PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM PEMBELAJARAN PKN SEBAGAI PENGUAT KARAKTER BANGSA :Studi Evaluasi dan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Bermodel PAKEM di Sekolah Menengah Pertama.

(1)

PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM PEMBELAJARAN PKn SEBAGAI PENGUAT KARAKTER BANGSA

(Studi Evaluasi dan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Bermodel PAKEM di Sekolah Menengah Pertama)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan

Promovendus

HARMANTO

NIM. 0908423

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG


(2)

ii

PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DALAM PEMBELAJARAN PKn SEBAGAI PENGUAT KARAKTER BANGSA

(Studi Evaluasi dan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Bermodel PAKEM di Sekolah Menengah Pertama)

Oleh Harmanto

S.Pd IKIP Malang, 1995

M.Pd, Universitas Negeri Malang, 2002

Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Sekolah Pascasarjana

© Harmanto 2012

Universitas Pendidikan Indonesia November 2012

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

iii

DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PANITIA DISERTASI: Promotor Merangkap Ketua,

(Prof. Dr. H. Endang Danial AR., M.Pd) Ko-Promotor Merangkap Sekretaris,

(Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed) Anggota,

(Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.iP., M.Si) Anggota,

(Prof. Dr. H. Dasim Budimansyah, M.Si) Anggota,

(Prof. Dr. H. Warsono, MS) Diketahui Oleh Ketua Program Studi PKn

Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

(Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed) NIP. 196308201988031001


(4)

iv

PERNYATAAN

TENTANG KEASLIAN DISERTASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul: Pengintegrasian

Pendidikan Antikorupsi dalam Pembelajaran Pkn sebagai Penguat Karakter Bangsa (Studi Evaluasi dan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Bermodel PAKEM di Sekolah Menengah Pertama), beserta seluruh isinya adalah benar-benar

hasil saya sendiri, dan saya tidak melakukan plagiarisme atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam tradisi keilmuan.

Atas pernyataan ini saya siap menerima tindakan atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran atas etika akademik dalam karya saya ini, atau ada klaim terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, November 2012

Harmanto NIM. 0908423


(5)

ABSTRAK

Harmanto. 2012. PENGINTEGRASIAN PENDIDIKAN ANTIKORUPSI DA-LAM PEMBELAJARAN PKn SEBAGAI PENGUAT KARAKTER BANGSA (Studi Evaluasi dan Pengembangan Perangkat Pembelajaran Bermodel PAKEM di Sekolah Menengah Pertama). Disertasi Program Studi Pendidikan Kewarganegaraan, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Promotor: Prof. Dr. H. Endang Danial AR., M.Pd., Ko-Promotor: Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed., Anggota: Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.iP., M.Si.

Korupsi di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Untuk itu penting dilakukan penelitian bagaimana kerangka konseptual-teoritis dan implemen-tatif PAK melalui pembelajaran PKn sebagai penguat karakter bangsa? Tujuan penelitian ini untuk mengkaji, menemukan ide-ide dasar kerangka konseptual-teoritis dan implementatif PAK melalui pembelajaran PKn sebagai penguat karakter bangsa.

Penelitian ini dilandasi filsafat pendidikan idealisme dan rekonstruksionisme, fungsionalisme struktural (Parsons dan Merton), teori hukum (Socrates, Plato, Aristoteles, Kelsen), teori belajar (Gagne, Bruner, Vygotsky), civic competence (Branson), kajian citizenship education (Cogan), citizenship education continuum (Kerr), teori perkembangan moral (Piaget, Erikson, Garbarino dan Bronferbrener, Kohlberg), dan PAKEM (Suparlan et al, Boediono).

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan pola“the dominant-less dominant design”. Pada tahap awal akan

dilakukan penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif terhadap pelaksanaan PAK melalui pembelajaran PKn di SMP. Hasil penelitian evaluasi kemudian digunakan untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran PAK melalui PKn bagi siswa SMP, khususnya kelas VIII semester gasal, yang kemudian dilakukan pengujian dengan menggunakan eksperimen di satu SMP.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan guru PKn tentang korupsi dan antikorupsi memberikan andil yang besar kepada pandangan siswa terhadap korupsi dan antikorupsi, di samping pengaruh dari media massa. Faktor-faktor yang mendukung pembinaan karakter siswa melalui PAK di sekolah dibagi menjadi dua golongan, yaitu internal dan eskternal. Faktor internal meliputi visi dan misi sekolah, kepemimpinan kepala sekolah, guru, staf administrasi, budaya sekolah, sarana dan prasarana. Sedangkan faktor eksternal terdiri atas pengaruh teman sebaya (peer

group), dukungan orang tua, kebijakan dinas pendidikan, dan lingkungan. PAK

melalui pembelajaran PKn dengan menggunakan PAKEM hasil belajarnya lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan pembelajaran konven-sional.

Kesimpulan penelitian ini (1) pandangan guru memberikan andil yang besar pada pandangan siswa terhadap korupsi, selain itu juga dipengaruhi media massa dan elektronik, (2) PAK melalui pembelajaran PKn dengan menggunakan PAKEM hasil belajar siswa lebih baik dibandingkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional. Secara teoritik temuan penelitian ini akan memperkaya pengembangan teori dan bangunan keilmuan PKn, sedangkan secara praktis berimplikasi pada peran guru sebagai pengajar sekaligus pendidik, pengembangan perangkat pembelajaran secara utuh. Produk pengembangan perangkat pembelajaran dikemas dengan sebutan

Aku adalah Generasi Antikorupsi. Rekomendasi hasil penelitian: (1) perlunya


(6)

ii ABSTRACT

Harmanto. 2012. INTEGRATING ANTICORRUPTION EDUCATION IN CITIZEN-SHIP EDUCATION AS A REINFORCEMENT OF NATION'S CHARACTER (Evaluation Study and Developing an Instructional Kit Using PAKEM Model in Junior High School). A Dissertation of Citizenship Education Studies Program, Post Graduate School of University of Education Indonesia. Promoter: Prof. Dr. H. Endang Danial AR., M.Pd., Co-Promoter: Prof. Dr. H. Sapriya, M.Ed., Members: Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.iP., M.Si.

Corruption in Indonesia has reached an alarming level. It is important to study how Anti-Corruption Education (ACE) conceptual-theoretical framework and implementation through reinforcement learning Citizenship Education (CE) as the nation's character. The purpose of this study is to examine and discover the basic ideas of the ACE conceptual-theoretical and implementative framework through reinforcement learning of CE as the nation's character.

This study is based on the educational philosophy of idealism and reconstructivism, structural functionalism (Parsons and Merton), legal theory (Socrates, Plato, Aristoteles, Kelsen), the theory of learning (Gagne, Bruner, Vygotsky), civic competence (Branson), the study of citizenship education (Cogan), citizenship education continuum (Kerr), the theory of moral development (Piaget, Erikson, Garbarino and Bronferbrener, Kohlberg), and the study of PAKEM/active learning (Suparlan at al., Boediono).

This study uses qualitative and quantitative approaches using "the dominant-less dominant design". In the early stage, an evaluation research using a qualitative approach to the implementation of the ACE through CE in junior high school would be conducted. The results of evaluation are then used to construct an ACE lesson plan through CE for junior high school students, especially the odd semester of class VIII, which is then tested by using an experiment in a junior high school.

The results of this study show that beside mass media, Civic teacher’s opinion on corruption and anti-corruption contributed to the opinion of students against both corruption and anti-corruption. Factors that support the character development of students through ACE at school are divided into two categories, namely: internal and external factors. Internal factors include the vision and mission of schools, the leadership of principals, teachers, administrative staffs, school culture, facilities and infrastructure. While external factors consist of peer influence, parental support, the education policy, and environment. The result shows that the learning outcomes of experimental group that was taught by ACE through CE learning by using PAKEM is better than the control group who was taught by a conventional way.

The conclusions of this study are as follows: (1) Teachers’ views on corruption gave a great influence on the students’ views on corruption. Moreover, the students’ construction was also influenced by mass media. (2) The learning outcomes of students who were taught by using ACE through CE by using PAKEM is better than those who were taught by conventional way. Theoretically, the findings of this study will enrich the development of scientific theories and CE buildings, while practically they will give impacts to teachers’ role as lecturers and educators, the development of instructional design. The product of development of the learning device is packed as I am Anti-corruption Generation. The results recommended that (1) it is need to support parents and the government’ to implement the ACE in order to reinforce the national and character building, (2) it should be continued by other research using more variables and subjects.


(7)

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penelitian ... 1

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 20

D. Manfaat Penelitian ... 21

E. Pengertian Istilah ... 22

F. Struktur Organisasi Disertasi ... 24

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 26

A. Pendidikan Antikorupsi dalam Perspektif Filsafat Idealisme, Perenialisme, dan Rekonstruksionisme ... 26

B. Urgensi Pendidikan Antikorupsi dalam Perspektif Teori Fungsionalisme Struktural ... 33

1. PAK dalam Perspektif Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons ... 33

2. PAK dalam Perspektif Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton ... 39

C. Konsep Dasar Korupsi ... 44

1. Pengertian Korupsi ... 44

2. Korupsi dalam Perspektif Peradaban Manusia ... 49

3. Korupsi dalam Perspektif Teori Hukum ... 53

4. Sebab-sebab Korupsi ... 65

5. Ciri-Ciri dan Modus Korupsi ... 6. Akibat Korupsi ... 75 78 7. Temuan Penelitian Sebelumnya ... 83

D. Belajar dan Pembelajaran PKn ... 87

1. Kompetensi Kewarganegaraan ... 87

2. Pembelajaran PKn ... 95

3. Perencanaan Pembelajaran PKn dan Temuan Penelitian 101 E. Teori Perkembangan Moral ... 115


(8)

ii

1. Teori Perkembangan Moral Piaget ... 117

2. Teori Perkembangan Moral Erik Erikson ... 120

3. Teori Perkembangan Moral Garbarino dan Brofenbrener 123 4. Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg ... 125

F. Pendidikan Antikorupsi sebagai Penguat Pendidikan Ka-rakter Bangsa ... 131

1. Pendidikan Karakter Bangsa ... 131

2. Pendidikan Antikorupsi yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran PKn sebagai Penguat Karakter Bangsa ... 139

3. Model Integrasi PAK dalam Pembelajaran PKn ... 142

4. Budaya Sekolah sebagai Sarana Pendidikan Karakter .. 147

G. PAK di Jawa Timur ... 150

1. Tujuan ... 152

2. Hasil yang Diharapkan ... 152

3. Prinsip dan Pendekatan ... 153

4. Strategi Integrasi dan Pengembangan ... 154

H. Hasil Penelitian Sebelumnya ... 154

I. Kerangka Berpikir ... 156

J. Hipotesis Penelitian ... 157

BAB III METODE PENELITIAN ... 159

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 159

1. Pendekatan Penelitian ... 159

2. Metode Penelitian ... 169

B. Teknik Pengumpulan Data, Instrumen, Peran Peneliti, dan Keabsahan Data ... 171

1. Teknik Pengumpulan Data ... 171

2. Instrumen dan Peran Peneliti ... 177

3. Keabsahan Data Penelitian ... 178

C. Informan/Subjek, Sumber Data, dan Teknik Pengambilan Subjek Penelitian ... 179

1. Subjek/Informan Penelitian ... 179

2. Sumber Data Penelitian ... 180

3. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian ... 182

D. Teknik Analisis Data ... 184

E. Prosedur Penelitian ... 189

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 191 A. Deskripsi Hasil Penelitian ...

