NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM BUKU IBRAH KEHIDUPAN KARYA HAEDAR NASHIR DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(1)

SKRIPSI

Oleh :

Kasdi Guntur

NPM: 20120720210

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I) strata Satu pada Progam Studi Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)

Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh :

Kasdi Guntur

NPM: 20120720210

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

Nama Mahasiswa : Kasdi Guntur

NPM : 20120720210

Program Studi : Pendidikan Agama Islam (PAI)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 30 Mei 2016 Yang membuat pernyataan

Kasdi Guntur NPM. 20120720210


(4)

iii

Dari Jabir bin Samurah radiyallahu 'anhu; Rasulullah

sallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

اًقُلُخ ْمُهُ نَسْحَأ ،اًم ََْسِإ ِساَنلا َنَسْحَأ َنِإ

Sesungguhnya orang yang paling baik keislamannya

adalah yang paling baik akhlaknya.


(5)

iv

Ayah, Ibu, Abang & Keluarga, Paman & Keluarga.

Almamater Tercinta

Jurusan Pendidikan Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


(6)

v

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

ABSTRAK ... xii

TRANSLITERASI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Sistematika Pembahasan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI ... 8

A. Tinjauan Pustaka ... 8

B. Kerangka Teori ... 11

BAB III METODE PENELITIAN ... 47

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 47

B. Data dan Sumber Data ... 47


(7)

vi

B. Pengalaman Karier dan Karya Haedar Nashir ... 50

C. Gambaran Umum Buku Ibrah Kehidupan ... 55

1. Latar Belakang Penulisan Buku Ibrah Kehidupan ... 55

2. Sekilas Tentang Buku Ibrah Kehidupan ... 57

3. Kelebihan dan kekurangan buku Ibrah Kehidupan ... 60

D. Konsep Nilai Pendidikan Akhlak yang Terkandung dalam Buku Ibrah Kehidupan ... 60

1. Khauf ... 62

2. Sabar ... 64

3. Takwa ... 71

4. Bertamu dan Menerima Tamu ... 76

5. Tawadhu’ ... 79

6. Ikhlas ... 82

7. Jujur ... 83

8. Hubungan Pemimpin dan yang Dipimpin ... 85

9. Mengikuti dan Mentaati Rasul ... 87

10.Amanah ... 88

11.Muraqabah ... 89

12.Istiqamah ... 91


(8)

vii

A. KESIMPULAN ... 105

B. SARAN ... 109

C. KATA PENUTUP ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 112

CURRICULUM VITAE ... 117 LAMPIRA-LAMPIRAN


(9)

(10)

yang berhubungan dengan penelitian kepustakaan sehingga bisa diambil manfaatnya dan dijadikan teladan bagi umat islam khususnya para pendidik dalam menanamkan nilai-nilai pendidikan akhlak kepada peserta didiknya.

Penelitian ini adalah tergolong penelitian kepustakaan (library research)

yang mengkaji buku Ibrah Kehidupan Karya Haedar nashir dengan menggunakan analisis data yaitu analisis isi (content analysis). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif analitis karena penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan informasi berupa catatan dan data deskriptif yang terdapat di dalam teks yang diteliti.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga belas pendidikan akhlak yang ditemukan. Ke tiga belas akhlak yang dimaksud adalah

Khauf, Sabar, Taqwa, dan Menjamu Tamu atau Bertamu dan Menerima Tamu,

tawadhu’, ikhlas, jujur, hubungan pemimpin dan yang dipimpin, mengikuti dan mentaati Rasul, amanah, muraqabah, istiqamah, dan pemaaf. Jadi nilai pendidikan akhlak yang ditemukan tersebut jika dibagi ke dalam pembagian macam-macam akhlak yang ada dapat ditarik kesimpulan sebagaimana berikut;

pertama, akhlak terhadap Allah Swt. dalam hal ini yang termasuk kedalamnya

adalah Takwa, khauf, ikhlas, dan muraqabah. Kedua, akhlak pribadi. Nilai akhlak yang dimaksudkan adalah amanah, sabar, istiqamah, tawadhu’, jujur, dan pemaaf.

Ketiga, akhlak bermasyarakat. Nilai akhlak yang termasuk adalah Akhlak

Bertamu dan Menerima Tamu. Keempat akhlak bernegara. Nilai akhlak yang dimaksudkan adalah hubungan pemimpin dan yang dipimpin. Kelima akhlak terhadap Rasulullah. Nilai akhlak yang dimaksud adalah mengikuti dan mentaati Rasul. Dan relevansi dari kandungan akhlak dalam buku Ibrah Kehidupan dengan Pendidikan Agama Islam adalah keterkaitan antara Iman, Taqwa, dan akhlak. Sebab Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang sangat mengharuskan peserta didiknya untuk menjadi insan kamil atau pribadi muslim yang sejalan dengan spirit keIslaman penuh paripurna kapanpun dan dimanapun.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhlak merupakan sesuatu yang tidak pernah habis-habisnya untuk

dibicarakan. Sejak dari ketika seseorang mulai mengenal agamanya maka

disitulah dia juga sudah mempelajari apa-apa saja yang termasuk kedalam

akhlak yang terdapat di dalam agamanya. Bahkan di dalam agama Islam

sendiri hal ini merupakan salah satu sebab diutusnya seorang rasul sebagai

penutup para rasul yang sudah-sudah sehingga menjadi penyempurna

risalah terdahulu. Hal ini juga sesuai dengan sejarah yang ada bahwa

Muhammad Saw. ketika berdakwah juga beliau lebih berusaha sekuat

tenaga demi tercapainya atau tegaknya nilai-nilai akhlak di muka bumi ini.

Era globalisasi yang sangat berkembang saat ini dimana gerak laju ilmu pengetahuan begitu pesat sebuah realita yang tidak bisa untuk diabaikan adalah terjadinya sebuah dekadensi moral oleh imbas negatif keterbukaan yang meluas terhadap akulturasi yang ada pada masyarakat. Sehingga peran dari sebuah pendidikan sangat diperlukan. Begitu pula halnya pendidikan. Tilaar menyatakan dewasa ini dunia kependidikan mengalami empat krisis pokok, yaitu krisis kualitas, relevansi atau efisiensi eksternal, elitisme, dan manajemen. Nata sebagaimana dikutip


(12)

Iqbal menyatakan diantara persoalan penting yang dihadapi oleh pendidikan Islam selama ini adalah fakta adanya kiblat pendidikan Islam yang belum jelas. Pendidikan Islam masih belum menemukan format dan bentuknya yang khas sesuai dengan ajaran Islam. Pendidikan dengan pendekatan akhlak keberadaanya menjadi sangat urgen mengingat fakta-fakta yang terjadi dilapangan. (Maula, 2014 : 230) Oleh karenanya berbagai krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan di tengah-tengah kehidupan masyarakatpun tidak dapat dihindari. Kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan berbagai penyakit sosial lainnya yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat. (Yusanto et al., 2014: 1) Hal tersebut tidak lain dan tidak bukan karena masalah pendidikan yang sampai saat ini belum bisa dikatakan pada level keberhasilan sempurna. Sebab masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan berkembang bersama proses perkembagan hidup dan kehidupan manusia, bahkan keduanya adalah proses yang satu. (Daradjat et al.,1984: 11)

Mencapai kehidupan yang harmonis di dalamnya terdapat langkah-langkah atau upaya-upaya yang harus diperjuangkan. Dalam hal ini manusia selaku makhluk ciptaan Tuhan diberikan kepadanya sebuah kemampuan dalam memilih dua jalan. jalan kebaikan kah yang dipilh atau sebaliknya sebuah jalan yang akan menghantarkan pelakunya kedalam kehancuran dan kerusakan. Sehingga perjuangan dalam mencapai


(13)

kebaikan ini menjadi menarik sekaligus menjadi tantangan bagi manusia dalam hidupnya sebagai upaya memperjuangkan akhlak mulia dan terpuji. sebuah realita yang sering menjadi penghambat dari tercapainya kehidupan harmonis yang keberadaanya tidak bisa dilupakan adalah sangat majemuknya kehidupan manusia baik dari segi etnis, kultur, bahasa, ras, maupun pola pikir dan tindakan. Kemajemukan ini dapat menjadi pemicu timbulnya suatu konflik. Oleh sebab itu konflik dapat dihindari jika akhlak yang ada bisa ditegakkan.

Akhlak dapat ditegakkan salah satunya adalah dengan melalui pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, termasuk pendidikan akhlak, karena akhlak adalah suatu hal yang mendukung berkembangnya suatu bangsa. Nilai-nilai pendidikan akhlak adalah hal sangat vital dalam kehidupan manusia. Sebab, tanpa adanya nilai-nilai akhlak yang tinggi hidup manusia akan merosot. Nilai akhlak dianggap dan dipandang sangat penting karena akhlak adalah salah satu sumber kebahagiaan bagi manusia. (Iswanto, 2011: 2)

Peserta didik dapat menerima pendidikan akhlak melalui berbagai macam media pendidikan. Orang tua dalam lingkungan keluarga dapat memberikan keteladanan, baik dalam kesopanan berbicara ataupun bertingkah laku. Pendidikan akhlak juga dapat diberikan melalui kisah-kisah atau bacaan-bacaan yang mengandung nilai-nilai sosial dan budi pekerti yang baik.


(14)

Salah satu media pendidikan akhlak berupa bacaan adalah sebuah buku. Buku memiliki pesan yang sangat sarat untuk mentransformasikan nilai-nilai pendidikan di dalamnya, terutama pendidikan akhlak.

Berdasarkan pemaparan diatas penulis ingin mengadakan penelitian tentang nilai-nilai pendidikan akhlak dalam buku Ibrah

Kehidupan karya Haedar Nashir. Peneliti tertarik pada buku ini karena

dalam buku ini banyak mengandung nilai-nilai pendidikan akhlak yang dapat diambil hikmahnya.

Buku Ibrah Kehidupan adalah sebuah buku karya Haedar Nashir yang berisi tulisan-tulisan yang mengupas isu-isu spiritual yang diramu dari berbagai macam tema menyangkut persoalan-persoalan hidup yang bersifat aktual dengan substansi yang berbasis nilai-nilai ihsan dan akhlak. Sehingga menjadikan pembaca jernih kesadarannya, yakni sisi kekayaan batin yang hidup, mendamaikan, dan mencerahkan. Buku Ibrah

Kehidupan adalah perpaduan yang seimbang antara nilai-nilai etik dan

sosiologis yang disajikan dengan naratif dan lebih esensial dengan menggunakan pendekatan sosiologis yang bercorak penafsiran makna.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka fokus masalah yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah:

1. Apa yang melatar belakangi Haedar Nashir membuat buku


(15)

2. Apa saja nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam buku Ibrah Kehidupan karya Haedar Nashir?

3. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam buku

Ibrah Kehidupan terhadap pendidikan agama Islam saat ini?

C. Tujuan dan Manfaat penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui faktor penyebab Haedar Nashir menulis buku

Ibrah Kehidupan

b. Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam buku Ibrah Kehidupan karya Haedar Nashir.

c. Untuk mengetahui relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam buku Ibrah Kehidupan karya Haedar Nashir terhadap pembelajaran pendidikan agama Islam.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian adalah sebagai berikut: a. Secara teoritis

Dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan dalam khazanah keilmuan dan pendidikan, yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas pendidikan dan akhlak anak bangsa melalui nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam sebuah buku.

b. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak anatara lain;


(16)

Hasil penelitian ini memberi pemahaman kepada guru dan

segenap seluruh tenaga pendidik tentang pentingnya

pendidikan akhlak serta relevansinya dengan pendidikan agama Islam.

