EFEKTIVITAS PEMANFAATAN DANA KEISTIMEWAAN DALAM URUSAN KEBUDAYAAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2014 - 2015 (Studi Kasus Kelompok Kesenian Tari Angguk)

(1)

SKRIPSI

EFEKTIVITAS PEMANFAATAN DANA

KEISTIMEWAAN DALAM URUSAN KEBUDAYAAN DI

KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2014 - 2015

(Studi Kasus Kelompok Kesenian Tari Angguk)

Disusun oleh :

AKMAL SOFFAL HUMMAM 2013.052.0078

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

(3)

SKRIPSI

EFEKTIVITAS PEMANFAATAN DANA

KEISTIMEWAAN DALAM URUSAN KEBUDAYAAN DI

KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2014 - 2015

(Studi Kasus Kelompok Kesenian Tari Angguk)

Disusun oleh :

AKMAL SOFFAL HUMMAM 2013.052.0078

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

ii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya skripsi ini saya pesembahkan untuk kampus kebanggaan saya

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta terutama Jurusan Ilmu Pemerintahan.

Kemudian untuk kedua orang tua saya tercinta yang telah menjadi segalanya bagi saya


(7)

iii

HALAMAN PERNYATAAN

Nama : Akmal Soffal Hummam

Tempat, Tanggal Lahir : Bantul, 01 Mei 1995

NIM : 20130520078

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Dengan ini menyatakan bahwa Karya Ilmiyah dalam bentuk Skripsi yang berjudul : Efektivitas Pemanfaatan Dana Keistimewaan pada Urusan Kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2014-2015 (studi kasus kelompok kesenian tari angguk) adalah hasil karya dari penulis dan Bukan karya tulis orang lain, baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang telah penulis cantumkan sumbernya.

Demikian pernyataan ini saya buat sebenar-benarnya, dan saya siap menerima sanksi sesuai hukumnya apabila pernyataan ini tidak benar.

Bantul, 28 November 2016


(8)

iv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji dan syukur senantiasa terpanjatkan atas

kehadiratMu Allah SWT Tuhan semesta alam atas limpahan karunia, rahmat, dan hidayahNya. Tidak lupa sholawat serta salam saya haturkan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul dan junjunganku sehingga saya bisa menyelesaikan Skripsi guna memperoleh gelar S.IP. Penyelesaian Skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan dari seluruh pihak yang terlibat didalamnya. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu penulisan Skripsi ini, antara lain :

1. Bapak Ali Muhammad, S.IP., MA, Ph.D, M.Sc. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2. Bapak Drs. Suswanta, M.Si. selaku pembimbing skripsi yang selalu sabar memberi arahan sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi

3. Ibu Dr. Titin Purwaningsih, S.IP., M.Si. selaku ketua jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

4. Bapak Dr. Ulung Pribadi, M.Si. selaku dosen penguji 1 yang banyak memberi arahan

5. Bapak Eko Priyo Purnomo, S.IP., M.Si., M.Res., Ph.D. selaku dosen penguji 2 yang banyak memberi arahan

6. Seluruh dosen dan staff jurusan Ilmu Pemerintahan yang telah memberi ilmu dan arahannya kepada saya

7. Bapak Joko Mursito selaku Kabid kebudayaan Disbudparpora Kulon Progo sebagai narasumber

8. Ibu Sri Muryanti selaku pemilik sangar angguk Sri Panglaras selaku narasumber


(9)

v

9. Bapak Sujiman selaku pemilik sanggar angguk Laras Sekar

10.Kedua orang tua saya tercinta Bapak Drs. Rusdiyanto dan Ibu Dra. Binti Rosichotul Himmah yang selalu menjadi motivasi bagi saya

11.Adek saya Luthfi Qowy Zhafrani yang memberi semangat bagi saya

12.Kedua nenek saya mbah Hj. Siti Ngaisyah dan mbah Hj. Hariyah yang selalu mendoakan cucunya agar dipermudah dalam skripsi

13.Kekasih saya Desi Badriyah yang selalu memberi semangat dan motivasi bagi saya

14.Mas Tyo yang banyak memberi arahan pada skripsi saya

15.Sahabat saya Ryan Tri Kurniawan dan Eyxi Malatul yang senantiasa membantu saya dalam mengerjakan skripsi

16.Sahabat kuliah “SIRAH MUMET” Suluh, Ichwan, Helina, Rahma yang selalu menyempatkan waktu untuk bertukar pikiran dan saling membimbing dalam skripsi

17.Teman main “Dahlan Fams” Ema, Mega, Rohmah, Rohna, Akbar, Ridho yang selalu memberi semangat

18.Dan masih banyak pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap karya skripsi ini dapa memberi manfaat baik secara teorits maupun praktis. Penulis sadar bahwa dalam karyanya masih terdapat banyak kekurangan. Semoga lebih banyak penelitian serupa dengan hasil yang lebih baik.

Bantul, 28 November 2016


(10)

vi

MOTTO

Bukan ingin menjadi yang terbaik, tapi selalu berusaha

menjadi lebih baik untuk kedepannya


(11)

vii

SINOPSIS

Dana Keistimmewaan yang diperoleh Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana diberikan pemerintah pusat sebagai konsekuensi atas disahkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Aloksi Danais pada tahun 2014 dan 2015 paling banyak dimanfaatkan untuk urusan kebudayaan. Kabupaten Kulon Progo adalah kabupaten yang paling banyak mendapat alokasi Dana Keistimewaan urusan kebudayaan pada dua tahun tersebut. Kulon Progo memiliki kesenian iconic yaitu Tari Angguk yang bahkan sudah diakui kementrian sebagai bentuk kebudayaan tak benda dari Kulon Progo.

Pada penelitian kali ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara ke berbagai narasumber terkait dan studi dokumentasi. Narasumber pada penelitian ini adalah Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kulon Progo dan perwakilan dari masyarakat pegiat kesenian tari angguk. Wawancara tersebut dilakukan guna mencari tahu tingkat keefektivitasan Danais urusan kebudayaan terhadap kesenian tari angguk.

Guna mengetahui keefektivitasan dari Danais urusan kebudayaan terhadap kesenian tari angguk peneliti menggunakan teori dari JP. Champbell yaitu mengukur tingkat keefektivitasan menggunakan 5 indikator : 1. Keberhasilan program, 2. Keberhasilan sasaran, 3. Tingkat kepuasan, 4. Tngkat input dan output, 5. Capaian program keseluruhan. Dari penelitian dapat diungkapkan bahwa dana keistimewaan berhasil untuk menjalankan program yaitu desa budaya dan lomba senam angguk. Danais juga efektif guna mencapai keberhasilan sasaran yaitu melestarikan kebudayaan tari angguk dan mempromosikan kesenian tari angguk sampai tingkat nasional melalui program yang telah berhasil dilaksanakan. Kepuasan pada pogram juga menunjukkan tingkat keefektivitasan dana keistimewaan, pemerintah puas karena apa yang telah menjadi sasaran dari program telah tercapai dan untuk masyarakat pegiat kesenian angguk juga puas karena sejak adanya dana keistiimewaan mereka jadi lebih sering pentas. Input dari Danais adalah asupan dana bagi Disbudparpora untuk menjalankan programnya sedangkan outputnya program tersebut telah mencapai sasaran yang diingingkan dan masyarakat pegiat seni angguk telah merasakan perubahan yang lebih baik. Capaian dari program keseluruhan menunjukkan Danais telah sukses membawa perubahan yang lebih baik untuk melestarikan tari angguk dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pegiatnya. Meskipun sudah efektif namun penggunaan Dana Keistimewaan masih kurang optimal terhadap kesenian tari angguk karena lebih besar untuk pembangunan fisik.

Kesimpulannya adalah Dana Keistimewaan tahun 2014 dan 2015 telah efektif digunakan Disbudparpora Kulon Progo untuk melestarikan dan mempromosikan kesenian tari angguk. Saran terhadap pemanfaatan selanjutnya adalah porsi untuk kebudayaan tak benda lebih ditingkatkan agar seimbang dengan dana yang diperuntukkan pembangunan fisik dan Disbudpora lebih mendengarkan aspirasi dari masyarakat pegiat kesenian angguk agar program kedepan lebih baik.


(12)

viii

DAFTAR ISI HALAMAN

JUDUL………..………i

HALAMAN PERSEMBAHAN ... i

KATA PENGANTAR ... iv

MOTTO ... vi

SINOPSIS ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined. A. Latar Belakang Masalah ... Error! Bookmark not defined. B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined. C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. D. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined. E. Studi Terdahulu ... Error! Bookmark not defined. F. Kerangka Dasar Teori ... Error! Bookmark not defined. 1. Efektivitas ... Error! Bookmark not defined. 2. Desentralisasi Asimetris ... Error! Bookmark not defined. 3. Dana Keistimewaan ... Error! Bookmark not defined. 4. Kebudayaan ... Error! Bookmark not defined. G. Definisi Konsepsional ... Error! Bookmark not defined. 1. Efektivitas ... Error! Bookmark not defined. 2. Desentralisasi Asimetris ... Error! Bookmark not defined. 3. Dana Keistimewaan ... Error! Bookmark not defined. 4. Kebudayaan ... Error! Bookmark not defined. H. Definisi Operasional ... Error! Bookmark not defined. 1. Efektivitas ... Error! Bookmark not defined. I. Metode Penelitian ... Error! Bookmark not defined.


(13)

ix

1. Jenis Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 2. Batasan Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 3. Unit Analisis ... Error! Bookmark not defined. 4. Data dan Sumber Data ... Error! Bookmark not defined. 5. Teknik Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined. 6. Teknik Analisis Data ... Error! Bookmark not defined. BAB II DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined.

A. PROFIL KABUPATEN KULON PROGO ... Error! Bookmark not defined. 1. Kondisi Umum Kabupaten Kulon Progo ... Error! Bookmark not defined. a. Geografis ... Error! Bookmark not defined. c. Topografi ... Error! Bookmark not defined. d. Wilayah ... Error! Bookmark not defined. e. Prasarana ... Error! Bookmark not defined. 2. Visi dan Misi Kabupaten Kulon Pogo ... Error! Bookmark not defined. a. Visi ... Error! Bookmark not defined. b. Misi ... Error! Bookmark not defined. B. Profil Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga ... Error! Bookmark not defined.

BAB III PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined. 1. Keberhasilan program ... Error! Bookmark not defined. 2. Keberhasilan sasaran ... Error! Bookmark not defined. 3. Kepuasan terhadap program ... Error! Bookmark not defined. 4. Tingkat input dan output ... Error! Bookmark not defined. 5. Pencapaian tujuan menyeluruh ... Error! Bookmark not defined. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN... Error! Bookmark not defined.

A. Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined. 1. Keberhasilan program ... Error! Bookmark not defined. 2. Keberhasilan sasaran ... Error! Bookmark not defined. 3. Kepuasan terhadap program ... Error! Bookmark not defined.


(14)

x

4. Tingkat input dan output ... Error! Bookmark not defined. 5. Pencapaian program menyeluruh ... Error! Bookmark not defined. B. Saran ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. LAMPIRAN - LAMPIRAN


(15)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 : Hasil Penelitian Terdahulu…...21

Tabel 3.1 : Program Disbudparpora Kulon Progo Terkait Angguk………..….…….77

Tabel 3.2 : Daftar Kelompok Angguk yang Memiliki Akta Dinas……….…81

Tabel 3.3 : Rincian Hadiah Senam Angguk Seri I………...……….83

Tabel 3.4 : Rincian Hadiah Senam Angguk Seri II………...……….84

Tabel 3.5 : Daftar Desa Budaya………...……...………...…….87


(16)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 : Aloksi Dana Keistimewaan tahun 2015……...……….….……….8 Gambar 1.2 : Perolehan Dana Keistimewaan Tiap Kabupaten……….…….………13 Gambar 1.3 : Kerangka Pemikiran...35 Gambar 3.1 : Penampilan Tari Angguk………..……….75


(17)

(18)

(19)

1 ABSTRAK

Dana Keistimmewaan yang diperoleh Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana diberikan pemerintah pusat sebagai konsekuensi atas disahkannya Undang-Undang No 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Aloksi Dana Keistimewaan pada tahun 2014 dan 2015 paling banyak dimanfaatkan untuk urusan kebudayaan. Kabupaten Kulon Progo adalah kabupaten yang paling banyak mendapat alokasi Dana Keistimewaan urusan kebudayaan pada dua tahun tersebut. Kabupaten Kulon Progo memiliki kesenian iconic yaitu Tari Angguk yang bahkan sudah diakui kementrian sebagai bentuk kebudayaan tak benda dari Kulon Progo.

Pada penelitian kali ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara ke berbagai narasumber terkait dan studi dokumentasi. Narasumber pada penelitian ini adalah Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kulon Progo dan perwakilan dari masyarakat pegiat kesenian tari angguk. Wawancara tersebut dilakukan guna mencari tahu tingkat keefektivitasan Dana Keistimewaan urusan kebudayaan terhadap kesenian tari angguk.

Guna mengetahui keefektivitasan dari Dana Keistimewaan urusan kebudayaan terhadap kesenian tari angguk peneliti menggunakan teori dari JJ. Champbell yaitu mengukur tingkat keefektivitasan menggunakan 5 indikator : 1. Keberhasilan program, 2. Keberhasilan sasaran, 3. Tingkat kepuasan, 4. Tngkat input dan output, 5. Capaian program keseluruhan. Dari penelitian dapat diungkapkan bahwa dana keistimewaan berhasil untuk menjalankan program yaitu desa budaya dan lomba senam angguk. Dana keistimewaan juga efektiv guna mencapai keberhasilan sasaran yaitu melestarikan kebudayaan tari angguk dan mempromosikan kesenian tari angguk sampai tingkat nasional melalui program yang telah berhasil dilaksanakan. Kepuasan pada pogram juga menunjukkan tingkat keefektivitasan dana keistimewaan, pemerintah puas karena apa yang telah menjadi sasaran dari program telah tercapai dan untuk masyarakat pegiat kesenian angguk juga puas karena sejak adanya dana keistiimewaan mereka jadi lebih sering pentas. Input dari dana keistimewaan adalah asupan dana bagi Disbudpora untuk menjalankan programnya sedangkan outputnya program tersebut telah mencapai sasaran yang diingingkan dan masyarakat pegiat seni angguk telah merasakan perubahan yang lebih baik. Capaian dari program keseluruhan menunjukkan Dana Keistimewaan telah sukses membawa prubahan yang lebih baik untuk melestarikan tari angguk dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pegiatnya. Meskipun sudah efektiv namun penggunaan Dana Keistimewaan masih kurang optimal terhadap kesenian tari angguk karena lebih besar untuk pembangunan fisik.

Kesimpulannya adalah Dana Keistimewaan tahun 2014 dan 2015 telah efektiv digunakan Disbudparpora Kulon Progo untuk melestarikan dan mempromosikan kesenian tari angguk. Saran terhadap pemanfaatan selanjutnya adalah porsi untuk kebudayaan tak benda lebih ditingkatkan agar seimbang dengan dana yang diperuntukkan pembangunan fisik dan Disbudpora lebih mendengarkan aspirasi dari masyarakat pegiat kesenian angguk agar program kedepan lebih baik.


(20)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Yogyakarta adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki hak keistimewaaan. Hak keistimewaan tersebut diperoleh berdasarkan historis Yogyakarta sehingga masuk dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yogyakarta dulunya adalah wilayah kerajaan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang bergabung dan masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pada 17 Agustus 1945 Yogyakarta memberi sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi dan menjaga keutuhan NKRI (UU No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta). Daerah Istimewa Yogyakarta telah mendapat pengakuan sejak masa penjajahan dari dunia internasional, baik pada masa kependudukan Belanda hingga kependudukan Jepang. Bahkan Daerah Istimewa Yogyakarta bisa saja menjadi sebuah negara merdeka setelah Jepang meninggalkan Indonesia karena Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat itu telah mempunyai sistem pemerintahan, wilayah dan juga penduduk sendiri (Endriatmo, 2009 : 86).

Volksgemeenchappen dan inlandsche gemeente adalah daerah otonom yang dibiarkan mengatur dan mengurus urusan-urusan rumah tangganya sendiri (Huda, 2013 : 11). Hak mengenai keisimewaan pada zaman Belanda dikenal degan istilah

Zelfbesturende Landschappen (Huda, 2013 : 136). Sedangkan Jepang menyebutnya dengan Koti/Kooti (Endriatmo, 2009 : 107). Sebagai imbalannya maka Provinsi


(21)

Yogyakarta diberi hak keistimewaan dan diberi gelar Daerah Istimewa Yogyakarta. Mengenai pengajuan status keistimewaan Yogyakarta, pemerintah pusat merespon dengan membuat rancangan maklumat No. 18 tahun 1946 yang menjadikan Yogyakarta sebagai Daerah Yogyakarta tanpa embel-embel istimewa (Endriatmo, 2009 : 45). Dinamika hubungan antara daerah Yogyakarta dan Negara RI pasca proklamasi kemerdekaan lah yang kemudian memberikan ruang bagi hadirnya status keistimewaan pada daerah Yogyakarta (Rozaki, dkk, 2003 : 18).

Daerah Istimewa Yogyakarta terbentuk dari hasil perjanjian Giyanti pada 1755. Perjanjan itu merupakan konsesi damai menyusul pecahnya perang suksesi Jawa yang berlangsung sejak lima belas tahun silam. Dalam history of Java, pada tahun 1755 Masehi, mangkubumi dengan khidmad diproklamirkan oleh Gubernur Belanda (Endriatmo, 2009 : 33). Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai suatu pemerintahan yang berasal dari pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Praja Paku Alaman sebagai suatu entitas filosofis yang dibentuk dan didirikan oleh Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senopati Ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping I Ing Ngayogyakarta Hadiningrat yang Pertama, Al Awwal (Huda, 2013 : 133). Dengan memperhatikan Amanat 30 Oktober 1945, dapat dilihat bahwa (Rozaki, dkk 2003 : 25) :

1) Di Yogyakarta terdapat satu daerah istimewa dengan nama Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia.

2) Terdapat dua kepala daerah, yaitu Sultan HB IX dan Paku Alam VIII yang kedua-duanya memiliki status yang sama sebagai Kepala


(22)

Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan demikian, posisi keduanya sederajat dan tidak hierarkis. Dalam konteks ini maka tidak ditemukan aturan yang menyatakan bahwa yang satu sebagai kepala daerah dan yang lain sebagai wakil kepala daerah.

Darah Istimewa Yogyakarta selalu dipimpin oleh seorang raja degan gelar Sultan yang sekaligus menjabat sebagai gubernur. Gelar SULTAN tersebut sangat erat dengan sejarah terciptanya keistimewaan bagi Yogyakarta. Setiap raja yang bertahta selalu bergelar SULTAN, diambil dari bahasa Arab yang dahulu dikenal sebagai Negara Ngerum, SULTHON. Gelar Sultan memberi makna bahwa raja Ngayogyakarta Hadiningrat bukan hanya menekankan aspek ke-Tuhanan saja tetapi menekankan pula aspek keduniaan degan menyeimbangkan aspek

Habluminallah dengan Habluminannas (Huda, 2013 : 133-134). Aspek tersebut yang membuat warga Daerah Istimewa Yogyakarta ingin mempertahankan gelar keistimewaan, salah satuya dengan dipimpin langsung oleh Sultan-nya. Pembangunan yang terjadi di Indonesia hakekatnya adalah ingin membangun manusianya. Dalam membangun manusia tersebut tidak lepas dari unsur agama dan budaya (nasional.kompas.com pada 20 Januari 2016).

Konsep budaya Ngayogyakarta Hadiningrat tidak bisa dipisahkan dari aspek religi-spiritualitas dan fasik-lahiriah yang dapat diidentikkan dengan konsep madani atau civil society. Konsep budaya Ngayogyakarta Hadinigrat senantiasa menekankan kehidupan yang guyup, rukun dan harmois serta meghormati hak-hak, perbedaan dan keyakinan orang lain (pluralisme) sebagaimana kehidupan masyarakat jawa pada umumnya (Huda, 2013 : 135). Hal ini yang membuat


(23)

Yogyakarta medapat pengakuan keistimewaannya bukan hanya dari segi historis namun juga dari segi kebudayaan.

Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui keistimewaan DIY sejak munculnya pengaturan tentang Daerah Istimewa yang muncul sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. Secara de facto, Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya sudah lahir sejak dalam kancah revolusi melalui proses antara tanggal 5 September 1945 sampai 18 Mei 1946. Tetapi secara de jure, Daerah Istimewa Yogyakarta baru terjadi pada saat dikeluarkannya UU No. 3 Tahun 1950 yang ditetapkan pada tanggal 3 Maret 1950 yang mengukuhkan dan menegaskan nama dan wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta setingkat dengan Propinsi (Huda, 2013 : 148-149). Meskipun sebenarnya pada tahun 1948 DIY telah diakui dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1948 pasal 23 dan 24. UU No 3 Tahun 1950 kemudian diubah dan ditambah sehingga menjadi UU No. 19 Tahun 1950 yang kemudian diubah kembali dengan UU No. 9 Tahun 1955.

