ANALISIS PERBANDINGAN JUMLAH PEMBIAYAAN PRODUK JUAL BELI DAN PRODUK SYIRKAH DI PT. BPRS MADINA MANDIRI SEJAHTERA

(1)

SEJAHTERA

AN ANALYSIS OF THE COMPARISON BETWEEN THE FINANCING OF PURCHASE PRODUCTS AND SYIRKAH PRODUCTS AT PT. BPRS

MADINA MANDIRI SEJAHTERA

Disusun Oleh : Siti Hajar 20130420024

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(2)

i

OF PURCHASE PRODUCTS AND SYIRKAH PRODUCTS AT PT. BPRS MADINA MANDIRI SEJAHTERA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi Program Studi Akuntansi

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh : Siti Hajar 20130420024

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2017


(3)

iv Dengan ini saya,

Nama : Siti Hajar

Nomor Mahasiswa : 20130420024

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul: “ANALISIS PERBANDINGAN JUMLAH PEMBIAYAAN PRODUK JUAL BELI DAN PRODUK SYIRKAH DI PT. BPRS MADINA MANDIRI SEJAHTERA” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.

Yogyakarta, 20 Maret 2017


(4)

v

Tunjukkan saja warna-warnimu yang sesungguhnya

Bahkan lukisan terbaik sedunia pun mempunyai pembenci dan pengkritik (Fiersa Besari)

Meski kaki telah lelah untuk melangkah

Teruslah berusaha hingga kau lupa cara untuk menyerah Ingatlah, masih ada DIA tempat untuk berserah

(Poedjo dan Dee)

Kau juga harus tahu,

Kalau kau tidak bertindak sekarang

Kau tidak akan pernah menemukan kekuatan untuk menulis kalimat lain (Guillaume Musso)


(5)

vi

A du r ’ ..Terima kasih kepada Allah SWT sang Maha pemberi segala kisah, baik berujung suka ataupun duka. Terima kasih telah memberi pelajaran bahwa setiap perjuangan akan menambah ketabahan dan selalu ada keindahan selepasnya.

Skripsi ini saya persembahkan untuk....

Kepada ibu, perempuan satu-satunya di dunia yang tulus memberi cinta tanpa pamrih. Bapak, satu-satunya lelaki yang sering kali memberi wejangan kala hati dilanda perih. Aku percaya, kalian dua makhluk manusia yang tanpa pernah lupa selalu memberikan fasilitas doa untuk kesuksesan putrimu. Mas Ridwan, Mba Dewi, Dede Zafran, terima kasih untuk selalu menyajikan riuh keluarga penuh rasa sayang, membuatku selalu merindu akan pelukan kalian.

Hei Mas Andri, Dek Seliana, Hesti terima kasih kalian selalu mengerti, tanpa bosan mendengarkan curhatan hati. Hei Ida, Dewi, Vita, Icha, Diah kalian turut serta untuk penyelesaian skripsi ini. Anak-anak akuntansi kelas A, Anak-anak KKN 02, kalian separuh kisah dalam perjalanan kuliahku. Terima kasih atas segala yang kalian berikan untukku.

Terindah,kamu, seseorang terpenting yang enggan disebutkan namanya. Terima kasih untuk segala puisi-puisimu yang telah mampu menghibur kepenatanku. Sukses juga untukmu, pasti aku selalu merindu.


(6)

xi

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

INTISARI ... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian... 8

BAB II TINJAUAN LITERATUR ... 10

A. Tinjauan Literatur ... 10

1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah ... 10

2. Pembiayaan ... 12

3. Produk Jual Beli ... 13

4. Produk Syirkah ... 16

5. Asas Maslahah dan Asas Tawazun ... 21

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

A. Situs Penelitian ... 24

B. Jenis Data ... 25

C. Teknik Pengumpulan Data ... 25


(7)

xii

A. Gambaran Umum Situs Penelitian ... 28

B. Hasil Wawancara dan Pembahasan ... 28

1. Manfaat Produk Jual Beli dan Produk Syirkah ... 29

2. Prosedur Pembiayaan Produk Jual Beli dan Produk Syirkah 30

3. Faktor-faktor yang Menyebabkan Produk Jual Beli Lebih Diminati Daripada Produk Syirkah ... 32

C. Diskusi ... 46

BAB V SIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN PENELITIAN ... 53

A. Simpulan... 53

B. Keterbatasan Penelitian dan Saran ... 55 DAFTAR PUSTAKA


(8)

xiii


(9)

(10)

vii

kualitatif dengan pendekatan studi kasus pada PT BPRS Madina Mandiri Sejahtera. Penggalian informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah pembiayaan tersebut diperoleh melalui wawancara dengan general manajer marketing, legal officer dan nasabah pembiayaan BPRS Madina Mandiri Sejahtera.

Hasil penelitian menunjukan bahwa ada sepuluh faktor yang mempengaruhi pembiayaan produk jual beli lebih dominan daripada produk syirkah, mulai dari resiko macet dari nasabah, resiko mendzalimi satu sama lain, kemungkinan adanya temuan jika diaudit, kurangnya pengetahuan nasabah, faktor kenyamanan dan keamanan, adanya teguran dari ojk, ketidakefektifan produk bagi hasil, kurangnya pengetahuan bankers dan owners mengenai ekonomi islam, sifat bankers yang tidak mau repot serta moralitas nasabah yang masih rendah.


(11)

viii

This research aims at analyzing factors that determine the financing of purchase products which is more dominant than syirkah products. The method employed in this research is descriptive qualitative using case study approach conducted at PT BPRS Madina Mandiri Sejahtera. Information about factors affecting the amount of that financing were collected through interviews with marketing general manager, legal officer, and financing customers of BPRS Madina Mandiri Sejahtera.

The research result shows that there are ten factors that affect the financing of purchase product which is more dominant than syirkah products which consist of the risk of bad credit, oppression to one another, probable finding from audit, lack of customers’ knowledge, comfort and security factors, warning from ojk, ineffectiveness of profit-shared products, bankers and owners’ lack of knowledge about Islamic economy, bankers’ unwillingness to be not into trouble, and customers’ low morality.


(12)

1

Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Kemunculan perbankan syariah merupakan alternatif dalam sistem keuangan yang bebas dari unsur-unsur kedzaliman dalam perekonomian, karena agama Islam melarang transaksi dengan sistem dan prosedur perolehan keuntungan yang diharamkan (tadlis1, gharar2,

ikhtikar3, ba’i najasy4, maysir5 dan riba). Perbankan syariah bersifat

Rahmatan lil ‘alamin, artinya membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semua masyarakat. Seperti yang termuat dalam pasal 3 UU Nomer 21 Tahun 2008, dinyatakan bahwa perbankan syariah bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Maka perbankan syariah dalam menjalankan transaksinya menganut asas transaksi syariah, 2 (dua) diantaranya adalah kemaslahatan (maslahah) dan keseimbangan (tawazun).

Esensi asas maslahah adalah transaksi syariah harus merupakan segala bentuk yang mengandung unsur kebaikan dan bermanfaat yang berdimensi

1 Transaksi yang mengandung suatu hal pokok yang tidak diketahui oleh salah satu pihak. (Yaya, dkk, 2014)

2 Transaksi jual beli yang mengandung informasi yang tidak diketahui oleh kedua belah pihak. (Yaya, dkk, 2014)

3 Suatu upaya untuk menimbulkan kelangkaan dengan cara menimbun barang. (Yaya, dkk, 2014) 4 Upaya menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan sehingga harga barang akan naik. (Yaya, dkk, 2014)

5 Sebuah permainan, satu pihak mendapat keuntungan sedangkan pihak lain mendapat kerugian (Yaya, dkk, 2014)


(13)

duniawi dan ukhrawi, individual dan kolektif serta material dan spiritual. Sedangkan esensi asas tawazun adalah keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian (Yaya, dkk, 2014). Artinya pembiayaan perbankan syariah juga harus seimbang antara produk jual beli (murabahah, salam dan istishna) dengan produk syirkah (mudharabah dan musyarakah). Produk jual beli (untuk konsumsi) dan produk syirkah (untuk produktif), merupakan 2 penopang ekonomi di masyarakat. Jika keduanya tidak seimbang maka akan terjadi kesenjangan dalam ekonomi dan bukan lagi menjadi bentuk dari kebaikan. Namun kenyataannya, diperbankan syariah ditemukan bahwa produk jual beli lebih diminati daripada produk syirkah, artinya terjadi ketidakseimbangan diantara keduanya. Dapat dilihat di tabel 1.

Tabel 1

Komposisi pembiayaan yang diberikan oleh Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Tahun 2011-2015

Produk 2011 2012 2013 2014 2015

Mudharabah 10.229 12.023 13.625 14.027 14.207

Musyarakah 18.960 27.667 39.874 44.742 49.416

Jumlah Produk

Syirkah 29.189 39.690 53.499 58.769 63.623 Persentase (%) 33,88% 30,99% 32,49% 33,99% 35,30%

Murabahah 56.365 88.004 110.565 113.507 115.979

Salam 0 0 0 0 0

Istishna 326 376 582 586 630

Jumlah Produk

Jual beli 56.691 88.380 111.147 114.093 116.609 Persentase (%) 65,80% 69% 67,50% 66% 64,70% Sumber : Bank Indonesia, www.bi.go.id


(14)

Tabel diatas menjelaskan bahwa pembiayaan dengan produk syirkah lebih rendah daripada produk jual beli. Hal itu terlihat dari persentase masing-masing produk pada tahun 2011-2015 secara berurutan. Pada tahun 2011 menunjukkan jumlah persentase untuk produk syirkah sebesar 33,88% dan sebesar 65,80% untuk produk jual-beli. Jumlah persentase pada tahun 2012 untuk produk syirkah sebesar 30,99% dan untuk produk jual beli sebesar 69%. Pada tahun 2013 menunjukkan jumlah persentase untuk produk syirkah sebesar 32,49% dan sebesar 67,50% untuk produk jual beli. Jumlah persentase pada tahun 2014 untuk produk syirkah sebesar 33,99% dan untuk produk jual beli sebesar 66%. Dan pada tahun 2015 jumlah persentase menunjukkan sebesar 35,30% untuk produk syirkah dan sebesar 64,70% untuk produk jual beli. Padahal pola pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), selain merupakan tonggak utama pembiayaan syariah, juga lebih cocok untuk mendorong kemajuan di bidang sektor riil. Karena pembiayaan bagi hasil dapat meningkatkan hubungan langsung dan pembagian risiko antara investor dengan pengusaha. Namun, dalam prakteknya perbankan syariah lebih suka menekankan sebuah tindakan yang aman dan cepat mencapai keuntungan seperti halnya sikap yang dimiliki oleh kaum kapitalis (Hakim, 2013)