2. Bagi peneliti

Dapat menjadi jawaban dari masalah yang dirumuskan. Serta dengan selesainya penelitian ini dapat menjadi motivasi bagi peneliti untuk semakin aktif dalam menyumbangkan hasil karya ilmiah terhadap dunia pendidikan.

3. Bagi pembaca

Hasil penelitian ini diharapkan dapat lebih memahami buku

Ibrah Kehidupan serta dapat mengambil manfaat untuk

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pun demikian diharapkan bagi pembaca untuk semakin lebih jeli dalam memilih bacaan yang mengandung kualitas materi bahasan yang baik. Khususnya kaitannya dalam hal pendidikan yang berdasarkan akhlak. Dan dapat menggunakan penelitian ini untuk sarana pengembangan kepribadian diri.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah inspirasi maupun sumber pijakan buat peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dan lebih baik lagi.


(17)

D. Sistematika Penulisan

Pada penelitian yang penyusun lakukan, agar alur penulisan lebih mudah dipahami dan jelas, maka skripsi yang akan disusun memiliki sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan, yang memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, memuat uraian tentang tinjauan pustaka dari temuan yang berhasil dikumpulkan oleh penyusun dan penjabaran tentang kerangka teori yang digunakan berikut dengan penjelasannya.

Bab ketiga, berisi uraian tentang metode penelitian. Dalam bab ini akan dijelaskan secara rinci metode yang digunakan beserta alasan-alasannya. Termasuk pula di dalamnya penjelasan tentang jenis penelitian, metode pengumpulan data serta analisis data yang digunakan.

Bab keempat, memuat tentang pembahasan dan analisis terhadap buku yang diangkat, meliputi biografi penulis buku, mulai dari riwayat hidupnya, riwayat pendidikan, karya-karya beliau yang telah dipublikasikan, latar belakang penulisan buku yang diteliti, dan gambaran umum tentang tema, pesan yang disampaikan dalam buku tersebut serta sedikit resensi dari buku “Ibrah Kehidupan” karya Haedar Nashir ini. yang dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam buku Ibrah Kehidupan, dan relevansinya dengan pendidikan agama Islam.


(18)

Bab kelima memuat saran-saran dari hasil penelitian yang ditujukan kepada para civitas akademika, baik dari kalangan pendidik, mahasiswa, pelajar bahkan dari kalangan pemerintahan (yang bergerak dalam bidang pendidikan), yang akan melakukan penelitian-penelitian serupa serta ditujukan pula bagi mereka yang punya minat dalam dunia tulis-menulis. Bagian terakhir dari bab ini adalah kata penutup (closing

speech) yang berisi rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang

membantu kelancaran penulisan skripsi ini, juga memberikan kesempatan bagi siapa pun untuk memberikan saran dan kritik bagi penelitian ini.


(19)

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan untuk mengetahui sejauh mana otentisitas suatu karya ilmiah serta posisinya di antara karya-karya sejenis dengan tema ataupun pendekatan yang serupa. Selanjutnya, penulis akan memaparkan beberapa penelitian yang telah berwujud skripsi, yang sedikit banyak berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu tentang nilai-nilai pendidikan Akhlak.

Sejauh yang penulis ketahui, belum ada penelitian yang mengambil judul, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Buku Ibrah Kehidupan Karya

Haedar Nashir dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam”. Adapun penelitian yang memiliki kemiripan dengan skripsi ini adalah:

Pertama, skripsi Iswanto (2011), Fakultas Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berjudul, “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Novel Edensor Karya Andrea Hirata dan Relevansinya dengan Pendidikan Agama Islam”. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, yang teknik pengumpulan datanya menggunakan konsep penelitian kepustakaan (library research). Dalam penelitian tersebut, nilai-nilai pendidikan yang diurai secara penjang lebar adalah nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Edensor karya Andrea Hirata


(20)

berupa akhlak kepada Allah, berdzikir, berdo’a, mentaati ajaran agama. Akhlak terhadap diri sendiri yang meliputi sabar, ikhlas, jujur, tanggung jawab, optimis, suka membantu, cinta ilmu, lemah kepada sesama (menghormati tamu), mengucap salam, tolong menolong, menjalin persahabatan. Dan terakhir akhlak kepada lingkungan, memakmurkan masjid dan menjaga lingkungan.

Kedua, skripsi Muhammad Latif (2012) mahasiswa Universitas

Muhammadiyah Surakarta yang berjudul, “Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam novel Cinta Suci Zahrana karya Habiburrahman El-Shirazy”. Dalam penelitian ini pengarang mengungkapkan beberapa nilai-nilai pendidikan yang dapat diambil pertama akhlak terhadap Allah seperti beribadah kepada Allah (shalat dan puasa), menyegerakan dalam beribadah, mentauhidkan Allah, berdzikir dan berdo’a, bersyukur serta melakukan sesuatu semata-mata hanya karena Allah swt, kedua akhlak terhadap manusia seperti (a) akhlak terhadap diri sendiri, yaitu; nilai kejujuran terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat dipercaya, sabar dalam menghadapi cobaan, bekerja keras guna mencapai target yang diinginkan, disiplin waktu, memiliki jiwa yang ikhlas serta menerapkan hidup sederhana dan tidak berlebihan; (b) Akhlak terhadap keluarga, yaitu; membantu orang tua, menghormati hak hidup anak, selalu membiasakan bermusyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah, dan menjaga silaturrahmi antar keluarga; (c) Akhlak terhadap masyarakat atau orang lain, yaitu: saling membantu satu sama lain, menjenguk orang sakit dan


(21)

bela sungkawa, saling mendo’akan sesama Muslim serta menjamu tamu. Ketiga akhlak terhadap alam seperti menjaga kelestarian alam, memperhatikan ekosistem dan menentukan lahan yang tepat untuk didirikan bangunan dan penghijauan.

Ketiga, skripsi Prasojo Dwi Utomo (2013), Fakultas Agama Islam

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Mulia Dalam Film Serdadu Kumbang”. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif, yang secara spesifik menganalisis dan mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam film serdadu kumbang. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotik. Adapun teori yang digunakan sebagai acuan adalah teori model Abrams dengan dilakukan menggunakan metode analisi dokumen. Hasil penelitian ini adalah terdapat 6 nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalam film serdadu kumbang. Pertama nilai pendidikan akhlak kepada Allah. Kedua, nilai pendidikan akhlak kepada Rasulullah. Ketiga, nilai pendidikan akhlak kepada keluarga. Keempat, nilai pendidikan akhlak kepada diri sendiri. Kelima, nilai pendidikan akhlak kepada masyarakat. Terakhir, nilai pendidikan akhlak kepada negara.

Keempat, skripsi Restianita Wisi Nastiti (2014), Fakultas Agama

Islam Universitas Muhammadiyah yogyakarta yang berjudul. “Nilai-nilai Pendidikan Dalam Novel Sepatu Dahlam Karya Khrisna Pabichara (Study Motivasi Belajar) Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Agama Islam”.


(22)

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan analisis isi. Penelitian ini menghasilkan bahwa di dalam novel sepatu dahlan karya Khrisna Pabichara terdapat motivasi yang dapat memberikan keteladanan untuk selalu mengejar cita-cita karena di dalamnya sangat sarat nilai-nilai motivasi yang mengajarkan untuk tidak pernah berhenti melanjutkan pembelajaran di dalam dunia pendidikan.

Kelima, skripsi Komarullah Azami (2014) UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Surat Al-Mujadalah Ayat 11-12”. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis melalui teknik studi

kepustakaan (Library Research) yang dilakukan dengan cara

menggambarkan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terdapat di dalam Surah al-Mujadalah ayat 11-12. Adapun nilai-nilai akhlak yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dari Surah al-Mujadalah ayat 11-12 adalah melapangkan hati, menjalin hubungan harmonis, memberikan sedekah, menghormati, dan memuliakan.

B. Kerangka Teoretik

1. Nilai Pendidikan Akhlak

a. Pengertian akhlak secara umum

Kata nilai, yang dalam bahasa inggris disebut value mempunyai harga; kadar, mutu, sifat; sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan; sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya (software KBBI, v. 1.0).


(23)

Kedudukan nilai dalam setiap kebudayaan sangatlah penting, maka pemahaman tentang sistem nilai dan orientasi nilai sangat penting dalam konteks pemahaman perilaku suatu masyarakat dan system pendidikan yang digunakan untuk menyampaikan sistem perilaku dan produk budaya dijiwai oleh sistem nilai masyarakat yang bersangkutan. Sistem nilai budaya ini merupakan rangakaian dari konsep-konsep abstrak yang hidup dalam masyarakat, mengenai apa yang dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Sistem nilai budaya ini menjadi pedoman dan pendorong perilaku manusia dalam hidup yang memanifestasikan kongkritnya terlihat dalam tata kelakuan. (Masdub, 2015: 33)

Menurut kamus bahasa Indonesia, pendidikan diartikan sebagai “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. (software KBBI v.1.0).

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak, yaitu pendekatan linguistik (kebahasaan), dan pendekatan

terminologi (peristilahan). Dilihat dari sudut bahasa (etimologi),

perkataan akhlak (bahasa arab) adalah bentuk jamak dari kata

khulk.kata akhlak atau khuluk secara kebahasaan berarti budi pekerti,

adat kebiasaan, perangai, muru’ah atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat. (Nata, 2013:2) Khulk di dalam kamusal-Munjid berarti


(24)

budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Di dalam Da’iratul

Ma’arif dikatakan:

ﺒﹶ

ُﺔﱠِﺴدﺴ ْﺒ ِنﺎﺴ ِْْﺒ ُتﺴﺎ ِ ﺴ ِ ُﺨﺴ ْ ﺴْ

“Akhlak ialah sifat-sifat manusia yang terdidik”.(Asmaran, 1992: 1)

Dari pengertian diatas dipahami bahwa akhlak adalah sifat-sifat yang dibawa manusia sejak ia lahir yang tertanam di dalam jiwanya. Dari sifat ini dapat melahirkan sebuah perbuatan yang bernilai baik yang disebut dengan akhlak mulia, namun bisa juga menimbulkan suatu perbuatan buruk yang dinamakan akhlak yang tercela.

Ahmad Amin mengemukakan bahwa akhlak ialah kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kehendak itu bila dibiasakan untuk melakukan suatu perbuatan maka kebiasaannya itu dinamakan akhlak. Contohnya, bila kehendak itu dibiasakan memberi, maka kebiasaan itu ialah akhlak dermawan. Begitu pula pendapatnya Soegarda Poerbakawatja mengemukakan bahwa akhlak ialah budi pekerti, watak, kesusilaan (kesadaran etik dan moral) yaitu kelakuan baik yang merupakan akibat dari sikap jiwa yang benar terhadap Khaliknya dan terhadap sesama manusia. (Asmaran, 1992: 2)

Ibrahim Anis (Asmaran, 1992: 2) mendefinisikan akhlak sebagai berikut:

ﺳْﲑﺴﻏ ْ ِ ﱟﺮﺴﺷ ْوﺴﺒ ﺳْﲑﺴ ْ ِ ُلﺎﺴْﺴْﻷﺴﺒ ﺎﺴﻬْـﺴ ُرُﺪْ ﺴﺗ ﺳﺔﺴ ِﺒﺴر ِ ْﱠـِ ﺲلﺎﺴﺣ ُﻖُُْﳋﺴﺒ

ﺳﺔﺴْؤُرﺴو ﺳﺮْﻜِ ﺴﱃِﺒ ﺳﺔﺴﺟﺎﺴﺣ


(25)

“Akhlak ialah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah beragam perbuatan, baik maupun buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan”.

