Model Pengintegrasian Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Positif pada Sekolah Menengah Pertama yang Berlatar Belakang Berbeda

(1)

1

395 / Bidang Psikologi Lain Yang Belum Tercantum

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN HIBAH BERSAING

MODEL PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS PSIKOLOGI POSITIF PADA SEKOLAH MENENGAH

PERTAMA YANG BERLATAR BELAKANG BERBEDA

Tim Peneliti: Dr. Taufik, M.Si.

0629037401

Dr. Nanik Prihartanti, M.Si. 0625075901

Dra. Wiwin Dinar Pratisti, M.Si 0629116401

dibiayai oleh:

Koordinasi Perguruan Tinggi Wilayah VI, Kemendikbud RI, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Hibah Penelitian

Nomor: 008/K6/KL/SP/2013, Tanggal 16 Mei 2013

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA Desember, 2013


(2)

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ………..

Lembar Pengesahan ……….. 1

Daftar Isi ……….. 2

Abstract ……….. 3

Bab 1 Pendahuluan ……….. 4

Bab 2 Kajian Pustaka ……….. 10

Bab 3 Tujuan dan Manfaat ……….. 21

Bab 4 Metode Penelitian ……….. 23

Bab 5 Hasil yang Dicapai ……….. 27

Bab 6 Kesimpulan dan Saran ……….. 44

Bab 7 Rencana kegiatan berikutnya ……….. 46


(4)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitin ini adalah untuk mengetahui sejauhmana pemahaman guru mengenai pendidikan karakter dan bagaimana praktik pendidikan karakter di sekolah. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data menggunakan kuesioner terbuka. Subjek adalah para guru yang mengampu mata pelajaran PAI dan PKN di Sekolah Menengah Pertama di Solo. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara purposif didasarkan pada keragaman jenis data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) bahwa responden memahami maksud dan tujuan pendidikan karakter, 2) Penerapan pendidikan karakter dilakukan dengan tiga cara yaitu: melalui metode pemahaman, metode pembiasaan, dan metode keteladanan; dan 3) Ketiga elemen utama pendidikan karakter belum terintegrasi dengan baik.


(5)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan

Banyak ahli menjelaskan bahwa keberhasilan suatu bangsa sangat tergantung dari bagaimana kualitas karakter manusianya. Karakter yang dimaksud adalah karakter yang membangun, berorientasi kepada kemaslahatan bersama yang menurut Francis Fukuyama disebut dengan modal sosial. Artinya kualitas karakter merupakan prasyarat mendasar bagi kemajuan suatu bangsa. Dengan kata lain kemajuan suatu bangsa tidak semata-mata dipengaruhi oleh tersedianya sumber daya alam, luasnya wilayah demografis, dan besarnya jumlah penduduk, namun lebih ditentukan oleh kualitas karakter masyarakatnya. Sebagai contoh, kita bisa belajar dari Singapura sebuah negara kecil yang tidak memiliki sumber daya alam memadai namun bisa menjadi negara maju. Atau negeri kincir angin Belanda, sebuah negara kecil dengan sumber daya alam terbatas, musim yang selalu silih berganti pertiga bulan, lahan yang terbatas, namun dapat mengorganisir dirinya menjadi salah satu negara maju yang kuat di Eropa. Semua itu tidak lepas dari bagaimana karakter bangsanya.

Modal sosial yang diperkenalkan oleh Francis Fukuyama (2011) menunjukkan bahwa kompetisi antar negara tidak bisa hanya mengandalkan kondisi-kondisi material-lahiriah saja, negara-negara yang mampu bertahan atau memenangkan suatu kompetisi bukanah negara-negara yang memiliki kekayaan alam melimpah, melainkan negara-negara-negara-negara yang memiliki modal sosial tinggi dengan karakteristik sebagai berikut: memiliki rasa kebersamaan tinggi, tumbuhnya rasa saling percaya baik secara vertikal maupun horisontal, dan rendahnya tingkat konflik. Bila kita berpijak dari konsep modal sosial di atas maka dibutuhkan suatu upaya


(6)

untuk menanamkan nilai-nilai positif guna membangkitkan modal sosial di atas.

Serupa dengan Fukuyama melalui teori modal sosialnya, Thomas Lickona (2012) juga memaparkan hal serupa mengenai pembentukan kualitas bangsa. Menurut Lickona suatu bangsa akan bisa mencapai taraf kemajuan dan tetap eksis dalam persaingan global apabila rakyatnya berkualitas, kualitas rakyat sangat ditentukan oleh kualitas karakternya. Artinya menurut Lickona hal yang paling menentukan bagi kemajuan suatu bangsa adalah kualitas karakter masyarakatnya. Karena bangsa yang memiliki kualitas karakter baik akan mampu menggerakkan seluaruh area aktivitas, diantaranya dapat meningkatkan semangat bersaing, meningkatkan kualitas personal, meningkatkan kolaborasi antar pribadi, dan seterusnya sehingga karakter yang baik akan membawa pada perubahan di seluruh aspek kehidupan.

