RESENSI BUKU FIKSI

RESENSI BUKU FIKSI
Judul
Penulis
Penerbit
Cetakan
Tebal

:
:
:
:
:

“Bertambah Bijak Setiap hari : 8 X 3 = 23!”
Budi S. Tanuwibowo
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Agustus 2009
186 Halaman

Budi Santoso Tanuwibowo lahir di Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 31 Maret. Ia
menamatkan pendidikannya sampai SMA di kota kelahirannya. Kemudian ia kuliah di

jurusan Mekanisme Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1984. Tahun
1993, Budi melanjutkan kuliahnya di program Magister Manajemen, jurusan Manajemen
Internasional di Universitas Indonesia dan lulus pada tahun 1995. Setelah semua perjalanan
pendidikannya sekarang Budi aktif berkecimpung di berbagai organisasi kemasyarakatan,
salah satunya adalah sebagai Sekretasis Jendral “Perhimpunan Indonesia – Tionghoa”
(INTI), 2006 – Sekarang.
Selain kesibukannya sebagai seorang penulis dan juga menjadi pembicara di
berbagai kesempatan, Budi juga menjadi pemimpin usaha/kelompok/konstributor di
“Ensiklopedia Nasional Indonesia” ENI, 18 Jilid.
Bertambah Bijak Setiap Hari : 8 x 3 = 23!
Buku ini adalah buku yang berisikan kisah – kisah yang menceritakan kejadian –
kejadian nyata, falsafah hidup, serta nilai – nilai luhur yang dikemas dengan bahasa yang
mudah dicerna, jadi cocok untuk berbagai usia.
Buku ini juga mengisahkan kebijaksanaan tokoh – tokoh penting konghucu yang
patut di teladani. Kata – kata bijak juga menghiasi barisan cerita atau kisah dalam buku ini,
yang dapat di jadikan motivasi diri untuk selalu berkata jujur, berbuat kebajikan, dan selalu
bijak dan adil dalam mengambil suatu keputusan entah itu kecil maupun besar.
Sebagai contoh saja di dalam buku ini terdapat judul kisah “8 x 3 = 23” menceritakan
tentang dua anak yang sedang berdebat untuk saling mempertahankan pendapatnya. Suatu
perdebatan yang aneh karena mereka hanya memperdebatkan tentang berapa hasil dari 8 x

3 yang sebenarnya, panggil saja kedua anak itu dengan panggilan Si Putih dan Si Hitam. Si
Putih adalah murid paling pandai di perguruannya sedangkat Si Hitam adalah salah satu
murid paling bodoh di perguruannya. Kedua anak itu saling mempertahankan jawabannya
masing – masing, Si Putih beranggapan bahwa 8 x 3 jawabannya adalah 24, sedangkan Si
Hitam beranggapan bahwa 8 x 3 adalah 23. Lalu mereka bertaruh kepada gurunya, jika
jawaban Si Hitam benar maka Si Putih harus dihukum dengan hukuman menjatuhkan topi
putihnya itu, sedangkan jika Si Putihlah yang benar maka Si Hitam rela untuk memotong
lehernya dengan pedang. Begitulah pertaruhan mereka akan tetapi Si Putih beranggapan
bahwa mereka tak harus bertaruh sampai seperti ini tetapi Si Hitam tetap bersikukuh untuk
tetap melanjutkan pertaruhan ini lalu mereka berdua langsung menemui sang guru untuk
mengetahui kebenaran sebenarnya.
Tak lama kemudian mereka menemui sang guru yang sedang duduk bersandar
dengan ditemani segelas teh hijau di depan teras rumah. Mereka berdua pun langsung
menanyakan kebenaran sebenarnya kepada sang guru, “Guru, berapakah hasil dari 8 x 3?”

tanya Si Hitam, guru pun menjawab “Haha tentu saja 23 nak!” Mendengar jawaban sang
guru Si Putih pun langsung kecewa dengan jawaban yang diberikan sang guru. Si Putih
beranggapan guru yang selama ini di hormatinya ternyata adalah seorang pembohong,
spontan saja Si Putih melempar topi putihnya ke lantai dan pergi meninggalkan Si Hitam dan
sang guru dengan mengomel tak jelas.

Ternyata Si Putih berencana pergi pulang ke kampung halamannya yang
dianggapnya adalah tempat terbaik. Sang guru pun tak mencegah dan hanya diam sambil
tersenyum dan memberikan satu nasihat “Jika kalanya terjadi hujan lebat di tengah jalan
janganlah berlindung di bawah pohon besar karena pohon itu akan tumbang dan
mengenaimu”. Si Putih pun hanya pergi begitu saja dengan mengomel tak jelas. Tak jauh
kemudian terjadi hujan lebat di perjalanan dan ada pohon besar, spontan saja Si Putih lari
menghindar dan berlindung di bangunan tua. Tak beberapa lama pohon itu pun tumbang
dan menimpa orang yang berteduh di bawahnya. Hati Si Putih pun teringat akan nasehat
sang guru dan kembali ke perguruan.
Ternyata sang guru sudah menanti Si Putih di depan gerbang dan berkata “Ingatlah
muridku, hidup ini penuh warna. Setiap warna mempunyai arti tersendiri. Namun, tidak
semua bisa dibaca dengan mata biasa. Harus dibaca dengan kejernihan mata hati,
kebesaran jiwa, kelapangan dada. Kalau hanya soal hitam putih, pasti semua orang bisa
membedakannya. Kalau sudah beraneka warna, sungguh sulit dan rumit untuk mengatakan
mana yang lebih indah, mana yang kurang baik. Demikian pula soal kebenaran. Dengan
mudah, jelas, ia akan mudah dibedakan dengan kejahatan. Namun, acapkali persoalannya
menjadi kabur kala kebenaran versi satu berhadapan dengan versi lainnya. Di sinilah mata
hati yang harus menentukan. Renungkanlah muridku.”
Si Putih pun merenung, belajar dan belajar. Pada akhirnya, jadilah murid terbaik dari
semua murid Sang Guru Bijak.

Itu dia salah ringkasan salah satu kisah yang di tulis di dalam buku ini, tentunya
mengandung banyak arti dan keteladanan yang patut untuk di contoh dan menjadi renungan
untuk kita semua. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berkata dalam kata pengantar.
Buku ini merupakan bahan bacaan yang menarik bagi siapa saja yang ingin memetik
hikmah dari nilai – nilai kebajikan, kearifan dan keteladanan di dalam menapaki kehidupan
ini.