Tinea Korporis Et Kruris Luas Yang Disebabkan Oleh Trichophyton Schoenleinii
Laporan Kasus
TINEA KORPORIS ET KRURIS LUAS YANG DISEBABKAN OLEH TRICHOPHYTON SCHOENLEINII
dr. Riana Miranda Sinaga, SpKK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................................. i PENDAHULUAN ....................................................................................................................1 LAPORAN KASUS ..................................................................................................................2 DISKUSI ...................................................................................................................................3 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................8
Universitas Sumatera Utara
TINEA KORPORIS ET KRURIS LUAS YANG DISEBABKAN OLEH TRICHOPHYTON SCHOENLEINII
PENDAHULUAN
Dermatofitosis atau tinea merupakan suatu infeksi superfisial pada kulit, kuku dan rambut yang disebabkan oleh dermatofita Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton.1,2,3 Dimana penyakit ini dapat mengenai semua umur baik pria maupun wanita.1
Adapun faktor predisposisi yang mempengaruhi timbulnya penyakit adalah iklim yang panas dengan kelembaban yang tinggi, hygiene yang buruk, adanya sumber penularan di sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik, steroid dan sitostatika serta adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya.4
Penularan dermatofitosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau binatang, secara tidak langsung dapat melalui bulu binatang, pakaian atau benda-benda yang terkontaminasi, dan dapat pula terjadi karena autoinokulasi dan infeksi pada bagian tubuh lainnya.1,5
Gambaran klinis dari dermatofitosis bermacam-macam, tergantung dari spesies penyebabnya, lokasi infeksi dan status imun penderita. Dermatofitosis ini diklasifikasikan berdasarkan bagian tubuh yang terkena, antara lain adalah tinea korporis dan tinea kruris.1
Tinea korporis merupakan suatu infeksi dermatofita yang mengenai kulit glabrosa yaitu kulit di daerah badan, tungkai dan lengan.1,6Tinea korporis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum, Microsporum canis dan Trichophyton mentagrophytes. Sedangkan tinea kruris adalah infeksi dermatofita yang mengenai daerah lipat paha, genital, daerah pubis, perineum, kulit perianal dan kadang-kadang dapat meluas sampai ke gluteus dan perut bagian bawah. Penyebab terbanyak dari tinea kruris adalah Trichophyton rubrum, Epidermophyton floccosum dan Trichophyton mentagrophytes.1,2,6,7
Diagnosis banding untuk tinea korporis adalah erythema annulare centrifugum, dermatitis numularis, granuloma anulare, psoriasis, liken planus, sifilis sekunder, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea dan pitiriasis rubra pilaris. Sedangkan tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, eritrasma, kandidiasis kutis, psoriasis dan liken simpleks kronis.1,6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10% dan kultur. 1,2,6
Penatalaksanaan tinea korporis maupun tinea kruris adalah dengan menghindari faktor predisposisi sekaligus pemberian obat antijamur topikal maupun sistemik.6 Untuk obat antijamur topikal antara lain golongan imidazol seperti : mikonazol 2% dan ketokonazol 2%, golongan alilamin seperti terbinafin 1%. Pengobatan sistemik diberikan bila lesi luas dan gagal dengan pengobatan topikal. Anti jamur sistemik yang dapat diberikan adalah ketokonazol, itrakonazol, griseofulvin, flukonazol dan terbinafin6,8
Pada tulisan ini dilaporkan satu kasus tinea korporis et kruris yang disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii.
