Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera

24

Artikel
Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera
Jufrida
Balai Arkeologi Medan
Banyak penipuan yang terjadi untuk menarik simpati para buruh agar mau dibawa ke
Sumatera. Banyak dari para buruh yang merupakan pelarian dari Penang maupun
Singapura yang ingin bekerja di perkebunan di Sumatera Timur, karena dijanjikan dengan
upah dan masa depan yang jauh lebih baik.

I. Pendahuluan
Masuknya pengaruh dari luar bisa
hanya berupa masuknya suatu gagasan. Hal
ini dapat terjadi karena disebabkan oleh
suatu dorongan kebutuhan, baik untuk
kebutuhan pribadi maupun untuk kepentingan
masyarakat. Kebutuhan untuk kepentingan
pribadi dapat digambarkan dalam kegiatan
belajar maupun mengajar, mengajar pada
suatu bidang, seperti agama, bahasa, dan

lain-lain. Sedangkan untuk kepentingan
masyarakat luas dapat digambarkan dalam
kegiatan berdagang ataupun bekerja.
Faktor yang melandasi terjadinya
hubungan saling membutuhkan di antara
masyarakat, untuk selanjutnya melakukan
aktivitas keluar, antara lain; faktor perbedaan
lingkungan, penyediaaan bahan baku, tingkat
teknologi, dan mata pencaharian. Faktor ini
juga yang mengakibatkan terjadinya bentuk
hubungan dagang, baik yang dilakukan
secara eksternal maupun perdagangan
internal (Hastiti, 1988: 2).
Berdagang atau bekerja adalah
salah satu penyebab munculnya kegiatan
lalu lalang orang-orang dari suatu daerah ke
daerah lain. Orang-orang dari daerah lain
inilah yang kemudian disebut oleh masyarakat
setempat sebagai “orang asing”. Kehadiran
orang asing dalam suatu masyarakat, tentu

akan memberi pengaruh pada masyarakat
yang bersangkutan. Oleh karena itu
pengamatan atas kehadiran orang asing
pada masyarakat masa lalu menjadi suatu
hal yang tidak kalah pentingnya selain
pengamatan atas masyarakat masa lalu itu
sendiri.
Begitu juga masuknya bangsa Cina
ke Pesisir Pantai Timur Sumatera yang
pada umumnya melakukan kegiatan
berdagang ataupun bekerja. Masuknya

HISTORISME

bangsa Cina ini memberikan peranan
penting kepada berbagai pihak yang saling
membutuhkan, baik bagi pihak pendatang
maupun dari pihak
yang dikunjungi.
Kondisi seperti inilah yang terjadi di era

pembukaan perkebunan tembakau deli di
sekitar timur Sumatera. Bangsa Cina
merupakan solusi terbaik untuk dijadikan
seorang pekerja, karena pekerja Cina
dikenal sangat ulet dan pekerja keras.

II. Bukti Masuknya Bangsa Cina
ke Indonesia
Masuknya bangsa Cina ke Indonesia
sudah dilakukan sejak lama dengan berbagai
macam tujuan, di antaranya berlayar,
berdagang maupun melakukan kegiatan
belajar. Hal ini dapat dibuktikan dari
beberapa catatan, tulisan maupun prasasti,
antara lain:
1. Prasasti Gandasuli II atau Pukawang
Glis (827 M). Yang menyebutkan
seorang dang puhawang (bisa diartikan
seorang nakhoda).
2. Prasasti Kamalagyan (821 M). Di sana

menyebutkan “...prupuhawang prabanyaga
sangkaring dwipantara...”, artinya kira-kira
“…Kapten kapal dan pedagang dari pulaupulau lain…”).
3. Catatan perjalanan I-Tsing tahun 671 M.
I-Tsing adalah seorang pendeta Budha
bangsa Cina melakukan perjalanan ke
India dari Kanton dan singgah di Shihli-fo-shih (Sriwijaya) selama 6 bulan
untuk
mempelajari
tata
bahasa
Sanskerta (Ayatrohaedi, 1979: 86).
4. Catatan Perjalanan I-Tsing tahun 664
M. I-Tsing menyatakan bahwa tahun
664 M telah datang seorang pendeta
bernama Hwi-ning ke Holing, dan
tinggal di sana selama 3 tahun. Beliau

