ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)

(1)

(Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK) (Skripsi)

Ika Marlia Sari

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK

PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)

Oleh Ika Marlia Sari

Tindak pidana pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh anak masih sering terjadi di Negara Republik Indonesia. Anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan juga pernah terjadi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang, hal itu dapat dilihat dari Putusan Perkara Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK. Dalam kasus tersebut, terdakwa dinyatakan telah dengan sengaja melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 363 Ayat (2) KUHP dan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dijatuhi vonis oleh majelis hakim selama 3 (tiga) bulan pidana penjara. Hakim mempunyai kebebasan yang tidak boleh diintervensi, namun persoalan mengenai pidana tersebut telah tepat atau belum, sehingga telah memenuhi tujuan pemidanaan dan memenuhi rasa keadilan bagi pelaku dan masyarakat tentu saja menimbulkan gejolak di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban pidana (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK) dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK).

Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung dan Dosen bagian pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Data


(3)

sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan cara memeriksa dan mengkoreksi data, setelah data diolah yang kemudian dianalisis secara analisis kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban pidana dalam Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK) adalah terdakwa Ega Kuswaja Widodo Bin Kuswaja terbukti melanggar Pasal 363 Ayat (2) KUHP, selama proses peradilan baik dari tingkat penyidikan hingga tingkat eksekusi terhadap terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana sehingga dengan demikian sebagai pertimbangan hakim maka terdakwa dikategorikan mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya sehingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara ini berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang cukup, guna mewujudkan cita hukum maka terdakwa yang masih anak-anak harus tetap menjalani hukuman. Tujuan pemidanaan ini bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah dan agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK adalah dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana, akibat yang ditimbulkan, serta aplikasi teori-teori pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 Ayat (6) KUHAP.

Adapun saran penulis yaitu hakim dalam memberikan pertimbangan, harus lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih anak dibawah umur maka hal ini tentunya mensyaratkan mengenai bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus terhadap pelaku untuk dapat mengembangkan kontrol diri dan untuk menghindari pengaruh negatif terhadap anak yakni stigma mental dan perilaku yang tertekan dalam lingkungan penjara, selain itu perbuatan terdakwa juga tidak mengakibatkan kerugian yang begitu fatal bagi korban.


(4)

(Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)

Oleh

Ika Marlia Sari

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

1. Tim Penguji

Ketua :Eko Raharjo, S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Maroni, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Tri Andrisman, S.H., M.H.

...

2. Pj. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(6)

Ika Marlia Sari dilahirkan di Banarjoyo Kec. Batanghari Kab. Lampung Timur, pada tanggal 6 Maret 1990, yang merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Suminto dan Ibu Elvika Puspita Rini.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak Pertiwi Batanghari, Lampung Timur yang diselesaikan pada tahun 1996, Sekolah Dasar Negeri 2 Banarjoyo Kec. Batanghari, Lampung Timur yang diselesaikan pada tahun 2002, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Batanghari, Lampung Timur yang diselesaikan pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas Kartikatama Metro pada tahun 2008. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa melalui jalur PKAB akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan yakni Perhimpunan Mahasiswa Hukum Untuk Seni (persikusi) angkatan 2008. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 31 Juni sampai 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Kelurahan Buyut Utara Kec. Gunung Sugih, Lampung Tengah.


(7)

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-NYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Kedua orang tuaku tercinta, Suminto dan Elvika Puspita Rini yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Adikku Tirza Wulan Ndari yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Seseorang yang selalu ingin membahagiakanku dan menjadi pendamping hidupku

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(8)

Kunci sukses adalah kegigihan untuk memperbaiki diri, dan kesungguhan untuk mempersembahkan yang terbaik dari hidup ini.

Keberhasilan tak akan ada tanpa adanya usaha dan do a

Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat, maka tidak ada yang dapat menggantikan kerja keras;

dan keberuntungan adalah sesuatu yang terjadi ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan.


(9)

Alhamdulillahirobbil’alamien. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (STUDI PUTUSAN NOMOR: 17/PID.B.(A)/2011/PN.TK).

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Pj. Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(10)

skripsi dapat berjalan dengan baik.

4. Bapak Maroni, S.H., M.H. selaku Pembimbing kedua yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini. 5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. dan Ibu Firganefi, S.H., M.H. sebagai

Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Marindowati, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Anyk K., S.H selaku responden dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Bapak Jarno Budiyono, S.H., M.H. dan Ibu Sri Suharini, S.H., M.H. selaku responden dari Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang, Ibu A. Retnoriani, M.S.i., Psi. selaku responden dari Psikolog Universitas Muhammadiyah Lampung serta Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H., yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.


(11)

mengalir untukku, perjuangan dan pengorbanan selama ini yang tidak pernah mengenal lelah dan tanpa pamrih, guna mewujudkan cita-cita anaknya menjadi orang yang sukses.

11. Saudaraku: Tirza Wulan Ndari, beserta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan do’a yang selam ini telah diberikan.

12. Untuk seseorang yang telah sabar dan setia dalam suka maupun duka, yang selalu mendoakan, menyemangati hariku dan penuh pengertian, terimakasih banyak atas semuanya dan semoga nanti berakhir dengan indah.

13. Sahabat-sahabatku: Ansari Nurmalinda, Aziza Nurhayatun, Ika Handayani, untuk persahabatan kita selama ini baik senang maupun susah, semangat dan pengertiannya.

14. Teman-temanku: Alfini Yuandini Putri, Dwi Anindhiati Putri Purnomo, Azwir Ade Putra, Sandhi Togar Sanjaya yang telah menjadi teman terbaikku dan seluruh teman-teman Fakultas Hukum Unila Angkatan ’08 terimakasih atas kebersamaan kita selama ini dalam menjalani hari-hari dan semoga menjadi kenangan yang indah dalam hidup. Untuk Gestia Purwaning Tias yang telah menjadi teman terbaikku di kostan, mbak Sukatini, Mbak Fita Erpina, Kiki, Nely, Eva, Ezha, Tria, Leona, Endah, Dita, Novi, Tiut, Nana dan seluruh anak kostan Asrama Wisma Idola dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.