Universitas Sumatera Utara
LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 21 tahun, datang ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan dengan keluhan utama timbul bercak kehitaman yang gatal pada ketiak, perut bagian bawah sampai pubis, sela paha sampai paha bagian atas, bokong dan bercak kemerahan pada dada, payudara, punggung dan lengan atas. Hal ini telah dialami penderita sejak ± 2 tahun yang lalu. Awalnya bercak yang timbul hanya berukuran kecil di daerah kedua sela paha yang semakin lama semakin meluas sehingga hampir mengenai seluruh tubuh. Sebelumnya penderita pernah berobat ke puskesmas dan diberi obat dalam bentuk salep dan tablet, keluhan dikatakan berkurang tetapi kemudian muncul kembali dan semakin meluas. Menurut penderita, selama ini ia sering memakai pakaian dalam yang ketat yang tidak menyerap keringat serta sering saling bertukaran menggunakan handuk dengan teman-teman sekamarnya.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak hiperpigmentasi berbatas tegas dengan pinggir eritem, polisiklik, dengan permukaan lesi ditutupi skuama halus yang terdapat pada regio aksilaris dekstra et sinistra, regio hipogastrium, regio pubis, regio inguinalis dekstra et sinistra, regio glutealis dekstra et sinistra dan 1/3 bagian atas dari regio femoralis dekstra et sinistra. Sedangkan pada regio thorakalis, regio mammalis dekstra et sinistra, regio infraskapularis dekstra et sinistra dan regio brachialis dekstra et sinistra dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan pinggir yang terdiri dari papul-papul eritem yang tersusun polisiklik dan pada permukaan lesi ditutupi skuama halus.
Pada pemeriksaan KOH 10% dari kerokan kulit dijumpai adanya hifa dan spora, dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kultur jamur. Pasien didiagnosis banding dengan tinea korporis et kruris, psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik dengan diagnosis sementara tinea korporis et kruris.
Penatalaksanaan untuk pasien ini diberikan pengobatan topikal dengan ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari, sedangkan pengobatan sistemik yang diberikan ketokonazol oral 200 mg sekali sehari dan Mebhidrolin napadisilat tablet tiga kali 50 mg sehari. Pengobatan direncanakan diberikan selama ± 4 minggu. Dan pasien dianjurkan mengusahakan agar daerah lesi selalu kering dengan memakai pakaian yang menyerap keringat dan menghindari pakaian yang ketat, serta menghindari penggunaan handuk secara bersamaan dengan orang lain dan tetap menjaga kebersihan diri.
Dua minggu kemudian hasil pemeriksaan kultur jamur ditemukan Trichophyton schoenleinii, kemudian ditegakkan diagnosa kerja tinea korporis et kruris yang disebabkan Trichophyton schoenleinii.
Pada saat kontrol ulang 1 minggu kemudian tampak plak sudah mulai menipis, eritema dan skuama sudah berkurang dan keluhan gatal berkurang. Penatalaksanaan masih tetap dilanjutkan dengan pengobatan topikal dengan ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari dan pengobatan sistemik dengan ketokonazol oral 200 mg sekali sehari dan antihistamin bila perlu.
Universitas Sumatera Utara
Pada kontrol setelah 2 minggu kemudian tampak banyak perbaikan dan rasa gatal tidak ada lagi. Pengobatan dilanjutkan dengan topikal ketokonazol 2% krim yang dioleskan 2 kali sehari pada lesi yang masih tampak.
Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam.
DISKUSI
Diagnosis tinea korporis et kruris pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan KOH 10% dan pemeriksaan kultur jamur.
Dari anamnesis diketahui bahwa penderita mengeluhkan timbulnya bercak kehitaman yang gatal pada ketiak, perut bagian bawah sampai pubis, sela paha sampai paha bagian atas, bokong dan bercak kemerahan pada dada, payudara, punggung dan lengan atas, sesuai dengan kepustakaan bahwa hal ini merupakan daerah predileksi serta keluhan pada penderita tinea korporis et kruris.1,6
Pasien sering menggunakan pakaian dalam yang ketat yang tidak menyerap keringat serta sering saling bertukaran menggunakan handuk. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa kelembaban yang tinggi, hygiene yang buruk dan faktor lain merupakan faktor predisposisi infeksi dermatofita.4
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak hiperpigmentasi berbatas tegas dengan pinggir eritem, polisiklik, dengan permukaan lesi ditutupi skuama halus dan dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan pinggir yang terdiri dari papul-papul eritem yang tersusun polisiklik dan pada permukaan lesi ditutupi skuama halus. Menurut kepustakaan, umumnya lesi berupa makula atau plak eritem dan berskuama dengan bagian pinggir lesi lebih aktif dan bagian tengah lebih tenang dimana pada tepi lesi ditemukan papul-papul eritem. Pada tinea korporis yang menahun tanda-tanda aktif akan menghilang dan selanjutnya akan tampak daerah hiperpigmentasi, kelainan-kelainan ini dapat terjadi bersama tinea kruris.7 Lesi tinea kruris bisa unilateral atau bilateral, simetris atau asimetris.2 Bila kelainan menahun, maka yang tampak hanya makula hiperpigmentasi, disertai skuamasi dan likenifikasi.7
Pasien didiagnosis banding dengan tinea korporis et kruris, psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik. Dimana diagnosis banding psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik dapat disingkirkan dengan dijumpainya elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dan pemeriksaan kultur, yang tidak ditemukan pada psoriasis vulgaris maupun dermatitis seboroik.