Dalam sepuluh tahun terakhir pendidikan karakter tengah gencar dibicarakan oleh berbagai kalangan dunia pendidikan, mulai dari kalangan pengajar hingga menteri. Mereka mendiskusikan di berbagai forum diskusi ilmiah seperti seminar, simposium, lokakarya, workshop, dan seterusnya. Animo masyarakat akademis seakan tiada habis dalam mengupas tema ini dari berbagai aspek bahasan. Fenomena ini menunjukkan bahwa tema yang dibicarakan merupakan tema penting yang menyangkut persoalan masyarakat.

Pendidikan karakter mutlak diperlukan dalam rangka mengatasi problem-problem bangsa Indonesia pada masa yang akan datang (Khan, 2010; Elmubarok, 2009). Gejala-gejala dari berbagai persoalan tersebut telah nampak secara gamblang di permukaan. Terbukti dengan makin meningkatnya kasus korupsi yang disinyalir telah merambah di seluruh kalangan, meningkatkan kasus kekerasan baik kekerasan dalam rumah tangga, sosial, sekolah, maupun di lingkungan kerja (Said, 2011). Serta


(7)

berbagai problem lainnya yang makin hari makin menggerus nilai-nilai moral bangsa.

Para ahli pendidikan menganggap sasaran implementasi pendidikan karakter yang paling tepat adalah dibidang pendidikan formal (Samani & Haryanto, 2012). Melalui pendidikan formal nilai-nilai dapat ditanamkan dalam materi-materi pelajaran yang disampaikan. Metode ini cukup efektif karena siswa tanpa sadar mereka telah melakukan dua kegiatan sekaligus yaitu belajar suatu mata pelajaran tertentu dan juga belajar tentang peningkatan kualitas karakter. Guru sendiri akan terasa ringan karena implementasi yang terintegrasi akan meringankan beban kerja dan menyederhanakan tanggung jawab mereka.

Namun pada prakteknya, implementasi pendidikan karakter nampaknya masih jauh panggang dari api. Tema ini lebih mudah untuk didiskusikan di dalam ruang-ruang seminar dari pada menerapkannya secara langsung di lapangan. Sementara pemerintah terus menggalakkan model pendidikan ini dan memberikan anggaran besar untuk mensukseskannya, namun dalam tataran grass road tidak memahami apa yang harus dilakukan. Puluhan bahkan mungkin ratusan buku telah ditulis oleh berbagai ahli, ratusan riset telah dihasilkan, ribuan pelatihan telah digalakkan, dan jutaan rupiah telah digelontorkan. Hal ini dinyatakan oleh Taufik dkk (2012) bahwa para guru Sekolah Dasar sering diundang dalam pelatihan-pelatihan pendidikan karakter, namun mereka masih belum mengerti bagaimana cara menerapkannya.

Sebagian yang mengaku telah menerapkan juga masih kebingungan bagaimana mengukur keberhasilannya. Sebagian besar melakukan pengukuran secara kualitatif dengan cara melihat perubahan perilaku secara umum atau melihat prosentase keburukan antara sebelum dan sesudah diterapkannya pendidikan karakter. Namun cara seperti ini sangat lemah akurasinya. Tergantung dari subjektifnya si observer dan


(8)

suasana batin dalam mempersepsi fenomena yang diamatinya (Taufik dkk, 2012).

Rumusan tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Sisdiknas mengandung filosofi pendidikan sebagai “educare”. Secara filosofi “educare” diartikan secara perifer dengan mengajar dan melatih peserta didik dengan pengetahuan dan keterampilan. Pengertian di atas mengandung arti bahwa “educare” lebih menekankan pada penambahan pengetahuan melalui materi-materi yang diajarkan yang disertai sistem penilaian yang baku dan kaku sebagai tolok ukur keberhasilannya (Elmubarok, 2009). Seorang siswa dikatakan telah berhasil apabila dia telah menunjukkan kemampuan memperoleh skor tinggi pada mata pelajaran tertentu. Sebaliknya siswa yang tidak mampu menunjukkan skor tinggi disebut gagal, meskipun secara akhlaq dia lebih baik. Sebagai contoh terdapat dua siswa dengan karakter berbeda. Siswa A dapat memperoleh skor tinggi pada suatu mata pelajaran, skor itu ia peroleh dengan cara mencontek pekerjaan temannya atau membuka buku yang telah ia persiapkan sebelumnya. Sementara siswa B memperoleh skor rendah, kondisinya sama dengan siswa A ia tidak mengetahui bagaimana cara menjawab soal yang diberikan, hanya saja ia tidak mau berbuat curang dengan cara melirik jawaban teman atau membuka buku catatan. Dari kedua fenomena itu manakah yang disebut siswa berprestasi? Apakah siswa A yang memperoleh nilai dengan cara yang curang ataukah siswa B yang tetap menjaga kejujuran dalam berbagai kondisi?

Memahami fenomena di atas menunjukkan bahwa meskipun pemerintah telah mencanangkan pendidikan karakter sebagai pilar utama pendidikan, tapi nampaknya itu masih sebatas retorika belaka. Realitasnya dalam praktek penyelenggaraan pendidikan kita lebih berorientasi kepada hasil akhir daripada proses, lebih mengutamakan skor tinggi dari pada pemahaman terhadap prinsip dan nilai-nilai. Siswa yang memiliki capaian skor tinggi pada suatu mata pelajaran lebih memiliki


(9)

tempat di hati guru meskipun ia memperoleh dengan cara yang kurang tepat. Sementara siswa-siswa yang tetap konsisten dengan nilai-nilai yang diyakininya (seperti kejujuran, keberanian, kemandirian, dst) namun kurang memiliki nilai akademik tinggi tidak memiliki tempat di mata guru.