(12)

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 14 Februari 2012 Penulis


(13)

ABSTRAK

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP

MOTTO

PERSEMBAHAN SANWACANA

DAFTAR ISI Halaman

I. PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 11

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 12

E. Sistematika Penulisan ... 20

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA...23

A. Pengertian Anak serta Hak dan Kewajiban Anak ... 23


(14)

E. Teori tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana.. ... 40

DAFTAR PUSTAKA III.METODE PENELITAN...47

A. Pendekatan Masalah... 47

B. Sumber dan Jenis Data ... 48

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 50

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 51

E. Analisis Data ... 52

DAFTAR PUSTAKA IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...54

A. Karakteristik Responden ... 54

B. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan Ditinjau dari Aspek Pertanggungjawaban Pidana (Studi Perkara Nomor 17 / Pid.B.(A) /2011/ PN.TK)... 56

C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Perkara Anak yang Melakukan Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)... 76

DAFTAR PUSTAKA V. PENUTUP...91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 92 LAMPIRAN


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai bagian dari generasi muda, anak merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa sekaligus modal sumberdaya manusia bagi pembangunan nasional. Disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga Negaranya, termasuk perlindungan terhadap anak yang merupakan hak asasi manusia. Arti dari anak dalam Penjelasan atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan, bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak pidana dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, social dan berakhlak mulia. Upaya perlindugan dan kesejahteraan anak perlu dilakukan dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta perlakuan


(16)

tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkannya, diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Berbagai Undang-Undang hanya mengatur hal-hal tertentu mengenai anak secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek yang berkaitan dengan perlindungan anak.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi, perlindungan dari kekerasan dan diskriminas serta hak sipil dan kebebasan.

Usaha perlindungan terhadap anak baik sebagai pelaku maupun korban kejahatan telah cukup lama dibahas baik di Indonesia maupun di dunia internasional. Sejak tahun lima puluhan perhatian ke arah terwujudnya peradilan anak telah timbul dimana-mana. Perhatian mengenai masalah perlindungan anak ini tidak akan pernah berhenti, karena disamping merupakan masalah universal juga karena dunia ini akan selalu diisi oleh anak. Sepanjang dunia tidak sepi dari anak-anak, selama itu pula masalah anak akan selalu dibicarakan. Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1958. bertolak dari itu, kemudian pada tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The Rights of The Child/Deklarasi Hak-hak anak (www.hukumonline.com, akses 20 September 2011, 13:20).


(17)

Ketentuan dalam Pasal 16 Ayat (1) Konvensi Hak Anak menjelaskan bahwa tidak ada seorangpun anak akan dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya pada Ayat (2) menjelaskan bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan atau serangan semacam itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan pribadi, keluarga, rumah dan surat menyurat serta dari fitnah. Di Indonesia secara sosiologis perhatian terhadap anak-anak telah mulai ada sejak adanya berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma Permadi Siwi yang pada akhirnya telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang secara khusus mengatur tentang hak-hak anak.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah mencantumkan hak anak, tetapi dalam pelaksanaannya, kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu Undang-Undang mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaannya.

Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa perlindungan anak


(18)

merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggungjawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban yang dibebankan oleh hukum. Negara dan pemerintah bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, nasionalisme, berakhlak mulia, serta berkemauan keras menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara.

Perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif, Undang-Undang ini meletakkan kewajiban perlindungan kepada anak beradasarkan asas-asas sebagai berikut:

1. Nondiskriminasi

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak


(19)

4. Pengharagaan terhadap pendapat anak

(www.hukumonline.com, akses 20 Oktoberr 2011, 13:20 WIB).

Pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak memerlukan peran serta masyarakat, baik lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan. Apabila anak melakukan kesalahan dan tindak pidana, maka anak sudah sepatutnya mendapatkan perlindungan dan perlakuan khusus dalam hal proses peradilannya sebagaimana yang diatur oleh Undang-Uundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Persoalan hukum tidak hanya menimpa orang-orang dewasa. Anak-anak juga seringkali terbentur dengan persoalan hukum. seperti halnya orang dewasa, anak-anak juga berhak mendapat perlindungan secara hukum. Perlindungan hukum ini tidak hanya diberikan kepada anak yang menjadi korban dalam suatu masalah hukum, tapi juga kepada anak-anak yang menjadi pelakunya.

Peradilan anak bertujuan memberikan yang paling baik bagi anak, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya suatu keadilan. Tujuan Peradilan Anak tidak berbeda dengan peradilan lainnya, yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak. Dalam hal ini, pelaksanaan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih baik dan mewadahi (http://sismanto.multiply.com, akses 28 Agustus 2011, 20:03 WIB).


(20)

Pencurian yang dilakukan oleh anak adalah suatu bentuk kenakalan remaja. Seorang anak belum dapat mempertanggungjawabkan semua kesalahannya karena lingkungan sekitarnya juga memberi peluang untuk melakukan pelanggaran hukum. Sehingga proses peradilannya pun mempunyai perbedaan dengan peradilan pada umumnya. dikarenakan demi menghindari tekanan psikologis terhadap anak yang telah melanggar norma atau pun hukum yang berlaku. Sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 363 Ayat (1) dan (2) tentang pencurian dengan pemberatan atau kualifikasi (gequalificeerde diefstal).

Tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur masih sering terjadi di Negara Republik Indonesia. Kasus-kasus yang terjadi demikian perlu mendapat perhatian dari pemerintah lebih khususnya Komisi Perlindungan Anak yang memiliki peran penting dalam menanggapi berbagai kasus yang terjadi.

