Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan)

EVALUASI PURNA HUNI ASPEK SOSIAL LINGKUNGAN
PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota
Medan)

TESIS

Oleh
AHMAD WINDHU UTAMA
037004015/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

EVALUASI PURNA HUNI ASPEK SOSIAL LINGKUNGAN

PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN
(Studi Kasus pada Rumah Susun Kelurahan Sukaramai II
Kecamatan Medan Area Kota Medan)
Ahmad Windhu Utama, Jazanul Anwar, Zulkifli, Salminawati Ginting
Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Ciri utama yang menandai suatu kota adalah tingginya jumlah penduduk
dan pesatnya pertumbuhan penduduk setiap tahunnya. Salah satu permasalahan
yang muncul di perkotaan adalah masalah rumah dan pemukiman serta
keterbatasan luas tanah. Rumah susun menjadi salah satu alternatif pemecahan
masalah perumahan bagi masyarakat kota. Perubahan pola pemukiman yang
tadinya horizontal menjadi vertikal memberikan konsekuensi-konsekuensi tertentu
pula bagi penghuninya. Salah satunya adalah perubahan persepsi dalam
memandang rumah susun sebagai tempat melangsungkan kehidupan. persepsi
tersebut kemudian berdampak pada pola perilaku penghuninya baik terhadap
lingkungan sosial maupun lingkungan fisik. Pola perilaku keluarga terhadap
lingkungan sosial cenderung mengarah ke perilaku assosiatif dengan ciri aktivitas
toleransi relatif sering dilakukan, aktivitas kerukunan bersama jarang sedangkan
aktivitas penyelesaian masalah, perselisihan, menguasai pihak lain dan upaya

mendapatkan kedudukan sosial di rumah susun relatif tidak pernah dilakukan.
Pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik menunjukkan aktivitas yang
relatif tinggi diukur dengan variabel keaktifan, kenyamanan dan kemudahan
menggunakan dan memelihara fasilitas-fasilitas fisik yang ada di rumah susun.
Kata Kunci : rumah susun, pola perilaku, lingkungan sosial, lingkungan fisik
ABSTRACT
Especial characteristic marking a town is height sum up the resident and its
fast resident growth every year. One of problems which appear in the urban is
problem of house and settlement and also wide limitation of land. Flat become
one of alternative of housing trouble-shooting for urban community. Change of
settlement pattern which at first horizontal become vertical give the certain
consequence also for its dweller. One of them is perception change in looking at
flat as place pass off the later life. The perception will affect at behavioral pattern
dweller do well by the social or physical environment. Behavioral pattern of
family to social environment tend to aim to the behavior assosiative which is
characterized of tolerance activity relative often done, reconciliation activity with
seldom while activity of problem solving, dispute, mastering other party and
strive to get to domicile the social at home compile relative have never been done.
Behavioral pattern of family to physical environment show the activity which
high relative measured with the livelines variable, freshment and amenity in using

the physical facility exist in flat.
Keywords : flat, behavioral pattern, social environment, physical environment.

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

PENDAHULUAN
Konsentrasi peran yang besar di perkotaan tersebut, tidak terlepas dari
kenyataan bahwa perkotaan merupakan lokasi yang paling efisien dan efektif
untuk kegiatan-kegiatan produktif sehubungan dengan ketersediaan sarana dan
prasarana, tersedianya tenaga kerja, tersedianya dana sebagai modal dan
sebagainya. Seiring dengan itu maka akan terjadi arus urbanisasi yang juga
membawa transformasi struktural yang tercermin dengan adanya perubahan dalam
struktur demografi dan sosial ekonomi penduduk. Hal ini nantinya akan sangat
berpengaruh pada aspek pengelolaan daerah perkotaan (manajemen perkotaan).
Data perkembangan penduduk di sepuluh kota terbesar di Indonesia
berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
Tabel 1. Perkembangan Penduduk
10 Kota Terbesar 1990-2000

Urutan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Nama Kota
Surabaya
Jakarta Timur+)
Bandung
Jakarta Barat
Medan
Jakarta Selatan
Bekasi

Palembang
Jakarta Utara
Semarang

Penduduk 2000
2,588,816
2,348,962
2,141,837
1,910,470
1,899,327
1,792,214
1,639,860
1,441,522
1,440,457
1,345,065

Penduduk 1990
2,483.871
2,067.213
2,058.649

1,822.762
1,730.752
1,913.084 *)
**)
1,144,279
1,369,639
1,250,971

% tumbuh
0.43
1.33
0.41
0.49
0.97
-0.67
**)
2.42
0.52
0.75


Sumber: sensus penduduk 2000 (draft), BPS, 20 Desember 2000
*) pertumbuhan negative **) bagian Kabupaten Bekasi +) Jakarta dibagi dalam kota pusat, timur, barat, utara dan selatan