Imam Ghazali (Asmaran, 1992: 2) mendefinisikan akhlak dalam kitab Ihyanya sebagai berikut:

ًﺮْ ُﺴو ﺳﺔﺴﻮُﻬُ ِ ُلﺎﺴِِْْﺒ ُرُﺪْ ﺴﺗ ﺎﺴﻬْـﺴ ﺲﺔﺴ ِﺒﺴر ِ ْﱠـﺒ ِﰱ ﺳﺔﺴﺌْﺴ ْ ﺴ ﺲةﺴرﺎﺴِ ُﻖُُْﳋﺴﺒ

ﺳﺔﺴْؤُرﺴو ﺳﺮْﻜِ ﺴﱃِﺒ ﺳﺔﺴﺟﺎﺴﺣ ﺳْﲑﺴﻏ ْ ِ

Al-Khulk ialah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan

macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.

Jadi pada hakikatnya akhlak ialah sifat yang telah meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian yang dapat menimbulkan perbuatan yang beragam secara spontan tanpa rekayasa dan tanpa memerlukan pemikiran. Dalam hal ini kita juga harus membedakan antara “ilmu akhlak” dan “akhlak” itu sendiri. Ilmu akhlak adalah ilmu, yang bersifat teoritis sedangkan kalau disebut “akhlak” saja itu bersifat praktis. Ahmad Amin (Zahruddin AR dan Hasanuddin Sinaga, 2004: 39-40) menyebutkan bahwa Ilmu akhlak juga sangat urgen karena bukan hanya sebagai teori dan kemauan namun juga mempengaruhi dan memberi petunjuk kepada kemauan manusia yang bisa membentuk kehidupan dan perbaikan amal perbuatannya guna mencapai nilai hidup yang luhur.

Jika Islam disebut sebagai sebuah sistem maka akhlak adalah salah satu sub-sistemnya. Demikian, kalau akhlak dalam islam tidak akan berbeda dengan sistem nilai agama islam itu sendiri.


(26)

Asmaran dalam bukunya menyebutkan akhlak dalam Islam memiliki nilai-nilai pokok. Dia menegaskan sebagaimana berikut:

1) Akhlak Rabbani

Akhlak Rabbani adalah landasan sumber ajaran akhlak itu

diambil dalam hal ini sumber yang dimaksudkan tersebut adalah wahyu Ilahi dan Sunnah Rasul. Dalam Islam akhlak Rabbani inilah yang mampu menghindari kekacauan nilai moralitas dalam hidup manusia.

2) Akhlak manusia

Akhlak manusiawi adalah setiap ajaran yang ada dalam islam sejalan dengan dan memenuhi tuntunan fitrah manusia. Manusia sebagai makhluk sosial akan senantiasa selalu merindukan kebaikan di dalam jiwanya dan hal ini hanya akan tercapai jika manusia itu sendiri mengikuti ajaran akhlak dalam Islam.

3) Akhlak universal

Akhlak universal adalah bahwa ajaran Islam sesuai dengan kemanusiaan yang universal dan mencakup segala aspek hidup manusia.

4) Akhlak keseimbangan

Akhlak keseimbangan adalah bahwa ajaran akhlak dalam Islam adalah tengah-tengah antara yang menghayalkan manusia sebagai malaikat yang hanya menitikberatkan sisi kebaikannya


(27)

dan yang menghayalkannya sebagai hewan atau seperti hewan yang menitikberatkan pada sifat keburukannya saja.

5) Akhlak realistik

Maksud dengan akhlak realistik adalah bahwa ajaran akhlak dalam Islam memperhatikan kenyataan manusia. Realistik akhlak dalam Islam adalah keadaan luar biasa yang dihadapi manusia dalam hidupnya diperhatikan. Hal ini sejalan dengan Islam yang berstatus sebagai agama terakhir yang Allah hadirkan sekaligus sebagai pelengkap maupun penyempurna yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad untuk memberi pedoman hidup yang bersifat menyeluruh, lengkap, langgeng, dan abadi untuk mencapai kebahagiaan, di dunia dan di akhirat kelak.

b. Sumber dan ruang lingkup akhlak

Islam adalah agama yang di dalamnya terdapat ajaran-ajaran yang bersumberkan kepada al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pula dengan konsep akhlak. Yang dimaksud dengan sumber di sini adalah standar penilaian baik dan buruk atau mulia dan tercela. Sehingga ketika berbicara tentang akhlak maka tolak ukur yang menjadi standar penilaiainnya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Bukan kembali kepada apa yang menjadi ‘urf dalam masyarakat maupun terori-teori yang kesesuaiannya hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu. (Ilyas, 2012: 4)


(28)

Mansur Ali Rajab (Abdullah, 2008: 9) mengemukakan bahwa ‘urf tidak dapat dijadikan sebagai standarisasi pengukuran akhlak. Karena hal ini sejalan dengan apa yang ‘Aisyah jelaskan kepada para sahabat ketika bertanya tentang bagaimana akhlak Rasulullah Saw. dengan tegas ‘Aisyah menjelaskan bahwa akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an. Bagi umat Islam, al-Qur’an dan as-Sunnah adalah alat pengukur akhlak.

Rachmat Djatnika (Ali, 1998: 346) menyebutkan bahwa:

perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab Akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis (bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna) antara lain berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat

Kalau perkataan budi pekerti dihubungkan dengan akhlak kedua-duanya mengandung makna yang sama. Budi pekerti maupun akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pelaksanaannya dalam tingkah laku yang kadang bisa menjadi negatif dan positif, mungkin baik dan mungkin buruk. Yang termasuk kedalam pengertian baik adalah segala tingkah laku, sifat, watak, yang sifatnya benar, amanah, sabar, pemaaf, pemurah, rendah hati dan sebagainya. Sedangkan yang termasuk kedalam pengertian akhlak buruk adalah semua tingkah laku yang sifatnya buruk, seperti sombong, dendam, dengki, dan khianat. Yang menentukan suatu perbuatan itu baik dan buruk adalah nilai dan norma agama, juga kebiasan atau adat istiadat. (Ali, 1998: 347)


(29)

Istilah lain yang berkembang di masyarakat yang sering dikaitkan dengan akhlak adalah moral dan etika. Berbicara moral sama artinya dengan berbicara tentang etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Karena moral umum diukur dari sikap manusia pelakunya dan moral hanya merupakan sebagian dari suatu kebudayaan. (Soetriono dan Hanafie, 2007: 128) Moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan etika sendiri berasal dari kata latin ethic, dalam bahasa Gerik: Ethikos is a body of moral principles or values. Ethic arti sebenarnya adalah kebiasan. Namun, lambat laun pengertian etika berubah, seperti sekarang. Etika adalah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia. (Rahmaniyah, 2010: 57) Moral selalu dikaitkan dengan ajaran baik-buruk yang diterima umum atau masyarakat. Oleh karenanya yang menjadi standar dalam penilain ini adalah adat istiadat. Sedangkan etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Etika lebih banyak dikaitkan dengan ilmu atau filsafat oleh karenanya yang menjadi standar baik dan buruk adalah akal manusia. Jika dibandingkan dengan moral, maka etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral bersifat praktis. (Hamzah, 2014: 141)


(30)

Berdasarkan teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa antara akhlak, etika, dan moral memiliki perbedaan. Ditinjau dari standar penilaianpun sudah berbeda. Standar baik atau buruk akhlak adalah al-Quran dan as-Sunnah sedangkan standar baik-buruk etika dan moral adalah akal dan adat masyarakat. Dengan demikian standar nilai moral dan etika bersifat lokal dan temporal, sedangkan standar akhlak bersifat universal dan abadi. (Hamzah, 2014: 141)

c. Pendidikan dalam Islam

Islam adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk selalu belajar dan mengembangkan diri. Sebagaimana wahyu pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW. yang berbunyi

iqra’ atau bacalah. Hal ini bermakna bahwa pendidikan adalah

langkah awal dari pengembangan manusia. Yaitu perintah membaca, mengkaji, dan menganalisa. Konsep ini menunjukkan bahwa langkah awal dari pengembangan diri manusia adalah memahami dan mendalami kebenaran yang harus dilandasi dengan iman kepada Allah SWT. (Mustakim, 2013: 130)

Malik Fajar sebagaimana dikutip Abuddin Nata dalam

Kapita Selekta Pendidikan Islam mengungkapkan bahwa

hubungan antara Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi dari sekeping mata uang, yang artinya Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar, baik secara


(31)

ontologis, epistimologis, maupun aksiologis. (Nata [ed.], 2003: 224) sehingga wajar jika dikatakan bahwa pendidikan adalah salah satu alat untuk memajukan peradaban, mengembangkan masyarakat, dan membuat generasi mampu berbuat banyak dengan kepentingan mereka. Bahkan jika suatu negara stabilitasnya tergoncang maka yang pertama kali diperhatikan dan harus dibenahi adalah sistem pendidikannya. (Aly dan Munzier, 2003: 1)

Hal ini tentunya tidak semata-mata menjalankan suatu sistem pendidikan yang hanya berorientasi kepada kehidupan keduniaan namun juga perlu memperhatikan dan menerapkan sistem yang sesuai atau mengikuti tuntunan-tuntunan dari ajaran Islam. Karena hanya sistem yang lahir dengan spirit Islamlah yang paling benar dan akan berlaku untuk kehidupan selama-lamanya.

Hal di atas senada pula dengan keberadaan manusia sebagai makhluk yang kehadirannya disertai dengan berbagai potensi atau kemampuan. Potensi inilah yang membedakan manusia dengan binatang disamping dari adanya persamaan antar keduanya. Potensi yang membedakan tersebut adalah manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, berkreasi, beragama, beradaptasi dengan lingkungan. Dengan adanya berbagai macam kemampuan dasar tersebut, maka manusia dalam hidup tidak hanya berdasar pada instink atau naluri saja seperti halnya


(32)

binatang, tetapi juga berdasarkan dorongan dari berbagai potensi yang dimilikinya. (Zuhairini, 2009: 94)

Manusia harus mendayagunakan potensi yang dianugerahkan kepadanya secara bertanggung jawab dalam rangka merealisasikan tujuan dan fungsi penciptaanya di alam ini. Sebab manusia adalah makluk Tuhan yang otonom, berdiri sebagai pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonis jiwa-raga dan eksis sebagai individu yang memasyarakat. (Soetriono dan Hanifie, 2007: 1) sebagai makhluk bermateri, manusia memiliki badan atau bagian yang bersifat fisikal, berwujud materi, nyata ada, da nada dalam kenyataan. Tetapi manusia bukanlah sekedar badan atau jasmani, sebab jika manusia hanya jasmani belum bisa disebut manusia. (Mursidin, 2011: 1) Para ahli pendidikan muslim umumnya sependapat bahwa teori dan praktik kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang manusia. Pembicaraan akan hal ini menjadi sangat vital dalam pendidikan. Tanpa kejelasan akan hal ini, pendidikan akan meraba. Bahkan Ali Ashraf sebagaimana dikutip oleh Bukhari Umar menyebutkan, pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang pengembangan individu seutuhnya. (Umar, 2010: 18)

2. Pendidikan agama Islam a. Pengertian pendidikan


(33)

Syalabi (1954) sebagaimana dikutip Rasyidin dan Nizar (2005) menyatakan bahwa istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term tarbiyah,

al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga term tersebut yang paling

populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam adalah term

al-tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang

sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.