1. Pandangan Kepala Sekolah, Guru PKn, dan Siswa


(9)

iii

tentang Korupsi dan Pendidikan Antikorupsi di Sekolah 2. Pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran PAK yang Diintegrasikan dalam PKn ... 3. Pelaksanaan PAK yang Diintegrasikan dalam Pembel-ajaran PKn di Kelas VIII Sekolah Menengah Pertama ... 4. Habituasi di Sekolah yang Mendukung PAK ... 5. Faktor-Faktor yang Mendukung PAK di Sekolah sebagai Penguat Karakter Siswa SMP ...

191 203 228 231 248 B. Pengembangan RPP PAK yang Diintegrasikan dalam PKn

sebagai Upaya Memperkuat Karakter Bangsa ... 1. Peran Pemerintah dan Dinas Pendidikan ... 2. Tujuan dan Pola PAK ... 3. PAK yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran PKn ... 4. Peran Budaya Sekolah dan Kegiatan Ekstrakulikuler

dalam Mendukung PAK ... 5. Peran Kepala Sekolah, Guru, Staf Administrasi, dan

Orang Tua ...

251 255 256 261 267 271 C.Hasil Ujicoba RPP PAK dalam Pembelajaran PKn di SMP ...

1. Analisis Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam Kurikulum PKn di Sekolah Menengah Pertama ... 2. Validasi Perangkat Pembelajaran oleh Ahli Rancangan

Pembelajaran PKn ... 3. Data Validasi Bahan Bacaan Siswa oleh Ahli Rancangan

Pembelajaran PKn ...

4. Data Validasi Ahli Isi ... 5. Data Validasi Ahli Bahasa ...

272 272 278 281 283 284 D.Revisi Tahap Pertama ...

1. Revisi RPP ... 2. Revisi Angket Minat dan Sikap Siswa terhadap Materi

Korupsi dan Antikorupsi ... 3. Revisi Bahan Bacaan Siswa ...

285 285 286 287 E. Data Ujicoba oleh Guru PKn ...

1. Data Ujicoba Produk Pengembangan RPP oleh Guru PKn 2. Data Ujicoba Bahan Bacaan Siswa oleh Guru PKn ... 3. Data Ujicoba Angket Minat dan Sikap Siswa oleh Guru

PKn ...

288 289 290 292 F. Revisi Tahap Kedua ... 296 G.Ujicoba Produk Pengembangan oleh Siswa SMP ...

1. Ujicoba Bahan Bacaan Siswa ... 2. Ujicoba Angket Minat dan Sikap Siswa ...

297 297 298


(10)

iv

H.Revisi Tahap Ketiga ... 298

I. Ujicoba Kelompok Besar ... 299

J. Revisi Tahap Keempat ... 303

K.Ujicoba Lapangan ... 1. Pelaksanaan Eksperimen ... 2. Hasil Belajar Siswa Setelah Mengikuti PAK Melalui PKn ... 304 304 314 L. Pembahasan Hasil Penelitian ... 1. Pandangan Kepala Sekolah, Guru PKn, dan Siswa tentang Korupsi dan Pendidikan Antikorupsi di Sekolah 2. Pengembangan RPP PAK yang Diintegrasikan dalam dalam Pembelajaran PKn oleh Guru ... 3. Pelaksanaan PAK melalui Pembelajaran PKn di Kelas VIII ... 4. Habituasi di Sekolah yang Mendukung PAK di Sekolah 5. Faktor-Faktor yang Mendukung PAK di Sekolah dalam Pembelajaran PKn sebagai Penguat Karakter Siswa SMP ... 6. Pengintegrasian PAK dalam Pembelajaran PKn ... 320 320 340 360 364 378 384 M.Temuan (Dalil) Penelitian: PAK yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran PKn sebagai Penguat Karakter Bangsa ... 404

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 410

A. Kesimpulan ... 410

B. Implikasi ... 415

C. Rekomendasi ... 417


(11)

v

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

1.1. IPK Indonesia dalam Kurun Waktu Tahun 2006-2011... 5

2.1. Tipologi Adaptasi Individu ... 42

2.2. Hasil Keseriusan Aparat Pemerintah Daerah dan Penegak Hukum Daerah dalam Menindak Kasus Korupsi ... 84

2.3. Contoh Kegiatan dan Kemampuan Guru dalam PAKEM ... 109

2.4. Perbandingan Perkembangan Moral Menurut Piaget, Erikson, Garbarino dan Bronferbrener, dan Kohlberg ... 116

3.1. Deskripsi Rencana Pelaksanaan Penelitian Kuasi Eksperimen ... 171

3.2. Nama, Kode, dan Lokasi Subjek Penelitian Evaluasi ... 181

3.3. Variasi dan Jumlah Informan Penelitian Evaluasi ... 183

3.4. Jumlah Subjek Penelitian Pengembangan ... 183

3.5. Interpretasi Koefisien Korelasi Nilai r ... 188

3.6. Interpretasi Reliabelitas Angket Minat dan Sikap Siswa ... 188

3.7. Tafsiran Efektivitas PAKEM pada Materi Korupsi dan Antikorupsi ... 189

4.1. Sumber Belajar yang Digunakan dalam Pembelajaran PKn Kelas VIII pada KD 3.4 dan 3.5 ... 208

4.2. Model dan Metode dalam PAK melalui Pembelajaran PKn ... 209

4.3. Aktivitas PAK melalui Pembelajaran PKn ... 211

4.4. Media yang Digunakan dalam PAK melalui Pembelajaran PKn ... 218

4.5. Teknik Asesmen dalam PAK melalui Pembelajaran PKn ... 219

4.6. Rubrik Penilaian Diri dalam PAK melalui PKn di SMPN A Kota Surabaya ... 221

4.7. Rubrik Penilaian Unjuk Kerja PAK melalui PKn di SMPN B Kabupaten Lamongan ... 222

4.8. Rubrik Penilaian Unjuk Kerja dalam PAK melalui PKn di SMPN D Kota Malang ... 225

4.9. Rubrik Penilaian Ujuk Kerja PAK melalui PKn di SMPN E Kabupaten Mojokerto ... 226

4.10. Waktu yang Digunakan dalam PAK melalui Pembejaran PKn ... 227

4.11. Strategi Habituasi Sikap dan Perilaku Siswa SMPN A Kota Surabaya ... 234

4.12. Strategi Habituasi Sikap dan Perilaku Siswa SMPN B Kabupaten Lamongan ... 237

4.13. Hasil Identifikasi SK dan KD Mata Pelajaran PKn di SMP/MTs yang Berkaitan dengan PAK ... 273

4.14. Data Validasi RPP Pertemuan I, II, III oleh Ahli Rancangan Pembelajaran PKn ... 279

4.15. Revisi Angket Minat Siswa terhadap Materi Korupsi dan Antikorupsi ... 286

4.16. Revisi Angket Sikap Siswa Setelah Mempelajari Materi Korupsi dan Antikorupsi ... 287

4.17. Revisi Bahan Bacaan Siswa Tahap I ... 287 4.18. Rata-rata Hasil Ujicoba RPP Pertemuan I, II, dan III oleh Guru


(12)

vi

Tabel Hal

PKn ... 289

4.19. Hasil Ujicoba Bahan Bacaan Siswa oleh Guru PKn ... 290

4.20. Hasil Ujicoba Angket Minat Siswa terhadap Materi oleh Guru PKn ... 292

4.21. Persentase Hasil Ujicoba Skala Sikap Siswa oleh Guru PKn ... 294

4.22. Revisi Bahan Bacaan Siswa Hasil Ujicoba Kelompok Kecil ... 298

4.23. Revisi Angket Sikap Siswa terhadap Materi Hasil Ujicoba Kelompok Kecil ... 299

4.24. Hasil Ujicoba Kelompok Besar pada Bahan Bacaan oleh Siswa SMP Kelas VIII ... 300

4.25. Validitas Instrumen Minat Siswa dalam Mengikuti PAK yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran PKn ... 301

4.26. Validitas Instrumen Sikap Siswa setelah Mengikuti PAK yang Diintegrasikan dalam Pembelajaran PKn ... 302

4.27. Aktivitas Guru dan Siswa pada Pertemuan I ... 306

4.28. Aktivitas Guru dan Siswa pada Pertemuan II ... 308

4.29. Aktivitas Guru dan Siswa pada Pertemuan III ... 311

4.30. Rangkuman Hasil Pengamatan Siswa di Lingkungan tentang Korupsi dan Antikorupsi ... 312

4.31. Deskripsi Nilai Pretes-Postes Pemahaman Siswa tentang Korupsi dan Antikorupsi (PSKA) Kelompok Eksperimen (N=25) dan Kelompok Kontrol (N=25) ... 315

4.32. Ringkasan Hasil Uji Homogenitas Varians dan Uji Beda Mean N-Gain PSKA Kelompok Kontrol dan Kelompok Eksperimen ... 316

4.33. Minat Siswa terhadap PAK dalam Pembelajaran PKn ... 317

4.34. Sikap Siswa setelah Mengikuti PAK Melalui Pembelajaran PKn .... 319

4.35. Tingkatan dan Jumlah Tujuan Pembelajaran PKn Kelas VIII pada KD 3.4 dan 3.5 dalam RPP yang dibuat Guru ... 340


(13)

vii

DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar

2.1. Struktur Sitem Tindakan Umum ... 34 2.2. Skema Tindakan Menurut Parsons ... 35 2.3. PAK dalam Konteks Teori Sibernetika ... 37 2.4. Perbedaan Motif dan Fungsi dalam Sistem Sosial 39 2.5. Interaksi yang Berpotensi Menimbulkan Korupsi di Negara

Demokrasi ... 72 2.6. Intensitas Lembaga Yang Melakukan Korupsi Tahun 2008 ... 86 2.7. Tingkat Kompleksitas dalam Keterampilan Intelektual ... 89 2.8. Aspek-aspek Kompetensi dalam Pendidikan Kewarganegaraan .. 90 2.9. Kerangka Berpikir ... 157 3.1. Langkah-langkah The Four Model (4-D) ... 162 3.2. Alur Pengembangan RPP Korupsi dan Antikorupsi yang

Diintegrasikan dalam Pembelajaran PKn di SMP ... 165 3.3. Komponen Analisis Data Penelitian Evaluasi: Model Interaktif .. 184 3.4. Prosedur Penelitian secara Keseluruhan ... 190 4.1. Model PAK Melalui PKn di Sekolah Menengah Pertama ... 252 4.2. Skema Pengembangan RPP Korupsi dan Antikorupsi dalam

Pembelajaran PKn di Sekolah Menengah Pertama ... 265 4.3. Hasil Analisis SK dan KD Mata Pelajaran PKn Kelas VIII ... 277 4.4. Ilustrasi Model Kooperatif Tipe Jigsaw Tiap Kelompok Ahli

Memiliki Satu Anggota dari Tiap Kelompok Asal ... 349 4.5. Hirarki Pencapaian Kompetensi Kewarganegaraan ... 353 4.6. Faktor Pendukung PAK sebagai Pembinaan Karakter Siswa 379 4.7. Grafik Perbandingan Rata-rata Nilai Pretes, Postes, dan Nilai

N-Gain Kelompok Kontrol dan Eksperimen ... 398 4.8. Tujuan Akhir PAK melalui Pembelajaran PKn ... 402


(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Hal Lamp.