Selanjutnya pada UU No 1 tahun 1957 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah, disebutkan bahwa syarat untuk menjadi sebuah Daerah Istimewa adalah daerah yang berkedudukan sebagai daerah swapraja dan dengan mengingat pentingnya posisi daerah tersebut dalam kepentingan nasional dan perkembangan masyarakat. UU ini mengaatur daerah istimewa lebih rinci daripada UU No 22 Tahun 1948 karena menegaskan daerah berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Namun setelah digantikan dengan UU No 5 Tahun 1974 kewenangan tersebut mulai pudar karena pada masa Orde Baru desentralisasi


(24)

dibatasi dan cenderung sentralistik. Keberadaan daerah istimewa semakin miris dengan dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 yang dimana semua daerah diberlakukan sama. Baru pada tahun 2004 keberadaan daerah istimewa mulai dimunculkan kembali dengan diberlakukannya UU No 32 Tahun 2004 sebagai pengganti atas UU No 22 Tahun 1999. Namun hanya tinggal daerah istimewa Aceh dan Yogyakarta yang masih dipertahankan.

Mulai tahun 2007 Daerah Istimewa Yogyakarta mengajukan RUU untuk mengatur sekaligus melindungi hak keistimewaannya. Baru pada tahun 2012 RUU tersebut disahkan menjadi UU No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal terpenting dalam UU No 13 Tahun 2012 ada 5 hal pokok meliputi :

a. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur,

b. Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY,

c. Kebudayaan,

d. Pertanahan,

e. Tata ruang.

Kebudayaan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) : Kewenangan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang


(25)

mengakar dalam masyarakat DIY. Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan kebudayaan diatur dalam perdais.

Hal yang paling menonjol dari Yogyakarta sehingga disahkannya UU Keistimewaan adalah dari sektor budaya yang tidak terlepas dari histori Kerajaan Mataram Islam. Daerah Istimewa Yogyakarta menyimpan banyak potensi kebudayaan. Namun seiring berjalannya waktu kebudayaan tersebut mulai lekang tergerus jaman. Dengan adanya Dana Keistimewaan untuk sektor kebudayaan

diharapkan dapat melestarikan kebudayaan sehingga image “Jogja Kota Budaya”

tidak hilang dan hanya menjadi kenangan.

Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Danais adalah dana yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang dialokasikan untuk mendanai Kewenangan Istimewa dan merupakan Belanja Transfer pada bagian Transfer Lainnya. Danais merupakan bentuk pengakuan Negara atas desentralisasi asimetris yang dimiliki Yogyakarta karena keistimewaannya.

Pencairan Dana Keistimewaan di DIY berbeda dengan daerah lainnya seperti Aceh dan Papua. Di Yogyakarta Dana Keistimewaan dapat dicairkan jika sudah ada program dan kemudian diserahkan kepada Sulthan selaku Gubernur DIY agar jelas keperuntukannya. Gubernur DIY mengajukan usulan rencana kebutuhan Danais kepada Menteri Dalam Negeri dan menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait dengan tembusan kepada Menteri dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


(26)

(jdih.kemenkeu.go.id, 2013). Rencana kebutuhan Danais mengacu pada Perdais, RKPD, dan RPJMD.

Namun, pada kenyataannya Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta mengajukan anggaran Danais tanpa membuat rencana program terlebih dahulu sehingga banyak program yang terkesan dipaksakan dan disambungkan dengan Danais. Terbatasnya waktu penyerapan Danais menjadi alasan sehingga menyebabkan sejumlah program dipaksakan agar bisa menghabiskan dana ratusan miliar rupiah. Misalnya, sosialisasi penyakit malaria di Kulon Progo berbasis kebudayaan lewat pagelaran wayang kulit (dikutip dari Maharani dalam tempo.co 11 Desember 2013).

Urusan kebudayaan adalah sektor yang paling menarik untuk diamati karena sektor tersebut mendapat alokasi Danais pada tahun 2014 dan 2015 yang paling banyak. Dari total perolehan Danais tahun 2014 yakni 523 M urusan kebudayaan memdapat porsi 375,1 M (dikutip dari Anugraheni dalam tribunjogja.com pada 16 Januari 2014). Sedangkan tahun 2015 sebesar Rp 547,5 M, alokasi untuk urusan kebudayaan sebesar Rp 420,8 M, urusan tata ruang Rp 114,4 M, urusan pertanahan Rp 10,6 M, dan urusan kelembagaan Pemda DIY Rp 1,7 M (dikutip dari Hasanudin dalam harianjogja.com 10 Maret 2015).


(27)

Gambar 1.1

Alokasi dana keistimewaan tahun 2015

Namun, urusan kebudayaan juga sektor yang penyerapannya kurang optimal. Alasan kurang optimalnya penyerapan Dana Keistimewaan tersebut karena regulasi dari pemerintah pusat. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta masih dipersulit pemerintah pusat dalam mendapatkan dana keistimewaan yang menjadi haknya. Turunnya pun selalu telat, hingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Setelah turun, dana bukan hanya tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, tapi juga tidak dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung (dikutip dari Anggriawan dalam news.okezone.com pada 6 Februari 2015). Dana Keistimewaan DI Yogyakarta tahun 2015 yang dialokasikan sebesar Rp 547 miliar belum mulai dicairkan hingga pekan keempat Februari (dikutip dari Dardias dalam harian-kompas.com pada 25 Februari 2015). Sejumlah dinas pemerintah Yogyakarta mengakui mepetnya tahun anggaran membuat penggunaan dana keistimewaan yang merupakan hibah dari Pemerintah DIY tak dimanfaatkan secara

kebudayaan tata ruang pertanahan kelembagaan


(28)

maksimal (dikutip dari Wicaksono dalam nasional.tempo.co pada 13 Desember 2013).

Turunnya Danais justru menimbulkan masalah baru, terutama pada urusan Kebudayaan. Kelompok yang menamakan dirinya Masyarakat Seni dan Budaya Yogyakarta menolak draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY yang tengah disusun Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyusunan draft Cetak Biru Pembangunan Kebudayaan DIY itu dilakukan secara terburu-buru dan tidak melibatkan para pemangku kepentingan kebudayaan di DIY (dikutip dari Fadjri dalam nasional.tempo.co pada 31Januari 2015). Even akbar yang bertajuk Festival Lima Kampung adalah salah satu contoh bentuk kritik terhadap sasaran Dana Keistimewaan yang belum sampai menyentuh level paling bawah. Tujuan diselenggarakannya Festival Lima Kampung ini adalah untuk, mencari, merevitalisasi dan meneguhkan kembali karakter kampung yang nilainya mulai luntur dalam tatanan masyarakat, sehingga entitas dan identitas kampung dapat terangkat kembali. Festival ini diikuti lima kampung yang berasal dari empat kabupaten/kota di DIY yaitu Kampung Duri, Desa Tirtomartani, Kalasan, kemudian Kampung Sanggrahan Banjaroya, Kalibawang, serta Kampung Jelok, Beji, Pathuk, Gunungkidul. Berikutnya Kampung Gilang, Gilangharjo, Pandak, Bantul dan terakhir Kampung Sorosutan, Umbulharjo (dikutip dari Ferri dalam tribunjogja.com pada 2 November 2015).

Selain itu, nasib para seniman pun belum tersejahterakan dengan adanya Dana Keistimewaan. Bahkan mereka harus menanggung hutang setiap kali


(29)

menyelenggarakan even. Sejumlah seniman di Yogyakarta kini harus berutang ratusan juta lantaran dana kegiatan seni dan budaya yang dijanjikan pemerintah belum cair seluruhnya. Padahal acara dan pementasan sudah rampung. Misalnya, Paguyuban Teater Yogyakarta. Dari dana sebesar Rp 750 juta, pemerintah baru mencairkan Rp 100 juta. Akibatnya, paguyuban harus menanggung utang untuk membayar honor pemain dan sewa perlengkapan pementasan hingga Rp 650 juta. Nasib serupa juga dialami oleh panitia Festival Kesenian Yogyakarta. Mereka harus menanggung utang untuk pembayaran sewa perlengkapan acara hingga Rp 230 juta. Dua kegiatan itu bernaung di bawah Dinas Kebudayaan. Uniknya, kegiatan kebudayaan yang bernaung di bawah Dinas Pariwisata yang relatif lancar pembayarannya (dikutip dari Zakaria dalam m.tempo.co pada 17 November 2014).

Upaya untuk meneguhkan dan memperkuat posisi kebudayaan lokal, dalam bahasa melestarikan kebudyaan lokal sebagai kekayaan bangsa patut dihargai dan didukung. Namun kini ditengah arus kebudayaan yang demikian cepat dan sangat deras menggempur hampir semua refensi-refrensi nilai-nilai kebudayaan, melihat otoritas tradisional sebagai pusat yang paling dapat mengendalikannya adalah sesuatu yang agak terlalu percaya diri (Endriatmo, 2009 : 248). Dengan adanya Dana Keistimewaan diharapkan Daerah Istimewa Yogyakarta dapat membangkitkan kembali nilai-nilai budaya lokal yang sudah hampir tergerus zaman. Nasib pegiat seni semakin lambat laun semakin terabaikan dengan minimnya animo masyarakat untuk menanggap kesenian lokal dan cenderung mengikuti trand lebih memilih budaya luar. Butuh peran secara langsung dari


(30)

pemerintah guna menyelamatkan keistimewaan Yogyarta khususnya di bidang seni budaya.

Daerah Istimewa Yogyakarta meliliki empat kabuaten dan satu kota madya. Salah satu dari empat kabupaten tersebut adalah Kulon Progo. Kulon Progo adalah kabupaten di barat Yogyakarta. Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates memiliki luas wilayah 58.627,512 ha (586,28 km2), terdiri dari 12 kecamatan 87 desa, 1 kelurahan dan 917 dukuh. Dengan jumlah penduduk pada sensus tahun 2010 sejumlah 388.869 jiwa (kulonprogokab.go.id).

Kabupaten Kulon Progo terbentuk pada tanggal 15 Oktober 1951. Sebelumnya wilayah Kulon Progo terdiri atas dua kabupaten yaitu Kulon Progo yang merupakan wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Adikarta yang merupakan wilayah dari Kadipaten Pakualaman. Sebelum Perang Diponegoro di daerah Negaragung, termasuk di dalamnya wilayah Kulon Progo, belum ada pejabat pemerintahan yang menjabat di daerah sebagai penguasa. Pada waktu itu roda pemerintahan dijalankan oleh pepatih dalem yang berkedudukan di Ngayogyakarta Hadiningrat (kulonprogokab.go.id).