Isu mengenai tingginya produk jual beli dibandingkan dengan produk syirkah masih berlangsung hingga saat ini. Prasetyo (2013) menjelaskan bahwa masalah rendahnya pembiayaan bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) disebabkan pada tiga masalah pokok dari aspek internal perbankan, eksternal perbankan (nasabah) dan regulasi. Faktor yang


(15)

mendorong perbankan syariah lebih cenderung menggunakan produk jual beli daripada produk syirkah adalah untuk sisi internal perbankan yaitu masalah kurangnya pemahaman dan kualitas Sumber Daya Insani (SDI) serta risk averse yang diambil perbankan syariah. Kurangnya pemahaman SDI umumnya disebabkan karena hampir semua SDI perbankan syariah berasal dari perbankan konvensional sehingga mereka memiliki perilaku yang cenderung seperti perilaku seorang conventional bankers, bukan Islamic bankers. Kurangnya kualitas SDI disebakan karena mereka biasanya tidak diberi training yang memadai sebagai bekal untuk bekerja dengan baik sebagai seorang Islamic bankers. Meskipun tersedia training/pelatihan hal itu biasanya diberikan ketika mereka sudah memasuki dunia perbankan syariah, dan proses tersebut memakan waktu dan biaya yang lebih banyak dibandingkan dengan seseorang yang sudah memiliki dasar. Sedangkan aversion to risk disebabkan karena para bankers tidak mempunyai pengalaman bisnis yang mendalam sehingga berperilaku menghindari risiko.

Faktor dari sisi eksternal perbankan adalah dari segi nasabah seperti moral hazard dan adverse selection yang dilakukan nasabah. Permasalahan adverse selection adalah sulitnya mengetahui karakter nasabah dan kemampuan yang dimiliki nasabah dalam menjalankan usaha yang akan diberikan pembiayaan dengan akad mudharabah dan musyarakah. Selain itu, perbankan syariah juga harus bisa memprediksi usaha yang diajukan nasabah. Usaha tersebut harus dapat menghasilkan laba dan memiliki prospek yang bagus dimasa depan. Jika perbankan syariah melihat bahwa usaha yang akan


(16)

dibiayai tidak mampu menghasilkan laba seperti yang diinginkan perbankan syariah, maka bank akan membatalkan pembiayaan tersebut. Selain permasalahan adverse selection dari sisi eksternal juga dihadapkan dengan permasalahan moral hazard. Moral hazard muncul ketika mudharib menggunakan pembiayaan yang diterima dari perbankan syariah tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau tidak sesuai dengan akad diawal transaksi. Oleh karena itu diperlukan adanya monitoring dan verifikasi atas usaha mudharib.

Sedangkan dari segi regulasi adalah adanya ketentuan kolektibilitas yang rumit ditambah restrukturisasi pembiayaan bagi hasil yang perlu ketelitian dan biaya informasi yang besar. Dimana tingkat peringatan kolektibilitas untuk pembiayaan jual beli dibuat lebih longgar dari pembiayaan bagi hasil dan hal itu akan memberatkan nasabah pembiayaan bagi hasil. Bank syariah biasanya akan melakukan penyelamatan pembiayaan yang bermasalah dengan upaya restrukturisasi, apabila nasabah masih mempunyai itikad baik dalam arti masih mau diajak kerjasama dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah, akan tetapi jika nasabah sudah tidak beritikad baik dalam arti tidak dapat diajak kerjasama lagi dalam upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah maka perbankan syariah akan melakukan upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah.

Trianti (2014) menyatakan bahwa rendahnya pembiayaan mudharabah diperkirakan karena adanya risiko yang tinggi dari sistem bagi hasil. Karena pembiayaan mudharabah merupakan pembiayaan bank syariah yang


(17)

berdasarkan kepercayaan. Ciri khas dari mudharabah adalah bahwa bank tidak dimungkinkan untuk terlibat langsung dalam manajemen usaha mudharib, mengakibatkan bank memiliki kesulitan dalam melakukan penilaian maupun pengendalian terhadap pembiayaan yang telah diberikan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia menunjukkan bahwa rendahnya pembiayaan bagi hasil (Syirkah) dikarenakan; (1) pemahaman bankir syariah terhadap esensi bank syariah kurang, (2) bank syariah terlalu mengutamakan orientasi bisnis dan keuntungan, (3) kualitas dan kuantitas SDM belum memadai dan kurang menguasai seluk beluk penyaluran pembiayaan bagi hasil, (4) aversion to effort6, dan (5) aversion to risk. Sedangkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Adnan dan Purwoko (2013) menjelaskan bahwa sedikitnya ada sebelas faktor yang mempengaruhi rendahnya aplikasi produk mudharabah dalam lembaga pembiayaan rakyat syariah, mulai dari faktor risiko, kepercayaan pada nasabah, hingga sulitnya melakukan analisis terhadap usulan pembiayaan yang diajukan oleh nasabah, selain juga adanya kekhawatiran yang cukup tinggi akan terjadinya kerugian di pihak bank.

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan oleh Fadhila (2015), namun memiliki perbedaan dalam beberapa hal: Pertama, penelitian Fadhila melihat fenomena dari segi mudharabah dan murabahah dalam kaitannya dengan laba, penelitian sekarang melihat fenomena dari sisi produk jual beli dengan produk syirkah. Kedua, penelitian terdahulu jenis data

6 Bank syariah masih bersikap tidak mau repot atau melakukan hal-hal ekstra dalam mendampingi pengusaha


(18)

yang digunakan adalah menggunakan data sekunder yaitu berupa laporan keuangan, sedangkan penelitian sekarang menggunakan jenis data primer dan sekunder, data primer diperoleh melalui wawancara, data sekunder berupa laporan keuangan, prosedur pembiayaan, regulasi dan struktur organisasi. Ketiga, jenis penelitian terdahulu adalah deskriptif kuantitatif, sedangkan jenis penelitian sekarang adalah penelitian kualitatif, yang mana pembahasan dilakukan lebih mendalam dan lebih fokus untuk memahami sebuah fakta.

Penelitian mengenai komparasi antara pembiayaan mudharabah dengan musyarakah atau murabahah dengan mudharabah memang sudah banyak dilakukan (Fahrul, dkk, 2012; Pradana, 2013; Adriansyah, 2014; Emha, 2014; permata, 2014; dan Fadhila, 2015) namun yang membahas mengenai komparasi produk jual beli dengan produk syirkah secara keseluruhan masih langka. Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dengan judul “Analisis Perbandingan Jumlah Pembiayaan Produk Jual Beli Dan Produk Syirkah Di PT. BPRS Madina Mandiri Sejahtera. Penelitian ini didasarkan pada motivasi penulis yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai fenomena yang terjadi pada produk jual beli yang lebih dominan dibandingkan produk syirkah.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini membatasi pembahasannya pada 2 produk Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), yaitu produk jual beli (murabahah, salam dan istishna) dengan produk syirkah (mudharabah dan musyarakah).


(19)

Adapun rumusan masalah yang akan dikaji oleh peneliti adalah sebagai berikut : “Faktor-faktor apa yang menyebabkan pembiayaan produk jual beli lebih dominan dibandingkan dengan pembiayaan produk syirkah?” Dengan meneliti faktor-faktor tersebut pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Yogyakarta.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan produk jual beli lebih dominan dibandingkan dengan pembiayaan produk syirkah.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan berimplikasi untuk beberapa pihak yang berkepentingan. Pertama, bagi akademis dapat memberikan kontribusi secara teori maupun konseptual dalam mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya pembiayaan produk jual beli dibandingkan dengan pembiayaan produk syirkah. Kedua, bagi bank pembiayaan rakyat syariah dapat meningkatkan sumber daya manusia baik internal maupun eksternal khususnya dalam bidang pengembangan wawasan tentang produk bank pembiayaan rakyat syariah. Dan memberikan solusi bagi bank pembiayaan rakyat syariah untuk meminimalisir faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya pembiayaan bagi hasil, sehingga nasabah yang bersifat pemakai pembiayaan bagi hasil akan


(20)

meningkat. Ketiga, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat secara umum untuk lebih jauh mengetahui dan memahami bagaimana penerapan pembiayaan dengan produk jual beli (murabahah, salam, dan istishna) dan pembiayaan dengan produk syirkah (mudharabah dan musyarakah) serta manfaatnya dari kedua jenis produk tersebut.


(21)

10

TINJAUAN LITERATUR

A. Tinjauan Literatur

1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.

Dalam UU No.21 tahun 2008 dijelaskan mengenai Perbankan Syariah dan Bank Syariah. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta tata cara dan proses di dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Bank Syariah adalah bank yang menjalankan segala aktivitas usahanya berdasarkan pada prinsip syariah. Menurut jenisnya bank syariah terdiri dari Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).

Bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) adalah salah satu lembaga keuangan perbankan syariah, dalam menjalankan kegiatannya mengikuti prinsip - prinsip syariah ataupun muamalah Islam (Adnan dan Purwoko, 2013). Berdirinya BPRS di dasarkan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.

Keberadaan BPRS ditujukan untuk dapat memberikan layanan perbankan secara mudah, cepat, dan sederhana kepada masyarakat khususnya pengusaha kecil, menengah, dan mikro baik di pedesaan maupun perkotaan yang selama ini belum terjangkau oleh layanan bank umum (Adnan dan Purwoko, 2013). Tujuan didirikannya Bank


(22)

Pembiayaan Rakyat Syariah yang tercantum dalam peraturan BI Nomor 11/15/PBI/2009 yaitu (a) Memiliki system perbankan syariah yang dapat melayani seluruh lapisan masyarakat termasuk kepada pengusaha kecil, menengah dan mikro (b) untuk meningkatkan pelayanan jasa perbankan syariah kepada usaha kecil, menengah dan mikro secara optimal.