JUFRIDA
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007

Universitas Sumatera Utara

25

Artikel
menterjemahkan berbagai kitab suci
agama Budha dengan bantuan pendeta
Holing (Soekmono, 1973: 37)
5. Kubilai Khan telah mengirim utusannya
ke Singasari 1280 untuk meminta
pengakuan tunduk terhadap raja namun
Kertanegara menolak dan melukai Meng
Chi sebagai utusan (Hadimulyono, 1982: 7)
6. Prasasti Taji (901 M). Prasasti ini
menyebutkan bahwa orang asing (Cina)/
(warga Kilalan) bekerja sebagai saudagar
atau jurangan. Hal ini menunjukkan
bahwa selain bekerja pada pemerintahan
(raja), ada juga orang asing yang
berkerja sebagai pedagang suatu jenis

barang dan bahkan menjadi saudagar.
Sejarah Cina menyebutkan bahwa
orang Cina sudah merantau ke Indonesia
sejak masa akhir pemerintahan Dinasti
Tang. Daerah yang pertama kali didatangi
ialah Palembang, yang pada saat itu
merupakan pusat perdagangan dari kerajaan
Sriwijaya. Selanjutnya mereka merantau ke
Pulau Jawa yang dikenal sebagai pusat
komoditi rempah-rempah. Kebanyakan dari
mereka menetap di daerah sekitar pelabuhan
pantai utara Pulau Jawa, dan selanjutnya
meneruskan kegiatan perdagangannya ke
Pantai Timur Sumatera.
Menurut Atmodjo migrasinya
bangsa Cina ke wilayah Indonesia dapat
terbagi dalam 3 tahap.
Tahap Pertama
Masyarakat
Indonesia

masih
diperintah oleh kerajaan setempat. Migrasi
bangsa Cina semata-mata didorong oleh
hubungan perdagangan sehingga jumlah
mereka cenderung sedikit dan belum
membentuk satuan komunitas. Mereka datang
dan pergi sesuai dengan jadwal musim
angin/cuaca. Hal ini berlangsung lambat dan
memakan waktu berabad-abad. Tahap ini
disebut dengan Chinese Follow the trade atau
kedatangan bangsa Cina untuk berdagang.
Tahap Kedua
Pada tahap ini bangsa Cina hampir
bersamaan datangnya dengan kedatangan
bangsa Eropa ke wilayah Asia Tenggara di
abad ke-16. Walaupun masih didorong oleh

HISTORISME

keinginan untuk berdagang namun jumlah

mereka semakin meningkat, sesuai dengan
meningkatnya
aktivitas
perdagangan.
Sedangkan kehadiran bangsa-bangsa Eropa
seperti: Portugis, Spanyol, Inggris, dan
Belanda membuat wilayah Asia khususnya
Indonesia semakin ramai. Bangsa Eropa
membuka
pelabuhan-pelabuhan
baru
sebagai pusat kegiatan perekonomian yang
membuka peluang besar bagi bangsa Cina.
Tahap Ketiga
Pada
tahap
ketiga
ini,
menunjukkan bahwa Indonesia di bawah
kekuasaan pemerintahan Kolonial Belanda.