Pada hasil pemeriksaan kultur ditemukan Trichophyton schoenleinii. Trichophyton schoenleinii adalah jamur antropofilik pada manusia. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di lokasi yang tertutup/oklusif atau daerah trauma.6 Pada agar Saboroud, Trichophyton schoenleinii menunjukkan koloni berwarna krem, kuning sampai coklat.2 Menurut kepustakaan, Trichophyton Schoenleinii biasanya menyebabkan tinea favosa.6 Tinea favosa pada kulit glabrosa berupa lesi vesikular, papular atau lesi papuloskumosa serta lesi skutula yang khas, kulit
Universitas Sumatera Utara
pada daerah yan terlibat dapat atrofi, yang tidak tampak pada tinea korporis biasa.3 Namun pada kasus ini tidak ditemukan gambaran tinea favosa.
Penatalaksanaan yang diberikan pada penderita berupa pengobatan topikal dengan ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari dan pemberian oral antijamur ketokonazol 200 mg sekali sehari serta antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Dimana pada kepustakaan dikatakan bahwa anti jamur sistemik merupakan terapi pilihan untuk lesi yang luas, kronis atau bila gagal dengan pengobatan topikal.1,2,8 Ketokonazol oral diberikan selama kurang lebih 4 minggu sedangkan pengobatan topikal antijamur digunakan selama 2-4 minggu, satu atau dua kali sehari dan dioleskan sampai 2,5 cm diluar batas lesi dan diteruskan selama 1-2 minggu setelah lesi menyembuh.2,6
Selain diberikan pengobatan, penderita juga diberikan penjelasan mengenai penyakit ini bahwa infeksi jamur ini dapat menular sehingga untuk mencegah terjadinya penularan disarankan agar penderita tidak memakai pakaian, handuk ataupun bantal bersama-sama dengan anggota keluarganya yang lain, serta dianjurkan untuk menghindari faktor-faktor predisposisi, seperti mengusahakan daerah lesi untuk selalu kering dan memakai baju yang dapat menyerap keringat. Mencegah atau menghilangkan sumber penularan merupakan hal penting untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut kepada manusia.6
Pasien datang:
Universitas Sumatera Utara
Kontrol I (1 minggu setelah pengobatan):
Universitas Sumatera Utara
Kontrol II (2 minggu setelah pengobatan) :
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Verma S, Heffernan MP.Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, Onychomycosis, Tinea nigra, Piedra.In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGrawHill Inc.,2008.p.1807-20
2. Weeks J, Moser SA, Elewski BE. Superficial cutaneous fungal infections. In: Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD, editors.Clinical Mycology.New York: Oxford University Press,2003;p.367-86
3. Cutaneous infections. Dermatophytosis and Dermatomycosis. In : Rippon JW. Medical Mycology. 3th ed. Philadelphia : WB Saunders, 1988;p.169-269
4. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia. Dalam: Budimulja U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.1-5
5. High AW, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agent. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Inc.,2008.p.2116-21
6. Goedadi M, Suwito H. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam: Budimulja U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.29-33
7. Siregar RS. Mikosis superfisialis. Dalam : Penyakit jamur kulit. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC, 2005;h.8-43
8. Kuswadji, Widaty S. Obat Antijamur. Dalam: Budimulja U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.99-107
Universitas Sumatera Utara
TINEA KORPORIS ET KRURIS LUAS YANG DISEBABKAN OLEH TRICHOPHYTON SCHOENLEINII
dr. Riana Miranda Sinaga, SpKK
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ............................................................................................................................. i PENDAHULUAN ....................................................................................................................1 LAPORAN KASUS ..................................................................................................................2 DISKUSI ...................................................................................................................................3 DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................................8