Dasar yuridis yang mengatur tentang tindak pidana pencurian adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang secara terperinci memaparkan tindak pidana pencurian tersebut pada Bab XXII tentang Pencurian. Ketentuan dalam Pasal 362 KUHP menjelaskan bahwa barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.


(21)

Ketentuan dalam Pasal 363 KUHP menjelaskan bahwa: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

a) pencurian ternak;

b) pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara pemberontakan atau bahaya perang;

c) pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

d) pencurianyang dilakukan oleh dua oftrng atau lebih;

e) pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Sehubungan dengan hal itu, berdasarkan data dari Pra research (para penelitian) di Pengadilan Negeri Tanjung Karang diperoleh data bahwa pencurian yang dilakukan oleh anak juga terjadi di Provinsi Lampung, hal itu dapat dilihat dari Putusan Perkara Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK tentang kasus pencurian dengan pemberatan yang dilakukan oleh anak. Dalam kasus tersebut, terdakwa dinyatakan telah dengan sengaja melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan.

Adapun kronologis singkat dalam perkara tersebut yaitu berawal pada hari sabtu tanggal 4 desember 2010 sekitar pukul 05.00 WIB, bertempat di KP. Rawa Laut RT 13 LK 1 kelurahan Panjang Selatan kecamatan Panjang Bandar Lampung. Bermula saat terdakwa bertemu dengan saksi Nanda, Angga, Erik dan Yudi.


(22)

Kemudian dari pertemuan tersebut terdakwa Ega bersama teman-temannya merencanakan untuk mengambil barang-barang tanpa izin dari pemilik barang disebuah rumah didepan tempat terdakwa Ega dan teman-temannya berkumpul yaitu rumah saksi korban Surmawati Binti H.Timbul Tholib (alm). Mereka masuk dengan cara lewat pintu samping rumah yang hanya dikunci dengan grendel dan gembok kecil lalu didobrak oleh saksi Nanda dan Erik. Setelah pintu terbuka lantas Nanda bersama terdakwa Ega, Angga, Erik dan yudi masuk kerumah dan mengambil barang-barang (barang bukti) berupa alat-alat elektronik seperti DVD, TV, mixer, ampli player, mesin werles mic, dan mic. Dan akibat pencurian tersebut saksi korban mengalami kerugian sebesar Rp. 7.000.000. Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 363 Ayat (2) KUHP tentang pencurian dengan pemberatan (Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK).

Penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan apakah dapat dimintai pertanggungjawabannya, sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana, yaitu sehat jiwanya, mengetahui bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum serta mampu mengetahui kehendak sesuai kesadarannya, sehingga ia dapat dipidana oleh Hakim. Tujuan pemidanaan ini bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah dan agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Penjatuhan pidana terhadap pelaku pencurian dengan pemberatan tersebut memang sudah memenuhi ketentuan Pasal 363 Ayat (2) KUHP tentang pencurian dengan pemberatan. Jika Hakim menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan pidana penjara terhadap pelaku, boleh ia lakukan karena hakim mempunyai kebebasan yang tidak boleh


(23)

diintervensi, namun apakah pidana tersebut telah tepat, sehingga telah memenuhi tujuan pemidanaan dan memenuhi rasa keadilan bagi pelaku dan masyarakat. Apakah putusan tersebut telah mempertimbangkan hal-hal yang mesti diperhatikan oleh hakim, seperti dakwaan jaksa, hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa, latar belakang pelaku, faktor korban dan keyakinan hakim sendiri. Terkadang putusan hakim tidak pernah mencapai pidana yang maksimum seperti yang diancamkan dalam undang-undang. Hal ini tentu saja menimbulkan gejolak di masyarakat yang menginginkan pelaku tindak pidana diberikan vonis seberat-beratnya. Di sinilah peranan hakim sebagai penengah di antara keduanya.

Berdasarkan kasus yang terjadi di atas, menggambarkan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak sudah seperti tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. Anak tersebut sudah profesional dalam melakukan tindak kejahatan dan tidak sepatutnya dilakukan oleh anak, dalam kasus ini majelis hakim menjatuhkan putusan pidana penjara kepada anak tersebut namun penjatuhan vonis tersebut apakah sudah sesuai dengan tujuan keadilan hukum baik terhadap korban maupun pelakunya.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan penelitian yang hasilnya akan dijadikan skripsi dengan judul “Analisis Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan (Studi Putusan Nomor: 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)”.


(24)

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban pidana (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana anak di Indonesia khususnya hanya terbatas pada masalah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK). Sedangkan ruang lingkup tempat penelitian hanya dibatasi pada Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang.


(25)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban pidana (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK).

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK).

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana khususnya hukum pidana anak di Indonesia, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK).


(26)

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat dan bagi aparatur penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka pembaharuan hukum pidana anak di Indonesia.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti (Soerjono Soekanto,1986: 125).

Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengkibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab. Tujuan dipidananya seorang terdakwa bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah dan agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu


(27)

menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak (Roeslan Saleh, 1999: 84).

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normative mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut.

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Roeslan Saleh, 1999: 87)

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut:

a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan. b. Hubungan bathin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan

dengan perbuatannya, berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

c. Tidak ada alasan yang menghapus pertanggungjawaban pidana atau kesalahan bagi pembuat.

(Sudarto, 1997: 91)

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya tiga unsur pokok, yaitu:

1). Unsur perbuatan

Unsur pertama adalah perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana (Sudarto, 1997: 64).


(28)

2). Unsur orang atau pelaku

Orang atau pelaku adalah subjek tindak pidana atau seorang manusia. Maka hubungan ini mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Hanya sengan hubungan batin ini, perbuatan yang dilarang dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku dan baru akan tercapai apabila ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman.

3). Unsur pidana, melihat dari pelaku

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu itu (Sudarto, 1997: 9).

Tujuan pemidanaan menurut Sudarto adalah:

a. Mempengaruhi peri kelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi yang biasanya disebut prevensi sosial.

b. Mempengaruhi peri kelakuan anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum.

c. Mendatangkan suasana damai atau penyelesaian konflik.

d. Pembalasan atau pengimbalan dan pembinaan dari kesalahan si pembuat.