Di daerah selatan Kulon Progo ada suatu wilayah yang masuk Keprajan Kejawen yang bernama Karang Kemuning yang selanjutnya dikenal dengan nama Kabupaten Adikarta. Menurut buku 'Vorstenlanden' disebutkan bahwa pada tahun 1813 Pangeran Notokusumo diangkat menjadi KGPA Ario Paku Alam I dan mendapat palungguh di sebelah barat Sungai Progo sepanjang pantai selatan yang dikenal dengan nama Pasir Urut Sewu. Oleh karena tanah pelungguh itu letaknya


(31)

berpencaran, maka sentono ndalem Paku Alam yang bernama Kyai Kawirejo I menasehatkan agar tanah pelungguh tersebut disatukan letaknya. Dengan satukannya pelungguh tersebut, maka menjadi satu daerah kesatuan yang setingkat kabupaten. Daerah ini kemudian diberi nama Kabupaten Karang Kemuning dengan ibu kota Brosot (kulonprogokab.go.id).

Pada 5 September 1945 Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah beliau yaitu Kasultanan dan Pakualaman adalah daerah yang bersifat kerajaan dan daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia. Pada tahun 1951, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII memikirkan perlunya penggabungan antara wilayah Kasultanan yaitu Kabupaten Kulon Progo dengan wilayah Pakualaman yaitu Kabupaten Adikarto. Atas dasar kesepakatan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Pakualam VIII, maka oleh pemerintah pusat dikeluarkan UU No. 18 tahun 1951 yang ditetapkan tanggal 12 Oktober 1951 dan diundangkan tanggal 15 Oktober 1951. Undang-undang ini mengatur tentang perubahan UU No. 15 tahun 1950 untuk penggabungan Daerah Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Adikarto dalam lingkungan DIY menjadi satu kabupaten dengan nama Kulon Progo yang selanjutnya berhak mengatur dan mengurus rumah-tanganya sendiri. Undang-undang tersebut mulai berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1951. Secara yuridis formal Hari Jadi Kabupaten Kulon Progo adalah 15 Oktober 1951, yaitu saat diundangkannya UU No. 18 tahun 1951 oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 29 Desember 1951 proses administrasi penggabungan telah selesai dan pada tanggal 1 Januari 1952, administrasi


(32)

pemerintahan baru, mulai dilaksanakan dengan pusat pemerintahan di Wates (kulonprogokab.go.id).

Kabupaten Kulon Progo termasuk Kabupaten dengan jumlah kemiskinan terbanyak di Yogyakarta bedampingan dengan Kabupaten Gunungkidul. Indeks Kemiskinan Masyarakat (IKM) tahun 2005 menyebutkan angka 25,11 persen untuk kabupaten Kulon Progo (Endriatmo, 2009 : 239). Selain memiliki prosentase IKM yang tinggi, Kulon Progo juga merupakan daerah dengan Pendpatan Asli Daerah (PAD) yang terendah yaitu rata-rata 20 M tiap tahunnya (Endriatmo, 2009 : 241). Namun untuk pendistribusian Dana Keistimewaan urusan Kebudayaan tahun 2014 dan 2015, Kabupaten Kulon Progo mendapat porsi tertinggi yaitu tahun 2014 sebesar 29 M dan 2015 sebesar Rp 33 M, sedangkan Kota Yogyakarta Rp 25 M, Kabupten Gunungkidul Rp 18 M, Kabupaten Sleman Rp 12 M dan Kabupaten Bantul Rp 18 M (dikutip dari Mukhijab dalam pikiran-rakyat.com pada 11 Januari 2015).

Gambar 1.2

Perolehan Dana Keistimewaan Urusan Kebudayaan Tiap Kabupaten

Kulon Progo Kodya Yogya Bantul Sleman Gunungkidul


(33)

Tari angguk adalah tarian tradisional “icon” dari Kabupaten Kulon Progo.

Tarian angguk muncul sejak jaman Belanda berkuasa. Tarian ini diciptakan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan setelah panen padi. Tari angguk menggunakan busana yang mirip dengan busana serdadu Belanda pada jaman penjajahan. Tari angguk terdiri dari dua macam tarian, yaitu : (1) Tari Ambyakan, tarian ini dimainkan oleh banyak penari dan terdiri dari tari bakti, tari srokal, dan tari penutup. (2) Tari Pasangan, tarian ini dimainkan secara berpasangan dan terdiri dari delapan macam yaitu : tari mandaroka, tari kamudaan, tari cikalo ado, tari layung-layung, tari intik-intik, tari saya-cari, tari jalan-jalan, dan tari tari robisari (www.negerikuindonesia.com). Tarian ini mengambil cerita dari Serat Ambiyo dengan kisah Umarmoyo-Umarmadi dan Wong Agung Jayengrono. Berdurasi 3 sampai 7 jam (kulonprogokab.go.id).

Kabupaten Kulon Progo terdapat banyak kelompok tari angguk. Namun hanya ada beberapa yang terkenal. Ini adalah tugas untuk pemerintah kabupaten Kulon Progo agar semakin banyak kelompok tari angguk yang dikenal oleh publik sehingga menambah minat pariwisata di kabupaten Kulon Progo. Selain untuk menambah minat pariwisata yang diharapkan juga dapat menambah PAD (Pendapatan Asli Daerah) untuk daerah tersebut dan juga kesejahteraan bagi pegiat seni tari angguk.

Dengan melihat data diatas diharapkan terjadi perubahan terutama pada keberlangsungan budaya seni tari angguk di Kabupaten Kulon Progo dan kesejahteraan pegiat seni didalamnya. Perubahan tersebut tidak akan terjadi bila pemerintah Kabupaten Kulon Progo campur tangan dengan membuat kebijakan


(34)

yang pro dengan kesejahteraan khususnya pegiat kesenian tari angguk. Pada era desentralisasi ini sudah seharusnya pemerintah Kulon Progo berhak menentukan kebijakannya, termasuk kebijakan fiskal daerahnya. Lembaga lokal sudah seharunya dapat menikmati otonomi politis maupun keuangan. Keberadaan pemerintahan yang terdesentralisasi seharusnya mampu untuk memunculkan sumberdaya mereka sendiri dan melaksanakan aktivitas yang berhubungan dengan pembangunan sendiri (Aziz, 2003 : 5-6). Adanya Dana Keistimewaan tersebut semestinya digunakan dengan tepat agar kesenian dan kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo semakin maju dan masyarakat pegiat seni dan budaya juga semakin sejahtera. Majunya seni dan kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo diharapkan semakin memajukan sector industri pariwisata sehingga memberikan subangsih yang cukup besar pada PAD di Kulon Progo dan dapat menurunkan tingkat kemiskinan. Sudah sepantasnya jika keistimewaan Yogyakarta dapat dinikmati dan mensejahterakan warga Yogyakarta.

Penggunaan Dana Keistimewaan yang tepat secara efektif dan efisien diharapkan dapat menjadi solusi mengenai permasalahan budaya yang semakin pudar ini. Sudah seharusnya keistimewaan ini dapat dinikmati oleh warga Yogyakarta. Cita – cita keistimewaan Yogyakarta tentunya tidak ditujukan untuk meromantisir masa lalu. Karena konstuksi keistimewaan akan benar-benar dapat dirasakan masyarakat sebagai penerima dan tujuan keistimewaan, jika sesuai

dengan prinsip “Tahta Untuk Rakyat” maka “Keistimewaan Juga Harus Untuk Rakyat” (Endriatmo, 2009 : 249).


(35)

Disahkannya UU Keistimewaan tersebut juga diiringi desentralisasi fiskal berupa Dana Keistimewaan guna menyokong 5 hal pokok keistimewaan. Desetralisasi fiskal mencakup pemberian wewenang lebih besar sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah (Sjafrizal, 2014 : 109). Maka, berdasarkan uraian diatas penulis sangat tertarik untuk mengulas lebih dalam tetang penggunaan Dana Keistimewaan terutama pada urusan kebudayaan sehingga terdorong untuk menulis “Efektivitas Pemanfaatan Dana Keistimewaan Dalam Urusan Kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2014-2015 (Studi Kasus Kelompok Kesenian Tari Angguk)”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana efektivitas Dana Keistimewaan urusan kebudayaan terhadap kelompok tari angguk di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2014-2015?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui seperti apakah keefektivitasan peranan dan penggunaan Dana Keistimewaan urusan kebudayaan terhadap kelompok tari angguk di Kabupaten Kulon Progo pada tahun 2014-2015.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, untuk memperkarya kajian ilmu pengetahuan khususnya pada bidang Ilmu Pemerintahan yang terkait dengan efektivitas penggunaan Dana Keistimewaan khususnya di bidang kebudayaan seni tari angguk.


(36)

2. Secara Praktis, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan maupun masukan bagi pemerintah daerah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan dalam upaya menjaga keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan khususnya pemerintah kabupaten Kulon Progo dalam penggunaan Dana Keistimewaan urusan kebudayaan kedepannya.

E. Studi Terdahulu

Pada penelitian ini penulis mengacu pada studi atau penelitian yang pernah ditulis penulis lain sebelumnya. Terdapat penelitian serupa terdahulu yang membahas tentang Evaluasi Dana Keistimewaan. Pertama penulis mengacu pada Tesis yang pernah ditulis oleh Sakir (2014), program studi magister ilmu

pemerintahan, program pascasarjana UMY. Tesis tersebut berjudul “Analisis

Kebijakan Anggaran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun

2014”. Hasil tesis Sakir 2014 mengungkapkan bahwa Urusan Tata Cara Pengisian Jabatan, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; dan Urusan Kelembagaan implementasinya sudah maksimal. Apabila dilihat dari segi jumlah anggaran dan program/kegiatan kedua urusan keistimewaan tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan urusan kewenangan keistimewaan yang lain. Sementara Urusan Kebudayaan, Urusan Pertanahan, dan Urusan Tata Ruang dalam implementasinya kurang maksimal. Realisasi serapan anggaran dan realisasi capaian fisik tidak maksimal. Oleh karena itu, secara keseluruhan implementasi kebijakan anggaran dana keistimewaan Yogyakarta kurang.