Sesuai dengan ketentuan umum yang termuat dalam pasal 11 UU No. 3 tahun 2004 tentang perbankan yang berprinsip syariah dijelaskan mengenai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dengan pihak lain. Baik untuk melakukan penyimpanan dana maupun pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai syariah, antara lain pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan dengan prinsip penyertaaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), dan pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah). Oleh karena itu perbankan syariah memiliki tiga fungsi utama yaitu fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk titipan dan investasi, fungsi untuk menyalurkan dana kepada masyarakat yang membutuhkan dana dari bank, dan juga fungsi untuk memberikan pelayanan dalam bentuk jasa perbankan syariah (Ismail, 2013).


(23)

2. Pembiayaan.

Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan, yaitu pendanaan yang diberikan kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan. Dalam arti sempit, pembiayaan adalah pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan, seperti Bank Syariah kepada nasabah (Adnan, 2013).

Menurut UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan. Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Sedangkan menurut penulis, pembiayaan adalah penyediaan dana untuk pihak lain, yang digunakan untuk mendukung investasi orang yang dibiayai tersebut dan orang yang dibiayai wajib untuk mengembalikan dana setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan di awal.

Jenis-jenis pembiayaan perbankan syariah digunakan untuk membiayai usaha produktif, distribusi dan konsumtif. Usaha yang bersifat produktif difasilitasi melalui skema profit sharing yaitu mudharabah dan partnership (musyarakah). Usaha yang bersifat distributif memanfaatkan hasil-hasil produksi, dilakukan melalui skema jual-beli (murabahah) dan sewa-menyewa (ijarah). Sedangkan kebutuhan yang bersifat konsumtif berupa barang yang siap dipakai difasilitasi dengan akad murabahah,


(24)

barang dalam proses berjangka pendek difasilitasi dengan akad salam, dan barang dalam proses berjangka panjang difasilitasi dengan akad istishna. Sedangkan bila bersifat konsumtif berupa jasa, maka dapat difasilitasi melalui ijarah (Chapra dan Khan, 2008).

3. Produk Jual Beli.

Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda. Margin keuntungan bank ditentukan di awal akad dan menjadi bagian atas harga barang yang dijual. Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahannya.

Pertama, akad murabahah. Pradana (2013) menyatakan bahwa murabahah adalah transaksi jual beli dimana bank menyebutkan jumlah keuntungan yang diinginkan. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli yang ditambah keuntungan. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, pembiayaan murabahah umumnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan. Dalam transaksi pembiayaan murabahah barang diserahkan setelah akad, sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh (Rodoni, 2008).

Adapun dasar hukum mengenai pembiayaan murabahah termuat dalam Qur’an Surat An-Nissa ayat 29, yang artinya :“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan


(25)

jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Aplikasi murabahah sebaiknya dilakukan sesuai dengan keputusan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut keputusan fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada perbankan syariah adalah sebagai berikut:

(1) bank dan nasabah wajib melakukan akad murabahah yang bebas riba; (2) barang yang diperjual-belikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam; (3) bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya; (4) bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba; (5) bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang; (6) kemudian bank menjual barang kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah keuntungan yang diinginkan. Dalam hal ini bank harus memberitahu harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan; (7) nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang juga telah disepakati; (8) jika bank berkeinginan mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad murabahah dilakukan setelah barang menjadi milik bank (Rahmatuloh, 2015).


(26)

Kedua, akad salam. Salam adalah transaksi pembelian barang dengan penyerahan yang ditangguhkan (barangnya belum tersedia) sedangkan pembayaran dilakukan diawal secara penuh, dengan menentukan syarat-syarat tertentu (Ningsih, 2015). Secara teknis salam dalam perbankan syariah berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dengan pembayaran dimuka dengan pihak I (Nasabah I) dan dijual lagi kepada pihak lain (nasabah II) dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Modal/harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang, melainkan harus dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera.

Aplikasi akad salam harus sesuai dengan ketentuan, yaitu (1) alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, pembayaran dilakukan pada saat terjadinya akad dan tidak boleh dalam bentuk utang (harus tunai); (2) barang harus jelas spesifikasinya, penyerahan barang dilakukan kemudian hari; (3) tempat dan waktu penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama; (4) penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas sesuai dengan kesepakatan (Muhamad, 2014).

Ketiga, akad istishna. Secara terminologi, istishna adalah memesan kepada perusahaan untuk memproduksi barang atau komoditas lain. Istishna merupakan bentuk jual beli dengan pemesanan yang hampir sama dengan salam. Kontrak istishna muncul ketika perusahaan memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku dari perusahaan. Dalam akad


(27)

istishna pembayaran dapat dilakukan dimuka, dicicil sampai selesai, atau dibelakang, serta istishna biasanya diaplikasikan untuk barang industri dan manufaktur (Mujib, 2008).

Implementasi akad istishna harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain: (1) alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, pembayaran dilakukan sesuai dengan manfaat dan tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang; (2) barang harus jelas ciri-cirinya dan penyerahan barang dilakukan kemudian hari; (3) tempat dan waktu penyerahan barang ditetapkan berdasarkan kesepakatan; (4) jika terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan maka pemesan memiliki hak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan akad istishna tersebut (Muhamad, 2014).

4. Produk Syirkah.

Pembiayaan perbankan syariah ada banyak macamnya, namun yang menganut prinsip bagi hasil (syirkah) hanya pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Syirkah (prinsip bagi hasil) secara bahasa berarti al-ikhtilath, artinya persekutuan dua orang atau lebih, sehingga antara masing-masing sukar dibedakan (Sudarsono, 1992). Syirkah menurut ahli fiqih Hanafiyah, adalah akad antara pihak-pihak yang bekerjasama dalam hal modal dan keuntungan. Menurut ahli fiqih Malikiyah, syirkah adalah dibolehkannya bertasharruf bagi masing-masing pihak yang berserikat. Sedangkan menurut ahli fiqih Syafi’iyyah,


(28)

syirkah adalah berlakunya suatu hak atas hal tertentu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan untuk persekutuan (Ghufron, 2002).

Mudharabah menurut istilah fiqih adalah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Mudharabah adalah bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak beperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaku usaha, dengan tujuan mendapatkan uang (Karim, 2004 dalam Emha, 2014). Dalam hal ini, pihak yang menyediakan dana disebut investor atau shahibul maal dan sedangkan pihak yang mengelola usaha disebut mudharib. Jika terdapat keuntungan, maka mudharib akan membagi keuntungan tersebut kepada pemodal/ pihak bank dengan nisbah yang telah disepakati bersama diawal. Pembiayaan mudharabah hukumnya boleh sesuai dengan dalil berikut ini: “Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi)jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelolanya) agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya(HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111)). Dalam ajaran Islam, akad kerja sama


(29)

mudharabah ditujukan untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya karena kesibukannya dan ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama mudharabah agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian mudharib (pengelola) dan mudharib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal.

Aplikasi penyaluran dana mudharabah ada beberapa ketentuannya, yaitu: (1) penyaluran dana disalurkan oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada mudharib untuk suatu usaha produktif; (2) LKS sebagai shahibul maal membiayai 100% kebutuhan usaha mudharib; (3) tata cara pengembalian dana, pembagian keuntungan dan jangka waktu usaha ditentukan berdasarkan keputusan kedua belah pihak (shahibul maal dan mudharib); (4) LKS tidak ikut serta dalam manajemen usaha yang dilakukan mudharib tetapi mempunyai hak untuk memberikan pembinaan dan melakukan pengawasan; (5) jumlah dana yang akan disalurkan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang; (6) jika terjadi kerugian maka ditanggung oleh LKS, kecuali jika mudharib melakukan kesalahan dengan sengaja maka kerugian ditanggung oleh mudharib; (7) pada prinsipnya dalam akad mudharabah tidak ada jaminan, tetapi agar mudharib tidak melakukan penyimpangan ketika mengelola usaha, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib. Jaminan dapat


(30)

dicairkan hanya ketika mudharib terbukti melakukan pelanggaran; (8) biaya operasional dibebankan kepada mudharib; (9) jika LKS terbukti melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapatkan ganti rugi atas biaya yang telah dikeluarkan (Muhamad, 2014).

Selain mudharabah ada akad musyarakah. Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata “syaraka” yang bermakna bersekutu, meyetujui atau perkongsian, berarti percampuran, yakni bercampurnya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya, tanpa dapat dibedakan antara keduanya. Menurut Antonio (2001), Al-Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan menurut penulis, musyarakah adalah akad kerja sama yang disepakati oleh dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak memberikan dananya yang ditujukan untuk usaha tertentu, jika terjadi keuntungan atau pun risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan di awal.

Praktik pembiayaan musyarakah sesuai dalil hukumya diperbolehkan, ada banyak dalil yang menjelaskannya, salah satunya dari Abu Hurairah yang dirafa’kan kepada Nabi SAW, bahwa Nabi SAW bersabda, sesungguhnya Allah SWT berfirman : “aku adalah pihak ketiga


(31)

antara dua orang yang berserikat selama salah satu pihak tidak menghianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, aku keluar dari mereka”. (HR. Abu Daud dari Abu Hurairah). Artinya,

musyarakah merupakan akad kerjasama yang terjalin diantara dua pihak atau lebih, tetapi jika salah satu pihak diantara mereka yang telah menjalin akad musyarakah tersebut mengkhianati akad yang telah disepakati bersama (salah satu pihak mencairkan atau menginvestasikan dananya untuk kepentingan pribadi) maka akad kerja sama tersebut akan bubar.

Aplikasi musyarakah harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, antara lain: (1) ijab dan qobul dinyatakan oleh para pihak terkait untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kerjasama; (2) pihak-pihak yang mengadakan kerjasama harus cakap hukum; (3) setiap pihak harus menyediakan dana dan melaksanakan pekerjaan; (4) setiap pihak berhak untuk mengelola aset dan melakukan aktivitas musyarakah dengan tetap memperhatikan kepentingan pihak lainnya tanpa melakukan kesalahan yang disengaja; (5) setiap pihak tidak diijinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana musyarakah untuk kepentiangan pribadi; (6) setiap pihak tidak diijinkan untuk meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah untuk pihak lain, kecuali atas dasar kesepatakan; (7) kesamaan porsi kerja bukanlah syarat utama, seorang mitra boleh melakukan pekerjaan lebih banyak dari pihak yang lain dan berhak mendapatkan keuntungan yang lebih banyak pula; (8) keuntungan dibagikan secara proporsional atas


(32)

dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal (Muhamad, 2014).

