003. Pengaruh Pemberian Biji Pepaya (Carica papaya L.) Terhadap Gambaran Sel-Sel Leydig Mencit Jantan (Mus musculus L.). Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam: Medan. Hal. 5-6.

Rismunandar. 1982. Bertanam Pepaya. Bandung: Tarate. Hal. 45

Robbins, S. L. & Kumar. 1992. Buku Ajar Patologi I. Surabaya: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 14-17.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 142.

Rusmiati. 2004. Struktur Histologi Organ Hepar dan Ren Mencit (Mus musculus L.) Jantan Setelah Perlakuan dengan Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.). Skipsi. Fakultas MIPA Universitas Lambung Mangkurat. Kalimantan Selatan. Hal. 27-28.

Sastrohamidjojo, H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 215-216.

Sadate-Ngatchou, P. I., Pouchik, D. J., & Griswold, M. D. 2003. Identification of testosterone regulated genes in testes of hypogonadal mice using oligonucleotide microarray. Moleculer Endocrinology(18): 422.

Setiadi. 2007. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Hal. 77-78.

Simbala, E. I. H. 2009. Analisis senyawa alkaloid beberapa jenis tumbuhan obat sebagai bahan aktif fitofarmaka. Pacific Journal 1 (4): 490.

Smith, J. B & Soesanto, M. 1988. Pemiliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hal. 95 .


(52)

Sukadana, I. M., Santi, S. R., & Juliarti, N. K. 2008. Aktivitas antibakteri senyawa golongan triterpenoid dari biji pepaya (Carica papaya L.). Jurnal Kimia 2(1): 2.

Sullivian, J. B & Krieger. G. R. 1989. Hazardous Materials Toxicology. Clinical Principles of Environmental Health. London: William and Wilkins. Page. 111-112.

Suntoro, S. H. 1983. Metode Pewarnaan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Hal. 48-72.

Sutisna, H. 1973. Patologi Anatomi. Jakarta: UI-Press. Hal. 227-229.

Syaifuddin, H. 2001. Fungsi Sistem Tubuh Manusia. Jakarta: Widya Medika. Hal. 150-151.

Syaifuddin, H. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: EGC. Hal. 178-179.

Underwood, J. C. E. 1999. Patologi. Edisi Kedua. Volume 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 119-120.

Tambunan, G. W. 1994. Patologi Gastroenterologi. Jakarta: EGC. Hal 145-174.

Widyastuti, N., Haryono, A., & Suatma. 2008. Efek toksik buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) pada mencit (Mus musculus) Swiss Webster. Journal Biotika5 (1):42-45.

Yunardi. 2001. Pengaruh penyuntikan ekstrak biji pepaya (Carica pepaya L.) terhadap kosentrasi spermatozoa dan keadaan sel spermatogenik tikus jantan (Rattus norvergicus L.) Strain LMR. Lembaga Penelitian Universitas Indonesia: Jakarta. Hal 3-5.

Zhang, G. Y., Gu, Y. Q., Wang, X. H., & Bremner, W. J. 1999. A clinical trial of injectable testosterone undecanoate as a potensial male contraceptive in normal chinese men. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism. 84(10): 3642-2643


(53)

Lampiran A. Data Rataan Kerusakan Hati Berupa Nekrosis

Rataaan kerusakan hati mencit (Mus musculus L.) setelah pemberian kombinasi

testosteron undekanoat (TU) dan ekstrak air biji pepaya (Carica papaya L.)