Pada saat itu pemukiman Cina sudah banyak
ditemukan di beberapa daerah seperti
Kalimantan Barat, sepanjang pesisir utara
Pulau Jawa dan Pantai Timur Sumatera.
Pada tahap ketiga ini juga
menunjukkan bahwa bangsa Cina sudah
bermukim dan bertempat tinggal di
wilayah-wilayah Indonesia, khususnya, dan
Sumatera. Namun bangsa Cina yang pada saat
itu berada di sekitar pesisir pantai (pelabuhan)
hanya melakukan kegiatan perdagangan secara
barteran dengan masyarakat setempat maupun
dengan pedagang luar lainnya. Saling
membutuhkan itulah yang mendominasi
keberhasilan perdagangan mereka. Komoditi
yang dibawa oleh pedagang setempat seperti
beras, gula, tebu, emas, rempah-rempah, dan
lain-lain, selanjutnya ditukarkan dengan
keramik, sutra, besi, perak, minyak wangi,
maupun candu yang berasal dari pedagang

asing (Cina, India, Tibet, dll.). Hal ini juga
membuktikan bahwa di Pesisir Pantai Timur
Sumatera pernah menjadi tempat berkumpulnya
para pedagang dari berbagai daerah dan negara.
Di tempat tersebut diprediksikan pernah menjadi
sarana perniagaan dan pelabuhan kuno, yaitu
ditemukannya beberapa fragmen keramik,
mata uang, fragmen gelas, alat-alat
pertukangan logam. Bukti arkeologi lain
yang sangat menarik ialah ditemukannya
gundukan batu bata yang diperkirakan
merupakan sisa bangunan keagamaan.
Selain daripada itu ditemukan juga arca
Budhis-Hindu. Dari bukti arkeologis yang
ditemukan tersebut tak heran lagi jika
masyarakat menyebutkan daerah Paya Pasir
dengan sebutan Kota Cina.

JUFRIDA
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007

Universitas Sumatera Utara

26

Artikel
III. Masuknya Bangsa Cina ke
Pantai Timur Sumatera
Masuknya bangsa Cina di daerah
ini tidak terlepas dari peranan para
pengusaha-pengusaha bangsa Eropa yang
ingin membuka perkebunan baru di
Sumatera. Karena kerugian yang dialami
para pengusaha kolonial di tanah Jawa secara
terus-menerus membuat para pengusaha
tersebut mencari solusi lain untuk
mengembangkan kembali perdagangan mereka
yang semakin hari semakin mengkhawatirkan.
Pembukaan perkebunan tembakau di daerah
Deli merupakan ide yang dikemukan oleh
Said Abdullah ketika menemani J.
Nienhuys dan J. F. Van Leeuwen Co
melakukan perjalanan ke tanah Deli.
Melakukan perjalanan ke daerah
Labuhan Deli untuk pertama kalinya
membuat Nienhuys sangat terkesan. Di saat
itu beliau memperkirakan penduduk kampung
berjumlah lebih kurang 1000 jiwa, 20 orang
Cina, 100 orang India, dan selebihnya
penduduk setempat (Pelzer, 1985: 51). Untuk
menyambut kedatangan Nienhuys dan Said
Abdullah, Sultan Deli memberikan rumah
beratap rumbia dari orang Melayu untuk
disewakan, yang terletak tidak jauh dari istana
Kesultanan Deli.
Untuk tahap pertama, perkebunan
dibuka dengan masa kontrak 20 tahun.
Masalah buruh kemudian muncul ketika
pelabuhan yang sangat luas itu mulai
dikerjakan. Untuk menarik para buruh dari
Pulau Jawa sangatlah tidak efesien, melihat
jarak tempuh yang sangat jauh. Untuk
mengatasi itu T. J. Cremer yang pada saat itu
menjabat sebagai Manajer Maskapai Deli
(1871-1873) memprakarsai pengimporan
buruh dari Penang. Para buruh yang berasal
dari Penang merupakan orang-orang Cina
yang sudah lama menetap dan tinggal di
sana yang disebut “Laukeh”. Untuk tahap
pertama pemasukan buruh Cina sebanyak
88 orang, selanjutnya 200 orang dan kian
bertambah seterusnya. Ide Cremer yang
sangat cemerlang menyebabkan mudahnya
para buruh dari Penang ke perkebunan di
timur Sumatera Timur.
Dalam mengusahakan tenaga kerja
menggunakan jasa perantara (brole,
makelar, werek), werven (Bhs. Belanda).
HISTORISME