Menurut pengalaman, manajemen perkotaan meliputi pula kesejahteraan
warga kota dalam arti yang luas. Atas dasar ini fungsi-fungsi yang dilaksanakan
oleh manajemen perkotaan biasanya meliputi kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan perkembangan kota, pembangunan infrastruktur, penyediaan
pelayanan perkotaan, penciptaan lapangan pekerjaan, pelayanan-pelayanan sosial
dan regulasi aktifitas/ perilaku masyarakat umum.
Pembangunan perumahan untuk semua lapisan masyarakat menjadi dasar
kebutuhan masyarakat dan kewajiban pemerintah (daerah/ pusat) untuk
memenuhinya. Akan tetapi apabila pembangunan perumahan hanya berdasarkan
target penyelesaian tanpa memperhitungkan faktor lain, pembangunan tersebut
akan bias daripada memenuhi kebutuhan masyarakat dalam jangka panjang.
Penambahan bangunan perumahan sangat diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat. Pembangunannya harus memikirkan dampak perubahan
lahan, berkurangnya daya resap tanah terhadap air hujan, pengolahan limbah
rumah tangga (RT), dan distribusi air bersih harus menjadi prioritas pemerintah
dan pengembang. Prioritas bukan melulu target pembangunan rumah secara
kuantitas, akan tetapi rumah sehat yang berkualitas. Rumah sebagai tempat tinggal

dengan kapasitas standar memang diperlukan, selain harga terjangkau juga
memenuhi standar tempat tinggal bagi penghuninya.
Pembangunan perumahan ke atas (vertically) lebih menguntungkan dalam
banyak hal dibandingkan pembangunan perumahan kesamping (horizontally)
(Utama, 2005). Pengembangan perumahan secara horisontal cenderung

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

menggunakan lahan pertanian, hutan dan lahan hijau lainnya sedangkan
pembangunan rumah secara vertikal lebih minim dalam hal penggunaan lahan.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi, pembangunan perumahan secara vertikal
jauh lebih mudah, murah dan cepat dalam pengerjaannya. Lebih mudah dan cepat,
karena bisa memanfaatkan teknologi pre-fabricate untuk dinding dan kolomkolom non-struktural. Lebih murah karena beberapa elemen bangunan seperti
rangka atap dan fondasi hanya dibuat satu per sekian rumah. Beberapa faktor lain
juga mendukung pembuatan bangunan secara vertikal jauh lebih efektif dan
efisien, seperti meminimalisasi biaya pembebasan lahan serta dalam beberapa
kasus penggunaan tenaga kerja bisa dioptimalisasi.
Perubahan pola pemukiman yang tadinya melebar ke samping menjadi

menumpuk ke atas dengan sendirinya memberikan konsekuensi-konsekuensi
tertentu pula terhadap penghuninya. Bagi rumah susun yang warganya berasal
dari lahan di sekitar hunian tersebut yang masih memiliki kesamaan lingkup sosial
budaya maka penghuni hanya perlu beradaptasi untuk hidup di bangunan vertikal
saja, sedangkan bagi warga yang berasal dari kawasan berbeda latar belakang
sosial budayanya maka perlu beradaptasi dalam banyak hal.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh psikolog S. Nimpuno
(Darmiwati, 2000) bahwa : ”tingkah laku manusia tidak bisa dilepaskan dari
ketergantungan pada tiga sistem, yaitu sistem lingkungan hidup, sistem sosial dan
sistem konsep/orientasi budaya. Dengan demikian bisa dimaklumi jika para
pendatang tersebut akan menjumpai suatu kondisi yang berbeda sekali
kenyataannya dengan yang dialami sebelumnya (kaum urbanis) di desa dimana
kebersamaan dan kesederhanaan mewarnai kehidupannya sehingga seringkali
mengalami kejutan yang berpengaruh terhadap perilaku sosialnya”.
Penelitian ini mencoba melakukan evaluasi purna huni di rumah susun
Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan yang telah didirikan
sejak tahun 1985 dan hingga sekarang masih dihuni. Evaluasi purna huni (Post
Occupancy Evaluation) menurut Preiser et.al (Aulia dan L. Suryani, 2004) adalah
suatu proses evaluasi terhadap efektif tidaknya hasil kerja rancang bangun setelah
bangunan selesai dibangun dan dipakai oleh penghuni selama waktu tertentu

Evaluasi purna huni penting untuk dilakukan karena adanya kecenderungan
anggapan bahwa proses kerja rancang bangun telah selesai apabila dokumen
perancangan telah terwujud menjadi wadah fisik. Selain itu keluhan-keluhan yang
terjadi di dalam proses adaptasi penghuni terhadap hasil rancang bangun tidak
pernah atau jarang sekali dikaji, khususnya sebagai bahan masukan bagi proses
perancangan selanjutnya. Dalam hal ini, penelitian yang dilakukan akan
memberikan kontribusi yang nyata terhadap penyelesaian masalah di tengahtengah kehidupan masyarakat, khususnya bagi penghuni rumah susun.
Dalam proses evaluasi ini, karena proses penghunian dan pemakaian suatu
bangunan akan berkaitan dengan aspek perilaku dan psikologi penggunanya,
maka pemahaman akan perilaku manusia dan lingkungan sangat dibutuhkan
dalam kajian ini. Pada hakekatnya sebuah pemukiman termasuk rumah susun
memang seharusnya tidak hanya memberikan perlindungan fisik bagi
penghuninya, tetapi juga menjamin pemenuhan kebutuhan sosial dan psikologis

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

secara wajar. Jadikan rumah sebagai pelindung manusia dan sahabat lingkungan,
bukan menjadikan rumah benalu bagi induk semangnya (bumi) (Utama,2005).