Terkait dengan apa itu al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim,

di antara para tokoh Islam sangat banyak memberikan definisi yang saling berbeda dari ketiga term di atas. Seperti halnya Al-Attas (Maemonah, 2015: 127) memberikan definisi pendidikan adalah proses ta’dib, bukan tarbiyah atau ta’lim. Al-Attas berpendapat demikian sesungguhnya sangat sederhana. Bagi al-Attas, di dalam ta’dib juga terdapat proses tarbiyah atau ta’lim.

Terlepas dari perdebatan makna dari ketiga term di atas, secara terminologi, para ahli pendidikan Islam telah mencoba memformulasikan pengertian pendidikan Islam yang sangat variatif. Adapun diantaranya adalah; al-syaibany mengemukakan bahwa pendidikan islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta didik pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya. Proses tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai


(34)

suatu aktivitas asasi dan profesi di antara sekian banyak prosesi asasi dalam masyarakat.

Muhammad Fadhil al-Jamaly mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan berdasarkan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia. Dengan proses tersebut, diharapkan akan terbentuk pribadi peserta didik yang lebih sempurna, baik yang berpotensi akal, perasaan, maupun perbuatannya. Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama. Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. (al-Rasyidin dan Nizar, 2005: 31)

Lodge (Tafsir, 2011: 6) mengemukakan arti sempit dari definisi pendidikan. Secara sempit pendidikan adalah pendidikan sekolah; jadi pendidikan adalah pendidikan formal. Marimba mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama.


(35)

Dari batasan di atas, penyusun menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah upaya untuk menjadikan peserta didik agar berprilaku sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang memuat segala unsur dari segala kehidupan. Sehingga dengan berprilaku sesuai dengan ajaran-ajaran Islam peserta didik dapat menjadi sesosok yang bisa mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukannya dengan berdasarkan ajaran Islam.

Zakiah Daradjat menyebutkan dalam bukunya “Pendidikan

Islam dalam Keluarga dan Sekolah” setidaknya ada tujuh

dimensi yang harus dimiliki atau dihadirkan bagi setiap penggalak dunia kependidikan agar proses pelaksanaanya dapat dengan mudah berjalan dan pembangunan manusia dapat direalisasikan. Adapun ketujuh dimensi tersebut adalah sebagaimana berikut:

` 1). Dimensi fisik

Dapat dikatakan bahwa dimensi fisik termasuk yang diperhatikan di dalam Islam. Lebih jauh dimensi fisik tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

(a). Pendidikan raga lewat ibadah, atau lainnya agar membentuk akhlak yang baik, misalnya kegiatan olahraga


(36)

melalui salat dan haji, yang disamping merupakan kegiatan spiritual, juga berisi kegiatan olahraga.

(b). Kebersihan secara umum, misalnya membersihkan tubuh, baik keseluruhan maupun wudhu

(c). Mengaitkan dimensi tubuh dengan dimensi-dimensi lainnya, sehingga pendidikan olahraga sekaligus merupakan pendidikan keimanan, pikiran, pengamatan, dan akhlak.

(d). Pendidikan seks yang merupakan bagian dari kegiatan tubuh dan tenaga vital yang timbul dari badan, sekaligus merupakan pemantulan dari dimensi agama dan kejiwaan terhadap tubuh.

2). Dimensi akal

3). Dimensi iman

4). Dimensi akhlak

5). Dimensi kejiwaan

6). Dimensi keindahan


(37)

b. Pengertian pendidikan agama Islam

Pendidikan Agama Islam terdiri dari dua kata yaitu pendidikan dan Islam. Kata Islam merupakan kata kunci yang berfungsi sebagai sifat atau pemberi ciri khas pada kata pendidikan.

Imam Ghazali mengemukakan bahwa pendidikan Agama Islam berusaha mencapai dua tujuan yaitu insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan insan purna yang berutujuan mendapatan kebahagaian dunia dan akhirat. Kedua tujuan tersebut identik dengan tujuan hidup manusia. (Rohmadi, 2012: 146)

c. Prinsip pendidikan agama Islam

Muhaimin (Rohmadi, 2012: 149) mengatakan bahwa Pendidikan Agama Islam memiliki 7 prinsip. Keenam prinsip tersebut adalah

1) Mempunyai pertautan yang sempurna dengan agama Setiap yang berkaitan dengan komponen-komponen Pendidikan Agama Islam seperti tujuan, falsafah, metode dan lain-lain harus berdasarkan ajaran agama. Hal ini dikarenakan manusia membutuhkan bimbingan dan petunjuk yang benar yang bernilai mutlak untuk kebahagian dunia dan akhirat.


(38)

Maksudnya Pendidikan Agama Islam harus mencakup berbagai aspek pribadi peserta didik. Prinsip ini dapat dipahami bahwa Islam memiliki nilai universal dalam segala hal yang sesuai dengan kebutuhan makhluk-Nya.

3) Keseimbangan

Maksudnya Agama Islam yang merupakan dasar Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan antara kepentingan dunia-akhirat, mengakui kepentingan jasmani, akal dan qalbu, dan kebutuhan masing-masing.

Prinsip ini dapat dipahami dari konsep Islam tentang manusia yang menyatakan bahwa manusia tersusun atas tiga unsur yaitu jasmani (tubuh), akal (daya berfikir) dan qalbu (daya merasa).

Manusia sebagai sasaran pendidikan tidak lantas menjadikan islam melupakan penerapan prinsip keseimbangan. Keseimbangan ini memiliki pengertian yang luas antara lain keseimbangan antara jasmani, akal, dan qalbu, keseimbangan unsur material dan spiritual, keseimbangan antara fakta dengan ideal.


(39)

Manusia adalah makhluk yang dijadikan Allah dengan segala keterbatasan. Sehingga ia membutuhkan orang lain dan lingkungannya. Karenanya pendidikan itu harus disesuaikan dengan kebutuhan alam sekitar atau lingkungan di mana mereka hidup.

5) Keberagaman

Maksudnya Pendidikan Agama Islam mengakui adanya perbedaan-perbedaan individual peserta didik baik dalam bakat, minat dan kemampuan-kemampuannya. Manusia memiliki bakat, minat dan kemampuan masing-masing, oleh karenanya Pendidikan Agama Islam harus diarahkan untuk selaras kemampuan, bakat dan minatnya masing-masing.

6) Perkembangan dan perubahan selaras dengan

kemaslahatan masyarakat Islam, dengan tetap dilandasi oleh nilai-nilai Islami.

Maksudnya adalah ajaran Islam mendorong manusia untuk bersikap dinamis dan kreatif, Islam mendorong para pemeluknya untuk membuat inisiatif dalam hal keduniaan yang memberi manfaat kepada masyarakat, Islam juga mengajarkan agar berupaya mengubah dan mengarahkan keadaannya menjadi baik, untuk itu Pendidikan Agama Islam harus disesuaikan


(40)

dengan perkembangan dan perubahan yang selaras dengan kemaslahatan umum.

7) Pertautan antar mata pelajaran,

pengalaman-pengalaman, kebutuhan peserta didik, masyarakat serta tuntutan zaman.

Maksudnya adalah Islam mendorong umatnya untuk mempelajari Islam secara menyeluruh dan integral tanpa adanya sikap dikotomis, maksudnya setiap mata pelajaran hendaklah bertujuan untuk mencari kebenaran Allah sebagai pencipta alam semesta tanpa membedakan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Untuk mencapai target out put Pendidikan Agama Islam, ketujuh prinsip diatas merupakan landasan untuk merekonstruksi lulusan yang memiliki kepribadian muslim yang integral dan mampu menguasai ilmu mengurus diri dalam kaitannya dengan tugasnya sebagai hamba Allah dan ilmu mengurus sistem dalam kaitannya dengan tugasnya sebagai khalifatullah.

d. Implementasi kurikulum pendidikan agama Islam

Muhaimin (Rohmadi, 2012: 156) menyebutkan bahwa ada 3 teori pendukung dalam pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Yaitu; pertama, teori perkembangan


(41)

kepercayaan. Kedua, teori perkembangan moral. Ketiga, teori bimbingan Islam.

1) Teori Perkembangan Kepercayaan

Teori ini menegaskan dari kepercayaan, yang berarti eksistensi pribadi atau keimanan sebagaimana yang dikemukakan oleh Fowler. Bahwa dalam teori ini kepercayaan memiliki beberapa tahapan-tahapan.

Pertama, kepercayaan awal dan elementer (usia 0-2 Tahun), tahap ini ditandai rasa cita rasa yang bersifat preverbal terhadap kondisi-kondisi eksistensi, yaitu rasa percaya dan setia yang elementer pada semua orang dan lingkungan yang mengasuh sang bayi. Seperti halnya kecenderungan anak kecil yang senantiasa tenang dan bisa tidur apabila di dalam dekapan ibu atau pengasuhnya. Kaitan dalam pembelajaran agama, maka tahap ini bisa dengan mengenalkan nilai-nilai agama

serta membiasakan yang baik. Kedua, kepercayaan

intuitif-projektif (masa kanak-kanak, usia 2-6 Tahun). Yaitu tahap penuh fantasi, imajinasi dan peniruan. Pada tahap ini, anak didorong oleh rasa percaya diri yang terbagi antara keinginan untuk mengekspresikan dorongan hatinya dan ketakutan akan ancaman hukuman. Dalam pendidikan agama pada tahap ini


(42)

dikenakan dengan simbol-simbol keagamaan (dosa-paha, surga-neraka) hafalan do’a-do’a, ayat-ayat dan perlu keteladanan. Ketiga, kepercayaan mitis harfiah, (masa 6-11 Tahun) tahap ini mengambil faedah dari cerita dan contoh yang sesuai dengan kehidupannya. Tahap ini mulai berpikir logis dan mengatur dunianya dengan kategori sebab-akibat. Dalam keagamaan orang tua mengintegrasikan antara pelajaran agama di sekolah dengan pelajaran agama di rumah, karena usia ini sudah menghargai dan membandingkan apa yang diperoleh dari guru dan orang-orang yang berada disekitarnya.