1. Daftar Riwayat Hidup ... 436

2. Surat Ijin Penelitian ... 438

3. Reduksi Data Wawancara dengan Kepala Sekolah dan Guru PKn ... 441

4. Reduksi Data RPP Guru PKn ... 452

5. Pelaksanaan PAK melalui Pembelajaran PKn ... 457

6. Reduksi Data Wawancara dengan Penanggung Jawab Kantin Kejujuran ... 459

7. Reduksi Data Wawancara dengan Siswa ... 462

8. Data Validasi Ahli Rancangan Pembelajaran ... 467

9. Data Validasi Bahan Bacaan Siswa oleh Ahli Isi ... 475

10. Data Validasi Bahan Bacaan Siswa oleh Ahli Bahasa ... 477

11. Data Ujicoba RPP oleh Guru PKn ... 479

12. Data Hasil Ujicoba Kelompok Besar Pada Produk Bahan Bacaan .. 485

13. Hasil Uji Homogenitas Subjek Penelitian ... 499

14. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang Dikembangkan Peneliti 500 15. Media Karikatur ... 521

16. Aktivitas Guru dan Siswa pada dalam PAK Melalui Pembelajaran PKn Kelompok Kontrol dan Eksperimen ... 523

17. Hasil Uji Statistik Postes ... 528


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

1. Bahaya Korupsi dalam Perikehidupan Berbangsa dan Bernegara

Korupsi merupakan tantangan serius dalam pembangunan bidang politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan. Dalam bidang politik, korupsi dapat menciderai nilai-nilai demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) karena mengabaikan kaidah-kaidah proses formal, seperti mengikuti berbagai prosedur dan tata cara yang harus dilalui untuk melakukan kegiatan. Pengabaian proses formal dapat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan menurunkan tingkat partisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Korupsi dalam bidang hukum akan melahirkan dan menyuburkan mafia peradilan, mereduksi bahkan yang lebih parah akan menghilangkan rasa keadilan dan ketertiban umum. Pada bidang ekonomi, korupsi akan mempersulit pertumbuhan dan terjadi inefisiensi atau biaya ekonomi tinggi (high cost economy). Pelaku bisnis akan mengeluarkan biaya tambahan di luar ongkos proses produksi, namun harus tetap diperhitungkan yang akan dibebankan kepada konsumen. Implikasinya, akan “memperlemah roda perekonomian, menghambat pertumbuhan, dan pembangunan ekonomi suatu negara” (Rachman, 2010:2), serta daya saing produk di pasar lokal, nasional, maupun global.

Pandangan di atas sejalan dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pada bagian menimbang bahwa (1) korupsi sangat merugikan keuangan atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam


(16)

rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945; dan (2) menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.

Pada sisi sosial dan budaya, korupsi akan melemahkan kontrol sosial dan meningkatnya rasa permisif masyarakat terhadap berbagai bentuk perilaku korupsi karena dianggap sebagai suatu yang biasa dan menjadi bagian hidup, tumbuh, serta berkembang dalam kebudayaan. Kontrol sosial itu dapat berupa “mekanisme masyarakat dalam mengapresiasi prestasi yang dicapai sekaligus memberi sanksi sosial yang berat bagi anggota masyarakat yang berperilaku amoral” (Ibrahim dan Rukmana, 2009:836), termasuk di dalamnya perilaku korupsi. Pandangan bahwa sukses duniawi diukur dari tingkat kekayaan yang dimiliki memberikan kontribusi signifikan bagi perilaku korupsi karena orang akan mengejar harta benda tanpa memperdulikan lagi bahwa cara yang ditempuh telah melanggar kaidah-kaidah hukum. Implikasinya akan menyuburkan sistem sosial yang membuka peluang bagi praktik korupsi seperti extended-family, yang tumbuh dari kehidupan masyarakat paguyuban. Seseorang yang sukses berkarir dalam suatu keluarga memiliki kewajiban psikologis membawa anggota keluarga yang lain untuk sukses atau setidaknya memberikan peluang menikmati sukses yang dicapai (Asy’arie, 2003; Piliang, 2009). Acapkali untuk memenuhi kewajiban psikologis tersebut jalan yang ditempuh masuk dalam kategori korupsi.

Kondisi yang lebih memprihatinkan, korupsi telah merambah dunia pendidikan. Dalam pandangan Darmawan (2009) terdapat sejumlah persoalan menyangkut dampak korupsi di dunia pendidikan. Pertama, merosotnya kualitas pendidikan. Korupsi mengakibatkan rendahnya kualitas sarana, prasarana, media


(17)

pendidikan, mutu pendidik, dan lulusan. Rendahnya kualitas proses dan lulusan lembaga pendidikan dalam negara dapat menyebabkan generasi muda mencari peluang untuk melanjutkan pendidikan yang lebih baik di negara lain. Implikasi lanjutan terjadi capitalflight ke mancanegara. Kedua, terjadi ketimpangan sosial, korupsi dalam bidang pendidikan meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang miskin dan marginal untuk dapat mengenyam pendidikan secara memadai dan berkeadilan serta lemahnya angkatan kerja terdidik. Akibat lain akan melahirkan generasi-generasi yang korup. Generasi yang korup melahirkan pendidikan dan pemerintah yang korup pula. Ketiga, tercerabutnya moralitas akhlak mulia dan mengubah persepsi publik. Kejujuran semakin sulit ditemukan dan dihargai. Sebaliknya orang-orang jujur tidak mendapatkan apresiasi yang semestinya dalam dunia pendidikan. Kasus nilai Ujian Nasional (UN) hasil menyontek lebih dihargai daripada nilai hasil kejujuran. Hal yang sama disampaikan Bardhan dan Heyneman bahwa:

Corruption can be efficiency-improving in instances in which prices (tuition, fees, wages) are distorted by regulation or lags in application. However the social benefits from corruption are less likely to be observed in education because corruption affects all the other social goals for making the education investment (Bardhan (1997:3). As a term, corruption is used

because of the public good nature of education and education’s role in

affecting social cohesion. Because education serves as a way of modeling good behavior for children or young adults, allowing an education system to become corrupt may be more costly than allowing corruption in the customs service or the policy. By design, one function of education is to purposefully teach the young how to behave in the future. If the education system is corrupt, one can expect future citizens to be corrupt as well. This clearly must have a cost (Heyneman, 2002:3).

Berbagai akibat korupsi yang telah dijelaskan di atas sebenarnya yang akan menanggung akibat secara langsung maupun tidak langsung adalah rakyat dalam berbagai bidang aktivitas. Paparan yang hampir sama disampaikan oleh


(18)

Darmawan, dkk (2008) bahwa di sebuah negara maju, korupsi dapat berlangsung dalam sebuah komponen tunggal dari lembaga politik. Sementara di negara-negara berkembang memiliki lembaga-lembaga administrasi dan politik yang lemah, korupsi dapat menjadi bagian dari sistem. Pandangan ini menunjukkan bahwa di negara berkembang termasuk Indonesia korupsi menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap aspek kehidupan, yang dapat diibaratkan sebagai urat nadi dalam sistem peredaran darah manusia atau menjadi patologi sosial. Pendek kata, di mana saja selama ada peluang dan kesempatan, maka di situ bisa terjadi tindakan korupsi. Dimana terdapat pelayanan publik, di sana sangat rawan terjadi “penyelewengan kekuasaan (abuse of power) yang mengarah kepada tindakan koruptif. Ini tidak lain menyangkut persoalan mentalitas masyarakat yang memang masih permisif terhadap tindakan penyelewengan” (Syam, 2009:1). Sebaik apapun peraturan tentang korupsi dan Prosedur Operasional Standar (POS) layanan publik, jika tidak diimbangi dengan upaya peningkatan kualitas mental manusia, peluang untuk melakukan korupsi tetap akan terbuka karena pertahanan terakhir terletak kepada kemauan manusia untuk tidak memanfaatkan peluang yang ada meskipun hal tersebut memungkinkan untuk dilakukan.

2. Permasalahan Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

Berbagai upaya dilakukan pemerintah Indonesia dalam pemberantasan korupsi, mulai dari pembuatan berbagai peraturan perundangan-undangan, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang ditindaklanjuti dengan penegakan hukum (law enforcement) untuk memberikan efek jera, dan dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime). Keluarnya Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi j.o.


(19)

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cukup untuk dijadikan dasar penegak hukum dalam mengadili kasus korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan KPK dalam memberantas korupsi patut mendapatkan apresiasi, namun masih belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Indikator yang nampak semakin meningkat jumlah pelaku korupsi maupun kerugian negara, baik yang dilakukan oleh pejabat sipil, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) maupun pelaku usaha di sektor swasta. Berdasarkan hasil rilis Transparancy International (TI) menunjukkan pada tahun 1995-2005 posisi Indonesia berada pada kisaran lima besar negara terkorup di dunia (TII, 2006). Menurut survei yang dilakukan oleh Pacific Economic and Risk Consultancy (PERC) sebagaimana dikutip oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia (2006) menunjukkan bahwa pada tahun 2005 Indonesia menempati urutan pertama sebagai negara terkorup di Asia.