(x±SD)

Lama Pemberian (Minggu)

Kontrol (%) Perlakuan (%)

T0 13,2±6,9 17,8±9,9

T1 9,2±3,4 23,3±4,5

T2 10,4±5,4 28,1±7,4

T3 8,8±2,7 18,1±3,5

T4 11,4±3,1 16,8±3,4

Hasil uji statistik SPSS

a. Kelompok Kontrol

Tests of Normality

.244 5 .200* .894 5 .376

.192 5 .200* .923 5 .552

.192 5 .200* .923 5 .552

.198 5 .200* .947 5 .716

.223 5 .200* .968 5 .862

Kel.KONTROL K0 K1 K2 K3 K4 NEKROSIS

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true s ignificance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

1.355 4 20 .285

.667 4 20 .622

.667 4 17.134 .623

1.354 4 20 .285

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean NEKROSIS

Levene


(54)

Oneway

ANOV A NE KROSIS

.099 4 .025 .839 .517

.590 20 .030

.690 24

Between Groups W ithin Groups Total

Sum of

Squares df Mean S quare F Sig.

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons Dependent Variable: NEKROSIS

Bonferroni

.13984 .10867 1.000 -.2028 .4825

.13984 .10867 1.000 -.2028 .4825

.14857 .10867 1.000 -.1941 .4913

.03220 .10867 1.000 -.3105 .3749

-.13984 .10867 1.000 -.4825 .2028

.00000 .10867 1.000 -.3427 .3427

.00873 .10867 1.000 -.3340 .3514

-.10764 .10867 1.000 -.4503 .2350

-.13984 .10867 1.000 -.4825 .2028

.00000 .10867 1.000 -.3427 .3427

.00873 .10867 1.000 -.3340 .3514

-.10764 .10867 1.000 -.4503 .2350

-.14857 .10867 1.000 -.4913 .1941

-.00873 .10867 1.000 -.3514 .3340

-.00873 .10867 1.000 -.3514 .3340

-.11637 .10867 1.000 -.4591 .2263

-.03220 .10867 1.000 -.3749 .3105

.10764 .10867 1.000 -.2350 .4503

.10764 .10867 1.000 -.2350 .4503

.11637 .10867 1.000 -.2263 .4591

(J) Kel.KONTROL K1 K2 K3 K4 K0 K2 K3 K4 K0 K1 K3 K4 K0 K1 K2 K4 K0 K1 K2 K3 (I) Kel.KONTROL K0 K1 K2 K3 K4 Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval


(55)

b.Kelompok Perlakuan

Tests of Normality

.286 5 .200* .890 5 .359

.328 5 .084 .802 5 .084

.268 5 .200* .868 5 .257

.152 5 .200* .971 5 .882

.238 5 .200* .911 5 .473

perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 NEKROSIS

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

This is a lower bound of the true s ignificance. *.

Lilliefors Significance Correction a.

Test of Homogeneity of Variance

2.846 4 20 .051

2.088 4 20 .120

2.088 4 10.579 .153

2.939 4 20 .046

Based on Mean Based on Median Based on Median and with adjusted df

Based on trimmed mean NEKROSIS

Levene

Statistic df1 df2 Sig.

Oneway

ANOV A NE KROSIS

.004 4 .001 2.058 .125

.009 20 .000

.013 24

Between Groups W ithin Groups Total

Sum of


(56)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

Dependent Variable: NEKROSIS Bonferroni

.02854 .01360 .488 -.0144 .0714

.03453 .01360 .196 -.0084 .0774

.01580 .01360 1.000 -.0271 .0587

.01104 .01360 1.000 -.0319 .0539

-.02854 .01360 .488 -.0714 .0144

.00600 .01360 1.000 -.0369 .0489

-.01273 .01360 1.000 -.0556 .0302

-.01750 .01360 1.000 -.0604 .0254

-.03453 .01360 .196 -.0774 .0084

-.00600 .01360 1.000 -.0489 .0369

-.01873 .01360 1.000 -.0616 .0242

-.02350 .01360 .996 -.0664 .0194

-.01580 .01360 1.000 -.0587 .0271

.01273 .01360 1.000 -.0302 .0556

.01873 .01360 1.000 -.0242 .0616

-.00477 .01360 1.000 -.0477 .0381

-.01104 .01360 1.000 -.0539 .0319

.01750 .01360 1.000 -.0254 .0604

.02350 .01360 .996 -.0194 .0664

.00477 .01360 1.000 -.0381 .0477

(J) perlakuan P1 P2 P3 P4 P0 P2 P3 P4 P0 P1 P3 P4 P0 P1 P2 P4 P0 P1 P2 P3 (I) perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound

95% Confidence Interval

K0P0 (T-Test)

Group Statistics

5 13.3000 6.86112 3.06839

5 17.8000 9.89065 4.42323

kel_nekrosis KONTROL PERLAKUAN K0P0

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

2.137 .182 -.836 8 .427 -4.50000 5.38331 -16.91393 7.91393

-.836 7.126 .430 -4.50000 5.38331 -17.18406 8.18406

Equal variances as sumed Equal variances not ass umed K0P0

F Sig.

Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means


(1)

Lampiran H. Uji Skrinning Fitokimia Biji Pepaya Terhadap Terpenoid

Dikeringkan Dihaluskan

Diambil sebanyak 3 g dan dimasukkan ke dalam erlemeyer yang berisi 100ml kloroform

Dipanaskan hingga ¼ volume awal Disaring

Ditetesi pereaksi Ditetesi reagent Salkowsky Ditetesi Liber CeSO4 1% H2SO4 men- bauchard Diamati Diamati Diamati

Biji Pepaya (Carica papaya L.)

Ekstrak

Tabung I Tabung II Tabung III


(2)

Lampiran I. Pembuatan Preparat Histologi Hati

dicuci dengan NaCl 0,9%

difiksasi (dimasukkan ke dalam fiksatif bouin)

washing (dengan menggunakan alkohol 70%, dilakukan

berkali-kali hingga jernih), direndam selama 1 malam

dehidrasi dilakukan dengan merendam hati ke dalam alkohol bertingkat yaitu konsentrasi 30, 40, 50, 60, 70, 80, 96 dan 100% selama 1 jam pada masing-masing konsentrasi

clearing dilakukan dengan merendam hati ke dalam xylol selama

1 malam Infiltrasi

Embedding dilakukan dengan meletakkan hati pada kotak berbentuk segi empat yang telah dipersiapkan sebelumnya sebagai cetakan. Dituang parafin yang telah cair ke dalam kotak tersebut, kemudian hati ditanam dan diatur posisinya lalu diberi label. Dibiarkan sampai dingin dan membeku sehingga membentuk blok parafin dan dimasukkan ke dalam freezer. Dilakukan penempelan blok-blok parafin pada holder yang terbuat dari kayu berukuran 1x1 cm yang berbentuk persegi.

Organ Hati


(3)

Cutting dilakukan dengan memotong blok-blok parafin yang telah

diholder pada mikrotom sehingga membentuk pita-pita parafin

dengan ukuran ketebalan 6-10 µm

Attaching dilakukan dengan mengambil beberapa pita parafin dengan skapel, kemudian diletakkan pada object glass, dan dicelupkan pada air dingin dan air hangat. Lalu diletakkan di atas

hotplate beberapa detik untuk melekatkan pita parafin pada object

glass

Deparafinasi dilakukan dengan cara mencelupkan objek pada xylol sampai parafin habis kira-kira selama ± 15 menit

Dealkoholisasi dilakukan dengan mencelupkan objek glass ke dalam alkohol absolut, 96, 80, 70, 60, 50, 40 dan 30%

Pewarnaan sediaan hati diwarnai dengan menggunakan hematoxilin Erlich selama 3-5 menit, lalu dicuci dengan dengan air mengalir ± 3 menit, kemudian dimasukkan ke dalam alkohol 30, 50, dan 70%, lalu dimasukkan ke dalam larutan pewarna Eosin 0,5% dalam alkohol selama 1-3 menit, lalu dimasukkan ke dalam

aquadest dan kemudian preparat dimasukkkan berturut-turut ke

dalam alkohol 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 96%, alkohol absolut, dikeringkan dengan kertas tisu, selanjutnya preparat dimasukkan dalam chamber berisi xylol

Mounting dilakukan dengan menutup preparat dengan Canada balsam. Diusahakan Diusahakan supaya tidak terdapat gelembung udara. Preparat diberi label

Diamati nekrosis, degenerasi hidrofik, dan steatosis Blok Parafin

Pita Parafin


(4)

Lampiran J. Varietas-Varietas Pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia. 1. Pepaya Medan

a. Pepaya Medan

Deskripsi Morfologi:

Kulit buah bewarna hijau, halus dan licin. Daging buah bewarna kuning kemerahan dan rasanya manis. Berat buah kurang lebih 1,5 kg.