Dengan berpedoman pada asumsi di atas, maka penelitian ini memfokuskan
kajian pada masalah berikut :
1. Bagaimana deskripsi pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial
di rumah susun berdasarkan variabel aktivitas kerukunan bersama,
toleransi, penyelesaian masalah, menguasai pihak lain dan upaya
mendapatkan kedudukan sosial di rumah susun ?
2. Apakah ada perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan
sosial berdasarkan perbedaan status keluarga, tingkat pendidikan
keluarga, lokasi rumah susun dan tipe rumah susun ?
3. Bagaimana deskripsi pola perilaku keluarga terhadap lingkungan fisik
di rumah susun berdasarkan variabel keaktifan, kenyamanan dan
kemudahan memanfaatkan fasilitas-fasilitas fisik di rumah susun ?
4. Apakah ada perbedaan pola perilaku keluarga terhadap lingkungan
fisik berdasarkan perbedaan status keluarga, lokasi rumah susun, tipe
rumah susun, blok rumah susun dan lantai rumah susun ?
Berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas maka batasan lingkup
kajian penelitian ini adalah hanya pada aspek lingkungan fisik dan non-fisik
(sosial) kehidupan penghuni rumah susun.
HASIL dan PEMBAHASAN
Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial di Rumah Susun
Berdasarkan Variabel Aktivitas Kerukunan Bersama, Toleransi,
Penyelesaian Masalah, Menguasai Pihak Lain dan Upaya Mendapatkan
Kedudukan Sosial di Rumah Susun
Tabel 2 menunjukkan nilai rata-rata (mean), nilai tengah (median) dan
sebaran data (standar deviasi) variabel-variabel yang digunakan untuk mengukur
pola perilaku keluarga di rumah susun terhadap lingkungan sosial.
Tabel 2. Rekapitulasi Variabel Perilaku Keluarga Terhadap
Lingkungan Sosial
Variabel
RUKUN
TOLERAN
MASALAH
SELISIH
KUASAI
KEDUDUKAN

Valid
200
200
200
200
200
200

N
Missing
0
0
0
0
0
0

Mean

Median

Std.
Deviation

Mean ± 2 × Std.
Deviation

Minimum

2.1200
3.5750
1.5625
1.0625
1.0400
1.3375

2.0000
3.5000
1.0000
1.0000
1.0000
1.0000

.92731
.44763
.89938
.43967
.33007
.59508

0.2654 - 3.9746
2.6797 - 4.4703
-0.2363 - 3.3613
0.1832 -1.9418
0.3799 - 1.7001
0.1473 - 2.5277

1.00
3.00
1.00
1.00
1.00
1.00

Maximum
4.00
4.50
4.50
5.00
5.00
3.50

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Variabel Aktivitas Kerukunan Bersama
Dari Tabel 2 tampak bahwa nilai rata-rata variabel (mean) aktivitas
kerukunan bersama relatif sedang (mean = 2 – 4 ). Jika dibandingkan nilai mean
dengan nilai median variabel aktivitas kerukunan bersama, nilai mean=2.1200
dan median=2.0000 (mean > media). Ini berarti, rata- rata responden (keluarga)

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

berada pada kategori jarang melakukan aktivitas kerukunan bersama relatif tinggi,
namun bukannya tidak pernah sama sekali melakukan aktivitas-aktivitas tersebut.
Jika dilihat dari angka standar deviasi, maka variabel aktivitas kerukunan bersama
mengindikasikan sebaran data yang kurang baik. Dimana batas angka rata-rata ± 2
× standar deviasi dengan nilai minimum dan maksimum relatif jauh.
Aktivitas kerukunan bersama yang biasa dilakukan responden adalah
dalam hal tingkat keseringan melakukan kerja bakti membersihkan lingkungan
sekitar rumah susun bersama-sama dengan tetangga dan tingkat keseringan
membantu tetangga yang akan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seremonial
tertentu seperti sunatan, pernikahan dan lain sebagainya.
Pada indikator tingkat keseringan melakukan kerja bakti membersihkan
lingkungan sekitar rumah susun bersama-sama dengan tetangga tampak bahwa
mayoritas keluarga di rumah susun sebanyak 52% jarang melakukan kerja bakti
untuk membersihkan lingkungan di sekitar rumah susun, bahkan sebanyak 30,5%
keluarga di rumah susun tidak pernah sama sekali melakukan kerja bakti. Hanya
sebanyak 1% keluarga menyatakan biasa, 16% dalam kategori sering dan 0,5%
menyatakan sangat sering melakukan kerja bakti di lingkungan rumah susun.
Distribusi frekuensi untuk indikator tingkat keseringan keluarga
membantu tetangga yang akan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan tertentu
seperti sunatan, pernikahan dan lain-lain. Sebanyak 33,5% keluarga menyatakan
tidak pernah, 39,0% menyatakan jarang, 2,0% menyatakan biasa dan 25,5%
menyatakan sering membantu tetangga yang akan menyelenggarakan kegiatankegiatan tertentu.
Kondisi mayoritas keluarga di rumah susun yang jarang melakukan kerja
bakti dan membantu kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan tetangga seperti
sunatan, pernikahan disebabkan karena sebagian besar keluarga di rumah susun
baik suami maupun isteri bekerja sebagai pedagang (sektor informal) dimana
pekerjaan tersebut tidak mengenal waktu bahkan waktu luang (libur) pun biasanya
digunakan untuk berdagang. Akibatnya para keluarga tidak memiliki waktu untuk
melakukan kerja bakti dan membantu tetangga yang akan mengadakan acaraacara khusus seperti sunatan, pernikahan dan lain sebagainya.
Variabel Aktivitas Toleransi
Tabel 2 mendeskripsikan nilai rata-rata variabel (mean) aktivitas toleransi
yang relatif sedang (mean = 2 – 4 ). Rata-rata keluarga di rumah susun sering
melakukan aktivitas toleransi. Jika dibandingkan nilai mean dengan nilai median
variabel aktivitas toleransi, nilai mean=3.5750 dan median=3.5000 ( mean >
median ). Ini berarti rata- rata responden (keluarga) berada pada kategori sering
relatif tinggi. Jika dilihat dari angka standar deviasi, maka variabel aktivitas
toleransi mengindikasikan sebaran data yang relatif baik. Dimana batas angka
rata-rata ± 2 × standar deviasi dengan nilai minimum dan maksimum relatif dekat.
Aktivitas toleransi yang biasa dilakukan responden adalah dalam hal
tingkat keseringan merasa tidak keberatan dengan kegiatan keagamaan yang
dilakukan tetangga yang berbeda agama dan tingkat keseringan mengunjungi
tetangga yang berbeda agama pada hari-hari besar keagamaan seperti Idul Fitri,
Natal, dan lain sebagainya.