Besarnya Corruption Perception Indeks (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) disampaikan oleh Transparency International Indonesia (TII) yang melibatkan 180 negara, selama kurun waktu tahun 2006-2011 dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 IPK Indonesia dalam Kurun Waktu Tahun 2006-2011

No Tahun IPK Sumber

1 2006 2,4 KPK (2006)

2 2007 2,3 TII (2007)

3 2008 2,6 TII (2008)

4 2009 2,8 TII (2009)

5 2010 2,8 TII (2010)


(20)

Skor IPK 2,4 pada tahun 2006, Indonesia masuk daftar negara yang dipersepsikan terkorup di dunia bersama 71 negara dengan skor di bawah tiga. Pada tahun 2008, IPK menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, yakni berada diurutan ke-126 dengan skor 2,6. Tahun 2009 Skor IPK adalah 2,8. Skor ini dapat dibaca bahwa Indonesia masih dipandang rawan korupsi oleh para pelaku bisnis maupun pengamat/analis negara. Skor Indonesia yang masih rendah menunjukkan bahwa usaha pemberantasan korupsi masih jauh dari berhasil dan komitmen pemerintah terhadap tata kelola pemerintahan yang lebih baik masih harus ditingkatkan. Rentang IPK 2,4-3,0 masih lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Brunei Darussalam (5,5), Malaysia (4,5), dan Thailand (3,3). Apalagi jika dibandingkan dengan negara-negara dengan indeks yang tinggi antara lain Selandia Baru (9,4), Denmark (9,3), Singapura dan Swedia sama-sama berindeks (9,2), dan Swiss (9,0) adalah negara-negara dengan tingkat stabilitas ekonomi dan politik yang tinggi. Pada tahun 2010, IPK tetap pada skor 2,8, sama seperti skor pada tahun 2009 (TII, 2010). Artinya, tak ada kemajuan, jalan di tempat, dan stagnan. Baru pada tahun 2011 IPK Indonesia naik menjadi 3,00.

Kenaikan skor IPK Indonesia yang dikeluarkan TII menunjukkan bahwa upaya pemberantasan korupsi semakin kuat, antara lain tetap eksisnya peran KPK dalam memberantas korupsi. Selain Indonesia, skor sebesar 3.0 pada tahun 2011 juga diperoleh 11 negara lain seperti Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi, Meksiko, Sao Tome dan Principe, Suriname, Tanzania. Indonesia dan ke-11 negara tersebut menempati posisi 100 dari 183


(21)

negara yang diukur. Di kawasan ASEAN, skor IPK Indonesia masih berada di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand (TII, 2011).

Perubahan skor IPK terjadi karena adanya perbaikan atau perubahan yang terobservasi dengan jelas terkait prestasi KPK dan reformasi Kementerian Keuangan. Perubahan di dua institusi itu secara signifikan mempengaruhi IPK Indonesia. Usaha yang telah dilakukan KPK dalam pemberantasan korupsi relatif baik dan konsisten dibandingkan dengan institusi penegak hukum lain di Indonesia. Reformasi di Kementerian Keuangan dirasakan langsung oleh rakyat dan pelaku bisnis, terutama bidang pajak, dan bea cukai. Namun, prestasi itu belum diikuti perubahan signifikan di institusi publik lain, termasuk kejaksaan, kepolisian, dan instansi lain yang bersentuhan dengan pelayanan publik. Data di atas menunjukkan bahwa aspek pemberatasan korupsi melalui penegakan hukum masih dirasa belum cukup, tetapi harus diimbangi dengan semangat, atmosfer, dan budaya antikorupsi. Semangat, atmosfer, dan budaya antikorupsi yang dimaksud dapat dilakukan melalui pendidikan formal. Hal ini karena salah satu fungsi pendidikan adalah untuk melakukan koreksi budaya (Eby, 1952, dalam Darmawan, dkk, 2008; Hassan, 2004; Muhari, 2004; Zuriah, 2008), yaitu koreksi terhadap budaya yang tidak baik atau kontraproduktif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Termasuk didalamnya mereduksi sikap dan perilaku korupsi dan menebalkan semangat antikorupsi khususnya kepada siswa sebagai generasi penerus bangsa.

3. Tantangan Pendidikan Antikorupsi Melalui Mata Pelajaran PKn

Masyarakat Indonesia yang agamis tentu bisa memahami tentang pentingnya tindakan pemberantasan korupsi, yang berarti bahwa para pemimpin


(22)

agama bersama-sama dengan pemerintah melakukan tindakan preventif atau pencegahan terhadap tindakan korupsi. Hal ini didasarkan realitas bahwa tindakan korupsi masih menggejala di seluruh lapisan masyarakat. Untuk itu maka tantangan pemerintah dan pemangku kepentingan dalam pemberantasan korupsi ke depan dengan melakukan tindakan pencegahan korupsi melalui Pendidikan Antikorupsi (PAK) yang terstruktur dan terencana dalam keseluruhan masyarakat. Pemerintah tentu tidak bisa melakukan sendirian, gerakan pencegahan korupsi perlu melibatkan seluruh elemen institusi sosial kemasyarakatan, termasuk melalui pendidikan formal (sekolah). Hal ini sesuai dengan pandangan yang dipaparkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) bahwa

Educate the younger generations towards a responsible citizenry: sensitizing future generations to key principles of democratic governance and the negative consequences of corrupt behaviour. It is also important to instil in young people a culture of positive engagement and respect and skills for constructive and investigative debate on the quality of governance

and its impact on people’s lives ... (UNDP, 2004: 11)

Rencana KPK bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan PAK ke kurikulum sekolah perlu direalisasikan dalam program yang lebih konkrit, terpadu, dan berkesinambungan. Demikian pula “kerjasama antar institusi sosial dan keagamaan perlu dilakukan melalui implementasi yang lebih jelas dan nyata” (Syam, 2010:2). Isu antikorupsi yang semakin kencang disuarakan berbagai elemen masyarakat, menggambarkan bahwa pemberantasan korupsi melalui penyadaran publik sangat diperlukan disamping penegakkan hukum. Dalam konteks penyadaran publik, lembaga pendidikan formal (sekolah) mempunyai tanggung jawab moral yang besar dalam rangka menumbuhkembangkan semangat antikorupsi, karena “sekolah adalah proses pembudayaan” (Hassan, 2004:10). Sekolah dapat menumbuhkembangkan


(23)

pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi karena sekolah merupakan lingkungan kedua bagi anak dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Sebagaimana pandangan Lickona (1992) bahwa penanaman karakter yang baik diperlukan tiga komponen yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral action. Caranya, sekolah memberikan nuansa, atmosfer, dan habituasi yang mendukung upaya untuk menginternalisasikan nilai dan etika yang hendak ditanamkan, termasuk perilaku antikorupsi.

PAK di sekolah tidak diarahkan untuk melakukan gerakan praktis pemberantasan korupsi sebagaimana dilakukan oleh aparat penegak hukum, tetapi lebih menitikberatkan usaha untuk memberikan bekal pengetahuan dasar tentang korupsi dan penyadaran urgensi sikap antikorupsi. “Peserta didik atau generasi muda diajak secara sadar membangun mental bahwa korupsi adalah penyakit yang merugikan diri sendiri, masyarakat serta masa depan bangsa dan negara” (Darmawan, 2010:3). Pembentukan pengetahuan, pemahaman berbagai bentuk korupsi, dan pengubahan persepsi serta sikap terhadap korupsi mutlak dilakukan di sekolah.

PAK dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah, namun tidak terkotak-kotak pada satu mata pelajaran yang berdiri sendiri (sparated/subject matter), tetapi terintegrasi dengan mata pelajaran yang ada (integrated). Hal ini karena mata pelajaran pada jenjang SD/MI, SMP/MTS, dan SMA/MA/SMK dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sudah berat. Jika ditambah dengan mata pelajaran PAK dalam struktur kurikulum sekolah justru akan menambah beban bagi siswa. Permasalahan lain berkaitan kompetensi dan kewenangan pengajar atau guru mata pelajaran PAK. Gayut dengan kerangka


(24)

berpikir bahwa PAK diintegrasikan dengan mata pelajaran maka salah satu mata pelajaran yang dapat disisipi adalah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn-Civic Education) (Cogan;1998; Sapriya, 2007).

PKn menjadi sangat strategis di tengah upaya pemerintah dalam membangun karakter bangsa mulai jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Perguruan Tinggi (PT). Zuriah (2011:1) menyatakan bahwa “PKn menjadi salah satu instrumen fundamental dalam bingkai pendidikan nasional sebagai media pembentukkan karakter bangsa”. Hal ini berarti PKn akan menanamkan nilai-nilai dan kompetensi bagi peserta didik yang berguna pada masa sekarang dan akan datang, baik menyangkut pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan kewarganegaraan (civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic dispositions). Pembentukan ketiga kompetensi tersebut di atas tidak mungkin terjadi secara alamiah, namun harus diusahakan secara sistematis melalui pendidikan. Untuk itu, perlu diidentifikasi, dipilih, dan ditentukan nilai-nilai yang hendak ditanamkan kepada peserta didik dalam PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn. Kestrategisan PKn sebagai transmisi antikorupsi sejalan dengan pandangan yang dipaparkan Djahiri (1995:5) dalam Conference on Civic Education for Civil Society yang memberikan rekomendasi tentang visi dan orientasi baru dalam pengembangan program PKn di Indonesia yaitu:

Mission and function of the Indonesian civic education should be performed as follows: political and law education is aimed to develop to student to be a good citizens and political and law literacy, namely Indonesian citizens who have a national awareness, aware of their right and duties to their government and country, understand and have strong willingness, have competencies to enforce norm and law accepted by their society, and have motivation to realize state ideals.


(25)

Secara eksplisit pandangan Djahiri (1995:5) di atas tidak menyinggung tentang istilah antikorupsi sebagai salah satu visi dan orientasi PKn di Indonesia, namun secara implisit tergambar dalam tujuan yang hendak dicapai siswa, yakni menjadi warga negara yang baik, sadar hukum, sadar hak dan kewajiban, serta taat pada norma yang berlaku di masyarakat. Jika ditelisik lebih jauh sikap antikorupsi merupakan salah satu bentuk manifestasi warga negara yang baik. Pandangan lebih eksplisit disampaikan dalam kesimpulan penelitian yang dilakukan Center for Indonesian Civic Education (CICED), (2000: 43) bahwa “content for the new civic education should include key concepts such as democracy, good governance,

anti-corruption, the constitutional, national identity, and civic value”. Hasil penelitian CICED memberikan penguatan urgensi wawasan antikorupsi sebagai salah satu paradigma baru isi PKn, di samping demokrasi, identitas nasional, dan nilai-nilai kewarganegaraan. Kesimpulan ini didasarkan fakta empiris bahwa di Indonesia, korupsi telah begitu menggurita seperti jamur di musim penghujan yang merambah ke seluruh sektor mulai dari tingkat desa sampai dengan pemerintah pusat. Rekomendasi CICED menjadi salah satu dasar dalam pengembangan tujuan PKn pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yaitu: “berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta antikorupsi” (Permendiknas No. 22 tahun 2006). Isi Permendiknas No. 22 tahun 2006 secara eksplisit menunjukkan urgensi PKn pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dalam menanamkan sikap dan perilaku antikorupsi yang selalu inheren dengan perikehidupan siswa saat ini dan yang akan datang. Rumusan tujuan tersebut


(26)

secara eksplisit tersurat tentang antikorupsi sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki siswa.