Berbagai persoalan di atas membutuhkan suatu langkah tegas dari berbagai pihak agar program pendidikan karakter yang begitu ideal dapat benar-benar terimplementasikan dengan baik. Mengingat pemerintah sendiri belum melakukan pengawalan secara benar terhadap sejauhmana terlaksananya program. Berbagai sekolah sebenarnya telah mulai melangkah dengan melakukan berbegai upaya nyata dalam bentuk pelatihan-pelatihan pendidikan karakter. Sebagian guru mengaku “bosan” dengan maraknya pelatihan-pelatihan ini. Bosan yang dimaksud mengandung dua unsure, bosan karena metodenya sama dan diulang-ulang, atau bosan karena mereka kesulitan mengimplementasikannya di lapangan.

Penelitian ini diharapakan akan selesai dalam dua tahun. Pada tahun pertama yaitu tahap identifikasi persoalan-persoalan, tahun kedua pembuatan instrument evaluasi pendidikan karakter, dan tahun ketiga implementasi model pendidikan karakter berbasis psikologi positif di lapangan.

Pada penelitian ini peneliti memfokuskan analisis pada dua mata pelajaran yaitu Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama Islam (PAI) di tiga Sekolah Menengah Pertama yang berlatar belakang berbeda yaitu: SMP Negeri, SMP Swasta (Umum), dan SMP Islam. Perbedaan latar belakang sekolah diharapkan akan menghasilkan data beragam, sehingga peneliti memperoleh gambaran mengenai implementasi pendidikan karakter pada semua jenis sekolah.


(10)

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada dua mata pelajaran yaitu Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), yang dilaksanakan pada tiga jenis Sekolah Menengah Pertama dengan latar belakang yang berbeda, yaitu sekolah negeri, sekolah swasta Islam, dan sekolah swasta umum. Ditentukannya dua mata pelajaran tersebut dengan pertimbangan bahwa keduanya memiliki orientasi utama yang sama yaitu bertujuan menanamkan karakter-karakter mulia kepada anak didiknya. Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa di sekolah-sekolah tersebut telah diimplementasikan penanaman nilai-nilai karakter. Akan tetapi bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter dan sejauhmana dukungan serta peran serta penyelenggara pendidikan maupun peserta didik sejauh ini masih belum terpetakan, untuk itu melalui penelitian ini diharapkan problem-problem tersebut dapat terkuak dengan jelas.

Sehubungan dengan persoalan-persoalan di atas, peneliti merumuskan pertanyaan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana pemahaman guru tentang pendidikan karakter dan implementasinya di sekolah;

2) Problem-problem apa yang ditemukan dalam implementasi pendidikan karakter

3) Bagaimana peranan tiga elemen utama dalam mendukung pendidikan karakter, yaitu: arah kebijakan sekolah, perkembangan staf, dan karakter peserta didik, dalam mendukung pendidikan karakter.


(11)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Sejak awal tahun 1990-an terminologi pendidikan karakter telah ramai dibicarakan orang terutama di kalangan pendidikan. Salah satu tokoh besar dalam tema ini adalah Thomas Lickona, dia dianggap sebagai pengusung utama pendidikan karakter melalui karya-karyanya diantaranya “The Return of Character Education”. Buku ini telah memukau kalangan pendidik dan menyadarkan masyarakat akademis Eropa mengenai pentingnya penanaman nilai-nilai karakter kepada anak sejak dini melalui pendidikan terintegrasi baik pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan informal di dalam kehidupan keluarga atau masyarakat.

Karakter sebagaimana dikatakan oleh Lickona (2012), berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap moral (moral feeling), dan perilaku moral (moral behaviour). Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter ditopang oleh ketiga komponen utama yaitu konsep moral akan mempengaruhi sikap dan perilaku moral, sikap moral dan perilaku dapat saling mempengaruhi yang ketiganya dijiwai oleh karakter masing-masing pribadi, dimana setiap orang memiliki muatan nilai-nilai yang berbeda tergantung dari kualitas pribadi dan lingkungan dimana dia dibesarkan.


(12)

A. Pengertian Karakter

Kata “karakter” bila ditelusuri berasal dari bahasa Latin “kharakter” yang dalam bahasa Inggris disebut “character”. Dari asal katanya karakter dimaknai dengan membuat tajam atau membuat dalam. Dari definisi asal kata tersebut dapat diartikan bahwa karakter yaitu dimaksudkan dapat meningkatkan kualitas personal.

Abraham Lincoln pernah mengatakan “Reputation is the shadow. Character is the tree. Our character is much more than just what we try to display for others to see, it is who we are even when no one is watching. Good character is doing the right thing because it is right to do what is right”. Pendapat dari mantan presiden Amerika tersebut menunjukkan bahwa karakter merupakan sifat-sifat yang stabil tidak terpengaruh oleh lingkungan dan situasi, orang yang memiliki karakter baik dia akan menselaraskan antara kata dan perbuatan, tetap menjaga kualitas diri baik ketika berada dalam keramaian atau di depan orang lain maupun ketika ia tengah sendirian. Karakter yang baik adalah melakukan sesuatu secara benar karena hal itu memang baik dan benar untuk dilakukan.