(Sudarto, 1997: 196).

Sehubungan dengan hal di atas, dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hukum pidana hanya dapat dijatuhkan bila perbuatan tersebut telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan. Walaupun pengakuan terhadap hukum yang hidup sudah lama ada dalam peraturan perundang-undangan tetapi kenyataannya aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) enggan memproses seseorang yang menurut hukum patut dipidana. Aparat penegak hukum hanya berpegang pada peraturan perundang-undangan positif saja.


(29)

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim wajib memutuskan tiap-tiap perkara, menafsirkan atau menjelaskan Undang-undang jika tidak jelas dan melengkapinya jika tidak lengkap. Tetapi penfsiran hakim mengenai undang-undang dan ketentuan yang dibuatnya itu, tidak mempunyai kekuatan mengikat umum, tapi hanya berlaku dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Karena itu secara prinsip, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka Hakim bebas bertindak untuk menjatuhkan sanksi pidana yang tepat terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan menurut kebenaran dan keyakinannya. Dalam usaha mewujudkan hukum pidana yang berkeadilan di Indonesia maka hakim juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim. Sehingga aplikasi teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan dengan pelaksanaan proses peradilan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan antara lain:

a. Teori kepastian hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.


(30)

b. Teori kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi atau pun tidak dijatuhi sanksi maksimum kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya sehingga masih dapat memperbaiki diri.

c. Teori keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

Pidana pada hakikatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka konsep pertama-tama merumuskan tentang tujuan pemidanaan. Dalam mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, konsep bertolak dari keseimbangan 2


(31)

sasaran pokok, yaitu perlindungan masyarakat dan perlindungan/pembinaan individu pelaku tindak pidana (Barda Nawawi Arief, 2002: 88).

Hakim apabila dalam menjatuhkan pidana terhadap anak yang melakukan tindak pidana, maka hakim harus dapat menyelami sifat dan kejiwaan dari anak tersebut. Disisi lain sebelum memutuskan suatu perkara maka sebaiknya hakim menggunakan beberapa teori kebijakan dan pertimbangan hakim antara lain:

1. Teori keseimbangan adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi adalah dalam penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instinkatau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan, titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.

4. Teori pendekatan pengalaman, pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari karena dengan pengalaman yang dimilikinya seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana.

5. Teori Ratio decidendi, teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan dan perundang-undangan yang relevan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berrperkara.

6. Teori kebijaksanaan, teori ini berkenaan dengan keputusan hakim dalam perkara di pengadilan anak dan aspeknya menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggungjawab dalam membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.


(32)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang mengambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin tahu akan diteliti (Soerjono Soekanto,1986 : 132).

Adapun Konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Analisis

Menurut penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 32).

b. Pertimbangan Hakim

Pertimbangan Hakim adalah Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan menurut Rusli Muhamad dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu: pertimbangan yang bersifat yuridis yakni pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusandan pertimbangan yang bersifat non yuridis yakni hakim dalam menjatuhkan putusannya lebih melihat kepada latar belakang terdakwa, akibat


(33)

perbuatan terdakwa, kondisi diri terdakwa, dan agama terdakwa (Roeslan Saleh, 1999: 89).

c. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 Butir 11 KUHAP).

d. Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

e. Tindak Pidana/Perbuatan Pidana

Menurut Moeljatno (Tolib Setiady, 2010: 9) menerangkan bahwa strafbaar feit(perbuatan pidana) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

f. Pencurian dengan Pemberatan

Pencurian dengan pemberatan atau kualifikasi adalah suatu pencurian dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu sehingga bersifat lebih berat dan maka dari itu diancam dengan hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih dari hukuman penjara lima tahun dari Pasal 362 KUHP (Wirjono Prodjodikoro, 2008 : 19).


(34)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan tentang latar belakang tindak pidana pencurian dengan pemberatan oleh anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar dalam bab ini adalah menjelaskan tentang tinjauan mengenai pengertian anak serta hak dan kewajiban anak, pengertian pertanggungjawaban pidana dan pelaku tindak pidana, tugas, dan wewenang hakim, teori tentang dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhi pidana, tindak pidana pencurian dengan pemberatan.


(35)

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban pidana (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK), dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK).

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah dibahas.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono. 2008. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Refika Aditama. Bandung.

Rifai, Ahmad. 2011.Penemuan Hukum oleh Hakim. Sinar grafika. Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1999. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta.

Setiady, Tolib. 2010. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Anak Indonesia. Alfabeta. Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

________________ 1995. Kejahatan dan Penegakan Hukum. Rineka Cipta. Jakarta.

Soesilo, R. 1999. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap dengan Pasal Demi Pasal. Politeia. Bogor.

Sudarto. 1997. Hukum Pidana. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum UNDIP. Semarang.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor: 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak Serta Hak dan Kewajiban Anak

Anak dalam pengertian yang umum tidak saja mendapat perhatian dalam bidang ilmu pengetahuan, tetapi dapat juga ditelaah dari sisi pandang sentralis kehidupan. Seperti agama, hukum dan sosiologisnya yang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Dalam masyarakat, kedudukan anak memiliki makna dari subsistem hukum yang ada dalam lingkungan perundang-undangan dan subsistem sosial kemasyarakatan yang universal.

Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum sebagai subjek hukum. Kedudukan anak dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pengertian anak menurut hukum perdata

Pengelompokan anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah :

a. Status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum b. Hak-hak anak dalam hukum perdata


(38)

Ketentuan dalam Pasal 330 Ayat (1) KUHPdt mendudukan status anak sebagai berikut:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21

tahun dan tidak kawin sebelumnya Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara seperti yang diatur dalam Bagian 3, 4, 5 dan 6 dalam Bab ini”.