Banyak penipuan yang terjadi untuk
menarik simpati para buruh agar mau
dibawa ke Sumatera. Banyak dari para
buruh yang merupakan pelarian dari Penang
maupun Singapura yang ingin bekerja di
perkebunan di Sumatera Timur, karena
dijanjikan dengan upah dan masa depan
yang jauh lebih baik. Pemasukan tenaga
buruh dari negeri seberang yang tidak
terkontrol mengakibatkan kualitas para
buruh tersebut tidak diperhatikan, sehingga
kualitas para buruh yang masuk semakin
memburuk. Dengan kualitas kerja yang
kurang baik ini membuat pihak perkebunan
merasa kurang puas hasil kinerja mereka.
Tekanan, kekerasan, pemukulan hingga
hukuman cambuk, bukan suatu hal yang
aneh bagi para buruh perkebunan jika
tindakan maupun hasil kerja mereka tidak
sesuai dengan ketentuan, sehingga kekerasan
dan kekejaman terus berlangsung. Dalam
birokrasi perkebunan seorang residen tidak
berarti apa-apa bagi buruh dibandingkan
dengan seorang tuan kebun yang sangat
berwibawa dan ditakuti. Dalam kondisi
seperti ini tak heran para tuan kebun lebih
sering menghukum sendiri kuli yang
melanggar aturan dengan sewenangwenang. (Jan Bremen, 1997: 35). Kondisi
seperti ini membuat sebagian buruh juga
sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan,
sehingga terkadang mereka terpaksa
melakukan suatu tindakan kriminal.
Di pihak lain
Inggris di
Semenanjung Malaya semakin kekurangan
buruh yang handal. Inggris melakukan
kemudian suatu tindakan revolusioner
terhadap pemerintahan kolonial, agar
membuat UU untuk perlindungan orangorang Cina yang bekerja di Singapura dan
Penang dipegang oleh seorang yang diberi
pangkat “Protectors of Chinese”. Di Sumatera
“Protectors of Chinese” diserahkan kepada
orang Cina yang berada di Labuhan Deli
sebagai pelabuhan tempat masuknya para
buruh. Kepada mereka diberi wewenang
untuk menyeleksi para buruh yang pantas
untuk bekerja di perkebunan. Ide Cremer
memang sangat cemerlang dan membuahkan
hasil. Agar tidak terjadi lagi sesuatu yang
sangat menjelekkan nama kolonial di mata
pengusaha asing, terutama Inggris yang di