5. Asas Maslahah dan Asas Tawazun.

Perbankan syariah dalam menjalankan transaksinya harus berasaskan pada prinsip-prinsip syariah, yaitu: (1) persaudaraan (ukhuwah); (2) keadilan (‘adalah); (3) kemaslahatan (maslahah); (4) keseimbangan (tawazun); dan (5) universalisme (syumuliyah). Namun dalam penelitian ini hanya dijelaskan lebih lanjut mengenai prinsip maslahah dan prinsip tawazun.

Prinsip maslahah maksudnya adalah setiap transaksi syariah harus merupakan segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan dan bermanfaat bagi dimensi duniawi dan ukhrawi, individual dan kolektif serta material dan spiritual. Prinsip kemaslahatan harus memenuhi dua unsur, yaitu halal dan thayyib (bermanfaat dan membawa kebaikan) dalam semua aspek serta tidak menimbulkan kemudharatan (KDPPLKS paragraph 23 dalam Yaya, dkk, 2014). Esensi prinsip maslahah menjelaskan bahwa kegiatan konsumsi dan produksi di masyarakat juga harus membawa manfaat.

Sedangkan prinsip tawazun berarti transaksi dalam perbankan syariah harus memperhatikan keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan riil, bisnis dan sosial, serta keseimbangan aspek pemanfaatan dan pelestarian (KDPPLKS paragraph


(33)

24 dalam Yaya, dkk, 2014). Esensi prinsip tawazun menjelaskan bahwa kegiatan konsumsi dan produksi juga harus seimbang. Seperti pernah Rasulullah contohkan yang termuat dalam Hadits Imam Ibnu Majah nomor 2189. Suatu hari Rasulullah mengambil dua dirham dan memberikan kepada seorang laki-laki Anshar, dan berkata:

“Satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu, dan satu dirham untuk membeli kapak, kemudian bawalah kemari”.

Orang tersebut kemudian kembali kepada Rasulullah, SAW. dengan membawa kapak, dan Rasulullah, SAW. bersabda:

“Pergilah mencari kayu, kemudian juallah kayu itu dan kamu jangan menampakkan dirimu di hadapanku selama lima belas hari”

Kasus diatas menjelaskan tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan cara pengelolaan modal finansial yang dimilikinya. Rasulullah, SAW. memberikan dana konsumtif untuk pembiayaan rumah tangga dan dana produktif yang dibelikan sarana ekonomi berupa kapak. Dengan alat produktif berupa kapak dapat digunakan untuk menghasilkan pendapatan dengan cara mencari kayu bakar di tempat bebas dan laki-laki tersebut dapat menjualnya ke pasar. Sehingga hasil yang diperoleh dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya.

Aktifitas produksi dan konsumsi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan karena satu sama lainnya saling berhubungan dalam sebuah proses kegiatan ekonomi. Aktifitas konsumsi harus balance dengan kegiatan produksi, apabila keduanya tidak balance maka akan terjadi ketimpangan dalam kegiatan perekonomian. Jika hasil kegiatan produksi


(34)

lebih banyak dari permintaan konsumsi tidak akan menjadi masalah, karena output yang tersisa bisa di ekspor ke luar negeri dan akan mengakibatkan adanya kemandirian ekonomi baik dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara. Sebaliknya jika aktifitas konsumsi lebih banyak permintaannya dari aktifitas produksi maka akan menimbulkan problematika ekonomi yaitu berupa tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat.

Indonesia dikenal sebagai negara konsumtif yang cukup tinggi, alasan umumnya karena gengsi dengan masyarakat yang lain. Contohnya seorang anak yang masih bersekolah di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) sebenarnya cukup mengendarai motor bebek biasa namun banyak yang menggunakan jenis motor balap, seperti ninja. Contoh lainnya adalah anak zaman sekarang yang sering ganti gadget setiap ada jenis baru yang dikeluarkan oleh perusahaan dengan merk-merk terkenal. Inilah yang disebut israf (konsumsi yang berlebihan). Dalam ekonomi Islam dianggap sebagai bentuk dosa yang menjadikan output tersebut tidak ada nilai maslahah sehingga tidak berkah lagi karena berdampak pada pengeluaran masyarakat lebih besar daripada pendapatannya, sesuai dengan peribahasa berikut, yaitu besar pasak daripada tiang. Pada akhirnya akan mengakibatkan kemiskinan karena masyarakat terjerat utang. Oleh karena itu, sebaiknya kegiatan konsumsi dan produksi dilakukan dengan sewajarnya saja, tidak berlebihan dan seimbang sehingga akan terwujud stabilitas ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan hidup.


(35)

24

METODE PENELITIAN

A. Situs Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berusaha memahami fenomena atau isu tentang apa yang dialami subyek penelitian secara holistik dan deskriptif dalam bentuk kata – kata serta bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009:6). Dengan menggunakan metode kualitatif, maka data yang didapat akan lebih mendalam, penuh makna dan kredibel sehingga tujuan penelitian dapat dicapai

Situs penelitian yang diambil adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) yang terdapat pada wilayah propinsi DIY. Namun karena ingin lebih fokus dan lebih mendalam untuk memahami fakta, maka peneliti hanya mengambil satu bank pembiayaan rakyat syariah yang ada di Yogyakarta, yaitu PT. BPRS Madina Mandiri Sejahtera. Pemilihan situs dilakukan dengan cara memilih BPRS yang memiliki laporan keuangan dengan kriteria posisi jumlah pembiayaan produk jual beli lebih besar dibandingkan dengan jumlah pembiayaan produk syirkah.

Subjek-subjek dari penelitian adalah pimpinan BPRS seperti general manajer marketing dan legal officer, nasabah pembiayaan yang menggunakan produk jual beli atau produk syirkah, serta pakar syariah. General Manajer marketing dan legal officer dipilih karena mereka


(36)

mengetahui mengenai pembiayaan BPRS dan memiliki peran penting dalam menentukan pemberian pembiayaan BPRS. Nasabah pembiayaan yang menggunakan produk jual beli dan produk syirkah dipilih karena mereka yang merasakan manfaat dari produk tersebut dan untuk mengkonfirmasi jawaban dari pimpinan BPRS agar hasil penelitian lebih valid. Sedangkan pakar syariah dipilih supaya kesimpulan yang diambil oleh peneliti bersifat universal.

B. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara melakukan wawancara atau interview dengan informan. Informan dalam penelitian ini ada 2 jenis, yaitu informan kunci dan informan pendukung. Yang menjadi informan kunci adalah general manajer marketing, legal officer. Dan yang menjadi informan pendukung adalah nasabah yang menggunakan produk jual beli dan produk syirkah. Sedangkan, data sekunder berupa laporan keuangan, prosedur pembiayaan, regulasi dan struktur organisasi.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan cara, antara lain: (1) peneliti mendatangi situs yang dipilih untuk dijadikan tempat penelitian; (2) mencari data sekunder berupa laporan keuangan, prosedur pembiayaan, regulasi dan struktur organisasi. Pastikan bahwa


(37)

laporan keuangan sesuai kriteria yang diinginkan peneliti, yaitu posisi jumlah pembiayaan produk jual beli lebih besar dari jumlah pembiayaan produk syirkah. Kemudian, melihat struktur organisasi yang telah didapatkan untuk memilih informan yang sekiranya berpengalaman dan mampu memberikan informasi yang peneliti butuhkan; (3) melakukan wawancara dengan informan yang telah dipilih oleh peneliti, yaitu pimpinan bank atau pejabat yang memiliki wewenang mengenai kebijakan terhadap produk BPRS secara langsung. Metode wawancara yang digunakan peneliti adalah wawancara tidak terstruktur; (4) memberikan pertanyaan-pertanyaan umum terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan bertema khusus seperti, diantaranya mengenai produk di BPRS, prosedurnya, manfaat dan resiko dari masing-masing produk, dan transparansi nasabah; (5) melakukan wawancara kepada nasabah untuk mengkonfirmasi hasil wawancara dengan pihak pimpinan bank (Creswell, 2009).

D. Metode Analisis Data

Data yang telah terkumpul dari hasil wawancara dan dokumentasi kemudian diolah oleh peneliti, dengan cara antara lain: (1) melakukan transkripsi wawancara (mengetik/menulis hasil wawancara) yang telah direkam menggunakan tape recorder atau handphone; (2) men-scanning materi, dilakukan ketika misal si A jawab X, si B juga jawab X maka jawaban itu diberi warna yang sama sebagai tanda; (3) memilah-milah


(38)

data, apakah data tersebut relevan dengan tema penelitian atau tidak. Jika tidak relevan data tersebut ditinggalkan, yang perlu diolah hanya yang relevan saja agar pembahasan bisa lebih mendalam dan fokus; (4) perumusan faktor-faktor yang menyebabkan pembiayaan produk jual beli lebih dominan dibandingkan dengan pembiayaan produk syirkah; (5) sebelum mengambil kesimpulan sebaiknya melakukan triangulasi dengan pakar atau ahli untuk menghindari kesalahan penafsiran oleh peneliti dan supaya kesimpulan yang diambil bersifat universal; (6) informasi yang telah disusun di langkah ke-4 disajikan kembali dalam bentuk narasi atau laporan kualitatif. Kemudian langkah terakhir dari analisis data adalah memaknai/interpretasi data dan pengambilan kesimpulan (Creswell, 2009). Kesimpulan yang diambil merupakan faktor-faktor hasil penelitian di lapangan yang telah disesuaikan dengan prinsip-prinsip dari asas maslahah dan asas tawazun.


(39)

28

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.

Gambaran Umum Situs Penelitian

Peneliti memilih Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Madina Mandiri Sejahtera sebagai situs penelitian yang beralamat di Jl. Parangtritis KM. 35 No. 184, Sewon-Bantul, Yogyakarta, 55187. BPRS Madina Mandiri Sejahtera didirikan pada tanggal 7 Februari 2007, tercatat berdasarkan Akta pendirian No. 24 dan secara resmi mendapat ijin usaha dari Dewan Gubernur Bank Indonesia tanggal 8 November 2007.

Visi dari BPRS Madina Mandiri Sejahtera adalah menjadi BPR Syariah yang terdepan dalam membangun ekonomi umat. Sedangkan misi BPRS Madina Mandiri Sejahtera yaitu; pertama, memberikan layanan produk perbankan syariah berasaskan prudential banking. Kedua, berperan aktif dalam pengembangan sektor usaha kecil dan menengah. Ketiga, menyebarluaskan pelaksanaan prinsip-prinsip ekonomi syariah.