Untuk itu, jika PAK akan diintegrasikan dalam pembelajaran PKn di sekolah perlu dilakukan secara “continuum maximal yang ditandai oleh inclusive, activist, partisipasive, process-led, value based, interative, and more difficult to archieve” (Kerr, 1992: 6; Budimansyah, 2010:54-55). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Kerr (1992) kelemahan pembelajaran nilai-moral (termasuk PKn) selama ini hanya mengarah pada “continuum minimal yang ditandai oleh thin, exclusive, elitist, formal, content-led, knowledge based, didactic transmission, easier to archieve” (Kerr, 1999: 6; Budimansyah, 2010:55).

Namun demikian PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn dengan continuum maximal belum cukup, masih diperlukan dukungan budaya (kultur dan iklim) sekolah terutama dalam konteks penanaman nilai dan pembentukkan karakter siswa agar memiliki sikap dan perilaku antikorupsi. Budaya sekolah inilah dalam terminologi PKn disebut juga dengan civic culture. Budaya sekolah yang dapat dikembangkan dalam mendukung PAK seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin, taat terhadap peraturan sekolah, konsistensi dalam penerapan aturan, adil, kerja keras, sederhana, dan lain-lain. Budaya sekolah dikembangkan dalam kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, yang melibatkan seluruh komponen sekolah yakni kepala sekolah, guru, staf administrasi, sampai petugas kebersihan sekalipun mempunyai peran sebagai pendidik. Pentingnya melibatkan seluruh komponen sekolah dalam PAK sejalan pandangan Budimansyah (2009:20) yang menyebut istilah “sociocultural development, artinya pembinaan warga negara melibatkan pranata sosial yang


(27)

berunsurkan sistem nilai dan norma dalam masyarakat”. Asumsi yang mendasari karena kewarganegaraan hidup dalam lingkungan masyarakat. Di samping itu, secara kodrat manusia tidak dapat menjadi manusia, jika tidak bergaul dan hidup bersama manusia lain sebagai bagian dari kedudukan sebagai mahkluk sosial. Kerangka inilah yang menjadikan dasar bahwa upaya secara sociocultural menjadi sangat penting. Hal ini sebagai upaya untuk mewujudkan kondisi ideal yang diharapkan dalam masyarakat. Meminjam istilah Budimansyah (2009:21) adalah “mewujudkan orde sosial yang baik dan kondisi yang diharapkan (desirable condition)” melalui berbagai macam penguatan nilai-nilai baik/positif yang ada dalam masyarakat. Mengingat yang dibangun dalam gerakan sosiokultural kewarganegaraan di sekolah adalah sistem nilai dan norma antikorupsi maka perlu disediakan ruang bagi siswa agar dapat mengaktualisasikan diri dalam berbagai macam aspek kehidupannya. Pentingnya budaya sekolah dalam membentuk karakter, termasuk di dalamnya karakter antikorupsi, dikemukakan oleh Megawangi (2004:152) bahwa:

kesehatan paru-paru anak terbentuk sangat bergantung pada bagaimana mereka menghirup udara di sekelilingnya. Kalau udara yang dihirup bagus maka anak akan sehat. Begitu pula dengan pembentukkan karakter anak sangat bergantung bagaimana mereka menghirup “udara moral” di sekelilingnya. Anak akan berada di sekolah sepanjang hari, apabila guru dapat memberikan udara yang penuh dengan kasih sayang, kebaikan, kebajikan, penghormatan, maka karakter anak akan baik.

Pendapat Megawangi (2004) menunjukkan bahwa pendidik (kepala sekolah, guru, staf administrasi, dan petugas kebersihan) menjadi model bagi siswa di sekolah. Segala upaya yang dilakukan sekolah agar siswa menjadi generasi berkarakter melalui berbagai cara layak diapresiasi. Termasuk upaya sekolah dalam mengintegrasikan PAK melalui pembelajaran PKn dan budaya sekolah. PAK


(28)

yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn diharapkan “pembangunan karakter bangsa lebih kuat, mandiri, berkualitas, serta sehat akan dapat diwujudkan demi masa depan Indonesia yang bersih dan berwibawa” (Darmawan, ad.al, 2008: 9). Pendapat ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Brody (1994: 113-114) bahwa:

siswa high school yang ikut serta dalam program We the people.... mengembangkan kepedulian yang lebih kuat terhadap keyakinan politik, sikap, dan nilai-nilai yang penting bagi berfungsinya demokrasi dibandingkan dengan kebanyakan orang dewasa dan peserta didik lainnya. Penelitian yang dilakukan Brody (1994) memberikan gambaran bahwa siswa dianggap sebagai warga negara muda yang kelak akan menentukan nasib bangsa, sehingga eksistensinya perlu dipersiapkan dan dibelajarkan agar memiliki landasan perilaku yang kuat atau berkarakter. Hal ini sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Davidson dan Reesmogg, (1997:351) bahwa:

All strong societies have a strong moral basis. Any study of the history of economic development shows the case relationship between moral and economic development countries and groups that achieve successful development do so partly because they have an ethic that encourages the economic virtues of self-reliance, hard work, family and social resposibility. Pandangan di atas memberikan gambaran bahwa moral yang kuat merupakan pondasi bagi kemajuan dan keberhasilan suatu bangsa karena selalu berpegang pada etika yang akan mendorong nilai kemandirian, kerja keras, perilaku hemat, dan jujur. Nilai-nilai tersebut pada hakekatnya merupakan inti atau komponen dasar dalam PAK di sekolah.

4. Urgensi Studi Evaluasi PAK dalam Pembelajaran PKn di Jawa Timur Salah satu upaya dalam pencegahan korupsi dan mengembangkan sikap antikorupsi melalui sekolah telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa


(29)

Timur pada tahun 2009, yang diawali dengan menyusun buku panduan PAK yang diberi nama Pendidikan Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Anti KKN). Sebagai pilot project ditetapkan tiga mata pelajaran yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Agama, dan Bahasa Indonesia, serta budaya sekolah yang disisipi PAK mulai Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) (Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, 2009). Pilihan strategi untuk menanamkan nilai, pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui pendidikan didasari atas pemikiran bahwa sekolah adalah proses pembudayaan, sebagai lingkungan kedua bagi anak yang dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Oleh karena itu, jika sekolah dapat memberikan semangat dan atmosfer yang sengaja diciptakan untuk mendukung internalisasi nilai, sikap, dan perilaku antikorupsi, diyakini akan dapat memberikan sumbangan yang amat berarti bagi upaya menciptakan generasi bangsa yang tangguh dan berperilaku jujur kelak di kemudian hari. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa satu dari sekian fungsi pendidikan untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Perilaku antikorupsi merupakan bentuk peradaban bangsa yang bermartabat, sebaliknya korupsi merupakan tindakan merendahkan harkat sebagai bangsa.

PAK yang diintergrasikan dalam pembelajaran PKn di sekolah diharapkan mampu memberikan bekal dasar tentang pengetahuan, pemahaman, akibat korupsi, sikap dan perilaku antikorupsi yang selalu ada dalam diri siswa. Sikap antikorupsi sebagai bentuk idealisme siswa yang akan selalu ada, sekarang dan akan datang. Bekal pengetahuan, sikap, dan perilaku antikorupsi merupakan salah


(30)

satu upaya untuk memperkuat pendidikan karakter bangsa yang identik dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Pandangan siswa yang baik dan ideal bahwa korupsi merupakan suatu bentuk pelanggaran, kelainan, penyakit, penyimpangan, dan lain-lain, sebagaimana dalam khasanah teori fungsional struktural yang disampaikan oleh Merton (Johnson, 1981) tentang anomie. Dalam rangka mengembangkan pandangan siswa yang ideal bahwa korupsi merupakan anomie diperlukan PAK di sekolah sebagai bentuk internalisasi, sosialisasi, dan pelembagaan secara sistematis yang berbasis pada “adaptasi (Adaptation), pencapaian tujuan (Goal attainment), integrasi (Integration), dan mempertahankan pola (Lattent pattern maintenance/AGIL)” (Parson, dalam Ritzer dan Goodman, 2004: 121; Ritzer, 2012: 409-410).

Rintisan PAK di sekolah formal telah dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dengan cara mengintegrasikan beberapa nilai dan perilaku antikorupsi ke dalam: (1) materi, metode, media, dan sumber belajar pada mata pelajaran Agama, PKn, Bahasa Indonesia, (2) pengembangan berbagai bentuk kegiatan kesiswaan; (3) pembiasaan perilaku di kalangan warga sekolah. Melalui ketiga strategi tersebut diharapkan akan dapat menciptakan atmosfir dan budaya sekolah yang mendukung tumbuh dan kembangnya pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi di kalangan warga sekolah. Tujuan yang hendak dicapai dalam PAK di sekolah untuk menanamkan nilai, sikap hidup, dan mengembangkan kreativitas kebiasaan perilaku antikorupsi kepada warga sekolah. PAK di sekolah dilaksanakan dengan menggunakan prinsip yang berorientasi pada pendidikan nilai dan perilaku, berjenjang dan berkesinambungan, sistematis, terpadu, dan terstruktur. Pendekatan yang digunakan dalam PAK di sekolah adalah integratif


(31)

dalam mata pelajaran, integratif dalam pengembangan kegiatan kesiswaan, integratif dalam pembiasaan perilaku. Pengintegrasian ini penting agar terjadi saling mengisi, melengkapi, dan menguatkan antara pembelajaran di dalam kelas dengan di luar kelas.

Untuk melaksanakan PAK di sekolah pada tahap awal adalah melakukan identifikasi dan menyusun nilai dan perilaku antikorupsi. Langkah awal ini telah melibatkan guru pada masing-masing mata pelajaran yang dijadikan pilot project. Nilai dan perilaku antikorupsi ini kemudian dijadikan sebagai salah satu dasar untuk menyusun silabus, kegiatan kesiswaan, dan budaya sekolah. Tahap berikutnya adalah melakukan pelatihan bagi guru-guru tentang bagaimana melaksanakan PAK melalui pembelajaran di kelas maupun di luar kelas melalui kegiatan kesiswaan dan budaya sekolah.