2. Pengertian anak menurut hukum pidana

Pengertian kedudukan anak dalam hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif. Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pengertian anak adalah :

1. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.

2. Anak negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.

3. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 Tahun.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengklarifikasikan pengertian anak nakal adalah orang yang dalam perkara telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah:


(39)

1. Anak yang yang melakukan tindak pidana

2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dimasyarakat.

3. Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

4. Hak dan Kewajiban Anak

Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, hak-hak anak adalah sebagai berikut :

a) Setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

b) Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

c) Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua(Pasal 6).

d) Setiap anak berhak untuk mengetahuui orang tuanya, dibesarkan dan di asuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak atau anak. Dalam keadaan terlantar maka tersebut berhak di asuh atau diangkat sebagai anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 7 ayat (1) dan (2).


(40)

e) Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial (Pasal 8).

f) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan ingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya. Khusus bagi anak penyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus (Pasal 9 Ayat (1) dan (2).

g) Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan ( Pasal 10).

h) Setiap anak berhak untuk instirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya sosial (Pasal 11).

i) Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial ( Pasal 12).

j) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertangung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dan perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan itu dikenakan pemberatan hukuman (Pasal 13 Ayat (1) dan (2).

k) Setiap anak berhak untuk diasuh orang tuanya sendiri kecuali ada alasan demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir (Pasal 14).

l) Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam rangka bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan yang mengandug unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan (Pasal 15).

m) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (Pasal 16 Ayat (1), (2), dam (3).

n) Setiap anak yang di rampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatanya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bentuan lainya secara efektif dalam setiap tahapam upaya hukum yang berlaku, dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 Ayat (1) dan (2).

o) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainya ( Pasal 18).


(41)

p) Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali dan guru mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman, mencintai tanah air, bangsa, dan Negara menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia (Pasal 19).

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana dan Pelaku Tindak Pidana 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan. Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanya terdakwa, maka terdakwa haruslah:

a.Melawan perbuatan pidana b.Mampu bertaggung jawab

c.Dengan sengaja atau kealpaan, dan d.Tidak ada alasan pemaaf

(Roeslan Saleh, 1999: 79)

Secara teoritis menurut Roeslan Saleh, (1999: 80) menjelaskan mengenai definisi pertanggungjawaban sebagai berikut:

“Pertanggungjawaban adalah suatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan. Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana”.

Berkaitan dengan teori di atas menurut E.Y Kanter dan S.R. Sianturi (1999: 246) menyatakan bahwa:

“…pertanggungjawaban itu diminta atau tidak, adalah persoalan kedua, tergantung kebijakan pihak yang berkepentingan untuk memutuskan


(42)

apakah dirasa perlu atau tidak untuk menuntut pertanggungjawabaan tersebut. Masalah ini menyangkut subjek tindak pidana yang umumnya telah dirumuskan oleh pembuat undang-undang. Kenyataannya memastikan siapakah yang bersalah sesuai dengan proses sistem perradilan pidana”.

Perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan hukuman. Harus ada pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pembuat harus ada unsur kesalahan dan bersalah itu adalah pertanggungjawaban yang harus memenuhi unsur :

a. Perbuatana yang melawan hukum.

b. Pembuat atau pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya (unsur kesalahan).

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan pertanggungjawaban menurut hukum pidana. Setiap orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya, hanya kelakuannya yang menyebabkan hakim menjatuhkan hukuman yang dipertanggungjawabkan pada pelakunya. Pertanggungjawaban ini adalah pertanggungjawaban pidana. Menurut E.Y Kanter dan S.R. Sianturi (1999: 250) menjelaskan bahwa:

“Pertanggungjawaban pidana adalah seseorang itu dapat dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjawabakan perbuatannya. Dalam bahasa asing dikenal dengan Toerekeningsvatbaarheid dan terdakwa akan dibebaskan dari tanggung jawab jika itu tidak melanggar hukum”.

Sehubungan dengan hal di atas, menurut Sudarto (1997: 91) menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas mempunyai tiga bidang, yaitu :


(43)

1. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan

2. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya:

a. Perbuatan yang ada kesengajaan, atau

b. Perbuatan yang ada alpa, lalai, kurang hati-hati

3. Tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana bagi pembuat.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban tersebut, Sudarto (1997: 98) menambahkan bahwa terdapat tiga doktrin pertanggungjawaban, yaitu:

1. Pertanggungjawaban Identifikasi, doktrin ini dipakai di Negara Anglo Saxon dan sering disebut pertanggungjawaban pidana langsung.

2. Pertanggungjawaban Vicarious Liability, yaitu seseorang bertanggung jawab atas perbuatan orang lain atau disebut pertanggungjawaban pengganti atau pertanggungjawaban tidak langsung.

3. Pertanggungjawaban Strict Lialibility, yaitu pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-undang yang ditekankan pada kesalahan, pertanggungjawaban ini sering disebut pertanggungjawaban mutlak.

Pengertian perbuatan tindak pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melakukan kesalahan, maka ia akan dipidana. Berarti orang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan pidana atas perbuatannya. Seseorang harus bertanggung jawab terrhadap sesuatu yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain, karena kesengajaan atau kelalaian


(44)

secara aktif atau pasif, dilakukan dalam wujud perbuatan melawan hukum, baik dalam tahap pelaksanaan maupun tahap percobaan (Roeslan Saleh,1999: 82).

Asas legalitas menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Meskipun demikian, orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi pidana, karrena masih harus dibuktikan kesalahannya, apakah dapat dipertanggungjawabakan pertanggungjawaban tersebut. Agar seseorang dapat dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) yang mempunyai hubungan erat. Tanggung jawab itu selalu ada, meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan yang diinginkan. Demikian pula dengan masalah terjadinya perbuatan pidana dengan segala faktor-faktor yang menjadi pertimbangan melakukan pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Atas faktor-faktor itulah tanggung jawab dapat lahir dalam hukum pidana.