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

Deskripsi indikator frekuensi keluarga merasa tidak keberatan dengan
kegiatan keagamaan yang dilakukan tetangga. Mayoritas keluarga (99,5%) merasa
sangat tidak keberatan dengan kegiatan keagamaan yang dilakukan tetangga baik
yang beragama sama maupun beragama berbeda. Hanya 0,5% keluarga yang
berada dalam kategori biasa.
Pada indikator tingkat keseringan mengunjungi tetangga pada hari-hari
besar keagamaan tampak bahwa mayoritas responden menyatakan jarang (57%)
dan tidak pernah (20,0%) melakukannya. Sebanyak 10,0% responden menyatakan
biasa dan 13,0% sering mengunjungi tetangga di hari-hari besar keagamaan.
Tampaknya aktivitas toleransi yang banyak dilakukan para keluarga di
rumah susun lebih berorientasi pada suatu bentuk akomodasi dalam menerima
perbedaan. Sebagaimana yang didefinisikan oleh Taneko (1984), toleransi
merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal bentuknya.
Kadang-kadang toleransi timbul tanpa direncanakan disebabkan karena adanya
keinginan dari orang-perorangan ataupun kelompok-kelompok manusia untuk
sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan.
Variabel Aktivitas Penyelesaian Masalah
Rata-rata keluarga relatif tidak pernah melakukan aktivitas penyelesaian
masalah. Pernyataan ini didukung oleh Tabel 2 yang menunjukkan nilai rerata
variabel (mean) yang relatif rendah (mean< 2 ). Aktivitas penyelesaian masalah
yang tidak pernah dilakukan keluarga yang tinggal di rumah susun bisa juga
dinilai dengan membandingkan nilai mean dan median dimana nilai
mean=1.5625 dan median=1.0000 ( mean > median ). Ini berarti, rata- rata
responden (keluarga) berada pada kategori tidak pernah melakukan aktivitas
penyelesaian masalah relatif tinggi. Jika dilihat dari angka standar deviasi, maka
variabel aktivitas kerukunan bersama mengindikasikan sebaran data yang kurang
baik. Dimana batas angka rata-rata ± 2 × standar deviasi dengan nilai minimum
dan maksimum relatif jauh.
Aktivitas penyusunan masalah diukur dengan indikator tingkat keseringan
mendamaikan tetangga yang sedang bertengkar dan tingkat keseringan membantu
tetangga memberikan jalan keluar untuk memecahkan permasalahanpermasalahan yang muncul di rumah susun.
Pada indikator tingkat keseringan mendamaikan tetangga, mayoritas
responden (67,5%) menyatakan tidak pernah dan 21% jarang melakukan aktivitas
mendamaikan tetangga. Sebanyak 2,5% menyatakan biasa dan 9,0% menyatakan
sering mendamaikan tetangga yang sedang bertengkar.
Pada indikator tingkat keseringan membantu memecahkan masalahmasalah yang dihadapi tetangga di rumah susun, mayoritas responden (66,0%)
menyatakan tidak pernah dan 20,5% jarang membantu memecahkan masalah yang
dihadapi tetangga. Sebanyak 2,5% menyatakan biasa, 10,0% menyatakan sering
dan 1,0% menyatakan sangat sering membantu memecahkan masalah yang
dihadapi tetangga.
Kondisi rerata keluarga di rumah susun relatif tidak pernah melakukan
aktivitas penyelesaian masalah karena mereka merasa sebagai satu kelompok.
Proses asimilasi ini timbul karena orang perorangan sebagai warga kelompok tadi