Universitas Sumatera Utara
TINEA KORPORIS ET KRURIS LUAS YANG DISEBABKAN OLEH TRICHOPHYTON SCHOENLEINII
PENDAHULUAN
Dermatofitosis atau tinea merupakan suatu infeksi superfisial pada kulit, kuku dan rambut yang disebabkan oleh dermatofita Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton.1,2,3 Dimana penyakit ini dapat mengenai semua umur baik pria maupun wanita.1
Adapun faktor predisposisi yang mempengaruhi timbulnya penyakit adalah iklim yang panas dengan kelembaban yang tinggi, hygiene yang buruk, adanya sumber penularan di sekitarnya, penggunaan obat-obatan antibiotik, steroid dan sitostatika serta adanya penyakit kronis dan penyakit sistemik lainnya.4
Penularan dermatofitosis dapat terjadi melalui kontak langsung dengan penderita atau binatang, secara tidak langsung dapat melalui bulu binatang, pakaian atau benda-benda yang terkontaminasi, dan dapat pula terjadi karena autoinokulasi dan infeksi pada bagian tubuh lainnya.1,5
Gambaran klinis dari dermatofitosis bermacam-macam, tergantung dari spesies penyebabnya, lokasi infeksi dan status imun penderita. Dermatofitosis ini diklasifikasikan berdasarkan bagian tubuh yang terkena, antara lain adalah tinea korporis dan tinea kruris.1
Tinea korporis merupakan suatu infeksi dermatofita yang mengenai kulit glabrosa yaitu kulit di daerah badan, tungkai dan lengan.1,6Tinea korporis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum, Microsporum canis dan Trichophyton mentagrophytes. Sedangkan tinea kruris adalah infeksi dermatofita yang mengenai daerah lipat paha, genital, daerah pubis, perineum, kulit perianal dan kadang-kadang dapat meluas sampai ke gluteus dan perut bagian bawah. Penyebab terbanyak dari tinea kruris adalah Trichophyton rubrum, Epidermophyton floccosum dan Trichophyton mentagrophytes.1,2,6,7
Diagnosis banding untuk tinea korporis adalah erythema annulare centrifugum, dermatitis numularis, granuloma anulare, psoriasis, liken planus, sifilis sekunder, dermatitis seboroik, pitiriasis rosea dan pitiriasis rubra pilaris. Sedangkan tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan dermatitis seboroik, eritrasma, kandidiasis kutis, psoriasis dan liken simpleks kronis.1,6
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan mikroskopik langsung dengan KOH 10% dan kultur. 1,2,6
Penatalaksanaan tinea korporis maupun tinea kruris adalah dengan menghindari faktor predisposisi sekaligus pemberian obat antijamur topikal maupun sistemik.6 Untuk obat antijamur topikal antara lain golongan imidazol seperti : mikonazol 2% dan ketokonazol 2%, golongan alilamin seperti terbinafin 1%. Pengobatan sistemik diberikan bila lesi luas dan gagal dengan pengobatan topikal. Anti jamur sistemik yang dapat diberikan adalah ketokonazol, itrakonazol, griseofulvin, flukonazol dan terbinafin6,8
Pada tulisan ini dilaporkan satu kasus tinea korporis et kruris yang disebabkan oleh Trichophyton schoenleinii.
Universitas Sumatera Utara
LAPORAN KASUS
Seorang wanita berusia 21 tahun, datang ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP H.Adam Malik Medan dengan keluhan utama timbul bercak kehitaman yang gatal pada ketiak, perut bagian bawah sampai pubis, sela paha sampai paha bagian atas, bokong dan bercak kemerahan pada dada, payudara, punggung dan lengan atas. Hal ini telah dialami penderita sejak ± 2 tahun yang lalu. Awalnya bercak yang timbul hanya berukuran kecil di daerah kedua sela paha yang semakin lama semakin meluas sehingga hampir mengenai seluruh tubuh. Sebelumnya penderita pernah berobat ke puskesmas dan diberi obat dalam bentuk salep dan tablet, keluhan dikatakan berkurang tetapi kemudian muncul kembali dan semakin meluas. Menurut penderita, selama ini ia sering memakai pakaian dalam yang ketat yang tidak menyerap keringat serta sering saling bertukaran menggunakan handuk dengan teman-teman sekamarnya.