B. Hasil Wawancara dan Pembahasan

Wawancara dilakukan pada hari jum’at tanggal 6 januari 2017 jam 09.00 WIB-selesai dengan narasumber General Manajer Marketing BPRS Madina Mandiri Sejahtera, tanggal 24 januari 2017 jam 09:00 WIB-selesai dengan narasumber Legal Officer BPRS Madina Mandiri Sejahtera dan tanggal 8 Februari 2014 jam 09:00 WIB-selesai dengan nasabah pembiayaan BPRS Madina Mandiri Sejahtera. Peneliti di dalam


(40)

wawancaranya menanyakan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan rumusan masalah seperti yang berkaitan dengan manfaat dari masing-masing produk jual-beli dan produk syirkah, prosedur pembiayaannya, dan faktor-faktor yang menyebabkan produk jual beli lebih diminati daripada produk syirkah. Dan pada tanggal 20 Februai 2016, jam 11:15 WIB-selesai peneliti melakukan triangulasi dengan pakar syariah agar kesimpulan yang dirumuskan oleh peneliti bersifat universal.

1. Manfaat Produk Jual Beli dan Produk Syirkah.

Bank syariah khususnya BPRS memiliki 2 produk, yaitu produk pembiayaan dan produk penghimpunan dana. Produk murabahah, salam, istishna, mudharabah dan musyarakah masuk ke dalam produk pembiayaan. Perbedaan diantara semua produk-produk tersebut adalah jenis akadnya. Jenis akad berkaitan erat dengan peruntukkan pembiayaan.

Perbedaan peruntukkan pembiayaan adalah jika nasabah menginginkan pembelian barang untuk keperluan konsumtif, bank lebih suka memakai akad murabahah. Sedangkan, jika peruntukkan pembiayaannya untuk produktif bukan konsumtif dan lebih banyak nonbendanya (misal jasa dan modal kerja), maka bank lebih suka memakai produk bagi hasil, bank bisa menggunakan mudharabah ataupun musyarakah. Akad salam biasanya digunakan untuk pembelian barang dimana barangnya dipesan terlebih dahulu dengan


(41)

pembayaran diawal akad. Akad istishna digunakan untuk pembiayaan yang pencairannya diberikan secara bertahap demi keamanan bank. Bapak Sigit selaku General Manajer (GM) Marketing BPRS Madina Mandiri Sejahtera, ketika proses wawancara, beliau mengemukakan bahwa:

“Untuk pembelian barang, bank pakai murabahah. Untuk modal kerja pakai mudharabah atau musyarakah. Kalau murabahah itu ada uang ada barang, kalau salam ada uang barangnya belakangan (pesan dulu), sedangkan istishna untuk pembiayaan yang pencairannya bertahap misal pembangunan gedung, atau rumah. Contoh kasusnya seperti ini: pembangunan suatu rumah butuh dana Rp100.000.000. Untuk keamanan, bank mencairkan pembiayaan secara bertahap. Rp20.000.000 dahulu untuk pondasi, lanjut naik pembangunan tembok dicairkan Rp10.000.000 supaya tidak disalahgunakan oleh nasabah. Takutnya jika sudah dikasih Rp100.000.000 full ternyata

digunakan untuk yang lain.”

2. Prosedur Pembiayaan dari Produk Jual Beli dan Produk Syirkah. Mekanisme dalam memberikan pembiayaan untuk nasabah baik untuk produk jual beli (murabahah, salam dan istishna) maupun produk syirkah (mudharabah dan musyarakah) sebenarnya sudah tercantum dalam SOP masing-masing BPRS dan di dalam SOP tersebut, sudah dijelaskan bagaimana alur atau tahapan-tahapannya. Secara prosedural, semua produk itu tahapannya sama, yang membedakan adalah jenis akadnya.

Awal dari prosedur itu, nasabah mengajukan permohonan pembiayaan, bisa lewat surat atau datang langsung ke BPRS, yang pasti nasabah harus mengisi aplikasi pembiayaan. Di dalam aplikasi tersebut, ditanyakan mengenai data diri nasabah, besarnya dana yang


(42)

dibutuhkan, tujuan pembiayaan, data keuangan seperti gaji perbulan, pendapatan perbulan usaha (jika memiliki usaha), dan jenis jaminan. Selanjutnya, pihak marketing melakukan kunjungan sekaligus meminta kelengkapan data nasabah, seperti data yuridis (KTP, KK, NPWP, Buku Nikah) terkait dengan legalitas diri, legalitas usaha (SIUP, TDP, NPWP usaha, akta perusahaan), data keuangan (neraca, laba rugi, buku rekening, bon-bon penjualan) dan data jaminan, semisal jaminannya berupa kendaraan (data meliputi BPKP, foto copy STNK kendaraan, dan cek nomor rangka).

Tahap ketiga dari prosedur pembiayaan adalah pihak bank melakukan survey usaha, rumah dan jaminan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kebenaran data yang sudah diperoleh. Survey bisa dilakukan dengan cara menggali informasi mengenai calon nasabah dari tetangga nasabah atau datang ke lokasi tanpa membuat janji dengan nasabah terlebih dahulu. Jika memang semua data telah sesuai, maka lanjut ke tahap empat, yaitu pihak marketing mengajukan ke komite pembiayaan. Komite pembiayaan bertugas menyetujui pembiayaan dari nasabah, apakah diterima atau tidaknya. Jika diterima, pihak marketing menentukan akad pembiayaan yang cocok dengan tujuan pembiayaan nasabah. Dimana kita ketahui, bahwa tidak semua nasabah memiliki pengetahuan perihal pembiayaan syariah. Jadi yang menentukan jenis akadnya adalah pihak marketing bukan nasabah.


(43)

Kemudian, tahap terakhir dilakukan akad perjanjian antara pihak BPRS dengan nasabah. Seperti yang dikemukan bapak Sigit:

“Yang menentukan akad mudharabah, musyarakah, murabahah salam atau istishna itu pihak marketing. Pada awal survey itu nasabah diinterview tujuannya untuk apa, jadi yang mengarahkan produknya itu pihak bank bukan keinginan nasabah karena tidak semua nasabah memiliki pengetahuan mengenai produk-produk

tersebut”

3. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Produk Jual Beli Lebih Diminati Daripada Produk Syirkah.

Hingga saat ini, masih ditemukan fenomena akad murabahah lebih mendominasi daripada akad-akad pembiayaan yang lainnya. Pembiayaan dengan akad mudharabah dan musyarakah seharusnya lebih banyak peminatnya, karena pada produk bagi hasil ini akan terbentuk karakteristik dasar perbankan syariah. Produk bagi hasil merupakan pembeda dengan bank konvensional. Oleh karena itu, produk pembiayaan dengan sistem bagi hasil diharapkan menjadi pembiayaan utama atau menjadi dasar atas penerapan prinsip syariah dalam perbankan (Prasetyo, 2013).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di BPRS Madina Mandiri Sejahtera, peneliti menemukan beberapa faktor yang menyebabkan produk jual beli lebih diminati daripada produk syirkah. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Faktor utama yaitu adanya risiko yang tinggi dalam pembiayaan bagi hasil. Risiko utamanya adalah angsuran dari nasabah yang macet dan akan mempengaruhi Non Perfoming Finance (NPF).


(44)

Sesuai yang dikatakan oleh Bu Novie selaku Legal Officer BPRS Madina Mandiri Sejahtera bahwa:

“Untuk mudharabah dan musyarakah, 1 bulan saja tidak memberikan bagi hasil sudah dianggap kurang lancar dan selain beban NPFnya masuk kol 2 beban PPAPNya juga menambah beban”

Ada ketentuan rentang waktu untuk keterlambatan membayar, yang mana untuk pembiayaan murabahah berlaku sebagai berikut: 1-3 bulan masih dikatakan lancar, tunggakan 4–6 bulan dikatakan kurang lancar, 7-12 bulan dikatakan diragukan dan setelah tunggakan diatas 12 bulan atau jatuh tempo macet itu digolongkan macet. Sedangkan untuk mudharabah dan musyarakah berlaku sebagai berikut: 1 bulan saja tidak memberikan bagi hasil sudah dianggap kurang lancar. Selain beban NPF nantinya masuk kol 2, beban Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) juga akan bertambah. Faktor ini juga didukung oleh penelitian Adnan dan Purwoko (2013), menyatakan bahwa ada sisi kelamahan dalam mudharabah, jika sekali saja nasabah tidak membayar angsuran sudah langsung dikatakan kurang lancar dan akan mempengaruhi NPF menjadi tinggi.

Pasal 26, Salinan Peraturan OJK No. 31/POJK 05?2014 menjelaskan bahwa perusahaan syariah wajib membentuk cadangan PPAP, dengan adanya aturan tersebut dijelaskan pula bahwa semakin tinggi risiko dana yang disalurkan BPRS tidak dapat kembali semakin naik beban PPAPnya. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 9/24/DPBS tentang Sistem Penilaian Kesehatan Bank dengan Prinsip Syariah


(45)

menyatakan bahwa rasio NPF digunakan untuk mengukur tingkat permasalahan pembiayaan yang dihadapi oleh bank, semakin tinggi rasio ini, menunjukkan kinerja BPRS atas kualitas pembiayaan semakin buruk. Hal tersebut nantinya akan mempengaruhi tingkat kinerja kesehatan dari internal BPRS (Julianti, 2016).

Risko syariah yang lain yaitu perhitungan produk mudharabah dan musyarakah dalam pembagian bagi hasil jika tidak berhati-hati bisa mendekati riba. Tidak hanya risiko riba, tetapi juga bisa merugikan (mendzalimi) antara satu sama lain untuk usaha-usaha tertentu.

Pembiayaan mudharabah dan musyarakah jika untuk membiayai proyek berdasarkan atas kontrak kerja tidak akan menimbulkan masalah karena didalam kontrak kerja tersebut dicantumkan nilai kontrak, jangka waktu, dan rencana biaya secara jelas. Contohnya: ada nasabah yang mengajukan pembiayaan ke bank untuk proyek sebesar Rp100.000.000 berdasarkan atas kontrak kerja, maka dibutuhkan modal kerja sebesar Rp80.000.000. Setelah mengajukan pembiayaan, nasabah memberikan rencana biaya seperti untuk membeli besi, pasir, semen, dll. Di dalam rencana biaya tersebut ada rincian harga secara jelas dan secara keseluruhan jumlahnya Rp80.000.000. Jadi, ada keuntungan Rp20.000.000 yang bisa digunakan untuk bagi hasil antara nasabah dengan BPRS, dengan porsi


(46)

60% untuk BPRS 40% untuk nasabah, maka BPRS menerima pendapatan Rp12.000.000 dan nasabah menerima Rp8.000.000.