Pada penelitian lain yang dilakukan M. Khotman Annafie, Magister Ilmu


(37)

Otonomi Khusus (Otsus) Dalam Mempertahankan Nilai-Nilai Kebudayaan Di

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa

pilar regulatif dalam penelitian ini diukur dengan indikator adanya aturan atau Perda yang berkaitan dengan nilai kebudayaan, sanksi dan monitoring. Regulatif sebagai faktor pendukung pelaksanaan nilai-nilai budaya mampu mendorong semua elemen dalam lembaga dan juga kelompok masyarakat agar mengaplikasikan nilai-nilai kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari. Evaluasi dalam kelembagaan Otsus bidang Kebudayaan telah dilakukan dengan mengeluarkan Perda tentang pelestarian Budaya di DIY. Guna melaksanakan kebijakan maka lembaga Otsus bidang Kebudayaan memiliki tanggungjawab yang telah dibebankan kepadanya seperti 1) Perumusan kebijakan teknis urusan kebudayaan; 2) pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya penanda keistimewaan Yogyakarta; 3) pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan sistem budaya sesuai filsafat Kasultanan dan Kadipaten maupun di luar Kasultanan dan Kadipaten; 4) pelindungan, pemeliharaan, pengembangan dan pemanfaatan sistem sosial yang hidup di masyarakat DIY. Sementra itu pilar cultural dapat dilihat dari budaya lokal, kategori, tipikasi dan skema lembaga. Budaya lokal yang diadopsi dalam pemerintahan di DIY adalah budaya hamemayu hayuning bawana.

Penelitian yang dilakukan Darmastuti Arum Sekarini (2016), jurusan administrasi negara UGM dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Kinerja Dinas Pariwisata dan Kebudyaan Kota Yogyakarta dalam Pengelolaan Dana


(38)

1) produktifitas 2) responsivitas 3) responsibilitas

Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa produktivitas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Yogyakarta masih sangat rendah, selain itu juga tingkat Responsivitas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Yogyakarta menjadi rendah karena kehati-hatian dalam pengelolaan Dana Keistimewaan. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan cenderung lebih responsible karena masih sangat berhati-hati dalam penggunaan Dana Keistimewaan.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan Beda Aruna Pradana (2015), jurusan Akuntani UGM dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Sistem Pengendalian

Dana Keistimewaan Bidang Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian

ini dilakukan berdasarkan periode dari 2013 hingga 2015. Berdasarkan penelitiannya tersebut diperoleh 8 point yaitu : 1. Tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaran pada prosedur pengelolaan yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan DIY . 2. Dinas Kebudayaan DIY melakukan manajemen lebih pada realisasi kegiatan atau program, sebagai akibat perbedaan harga barang dan jasa antara harga pasar dan standar pemerintah. 3. Belum ada realisasi atas evaluasi pengelolaan dana keistimewaan bidang kebudayaan dalam menekan dan mengendalikan 28 KPA di DIY. Sehingga pengelolaan masih dalam bentuk yang lama. 4. Kapabilitas sumber daya manusia Dinas Kebudayaan DIY belum memenuhi Efektivitas dan efisiensi pengelolaan dana keistimewaan bidang kebudayaan. Hal tersebut terjadi akibat kompetensi pendidikan sumber daya manusia Dinas Kebudayaan yang kurang


(39)

sesuai dengan tugasnya 5. Dinas Kebudayaan DIY belum mampu mencapai target pemenuhan kegiatan dan program kebudayaan. Capaian 57% dirasa belum dinilai baik. Hasil tersebut mempertanyakan antara porsi anggaran yang besar dengan capaian yang kurang memuaskan 6. Monitoring dan evaluasi pengelolaan dana keistimewaan bidang kebudayaan oleh Dinas Kebudayaan DIY sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan. Namun hasil evaluasi belum terjelaskan dan direalisasikan 7. Ketersediaan informasi pengelolaan dana keistimewaan bidang kebudayaan tidak sepenuhnya terpublikasi melalui website yang mudah diakses oleh masyarakat. Sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif tentang transparansi dana keistimewaan bidang kebudayaan 8. Informasi mengenai standar dan kinerja Dinas Kebudayaan DIY terhadap pengelolaan dana keistimewaan bidang kebudayaan belum sepenuhnya terpublikasikan. Hanya terdapat beberapa informasi mengenai kinerja, sehingga dapat menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat.

Kemudian penelitian yang dilakukan Sartika Intaning Pra (2016), S2 Ilmu

Hukum UGM. Dalam tesisnya yang bejudul “Pengaturan dan Pengelolaan Keuangan Urusan Kebudayaan Sebagai Urusan Pemerintahan Konkuren dan

Urusan Keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam penelitiannya

penulis menyimpulkan bahwa dana keistimewaan sulit untuk disalurkan karena Pemerintahan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta masih mengalami kesulitan untuk menentukan manakah urusan kebudayaan yang merupakan urusan keistimewaan. Kemudian dalam proses penyaluran dana keistimewaan, tahap I paling cepat baru bisa disalurkan pada bulan Maret, sehingga praktis Dinas Kebudayaan tidak mempunyai agenda kegiatan/program kebudayaan pada bulan


(40)

Januari-Februari. Pada dua bulan tersebut, kegiatan Dinas Kebudayaan adalah membuat laporan, sedangkan kementerian melakukan verifikasi. Hal tersebut membuat waktu menyerap dana keistimewaan dalam 1 (satu) tahun anggaran hanya selama 10 (sepuluh) bulan.

Tabel 1.1

Hasil Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Hasil Penelitian

1 Sakir (2014) Analisis Kebijakan Anggaran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014

Realisasi serapan anggaran dan realisasi capaian fisik tidak maksimal. Secara keseluruhan implementasi kebijakan anggaran dana keistimewaan Yogyakarta kurang.

2 M. Khotman Annafie (2016)

Kelembagaan Otonomi Khusus (Otsus) Dalam Mempertahankan Nilai-Nilai

Kebudayaan Di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta

Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa pilar regulatif dalam penelitian ini diukur dengan indikator adanya aturan atau Perda yang berkaitan dengan nilai kebudayaan, sanksi dan monitoring.

3 Darmastuti Arum Sekarini (2016)

Analisis Kinerja Dinas Pariwisata dan Kebudyaan Kota Yogyakarta dalam Pengelolaan Dana

Keistimewaan Tahun 2014

Produktivitas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Yogyakarta masih sangat rendah, selain itu juga tingkat Responsivitas Dinas Pariwisata dan Kebudayaan kota Yogyakarta menjadi rendah karena kehati-hatian dalam pengelolaan Dana Keistimewaan. 4 Beda Aruna

Pradana (2015)

Analisis Sistem Pengendalian Dana Keistimewaan Bidang

Kebudayaan DIY

Megukur kinerja Dinas Kebudayaan dengan 8 point penilaiam.

5 Sartika Intaning Pra (2016)

Pengaturan dan Pengelolaan

Keuangan Urusan Kebudayaan

Sebagai Urusan Pemerintahan

Dana keistimewaan sulit untuk disalurkan karena Pemerintahan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta masih mengalami kesulitan untuk menentukan


(41)

Konkuren dan Urusan

Keistimewaan di DIY

manakah urusan kebudayaan yang merupakan urusan keistimewaan.

Penelitian yang ditulis Sakir pada penelitiannya meneliti Dana Keistimewaan dari keseluruhan urusan yang dinanai dana keistiewaan. Penelitiannya lebih mengarah pada implementasi kebijakannya. Penelitian M. Khotman Anafie meneliti lembaga dan regulasinya untuk mengukur indikator dalam mempertahankan nilai-nilai kebudayaan. Penelitian Darmastuti memfokuskan pada produktifitas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kota Yogyakarta. Penelitian yang dilakukan Beda Aruna menganalisis Dinas Kebudayaan DIY dengan 8 indikator pengukuran. Penelitian Sartika Intaning meneliti kendala yang dialami sehingga Dana Keistimewaan sulit disalurkan. Sedangkan penelitian yang ditulis penulis pada skripsinya kali ini lebih memfokuskan keefektivitasan Dana Keistimewaan yang dikelola Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Kulon Progo untuk kesenian tari angguk. Penulis menggunakan metode Deskriptif Kualitatif dalam penelitiannya.

F. Kerangka Dasar Teori

Teori adalah sebuah dasar atau pedoman didalam melakukan penelitian. Teori menerangkan suatu fenomena yang menjadi fokus penelitian dan digunakan untuk menyusun konsep serta fakta dalam suatu pola yang logis untuk hasil penelitian. Teori merupakan seperangkat preposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis atau dengan lainnya dengan data dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai


(42)

wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati (Moleong, 2011 : 34).

Teori dasar terjadi pada waktu pembentukan suatu proses melalui suatu kegiatan analisis yang dinamis (Strauss, 1997 : 162). Dengan demikian maka teori adalah serangkaian konsep, definisi, dan preposisi yang saling berkaitan dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena pada umumnya. Penggunaan teori penting kiranya dalam menelaah suatu masalah atau fenomena yang terjadi sehingga fenomena tersebut dapat diterangkan secara eksplisit dan sistematis.

Teori yang grounded adalah teori yang diperoleh secara induktif dari penelitian tentang fenomena yang dijelaskannya. Karenanya, teori ini ditemukan, disusun, dan dibuktikan untuk sementara melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisis data yang berkenaan dengan fenomena itu. Dengan demikian, pengumpulan data, analisis, dan teori saling terkait dalam hubungan timbal balik (Strauss, 2003 : 10).

Jadi, berdasar pemahaman tersebut maka dalam Evaluasi Pemanfaatan Dana Keistimewaan Urusan Kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2014-2015 akan dipaparkan hal – hal sebagai berikut :

1. Efektivitas

Efektivitas biasanya digunakan untuk menunjukkan pada taraf hasil. Efektivitas biasanya dikaitkan bahkan disamakan dengan efisien, padahal keduanya memiliki pengetian yang berbeda.


(43)

Efektivitas lebih menekankan pada hasil yang dicapai sedangkan efisien lebih menekankan pada cara mencapai hasil dengan membandingkan antara input dan output. Kedua istilah tesebut sering digunakan dalam rangka untuk mencapai tujuan pada suatu organisasi.

Menurut Drucker dalam Mutiarin (2014 : 14), efektivitas berarti melakukan sesuatu yang benar, sedangkan efisiensi melakukan sesuatu dengan benar. Efektivitas berarti sejauh mana kita mencapai tujuan, sementara efisiensi berarti bagaimana kita mengelola sumber daya yang ada dengan cermat. Efektif lebih mengarah pada pencapaian sasaran, sementara efisien mengarah pada kemampuan menggunakan sumber daya yang ada secara baik atau tidak berlebihan untuk mencapai produktivitas yang tinggi.