2. Pepaya Bangkok

b. Pepaya Bangkok

Deskripsi Morfologi:

Varietas pepaya Bangkok dikenal juga dengan nama pepaya Thailand. Kulit luar kasar dan tidak rata. Pepaya Bangkok berukuran lebih besar dan bentuknya lebih bulat dibandingkan pepaya Cibinong. Daging buah bewarna merah jingga dan berat buah kurang lebih 3,5 kg (Kalie, 1996).

3. Pepaya Cibinong

Deskripsi Morfologi:

Bentuk buah panjang besar dan lancip pada bagian ujungnya. Tangkai buah panjang. Daging buah bewarna merah kekuningan, rasanya kurang manis. Berat varietas pepaya kurang lebih 2,5 kg/buah (Kalie, 1996).


(5)

4. Pepaya Solo

d. Pepaya Solo

Deskripsi Morfologi:

Ukuran buah kecil dan bentuknya mirip buah alpukat. Berat buah antara 0,4-0,1 kg/buah. Daging buah bewarna kuning, beraroma dan rasanya manis (Kalie, 1996).

5. Pepaya Burung

e. Pepaya Burung

Deskripsi Morfologi:

Daging buah bewarna kuning dan berair banyak. Kulit buah bewarna hijau kekuning. Rasa asam manis (Kalie, 1996).

6. Pepaya Jinggo

Deskripsi Morfologi:

Daging buah bewarna merah dan berair banyak. Kulit buah bewarna kuning. Berat buah kurang lebih 1,5 kg/buah (Kalie, 1996).


(6)

7. Pepaya California

f. Pepaya California

Deskripsi Morfologi:

Warnanya lebih mengkilap, bentuknya agak lonjong, daging buahnya tebal, bijinya lebih sedikit, dan rasanya manis (Kalie, 1996).


Dokumen yang terkait

Penentuan Lc50 Ekstrak Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Pada Ikan Nila (Oreochromis Niloticus)

1 60 75

Uji Antimuagenik Ekstrak Etanol Bunga Jantan Pepaya (Carica papaya L.) pada Mencit Jantan yang Diinduksi dengan Siklofosfamid

3 63 76

Pengaruh Vitamin E Terhadap Pemulihan Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) Yang Mendapat Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (TU)

1 49 94

Gambaran Histologis Testis Mencit (Mus musculus L.) Yang Mendapat Kombinasi Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (TU)

3 88 72

Pemulihan Spermatozoa Mencit (Mus musculus L.) dengan Vitamin C setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU).

0 55 85

Pengaruh Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica papaya L.) dan Testosteron Undekanoat (TU) Terhadap Jaringan Ginjal Mencit (Mus musculus L.)

0 86 70

Studi Testosteron Plasma, Kuantitas Dan Kualitas Spermatozoa Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Kombinasi Hormon Testosteron Undekanoat (Tu) Dan Ekstrak Air Biji Blustru (Luffa Aegyptica Roxb.)

1 43 100

Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (Tu)

0 0 24

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pepaya (Carica papaya L.) - Ultrastruktur Hepar Mencit (Mus Musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Air Biji Pepaya (Carica Papaya L.) Dan Testosteron Undekanoat (Tu)

0 0 9

ULTRASTRUKTUR HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK AIR BIJI PEPAYA (Carica papaya L.) dan TESTOSTERON UNDEKANOAT (TU) SKRIPSI GUSTIKA MARYATI 070805013

0 0 13