JUFRIDA
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

27

Artikel
saat itu masih di Semenanjung Malaya,
maka pada tahun 1880 dibuat aturan bagi
buruh yang dikenal dengan “Peonale
Sanctie” dan “Koelie Ordonantie”.
Masalah pengusaha perkebunan
kolonial
semakin
hari
semakin
mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh
kerugian akibat merosotnya produktivitas
perkebunan tembakau dan pemberontakan
buruh yang terjadi di sana-sini. Solusi
terbaik pengusaha perkebunan ialah
mengalihkan pengusahaan perkebunan
kolonial kepada pengusaha swasta. Para
buruh yang sudah lama menetap dan
bekerja di perkebunan, justru lebih memilih
bekerja pada pihak perkebunan swasta
daripada harus dipulangkan ke negaranya.
Di antara mereka bahkan membawa serta
keluarganya untuk menetap di Sumatera
dengan mengusahakan aktivitas lain.
Sehingga pada tahun 1930 para buruh yang
sudah masuk ke Sumatera dan mengusahakan
mencapai 192.822 jiwa, hampir 35% dari
penduduk lainnya (Judistira, 1988: 28).
III.1 Bangsa Cina dengan Perjuangannya
Pada akhir abad ke-20 dengan
bantuan kolonial dengan kaum pengusaha,
orang Cina memonopoli seluruh sektor
pengangkutan. Para pengusaha perkebunan
juga memberi kesempatan pada orang Cina
sebagai penyalur bahan makanan dan
menjadi
kontraktor
di
perkebunan.
Pekerjaan yang banyak mereka geluti ialah
sebagai kuli atau buruh bangunan. Hanya
sebagian kecil dari mereka menjadi
pedagang sayuran, yang populer dengan
sebutan “Cina Pedagang Sayur” untuk
menunjukkan betapa kecil dan tidak
kuatnya modal mereka bila berhadapan
dengan pedagang pribumi lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya,
terjadi perubahan politik di Indonesia.
Peristiwa yang silih berganti di Indonesia
mempengaruhi masyarakat Cina sehingga
banyak di antara mereka berpaling dari
agama leluhurnya, terutama pada masa
pendudukan Jepang (1942-1945). Namun
orang-orang
Cina
justru
mendapat
perlindungan dari pihak Belanda.

HISTORISME

Pada tahun 1965 situasi semakin
tidak menentu setelah pemerintah Indonesia
mengeluarkan kebijakan guna memutuskan
pertalian masyarakat Cina dengan tanah
leluhur mereka. Sekolah-sekolah Cina
ditutup, penerbitan bahasa Cina dan
pemakaian aksara Cina di tempat umum
dilarang serta semua nama yang berbau
Cina harus diganti dengan nama yang
berbau Indonesia. Selain daripada itu status
agama juga harus disesuaikan dengan
agama yang ada di Indonesia. Sehingga
banyak orang-orang Cina pindah ke agama
Kristen, namun banyak pula yang tetap
setia kepada agama tradisionalnya. Situasi
ini juga berdampak pula pada perubahan
kelenteng yang beraksara Cina dengan
sebutan “vihara”. Dari itu kebanyakan
kelenteng-kelenteng pada saat itu lebih
menampilkan aspek Budhistis dengan altar
Budha di letakkan paling depan.
III.2 Etnis Cina yang Berada di
Sumatera Timur
Ternyata tidak semua orang-orang
Cina itu dilahirkan dengan kepandaian dan
ahli dalam berdagang. Banyak di antara
mereka justru mempunyai keahlian di
bidang lain. Etnis atau garis keturunan
sangat mempengaruhi keahlian mereka
dalam mempertahankan kehidupannya. Ada
3 wilayah besar seperti di Propinsi Fukian,
Kwangtung, dan Kwangsi yang masyarakatnya
senang merantau dengan mengandalkan
keahliannya masing-masing. Adapun etnis
Cina yang menetap di pantai Timur
Sumatera di antaranya:
1. Kelompok Pantis atau Kanton
Berasal dari Propinsi Kwantung yang
sebagian besar mereka ahli sebagai
tukang besi, perabot, tukang jahit/tekstil,
pelacur dan sedikit buruh di perkebunan.
2. Kelompok Hakka dan Kheks
Mereka dikenal sebagai masyarakat yang
memiliki kebudayaan mengecilkan kaki
dengan cara mengikat (membungkus)
sebagai lambang status yang tidak
dimiliki Cina lainnya. Sebagian besar
mereka berprofesi sebagai pedagang
rotan, tukang kaleng, pengusaha toko.

JUFRIDA
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara

28

Artikel
3.
4.

5.

6.