Keempat, kepercayaan sintesis-konvensional, (masa remaja dan seterusnya, usia 12-18), merupakan basis bagi penemuan identitas dan pandangan hidupnya. Dalam pendidikan keagamaan, tahap ini dikenalkan dengan nilai-nilai dan norma agama disertai pengarahan dengan alasan-alasan yang kuat, diharapkan adanya pemahaman dan kesadaran tumbuh rasa tanggung jawab sebagai konsekuensi pilihannya. Kelima, kepercayaan individual-reflektif, (usia 18-30 Tahun), tahap ini muncul kesadaran tentang identitas diri yang khas dan kemampuan refleksi diri tidak seluruhnya tergantung pada orang lain, demikian juga kesadaran memikul


(43)

tugas menentukan pilihan dan menyingkirkan sekian banyak alternatif menyangkut komitmen dalam hidup dan kepercayaan yang terbuka bagi dirinya. Dalam konteks keagamaan tahap ini memiliki kesanggupan memilih dan menentukan sendiri pilihan nilai yang ditawarkan oleh agama. Pembelajaran agama tidak lagi doktrin benar-salah, akan tetapi memberikan kesempatan untuk menggali dan menemukan pilihannya berdasarkan prosedur normatif penelaahan norma, nilai, atau agama sesuai alasan yang paling benar. Keenam,

kepercayaan konjungtif (usia setengah baya, umur 35-40 Tahun), tahap ini diperjuangkan sifat terbuka terhadap kebenaran tradisional yang sebelumnya dianggap berlawanan dan asing terhadap kebenaran rasional karena merupakan hasil ciptaan pribadi. Dalam konteks keagamaan tahap ini lebih menekankan pada simbolik dengan makna konseptual, kemampuan untuk menyatukan dua pandangan kontradiktif, kebenaran dan paradoks dalam pemikiran dan pengalaman. Ketujuh,

kepercayaan yang mengacu pada universalitas, (usia pertengahan sekitar 30 Tahun), tahap ini seseorang mampu menunjukkan komponen keimanannya yang mencakup semua dimensi, misal adanya tokoh-tokoh


(44)

besar dalam sejarah Islam, perubahan kognitif, afektif, dan psikomotorik.

2) Teori Perkembangan Moral

Teori ini dikembangkan oleh Kohlberg yang secara normal disebut cognitive-development theory of

moralization, dengan merumuskan pada tingkatan

moral, masing-masing tahap ditandai oleh dua tahap. Konsep Kohlberg adalah internalisasi, yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.

Tingkat pertama: penalaran prakonvensional, pada tingkat ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai moral, penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Ada dua tahap pada tingkatan ini:

Tingkat 1 : orientasi hukum dan ketaatan. Tingkat 2 : individualism dan tujuan.

Tingkat kedua: penalaran konvensional, di sini mempunyai 2 tahap :

Tahap 3 : Norma-norma interpersonal, tahap ini seseorang menghargai kebenaran, kepedulian,


(45)

dan kesetian pada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral.

Tahap 4: Moralitas sistem sosial, pada tahap ini pertimbangan moral didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan dan kewajiban.

Tingkat ketiga: penalaran pasca konvensional, pada tingkat ini moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Di sini ada 2 tahap:

Tahap 5 : Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual

Tahap 6 : Prinsip-prinsip universal, prinsip ini didasarkan pada prinsip etika universal dan penalaran abstrak.

3) Teori Bimbingan Islam

Teori ini adalah teori yang terlahir dari penelitian terhadap ajaran-ajaran Islam, sebagai pendorong dalam pembelajaran sehingga peserta didik mendapatkan muatan nilai yang bermanfaat bagi peserta didik dan menghasilkan perubahan-perubahan positif mengenai paradigma berfikir, cara menggunakan potensi nurani, cara perasaan, cara berkeyakinan dan


(46)

cara berperilaku berdasarkan ajaran Islam. Pada teori ini ada tiga teori bimbingan yang digunakan, yaitu:

Teori al-Hikmah, ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Ciri khas dari teori ini adalah adanya pertolongan Allah Swt. adanya ilham (intuisi) dan kasyaf (penyingkapan batin), adanya keteladanan dan keshalehan pendidik, teknik yang digunakan adalah teknik ilahiyah dengan menggunakan nasihat-nasehat dan mendo’akan kepada peserta didik.

Teori Mau’idhah hasanah, teori ini dengan menggunakan mengambil pelajaran-pelajaran atau I’tibar dari perjalanan kehidupan para nabi, auliya dan orang-orang yang shaleh dalam memberikan motivasi keteladanan kepada peserta didik.

Teori Mujadalah, teori ini menitikberatkan kepada peserta didik yang membutuhkan kekuatan, keyakianan dan kemantapan dalam menghilangkan keraguan, ketakutan, ketidak percayaan diri, dan prasangka negatif terhadap kebenaran illahiyah yang selalu berguna dalam nuraninya selamanya.


(47)

e. Asas pendidikan

Asas pendidikan merupakan sesuatu yang sangat fundamental dalam suatu sistem pendidikan. Cerminan dari dimilikinya suatu sistem pendidikan dapat dilihat dari dipilihnya suatu sistem pendidikan tertentu sebagai pandangan hidup yang dianutnya. Asas pendidikan akan merefleksikan apa yang menjadi nilai dari suatu sistem pendidikan, dengan melihat urgensi dari suatu asas pendidikan, dalam pendidikan Agama Islam asas pendidikan identik dengan dasar Islam itu sendiri. Muhaimin, et.al (1993) dalam Rohmadi (2012: 143).

Pendidikan di dalam Islam dibangun dalam sebuah asas atau pondasi yang menjadi tumpuan dibangunnya sebuah pendidikan. Dalam upaya perwujudan hal ini di dalamnya diperlukan sebuah sistem yang terprogram dan mantap. Serta tujuan yang jelas agar arah yang dituju mudah dicapai. Ilmu pendidikan Islam itu mempunyai asas-asas tempat ia tegak dalam materi, interaksi, inovasi, dan cita-cita lainnya. Tak ubahnya seperti ilmu kedokteran, teknik atau pertanian. Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu arena di mana dipraktikkan sejumlah ilmu yang erat hubungan satu sama lain dan jalin menjalin. (Nata, 2009: 25) Sebab pula pendidikan adalah upaya yang disengaja, maka ia dirancang dari proses suatu kegiatan yang memiliki landasan


(48)

dasar yang kokoh, dan arah yang jelas sebagai tujuan yang hendak dicapai. (Hamruni, 2008: 62)

Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem dapat dipahami bahwa dalam pendidikan Islam terdapat gagasan, prinsip-prinsip, dan subsistem lainnya yang saling berhubungan. Oleh karena itu, yang perlu diketahui lebih dahulu adalah dasar-dasar pendidikan Islam sebagai sistem. Dasar artinya tempat berpijak atau landasan, yang merupakan titik tolak Keberangkatan segala sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk beridirinya sesuatu. Setiap negara mempunyai dasar pendidikannya sendiri. Ia merupakan pencerminan falsafah hidup suatu bangsa. Dasar pendidikan Islam didasarkan kepada falsafah hidup umat Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sebab sistem pendidikan Islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. (Ramayulis, 2015: 187) Jika pendidikan Islam dikatakan sebagai sistem, pertanyaannya apa hakikat pendidikan Islam, bagaimana sumber dan dasar pijakannya, dan untuk apa pendidikan Islam itu ada? (Basri, 2009: 148)

Asas ini dinamakan adalah akidah Islam. Asas ini jugalah yang memberikan pengaruh dalam penyusunan sebuah


(49)

kurikulum pendidikan. Namun perlu diperhatikan penetapan akidah Islam sebagai asas pendidikan Islam bukan berarti mengharuskan segala ilmu pengetahuan bersumberkan dari akidah Islam. Karena sebagaimana faktanya tidak semua ilmu pengetahuan terlahir dari akidah Islam. Yang dimaksud menjadikan akidah Islam sebagai asas adalah menjadikan akidah Islam sebagai standar penilaian. Istilah lainnya adalah akidah Islam difungsikan sebagai kaidah atau tolak ukur pemikiran perbuatan. (Yusanto et al., 2014: 61) Sebab pengetahuan yang diwahyukan merupakan yang sangat penting dalam bidang agama. Ia berbeda dari sumber-sumber pengetahuan lainnya oleh karena adanya anggapan akan realitas supernatural-transenden yang menyejarah ke dalam tata kealaman. Kebenaran yang diperoleh melalui sumber wahyu adalah absolut dan tak tercampuri. Sedangkan penyimpangan dari kebenaran yang diwahyukan terletak pada proses interpretasi manusia. Ada yang beranggapan bahwa kelemahan utama pengetahuan yang diwahyukan adalah harus diterima atas dasar iman dan tidak bisa dibuktikan secara empiris. (Knight, 2007: 36)

f. Tujuan pendidikan

Tujuan artinya sesuatu yang dituju, yaitu yang akan dicapai dengan sesuatu kegiatan atau usaha. Sesuatu kegiatan akan


(50)

berakhir bila tujuannya sudah tercapai. Jika itu bukan tujuan akhir, kegiatan berikutnya akan langsung dimulai untuk mencapai tujuan selanjutnya dan terus begitu sampai kepada tujuan akhir. (Daradjat, 1996:71) Para ahli telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, dan mampu menjadikan mereka siap untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan ikhlas dan jujur. (al-Abrasy, 1990: 1) Oleh sebab itu tujuan dalam pendidikan Islam adalah idealitas (cita-cita) yang mengandung nilai-nilai Islami yang hendak dicapai dalam proses pendidikan proses pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam. Sehingga darinya lahirlah manusia-manusia yang terdidik di akhir proses tersebut. (Hamruni, 2008: 64)

Hasan Langgulung (Assegaf, 2011:73) tujuan akhir

(ultimate aim) pendidikan dalam Islam pembentukan pribadi

khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah, roh, di samping

badan, kemauan yang bebas, dan akal. Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah mengembangkan keempat aspek ini pada manusia agar ia dapat menempati kedudukan sebagai khalifah.


(51)

Naquib al-Attas (Roqib, 2005: 27) menyatakan bahwa pendidikan yang penting itu tujuannya diambil dari pandangan hidup (philosofy of life). Jika pandangan hidup itu Islam, maka tujuannya adalah membentuk manusia sempurna (Insan Kamil) menurut Islam.

Ali Ashraf (Arifi, 2010: 38) menyebutkan bahwa pendidikan Islam seharusnya bertujuan menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kerpribadian total manusia melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah, pada tingkat individu, masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya.

Muhaimin menyebutkan pada intinya tujuan pendidikan Islam itu ada dua, yaitu: pertama, pendidikan Islam merupakan aktivitas pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan hasrat dan niat untuk mengejawantahkan ajaran dan nilai-nilai Islam. Kedua, pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dikembangkan dari dan disemangati atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Sehingga dapat

dipahami pengertian pertama lebih menekankan aspek

kelembagaan dan program pendidikan Islam, dan yang kedua,


(52)

melekat pada setiap aktivitas pendidikan. (Muhaimin, 2009: 14)

Tujuan pendidikan Islam ialah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran Islam. Orang yang berkepribadian Muslim dalam al-Quran disebut

muttaqin”. Dengan kerangka ini, dapat dikatakan bahwa

tujuan pendidikan Islam bukan seharusnya “Bagaimana membuat manusia sibuk mengurus dan memuliakan Tuhan saja dan justru melupakan kepekaannya terhadap kemanusiaan,” tetapi tujuan pendidikan Islam adalah “memuliakan Tuhan dengan sibuk memuliakan manusia dan dunianya” serta memuliakan dan memberdayakan manusia dengan segala potensi yang dimilikinya. (Sanaky, 2003: 154) Karena itu pendidikan Islam berarti juga pembentukan manusia yang bertakwa. Ini sesuai dengan pendidikan nasional Indonesia yang dituangkan dalam tujuan pendidikan nasional yang akan membentuk manusia Pancasialis yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. (Daradjat, 1996:72) Di samping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural, dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Sehingga perumusan tujuan pendidikan Islam yang tanpa memperhatikan prinsip-prinsip akhlak adalah hampa. (Muhaimin, 2003: 19)


(53)

Tujuan Pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan diciptakannya manusia di muka bumi. Tujuan yang ingin dicapai oleh Islam dalam aspek pendidikan adalah membina manusia guna mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. (Yasin, 2008: 109)

Suyanto dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni berkepribadian Islam, menguasai

tsaqafah Islam dan terakhir menguasai ilmu kehidupan (sains

dan teknologi yang memadai.