BPRS akan mengalami permasalahan ketika harus membiayai jenis usaha warung makan. Kerja sama dengan jenis usaha warung makan tidak ada kontrak kerjanya sehingga bank tidak mengetahui secara pasti pendapatan perbulan usaha tersebut. Nasabah bisa saja menyebutkan jika pendapatannya sebesar Rp1.000.000 atau Rp1.500.000. Padahal, pernyataan nasabah tersebut hanya berdasarkan atas perkiraan kedepan. Nasabah juga belum tentu jujur, bisa jadi pendapatannya perbulan adalah Rp2.000.000. Berdasarkan nisbah bagi hasil, jika pendapatan nasabah perbulan sebesar Rp2.000.000 BPRS menerima hasil Rp1.200.000 (60% x Rp2.000.000) dan nasabah memperolah hasil Rp800.000 (40% x Rp2.000.000).

Kemungkinan nasabah berbohong mengenai pendapatannya perbulan sangat besar, karena jika mengaku pendapatannya sebesar Rp2.000.000 nasabah hanya memperoleh bagi hasil sebesar Rp800.000 namun jika nasabah mengakui pendapatannya sebesar Rp1.500.000, maka nasabah akan memperolah hasil Rp1.100.000 (Rp600.000 dari nisbah bagi hasil + Rp500.000 pendapatan yang tidak diakui). BPRS juga tidak bisa melakukan pengecekan karena usaha transaksi yang terjadi di warung makan tidak memakai rekening, nota ataupun kuitansi, jadi hanya bermodal kejujuran nasabah. Tidak adanya bukti transaksi membuat rentan mendzalimi satu sama lain. Seperti yang


(47)

dikemukakan oleh Bapak Sigit selaku GM marketing BPRS Madina Mandiri Sejahtera, beliau mengemukakan bahwa:

“untuk menghitung bagi hasil dalam mudharabah dan musyarakah

jika tidak berhati-hati menghitungnya sangat beresiko, bisa menyenggol riba. Itulah kenapa teman-teman lebih suka pakai

murabahah, jual beli langsung clear. Tidak perlu mikir bagi hasil tiap bulan. Tidak hanya resiko riba tetapi juga bisa merugikan satu sama lain. Terutama untuk jenis-jenis usaha tertentu”

Adnan dan Purwoko (2013) menyatakan bahwa pembiayaan mudharabah beresiko tinggi oleh karena itu bank selaku pemilik dana tidak ingin mengalami kerugian yang besar. Jadi dalam pemberian pembiayaan mudharabah, bank akan sangat berhati-hati. Pembiayaan mudharabah juga memuat ketidakpastian karena pendapatan nasabah hanya berdasarkan atas prediksi kedepan.

Faktor yang kedua adalah pembiayaan dengan akad produk jual beli lebih pasti secara hukumnya, lebih mudah dan tidak menanggung beban naik turunnya usaha nasabah. Contoh kasusnya seperti ini: semisal ada nasabah yang ingin membeli mobil. Kemudian bank melakukan pembelian mobil ke dealer, harga mobilnya Rp100.000.000, bank mengambil keuntungan Rp25.000.000. Berarti utang nasabah yang tercatat sebesar Rp125.000.000 yang bisa diangsur sesuai kesepakatan, misalnya 5 tahun. Hal terpenting adalah nasabah harus membayar angsuran Rp2.000.000 perbulan.


(48)

Terlepas dari usahanya maju atau tidak, nasabah tetap harus membayar angsuran karena angsuran itu sifatnya utang bukan kerjasama, bukan juga bagi hasil dan adanya kekuatan hukum yang lebih kuat dan lebih pasti. Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Bapak Sigit sebagai berikut:

“Usaha nasabah mau maju atau mau rugi moggo, yang penting nasabah tetap membayar angsuran karena sifatnya utang bukan kerjasama bukan juga bagi hasil."

Faktor ketiga adalah adanya kemungkinan temuan jika di audit karena tidak adanya surat deklarasi pendapatan dari nasabah. Seperti yang Bapak Sigit kemukakan bahwa :

“Ketika surat itu tidak ada, maka jika diaudit pasti terkena temuan.

Berarti tidak syariah lagi, dasarnya mendebet apa? Kok ujuk-ujuk

didebet, tapi tidak ada pemberitahuan dari nasabah.”

Secara administratif, pembiayaan produk mudharabah maupun musyarakah ada bagi hasil yang harus dibagikan antara nasabah dengan BPRS. Bagi hasil tersebut diambil dari pendapatan perbulan usaha nasabah. Pihak BPRS mengetahui pendapatan perbulan nasabah tersebut dari surat pemberitahuan atau yang seringkali disebut deklarasi pendapatan. Ketika surat pemberitahuan tidak ada, maka jika laporan keuangan BPRS diaudit pasti terdapat temuan. Hal inilah yang menyebabkan pembiayaan mudharabah maupun musyarakah tidak syariah lagi, dikarenakan pihak BPRS saat membuat jurnal tidak ada bukti yang mendasarinya.


(49)

BPRS sebenarnya sudah memiliki jadwal angsur nasabah. Untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah biasanya disebut proyeksi jadwal angsur karena secara syariah belum tentu pendapatan nasabah sesuai yang telah ditetapkan. Jadi, ketika pencatatan pendapatan harus sesuai realisasi pendapatan perbulan nasabah. Faktanya, BPRS sering kali harus menunggu deklarasi pemberitahuan pendapatan dari nasabah terlalu lama. Hal itu dikarenakan tidak adanya waktu pedagang warung makan untuk membuat surat pemberitahuan tersebut. Sehingga, kebanyakan bank melakukan penjurnalan sebesar proyeksi yang telah ditetapkan dan menganggap pendapatan usaha perbulan nasabah sama dengan proyeksi itu. Alasan BPRS tidak mau menunggu surat deklarasi dari nasabah terlalu lama adalah jika bank mendebet pendapatan dari nasabah terlambat, secara otomatis, distribusi bagi hasil kepada nasabah simpanan juga terlambat. Hal ini bisa menyebabkan nasabah simpanan kabur untuk mencari BPRS lain yang lebih tepat dalam distribusi bagi hasil. Seperti yang dikemukakan oleh Bu Novie, sebagai berikut:

“Jika kita mendebetnya terlambat, kita juga terlambat dong distribusi bagi hasilnya untuk nasabah simpanan, dan mereka bisa aja kabur

cari BPRS lain”

Pada umumnya, nasabah adalah golongan rendah yang tidak memiliki pengetahuan tentang tata cara pelaporan pendapatan juga penyusunan laporan keuangan, hal ini juga bisa menghambat bank


(50)

dalam memantau usaha yang dijalankan nasabah. Sehingga, pada situasi tertentu yang seharusnya pembiayaan tersebut masuk mudharabah ataupun musyarakah, namun bank memasukkannya ke murabahah agar pembiayaan itu tetap berjalan (Adnan dan Purwoko, 2013).

Faktor ke-empat adalah kurangnya pengetahuan yang dimiliki nasabah mengenai produk-produk pembiayaan syariah. Sehingga yang menentukan akad pembiayaan yang sesuai dengan tujuan pembiayaan nasabah adalah pihak marketing. Selain karena kurangnya pengetahuan, kebanyakan nasabah juga lebih peduli (lebih merasa nyaman) terhadap jenis dan pola angsurannya bukan jenis akadnya.. Seperti yang dikemukakan Bapak Sigit, beliau mengemukakan:

“yang mengarahkan akadnya itu pihak bank bukan keinginan nasabah karena tidak semua nasabah memiliki pengetahuan mengenai produk-produk tersebut.”

Dan seperti yang diungkapkan Sdr. Julio selaku Nasabah pembiayaan BPRS Madina Mandiri Sejahtera, bahwa:

“pembiayaan yang saya gunakan, yang menentukan akadnya itu pihak marketing mba, untuk menghindari kesalahpahaman karena kurangnya pengetahuan nasabah.

Adnan dan purwoko (2013) juga menyatakan bahwa pemahaman nasabah mengenai pembiayaan mudharabah dan juga pembiayaan-pembiayaan syariah yang lain masih sangat kurang. Pengetahuan masyarakat masih sangat kurang mengenai perbankan syariah. Seringkali masyarakat menganggap bahwa perbankan syariah


(51)

hampir sama dengan perbankan konvensional. Sdr Julio selaku nasabah pembiayaan BPRS Madina Mandiri Sejahtera menyatakan bahwa:

“perbedaan bank konvensional dan bank syariah yang saya ketahui

adalah jika di bank syariah ada ijab qobul untuk segala akad. Jadi jika ada kerancuan/keraguan akad itu bisa dibatalkan.

Berdasarkan pernyataan nasabah tersebut diketahui bahwa pengetahuan nasabah mengenai perbankan syariah masih sangat kurang. Dikarenakan perbedaan perbankan konvensional dan perbankan syariah tidak hanya sebatas adanya ijab qobul. Perbedaan yang lain adalah sistem pada pendapatan usahanya. Bank syariah menerapkan sistem pendapatan usaha dengan sistem bagi hasil sedangkan di bank konvensional disebut bunga. Walapun keduanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan tetapi caranya berbeda. Selain adanya ijab qobul dan sistem pada pendapatan usahanya, perbedaan yang lain adalah bank syariah mewajibkan untuk menetapkan adanya dewan pengawas syariah sedangkan bank konvensional tidak mewajibkan hal itu.

Faktor kelima adalah pembiayaan produk jual beli lebih aman dan nyaman. Anggapan mengenai kenyamanan dan keamanan produk jual beli merupakan salah satu faktor yang menyebabkan BPRS lebih menyukai memberikan pembiayaan tersebut ke nasabah karena semuanya serba pasti. Bank tidak perlu lagi memikirkan nasabah akan


(52)

membohongi BPRS terkait dengan pendapatannya tiap bulan, yang terpenting setiap jatuh tempo nasabah membayar angsuran sesuai kesepakatan. Sedangkan untuk mudharabah dan musyarakah BPRS harus membuat proyeksi pendapatan berdasarkan prediksi, misalnya BPRS menentukan pendapatan nasabah sebesar Rp2.000.000 dengan nisbah bagi hasil 60% untuk BPRS dan 40% untuk nasabah jadi hasil yang diterima BPRS tiap bulannya adalah Rp1.200.000 dan Rp800.000 untuk nasabah. Namun, ada kemungkinan besar pendapatan nasabah dibawah Rp2.000.000 jadi bank akan menerima hasil dibawah proyeksi yang telah ditetapkan.