Efektivitas dalam program pembangunan kesejahteraan masyarakat dapat dirumuskan sebagai tingkat perwujudan sasaran yang menunjukkan sejauh mana sasaran program yang telah ditetapkan. Efektivitas umumnya dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan operatif dan operasional (Mutiarin, 2014 : 15). Dalam mengukur dimensi efektivitas perlu dipertimbangkan kriteria-kriteria yang mendukung seperti waktu pelaksanaan, efisien, kepuasan, dan pengembangan. Pertimbangan ini didukung oleh pendapat Gibson (1966 : 50) bahwa kriteria efektivitas yaitu :


(44)

b. Mutu c. Efisiensi

d. Fleksibilitas dan kepuasan e. Pengembangan

f. Kriteria jangka menengah – persaingan

g. Kriteria jangka panjang – kelangsungan hidup.

Suhana dalam Mutiarin (2014 : 16) mendefinisikan efektivitas sebagai pengukuran terhadap ketercapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Penilaian efektivitas program perlu dilakukan untuk menemukan informasi tentang sejauhmana manfaat dan dampak yang ditimbulkan oleh program kepada penerima program.

Menurut Campbell J.P dalam Mutiarin (2014 : 96), pengukuran efektivitas secara umum dan paling menonjol adalah :

1) Keberhasilan program; 2) Keberhasilan sasaran; 3) Kepuasan terhadap program; 4) Tingkat input dan output; 5) Pencapaian tujuan menyeluruh.

Sehingga efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional dalam melaksanakan program – program kerja yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya,


(45)

secara komprehensif, efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat melaksanakan semua tugas-tugas pokoknya atau untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

Efktivitas dapat didefinisikan dengan empat hal yang menggambarkan tentang efektivitas (Mutiarin, 2014 : 97), yaitu :

1) Mengerjakan hal-hal yang benar, dimana sesuai dengan yang seharusnya diselesaikan sesuai dengan rencana dan aturannya.

2) Mencapai tingkat diatas pesaing, dimana mampu menjadi yang terbaik dengan lawan yang lain sebagai yang terbaik.

3) Membawa hasil, dimana apa yang telah dikerjakan mampu memberi hasil yang bermanfaat.

4) Menangani tantangan masa depan.

Efektivitas pada dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas merupakan salah satu dari dimensi produktivitas, yaitu pencapaian target yang berkaitan dengan kualitas, kuantitas, dan waktu.

2. Desentralisasi Asimetris

Menurut UU No 32 Tahun 2004 Desentralisi merupakan penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah


(46)

daerah otonom untuk mangatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI. Desentralisasi dipahami sebagai pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun residual yang menjadi kewenangan pemerinta daerah. Desentralisasi merupakan pembagian kekuasaan pemerintah dari pusat dengan kelompok lain yang masing – masing mempunyai wewenang ke dalam suatu daerah tertentu dari suatu negara (Sukriono, 2010 : 41).

Desentralisasi memunculkan adanya pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah (pemerintahan lokal), merupakan perbedaan terpenting konsep sentralisasi dan desentralisasi (Syamsuddin, 2005 : 40).

Desentralisasi pada dasarnya merupakan istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam desentralisasi terdapat desentralisasi simetris dan desentralisasi asimetris, yang dalam perkembangannya merupakan solusi untuk menghargai dan menghormati keragaman daerah. Dari sudut pandang ketatanegaraan yang dimaksud desentralisasi ialah penyerahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah – daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom). Desentralisasi


(47)

muncul karena adanya pengakuan dari penentu kebijaksanaan pemerintahan negara terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil – wakil rakyat di daerah – daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan (Ateng, 2006 : 54).

Muslimin dalam Hendratno (2009 : 64 – 54) mengemukakan 3 (tiga) macam desentralisasi, yaitu :

1) Desentralisasi politik, sebagai pengakuan adanya hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri pada badan-badan politik di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu;

2) Desentralisasi fungsional, sebagai pengakuan adanya hak pada golongan-golongan yang mengurus satu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik serikat atau tidak pada suatu daerah tertentu, umpamanya subak di Bali;

3) Desentralisasi kebudayaan, yang mengakui adanya hak pada golongan kecil, masyarakat untuk menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (antara lain pendidikan dan agama).

Desentralisasi fiskal didefinisikan sebagai penyerahan sebagian dari tanggung jawab fiskal atau keuangan Negara dari


(48)

pemerintah pusat kepada jenjang pemerintahan dibawahnya. Desentralisasi fiskal diharapkan dapat memberi manfaat seperti perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengentasan orang miskin, manajamen ekonomi makro yang lebih baik, serta sistem tata pemerintahan yang lebih baik. Ada banyak faktor yang akan mempengaruhi apakah desentralisasi dapat mengefisiensikan alokasi sumber daya, memperbaiki penyediaan biaya dan sistem pertanggungjawabannya, dan mengurangi korupsi dalam layanan publik (Kumorotomo, 2008 : 1-3).

Desentralisasi Asimetris merupakan suatu model penyelenggaraan pemerintahan lokal yang tercermin dari pengalaman beberapa negara, sebagai sebuah model pembelajaran. Desentralisasi asimetris memiliki tujuan politis yaitu stabilitas, integrasi dan legitimasi bagi suatu pemerintahan nasioal. Dengan desentralisasi asimetris daerah – daerah yang memiliki karakteristik khusus baik budaya, agama, suku, etnik, dan bahasa yang dapat menjadi pembentukan semangat sebagai bangsa. Desentralisasi asimetris juga dapat mengeliminir keinginan daerah yang ingin berpisah dari satu kesatuan (Ramses, 2010).

Secara umum pengadopsian model desentralisasi asimetris didasari kebutuhan akan kerangka administrasi yang handal dalam mengelola keragaman lokal. Menurut Tarlton dalam Huda (2014 : 59) pembeda inti antara desentralisasi biasa dan desentralisasi


(49)

asimetris terletak pada tingkat kesesuaian, dan keumuman pada hubugan suatu level pemerintahan daerah deangan sistim politik, dengan pemerintah pusat.

Tarlton memebagi konep desentralisasi asimetris menjadi dua jenis yaitu asimetri de jure dan simetri de facto yang ditandai dengan perbedaan pada tingkat otonomi. Istilah asimetri de jure

mengacu pada kondisi dimana terdapat penegasan praktik asimetris dalam konstitusi. Sedangkan de facto, mengacu pada perbedaan praktik nyata atau hubungan antar daerah yang muncul karena perbedaan keadaan sosial, budaya, dan ekonomi.

Utomo dalam Huda (2014 : 61) menggaris bawahi pentingnya melihat desentralisasi asimetris sebagi upaya untuk tidak saja melakukan transfer of political authority tetapi juga upaya untuk melakuakan akomodasi terhadap cultural diversity. Desentralisasi asimetris akan memberikan ruang gerak secara cultural bagi daerah yang berkarakter beda.

van Houten dalam Huda (2014 : 62) menyatakan bahwa definisi otonomi yang di kembangkannya memiliki aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan. Pertama, definisi tersebut mencakup dua bentuk otonomi : otonomi wilayah dan bentuk-bentuk otonomi non-wilayah. Kedua, didalam definisi tersebut dimunculkan dua bentuk otonomi, yaitu otonomi asimetris dan


(50)

otonomi yang berlaku umum. Ketiga, definisi tersebut dikembangkan dari perspektif kelompok etnis atau wilayah yang didasarkan atas etnis.

Maksum dalam Huda (2014 : 62) mendefinisikan otonomi asimetris adalah otonomi yang diterapkan untuk semua daerah otonom di sebuah negara deangan prinsip tak sama dan tak sebangun. Sedangkan menurut Ratnawati dalam Huda (2014 : 63) dengan mengutip pendapat Jacques Betrand, desentralisasi asimetris dan otonomi luas (khusus) bukan merupakan satu-satunya “obat

mujarab” bagi solusi mendasar atas masalah separtisme atau

nasionalisme etnis, kecuali bisa dikondisikan dengan upaya-upaya lain yang tepat.

3. Dana Keistimewaan

Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakata yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah dana yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang dialokasikan untuk mendanai Kewenangan Istimewa dan merupakan Belanja Transfer pada bagian Trasnfer lainnya (jdih.kemenkeu.go.id).

Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan urusan


(51)

keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta , sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UU No. 27 Tahun 2014 : 5).

Dana Keistimewaan DIY adalah dana yang diberikan oleh pemerintah dalam rangka urusan penyelenggaraan Keistimewaan DIY sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan Negara. Menteri Keuangan menetapkan alokasi Dana Keistimewaan dalam APBN berdasarkan penilaian yang dilakukan atas rencana kebutuhan Dana Keistimewaan yang diajukan oleh Gubernur DIY. Penyaluran Dana Keistimewaan dilakukan dalam 3 tahap melalui tata cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah setelah memenuhi persyaratan dan dokumen pendukung (yogyakarta.bpk.go.id).

4. Kebudayaan

Budaya adalah bentuk jamak dari kata dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yaitu bentuk jamak dari dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa Inggris, kata budaya berasal dari kata culture, dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan kata cultuur, dalam bahasa Latin, berasal dari


(52)

kata colera yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan, mengembangkan tanah (Elly, 2006 : 27).

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan polilik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni (Sulasman, 2013 : 20). Kebudayaan adalah suatu kelompok cara-cara merasa, berpikir, dan tingkah laku, yang sudah menjadi kebiasaan dari sejumlah manusia tertentu, sehingga dapat dipandang sebagai ciri-ciri masyarakat tersebut. Semua factor itu saling mempengaruhi dan mempunyai tugas-tugas tertentu di dalam keseluruhan hubungan kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah suatu bentuk hidup masyarakat yang agak tetap dan berlaku untuk beberapa generasi (Nasruddin, 2013 : 66).

Kuntowijoyo dalam (Nasruddin, 2013 : 67) mengatakan budaya adalah sebuah sistem yang memiliki koherensi. Bentuk-bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, mite, sastra, lukisan, nyanyian, masik, kepercayaan mempunyai kaitan erat dengan konsep-konsep epistemologis dari sistem pengetahuan masyarakat. Penyusunan suatu sejarah kebudayaan sangat bergantung pada data budaya dari masa-masa lalu (Sedyawati, 2006 : 326).