(13)

Karakter merupakan suatu kemampuan yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan seseorang seperti cara pandang, kesejahteraan, perilaku, hubungan sosial, dan sebagainya (Lexmond & Reeves, 2009). Dalam ilmu psikologi karakter selalu dihubungkan dengan kepribadian (El-Nasr dkk, 2009), yang didefinisikan oleh Chamorro-Premuzic (2011) dengan kualitas kejiwaan yang meliputi dua komponen yaitu komponen keturunan dan lingkungan. Komponen keturunan terdiri atas kecerdasan, bakat dan temperamen, sedangkan komponen yang diperoleh dari pengalaman antara lain pengetahuan, keterampilan dan karakter (Schultz & Schultz, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Llyod & Berlin (2007) menemukan bahwa karakter remaja yang mengalami perubahan secara positif dan kualitas karakternya meningkat dapat mereduksi perilaku-perilaku maladaptif pada masa remaja. Battistich (2008) menyimpulkan bahwa remaja-remaja yang berkarakter artinya remaja-remaja yang mentaati peraturan dan disiplin baik disiplin terhadap peraturan-peraturan di sekolah maupun disiplin dalam mentaati peraturan-peraturan yang telah di sepakati dalam keluarga.

Orang yang memiliki karakter baik memiliki perkembangan kemampuan di empat area, yaitu:

1. Ethical sensitivity, yaitu situasi empatik dalam menggunakan proses berfikir yang berbeda untuk menghasilkan interpretasi dan alternatif pilihan serta mengidentifikasi konsekuensi dari alternatif dan mewaspadai semua orang yang mungkin terpengaruh oleh situasi dan bagaimana hal itu berpengaruh.

2. Ethical judgement, merupakan bagian penting dalam pengambilan keputusan. Dalam membuat keputusan yang baik atau efektif individu harus memiliki dasar-dasar keterampilan kognitif dalam memecahkan masalah.


(14)

3. Ethical motivation, merupakan suatu tindakan yang bertujuan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai etika yang meliputi penghormatan kepada orang lain dan tindakan yang bertanggung jawab.

4. Ethical action, merupakan aksi dan sikap yang mengarah pada keberhasilan keberhasilan dalam menyelesaikan tujuan etis yang meliputi keahlian interpersonal seperti resolusi konflik dan negosiasi, kepemimpinan, ketegasan, dan bentuk-bentuk komunikasi dasar, danketerampilan pribadi seperti mengambil inisiatif, keberanian, ketekunan, dan bekerja keras.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter yaitu suatu kualitas kejiwaan yang merupakan bagian dari kepribadian yang dibentuk dari aspek pengalaman dan pendidikan.

B. Pengertian Pendidikan Karakter

Sebagian masyarakat salah dalam memahami pendidikan karakter. Secara konsep global masyarakat memahami tujuan final dari pendidikan karakter, namun mereka masih kurang jelas tentang implementasinya di lapangan. Taufik dkk (2012) menguraikan beberapa kesalahan-kesalahan tersebut di antaranya yaitu: 1) pendidikan karakter sama dengan pendidikan PKn dan Agama, sehingga pendidikan karakter itu hanya menjadi tanggung jawab guru PKn dan guru agama saja; 2) pendidikan karakter sama dengan pendidikan budi pekerti oleh karenanya pendidikan karakter identik dengan nasehat-nasehat; 3) pendidikan karakter sama dengan pendidikan moral yang menjadi tanggung jawab keluarga, bukan sekolah, oleh karena itu pihak orangtua harus memegang peranan sentral; dan 4) pendidikan karakter itu merupakan mata pelajaran baru yang terpisah dengan mata pelajaran-mata pelajaran lainnya.

Kekeliruan pemahaman tersebut berimplikasi kepada proses dan nilai-nilai yang diterapkan. Pendidikan karakter didefinisikan oleh Kesuma


(15)

dkk (2011) sebagai pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk oleh sekolah. Selanjutnya dari penegrtian tersebut mereka menegaskan: 1) pendidikan karakter merupakan pendidikan terintegrasi dengan pembelajaran yang terjadi pada semua mata pelajaran; 2) diarahkan pada penguatan dan pengembangan perilaku anak secara utuh. Asumsinya anak merupakan organism manusia yang memiliki potensi untuk dikuatkan dan dikembangkan; dan 3) penguatan dan pengembangan perilaku didasari oleh nilai yang dirujuk oleh sekolah.

Pendidikan karakter didefinisikan oleh Richardson dkk (2009) sebagai pendidikan yang menekankan pada pembentukan karakter-karakter positif, kemampuan sosial (social skills), dan emosi-emosi individu. Solomon & Lewis menambahkan termasuk di dalamnya yaitu pengembangan karakter keadilan, kejujuran, berfikir kritis, bertanggung jawab, dan memiliki komitmen untuk membangun karakter-karakter positif lainnya. Dalam prakteknya, pendidikan karakter dapat dilakukan secara formal terintegrasi di dalam kurikulum atau non kurikulum yang diberikan di lingkungan sekolah maupun diberikan dalam pembelajaran di keluarga. Dalam hal ini pendidik karakter memiliki tanggung jawab membentuk individu agar memiliki kualitas pribadi unggul dalam kehidupan (Sanches, 2006).

Dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan usaha-usaha yang dilakukan secara sistematis dan simultan oleh para pendidik untuk meningkatkan kualitas nilai-nilai karakter anak didik melalui penanaman nilai-nilai karakter yang terintegrasi ke dalam kurikulum.


(16)

C. Pembentukan Karakter

Menurut Erich Fromm, karakter merupakan bagian dari kepribadian yang dibentuk oleh lingkungan. Artinya karakter bukanlah “being” tetapi “becoming”, yaitu ada proses menjadi sehingga individu memiliki kualitas karakter tertentu. Untuk memiliki karakter yang baik ada tahapan proses yang harus dilakukan oleh individu dan orang-orang di sekitarnya, sementara para ahli menyebutkan terdapat enam pilar dalam pembentukan karakter (Bafile, 2010; Wilson & Forbes, 2007; Gladding, 2009).

Bafile (2010) dan Wilson & Forbes (2007), mengelompokkan beberapa karakter ke dalam enam kategori yang ia sebut dengan enam pilar pendukung pembentukan karakter, yaitu:

1) Trustworthiness, yaitu karakter yang dapat dipercaya. Termasuk dalam pilar ini antara lain: perilaku jujur, tidak manipulatif, tidak mencontek, dapat diandalkan, memiliki keberanian untuk menyatakan nilai-nilai yang diyakininya, integritas, membangun reputasi yang baik, loyal pada pasangan hidup dan organisasinya. 2) Respect, yaitu rasa hormat, menghargai. Termasuk dalam pilar ini

antara lain yaitu kemampuan berinteraksi dengan orang lain, memiliki sisi toleransi yang tinggi terhadap perbedaan-perbedaan, menghargai orang lain sesuai dengan norma-norma yang berlaku, bersikap baik kepada siapapun, menggunakan bahasa-bahasa afirmatif dan suportif dalam berkomunikasi dengan orang lain, memiliki sikap empati yang ditunjukkan dengan memperhatikan kondisi-kondisi perasaan (mood) orang-orang di sekitarnya, bersikap lembut terhadap kemarahan dan kebencian orang lain kepadanya.

3) Responsibility, yaitu tanggung jawab. Termasuk dalam pilar ini antara lain yaitu melakukan apa yang seharusnya dilakukan,


(17)

artinya individu bertindak dengan cara-cara yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya, semangat dan gigih dalam berusaha, tidak kenal kata menyerah atas hambatan-hambatan yang dihadapi, tetap berusaha melakukan yang terbaik, disiplin terhadap diri sendiri, memiliki pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan, dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang diambil dengan cara-cara yang diterima oleh masyarakat.

4) Fairness, yaitu keadilan. Termasuk dalam pilar ini antara lain yaitu beraktivitas sesuai aturan misalnya dalam permainan mereka tetap memegang teguh peraturan-peraturan yang telah disepakati sebelumnya, melakukan tugas sesuai dengan perannya masing-masing, mendengarkan masukan-masukan dan mengakomodir masukan-masukan tersebut dengan baik, tidak memanfaatkan orang lain.

5) Caring, yaitu perhatian. Termasuk dalam pilar ini antara lain menunjukkan sikap ramah kepada orang lain, menunjukkan kepedulian terhadap kondisi teman, menghargai orang lain, memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain, mengarahkan siswa kepada pemahaman bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat.

6) Citizenship, yaitu kewarganegaraan. Termasuk dalam pilar ini antara lain menjaga kenyamanan lingungan baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah, membangun kerja sama, mendidik anak untuk menjadi tetangga yang baik, mematuhi regulasi hukum dan berbagai peraturan lain di masyarakat.

Enam pilar yang dikemukakan di atas merupakan landasan dalam membentuk karakter berkualitas, yang nantinya dapat berimplikasi baik bagi dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya.


(18)

D. Psikologi Positif

Dalam penelitian ini pendidikan karakter akan didasarkan pada pendekatan psikologi positif. Aliran-aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behaviourisme memandang bahwa untuk menghilangkan keburukan dalam diri manusia, maka diperlukan treatment. Selama ini treatment yang diberikan difokuskan pada penghilangan gejala-gejala negatifnya. Misalnya para pengguna narkoba diberikan treatment tertentu agar dapat meninggalkan kebiasaan buruknya mengkonsumsi narkoba, siswa yang suka membolos diberikan konseling untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan membolosnya. Namun, capaian para ilmuwan maupun praktisi psikologi (negatif) selama kurun 60 tahun terakhir dalam menyembuhkan jenis-jenis penyakit mental tersebut belum memperoleh hasil yang maksimal (lihat Martin Seligman, 2002). Prestasi terjauh dari psikologi negatif yaitu membawa orang sakit menjadi berkurang sakitnya (from miserable to less miserable) atau maksimum menjadikan orang sakit psikologis jadi hilang sakitnya, atau dari kondisi “minus” ke kondisi “nol”. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan orang yang sehat? Apakah ilmu psikologi dapat membantu meningkatkan kualitas orang yang sehat menjadi lebih sehat, lebih berbahagia dan berprestasi?