Namun demikian PAK melalui pembelajaran PKn dan budaya sekolah yang telah dilaksanakan selama dua tahun belum dilakukan evaluasi, baik dari sisi kompetensi, bahan bacaan, strategi pembelajaran, evaluasi, dan iklim sekolah macam apa yang mampu memberikan kontribusi dan memberikan penguat terhadap PAK di sekolah. Upaya yang selama ini dilakukan sudah barang tentu masih diperlukan analisis yang mendalam dan komprehensif dalam rangka memberikan saran, masukan, perbaikan, dan mempertahankan program yang sama di masa depan. Di sinilah urgensi studi evaluatif interpretivis terhadap pelaksanaan PAK melalui pembelajaran PKn di sekolah perlu untuk dilakukan. Pemilihan studi evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif ditempuh dengan pertimbangan untuk menjaga agar tetap naturalistik yang merupakan ciri khusus dalam pendekatan kualitatif, yang “berguna untuk mengkaji implementasi


(32)

program pada sisi proses” (Patton, 2009: 13). Apa yang terjadi dalam program sering kali bervariasi seperti halnya perubahan kondisi, perbedaan lokasi, pelaksana di lapangan, atau hal lain yang tidak dapat diramalkan atau diantisipasi sepenuhnya. Penelitian evaluasi dengan pendekatan kualitatif akan jauh lebih berguna dalam upaya pengembangan program, terutama dari sisi proses perencanaan dan penerapan program. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh House (1980:254-255) bahwa “kelemahan pendekatan eksperimental dalam penelitian evaluatif terlampau terfokus pada aspek validitas sehingga melupakan aspek kredibilitas dan normatif, peneliti (evaluator) selalu terlibat dengan dunia”.

Berdasarkan pandangan Patton (2009), penggunaan pendekatan kualitatif dalam studi evaluasi diharapkan dapat mengungkap “makna”, yang merupakan salah satu karakteristik pokok penelitian kualitatif. Penelitian naturalistik “tidak peduli terhadap persamaan objek penelitian melainkan mengungkap tentang pandangan kehidupan dari orang-orang yang berbeda” (Sapriya, 2007: 131; Danial dan Wasriah, 2009:60). Penelitian evaluatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif diharapkan memperoleh gambaran yang bersifat alamiah pula. Tujuan lain dalam studi ini untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang PAK di sekolah dan mengembangkan perangkat PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn di sekolah sebagai upaya peningkatan pemahaman siswa tentang antikorupsi, sekaligus pembinaan watak atau karakter bangsa (nation and character building).

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini ada tiga fokus yang menjadi kajian, Pertama, pandangan (persepsi, pengetahuan, pengalaman, dan sikap) kepala sekolah, guru


(33)

PKn, dan siswa SMP sebagai subjek terfokus tentang korupsi dan PAK baik dalam pembelajaran PKn maupun melalui kultur sekolah dalam rangka penguat karakter. Kedua, upaya yang dilakukan guru dalam melaksanakan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn di Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai tahap identifikasi Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD), menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sampai pada tahap implementasi di kelas. Ketiga, upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam rangka mengembangkan habituasi yang diwujudkan dalam budaya sekolah yang diprediksi mampu memberikan dukungan pada PAK yang telah dilakukan dalam pembelajaran PKn.

Fokus masalah yang telah dipaparkan di atas kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian evaluasi yaitu bagaimana kerangka

konseptual-teoritis dan implementatif PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn sebagai penguat karakter bangsa? Secara terperinci pertanyaan penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah pandangan kepala sekolah, guru PKn, dan siswa tentang korupsi serta pendidikan antikorupsi di sekolah?

2. Bagaimana guru menyusun dan mengembangkan tujuan, memilih dan mengembangkan bahan ajar, memilih dan menentukan metode, media, dan teknik asesmen PAK yang diintegrasikan melalui pembelajaran PKn yang ada dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas VIII semester gasal? 3. Bagaimana pelaksanaan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn

di kelas VIII semester gasal, menyangkut interaksi guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa dengan lingkungan?


(34)

4. Bagaimana menghabituasikan nilai-nilai antikorupsi yang diwujudkan dalam bentuk budaya sekolah yang diprediksi mampu memberikan dukungan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn?

5. Faktor-faktor apa saja yang mendukung pelaksanaan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn di kelas VIII sebagai penguat karakter siswa SMP?

6. Bagaimana Efektivitas PAKEM dalam meningkatkan pemahaman siswa tentang antikorupsi yang diitegrasikan dalam pembelajaran PKn di SMP? C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji, menemukan ide-ide dasar kerangka konseptual-teoritis dan implementatif PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn sebagai penguat pembinaan karakter bangsa. Secara terperinci tujuan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Untuk mengkaji pandangan kepala sekolah, guru PKn, dan siswa tentang korupsi serta PAK di sekolah.

2. Untuk mengkaji tujuan, bahan ajar, metode, media, dan teknik asesmen PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn, dituangkan dalam RPP yang dikembangkan guru di kelas VIII semester gasal.

3. Untuk mengkaji pelaksanaan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn di kelas VIII semester gasal, yang menyangkut interaksi guru-siswa, siswa-siswa, dan siswa dengan lingkungan.

4. Untuk menggali, mengkaji, dan menemukan cara menghabituasikan nilai-nilai antikorupsi dalam bentuk budaya sekolah yang diprediksi mampu memberikan dukungan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn.


(35)

5. Untuk menggali, mengkaji, dan menemukan faktor-fakor yang mendukung pelaksanaan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn di kelas VIII sebagai penguat karakter siswa SMP.

6. Untuk mengetahui Efektivitas PAKEM dalam meningkatkan pemahaman siswa tentang antikorupsi yang diitegrasikan dalam pembelajaran PKn di SMP.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis melalui penelitian evaluasi ini akan memberikan sumbangan dalam:

a. Pengembangan konseptual-metodologis penelitian evaluasi kualitatif dengan pendekatan interpretivis khususnya dalam bidang PKn.

b. Penguatan konseptual-teoritis tentang pendidikan karakter bangsa dan pengembangan keilmuan PKn.

c. Penguatan konseptual-teoritis tentang perencanaan pembelajaran PKn di sekolah sebagai salah satu pilar dalam pendidikan karakter bangsa.

d. Penguatan konseptual-teoritis tentang perkembangan moral siswa SMP.

e. Penguatan konseptual-teoritis tentang pelaksanaan pembelajaran PKn dalam rangka mendukung PAK sebagai salah satu pilar dalam pendidikan karakter bangsa.

Secara praktis studi evaluasi PAK melalui pembelajaran PKn di sekolah, diharapkan dapat memberi manfaat bagi:

a. Pengambil kebijakan, terutama berkaitan dengan PKn dan PAK di sekolah dalam upaya mempersiapkan warga negara yang cerdas baik secara intelektual,


(36)

emosional, dan sosial dalam rangka mengembangkan sikap, keterampilan, serta perilaku antikorupsi.

b. Para akademisi atau komunitas yang menaruh perhatian besar pada bidang PKn sebagai bahan masukan dalam rangka pengembangan PAK sebagai bagian dari kajian teoritik dan empiris dalam pembelajaran PKn di sekolah dan di masyarakat.

c. Para pengembang kurikulum di semua jenis dan jenjang pendidikan dalam melakukan pengintegrasian PAK ke dalam berbagai mata pelajaran.

d. Para praktisi PKn khususnya pada jenjang SMP dalam melakukan perancangan, pelaksanaan, dan evaluasi PAK yang diintegrasikan ke dalam pembelajaran PKn.

e. Siswa akan memperoleh pengalaman belajar tentang pentingnya prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam setiap kegiatan bersama, sehingga pada gilirannya akan menumbuhkan kesadaran pentingnya memelihara sikap jujur dalam setiap aktivitas sebagai bagian dari PAK.

f. Meningkatkan wawasan, cara berfikir, serta pengetahuan guru dan siswa berbagai dampak negatif korupsi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. E. Pengertian Istilah

1. Pendidikan Antikorupsi (PAK) adalah pembentukkan pengetahuan, keterampilan, dan watak antikorupsi dalam diri siswa yang dilakukan dalam lingkup sekolah formal. Dalam konteks ini PAK diintegrasikan dalam pembelajaran PKn tanpa membuat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) baru.


(37)

2. Pendidikan Kewarganegaraan atau Civic Education umumnya merujuk pada jenis mata pelajaran yang diselenggarakan dalam struktur kurikulum sekolah formal dengan berbagai macam isi (Cogan, 1998; Sapriya, 2007). Pandangan yang hampir mirip disampaikan oleh Winataputra dan Budimansyah (2007) bahwa mata pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan para pemuda warganegara untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat kelak setelah mereka dewasa. PKn yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah merujuk pada mata pelajaran yang diselenggarakan dalam struktur kurikulum di sekolah. PKn di sekolah dimaksudkan untuk peningkatan wawasan dan kesadaran siswa akan status, kewajiban, dan hak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas diri sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (Permendiknas Nomor 22 tahun 2006).

3. Karakter Bangsa Indonesia adalah perilaku kolektif kebangsaan Indonesia yang unik-baik yang menentukan kesadaran, pemahaman, rasa, dan karsa, serta perilaku berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, mengakui keberagaman dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika dan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (Budimansyah, 2010).


(38)

4. Studi evaluasi merupakan aktivitas untuk menguraikan dan memahami dinamika internal berjalannya suatu program baik dari sisi teoritis maupun praktis (Patton, 2009:30).

5. Metode interpretivis merupakan salah satu “metode evaluasi penelitian kualitatif yang selalu berhubungan dengan kontekstualisasi makna dan realitas sosial yang selalu dikonstruksi secara sosial pula” (Denzin dan Lincoln, 2009:704) berdasarkan atas “interpretasi dan reinterpretasi secara konstan dari semua intensional, perilaku manusia yang bermakna, termasuk perilaku peneliti” (Smit, 1989:85).

6. PAKEM adalah Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Aktif, guru harus menciptakan suasana sedemikian rupa sehingga siswa aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Kreatif adalah menciptakan kegiatan pembelajaran yang memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa. Efektif merujuk pada aktivitas pembelajaran yang mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menyenangkan merupakan suasana pembelajaran yang membuat siswa merasa bergembira sehingga waktu curah perhatian secara penuh untuk belajar (Sudrajat, 2008; Suparlan et al, 2005). F. Struktur Organisasi Disertasi

Struktur penulisan disertasi ini terdiri atas lima (5) bab, yaitu bab I pendahuluan, bab II landasan teori, bab III metode penelitian, bab IV hasil penelitian dan pembahasan, bab V kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi.

Bab I berisi latar belakang yang memberikan konteks pentingnya masalah untuk diteliti, fokus dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pengertian istilah, dan struktur organisasi disertasi.