Ketika BPRS mengikuti permainan tersebut (menerima bagi hasil dibawah proyeksi), BPRS akan mendapat teguran dari OJK. Bapak Sigit mengemukakan bahwa:

“Bank akan mendapat sanksi dari ojk. Jadi bank itu serba salah,

karena ada ketentuan dari BI bahwa realiasasi pendapatan tidak

boleh kurang dari 80%.”

Dan Ibu Novie Juga menyatakan bahwa:

“Bukan sanksi sih, tapi NPF sudah masuk kol 2 dan beban Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif naik”

Nah hal ini menjadi faktor ke-enam. Posisi BPRS menjadi serba salah, karena adanya ketentuan dari Bank Indonesia (BI) bahwa realiasasi pendapatan tidak boleh kurang dari 80%. Bank boleh saja komitmen dengan prinsip syariah, membiarkan hasil yang diterima dibawah proyeksi. Namun permasalahnnya adalah bank nantinya akan digencet


(53)

dengan ketentuan kalau realisasi pendapatan dibawah 80% akan mengakibatkan penurunan kolektibilitas.

Adanya penurunan kolektibilitas menyebabkan nasabah akan dikatakan bermasalah, ketika nasabah dikatakan bermasalah, maka bank harus mencadangkan keuntungan sekian persen untuk menutupi pembiayaan bermasalah itu dan keuntungan bank akan berkurang. Padahal bank niatnya baik yaitu bersyariah secara murni. Tetapi, nantinya bank akan dihukum karena labanya berkurang. Jadi bank lebih suka menggunakan pembiayaan murabahah karena faktor kepastian, keamanan dan kenyamanan. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sigit, selaku GM Marketing BPRS Madina Mandiri Sejahtera, beliau mengemukakan:

“Ketika nasabah dibilang bermasalah maka bank harus

mencadangkan keuntungan sekian persen untuk menutupi

pembiayaan bermasalah nasabah itu. Jadi keuntungan bank nanti berkurang”

Faktor ketujuh adalah ketidakefektifan produk bagi hasil. Pembiayaan mudharabah dan musyarakah memberatkan kedua belah pihak karena nasabah perlu membuat laporan keuangan tiap bulan, dan pihak bank pun khusunya Accounting Officer harus meminta laporan mengenai hasil pendapatan tiap bulan juga atau memantaunya by phone. Bapak Sigit mengemukakan bahwa:


(54)

“Pembiayaan murabahah mudah di kedua belah pihak, karena nasabah tidak perlu membuat laporan keuangan tiap bulan, bank pun tidak perlu meminta laporan tiap bulan.”

Dan Ibu Novie juga mengemukakan bahwa:

“Untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah setiap bulannya kami memantau/menanyakan mengenai pendapatan usaha nasabah

by phone. Kemudian meminta laporan keuangannya”

Faktor ke-delapan adalah kurangnya pengetahuan bankers dan owner mengenai pengetahuan ekonomi islam. Owner selaku pemilik modal menetapkan target laba sekian persen yang harus dicapai karyawannya (bankers). Dalam konteks seperti ini, bankers seringkali meninggalkan aspek syariah dan aspek akidah pada saat mengejar target laba sesuai yang diinginkan. Sama halnya dengan pernyataan Pak Akhyar selaku pakar syariah, beliau mengatakan bahwa:

Bankers itu dipaksa oleh pemilik modal untuk mendapat laba sekian. Dan mereka seringkali meninggalkan aspek syariah, aspek akidah sehingga mereka itu (bankers) mencari-cari nasabah agar target laba tercapai namun tidak syariah lagi. Sehingga mereka mencari yg

gampang, yaa itu dimurabahkan”

Risiko tidak syariah yang timbul dalam perbankan syariah disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu karena ketidaktahuan atau ketidakpahaman bankers. Sumber Daya Insani (SDI) di perbankan syariah merupakan permasalahan utama. Kurangnya pemahaman SDI disebabkan karena hampir semua SDI yang bekerja di perbankan syariah berasal dari perbankan konvensional, sehingga mereka cenderung berperilaku seperti seorang conventional bankers,


(55)

bukan Islamic bankers. Selain karena mereka datang dari bank konvensional, pada umumnya mereka juga tidak diberi training yang memadai sebagai bekal mereka untuk dapat bekerja dengan baik sebagai Islamic bankers, kalaupun ada training/pelatihan hal itu diberikan ketika sudah berjalan, maka proses tersebut memakan waktu dan biaya dibandingkan dengan seseorang yang sudah mempunyai dasar (Prasetyo, 2013).

Faktor ke-sembilan adalah sifat bankers yang tidak mau repot. Kebanyakan bankers lebih menyukai pembiayaan murabahah karena lebih simpel, tidak perlu banyak menghitung dan lebih efisien jika jumlah SDI terbatas. Jadi, kerja bankers hanya tinggal menagih angsuran yang harus dibayarkan nasabah tiap bulannya. Bankers tidak perlu lagi tiap bulannya menghitung sejumlah rupiah yang harus dibayarkan nasabah berdasarkan pendapatannya. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sigit:

“Orang lebih suka murabahah karena lebih simple, tidak banyak menghitung, jadi kerja bankers tingal nagih, nagih, nagih trus. Tidak perlu repot-repot bulan ini harus bayar berapa dihitung dulu.”

Dan seperti yang Ibu Novie kemukakan:

“Kalau nasabahnya hanya 1, 2 atau dibawah ratusan gak menjadi masalah. Namun jika nasabahnya ribuan kalau harus nagihi per orang itu tidak efisien. Jadi kita memberikan pembiayaan mudharabah dan musyarakah ke orang atau badan yang sudah memiliki pembukuan yang bagus, misal minta laporan laba rugi tinggal dikirim. Agar lebih efisien, karena harus memikirkan nasabah harus bayar berapa sedangkan SDInya terbatas jumlahnya”.


(56)

Faktor ke-sepuluh adalah terkait dengan moralitas nasabah. Dimungkinkan karena adanya beberapa nasabah yang tingkat kejujurannya kurang. Transparansi dalam hal melaporkan hasil usaha yang dilakukan masih rendah. Faktor ini membuat pihak BPRS selalu berhati-hati dalam memberikan pembiayaan mudharabah maupun musyarakah. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sigit:

“Adanya resiko nasabah akan melakukan kecurangan pada saat pelaporan

pendapatan usaha perbulan, sehingga bank lebih berhati-hati dalam

memberikannya.”

Seperti yang kita ketahui, karakteristik dari mudharabah adalah bank tidak dimungkinkan untuk terlibat dalam manajemen usaha nasabah. Hal ini mengakibatkan bank memiliki kesulitan tersendiri dalam melakukan penilaian maupun pengendalian terhadap pembiayaan yang diberikan. Kesulitan ini membuat diperlukan adanya transparansi antara nasabah dan bank, dalam hal keterbukaan mengenai informasi usaha khususnya untung dan rugi usaha. Apabila salah satu pihak tidak menyampaikan secara transparan atau ada ketidakjujuran mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perolehan hasil, maka dapat terjadi ketidakseimbangnya informasi yang diperoleh antara mudharib dan shahibul maal (Triantri, 2014). Dan akan mengakibatkan kurangnya kepercayaan pihak bank terhadap nasabah dalam memberikan pembiayaan.


(57)

C. Diskusi

Pembiayaan bagi hasil masih jarang terjadi di BPRS, khususnya BPRS Madina Mandiri Sejahtera pada prakteknya. Hal ini dapat dilihat di tabel 2.

Tabel 2

Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan Laporan Neraca

Produk Desember

2015 Maret 2016 Juni 2016 September 2016

Produk Jual Beli:

Piutang Murabahah 24,774,840 26,954,548 29,283,099 30,283,090

Piutang Salam 0 0 0 0

Piutang Istishna' 0 0 0 0

Jumlah Produk Jual Beli

24,774,840 26,954,548 29,283,099 30,283,090

Persentase (%) 77.74% 79.31% 78.88 % 79.21 % Produk Syirkah: Pembiayaan Mudharabah

4,336,609 4,434,290 4,805,536 5,119,732

Pembiayaan Musyarakah

2,756,472 2,596,013 3,037,163 2,830,955

Jumlah Produk

Syirkah

7,093,081 7,030,303 7,842,699 7,950,687

Persentase (%) 22.26% 20.69% 21.12% 20.79%

Sumber: www.ojk.go.id

Tabel diatas menjelaskan bahwa pembiayaan dengan produk syirkah masih lebih rendah daripada produk jual beli. Hal itu dapat dilihat dari persentase masing-masing triwulan dari bulan Desember 2015-September 2016. Pada bulan Desember 2015 menunjukkan jumlah persentase untuk produk syirkah sebesar 22,26% dan sebesar 77,74% untuk produk jual


(58)

beli. Jumlah persentase pada bulan Maret 2016 untuk produk syirkah sebesar hanya 20,69 % dan untuk produk jual beli sebesar 79,31%. Pada bulan Juni 2016 menunjukkan jumlah persentase untuk produk syirkah sebesar 21,12% dan sebesar 78,88% untuk produk jual beli. Dan jumlah persentase pada bulan September 2016 untuk produk syirkah sebesar 20,79% dan 79,21% untuk produk jual beli. Terjadinya situasi seperti ini akan menyebabkan pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang seharusnya menjadi karakteristik perbankan syariah justru bisa ditinggalkan jika bank tidak berniat untuk memperbaikinya. Padahal dengan pembiayaan bagi hasil, kesesuaian prinsip syariah benar-benar transparan jika kita lebih mendalami bisnis syariah. Dimana jika terjadi tingkat bagi hasil yang rendah dapat ditanggung bersama maka bank tidak perlu takut lagi akan risiko yang ada karena bukan hanya keuntungan saja yang nantinya akan dibagihasilkan melainkan juga risiko kerugian yang ada.

Pembiayaan bagi hasil jika dilakukan dengan baik, sebenarnya akan memberikan manfaat yang cukup banyak, selain mendapatkan keuntungan yang lumayan besar, juga bisa membantu perekenomian lemah yang terjadi di bumi pertiwi ini. Namun dari sudut pandang yang lain, jika nasabah mengalami kemacetan pembayaran atau melakukan kecurangan maka pihak bank yang justru dirugikan. Banyaknya masalah membuat dibutuhkan solusi-solusi yang setidaknya bisa meminimalisir fenomena ini.