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak hiperpigmentasi berbatas tegas dengan pinggir eritem, polisiklik, dengan permukaan lesi ditutupi skuama halus yang terdapat pada regio aksilaris dekstra et sinistra, regio hipogastrium, regio pubis, regio inguinalis dekstra et sinistra, regio glutealis dekstra et sinistra dan 1/3 bagian atas dari regio femoralis dekstra et sinistra. Sedangkan pada regio thorakalis, regio mammalis dekstra et sinistra, regio infraskapularis dekstra et sinistra dan regio brachialis dekstra et sinistra dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan pinggir yang terdiri dari papul-papul eritem yang tersusun polisiklik dan pada permukaan lesi ditutupi skuama halus.
Pada pemeriksaan KOH 10% dari kerokan kulit dijumpai adanya hifa dan spora, dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan kultur jamur. Pasien didiagnosis banding dengan tinea korporis et kruris, psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik dengan diagnosis sementara tinea korporis et kruris.
Penatalaksanaan untuk pasien ini diberikan pengobatan topikal dengan ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari, sedangkan pengobatan sistemik yang diberikan ketokonazol oral 200 mg sekali sehari dan Mebhidrolin napadisilat tablet tiga kali 50 mg sehari. Pengobatan direncanakan diberikan selama ± 4 minggu. Dan pasien dianjurkan mengusahakan agar daerah lesi selalu kering dengan memakai pakaian yang menyerap keringat dan menghindari pakaian yang ketat, serta menghindari penggunaan handuk secara bersamaan dengan orang lain dan tetap menjaga kebersihan diri.
Dua minggu kemudian hasil pemeriksaan kultur jamur ditemukan Trichophyton schoenleinii, kemudian ditegakkan diagnosa kerja tinea korporis et kruris yang disebabkan Trichophyton schoenleinii.
Pada saat kontrol ulang 1 minggu kemudian tampak plak sudah mulai menipis, eritema dan skuama sudah berkurang dan keluhan gatal berkurang. Penatalaksanaan masih tetap dilanjutkan dengan pengobatan topikal dengan ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari dan pengobatan sistemik dengan ketokonazol oral 200 mg sekali sehari dan antihistamin bila perlu.
Universitas Sumatera Utara
Pada kontrol setelah 2 minggu kemudian tampak banyak perbaikan dan rasa gatal tidak ada lagi. Pengobatan dilanjutkan dengan topikal ketokonazol 2% krim yang dioleskan 2 kali sehari pada lesi yang masih tampak.
Prognosis quo ad vitam ad bonam, quo ad functionam ad bonam, quo ad sanationam dubia ad bonam.
DISKUSI
Diagnosis tinea korporis et kruris pada penderita ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis serta pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan KOH 10% dan pemeriksaan kultur jamur.
Dari anamnesis diketahui bahwa penderita mengeluhkan timbulnya bercak kehitaman yang gatal pada ketiak, perut bagian bawah sampai pubis, sela paha sampai paha bagian atas, bokong dan bercak kemerahan pada dada, payudara, punggung dan lengan atas, sesuai dengan kepustakaan bahwa hal ini merupakan daerah predileksi serta keluhan pada penderita tinea korporis et kruris.1,6
Pasien sering menggunakan pakaian dalam yang ketat yang tidak menyerap keringat serta sering saling bertukaran menggunakan handuk. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa kelembaban yang tinggi, hygiene yang buruk dan faktor lain merupakan faktor predisposisi infeksi dermatofita.4
Pada pemeriksaan dermatologis dijumpai adanya plak hiperpigmentasi berbatas tegas dengan pinggir eritem, polisiklik, dengan permukaan lesi ditutupi skuama halus dan dijumpai plak eritem berbatas tegas dengan pinggir yang terdiri dari papul-papul eritem yang tersusun polisiklik dan pada permukaan lesi ditutupi skuama halus. Menurut kepustakaan, umumnya lesi berupa makula atau plak eritem dan berskuama dengan bagian pinggir lesi lebih aktif dan bagian tengah lebih tenang dimana pada tepi lesi ditemukan papul-papul eritem. Pada tinea korporis yang menahun tanda-tanda aktif akan menghilang dan selanjutnya akan tampak daerah hiperpigmentasi, kelainan-kelainan ini dapat terjadi bersama tinea kruris.7 Lesi tinea kruris bisa unilateral atau bilateral, simetris atau asimetris.2 Bila kelainan menahun, maka yang tampak hanya makula hiperpigmentasi, disertai skuamasi dan likenifikasi.7
Pasien didiagnosis banding dengan tinea korporis et kruris, psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik. Dimana diagnosis banding psoriasis vulgaris dan dermatitis seboroik dapat disingkirkan dengan dijumpainya elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dan pemeriksaan kultur, yang tidak ditemukan pada psoriasis vulgaris maupun dermatitis seboroik.