(39)

Bab II disajikan tentang landasan konsep dan teori yang berisi deskripsi, pengelompokkan, analisis, dan pandangan penulis tentang: PAK dalam perspektif filsafat pendidikan idealisme, perenialisme, dan rekonstruksionisme, urgensi PAK dalam perspektif teori fungsionalisme struktural, konsep dasar korupsi, belajar dan pembelajaran PKn, teori perkembangan moral, pendidikan antikorupsi sebagai penguat pendidikan karakter bangsa, PAK di Jawa Timur, hasil penelitian sebelumnya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

Bab III diuraikan tentang metode penelitian yang terdiri atas pendekatan, metode, teknik pengumpulan data, instrumen, peran peneliti, dan keabsahan data, informan/subjek, sumber data, dan teknik pengambilan subjek penelitian, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.

Bab IV berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan yang menyajikan pandangan kepala sekolah, guru PKn, siswa tentang korupsi dan PAK, pengembangan rencana pelaksanaan pembelajaran PAK yang diintegrasikan dalam PKn, pelaksanaan PAK yang diintegrasikan dalam pembelajaran PKn di kelas VIII semester gasal, habituasi di sekolah yang mendukung PAK, faktor-faktor yang mendukung pembinaan karakter siswa SMP melalui PAK di sekolah, pengembangan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran PAK yang diintegrasikan melalui PKn sebagai upaya memperkuat karakter bangsa.

Bab V berisi kesimpulan tentang PAK dalam pembelajaran PKn sebagai penguat karakter bangsa, implikasi, dan rekomendasi.


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan dan Metode Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif atau Creswell (1994:177) menyebut “the dominant-less dominant design”. Pada tahap awal dilakukan penelitian evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif tentang pengintegrasian PAK dalam pembelajaran PKn dan budaya sekolah pada jenjang SMP di Jawa Timur. Pengintegrasian PAK melalui pembelajaran PKn difokuskan pada pengembangan perangkat pembelajaran PKn kelas VIII semester gasal pada Standar Kompetensi (SK): menampilkan ketaatan terhadap perundang-undangan nasional dan Kompetensi Dasar (KD): (a) mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia (KD 3.4), dan (b) mendeskripsikan pengertian antikorupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) antikorupsi di Indonesia (KD 3.5)”. Penelitian evaluasi dilakukan pada SMP Negeri yang menjadi pilot projek Pendidikan Anti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang digagas Dinas Pendidikan provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Pilot projek dilakukan di kota Surabaya, kabupaten Lamongan, kabupaten Pasuruan, kota Malang, kabupaten Mojokerto, dan kota Madiun. Hasil penelitian evaluasi kemudian digunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran PAK yang diintegrasikan dalam PKn bagi siswa SMP, khususnya kelas VIII semester gasal.

Pemilihan pendekatan evaluasi kualitatif ditempuh dengan pertimbangan sebagai upaya pengembangan program terutama dari sisi proses perencanaan dan


(41)

penerapan. Hal ini sejalan dengan pandangan yang disampaikan Patton (2009:13) bahwa pemilihan studi evaluasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjaga agar tetap naturalistik yang merupakan ciri khusus dalam pendekatan

kualitatif, yang “berguna untuk mengkaji implementasi program”. Pendapat lain

menyatakan bahwa dengan “penelitian evaluatif kualitatif akan dapat diketahui, dievaluasi, dan dinilai berdasarkan dampak serta hasil aktualnya, bukan semata-mata tujuan yang diinginkan sebelumnya” (Scriven, 1967 dalam Denzin dan Lincoln, 2009:702). Apa yang terjadi dalam program sering kali bervariasi seperti perubahan kondisi, perbedaan lokasi, pelaksana di lapangan, atau hal lain yang tidak dapat diramalkan atau diantisipasi sepenuhnya. Dengan cara menangkap apa yang telah terjadi, penelitian naturalistik bersifat terbuka dan peka terhadap deviasi dari suatu rencana, dan variasi yang tak terantisipasi. “Pendekatan eksperimental dalam penelitian evaluatif menyediakan berbagai macam informasi untuk aktivitas program kebijakan, yang bercirikan oleh kecenderungan pengungkapan sisi manajerial, dasar pragmatis, dan prinsip-prinsip metodologi yang eklektis” (Howe, 1988:12; Patton, 1988:20; Denzin dan Lincoln, 2009:699), yang hanya mengungkapkan tujuan-tujuan yang bersifat praktis (Patton, 1990), sementara itu sisi natularistik, konteks sosial, pengalaman individu, perilaku individu dan fenomena sosial, acapkali terabaikan. Menurut Cronbach (1982) penelitian evaluasi dengan paradigma kuantitatif lebih banyak memperolah gambaran tentang tujuan dan hasil program saja. Pendapat yang mirip juga dikemukakan oleh House (1980:254-255) bahwa “salah satu kelemahan pendekatan eksperimental dalam penelitian evaluatif terlampau terfokus pada


(42)

aspek validitas sehingga melupakan aspek kredibilitas dan normatif, peneliti

(evaluator) akan selalu terlibat dengan dunia”.

Berdasarkan pandangan di atas, penggunaan pendekatan kualitatif dalam

studi evaluasi diharapkan akan dapat mengungkap “makna” PAK di sekolah dengan segala macam aspeknya. Dalam hal ini “penelitian naturalistik tidak peduli terhadap persamaan objek penelitian melainkan mengungkap tentang pandangan kehidupan dari orang-orang yang berbeda” (Sapriya, 2007: 131). Karakteristik lain yang menonjol dalam penelitian kualitatif adalah sifatnya yang naturalistik. Diharapkan penelitian evaluatif dengan pendekatan kualitatif akan memperoleh gambaran yang bersifat alamiah pula. Dalam rangka mengungkap fakta yang ada pada diri seseorang yang unik tidak ada jalan lain kecuali memanfaatkan manusia sebagai instrumen. Pemanfaatan manusia sebagai instrumen sejalan dengan pandangan Lincoln dan Guba (1985:199) bahwa “... the human-as-instrument is inclined toward methods that are extensions of normal activities: looking,

listening, speaking, reading, and the like”. Argumen ini memberikan gambaran tentang eksistensi manusia sebagai instrumen dalam penelitian naturalistik karena mempunyai keunggulan dalam hal melihat, mendengar, mengucapkan, dan merasakan sebagaimana yang dilakukan oleh manusia. Pendapat yang cukup holistik disampaikan oleh Denzim dan Lincoln (1994:2), bahwa:

qualitative research is multimethods in focus, involving an interpretative, naturalistic approach to its subject matter. This mean that qualitative reseachers study think in their natural setting, attempting to make sense of the interpret phenomena in term meanings bring to them. Qualitative research involves the studied use and collection of variety of empirical materials case study, personal experience, instropective, life story, interview, observational, historical, interactional, and visual texts-that describe routine and problematic moments and meaning in individuals live.


(43)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam penelitian kualitatif, peran peneliti sebagai instrumen diharapkan memperoleh temuan secara holistik melalui berbagai metode untuk mendapatkan fakta baik yang nyata maupun manifes.

Pendekatan yang kedua dalam penelitian ini adalah Research and Development (R & D) atau penelitian pengembangan. Penelitian pengembangan merupakan pendekatan tambahan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran PAK yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran PKn di SMP khususnya pada kelas VIII semester gasal. Penelitian pengembangan ini menggunakan model 4-D (The Four D Model) yang disampaikan Thiagarajan, Semmel & Semmel (1985:5), meliputi Define, Design, Develop, dan Disseminate.

... the role of the Four-D model. The stage categorized as "define" is described to be analytical and to involve five steps: front-end analysis (problems facing the teacher trainer), learner analysis, task analysis, concept analysis, and the specifying of instructional objectives. The next stage is seen to involve the “design” of prototype instructional material and to comprise four steps: construction of criterion referenced tests, media selection, format selection, and initial design for presentation of instruction through media such as tests, textbooks, audiotutorial models, and computer assisted instruction. The “developmental” stage is said to comprise modification of the prototype material through expert appraisal and developmental testing. Described for the final stage (disseminate) are summative evaluation, final packaging activities such as securing copyright releases, and diffusion. Model 4-D jika diilustrasikan dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Define Design Develop Disseminate

Front-end Analysis

Learner Analysis

Concept Analysis

Task Analysis

The Specifying of Instructional Objectives

Criterion-test Construction

Media Selection

Format Selection

Initial Design

Expert Appraisal

Developmental Testing

Clarity Validity Pervasiveness

Impact Timeliness Practicality


(1)

Bardhan, P. (1997). “Corruption and Development: A Review of Issues”. Journal

of Economic Literature, 35(September). 1320-1346.

Degeng, I. N. S. (1997). “Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi”. Jurnal Pendidikan Penabur, II, 3, Maret 1997.

Educational Policy Newsletter of Education Policy Centers, Issue No.3. May 2004. Topic “Anti-corruption education.Transparency and accountability in Education”.

Hake, R. R. (1998). “Interactive Engagement Versus Traditional Methods: A Six-Thousand Student Survey Of Mechanics Test Data For Introductory Physics Courses”. American Journal of Physics, 66:64-74.

Harmanto. (2009). “Budaya Sekolah sebagai Wahana Pendidikan Antikorupsi”.

Jurnal Civicus, Vol 12, No. 1, Januari 2009.

Herayanti, L., Setiawan, A., Rusdiana, D. (2009). “Model Pembelajaran Berbasis Masalah dengan Pendekatan Inquiry untuk Meningkatkan Keterampilan Generik Sains Mahasiswa pada Materi Listrik Statis”. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA, Vol 3, No. 2. 145-152.

Heyneman, S. P. (2002). “Defining the Influence of Education on Social Cohesion”. International Journal of Educational Policy, Research and

Practice, Vol. 3 (Winter). 73 – 97.

Howe, K. R. (1988). “Against The Quantitaive-Qualitative Incompatibility Thesis or Dogmas Die Hard”. Reviev of Educational Research, Vol 8, No. 17,

10-16.

Kohlberg, Lawrence. (1973). “The Claim to Moral Adequacy of a Highest Stage of Moral Judgment”. Journal of Philosophy, Vol. 70, No. 18) 70 (18): 630–646. doi:10.2307/2025030. JSTOR 2025030.

Kohlberg, L., (1974). “Education, Moral Development and Faith”. Journal of

Moral Education, 4 (1): 5–16. October. doi:10.1080/0305724740040102. Jain, A. K. (2001). “Corruption: A Review”. Journal of Economic Survey, Vol 15,

No.1, Concordia University.

Komalasari, K., Budimansyah, D. (2008). “Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dalam Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Kompetensi Kewargane-garaan Siswa SMP”. Acta Civicus Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, Vol. 2, No. 1, Oktober 2008.

Lusiana. (1992). “Pengaruh Interaktif antara Penggunaan Strategi Penataan Isi Mata Kuliah dan Gaya Kognitif Mahasiswa terhadap Perolehan Belajar”.