Tanggung jawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus ditanggung oleh orang yang telah bersikap tindak, baik bersikap tindak yang


(45)

selaras dengan hukum maupun yang bertentangan dengan hukum. Tanggung jawab pidana adalah akibat lebih lanjut yang hatus diterima/dibayar/ditanggung oleh seseorang yang melakukan tindak pidana secara langsung atau tidak langsung. Untuk dapat dipidana, maka perbuatannya harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Apabila perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka kepada yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara yuridis.

2. Pengertian Pelaku Tindak Pidana

Berdasarkan ketentuan Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa :

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

Ke-1. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;

Ke-2. Mereka yang dengan memberi atau menjajikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, seengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Ketentuan Pasal 55 KUHP di atas mengkategorikan pelaku sebagai orang yang melakukan sendiri suatu tindak pidana dan orang yang turut serta atau bersama-bersama untuk melakukan tindak pidana.


(46)

Ketentuan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa :

“ Dipidana sebagai pembantu kejahatan:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; 2. Mereka yang seengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan”.

Ketentuan dalam Pasal 56 KUHP menjelaskan pelaku juga merupakan pembantu yang melakukan suatu kejahatan, yang terdiri dari :

1. Pembantu saat kejahatan

2. Pembantu sebelum kejahatan dilakukan

Pelaku juga dapat dilihat dari rumusan delik yang dilakukan, yaitu:

1. Delik formil, pelaku adalah barang siapa yang memenuhi perumusan delik, yakni dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang.

2. Delikmateriil, pelaku adalah siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang 3. Delik aduan yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari

pihak yang terkena. Delik aduan dibedakan menjadi:

a. Delik aduanabsolut, yaitu hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan b. Delik aduan relatif, yaitu delik yang ada hubungan istimewa anatara si

pembuat dan orang yang terkena.

C. Tugas dan Wewenang Hakim

Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan


(47)

dijelaskan oleh KUHAP bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim, untuk menerima, memeriksa, memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (Pasal 1 butir 9 KUHAP).

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman juga memberikan pengertian tentang hakim itu sendiri. dimana dalam Pasal 19 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Sehubungan dengan hal itu, dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, seorang hakim harus memahami ruang lingkup tugas dan kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan. Setelah memahami tugas dan kewajibannya, selanjutnya hakim harus berupaya secara profesional dalam menjalankan dan menyelesaikan pekerjaannya.

Beberapa tugas hakim dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 antara lain: Tugas Pokok dalam bidang peradilan, diantaranya adalah:

1. Menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

2. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 4 ayat 1).

3. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2).

4. Dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 ayat 1).


(48)

5. Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan diatur dalam undang-undang (Pasal 22 ayat 2).

6. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1).

Hakim ketua dalam memeriksa perkara disidang harus menggunakan bahasa indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP), Didalam suatu persidangan adakalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jikalau yang bersangkutan kurang jelas atau kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan si hakim.

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Adapun yang dimaksud mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (Pasal 1 butir 9 KUHAP). Dengan demikian jelas bahwa wewenang hakim yang pertama adalah mengadili yang meliputi kegiatan-kegiatan menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana. Dalam hal ini, pedoman pokoknya adalah KUHAP yang dilandasi asas kebebasan, kejujuran dan tidak memihak.

Jika ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa kewenangan hakim yang diatur dalam KUHAP diantaranya adalah:

a. Melakukan penahanan

Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dan penetapannya berwenang melakukan pengadilan (Pasal 20 ayat 3 jo. Pasal 26)


(49)

b. Memberikan ijin penggeledahan rumah kepada penyidik (Pasal 33 ayat 1). c. Memberikan ijin penyitaan rumah (Pasal 38 ayat 1)

d. Kewenangan-kewenangan lain yang berhubungan dengan kelancaran dan tertib persidangan, misalnya berhubungan dengan terdakwa, saksi, barang bukti, penuntut umum, dan penasihat hukum.

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat yang lain, harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Menurut sistem yang dianut di indonesia seperti telah dikemukakan di muka, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak terdakwa yang diwakili oleh penasihat hukumnya untuk bertanya kepada saksi-saksi, begitu pula kepada penuntut umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materiil. Hakimlah yang bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya (Andi Hamzah, 2008:102).

D. Tindak Pidana Pencurian dengan Pemberatan 1. Pengertian Tindak Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menjelaskan pengertian tindak pidana. Pengertian tindak pidana akan diambil dari pakar ilmu hukum pidana. Moeljatno dan Roeslan Saleh memakai istilah perbuatan pidana atau tindak pidana, meskipun bukan untuk menterjemahkan istilah Strabaar feit itu. Utrecht menterjemahkan Strafbaar Feit secara harfiah menjadi peristiwa pidana. Tetapi Moeljatno menolak peristiwa pidana, ada pengertian yang hanya menunjukkan kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya matinya seseorang.


(50)

Hukum pidana tidak melarang adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang lain. Sekarang, semua Undang-undang telah memakai istilah tindak pidana (Andi Hamzah, 1999: 86).

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum dan diancam dengan hukuman berdasarkan ketentuan dalam KUHP dan ketentuan undang-undang lainnya. Sedangkan tindak pidana menurut Simons adalah kelakuan atau suatu perbuatan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Andi Hamzah, 1999: 88).

Rumusan pidana yang lengkap mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).

b. Diancam dengan pidana (Strafbaar gesteld). c. Melawan hukum (Onrechtmatig)

d. Dilakukan dengan kesalahan (Met schuld in verband staand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Toerekeningsvatbaar persoon)

(Sudarto, 1997: 41)

Suatu perbuatan tidak dapat dikenakan hukuman tanpa ada alasan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat diketahui menurut pendapat Moeljatno bahwa seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana, tetapi meskipun melakukan perbuatan tindak pidana, tidak sealalu dapat dipidana (Bambang Pornomo, 1996: 135).

Tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam dengan barang siapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana harus berunsurkan:


(51)

a. Perbuatan (manusia)

b. Memenuhi rumusan undang-undang (syaratformil) c. Bersifat melawan hukum (syaratmateriil)

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, yang disebut,dengan delik, menurut wujud dan sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat pelaksanaan tata cara dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat pula dikatakan bahwa perbuatan pidana ini adalah perbuatan yang anti sosial (Roeslan Saleh, 1996: 16).

Seseorang yang telah melakukan tindak pidana tetapi tidak dapat dipidana, maka hal ini berkaitan dengan teori hukum pidana. Alasan yang menghapuskan pidana adalah:

a. Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

b. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa tetapi melawan hukum, artinya tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi terdakwa tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.

c. Alasan penghapus penuntutan. Di sini bukan alasan pembenar atau alasan pemaaf, artinya tidak ada pikiran mengenai sifat perbuatan maupun sifat orang yang melakukan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatanya kepada masyarakat, sebaiknya tidak dipidana penuntutan.


(52)

Pertimbangan di sini adalah kepentingan umum. Jika perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dipidana.

2. Pencurian dengan Pemberatan

Bentuk kejahatan harta benda yang paling sering terjadi dalam masyarakat adalah tindak pidana pencurian. Dan diatur dalam Pasal 362 KUHP yaitu Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Delik pencurian pada Pasal 362 KUHP ini unsurnya sama dengan yang dimaksud dalam Pasal 363 KUHP, hanya bedanya bahwa pencurian yang dimaksud dalam Pasal 363 ini ditambah dengan ditentukan bentuk dan cara melakukan perbuatan, waktu serta jenis barang yang dicuri sehingga dinilai memberatkan kualitas pencurian, maka perlu diancam pidana lebih berat atau hukuman yang maksimumnya lebih tinggi, yaitu lebih hukuman penjara lima tahun dari Pasal 362 KUHP (Suharto, 1996 : 73).

Istilah pencurian dengan pemberatan biasanya secara doctrinal disebut sebagai pencurian yang dikualifikasikan. Pencurian yang dikualifikasikan ini menunjuk pada suatu pencurian yang dilakukan dengan cara-cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga bersifat lebih berat dan karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat pula dari pencurian biasa.

Unsur-unsur tindak pidana pencurian dengan pemberatan dapat dilihat dalam pasal di bwah ini :


(53)

Sebagaimana yang tercantum pada Pasal 363 KUHP:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun: ke-1. Pencurian ternak;

ke-2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunun meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru hara, pemberontakan atau bahaya perang;

ke-3. Pencurian diwaktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang adanya di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

ke-4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; ke-5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau

untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam ke-3 disertai dengan salah satu tersebut ke-4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Hal ini menunjukkan pada dua orang atau lebih yang bekerjasama dalam melakukan tindak pidana pencurian, seperti misalnya mereka mengambil barang-barang secara bersama.

Ketentuan dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4, bahwa pasal tersebut keadaan yang memberatkan pidana. Karena pencurian dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu. Dalam persekutuan di mana pencurian dilakukan beberapa orang dan tiap-tiap pelaku dalam peraturannya mempunyai kedudukan yang berbeda-beda tetapi yang penting jumlah orang pada saat dilakukan pencurian itu, namum demikian ancaman pidananya tetap sama (Suharto, 1996 : 73).


(54)

E. Teori tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhi Pidana

Berkaitan dengan hal tersebut, selain mencakup teori tujuan pemidanaan dan teori pedoman pemidanaan, dalam usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga mengedepankan aspek-aspek sosial kemanusiaan dan hak asasi manusia dengan menerapkan beberapa teori-teori dasar pertimbangan hakim. Adapun teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.


(55)

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.

Pertimbangan hakim dalam bentuk penegakan hukum pidana mencakup tiga tahap, yaitu:

a. Tahap Formulasi, yaitu penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk perundang-undangan untuk mencapai perundang-undangan yang paling baik, yaitu memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini juga disebut tahap kebijakan legislatif.

b. Tahap aplikasi, yaitu tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum pidana) oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan didaya guna. Tahap ini disebut sebagai tahap kebijakan yudikatif.


(56)

c. Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakam peraturan perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan, dalam melaksanakan pidana dalam menjalankan tugasnya harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan pidana yang dibuat oleh pembuat undang-undang dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.

Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan jalinan mata rantai aktifitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada nilai-nilai pidana dan pemidanaan.

Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa penegakan hukum pidana yang rasional sebagai pengejawantahana pertimbangan hukum pidana, melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait, yaitu penegak hukum perundang-undangan. Pasal 1 Ayat (1) KUHP menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya. Jelas bahwa dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang, maka hukum pidana hanya dijatuhkan bila perbuatan tersebut telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang pokok kekuasaan kehakiman, menyebutkan:


(57)

Ketentuan Pasal 4 menjelaskan bahwa:

1. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak mebeda-bedakan orang 2. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dari rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Ketentuan Pasal 6 menjelaskan bahwa:

1. Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, pembuktian yang sah menurut undang seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawabatas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Ketentuan Pasal 7 menjelaskan bahwa :

“Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.

Ketetuan Pasal 8 menjelaskan bahwa :

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah

memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Sehubungan dengan hal tersebut, walaupun pengakuan terhadap hukum yang hidup sudah lama ada dalam peraturan perundang-undangan, tetapi kenyataannya


(58)

aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) enggan memproses seseorang yang menurut hukum patut dipidana. Dengan kata lain, aparat penegak hukum hanya berpegang kepada peraturan perundang-undangan positif saja.

Keputusan hakim sebagai dasar hukum umum pelaksanaan eksekusi dapat dikategorikan sebagai dasar hukum kebijakan pidana. Untuk menelaah keputusan hakim lebih banyak berpangkal pada nilai-nilai serta norma-norma hukum yang mendasari pendirian dan pengetahuan dalam menetapkan keputusannya. Keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan telah dilaksanakan, dijadikan sebagai dokumen yang dinamakan yurisprudensi. Dokumen ini banyak mengadung nilai-nilai hukum yang telah diperlukan dan ternyata kebenarannya. Bahkan tidak sedikit yang berlandaskan pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan, agama, adat dan filsafat hukum.