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

saling bergaul secara langsung dan intensif dalam waktu yang lama. Data tentang
lama tinggal keluarga di rumah susun membuktikan bahwa mayoritas keluarga
sudah tinggal cukup lama di rumah susun Keluarahan Sukaramai II yaitu lebih
dari 8 (delapan) tahun.
Oleh karena itu para keluarga di rumah susun lebih cenderung untuk tidak
ikut campur jika ada tetangga yang bertengkar dengan berusaha mencari jalan
keluar atas pertengkaran yang terjadi. Tujuan dari adanya asimilasi ini adalah
untuk mencapai kesatuan atau integrasi dalam pikiran dan tindakan dalam
mencapai tujuan bersama (Taneko, 1984). Asimilasi merupakan proses interaksi
sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaanperbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelompok-kelompok
manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan,
sikap-sikap dan proses-proses mental atas dasar kepentingan-kepentingan dan
tujuan-tujuan bersama.
Aktivitas Melakukan Perselisihan
Para keluarga yang tinggal di rumah susun relatif tidak pernah melakukan
perselisihan dengan tetangga. Hal ini didukung oleh nilai rerata variabel (mean)
yang relatif rendah (mean < 2 ). Begitu pula perbandingan nilai mean dan median
untuk variabel aktivitas
melakukan
perselisihan
menunjukkan nilai
mean=1.0625 dan median=1.0000 ( mean > median ). Ini berarti, rata- rata
responden (keluarga) berada pada kategori tidak pernah melakukan aktivitas
perselisihan relatif tinggi, walaupun bukan berarti sama sekali tidak pernah
melakukan perselisihan dengan tetangga. Jika dilihat dari angka standar deviasi,
maka variabel aktivitas perselisihan mengindikasikan sebaran data yang kurang
baik. Dimana batas angka rata-rata ± 2 × standar deviasi dengan nilai minimum
dan maksimum relatif jauh (Tabel 2).
Aktivitas melakukan perselisihan yang tidak pernah dilakukan responden
adalah dalam hal tingkat keseringan bertengkar yang disebabkan kebisingan yang
ditimbulkan tetangga dan tingkat keseringan bertengkar dalam memperebutkan
pemakaian fasilitas-fasilitas bersama yang tersedia di rumah susun.
Pada indikator tingkat keseringan bertengkar yang disebabkan kebisingan
yang ditimbulkan tetangga tampak bahwa mayoritas responden menyatakan tidak
pernah (97,5%) bertengkar dan sebanyak 0,5% dalam kategori biasa, 0,5% dalam
kategori sering serta 1,5% menyatakan sangat sering bertengkar karena kebisingan
yang ditimbulkan tetangga di rumah susun.
Indikator tingkat keseringan bertengkar dalam memperebutkan pemakaian
fasilitas-fasilitas bersama yang ada di rumah susun, menunjukkan hasil bahwa
mayoritas responden menyatakan tidak pernah (99,0%) bertengkar dengan
tetangga dalam memperebutkan pemakaian fasilitas bersama dan hanya sebanyak
1,0% menyatakan sangat sering bertengkar.
Kondisi rerata keluarga di rumah susun yang relatif tidak pernah
melakukan perselisihan dengan tetangga baik yang disebabkan kebisingan yang
ditimbulkan tetangga ataupun dalam memperebutkan pemakaian fasilitas-fasilitas
bersama yang ada di rumah susun ini disebabkan karena mereka sudah merasa
menjadi suatu keluarga besar. Satu keluarga dan lainnya senantiasa berupaya

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

sedapat mungkin untuk menghindarkan diri dari suatu perselisihan (toleransi)
serta berupaya untuk mengurangi tuntutan (kompromi) agar tercapai suatu
penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
Aktivitas Menguasai Pihak Lain
Para keluarga yang tinggal di rumah susun relatif tidak pernah melakukan
aktivitas menguasai pihak lain. Hal ini ditunjukkan pula oleh nilai rerata variabel
(mean) yang relatif rendah (mean < 2 ). Untuk variabel aktivitas menguasai
pihak lain, nilai mean=1.0400 dan median=1.0000 ( mean > median ) berarti
rata- rata responden (keluarga) berada pada kategori tidak pernah melakukan
aktivitas menguasai pihak lain relatif tinggi. Jika dilihat dari angka standar
deviasi, maka variabel aktivitas menguasai pihak lain mengindikasikan sebaran
data yang kurang baik. Dimana batas angka rata-rata ± 2 × standar deviasi dengan
nilai minimum dan maksimum relatif jauh (Tabel 2).
Aktivitas menguasai pihak lain diukur dengan indikator
tingkat
keseringan berambisi memiliki kekayaan melebihi yang dimiliki tetangga dan
tingkat keseringan mendahului tetangga dalam memakai fasilitas-fasilitas yang
ada di rumah susun.
Pada indikator tingkat keseringan berambisi memiliki kekayaan melebihi
yang dimiliki tetangga, tampak bahwa mayoritas responden (99,5%) menyatakan
tidak pernah berambisi dan hanya sebanyak 1% yang sangat sering berambisi
untuk melakukan hal tersebut.
Untuk indikator tingkat keseringan keluarga mendahului tetangga dalam
memperebutkan penggunaan fasilitas-fasilitas bersama yang ada di rumah susun,
diketahui bahwa mayoritas keluarga di rumah susun (98,0%) menyatakan tidak
pernah berupaya mendahului tetangga dalam memperebutkan penggunaan
fasilitas-fasilitas di rumah susun. Sebanyak 1,0% menyatakan biasa dan 1,0%
menyatakan sangat sering berebutan dengan tetangga menggunakan fasilitasfasilitas yang ada di rumah susun.
Kondisi keluarga di rumah susun yang mayoritas tidak pernah melakukan
aktivitas menguasai pihak lain sama dalam hal persaingan ekonomi yaitu
berambisi untuk lebih kaya dibandingkan dengan tetangga karena rerata keluarga
memiliki jenis pekerjaan yang dilakukan relatif sama. Setiap keluarga bisa
berdagang di lokasi sekitar rumah susun jika mau dan sanggup memenuhi
kewajiban tertentu. Rerata dari keluarga yang tinggal di sumah susun memiliki
tingkat pendapatan yang relatif sama dan mereka tinggal dalam ruang hunian
yang tampilan fisiknya relatif sama sehingga tidak nampak kesenjangan antar satu
keluarga dengan keluarga lain dalam lingkungan rumah susun Kelurahan
Sukaramai II. Tampaknya memang rumah susun ditujukan untuk golongan
masyarakat tertentu yaitu menengah ke bawah.
Demikian pula dalam hal menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada di
rumah susun, setiap keluarga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam
mempergunakan fasilitas-fasilitas yang ada (tidak ada pihak yang diistimewakan).