Nur Uhbiyati menyebutkan bahwa tujuan pendidikan dengan berdasarkan kepada teori Klaus Mollenhauer bermacam-macam. Seperti, tujuan untuk kemerdekaan, keadilan sosial, untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi orang yang baik, menjadi anak yang saleh, berwibawa, suci dan lain-lain.

Pendidikan untuk kemerdekaan bermakna bahwa pendidikan ingin agar anak didik menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, dan merdeka tenaganya. Sedangkan tujuan dalam keadilan sosial bermakna bahwa pendidikan harus merata pada segala lapisan masyarakat, sehingga diharapkan segala lini dalam lapisan masyarakat tersentuh oleh pendidikan. Sedangkan tujuan untuk


(54)

agama merupakan bagian dari tujuan lembaga-lembaga agama yang menyelenggarakan sekolah-sekolah. Sedangkan tujuan untuk menjadi orang baik adalah tujuan dari setiap orang tua di Indonesia secara umum yang tidak mempunyai tujuan hidup khusus untuk anaknya kelak sewaktu mereka telah dewasa seperti menjadi orang saleh, dan berwibawa. (Uhbiyati, 1997: 33)

Senada dari kedua tujuan pendidikan diatas (keadilan sosial dan kemerdekaan Indonesia) dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan dari pendidikan yang hendak dicapai adalah keadaan

Das Sollen dari masyarakat atau individu. Das Sollen ini

berarti aspek atau sifat ataupun kondisi masyarakat yang belum berwujud, akan tetapi hendak diwujudkan melalui pendidikan. Ini juga berarti bahwa sifat atau watak anak didik yang belum terwujud tetapi tetap menjadi prioritas dari tujuan pendidik. Oleh karena itu tujuan pendidikan bukanlah menunjuk kepada sesuatu yang nyata, tetapi kepada sesuatu norm. Tujuan pendidikan merupakan garis finis dalam suatu perlombaan yang hendak dicapai oleh para pesertanya yang pada proses pendidikan berarti pendidiknya, bukan anak didiknya. (Uhbiyati, 1997: 34)


(55)

g. Materi Pendidikan

Rahman dalam buku Sutrisno mengemukakan bahwa materi pendidikan jika dikaitkan dengan klasifikasi ilmu pengetahuan, dapat ditemukan dengan adanya pengetahuan tentang alam, pengetahuan tentang sejarah (sosial), dan pengetahuan manusia (humaniora). Akan tetapi jika materinya disesuaikan tujuan pendidikan yang ketiga maka materinya tentu saja terdiri dari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu modern. Adapaun metode pembelajarannya menggunakan penekanan-penekanan pada cara-cara memahami dan menganalisis materi pelajaran, bukan sekedar mengulang-ulang materi pelajaran sampai hafal. (Sutrisno, 2008: 5)

Pendidikan agama Islam merupakan komponen yang tidak bisa terpisahkan dari sistem pendidikan Islam dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam pada berbagai disiplin ilmu. Dalam hal ini tujuan pendidikan agama Islam adalah berintikan kepada tiga aspek yaitu iman, ilmu, dan amal. Seluruh rangkaian usaha pendidikan agama Islam yaitu bertujuan untuk membentuk manusia beriman. Senada akan hal ini, ilmu pengetahuan menjadi faktor essensial dalam pendidikan. Hubungan ilmu pengetahuan dengan agama dewasa ini sudah tampak benang merah yang menjembatani kesenjangan yang selama ini sudah terjadi. Hal ini disebabkan dari tumbuhnya


(56)

kesadaran umat manusia akan terbatasnya ilmu pengetahuan dalam memecahkan berbagai masalah umat, terutama masalah yang berkaitan dengan moralitas. Oleh karenanya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sangat diperlukan untuk meningkatkan kualitas manusia. Namun di sisi lain perlu dicatat proses dari semua itu harus senantiasa menyertakan hadirnya nilai-nilai luhur sehingga tidak menimbulkan kerugian sendiri bagi manusia. Sebab Imtak dan Iptek memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tidak dapat dilepaskan dari kehidupan seorang muslim. Imtak tanpa dibarengi dengan Iptek manusia akan ketinggalan dan digilas oleh kemajuan zaman. Sebaliknya Iptek tanpa Imtak juga akan berakibat fatal dan dapat membawa kehancuran bagi manusia, karena penggunaan Iptek menurut kehendaknya tanpa mempertimbangkan moral agama. (Jahja, 2013: 135) Disitulah Islam dituntut untuk menyodorkan konsep pendidikan dengan mengintegrasikan nilai Islam dan Ilmu pengetahuan. (Isna, 2001: 68)

Sejarah mencatat, terdapat beragam sikap umat Islam terhadap teknologi. Ada diantara mereka anti dan resisten terhadap teknologi. Dan ada yang bersikap moderat sehingga mereka mau dan terbuka menerima perkembangan zaman termasuk teknologi. Dan ada pula yang kebablasan menerima


(57)

semua tanpa filter penyaring yang menyertai sehingga terkesan liberal dan sak penake dewe (semau nafsunya). Sehingga muncul sebuah pertanyaan bagaimana teknologi seharusnya disikapi terutama dalam konteks pengembangan pendidikan Islam. (Anshori, 2010: 81)

3. Kajian umum tentang buku

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia buku adalah lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong (software KBBI v.1.5.1). di zaman yang sudah sangat modern ini buku bukan lagi menjadi barang aneh ataupun sesuatu yang sulit untuk ditemukan. Bahkan rasanya disetiap jengkal dari kehidupan kita selalu bersinggungan dengan yang namanya buku terlebih pada saat ini buku tidak lagi dalam bentuknya yang nyata bahkan dikemas dalam bentuk buku yang sifatnya dilayar kacapun sudah banyak diciptakan. Contohnya seperti kumpulan buku-buku elektronik atau biasa disebut dengan istilah E-book. Namun jelas dari sekian banyaknya buku-buku yang ada tentu semuanya berbicara tarkait berbagai macam masalah ataupun opini dari penulisnya.


(58)

A. Jenis dan Pendekatan Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupan penelitian kajian pustaka (library research),

yaitu penelitian yang berusaha menghimpun data dari khazanah literatur dan menjadikan dunia teks sebagai obyek utama analisisnya. Sedangkan sumber datanya berasal dari bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku, karya ilmiah, jurnal dan lain-lain.

B. Data dan sumber Data

Data penelitian ini menggunakan data kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk kata atau kalimat yang sumbernya didapatkan dari segala macam literatur (buku-buku, majalah, internet, jurnal, skripsi, dan sebagainya) yang mendukung terkait dengan judul penulis dan kesesuainnya.

Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang menjadi sumber data, sedang isi catatan adalah obyek penelitian atau variabel penelitian (Suharsimi Arikunto, 1993: 102). Sumber data terbagi dalam dua jenis, yaitu data primer dan data sekunder:


(59)

Sumber data primer dalam penelitian ini buku Ibrah

Kehidupan karya Haedar Nashir. Data ini tersaji dalam bentuk

kisah-kisah, nilai-nilai filsafat kehidupan ada dalam setiap judul di dalamnya dan wacana yang termuat dalam buku Ibrah

Kehidupan yang diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah,

Yogyakarta cetakan pertama, januari 2013. b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder dalam penelitian kali ini antara lain:

1) Artikel atau tulisan yang berkaitan dengan buku Ibrah

Kehidupan, baik dari media cetak berupa jurnal, koran,

majalah, testimoni, atau dari media elektronik seperti internet dan televisi.

2) Buku Pengantar Studi Akhlak karya Asmaran

3) Buku Konsep-Konsep Etika Religiusitas dalam Qur’an karya Toshihiko Izutsu

4) Buku Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah karya Zakiah Darajat.

5) Buku Kritik atas Konsep Moralitas Barat (falsafah akhlak) karya Murtadha Muthahhari.

6) Software Maktabah Syamilah versi 3.47

7) Software Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI v.1.3), dan lain sebagainya.


(60)

C. Teknik dan Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel berupa transkrip, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Data yang terkumpul dalam bentuk kalimat-kalimat atau kisah-kisah.

D. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menganalisa data dengan menggunakan analisis isi (content analysis), yang merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi yang ada. Temuan-temuan berupa data-data yang berupa kalimat-kalimat, kisah-kisah ditelaah, dipahami, kemudian disusun dalam suatu draf sehingga terbentuk hasil analisis hasil penelitian selama melakukan penelitian.


(61)

A. Biografi singkat Haedar Nashir

Beliau Lahir di Desa Ciheulang, daerah Ciparay, Bandung Selatan, sebuah desa yang dimasa DI/TII pimpinan Kartosuwiryo menjadi perebutan pengaruh antara DI/TII dan TNI. Lahir dari pasangan Haji Ajengan Bahrudin dan Hajah Endah binti Tahim. Haedar Nashir adalah anak ragil dari 12 bersaudara, wajar bila Haedar kecil menjadi anak yang disayang orang tuanya.

Berkaitan dengan didikan keislaman, ayahnya Haji Ajengan Bahrudin menerapkan disiplin yang ketat. Guyuran air akan menimpanya bila tidak segera bangun untuk sholat subuh. Begitu juga sambitan selendang haji akan melecutnya saat ia salah membaca Al-Quran. Pendidikan Islam yang pertama berasal dari ayahnya. Selain itu didikan Pondok Pesantren Cintawana,Tasikmalaya Jawa Barat juga juga menjadi modal dalam memahami Islam di kemudian hari. Didikan Agama dari sang ayah dan belajar di pesantren menjadikan Haedar Nashir akrab dengan dunia santri sejak kecil.

B. Pengalaman Karier dan Karya Haedar Nashir

Haedar Nashir yang lahir di Bandung, 25 Februari 1958 sejak kecil ingin bersekolah di Yogyakarta, tapi masih belum diperbolehkan oleh ayahnya. Ia Menamatkan SD di Madrasah Ibtidaiyah Cigugur-Ciparay


(62)

Kabupaten Bandung, SMP Muhammadiyah III Padasuka Bandung dan SMA Negeri X Kota Bandung Jurusan B (Ilmu Pasti dan Alam). Bakat organisasinya sudah terasah sejak di SMA. Ia Ketua Cabang Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PC IPM) di Padasuka Bandung, ia menjadi ketua saat IPM baru dirintis di kecamatan tersebut. Sebagai ketua IPM itulah ia terbiasa mencari dana kesana-kemari untuk acara perkaderan dan lainnya. Ia selalu mengingat saat ia menjadi ketua IPM dan perjuangan mencari dana untuk menyelenggarakan kegiatan IPM disana. Niat untuk belajar di Yogyakarta akhirnya kesampaian, Haedar Nashir Muda diperbolehkan untuk kuliah di Jogja. Putaran nasib memang sudah ditentukan Allah SWT.

Ia sejak awal kuliah bercita-cita ingin menjadi lurah atau camat. Makanya sesampai di jogja Ia mengambil Sarjana Muda (BA) di Akademi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” Yogyakarta dan Strata 1 (S1) di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “STPMD” Yogyakarta. Selama kuliah ia mendapat beasiswa Supersemar dan lulus sebagai sarjanan terbaik. Rupanya dorongan menjadi wartawan dan penulis memupus cita-citanya menjadi lurah dan camat di kampung kelahirannya.