Jawaban atas pertanyaan di atas tetaplah menggantung hingga tahun 1998, ketika didirikannya Positive Psychology oleh Martin E.P. Seligman yang saat itu baru saja terpilih sebagai presiden American Psychological Association. Psikologi positif adalah studi tentang emosi-emosi positif untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Psikologi positif memfokuskan pada pemahaman dan penjelasan tentang kebahagiaan dan subjective well-being (Carr, 2004). Psikologi positif tidak dimaksudkan untuk mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman-pengalaman manusia.


(19)

Psikologi positif berakar dari psikologi humanisme yang pembahasannya fokus pada kebermaknaan dan kebahagiaan. Dan kini sejak munculnya psikologi positif kajian-kajian tentang kebermaknaan dan kebahagiaan tumbuh subur dan mengemuka di kalangan tokoh-tokoh psikologi positif. Psikologi positif merupakan cabang baru dari ilmu psikologi yang dideklarasikan pertama kali pada tahun 1998 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Mereka mengatakan:

“Kami percaya bahwa pandangan mengenai sisi psikologi positif manusia akan muncul, sehingga manusia akan mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif bertujuan untuk menjadikan kehidupan normal lebih bermakna, bukan hanya sekedar mengobati penyakit mental semata”.

Kajian mengenai psikologi positif telah menarik minat banyak kalangan, tidak hanya mereka dari kalangan akademisi melainkan juga para praktisi, dan masyarakat luas yang haus akan pentingnya peningkatan kualitas hidup mereka. Animo mereka salah satunya ditunjukkan oleh banyaknya peminat kajian ataupun courses yang diselenggarakan di Harvard University pada tahun 2006, kala itu kajian psikologi positif menjadi kajian yang sangat popular. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa perkembangan ilmu psikologi belum mampu memuaskan dahaga orang-orang Barat yang notabene hidup gersang bebas dari nilai-nilai kebahagiaan.

3.5 Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Positif

Pendidikan karakter berbasis psikologi positif adalah proses kegiatan yang dilakukan 1) dengan sepenuh hati dan terencana untuk mengarahkan anak didik agar mereka dapat 2) melejitkan potensi-potensi


(20)

diri melalui 3) pemahaman dan penggalian terhadap nilai-nilai diri yang positif (Fredrickson, 2009; Linley dkk., 2006). Penjelasan dari masing-masing komponen adalah sebagai berikut:

1) Penanaman nilai-nilai positif pada siswa harus dilakukan dengan sepenuh hati. Artinya nilai-nilai yang disampaikan kepada siswa benar-benar lahir dari kesadaran penuh sang guru untuk diberikan kepada siswa. Guru tidak hanya sekedar memberikan nasehat untuk siswa namun dirinya juga melakukan apa-apa yang disampikannya itu, sehingga muatan (ruh) penyampaiannya akan dapat menyentuh sisi terdalam pada diri siswa, karena siswa-siswa yang berkarakter terlahir dari guru-guru yang berkarakter.

2) Setiap siswa memiliki potensi-potensi diri yang positif. Potensi-potensi tersebut harus bisa diaktualisasikan dalam bentuk sikap-sikap dan perilaku-perilaku yang positif pula.

3) Untuk dapat mengaktualisasikannya diperlukan pembimbing yang dalam hal ini adalah guru yang berperan menggali dan mengarahkannya. Socrates (469-399 SM) menyebutnya dengan maieutics atau Socratic method, yaitu menarik keluar (jawaban terpendam) seperti yang dilakukan bidan dalam membantu kelahiran.

Yang dimaksud dengan pendidikan karakter berbasis psikologi positif dalam penelitian ini yaitu cara pandang terhadap implementasi pendidikan karakter yang didasarkan pada nilai-nilai atau karakter-karakter positif yang tidak hanya menekankan anak-anak bermasalah tetapi juga anak didik yang tidak bermasalah ataupun anak didik yang prestatif. Dalam hal ini sebagai pendidik guru tidak membeda-bedakan anak didiknya berdasarkan kualitas sikap dan perilaku mereka. Karena psikologi positif beranggapan bahwa psikologi selain mampu menyembuhkan orang yang sakit menjadi normal, juga dapat meningkatkan kualitas orang normal menjadi prestatif, dan orang


(21)

berprestasi menjadi lebih berprestasi lagi. Prestasi yang dimaksud tentunya bukan sekedar prestasi akademik saja, tetapi bagi orang-orang yang telah berprestasi (secara akademik) dapat membantu teman-teman mereka untuk bangkit dan berprestasi.


(22)

Daftar Pustaka

Agboola, A., & Tsai, K.C. (2012). Bring character education into classroom.

European Journal of Educational Research, 2, 163-170.

Althof, W., & Berkowitz, M.W. (2006). Moral education and character education: their relationship and roles in citizenship education. Journal of Moral

Education, 35, 495-518.

Berkowitz, M.W., & Hoppe, M.A. (2009). Character education and gifted children. High Ability Studies, 20, 131-142.