(59)

Solusi yang pertama, berkaitan dengan peraturan Bank Indonesia yang menyatakan bahwa dalam pembiayaan mudharabah, jika satu bulan saja nasabah tidak membayar bagi hasil maka sudah dikatakan kurang lancar dan jika realisasi pendapatan kurang dari 80% mengakibatkan penurunan kolektibilitas seharusnya dievaluasi ulang. Para pakar pun memiliki persepsi yang sama, yaitu kebijakan yang ada saat ini kurang mendukung terhadap penyaluran pembiayaan bagi hasil (Prasetyo, 2013). Salah satu contoh kebijakan yang paling banyak disoroti adalah masalah ketentuan kolektibilitas bagi pembiayaan mudharabah dan musyarakah yang dirasa memberatkan bank, dimana tingkat peringatan kolektibilitas untuk pembiayaan jual beli dibuat lebih longgar dari pembiayaan bagi hasil dan hal itu akan memberatkan nasabah pembiayaan bagi hasil. Oleh karena itu, aturan-aturan yang dirasa kurang mendukung perlu untuk dievaluasi kembali. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang bersifat mendorong dan memberi insentif untuk penyaluran pembiayaan bagi hasil perlu dipertimbangkan lagi. Supaya pembiayaan bagi hasil/produktif ini dapat berkembang dan bukan lagi menjadi pembiayaan sekunder di perbankan syariah.

Solusi yang kedua adalah pihak bank selalu berhati-hati dalam memberikan pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Solusi berikutnya yaitu terkait dengan mekanisme pelaporan yang dilakukan oleh nasabah mengenai hasil pendapatan dari usaha yang dijalankannya, yaitu pihak BPRS menyediakan formulir atau aplikasi yang akan memudahkan


(1)

dipelajari, misal bulan ini kok yg bermasalah banyak peternak, oh berarti bulan depan jangan membiayai peternak terlebih dahulu.

Peneliti: Apakah pernah menemukan kesulitan mengetahui karakter nasabah dan kemampuan yang dimiliki nasabah dalam menjalankan usaha yang akan diberikan pembiayaan oleh BPRS pak?

Pak Sigit: Karakter nasabah itu memang sulit ditebak, diprediksi. Bankers itu biasanya memiliki filling berdasarkan pengalaman yang dulu dulu. Bisa juga melakukan track cheking, pengecekan informasi bisa ke tetangga, bisa ke supplier, BI cheking adalah melakukan pengecekan usaha nasabah yang tercatat di BI (disitu ada banyak informasi, jumlah pinjamannya berapa, sisa pinjamannya berapa, kelihatan bayar tepat waktu atau tidak).

Peneliti: apakah ada kemungkinan ketidakjujuran nasabah? Bagaimana tindakan dari Bank?

Pak Sigit: Ada. Bank boleh meminta denda ke nasabah, tapi sampai saat ini bank madina tidak pernah memberikan denda ke nasabah karena keterlambatan. Bank itu berpikir yg penting nasabah itu membayar, lha wong pokoknya saja susah membayar apalagi ditambah denda

Kecuali jika karakternya memang tidak bagus maka bank melakukan penyelesaian pembiayaan. Karena sebenernya dengan tidak bisa dijadikan keuntungan, ataupun modal kerja.


(2)

Wawancara yang kedua dengan Ibu Novie ( Legal officer), 24 Januari 2014

Peneliti: Di bank syariah itu memiliki banyak pembiayaan namun kenapa murabahah yang dominan, faktor-faktor yang menyebabkan fenomena tersebut, menurut bu novie?

Bu Novi: Mayoritas pembiayaan di murabahahkan yaa, kalo di bank madina khususnya karena mereka memang dari usahanya/faktor ekonomi dagang dan peruntukkanya untuk pembelian. Dagang contohnya toko kelontong kan modal utamanya kan beli bahan-bahannya seperti sembako, gak mungkin dong sewa. Kalo untuk usahanya kelontong tapi untuk investasi misal pembelian sepeda motor jadi memang akadnya banyak ke murabahah. Tapi tidak menutup kemungkinan yang mudharabah musyarakah itu speknya untuk proyek itu kan ada riil syirkahnya karena ada kontrak kerjanya.

Angsuran nasabah macet, bisa lihat di peraturan OJK di PPA. Di bank Ada beban PPAP (penyisihan Aktiva Produktif). Untuk skim murabahah, mudharabah, musyarakah itu resikonya lebih kecil skim murabahah. Kalo di murabahah itu kalo gak salah, ada rentang waktu 1 – 3 bulan masih lancar, tunggakan 4 – 6 bulan itu kurang lancar. 7-12 itu diragukan. Setelah tunggakan diatas 12 atau jatuh tempo macet itu digolongkan macet/ tingkat kolektibilitas ufo. Untuk mudharabah musyarakah, 1 bulan saja tidak memberikan bagi hasil sudah dianggap kurang lancar dan selain


(3)

beban NPFnya masuk kol 2 beban PPAPNya juga menambah beban. NPFnya tinggi kan naik to, dan beban untuk perusahaan kan juga dibebankan sekian persen PPAPnya. Jadi selain tadi faktor ekonominya, yg kedua beban NPFnya untuk kesehatan bank nanti mempengaruhi.

Peneliti: Kenapa BPRS tidak mau menunggu lama surat deklarasi pemberitahuan pendapatan? Untuk nasabah-nasabah pedangang hanya lewat by phone, surat deklarasinya nanti. Efeknya apa?

Bu Novi: Bisa lihatnya PPI kualitas aktiva produktif. Untuk mudharabah musyarakah, ia itu RBH (realisasi bagi hasil) dibawah 80% dari proyeksi sudah digolongkan kurang lancar. Bukan teguran sih, tapi sudah masuk kol 2 atau KL atau NPF. Bukan sanksi masuk NPF dan beban PPAnya.

Peneliti: kenapa lebih suka murabahah? Karena mudharabah harus banyak menghitung dulu atau apa bu?

Bu Novi: Kalau nasabahnya 1 2 gak menjadi masalah, namun jika nasabahnya ribuan kalau harus nagihi per orang itu tidak efisien. Jadi kita memberikan pembiayaan mudharabah dan musyarakah ke orang atau badan yang sudah memiliki pembukuan yang bagus, misal minta laporan laba rugi tinggal dikirim. Untuk murabahah tiap bulannya angsurannya sama, jadi bisa di monitoring lewat by


(4)

phone. Agar lebih efisien, karena harus memikirkan harus bayar berapa sedangkan sdmnya terbatas jumlahnya.

Wawancara yang ketiga dengan Sdr. Julio (nasabah pembiayaan), 8 Februari 2017 Peneliti: Apakah anda cukup familiar dengan pembiayaan syariah?

Sdr Julio: Iya saya cukup familiar karena saya sering dengar pembiayaan tsb dan kebetulan rumah saya berdekatan dengan bank syariah

Peneliti: Anda mengajukan pembiayaan tujuannya digunakan untuk apa mas?

Sdr Julio: Untuk renovasi rumah, saya ngambil pembiayaan dengan kontrak 1,5 tahun

Peneliti: Yang menentukan akad pembiayaan siapa? Kenapa?

Sdr Julio: Pihak marketing. Untuk menghindari kesalahpahaman karena ketidaktahuan nasabah

Peneliti: Bagaimana prosedur pembayaran angsuran yang anda lakukan mas?

Sdr Julio: Tiap bulan langsung bayar angsuran bisa dateng langsung ke bank atau via transfer

Peneliti: Menurut anda apakah bank konvensional dan bank syariah berbeda? Apa saja perbedaannya?

Sdr Julio: setau saya kalau di bank syariah itu da ijab qobulnya, jadi jika ada keraguan sebelum ijab maka akad itu bisa dibatalkan.


(5)

Wawancara yang ke-empat dengan Pak Akhyar (Pakar syariah), 20 februari 2017.

Peneliti: di perbankan syariah khusunya BPRS ka nada produk jual beli dan produk syirkah ya pak. Namun ditemukan fakta bahwa produk jual beli lebih dominan daripada produk syirkah. Nah bagaimana tanggapan mengenai pak Akhyar mengenai fenomena tsb?

Pak Akhayar: Menurut saya: gejala perbankan kita belum sesuai yang diharapkan. Idealnya tawazun antara jual beli dengan syirkah. Kenyataan tidak begitu. Kenapa? Pemahaman bankers minimal belum seperti yang saya harapkan. Pertama, pengalaman, kedua lingkungan. Bankers dipaksa oleh pemilik modal untuk mendapat laba sekian. Dan dalam konteks ini seringkali aspek syariah aspek akidah ditinggalkan sehingga mereka itu (bankers) mencari-cari nasabah agar target laba tercapai namun tidak syariah lagi. Sehingga mereka mencari yg gampang, yaa itu dimurabahkan. Masyarakat juga gitu, memilih yang gampang.

Peneliti: Faktor lain yang menyebabkannya pak?

Pak Akhyar: ya itu tadi kurangnya pemahaman owner, bankers ditambah kurangnya pemahaman masyarakat/ nasabah. Maunya pragmatis atau yang instan instan saja. Kurangnya pemahaman DPS dan Pemahaman pemerintah

Peneliti: menurut Pak Akhyar apa solusi yang tepat yang bisa untuk meminimalisir fenomena tersebut pak?


(6)

Pak Akhyar: solusinya panjang dan butuh waktu lama. Saya melihat bangunan islam itu seperti piramida. Ada 4 lapis, paling bawah: akidah, ubudiyah (ibadah), muamalah, akhlakul karimah. Jika akidah kuat, ubudiyah juga akan kuat. jika ubudiyah cuma dilakukan sekedar ritual padahal ubudiyah mengandung nilai-nilai. Maka muamalah kering, akhlak juga akan lemah. Kita mengenal muamalah waktu S1 atau S2, ujuk ujuk sehingga tidak menyatu dengan akidah dan ubudiyah. Sistem untuk pendidikan ekonomi islam masih sangat lemah. Sehingga perlu diperbaiki. Ini bukan merupakan persoalan teknis, ini persoalan konseptual ( secara mendasar), namun tidak mudah dan butuh waktu yang lama. Jika dasarnya diperbaiki dan berhasil, kedepannya pun akan gampang.