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

Aktivitas Mendapatkan Kedudukan Sosial
Para keluarga yang tinggal di rumah susun relatif tidak pernah berupaya
mendapatkan jabatan/kedudukan sosial di rumah susun. Hal ini ditunjukkan oleh
nilai rata-rata variabel (mean) yang relatif rendah (mean < 2 ). Begitu pula
perbandingan nilai mean dan median untuk variabel aktivitas mendapatkan
kedudukan sosial menunjukkan nilai mean=1.3375 dan median=1.0000 ( mean >
median ). Ini berarti, rata- rata responden (keluarga) berada pada kategori tidak
pernah berupaya mendapatkan kedudukan sosial relatif tinggi, namun bukannya
tidak pernah sama sekali melakukan aktivitas-aktivitas tersebut. Jika dilihat dari
angka standar deviasi, maka variabel aktivitas mendapatkan kedudukan sosial
mengindikasikan sebaran data yang kurang baik. Dimana batas angka rata-rata ± 2
× standar deviasi dengan nilai minimum dan maksimum relatif jauh (Tabel 2).
Aktivitas mendapatkan kedudukan sosial yang relatif tidak pernah
dilakukan keluarga di rumah susun diukur dengan indikator tingkat keseringan
berupaya mendapatkan jabatan di rumah susun dengan mengikuti pemilihan yang
dilakukan PPRS (Persatuan Penghuni Rumah Susun) dan tingkat keseringan
berupaya menyampaikan keluhan-keluhan penghuni kepada pihak yang
berkepentingan jika terjadi ketidakberesan pada fasilitas-fasilitas yang ada di
rumah susun.
Untuk indikator tingkat keseringan keluarga mengikuti pemilihan PPRS
untuk mendapatkan kedudukan sosial diketahui bahwa mayoritas keluarga
(83,5%) tidak pernah dan 5,5% jarang melakukannya. Hanya 11,0% menyatakan
sering berupaya mendapatkan kedudukan sosial di rumah susun.
Untuk indikator tingkat keseringan keluarga berupaya menyampaikan
keluhan-keluhan penghuni di rumah susun kepada pihak yang berkepentingan jika
terjadi ketidakberesan fasilitas-fasilitas di rumah susun diketahui bahwa mayoritas
keluarga (86,5%) tidak pernah dan 5,5% jarang melakukannya. Hanya 1,5%
menyatakan biasa, 5,5% sering dan 1,0% menyatakan sering berupaya
menyampaikan keluhan-keluhan penghuni di rumah susun kepada pihak yang
berkepentingan. Kondisi ini sesuai dengan karakteristik penghuni rumah susun
yang dikemukakan oleh Darmiwati (2000) yang kurang suka akan formalitas.
Mereka lebih suka menyelesaikan permasalahan sendiri jika mereka bisa
melakukannya.
Kondisi rerata keluarga di rumah susun yang relatif tidak pernah berupaya
mendapatkan kedudukan sosial adalah wujud dari ketiadaan minat dari keluarga
untu bersaing dalam hal kedudukan dan peranan, namun bukan berarti tidak
pernah sama sekali. Di dalam diri seseorang maupun kelompok terdapat keinginan
untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta
peranan yang terpandang. Keinginan tersebut dapat terarah pada suatu persamaan
atau lebih tinggi derajatnya dengan kedudukan serta peranan pihak lain.
Kedudukan dan peranan apa yang dikejar tergantung dari apa yang paling dihargai
dalam masyarakat pada suatu masa tertentu. Kedudukan seseorang dalam
masyarakat ditentukan oleh jaringan interaksinya (Susanto, 1983)
Dengan kata lain persaingan antar keluarga di rumah susun Kelurahan
Sukaramai II relatif tidak pernah terjadi karena mereka memiliki kesamaan dalam
banyak hal antara lain budaya, lama tinggal, pekerjaan, tingkat pendapatan,

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

tingkat pendidikan yang mengkondisikan mereka sebagai suatu kelompok/entitas
khusus.
Perbedaan Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Status (Suami dan Istri)
Pengelompokan status keluarga berdasarkan status sebagai suami dan istri.
Dengan menggunakan tingkat kesalahan 5%, ditemukan perbedaan bermakna
antara suami dengan istri terhadap variabel aktivitas kerukunan dan variabel
aktivitas mendapatkan kedudukan sosial (p ≤ 0,05).
Tabel 3. Hasil Uji Beda Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Status
Variabel
Aktivitas Kerukunan
Aktivitas Toleransi
Aktivitas Penyelesaian Masalah
Aktivitas Perselisihan
Aktivitas Menguasai Pihak Lain
Upaya Mendapatkan Kedudukan Sosial

Nilai Signifikansi
(p)
0,015
0,617
0,180
0,648
0,321
0,000

Kesimpulan
Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Tidak AdaPerbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Ada Perbedaan