(53)

Koentjaraningrat dalam Elly (2006 : 29) mengemukakan bahwa kebudayan itu dibagi atau digolongkan dalam tiga wujud, yaitu :

1. Wujud sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakanberpola dari manusia dalam masyarakat

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Kerangka pemikiran

Efektivitas Dnana Keistimewan DIY Urusan

Kebudayaan Kabupaten Kulon Progo

Keberhasilan Program Keberhasilan Sasaran

Kepuasan Terhadap Program Tingkat Input dan Output

Pencapaian Tujuan Menyeluruh


(54)

Gambar 1.3 Kerangka Pemikiran

G. Definisi Konsepsional 1. Efektivitas

Efektivitas merupakan pengukuran terhadap keberhasilan suatu program. Keberhasilan tersebut diukur dari capaian program tersebut dari target yang telah ditentukan sebelumnya. Efektivitas juga diukur dari dampak manfaat yang dirasakan penerima program tersebut.

2. Desentralisasi Asimetris

Desentralisasi asimetris adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah otonomi dengan mempertimbangkan kekhususannya. Dengan adanya desentralisasi asimetris maka pelimpahan kewenangan daerah tertentu berbeda dengan daerah lainnya. Dalam desentralisasi asimetris bukan hanya memberi kewenangan khusus namun juga diikuti kewenangan fiscal yang berbeda.

3. Dana Keistimewaan

Dana Keistimewaan merupakan dana yang dialokasikan khusus kepada daerah yang memiliki keistimewaan. Dana Keistimewaan Yogyakarta merupakan dana yang diberikan oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah Yogyakarta guna menjalankan urusan keistimewaannya.


(55)

4. Kebudayaan

Kebudayaan adalah cara merasa, berpikir dan bertingkah laku dari golongan msyarakat tertentu yang sudah menjadi kebiasaan. Kebudayaan dilakukan terus-menerus dan diturunkan turun-temurun kepada generasi selanjutnya.

H. Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan unsur yang penting dalam suatu tahap penelitian yang memberikan informasi tentang bagaimana cara mengukur suatu variable atau semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana suatu variable dapat diukur. Indikator yang akan digunakan dalam pelaksanaan penelitian untuk mengukur Efektivitas Pemanfaatan Dana Keistimewaan Dalam Urusan Kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2014-2015 (Studi Kasus Kelompok Kesenian Tari Angguk) adalah :

Indikator-idikator tersebut adalah :

1. Efektivitas

a) Keberhasilan Program

1. Target keseluruhan program terkait pemanfaatan dana keistimewaan untuk kelompok tari angguk 2. Target capaian program disbudparpora Kulon Progo

yang terealisasikan

3. Identifikasi permasalahan dalam pelaksanaan program


(56)

b) Keberhasilan Sasaran

1. Sasaran dari program yang dibuat disbudparpora Kulon Progo

2. Perubahan yang dialami kelompok kesenian tari angguk setelah adanya dana keistimewaan

c) Kepuasan Terhadap Program

1. Tingkat kepuasan dari penerima dana keistimewaan urusan kebudayaan guna kesenian tari angguk 2. Harapan untuk program selanjutnya dari pegiat

kesenian angguk d) Tingkat Input dan Output

1. Identifikasi tingkat input dan output dari dana 2. Identifikasi tingkat input dan output dari program e) Pencapaian Tujuan Menyeluruh

1. Tingkat keefektivas dana keistiewaan urusan kebudayaan guna kesenian tari angguk

2. Perubahan yang telah terjadi terhadap kelompok tari angguk

3. Kendala internal 4. Kendala eksternal

I. Metode Penelitian

Metode penelitian terdiri atas dua kata, yaitu metode dan penelitian. Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang artinya cara mencapai


(57)

suatu jalan. Metode adalah sebuah kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan suatu cara kerja yang sistematis guna memahami suatu subjek atau objek penelitian, sebagai cara untuk menemukan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah termasuk keabsahannya. Adapun pengertian dari penelitian adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Ruslan, 2003 : 24). Pengumpulan dan analisis data dilakukan secara ilmiah, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental maupun non eksperimental, interaktif maupun non interaktif (Sukmadinata, 2005 :5).

1. Jenis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas pada penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Metode studi kasus adalah uraian penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi, suatu program, atau situasi sosial (Sutrisno, 2002 : 112). Kasus pada penelitian ini adalah Efektivitas Pemanfaatan Dana Keistimewaan Pada Urusan Kebudayaan di Kabupaten Kulon Progo Tahun 2014 - 2015. Kemudian analisis dilakukan melalui pendekatan penelitian kualitatif dengan model penelitian deskriptif. Tujuannya adalah mendeskripsikan, mencatat, menganalisa, dan menginterprestasikan kondisi yang berlaku saat penulis melakukan penelitian.

Guna memperkuat hasil penelitian, penulis juga menggunakan Penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif diartikan


(58)

sebagai suatu penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu fenomena/peristiwa secara sistematis sesuai dengan apa adanya untuk memperoleh informasi keadaan saat ini (Nyoman, 2012 : 51). 2. Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kulon Progo. Dipilihnya Kulon Progo karena kabupaten tersebut mendapat alokasi Dana Keistimewaan paling besar pada tahun 2015. Kabupaten Kulon Progo juga mempunyai kesenian dan kebudayaan yang cukup menarik untuk diteliti khususnya kesenian tari angguk yang merupakan kesenian tradisional khas Kulon Progo. Pada penelitian ini kelompok kesenian tari angguk diwakili Sanggar Angguk Sri Panglaras dari Pripih, Hargomulyo, Kokap dan Sanggar Angguk Laras Sekar dari Blimbing, Sentolo.

3. Unit Analisis

Unit analisis adalah informan yang berkompeten dengan penelitian ini.

a. Joko Mursito selaku Kabid Kebudayaan Dinas Kebuayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kulon Progo b. Sri Muryanti selaku ketua sanggar angguk Sri Panglaras dan

Sujiman selaku ketua sanggar angguk Laras Sekar sebagai perwakilan dari masyarakat pegiat kesenian tari angguk di Kulon Progo


(59)

a. Data Primer : data primer diperoleh melalui wawancara dengan subyek penelitian.

b. Data Skunder : data yang mengutip dari sumber lain sehingga bersifat autentik, karena sudah diperoleh dari tangan kedua, ketiga dan seterusnya. Data skunder dapat diperoleh melalui studi dokumen.

5. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Dokumentasi adalah metode pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen yang merupakan data skunder yang telah tersedia dilokasi penelitian maupun perpustakaan yang meliputi kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi masyarakat dan lainnya. Dokumen yang dipakai adalah dokumen yang valid dan relevan dengan penelitian.

b. Wawancara adalah memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, baik itu bertatap muka langsung atau tidak langsung antara penanya dan responden. 6. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengatur urutan data dan mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar dibedakan dengan penafsiran, yaitu memberikan arti


(60)

yang signifikan terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, mencari hubungan antara dimensi - dimensi uraian.

Dalam penelitian ini digunakan teknik analisa data dengan analisa data kualitatif dan interaktif dimana komponen reduksi data, sajian data dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Setelah data terkumpul maka ketiga komponen data tersebut dilihat interaksinya dan bila dirasa kurang kuat maka perlu ada verifikasi dan penelitian kembali. Ketiga komponen data tersebut adalah :

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah bagian dari analisis, suatu bentuk analisi yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat dilakukan. b. Sajian Data

Sajian data adalah rangkain organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Penyajian data juga dimaksudkan agar para pengamat dapat dengan mudah memahami apa yang kita sajikan untuk selanjutnya dilakukan penilaian atau perbandingan dan lain-lain.


(61)

Pengumpulan data merupakan tahapan yang paling penting, karena hanya dengan mendapatkan data yang tepat maka proses penelitian akan berlangsung hingga peneliti mendapatkan jawaban dari perumusan masalah yang sudah ditetapkan. Dengan teknik sampling yang benar, kita sudah mendapatkan strategi dan prosedur yang akan kita gunakan dalam mencari data dilapangan.


(62)

BAB II

DESKRIPSI WILAYAH PENELITIAN

A. PROFIL KABUPATEN KULON PROGO

1. Kondisi Umum Kabupaten Kulon Progo

a. Geografis

Kabupaten Kulon Progo merupakan satu dari lima kabupaten/kota yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak di paling barat, dengan batas wilayah sebagai beikut :

 Barat : Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah

 Timur : Kabupaten Sleman dan Bantul, Propinsi D.I. Yogyakarta  Utara : Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa Tengah

 Selatan : Samudera Hindia

b. Kondisi geografi :

 Bagian Utara merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500 -1.000 meter dari permukaan laut. Meliputi Kecamatan : Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh.

 BagianTengah merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 sampai dengan 500 meter dari permukaan air laut. Meliputi Kecamatan Sentolo, Pengasih, dan Kokap.


(63)

 Bagian Selatan merupakan dataran rendah dengan ketinggian 0 sampai dengan 100 meter dari permukaan air laut. Meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur dan Lendah.

c. Topografi

Hamparan wilayah kabupaten Kulon Progo menurut ketinggian tanahnya adalah 17,58 % berada pada ketinggian <7 m diatas permukaan laut (dpal), 15,20 % berada pada ketinggian 8-25 m dpal, 22,84 % berada pada ketinggian 26-100 m dpal , 33,0 % berada pada ketinggian 101-500 m dpal , dan 11,37 % berada pada ketinggian >500 mdpal. Distribusi wilayah kabupaten Kulon Progo menurut kemiringannya adalah :

 40,11 % berada pada kemiringan < 20,  18,70 % berada pada kemiringan 30 - 150,  22,46 % berada pada kemiringan 160 - 400 dan  18,73 % berada pada kemiringan > 400.

Sejak tahun 2011 di Kabupaten Kulon Progo, rata-rata curah hujan per bulan adalah 161 mm dan hari hujan 10 hh per bulan. Keadaan rata-rata curah hujan hujan yang tertinggi terjadi pada bulan Februari 2011 sebesar 343 mm dengan jumlah hari hujan 18 hh se bulan. Kecamatan yang mempunyai rata-rata curah hujan per bulan tertinggi pada tahun 2011 berada di Kecamatan Kokap sebesar 214 mm dengan jumlah hari hujan 14 hh per bulan.

Sumber air baku di Kabupaten Kulon Progo meliputi 7 (tujuh) buah mata air, Waduk Sermo, dan Sungai Progo. Mata air yang sudah dikelola PDAM


(64)

meliputi mata air Clereng, Mudal, Grembul, Gua Upas, dan Sungai Progo. Di Kecamatan Kokap, mata air dikelola secara swakelola oleh pihak Kecamatan dan Desa, yang kemudian disalurkan secara gravitasi dengan sistem perpipaan.