Persoalannya sekarang, apakah putusan-putusan hakim itu merupakan sumber hukum dalam arti formal. Menurut pendapat L.J Van Apeldoorn (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 11) dalam bukunya “Philosophy of Law” menjelaskan bahwa:

“...yurisprudensi tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena keputusan hakim yang diikuti terus-menerus oleh hakim lainnya mengenai suatu perkara yang sama tidak dapat menjadi sumber hukum formal. Putusan itu hanya berfungsi membantu terbentuknya hukum material”.

Berkaitan dengan hal itu, menurut Bellefroid (Muladi dan Barda Nawawi, 1998: 14) dalam bukunya “Philosophy of Law”menjelaskan bahwa:


(1)

Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 5 (lima) orang, yaitu:

1. Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Bandar Lampung = 1 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang = 2 orang 3. Dosen Psikologi Universitas Muhamadiyah Lampung = 1 orang 4. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang +

Jumlah = 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penulisan skipsi ini, dilakukan dengan menggunakan dua cara sebagai berikut, yaitu:

a. Studi Kepustakaan (Library Research)

Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, per-undang-undangan, buku-buku, media massa dan bahas tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.


(2)

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kelengkapan, kejelasan, dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data yaitu mengklasifikasi/mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data. c. Sistematisasi data, yaitu malakukan penyusunan dan penempatan data

pada setiap pokok secara sistematis sehingga mempermudah interpretasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Setelah mengolahan data selesai maka dilakukan analisis data. Data yang diperoleh secara analisis kualitatif yang artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan mengenai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK), sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Citra Aditya. Bandung.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989.Metode Penelitian Survey. Jakarta Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,

Ghalia Indonesia. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar penelitian Hukum. UI Press. Jakarta.

Tim Penyusun Kamus. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai pustaka. Jakarta.

Universitas Lampung. 2009. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung Press. Bandar Lampung.


(4)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan ditinjau dari aspek pertanggungjawaban pidana dalam Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK) adalah terdakwa Ega Kuswaja Widodo Bin Kuswaja terbukti melanggar Pasal 363 Ayat (2) KUHP, selama proses peradilan baik dari tingkat penyidikan hingga tingkat eksekusi terhadap terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani (tidak termasuk kualifikasi Pasal 44 KUHP) serta tidak ditemukan alasan penghapus pidana dalam hal ini baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf sehingga dengan demikian sebagai pertimbangan hakim maka terdakwa dikategorikan mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukannya. Adapun tujuan pemidanaan ini bukanlah suatu pembalasan melainkan pembinaan bagi terdakwa yang telah berbuat salah dan agar dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadili perkara ini berdasarkan keyakinan dengan alat bukti yang cukup, guna mewujudkan cita


(5)

hukum yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum maka terdakwa Ega Kuswaja Widodo Bin Kuswaja yang masih anak-anak harus tetap menjalani hukuman sebagaimana telah diputuskan oleh Majelis Hakim.

2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara anak yang melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan dalam Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK adalah dakwaan jaksa, tujuan pemidanaan, hal-hal yang meringankan dan memberatkan, majelis hakim cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum, harapan pelaku tidak mengulangi perbuatannya, motif tindak pidana, sikap pelaku setelah melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan, akibat yang ditimbulkan, serta aplikasi teori-teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan yakni kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan hukum. Hakim juga sepenuhnya memperhatikan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 182 Ayat (6) KUHAP.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana pencurian dengan pemberatan (Studi Putusan Nomor: 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK) sebagai berikut:

1. Hakim dalam memberikan pertimbangan, harus lebih mempertimbangkan keadaan pelaku yang masih anak dibawah umur maka hal ini tentunya mensyaratkan mengenai bentuk rehabilitasi dan pembinaan khusus terhadap


(6)

2. Hakim harus lebih bijak dan adil dalam memberikan vonis terhadap pelaku dengan alasan bahwa hasil pemeriksaan disidang pengadilan menyatakan bahwa terdakwa belum sempat menikmati hasil perbuatannya dengan kata lain bahwa barang-barang milik korban tidak mengalami kerusakan dan masih seutuhnya dikembalikan kepada korban setelah proses persidangan. Berarti perbuatan terdakwa tidak mengakibatkan kerugian yang begitu fatal bagi korban.


Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Putusan Nomor : 112/Pid.B/Sus /2011/PN.Mkd)

0 4 15

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Putusan Nomor : 557/PID.B/A/2011/PN.Pms)

0 5 17

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Perkara Nomor 17/Pid.B.(A)/2011/PN.TK)

0 20 70

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI SECARA BERSAMASAMA (Studi Kasus No. 862/PID/B2010/PNTK)

0 4 51

ANALISIS PUTUSAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN PIDANA TERHADAP ANAK PELAKU PEMBUNUHAN DIIKUTI PENCURIAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA (Studi Kasus Nomor : 1003/PID.A/2010/PN.TK)

0 14 62

DISPARITAS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN PEMBERATAN (Studi Pada Pengadilan Negeri Liwa)

3 20 96

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA DI BAWAH PIDANA MINIMAL KHUSUS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KESUSILAAN TERHADAP ANAK (Studi Perkara Nomor: 168/Pid.B/2013/PN.TK)

0 7 78

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT (STUDI KASUS PUTUSAN NO.30/PID/2013/PT.TK)

0 2 11

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERUSAKAN (Studi Perkara Nomor: 892/Pid.B/2014/PN.Tjk.)

0 1 15

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PROYEK PELEBARAN JALAN (Studi Perkara Nomor 15Pid.Sus.TPK2015PN.Tjk.) (Jurnal Skripsi)

0 2 14