Pada hasil pemeriksaan kultur ditemukan Trichophyton schoenleinii. Trichophyton schoenleinii adalah jamur antropofilik pada manusia. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di lokasi yang tertutup/oklusif atau daerah trauma.6 Pada agar Saboroud, Trichophyton schoenleinii menunjukkan koloni berwarna krem, kuning sampai coklat.2 Menurut kepustakaan, Trichophyton Schoenleinii biasanya menyebabkan tinea favosa.6 Tinea favosa pada kulit glabrosa berupa lesi vesikular, papular atau lesi papuloskumosa serta lesi skutula yang khas, kulit
Universitas Sumatera Utara
pada daerah yan terlibat dapat atrofi, yang tidak tampak pada tinea korporis biasa.3 Namun pada kasus ini tidak ditemukan gambaran tinea favosa.
Penatalaksanaan yang diberikan pada penderita berupa pengobatan topikal dengan ketokonazol 2% krim yang dioleskan pada lesi 2 kali sehari dan pemberian oral antijamur ketokonazol 200 mg sekali sehari serta antihistamin untuk mengurangi rasa gatal. Dimana pada kepustakaan dikatakan bahwa anti jamur sistemik merupakan terapi pilihan untuk lesi yang luas, kronis atau bila gagal dengan pengobatan topikal.1,2,8 Ketokonazol oral diberikan selama kurang lebih 4 minggu sedangkan pengobatan topikal antijamur digunakan selama 2-4 minggu, satu atau dua kali sehari dan dioleskan sampai 2,5 cm diluar batas lesi dan diteruskan selama 1-2 minggu setelah lesi menyembuh.2,6
Selain diberikan pengobatan, penderita juga diberikan penjelasan mengenai penyakit ini bahwa infeksi jamur ini dapat menular sehingga untuk mencegah terjadinya penularan disarankan agar penderita tidak memakai pakaian, handuk ataupun bantal bersama-sama dengan anggota keluarganya yang lain, serta dianjurkan untuk menghindari faktor-faktor predisposisi, seperti mengusahakan daerah lesi untuk selalu kering dan memakai baju yang dapat menyerap keringat. Mencegah atau menghilangkan sumber penularan merupakan hal penting untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut kepada manusia.6
Pasien datang:
Universitas Sumatera Utara
Kontrol I (1 minggu setelah pengobatan):
Universitas Sumatera Utara
Kontrol II (2 minggu setelah pengobatan) :
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
1. Verma S, Heffernan MP.Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, Onychomycosis, Tinea nigra, Piedra.In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGrawHill Inc.,2008.p.1807-20
2. Weeks J, Moser SA, Elewski BE. Superficial cutaneous fungal infections. In: Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD, editors.Clinical Mycology.New York: Oxford University Press,2003;p.367-86
3. Cutaneous infections. Dermatophytosis and Dermatomycosis. In : Rippon JW. Medical Mycology. 3th ed. Philadelphia : WB Saunders, 1988;p.169-269
4. Adiguna MS. Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia. Dalam: Budimulja U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.1-5
5. High AW, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agent. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill Inc.,2008.p.2116-21
6. Goedadi M, Suwito H. Tinea Korporis dan Tinea Kruris. Dalam: Budimulja U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.29-33
7. Siregar RS. Mikosis superfisialis. Dalam : Penyakit jamur kulit. Edisi 2. Cetakan I. Jakarta : EGC, 2005;h.8-43
8. Kuswadji, Widaty S. Obat Antijamur. Dalam: Budimulja U, Kuswadi, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. editor. Dermatomikosis Superfisialis. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia; Jakarta: Penerbit FKUI,2001.h.99-107
Universitas Sumatera Utara