Kabupaten Kulon Progo yang terletak diantara Bukit Menoreh dan Samudera Hindia kemudian dilalui Sungai Progo di sebelah timur dan Sungai Bogowonto dan Sungai Glagah di Bagian barat dan tengah. Keberadaan sungai dengan air yang mengalir sepanjang tahun di wilayah Kabupaten Kulon Progo tersebut membantu dalam menjaga kondisi permukaan air tanah.

Keberadaan Waduk Sermo di Kecamatan Kokap didukung dengan keberadaan jaringan irigasi yang menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan, menunjukkan keseriusan Pemerintah Kabupaten Kulon Progo untuk meningkatkan produksi pertanian dan perikanan di wilayah Kabupaten Kulon Progo.

d. Wilayah

Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates memiliki luas wilayah 58.627,512 ha (586,28 km2), terdiri dari :

 12 kecamatan

 87 desa dan 1 kelurahan  918 Pedukuhan(SLS Tk 3)  1.885 Rukun Warga (SLS Tk 2)  4.469 Rukun Tetangga (SLS Tk 1)


(65)

e. Prasarana

Kabupaten Kulon Progo dilalui 2 (dua) prasarana perhubungan yang merupakan perlintasan nasional di Pulau Jawa, yaitu jalan Nasional sepanjang 28,57 km dan jalur Kereta Api sepanjang lebih kurang 25 km. Sebagian besar wilayah di Kabupaten Kulon Progo dapat dilalui dengan menggunakan transportasi darat.

2. Visi dan Misi Kabupaten Kulon Pogo a. Visi

Visi Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Kulon Progo tahun 2011-2016 yang akan dicapai dalam tahapan kedua Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Kulon Progo ialah: "Terwujudnya Kabupaten Kulon Progo yang sehat, mandiri, berprestasi, adil, aman dan sejahtera berdasarkan iman dan taqwa"

Visi Kabupaten Kulon Progo merupakan kondisi yang diharapkan dapat memotivasi seluruh komponen masyarakat dalam melakukan aktivitasnya. Pernyataan visi Kabupaten Kulon Progo tersebut mempunyai pengertian sebagai berikut :

 Pembangunan lima tahun mendatang diharapkan sanggup meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat, baik sehat jasmani, rohani maupun sehat dalam pengertian masyarakat mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam lingkungan yang bersih dan nyaman. Demikian juga lima tahun kedepan diharapkan akan terwujud peningkatan kualitas


(66)

aparatur dan kelembagaan pemerintahan sehingga mampu memberikan pelayanan prima, dengan prinsip transparan, dan akuntabel. (SEHAT)

 Pembangunan lima tahun mendatang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia dan masyarakat serta wilayah dalam rangka memenuhi kebutuhan sendiri. (MANDIRI)

 Pembangunan lima tahun mendatang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal bagi seluruh masyarakat. Terpenuhinya pendidikan formal bagi seluruh penduduk usia sekolah merupakan prasyarat yang sangat penting bagi meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di masa yang akan datang. Sedangkan pendidikan non formal merupakan komponen pendukung bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dan ketrampilan agar mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Selain itu, pembangunan lima tahun mendatang diharapkan dapat mewujudkan pemerintahan dan masyarakat yang mampu berinovasi dengan etos kerja tinggi sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang inovatif dan produk daerah berdaya saing tinggi. (BERPRESTASI)

 Pembangunan lima tahun mendatang diharapkan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat dalam segala bidang kehidupan yang bermuara pada upaya mewujudkan kesejahteraan (ADIL)


(1)

9

Jika dilihat dari sudut pandang masyarakat pegiat kesenian angguk, mereka juga mengatakan dana keistimewaan sudah cukup efektif karena sudah ada perubahan yang mereka rasakan. Dengan adanya dana keistimewaan grup kesenian angguk jadi lebih sering tampil. Tujuan utama dari sering tampilnya grub kesenian angguk tersebut adalah peningkatan kesejahteraan bagi pegiat kesenian tari angguk. Selain itu dengan adanya dana keistimewaan mereka juga lebih mudah mendapat bantuan baik subsidi atau kompensasi ketika akan pentas bahkan bantuan berupa peralatan yang mereka butuhkan.

KESIMPULAN

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan dana keistimewaan urusan kebudayaan di Kulon Progo sudah cukup efektif terhadap kelompok kesenian tari angguk. Sejak adanya dana keistimewaan sudah ada perubahan yang mereka rasakan yaitu bentuk perhatian dari pemerintah dan mereka jadi lebih sering menggelar pentas. Dengan seringnya mereka menggelar pentas maka kesejarteraan mereka juga lumayan meningkat. Hal ini menunjukan bahwa adanya efektivitas dalam pemanfaatan dana keistimewaan urusan kebudayaan tahun 2014-2015 di Kabupaten Kulon Progo.


(2)

10

DAFTAR PUSTAKA Buku

Abdul, Aziz & Arnold, David D. 2003. Desentralisasi Pemerintahan Pengalaman Negara-Negara Asia. Bantul : Pondok Edukasi.

Anshoriy Ch, Nasruddin. 2013. Strategi Kebudayaan Titik Balik Kebangkitan Nasional. Malang : UB Press

Dantes, Nyoman. 2012. Metode Penelitian. Yogyakarta : ANDI.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2012. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : UGM Press.

Haris, Syamsuddin. 2005. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta : LIPI Press Hendratno, Edie Toet. 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi, Dan Federalisme.

Yogyakarta : Graha Ilmu.

Huda, Ni’matul. 2013. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-undangan Indonesia. Bandung : Nusa Media..

Huda, Ni’matul. 2014. Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus dan Otonomi Khusus. Bandung : Nusa Media Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Desentralisasi Fiskal Politik Dan Perubahan

Kebijakan 1974-2004. Jakarta : Kencana.

Moloeng, Lexy J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Mutiarin, Dyah & Zaenuri, Arif. 2014. Manajemen Birokrasi dan Kebijakan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Ramses M., Andy. 2010. Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta : MIPI.

Ruslan, Rosdi. 2003. Metode Penelitian : Public Relation dan Komunikasi. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta : RajaGrafindo Persada


(3)

11

Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Sjafrizal. 2014. Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soetarto, Endriatmo. 2009. Keistimewaan Yogyakarta : Yang Diingat dan Yang Dilupakan. Jakara : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.

Strauss, Anselm. 2003. Dasar – Dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Remaja Rosadakarya.

Sukriono,Didik. 2010. Pembaharuan Hukum Pemerintah Desa. Malang : Setara Press. Sulasman & Gumilar, Setia. 2013. Teori-teori Kebudayaan Dari Teori Hingga

Aplikasi. Bandung : Pustaka Setia

Sutrisno. 2002. Hubungan Antara Pengetahuan Membaca Pemahaman dan Penguasaan Kosakata dengan Keterampilan Menulis Wacana Deskripsi. Surakarta : UNS.

Syafrudin, Ateng. 2006. Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Yogyakarta : Citra Media.

Tesis dan Skripsi

Annafie, M. Khotmat. 2016. Kelembagaan Otonomi Khusus (Otsus) Dalam Mempertahankan Nilai-Nilai Kebudayaan Di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Program Pascasarjana Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tesis tidak dipubliksikan.

Pra, Sartika, Intaning. 2016. Pengaturan dan Pengelolaan Keuangan Urusan Kebudayaan Sebagai Urusan Pemerintahan Konkuren dan Urusan Keistimewaan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. Tesis tidak dipublikasikan.

Pradana, Beda, Aruma. 2015. Analisis Sistem Pengendalian Dana Keistimewaan Bidang Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Ilmu Akuntansi Universitas Gadjah Mada. Skripsi tidak dipubliksikan.

Sakir. 2015. Analisis Kebijakan Anggaran Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014. Yogyakarta : Program Pascsarjana Ilmu Pemerintahan Univrsitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tesis tidak dipublikasikan.


(4)

12

Sekarini, Darmastuti, Arum. 2016. Analisis Kinerja Dinas Pariwisata dan Kebudyaan Kota Yogyakarta dalam Pengelolaan Dana Keistimewaan Tahun 2014. Yogyakarta : Jurusan Administrasi Negara Universitas Gadjah Madha. Skripsi tidak dipublikasikan.

Peraturan

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2015. Perdais Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewenangan Dalam Urusan Keistimewaan DIY. Yogyakarta : Sekretariat Daerah. Yogyakarta.

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2012. Perda Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya. Yogyakarta : Sekertariat Daerah. Yogyakarta

Provinsi Dearah Istimewa Yogyakarta. 2005. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2005-2025. Yogyakarta : Sekertariat Daerah. Yogyakarta

Republik Indonesia. 2012. Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Kestimewaan Daerah Istimewa Yogakarta. Jakarta : Sekertariat Negara. Republik Indonesia. 2004. Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah. Jakata : Sekertariat Negara.

Republik Indonesia. 2004. Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah. Jakarta : Sekertariat Negara.

Wawancara

Mursito, Joko. 2016. Wawancara Efektivitas Pemanfaatan Dana Keistimewaan Urusan Kebudayaan. Kantor Dinas Kebudayaan Kulon Progo, Jl. Sanun No.73 Wates.

Muryanti, Sri. 2016. Wawancara Efektivitas Pemanfaatan Dana Keistimewaan Urusan Kebudayaan. Sanggar Sri Panglaras, Pripih, Hargomulyo, Kokap.

Sujiman. 2016. Wawancara Efektivitas Pemanfaatan Dana Keistimewaan Urusan Kebudayaan. Sanggar Laras Sekar, Blimbing, Sentolo.


(5)

13

http://yogyakarta.bpk.go.id/2016/02/Dana-Keistimewaan-DIY diakses tanggal 24 Oktober 2016

www.kulonprogokab.go.id/v21/ diakses tanggal 26 Oktober 2016

www.jdih.kemenkeu.go.id/2013/103/PMK-07-2013 diakses tanggal 25 Oktober 2016

http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/01/11/311738/merebut-dana-keistimewaan-dengan-setor-ribuan-proposal diakses tanggal 23 Oktober 2016 www.negerikuindonesia.com/2015/06/tari-angguk-tarian-tradisional/ diakses tanggal

24 Oktober 2016

https://kulonprogokab.bps.go.id/Subjek/view/id/26#subjekViewTab3|accordion-daftar-subjek1 diakses tanggal 23 Oktober 2016

http://jogja.tribunnews.com/2015/11/02/festival-lima-kampung-bakal-digelar-untuk-kritisi-pemanfaatan-danais diakses tanggal 24 Oktober 2016

https://nasional.tempo.co/read/news/2013/12/11/058536568/program-keistimewaan-yogyakarta-banyak-yang-ngawur diakses tanggal 24 Oktober 2016


(6)