Minat Haedar Nashir muda pada studi sosial dan keagamaan yang mengantarkannya untuk Studi Sosiologi di Pascasarjana UGM (S2,1998) dengan tesisnya berjudul Perilaku Elite Politik Muhammadiyah di Pekajangan dan Studi Sosisiologi di Program Doktor di UGM (S3,2007) dengan Disertasinya Islam Syariat:Reproduksi Salafiyah Ideologis di


(63)

Indonesia. Selain itu Haedar Nashir menulis lebih dari 10 buku yang berisi pemikirannya tentang Muhammadiyah. Hajriyanto Y Tohati, mantan Wakil Ketua MPR RI menujuluki Haedar Nashir sebagai Ensilopedi berjalan Muhammadiyah.

Karier Haedar Nashir tidak jauh dari dunia penulisan. Mulai dari penulis di koran lokal dan nasional, Peneliti pada LP3 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Wartawan hingga Pemred Majalah Suara Muhammadiyah dan sejak tahun 2000 menulis rutin di Republika. Sebagai pendidik menjadi Dosen di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Kalijaga (1993-1998), dan Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sampai sekarang. Setelah menjadi Doktor Haedar Nashir juga mengajar Pemikiran Islam dan Politik Islam pada Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga dan sesekali menjadi pembimbing disertasi di Pascasarjana UGM.

1. IPM dan Muhammadiyah Pilihan Gerakannya

Tanah Jogja menjadikan Haedar Nashir kerasan menetap. Selepas dari IPM di Bandung karir organisasinya di Jogja dimulai dari Pimpinan Wilayah IPM DIY. Sebagai aktivis organisasi Haedar Nashir punya prinsip sendiri. Ia lebih suka menuangkan kritik terhadap keadaan dengan tulisan dan bukan demo dijalanan. Semasa mahasiswa di tahun 80an Haedar Nashir sudah sudah tertarik pada isu- isu pembangunan masyarakat desa. Tahun 1979-1985 ia masuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Dhworowati Cultural Institute, pengalaman di LSM inilah yang menjadikan pemikiran keislamannya


(64)

dikemudian hari cenderung kritis pada masalah pembangunan dan kondisi Masyarakat Islam.

Muhammadiyah adalah tempat berlabuhnya Haedar Nashir dan IPM adalah jejak awal karir organisasinya, mulai dari IPM Cabang sampai Pimpinan Pusat IPM. Haedar Nashir dikenal sebagai tokoh perkaderan dan salah satu pencetus Sistem Perkaderan IPM (SP IPM) sistem perkaderan berjenjang di IPM yang dipakai sampai hari ini. Ia juga salah satu anggota Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah. Tidak heran pada tahun 1990-1995 dan 1995-2000 Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mempercayakan Badan Pendidikan Kader dan Pembinaan AMM PP Muhammadiyah kepadanya. Tahun 2000-2005 di beri amanah sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mendampingi Buya Syafii Maarif. Pada periode 2005-2010 dan 2010-2015 menjadi Ketua PP Muhammadiyah bersama Pak Dien

Syamsuddin. Ditangan Haedar Nashir inilah manajemen

keorganisasian Muhammadiyah ditata dengan baik.

2. Pasangan suami istri menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah dan

PP Aisyiyah

Di Muhammadiyah jugalah Haedar Nashir menemukan tambatan hatinya. Dalam kesibukannya mengurus organisasi romantisme kehidupan tidak ditinggalkan. Sebagai Ketua I PP IPM ia tidak bisa ditipu oleh pesona Ketua III PP IPM bernama Noordjannah Djohantini (Dra Hj Noordjannah Djohantini MM). Seringnya bertemu,


(65)

berbagi ide baik dalam acara formal ataupu informal menjadikan keduanya saling tertarik. Pada 10 September 1987 Haedar Nashir menikahi Noorjanah Djohantini yang berasal dari Moyudan, Sleman. Dari pernikahan ini lahir Hilma Nadhifa dan Nuha Aulia Rahma. Haedar Nashir dalam tulisannya juga menggunakan nama pena Abu Nuha,artinya Ayahnya Nuha

Haedar Nashir dan Noordjannah Djohantini walaupun sama-sama sibuk di Muhammadiyah tetap menjadikan urusan pendidikan anak sebagai tugas penting orang tua dan saling pengertian antara orang tua dan anak. Haedar Nashir selalu menekankan kepada anak-anaknya bahwa dalam hidup ini orang butuh kehormatan, tidak punya apa-apa tidak masalah asal memiliki kehormatan diri. Pendidikan agama juga ditekankan kepada anak-anaknya dengan dialog antara orang tua dan anak sehingga kesadaran anak berkaitan dengan urusan keagamaan didasarkan atas proses saling memahami.

Sejarah berulang dengan munculnya ketua Muhammadiyah dan Aisyiyah yang Suami Istri. Satu abad yang lalu sosok Kiai Dahlan dan Siti Walidah/Nyai Ahmad Dahlan juga sama-sama memimpin Muhammadiyah. Kiai Dahlan menjadi ketua Muhammadiyah dan Nyai Ahmad Dahlan menjadi ketua Sopo Tresno yang akhirnya berubah menjadi Aisyiyah. Pada abad kedua Muhammadiyah ini Ketua Muhammadiyah yang suami istri berulang. Haedar Nashir menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 2015-2020 dan


(66)

Noordjannah Djohantini menjadi Ketua Umum PP Aisyiyah Periode 2015-2020. Bukan dengan proses karbitan pasangan ini bisa memimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah. Noorjannah Djohantini menjadi kader Muhammadiyah sejak di PP IPM, Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah dan Ketua Umum PP Aisyiyah Periode 2010-2015 dan dilanjutkan periode lima tahun yang akan datang. Haedar Nashir ingin membawa Persyarikatan yang didirikan oleh Kiai Dahlan ini sebagai gerakan Islam Modern yang memiliki pilar moderat,kultural dan menawarkan Islam yang mencerahkan dan berkemajuan. (setiawan, 2015)

C. Gambaran Umum Tentang Buku

1. Latar Belakang Penulisan Buku Ibrah Kehidupan

Muhammadiyah sebagai salah satu Organisasi terbesar di Indonesia sejak awal berdirinya sudah mulai menggarap bidang pendidikan. Pendidikan telah menyatu dengan denyut persyarikatan dari tahun 1912. Bahkan sampai saat ini, akan sulit membayangkan apa jadinya Indonesia sekarang ini tanpa adanya muhammadiyah dengan spirit kependidikannya. Puluhan ribu sekolah dan ratusan perguruan tinggi Muhammadiyah di bumi Indonesia menjadi bukti nyata bahwa pilihan para pendiri Muhammdiyah untuk memilih pendidikan sebagai bidang garap utama adalah merupakan pilihan yang benar, tepat, bervisi, dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara. (Ridho [ed.], 2007: V)


(67)

Namun meskipun pada kenyataanya demikian. Secara umum pendidikan khususnya pendidikan ke-Islaman di Muhammadiyah masih terdapat kelemahan. Otokritik yang selama ini diterima menyatakan bahwa titik lemah dari dari gerakan Muhammadiyah adalah bidang pendidikan, terutama jika membicarakan hal yang berkaitan dengan masalah kualitas output pendidikan muhammdiyah. Output pendidikan Muhammadiyah tidak jelas warnanya atau sama saja dengan output pendidikan yang lain.

Secara umum kelemahan pendidikan dari pendidikan ke-Islam-an di Muhammadiyah adalah karena materi itu masih terbatas disampaikan dalam pengajaran. Memindahkan ilmu dari benak guru ke benak murid dan lebih bertumpu pada domain kognitif sehingga kurang mampu menggerakkan anak didik untuk mengamalkan nilai-nilai agama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pendidikan Muhammadiyah selama ini masih kurang bercorak pendidikan nilai hanya sebatas bercorak pengajaran. Pendidikan al-Islam sudah

seharusnya dijadikan sebagai pendidikan nilai-nilai Islam

Muhammadiyah yaitu meyertakan nilai dalam proses pendidikan sehingga dapat diarahkan pada pendidikan watak. (Ridho [ed.], 2007: VI)

Mengingat beberapa alasan berupa fakta-fakta yang terjadi pada wilayah kependidikan Muhammadiyah sebagaimana disebutkan di atas. Maka Haedar Nashir dalam hal ini selaku kader persyarikatan


(68)

sekaligus salah satu pimpinan Pusat Muhammadiyah bahkan saat ini terpilih sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah merasa perlu untuk memberikan sebuah sentuhan baru yang beliau wujudkan dalam sebuah tulisan dengan tujuan untuk mengupas nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran ihsan dan akhlak yang dirasakan perlu untuk memberikan pengayaan dan jendela lain dilingkungan Muhammdiyah. Sehingga mampu menjadi suatu santapan baru disamping santapan yang selama ini lebih bersifat domain rasionalitas. Dan dengan harapan semoga isu-isu ruhaniah tersebut dapat lebih memperkaya kesadaran ruhaniah dan intelektual yang menyejukkan, mendamaikan, dan menjadi oase kehidupan.

2. Sekilas Tentang Buku Ibrah Kehidupan

Setiap buku memiliki tema yang menjadi dasar alur jalannya isi tulisan. Dalam buku Ibrah kehidupan yang menjadi tema dasarnya adalah tulisan yang bertemakan spiritual. Buku ini pada dasarnya adalah berasal dari tulisan-tulisan rubrik “Ibrah” di Majalah Suara

Muhammadiyah yang terbit setiap dua kali dalam satu bulan sedang

kehadirannya sendiri sudah mulai sejak tahun 2010 hingga saat ini. Buku ini memiliki ketebalan halaman sebanyak 323 halaman. Di dalamnya terdapat beberapa judul yang menjadi temanya masing-masing. Jika diamati akan dijumpai sebanyak 39 judul yang menjadi isi dari setiap lembar halamannya. Adapun judul-judul yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:


(69)

1. ‘Ibrah Kehidupan 2. Hakikat Hidup

3. Hayyatan Thayyiba

4. Hidup Berkah 5. Rahasia Hidup 6. Perilaku Ihsan 7. Merawat Fitrah 8. Pembuktian Ikhlas 9. Kemuliaan Perilaku 10.Mutiara Kejujuran

11.Membalas Keburukan dengan Kebaikan 12.Ibadah Mencerahkan Perilaku

13.Meraih Mabrur 14.Sabar dalam Musibah 15.Tidak Mudah Bersyukur 16.Mau Beramal Shalih 17.Kenapa Sulit Berinfaq? 18.Halus Budi

19.Sifat Terpercaya

20.Hifdz al-Lisan

21.Ketika Marah 22.Jika Berjanji 23.Dusta dan Nifaq


(70)

24.Karakter al-Wafa

25.Kebahagian Jiwa 26.Jiwa Muraqabah

27.Mendengar Suara Hati

28.Tanwir al-Qulub

29.Menunaikan Amanat

30.Meninggalkan Istana 31.Berjuang di Jalan Allah 32.Bukan Kulit Luar 33.Permata Hati

34.Memaafkan Ibnu Ubai

35.Al-Mutrafun

36.Bermuhasabah 37.Berdzikir

38.Mata Air Kebaikan 39.Kehilangan Makna 3. Kelebihan dan kekurangan

Buku Ibrah Kehidupan memiliki kelebihan diantaranya adalah; a. Bahasa yang digunakan mudah dipahami

b. Disusun dengan menggunakan subjudul sehingga tidak

memberatkan pembaca untuk membuka dan menguasai

c. Tema yang diangkat menyentuh aspek spiritual yang dikemas


(71)

Buku Ibrah Kehidupan memiliki kekurangan diantaranya adalah;

a. Banyak pengulangan pembahasan yang sama di tema yang berbeda (gaya bahasa yang sama)

b. Tema akhlak yang dibahas masih terbatas. Ada beberapa

pembahasan akhlak yang masih belum termuat. Seperti akhlak dalam keluarga.

c. Pengambilan sumber rujukan belum dari sumber yang asli.

