Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera

Artikel HISTORISME JUFRIDA Edisi No. 23Tahun XIJanuari 2007 26

III. Masuknya Bangsa Cina ke Pantai Timur Sumatera

Masuknya bangsa Cina di daerah ini tidak terlepas dari peranan para pengusaha-pengusaha bangsa Eropa yang ingin membuka perkebunan baru di Sumatera. Karena kerugian yang dialami para pengusaha kolonial di tanah Jawa secara terus-menerus membuat para pengusaha tersebut mencari solusi lain untuk mengembangkan kembali perdagangan mereka yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Pembukaan perkebunan tembakau di daerah Deli merupakan ide yang dikemukan oleh Said Abdullah ketika menemani J. Nienhuys dan J. F. Van Leeuwen Co melakukan perjalanan ke tanah Deli. Melakukan perjalanan ke daerah Labuhan Deli untuk pertama kalinya membuat Nienhuys sangat terkesan. Di saat itu beliau memperkirakan penduduk kampung berjumlah lebih kurang 1000 jiwa, 20 orang Cina, 100 orang India, dan selebihnya penduduk setempat Pelzer, 1985: 51. Untuk menyambut kedatangan Nienhuys dan Said Abdullah, Sultan Deli memberikan rumah beratap rumbia dari orang Melayu untuk disewakan, yang terletak tidak jauh dari istana Kesultanan Deli. Untuk tahap pertama, perkebunan dibuka dengan masa kontrak 20 tahun. Masalah buruh kemudian muncul ketika pelabuhan yang sangat luas itu mulai dikerjakan. Untuk menarik para buruh dari Pulau Jawa sangatlah tidak efesien, melihat jarak tempuh yang sangat jauh. Untuk mengatasi itu T. J. Cremer yang pada saat itu menjabat sebagai Manajer Maskapai Deli 1871-1873 memprakarsai pengimporan buruh dari Penang. Para buruh yang berasal dari Penang merupakan orang-orang Cina yang sudah lama menetap dan tinggal di sana yang disebut “Laukeh”. Untuk tahap pertama pemasukan buruh Cina sebanyak 88 orang, selanjutnya 200 orang dan kian bertambah seterusnya. Ide Cremer yang sangat cemerlang menyebabkan mudahnya para buruh dari Penang ke perkebunan di timur Sumatera Timur. Dalam mengusahakan tenaga kerja menggunakan jasa perantara brole, makelar, werek, werven Bhs. Belanda. Banyak penipuan yang terjadi untuk menarik simpati para buruh agar mau dibawa ke Sumatera. Banyak dari para buruh yang merupakan pelarian dari Penang maupun Singapura yang ingin bekerja di perkebunan di Sumatera Timur, karena dijanjikan dengan upah dan masa depan yang jauh lebih baik. Pemasukan tenaga buruh dari negeri seberang yang tidak terkontrol mengakibatkan kualitas para buruh tersebut tidak diperhatikan, sehingga kualitas para buruh yang masuk semakin memburuk. Dengan kualitas kerja yang kurang baik ini membuat pihak perkebunan merasa kurang puas hasil kinerja mereka. Tekanan, kekerasan, pemukulan hingga hukuman cambuk, bukan suatu hal yang aneh bagi para buruh perkebunan jika tindakan maupun hasil kerja mereka tidak sesuai dengan ketentuan, sehingga kekerasan dan kekejaman terus berlangsung. Dalam birokrasi perkebunan seorang residen tidak berarti apa-apa bagi buruh dibandingkan dengan seorang tuan kebun yang sangat berwibawa dan ditakuti. Dalam kondisi seperti ini tak heran para tuan kebun lebih sering menghukum sendiri kuli yang melanggar aturan dengan sewenang- wenang. Jan Bremen, 1997: 35. Kondisi seperti ini membuat sebagian buruh juga sudah tidak sanggup lagi untuk bertahan, sehingga terkadang mereka terpaksa melakukan suatu tindakan kriminal. Di pihak lain Inggris di Semenanjung Malaya semakin kekurangan buruh yang handal. Inggris melakukan kemudian suatu tindakan revolusioner terhadap pemerintahan kolonial, agar membuat UU untuk perlindungan orang- orang Cina yang bekerja di Singapura dan Penang dipegang oleh seorang yang diberi pangkat “Protectors of Chinese”. Di Sumatera “Protectors of Chinese” diserahkan kepada orang Cina yang berada di Labuhan Deli sebagai pelabuhan tempat masuknya para buruh. Kepada mereka diberi wewenang untuk menyeleksi para buruh yang pantas untuk bekerja di perkebunan. Ide Cremer memang sangat cemerlang dan membuahkan hasil. Agar tidak terjadi lagi sesuatu yang sangat menjelekkan nama kolonial di mata pengusaha asing, terutama Inggris yang di Universitas Sumatera Utara Artikel HISTORISME JUFRIDA Edisi No. 23Tahun XIJanuari 2007 27 saat itu masih di Semenanjung Malaya, maka pada tahun 1880 dibuat aturan bagi buruh