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Perbedaan bermakna antara suami dengan istri tidak ditemukan terhadap
variabel aktivitas toleransi, penyelesaian masalah, perselisihan, menguasai pihak
lain dan variabel berupaya mendapatkan kedudukan sosial (Tabel 3). Hal tersebut
dibuktikan dari tingkat signifikansi (p) lebih besar dari 0,05 (p > 0,05).
Variabel aktivitas kerukunan bersama yang dilakukan suami dan istri
menunjukkan perbedaan signifikan, dapat dilihat pada Tabel 4.Tampak bahwa
suami relatif lebih sering melakukan aktivitas kerukunan bersama dibandingkan
istri. Pada suami, kategori tidak pernah-jarang sebesar 61% dan kategori biasasering sebesar 39% dari 100 orang responden suami. Pada istri, kategori tidak
pernah-jarang sebesar 75% dan kategori biasa-sering 55% dari 100 orang
responden isteri.
Aktivitas kerukunan bersama yang lebih sering dilakukan oleh para
suami dibandingkan isteri tampak dari tingkat keseringan suami melakukan kerja
bakti dan aktivitas membantu sesama penghuni yang akan menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan tertentu seperti sunatan, pernikahan dan lain-lain. Para suami
lebih sering melakukan kegiatan-kegiatan tersebut karena mereka sudah merasa
dekat dengan sesama penghuni rumah susun (guyub).
Kondisi ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Darmiwati
(2000) bahwa di dalam bangunan rumah susun, gaya hidup masyarakat kampung
yang penuh kebersamaan (guyub, komunal dan kampungan) ikut terbawa masuk.
Kondisi ini tampak dalam pola aktivitas kehidupan sehari-hari dimana para suami
lebih sering nampak berkumpul di warung-warung kopi yang ada di sekitar rumah
susun. Oleh karena mayoritas para suami bekerja di sektor informal sehingga
mereka dapat berdagang sekaligus berinteraksi dengan sesama penghuni rumah
susun dengan lebih baik.

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

Tabel 4. Tabulasi Silang Tingkat Keseringan Aktivitas Kerukunan Bersama
Berdasarkan Perbedaan Status Keluarga
Status
Suami
Istri
Total

Tingkat Keseringan Aktivitas Kerukunan Bersama
Tidak
Jarang
Biasa
Sering
Sangat
Pernah
Sering
15
46
25
14
(15%)
(46%)
(25%)
(14%)
22
53
14
11
(22%)
(53%)
(14%)
(11%)
37
99
39
25
(18,5%)
(49,5%)
(19,5%)
(12,5%)

Total
100
(100%)
100
(100%)
200
(100%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Demikian pula untuk variabel upaya mendapatkan kedudukan sosial yang
dilakukan suami dan istri menunjukkan perbedaan signifikan, dapat dilihat pada
Tabel 5. Tampak bahwa suami relatif lebih sering berupaya mendapatkan
kedudukan sosial di rumah susun dibandingkan istri. Pada suami, kategori tidak
pernah-jarang sebesar 73% dan kategori biasa- sering sebesar 27% dari 100 orang
responden suami. Pada istri, dari 100 orang responden terdiri dari kategori tidak
pernah-jarang sebesar 92%, kategori biasa 8% dan kategori sering tidak ada.
Tabel 5. Tabulasi Silang Tingkat Keseringan Upaya Mendapatkan
Kedudukan Sosial Berdasarkan Perbedaan Status Keluarga
Status

Suami
Istri
Total

Tidak
Pernah
58
(58%)
84
(84%)
142
(71%)

Tingkat Keseringan Upaya Mendapatkan
Kedudukan Sosial
Jarang
Biasa
Sering
15
(15%)
8
(8%)
23
(11,5%)

26
(26%)
8
(8%)
34
(17%)

1
(1%)
1
(0,5%)

Total
Sangat
Sering
-

100
(100%)
100
(100%)
200
(100%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Upaya mendapatkan kedudukan sosial diukur dengan indikator tingkat
keseringan berupaya mendapatkan jabatan di rumah susun dengan mengikuti
pemilihan yang dilakukan PPRS (Persatuan Penghuni Rumah Susun) dan tingkat
keseringan berupaya menyampaikan keluhan-keluhan penghuni kepada pihak
yang berkepentingan jika terjadi ketidakberesan pada fasilitas-fasilitas yang ada di
rumah susun.
Oleh karena para suami lebih dominan berinteraksi dengan sesama
penghuni lain dan kemudian dikenal, maka upaya untuk mendapatkan kedudukan
sosial didukung oleh masyarakat sekitar.
Perbedaan Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Tingkat Pendidikan Keluarga
Salah satu fakttor yang berpengaruh nyata terhadap partisipasi khalayak di
wilayah kumuh adalah pendidikan (Pudjiastuti, 2000). Hasil uji beda pola perilaku
keluarga terhadap lingkungan sosial berdasarkan tingkat pendidikan keluarga
dapat dilihat pada Tabel 6. Dengan menggunakan tingkat kesalahan 5%,

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

ditemukan perbedaan pola aktivitas kerukunan, toleransi, penyelesaian masalah,
perselisihan dan upaya mendapatkan kedudukan sosial berdasarkan perbedaan
tingkat pendidikan keluarga (p ≤ 0,05). Perbedaan pola aktivitas menguasai pihak
lain berdasarkan tingkat pendidikan tidak ditemukan (p > 0,05).
Tabel 6. Hasil Uji Beda Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Tingkat Pendidikan Keluarga
Variabel
Aktivitas Kerukunan
Aktivitas Toleransi
Aktivitas Penyelesaian Masalah
Aktivitas Perselisihan
Aktivitas Menguasai Pihak Lain
Aktivitas Mendapatkan Kedudukan Sosial