D. Konsep Nilai Pendidikan Akhlak Yang Terkandung Dalam Buku Ibrah Kehidupan

Akhlak mulia menempati posisi penting dalam kehidupan manusia baik sebagai individu, anggota masyarakat maupun bangsa. Akhlak menentukan peradaban manusia suatu masyarakat selain menjadi salah satu indikasi keshalehan seseorang di hadapan Ilahi dan sesama, sehingga orang yang berakhlak mulia mendapatkan sebutan dimasyarakat sebagai orang shaleh karena akhlaknya. (Zurqoni, 2013: 27)

Ahmad Amin (Majid dan Andayani, 2013: 10) menyebutkan bahwa akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh setengah manusia kepada lainnya, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat.


(72)

Akhlak sebagai ajaran Islam, menempati urutan kedua setelah ajaran inti, yaitu ajaran tauhid. Ini artinya akhlak dalam Islam seharusnya selalu dijiwai oleh ajaran Tauhid. Sedangkan syari’ah sebagai ajaran Islam menempati urutan ketiga dari ajaran inti, tauhid, setelah akhlak. Berarti syari’ah dalam Islam harus selalu dijiwai oleh tauhid dan akhlak. Tidaklah boleh syari’at dan pelaksanaanya keluar dari kerangka dan ajaran tauhid dan akhlak. (Haris, 2012: 73) sehingga wajar banyak sekali hadis-hadis Rasulullah yang berbicara tentang betapa penting dan tingginya nilai luhur dari pendidikan akhlak ini. Salah satunya sebagaimana hadis dari Usamah bin Syarik dia meriwayatkan: pada suatu saat kami duduk di tempat kediaman Nabi Saw. menunduk dan diam sedemikian rupa laksana patung. Tak ada seorang pun diantara kami yang bercakap-cakap. Tiba-tiba datanglah beberapa orang bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, siapakah di antara hamba Allah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab: “Yang baik budi pekertinya” (ath-Thabrani). (al-Ghazali, 1995: 24)

Akhlak adalah kondisi yang kuat yang ada dalam jiwa yang darinya muncul tindakan-tindakan yang bersifat sukarela, baik berupa kebaikan, kejelakan, keelokan, maupun keburukan. Secara alami kondisi ini dapat dipengaruhi oleh pendidikan yang baik dan yang buruk. Kondisi ini dididik untuk lebih menyukai kemuliaan dan kebenaran. Sehingga dengan berlangsungnya kebaikan-kebaikan maka hal itu akan menjadi tabiat. Dengan tabiat-tabiat itu akan muncul perbuatan-perbuatan baik dengan


(73)

mudah tanpa ada keterpaksaan. Perbuatan-perbuatan baik ini akan mucul dari diri seseorang tanpa paksaan, seperti murah hati, sabar, tabah, dermawan, berani, adil, berbuat baik, serta akhlak-akhlak mulia lainnya. Sebaliknya jika kondisi tersebut diabaikan atau tidak dididik dengan pendidikan yang tepat, maka darinya akan muncul perkataan maupun perbuatan buruk secara otomatis, tanpa suatu paksaan. Inilah yang disebut dengan akhlak buruk. (al-Jazairi, 2016: 305)

1. Khauf (takut pada Allah)

Sikap takut kepada Allah merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Lawan ataupun pasangan dari sifat ini adalah sikap berharap kepada Allah (raja’). Dari kedua sikap ini akan melahirkan kepribadian yang senantiasa optimis dalam melangkah kehidupan dan senantiasa pula selalu ingat dan mawas diri. Jika diletakkan pada tempatnya yang seimbang. (Ilyas, 2011: 37)

Dalam Islam Allah Swt. telah banyak memberikan sebuah kisah yang sepantasnya dapat untuk dijadikan sebagai pembelajaran ataupun pelajaran dalam menjalani setiap jengkal kehidupan. Sehingga dengan mengamati dan mentelaah segala kejadian yang pernah terjadi baik di masa lampau, dan sekarang, manusia memiliki acuan dalam bersikap di kehidupannya. Karena sungguh banyak sekali pelajaran hidup yang diberikan Allah Swt. dalam proses keberlangsungan hidup di dunia.


(74)

Salah satu pelajaran positif yang ada adalah kisahnya generasi Ashabul Kahfi yang harus berjuang dalam sejarah hidup umat manusia. Perjuangan dalam melawan kedzaliman dengan lari ke gua. Kisahnya Lukman al-Hakim sosok orangtua yang pendidik. Nabi Sulaiman dan Ratu Bilqis yang digdaya. Aisyah istri Fir’aun yang keibuan dan menyelamatkan Musa ketika bayi. Yusuf yang penyayang dan menjadi pejabat yang sangat amanah. Dzulqarnain yang arif dan digdaya. Thalut yang berani melawan Jalut. (Nashir, 2013: 3)

Selain kisah positif diatas, Allah juga menurunkan ke muka bumi banyak kisah negatif yang seyogyanya dapat menjadi perenungan untuk memberikan pengakuan bahwa Allah lah segala yang berkuasa sehingga manusia sadar bahwa tidak ada apapun yang dimilikinya di dunia ini. Manusia hanya makhluk ciptaan yang tugasnya untuk beribadah kepada Allah sehingga senantiasalah dia untuk selalu takut dan merenungi segala perbuatan-perbuatan Allah kepada kaum yang senantiasa menentang dan sombong kepadanya. Dengan memiliki ketakutan ini segala sikap dan perbuatannya sesuai dengan perintah yang memberinya kesadaran untuk senantiasa tunduk dan takut.

Generasi manusia yang hidup sesudahnya semestinya belajar agar tidak mengulangi perilaku buruk seperti yang pernah terjadi. Seperti kisahnya Qabil dan Habil yang berisikan kisah kebaikan lawan keburukan. Adapula kisah lain seperti kisahnya Fir’aun yang diktator. Putra Nuh yang durhaka. Kaum Saba’ yang ingkar nikmat. Abu Jahal dan kawan-kawan yang kafir dan jahiliyah. Dan sederet kisah yang pernah tercatat pada masa kemodernan. Seperti Jengis Khan,Hitler, Musolini, Ratko Mladic, Simon Peres, dan kekejaman tentara AS dalam perang Vietnam pada tahun 1968, rezim Pol Pot di Kamboja, dan yang tiada habisnya Israel terhadap Palestina. (Nashir, 2013: 2)


(75)

Persoalannya adalah dari sekian banyak kisah yang menghiasi ruang kehidupan tersebut adakah yang mengambil pelajaran di dalamnya. Sehingga menjadikan manusia takut kepada Allah. Bercermin akan kisah yang ada, dan menjadi rambu dari setiap tindakannya. Semuanya dapat menjadi pelajaran berharga bagi setiap insan. Sehingga menjadikannya kaum yang mampu membangun peradaban sebagaimana umat terdahulu.

2. Sabar

Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa al-kuf). Secara terminologi sabar berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai karena mengharap ridho Allah. Tahan dalam menghadapi cobaan. Hal yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang tidak disenangi seperti musibah dan Kematian, sakit, kelaparan, dan sebagainya, tapi bisa juga berupa hal-hal yang disenangi misalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari memperturutkan hawa nafsu. (Ilyas, 2011: 134) Manusia yang sabar akan terus berupaya untuk selalu mempertahankan dorongan keagamaan yang ada pada dirinya, walalupun terkadang dorongan keagamaan tersebut terkesan sulit untuk diperjuangkan. (Iqbal, 2015: 383) sabar dan tidak merasa gelisah merupakan bagian dari akhlak yang bisa diperoleh dengan latihan dan kesungguhan. Maka


(76)

hendaknya seorang muslim meminta kepada Allah Swt. agar memberinya kesabaran dengan mengingat perintah-Nya dan pahala yang dijanjikan-Nya. (al-Jazairi, 2016: 310) Sedangkan sabar menurut Haedar Nashir adalah menerima dan pasrah apapun yang dihadapi sebagai ketentuan dari Allah dengan berserah diri kepada-Nya dalam suasana jiwa yang tulus. Ketika menghadapi masalah dan cobaan dalam hidup kemudian berpasrah diri kepada Allah. (Nashir, 2013: 253)

Haedar Nashir dalam judul kedua (hakikat kehidupan) dari bukunya secara tidak langsung mengarahkan pembacanya untuk lebih peka dan merenungi segala kenikmatan yang ada di dunia ini. Namun juga perlu diperhatikan bahwa sudahkah segala kenikmatan yang banyak dirasakan ini memberikan efek (stimulus) baik kepada titik nadir kesadaran maupun logika berpikir logis. Kesadaran yang dimaksudkan ini adalah kesadaran dengan penuh kesadaran sehingga kita bisa menjadi pribadi yang memiliki sebuah sikap yang sejatinya memang sudah harus dimiliki oleh setiap pribadi muslim yaitu sikap sabar.

Beliau menjelaskan bahwa sering kali manusia terkecoh akan suatu bungkusan sehingga menjadikannya lupa akan hakikat dari sesuatu tersebut. Tersipu oleh bungkusan namun tertipu akan isinya. Yang menjadi biang dari segala kesalahan ini adalah dunia dengan segala kenikmatannya. Fasilitas yang begitu mentereng di


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Nilai-nilai pendidikan akhlak dalam buku dari hati ke hati karya hamka

2 23 77

ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA DAN RELEVANSINYA TERHADAP NILAI ANALISIS NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM NOVEL SANG PEMIMPI KARYA ANDREA HIRATA DAN RELEVANSINYA TERHADAP NILAI PENDIDIKAN SD ISLAM KRADENAN TAHUN 2

0 2 12

INTERNALISASI NILAI-NILAI AKHLAK DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP IPIEMS SURABAYA.

1 9 152

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM BUKU MELUKIS PELANGI KARYA OKI SETIANA DEWI.

1 5 367

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KITAB TAYSIR AL-KHALLAQ KARYA HAFIDZ HASAN AL-MAS’UDI DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM.

9 38 173

NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM BUKU TRILOGI FEEL, RICH DAN BELIEVE KARYA USTADZ YUSUF MANSUR SERTA RELEVANSINYA TERHADAP MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMA - Repository IAIN Purwokerto

0 0 1

NILAI NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM

0 0 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA NILAI – NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM KITAB - AKTUALISASI NILAI - NILAI MORAL DALAM KITAB MAKARIMUL AKHLAK KARYA AHMAD YASIN BIN ASMUNI RELEVANSINYA DENGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM KONTEMPORER - STAIN Kudus Repository

0 0 21

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH SYEKH JANGKUNG DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

0 2 203

Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kitab Tanbihul Ghofilin Karya Abu Layth As Samarqandi Dan Relevansinya Dengan Pendidikan Karakter - Electronic theses of IAIN Ponorogo

0 0 100