Elmubarok, Z. (2009). Membumikan pendidikan nilai. Bandung: Alfabeta Fukuyama, F. (2011). The origins of political order, from prehuman times to

French revolution. New York: D&M Publishers Inc.

Khan, Y. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Semarang: Pelangi Publishing.

Lickona, T. (2012). Educating for character, Mendidik untuk membentuk

karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Osher, D., Bear, G.G., Sprague, J.R., & Doyle, W. (2010). How can we improve school discipline? Educational Research, 39, 48-58.

Prestwich, D.L. (2004). Character education in America’s school. School Community Journal, 14, 139-250.

Richardson, R.C., Tolson, H., Huang, T.Y., & Lee, Y.H. (2009). Character education: lessons for teaching social and emotional competence.

Children & Schools, 31, 71-78.

Samani, M., & Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Taufik (2012). Pengembangan model pendidikan karakter berbasis psikologi positif di sekolah dasar dengan latar belakang berbeda. Laporan

Penelitian. Surakarta: LPPM UMS.

Taylor, A.S., LoSciuoto, L., Fox, M., Hilbert, S.M., & Sonkowsky, M. (1999). The mentoring factor: Evaluation of the across age intergenerational approach to drug abuse prevention. Child and Youth Service, 20, 77-99.


(1)

hambatan yang dihadapi, tetap berusaha melakukan yang terbaik, disiplin terhadap diri sendiri, memiliki pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum mengambil keputusan, dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang diambil dengan cara-cara yang diterima oleh masyarakat.

4) Fairness, yaitu keadilan. Termasuk dalam pilar ini antara lain yaitu beraktivitas sesuai aturan misalnya dalam permainan mereka tetap memegang teguh peraturan-peraturan yang telah disepakati sebelumnya, melakukan tugas sesuai dengan perannya masing-masing, mendengarkan masukan-masukan dan mengakomodir masukan-masukan tersebut dengan baik, tidak memanfaatkan orang lain.

5) Caring, yaitu perhatian. Termasuk dalam pilar ini antara lain menunjukkan sikap ramah kepada orang lain, menunjukkan kepedulian terhadap kondisi teman, menghargai orang lain, memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain, mengarahkan siswa kepada pemahaman bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat.

6) Citizenship, yaitu kewarganegaraan. Termasuk dalam pilar ini antara lain menjaga kenyamanan lingungan baik di lingkungan sekolah maupun lingkungan rumah, membangun kerja sama, mendidik anak untuk menjadi tetangga yang baik, mematuhi regulasi hukum dan berbagai peraturan lain di masyarakat.

Enam pilar yang dikemukakan di atas merupakan landasan dalam membentuk karakter berkualitas, yang nantinya dapat berimplikasi baik bagi dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya.


(2)

17

D. Psikologi Positif

Dalam penelitian ini pendidikan karakter akan didasarkan pada pendekatan psikologi positif. Aliran-aliran psikologi seperti psikoanalisa dan behaviourisme memandang bahwa untuk menghilangkan keburukan dalam diri manusia, maka diperlukan treatment. Selama ini treatment yang diberikan difokuskan pada penghilangan gejala-gejala negatifnya. Misalnya para pengguna narkoba diberikan treatment tertentu agar dapat meninggalkan kebiasaan buruknya mengkonsumsi narkoba, siswa yang suka membolos diberikan konseling untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan membolosnya. Namun, capaian para ilmuwan maupun praktisi psikologi (negatif) selama kurun 60 tahun terakhir dalam menyembuhkan jenis-jenis penyakit mental tersebut belum memperoleh hasil yang maksimal (lihat Martin Seligman, 2002). Prestasi terjauh dari psikologi negatif yaitu membawa orang sakit menjadi berkurang sakitnya (from miserable to less miserable) atau maksimum menjadikan orang sakit psikologis jadi hilang sakitnya, atau dari kondisi “minus” ke kondisi “nol”. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan orang yang sehat? Apakah ilmu psikologi dapat membantu meningkatkan kualitas orang yang sehat menjadi lebih sehat, lebih berbahagia dan berprestasi?

Jawaban atas pertanyaan di atas tetaplah menggantung hingga tahun 1998, ketika didirikannya Positive Psychology oleh Martin E.P. Seligman yang saat itu baru saja terpilih sebagai presiden American Psychological Association. Psikologi positif adalah studi tentang emosi-emosi positif untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Psikologi positif memfokuskan pada pemahaman dan penjelasan tentang kebahagiaan dan subjective well-being (Carr, 2004). Psikologi positif tidak dimaksudkan untuk mengganti atau menghilangkan penderitaan, kelemahan atau gangguan (jiwa), tapi lebih kepada menambah khasanah atau memperkaya, serta untuk memahami secara ilmiah tentang pengalaman-pengalaman manusia.


(3)

kebahagiaan tumbuh subur dan mengemuka di kalangan tokoh-tokoh psikologi positif. Psikologi positif merupakan cabang baru dari ilmu psikologi yang dideklarasikan pertama kali pada tahun 1998 oleh Martin Seligman dan Mihaly Csikszentmihalyi (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000). Mereka mengatakan:

“Kami percaya bahwa pandangan mengenai sisi psikologi positif manusia akan muncul, sehingga manusia akan mencapai pemahaman ilmiah dan efektif untuk meningkatkan kualitas individu, keluarga, dan masyarakat. Psikologi positif bertujuan untuk menjadikan kehidupan normal lebih bermakna, bukan hanya sekedar mengobati penyakit mental semata”.