yang dikenal dengan “Peonale Sanctie” dan “Koelie Ordonantie”. Masalah pengusaha perkebunan kolonial semakin hari semakin mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh kerugian akibat merosotnya produktivitas perkebunan tembakau dan pemberontakan buruh yang terjadi di sana-sini. Solusi terbaik pengusaha perkebunan ialah mengalihkan pengusahaan perkebunan kolonial kepada pengusaha swasta. Para buruh yang sudah lama menetap dan bekerja di perkebunan, justru lebih memilih bekerja pada pihak perkebunan swasta daripada harus dipulangkan ke negaranya. Di antara mereka bahkan membawa serta keluarganya untuk menetap di Sumatera dengan mengusahakan aktivitas lain. Sehingga pada tahun 1930 para buruh yang sudah masuk ke Sumatera dan mengusahakan mencapai 192.822 jiwa, hampir 35 dari penduduk lainnya Judistira, 1988: 28. III.1 Bangsa Cina dengan Perjuangannya Pada akhir abad ke-20 dengan bantuan kolonial dengan kaum pengusaha, orang Cina memonopoli seluruh sektor pengangkutan. Para pengusaha perkebunan juga memberi kesempatan pada orang Cina sebagai penyalur bahan makanan dan menjadi kontraktor di perkebunan. Pekerjaan yang banyak mereka geluti ialah sebagai kuli atau buruh bangunan. Hanya sebagian kecil dari mereka menjadi pedagang sayuran, yang populer dengan sebutan “Cina Pedagang Sayur” untuk menunjukkan betapa kecil dan tidak kuatnya modal mereka bila berhadapan dengan pedagang pribumi lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan politik di Indonesia. Peristiwa yang silih berganti di Indonesia mempengaruhi masyarakat Cina sehingga banyak di antara mereka berpaling dari agama leluhurnya, terutama pada masa pendudukan Jepang 1942-1945. Namun orang-orang Cina justru mendapat perlindungan dari pihak Belanda. Pada tahun 1965 situasi semakin tidak menentu setelah pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan guna memutuskan pertalian masyarakat Cina dengan tanah leluhur mereka. Sekolah-sekolah Cina ditutup, penerbitan bahasa Cina dan pemakaian aksara Cina di tempat umum dilarang serta semua nama yang berbau Cina harus diganti dengan nama yang berbau Indonesia. Selain daripada itu status agama juga harus disesuaikan dengan agama yang ada di Indonesia. Sehingga banyak orang-orang Cina pindah ke agama Kristen, namun banyak pula yang tetap setia kepada agama tradisionalnya. Situasi ini juga berdampak pula pada perubahan kelenteng yang beraksara Cina dengan sebutan “vihara”. Dari itu kebanyakan kelenteng-kelenteng pada saat itu lebih menampilkan aspek Budhistis dengan altar Budha di letakkan paling depan. III.2 Etnis Cina yang Berada di Sumatera Timur Ternyata tidak semua orang-orang Cina itu dilahirkan dengan kepandaian dan ahli dalam berdagang. Banyak di antara mereka justru mempunyai keahlian di bidang lain. Etnis atau garis keturunan sangat mempengaruhi keahlian mereka dalam mempertahankan kehidupannya. Ada 3 wilayah besar seperti di Propinsi Fukian, Kwangtung, dan Kwangsi yang masyarakatnya senang merantau dengan mengandalkan keahliannya masing-masing. Adapun etnis Cina yang menetap di pantai Timur Sumatera di antaranya: 1. Kelompok Pantis atau Kanton Berasal dari Propinsi Kwantung yang sebagian besar mereka ahli sebagai tukang besi, perabot, tukang jahittekstil, pelacur dan sedikit buruh di perkebunan. 2. Kelompok Hakka dan Kheks Mereka dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaan mengecilkan kaki dengan cara mengikat membungkus sebagai lambang status yang tidak dimiliki Cina lainnya. Sebagian besar mereka berprofesi sebagai pedagang rotan, tukang kaleng, pengusaha toko. Universitas Sumatera Utara Artikel HISTORISME JUFRIDA Edisi No. 23Tahun XIJanuari 2007 28 3. Kelompok Hoekloes Sebagian besar mereka ini bekerja sebagai buruh perkebunan. 4. Kelompok Hailans Mereka merupakan penduduk asli pulau Hainan, sebagian besar mereka berprofesi sebagai pembantu rumah tangga, tukang masak, dan kerani hotel. 5. Kelompok Amoy atau Hokkian Kelompok ini berasal dari Propinsi Shiang Shou Fu. Mereka dikenal dengan di Pulau Jawa maupun di Sumatera sebagai kaum pedagang. 6. Kelompok Luchius dan Caochaw, Hock Mereka berasal dari Propinsi Luitsiu dan Koatsiu Semenanjung sebagian besar dari mereka hidup miskin dan banyak menetap di Belawan dan Bagan Siapi-api.

IV. Penutup