(2)

Quah, Jon S. T. (2002). “Comparing Anti-Corruption Measures in Asian Countries: Lessons to be Learn”. Asian Review of Public Administration, Vol. XI, No. 2. July-Desember 2002.

Rahardjo, S. (1999). “Pendekatan dan Pengkajian Sosiologi terhadap Hukum”.

Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2, No. 1, Maret 1999, Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2-18.

Rahardjo, S. (1999). “Sosiologi Pembangunan Peradilan Bersih dan Berwibawa”.

Jurnal Ilmu Hukum, Vol 2, No. 1, November 1999, Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Surakarta. 30-49.

Schmitt, R. L., Schmitt, T. M. (1996). “Community Fear of AIDS as Enacted Emotion: A Comparative Investigation of Mead’s Concept of the Social Act”. Studies in Symbolic Interaction, XX, 91-119.

Suhartono (1991). “Agro Industri dan Petani: Multi Pajak di Voorstenlanden1850-1900”. Jurnal Prisma, 4, April, 1991, 15-26.

Supardan, D. (2009). “Anatomi Korupsi dalam Perspektif Ilmu-ilmu Sosial di Indonesia”. Journal of Historical Studies, Vol. X, No. 1, June 2009.

113-129.

Svensson, J. 2005. “Eight Question Corruption”. Journal of Economic

Perspectives. Vol 9 No. (3), 34-35.

Tella, R. D., Ades, A. (1997). “The New Economics of Corruption: Survey an some New Results”. Political Studies, XLV, 496-515.

Windradini, S. (1996). “Pengaruh Jenis dan Ukuran dalam Buku Teks terhadap Pemahaman Bahan Bacaan Siswa Kelas I, II, III, dan IV Sekolah Dasar dengan IQ Normal”. Jurnal Teknologi Pembelajaran: Teori dan

Penelitian, 4 (1), 64-71.

Wiyanarti, E. (2009). “Korupsi pada Masa VOC dalam Perspektif Sejarah Mentalitas”. Journal of Historical Studies, Vol. X, No. 1, June 2009.

Halaman 1-17.

Sumber Internet:

Ahieb, H. (2012). Perbandingan Teori Hukum Klasik dan Modern, tersedia di: http://ajhieb.blogspot.com/2012/01/perbandingan-teori-hukum-klasik-dengan.html. [5 Januari 2012].


(3)

Albantani, F. (2011). Ciri-Ciri Korupsi Sebab Dan Akibat Korupsi. Tersedia di: http://faturohmanalbantani.blogspot.com/2011/01/ciri-ciri-korupsi-sebab-dan-akibat.html. [17 Juni 2011].

Eigen, P. (1997). The Role of Civil Society. A Selected Paper of Conference on

Corruption and Integrity Improvement in Developing Countries 1997.

UNDP. New York. Tersedia di: http://magnet.undp.org/Docs/efa/ corruption.htm. [9 Agustus 2009].

Erikson, E.H. (1963). Childhood and Society. (2nd ed.). New York: Norton. Tersedia di: http://psychology.about.com/od/psychosocialtheories/a/ psychosocial_3.htmory. [19 Agustus 2009]

Habib, M. A. F. (2012). Masalah Korupsi di Indonesia, tersedia di: http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-46147-Esay-Masalah%20Korupsi% 20Di%20Indonesia.html. [20 Juli 2012].

House of Commons. (2007). Education and Skills Committee Citizenship

Education: Second Report of Session 2006–2007. London: The Stationery

Office Limited. Tersedia di: http://www.parliament.the-stationery-office.co.uk/pa/ cm200607/cmselect/cmeduski/147/147.pdf. [26 Nopember 2009].

Holil, A. (2008). Teori Vygotsky tentang Pentingnya Strategi Belajar.

http://anwarholil.blogspot.com/2008/. [16 Februari 2009].

Kusuma, W. (2008). Menciptakan Budaya Sekolah yang Tetap Eksis (Sebuah

Upaya Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan). Tersedia di: http://wijayalabs.files.wordpress.com/2008/01/artikel-pendidikan-school-culture.doc. [ 10 Oktober 2010].

Merino, V. (2001). Institutional Indicators to Strengthen Anticorruption Policy:

The Judiciary. 10th International Anticorruption Conference, Prague

Tersedia di: http://www.10iacc.org/contentns.phtml?docoment=400. [17 Juni 2011].

Pemberantasan Korupsi di Indonesia Masih Lemah. 17 November 2009,

Tersedia di: http://v1.ti.or.id/researchsurvey/93/tahun/2009/bulan/11/ tanggal/17/id/4675/. [10 Desember 2010].

Piaget, J. (1932). The Moral Judgment Of The Child. Tersedia di: http://www. archive.org/stream/moraljudgmentoft005613mbp/moraljudgmentoft00561 3mbp_djvu.txt. [12 November 2010].

Rachman, A. (2010). Bahaya Korupsi Bagi Perekonomian. Tersedia di: http:// bisnis.vivanews.com/news/read/104915/bahaya_korupsi_bagiperekonomin . [10 Oktober 2010].


(4)

Rosyid, D. (2007). Membangun Jati diri Bangsa Sebuah Tantangan Kreatif. Tersedia di http://dmrosyid.wordpress.com/2007/06/16/membangun-jati-diri-bangsa-sebuah-tantangan-kreatif/. [20 Juni 2010].

Sarwono, S. W. (2007). Mengapa Orang Korupsi? Tersedia di: www.mail-archive.com/msg00220.html. [10 Oktober 2009].

Sudrajat, A. (2008). Konsep PAKEM, Tersedia di: http//www.wordpress. com/2008/01/27). [1 Desember 2008].

Sumarno, A. (2011). Perbedaan Karakter dan Kepribadian. Tersedia di: http:// elearning.unesa.ac.id/myblog/alim-sumarno/faktor-yang-mempengaruhi-kinerja-guru-kepribadian-dan-dedikasi. [22 Februari 2012].

Suparlan. (2008). Membangun Budaya Sekolah. Tersedia di: http://suparlan. com/pages/post/membangun-budaya-sekolah238.php. [12 Januari 2010]. Syam, N. (2009). Pasca Pilpres Brantas Korupsi. Tersedia di: http://nursyam.

sunan-ampel.ac.id/?paged=148. [6 Otober 2010].

Syam, N. (2012). Pasca Pilpres Brantas Korupsi. Tersedia di: http://nursyam.sunan-ampel. ac.id/?p=526. [11 Agustus 2012].

Tanpa Pengarang (Anonim). (2009). Handbook on fighting corruption –the Centre for Democracy and Governance. Tersedia (www. anticorruption.

info/ other_defs.php). [10 Desember 2010].

Transparency International Indonesia (TII). (2007). Indeks Persepsi Korupsi

2007: Menagih Janji Presiden Untuk Kembali Memimpin Gerakan Pemberantasan Korupsi. 26 September 2007. Tersedia di: http:/v1.ti.

or.id/researchsurvey/93/tahun/2007/ bulan/09/tanggal/26/id/346. [Akses 10 Desember 2010].

Transparency International Indonesia (TII). (2008). Indeks Persepsi Korupsi

2008: Indeks Indonesia Naik Signifikan. 23 September 2008. Tersedia di:

http://v1.ti.or.id/researchsurvey/93/tahun/2008/bulan/09/tanggal/23/id/346 5. [10 Desember 2010].

Transparency International (TI) Indonesia (TII). (2009). Indek Persepsi Korupsi

2009 : Pemberantasan Korupsi di Indonesia Masih Lemah. 17 November

2009, Tersedia di: http://v1.ti.or.id/researchsurvey/93/tahun/2009/bulan/ 11/ tanggal/17/id/4675/. [10 Desember 2010].

Transparency International Indonesia (TII). (2010). Indek Persepsi Korupsi 2010:

Corruption as Usual, 26 Oktober 2010. Tersedia di: http://www. ti.or.id/index.php/publication/2010/10/26/corruption-perception-index-2010-global. [1 November 2011].


(5)

Transparency International Indonesia (TII). (2011). Corruption Perception Index

2011 Indonesia Masih Berada di Jajaran Bawah Negara-negara Terbelenggu Korupsi http://www.ti.or.id/index.php/publication/ 2011/12 /01/corruption-perception-index-2011. Akses Januari 2011.

United Nations Development Programme. (2004). Anticorruption. Tersedia di: http://www.undp.org/governance/docs/AC_PN_English.pdf. [9 Februari 2009].

Sumber Undang-Undang:

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan

Dasar dan Menengah.

Undang Undang No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sumber Makalah, dan Koran, Majalah,:

Asy’arie, M. (2003). Korupsi, Kebudayaan, dan Politik Kekuasaan. Kompas (13 November 2003).

Darma, B. (2004). Korupsi dan Budaya. Makalah disampaikan dalam Seminar

Nasional tentang Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa. yang diselenggarakan Harian Kompas Jawa Timur pada Tanggal 25/10/2004. Cates, J. S. 1988. Delay Feedback and Cognitive Task Level in Practicee

Exercises. A Paper a presented at the 1988 annual convention of the

Association for Educational Communication and Technologies, New

Orleans. L. A. , USA

Cogan, J. J. (1998). Developing The Civil Society: The Role of civic Education

(Paper). Presented in The Conference on Civic Education for Civil Society, Organizad by CICED in Collaboration with USIS. Bandung:

Hotel Papandayan, Maret 16-17, 1999.

Darmawan, C. (2009). Korupsi Pendidikan Antikorupsi. Pikiran Rakyat (9 Desember 2009).


(6)

Gurgur, T. and Shah, A., (2000). Localization and Corruption: Panacea or a Pandora's Box, Presented at the IMF Conference on Fiscal

Decentralization, Washington, DC, November 21, 2000.

Harmanto (2011). Pendidikan Kewarganegaraan untuk Politisi Sebagai Penguat Peran Partai Politik di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Seminar

Nasional dan Konggres Asosiasi PKn Se-Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 21-22 Juni 2011 di Universitas Pendidikan Indonesia.

Harmanto. (2008). Mencari Model Pendidikan Antikorupsi bagi Siswa SMP dan MTs” Makalah Disampaikan dalam Simposium Nasional Hasil Penelitian,

yang dilaksanakan di Jakarta pada Tanggal 14-17 Agustus 2008.

Hanclosky, W. V. (1986). A Comparison of Task Analysis, Advance Organizer, and Concept Elaboration Method in Teaching Concepts and Principles.

Proceedings of Selected Research Paper Presentations at the 1986 Annual Convention of the AECT.

Suwignyo, A. (2005). Pendidikan dan Pelibatan Politik. Kompas, 30/5/2005. Wagner, C. (2000). “School culture analysis”, Address presented at the annual

meeting of the Manitoba Association of Resource Teacher (MART) October 20, Winnipeg, Manitoba.