Kelompok Hoekloes
Sebagian besar mereka ini bekerja
sebagai buruh perkebunan.
Kelompok Hailans
Mereka merupakan penduduk asli
pulau Hainan, sebagian besar mereka
berprofesi sebagai pembantu rumah
tangga, tukang masak, dan kerani hotel.
Kelompok Amoy atau Hokkian
Kelompok ini berasal dari Propinsi
Shiang Shou Fu. Mereka dikenal
dengan di Pulau Jawa maupun di
Sumatera sebagai kaum pedagang.
Kelompok Luchius dan Caochaw, Hock
Mereka berasal dari Propinsi Luitsiu
dan Koatsiu (Semenanjung) sebagian
besar dari mereka hidup miskin dan
banyak menetap di Belawan dan Bagan
Siapi-api.

IV. Penutup
Daerah Sumatera Timur yang
sekarang menjadi salah satu kota terbesar di
Indonesia yang dikenal dengan sebutan
“Medan” sebagai ibukota Propinsi Sumatera
Utara. Medan yang dijuluki sebagai kota
kondusif, memiliki beraneka suku bangsa dan
budaya yang majemuk. Perbedaan suku,
agama, maupun budaya bukanlah suatu
halangan dalam meningkatkan pembangunan
Kota Medan dan sekitarnya. Hal tersebut
justru menjadikan Medan dan sekitarnya
menjadi suatu kota yang mampu memadukan
berbagai suku bangsa sebagai sarana untuk
kemajuan pembangunan Medan selanjutnya.
Dengan keahlian yang beragam yang dimiliki
tiap suku bangsa menambah kuatnya
persatuan dan kesatuan masyarakat di Kota
Medan.
Bagi etnis Cina khususnya, tidak
perlu ada lagi pemikiran bahwa mereka
merupakan keturunan dari buruh-buruh
kontrak yang dipekerjakan pada perkebunan
di masa lalu. Mereka sudah merasakan dan
menjadi bagian dari masyarakat setempat
dengan kehidupan yang nyaman, aman, dan
tenang serta berada pada lingkungan

HISTORISME

masyarakat yang dapat menerima mereka
dari dulu hingga sekarang. Khususnya bagi
masyarakat Melayu, sebagai tuan rumah di
negeri Deli di masa lalu, selalu membuka
pintu yang lebar bagi para pendatang.
Ternyata keanekaragaman suku bangsa di
Medan membuat kota ini semakin makmur.
Tindakan anarkis yang sering diterima para
pendatang ke daerah lain tidak pernah
dirasakan mereka. Semoga Medan tetap
menjadi kota yang kondusif dengan
keberagaman etnis dan suku bangsa.

Kepustakaan
Amelia, “Sriwijaya sebagai Pelabuhanantara Sekitar Abad 7-13 M” dalam
Pertemuan Ilmiah Arkeologi V,
jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi
Nasional, 1989.
Atmodjo, Junus Satrio , Kelenteng Kuna di
DKI Jakarta dan Jawa Tengah.
Jakarta: Dep. Pendidikan Nasional,
2000.
Bremen, Jan., Menjinakkan Sang Kuli
Politik Kolonial pada Awal Abad ke
-20. Jakarta: Grafiti, 1997.
Judistira K. Gama, Cina Perantauan.
Bandung: Univ. Padjajaran, 1988.
Lubis, M. Rajab, Pribumi di Mata Orang Cina.
Medan, PT Pustaka Widyasarana: 1995
Mubyarto, Tanah dan Tenaga Kerja
Perkebunan Kajian Sosial ekonomi.
Yogjakarta, Adtya Media: 1992.
Pelly, Usman, Sejarah Sosial Daerah
Sumatera Utara Kotamadya Medan.
Jakarta, Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan: 1984.
Said, Muhammad, Suatu Zaman Gelap di
Deli “Koeli Kontrak Tempo Doeloe”
dengan Derita dan Kemarahannya.
Medan, PT Prakarsa Abadi Press:
1990.
Sinar, T. Lukman, Sumatera Utara di
Bawah Kekuasaan Hindia Belanda
Sampai Abad ke XX. Medan: tanpa
tahun dan penerbit.

JUFRIDA
Edisi No. 23/Tahun XI/Januari 2007
Universitas Sumatera Utara