Kajian mengenai psikologi positif telah menarik minat banyak kalangan, tidak hanya mereka dari kalangan akademisi melainkan juga para praktisi, dan masyarakat luas yang haus akan pentingnya peningkatan kualitas hidup mereka. Animo mereka salah satunya ditunjukkan oleh banyaknya peminat kajian ataupun courses yang diselenggarakan di Harvard University pada tahun 2006, kala itu kajian psikologi positif menjadi kajian yang sangat popular. Fenomena ini sekaligus menunjukkan bahwa perkembangan ilmu psikologi belum mampu memuaskan dahaga orang-orang Barat yang notabene hidup gersang bebas dari nilai-nilai kebahagiaan.

3.5 Pendidikan Karakter Berbasis Psikologi Positif

Pendidikan karakter berbasis psikologi positif adalah proses kegiatan yang dilakukan 1) dengan sepenuh hati dan terencana untuk mengarahkan anak didik agar mereka dapat 2) melejitkan potensi-potensi


(4)

19

diri melalui 3) pemahaman dan penggalian terhadap nilai-nilai diri yang positif (Fredrickson, 2009; Linley dkk., 2006). Penjelasan dari masing-masing komponen adalah sebagai berikut:

1) Penanaman nilai-nilai positif pada siswa harus dilakukan dengan sepenuh hati. Artinya nilai-nilai yang disampaikan kepada siswa benar-benar lahir dari kesadaran penuh sang guru untuk diberikan kepada siswa. Guru tidak hanya sekedar memberikan nasehat untuk siswa namun dirinya juga melakukan apa-apa yang disampikannya itu, sehingga muatan (ruh) penyampaiannya akan dapat menyentuh sisi terdalam pada diri siswa, karena siswa-siswa yang berkarakter terlahir dari guru-guru yang berkarakter.

2) Setiap siswa memiliki potensi-potensi diri yang positif. Potensi-potensi tersebut harus bisa diaktualisasikan dalam bentuk sikap-sikap dan perilaku-perilaku yang positif pula.

3) Untuk dapat mengaktualisasikannya diperlukan pembimbing yang dalam hal ini adalah guru yang berperan menggali dan mengarahkannya. Socrates (469-399 SM) menyebutnya dengan maieutics atau Socratic method, yaitu menarik keluar (jawaban terpendam) seperti yang dilakukan bidan dalam membantu kelahiran.

Yang dimaksud dengan pendidikan karakter berbasis psikologi positif dalam penelitian ini yaitu cara pandang terhadap implementasi pendidikan karakter yang didasarkan pada nilai-nilai atau karakter-karakter positif yang tidak hanya menekankan anak-anak bermasalah tetapi juga anak didik yang tidak bermasalah ataupun anak didik yang prestatif. Dalam hal ini sebagai pendidik guru tidak membeda-bedakan anak didiknya berdasarkan kualitas sikap dan perilaku mereka. Karena psikologi positif beranggapan bahwa psikologi selain mampu menyembuhkan orang yang sakit menjadi normal, juga dapat meningkatkan kualitas orang normal menjadi prestatif, dan orang


(5)

(6)

9

Daftar Pustaka

Agboola, A., & Tsai, K.C. (2012). Bring character education into classroom. European Journal of Educational Research, 2, 163-170.

Althof, W., & Berkowitz, M.W. (2006). Moral education and character education: their relationship and roles in citizenship education. Journal of Moral Education, 35, 495-518.

Berkowitz, M.W., & Hoppe, M.A. (2009). Character education and gifted children. High Ability Studies, 20, 131-142.

Elmubarok, Z. (2009). Membumikan pendidikan nilai. Bandung: Alfabeta Fukuyama, F. (2011). The origins of political order, from prehuman times to

French revolution. New York: D&M Publishers Inc.

Khan, Y. (2010). Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Semarang: Pelangi Publishing.

Lickona, T. (2012). Educating for character, Mendidik untuk membentuk karakter. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Osher, D., Bear, G.G., Sprague, J.R., & Doyle, W. (2010). How can we improve school discipline? Educational Research, 39, 48-58.

Prestwich, D.L. (2004). Character education in America’s school. School Community Journal, 14, 139-250.

Richardson, R.C., Tolson, H., Huang, T.Y., & Lee, Y.H. (2009). Character education: lessons for teaching social and emotional competence. Children & Schools, 31, 71-78.

Samani, M., & Hariyanto. (2012). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Taufik (2012). Pengembangan model pendidikan karakter berbasis psikologi positif di sekolah dasar dengan latar belakang berbeda. Laporan Penelitian. Surakarta: LPPM UMS.

Taylor, A.S., LoSciuoto, L., Fox, M., Hilbert, S.M., & Sonkowsky, M. (1999). The mentoring factor: Evaluation of the across age intergenerational approach to drug abuse prevention. Child and Youth Service, 20, 77-99.