Nilai Signifikansi
(p)
0,000
0,000
0,003
0,027
0,081
0,000

Kesimpulan
Ada Perbedaan
Ada Perbedaan
Ada Perbedaan
Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Ada Perbedaan

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Tabel 7 menjelaskan secara lebih detail hubungan antara tingkat
keseringan aktivitas kerukunan bersama yang dilakukan keluarga dengan tingkat
pendidikan keluarga. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan terendah (tidak
tamat SD) yang tidak pernah dan jarang melakukan aktivitas kerukunan bersama
sebesar 80,6% sedangkan yang biasa dan sering melakukan aktivitas bersama
sebesar 19,5% dari 36 keluarga di rumah susun (100%) yang menjadi responden.
Untuk keluarga yang tingkat pendidikan akhirnya tamat SMA, kategori tidak
pernah dan jarang melakukan aktivitas kerukunan bersama sebesar 48,9%
sedangkan yang biasa dan sering melakukan aktivitas kerukunan bersama sebesar
50% dari 28 keluarga di rumah susun (100%) yang menjadi responden.
Dengan demikian dapat disimpulkan semakin tinggi tingkat pendidikan
keluarga di rumah susun maka semakin sering mereka melakukan aktivitas
kerukunan bersama. Hal ini karena semakin tingginya tingkat pengetahuan
mereka akan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumah susun
melalui kerja bakti dengan sesama penghuni lain. Selain dapat meningkatkan
kualitas kehidupan fisik, kebutuhan sosial setiap keluarga untuk berinteraksi
dengan sesama penghuni lain juga dapat terpenuhi.
Tabel 7. Tabulasi Silang Aktivitas Kerukunan Bersama Berdasarkan
Perbedaan Tingkat Pendidikan Keluarga
Tingkat
Pendidikan
Tidak Tamat
SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Total

Tingkat Keseringan Aktivitas Kerukunan Bersama
Tidak
Jarang
Biasa
Sering
Sangat
Pernah
Sering
9
20
6
1
(25,0%)
(55,6%)
(16,7%)
(2,8%)
20
44
9
12
(23,5%)
(51,8%)
(10,6%)
(14,1%)
6
23
14
8
(11,8%)
(44,1%)
(27,5%)
(15,7%)
2
12
10
4
(7,1%)
(41,8%)
(35,7%)
(14,3%)
37
99
39
25
(18,5%)
(49,5%)
(19,5%)
(12,5%)

Total
36
(100,0%)
85
(100,0%)
51
(100,0%)
28
(100,0%)
200
(100,0%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

Tabel 8 menjelaskan secara lebih detail hubungan antara tingkat
keseringan keluarga di rumah susun melakukan aktivitas toleransi dengan tingkat
pendidikan keluarga. Dari 200 keluarga yang menjadi responden, sebanyak 36
keluarga tingkat pendidikannya tidak tamat SD, 85 keluarga tamat SD, 51
keluarga tamat SMP dan 28 keluarga tamat SMA. Dari 36 keluarga tidak tamat
SD sebanyak 20 keluarga (55,5%) sering dan sangat sering melakukan aktivitas
toleransi. Dari 85 keluarga tersebut, sebanyak 69 keluarga (81,1%) menyatakan
sering dan sangat sering melakukan aktivitas toleransi. Dari 51 keluarga tamat
SMP, sebanyak 44 keluarga (76,3%) sering dan sangat sering melakukan aktivitas
toleransi. Dari 28 keluarga tersebut, sebanyak 26 keluarga (92,8%) menyatakan
sering dan sangat sering melakukan aktivitas toleransi.
Tabel 8. Tabulasi Silang Tingkat Keseringan Aktivitas Toleransi
Berdasarkan Perbedaan Tingkat Pendidikan Keluarga
Tingkat Keseringan Aktivitas Toleransi
Jarang
Biasa
Sering

Tingkat
Pendidikan
Tidak Tamat
SD
Tamat SD

Tidak
Pernah
-

-

Tamat SMP

-

-

Tamat SMA

-

-

Total

-

-

-

16
(44,4%)
16
(18,8%)
7
(13,7%)
2
(7,1%)
41
(20,5%)

19
(52,7%)
57
(67%)
40
(78,5%)
17
(60,7%)
133
(66,5%)

Sangat
Sering
1
(2,8%)
12
(14,1%)
4
(7,8%)
9
(32,1%)
26
(13,0%)

Total
36
(100%)
85
(100%)
51
(100%)
28
(100%)
200
(100%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Tabel 9 menjelaskan secara lebih detail hubungan antara tingkat
keseringan keluarga di rumah susun melakukan aktivitas penyelesaian masalah
dengan tingkat pendidikan keluarga. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan
tidak tamat SD, sebanyak 75,0% responden menyatakan tidak pernah dan 22,3 %
jarang dan tidak ada responden menyatakan sering melakukan aktivitas
penyelesaian masalah dari 36 keluarga yang menjadi responden. Pada keluarga
yang tingkat pendidikan akhirnya SMA, sebanyak 46,4% menyatakan tidak
pernah, 28,6% jarang dan 7,2% menyatakan sering melakukan aktivitas
penyelesaian masalah dari 28 orang responden.
Dengan demikian dapat disimpulkan semakin tinggi tingkat pendidikan
keluarga di rumah susun maka ada kecenderungan semakin sering mereka
melakukan aktivitas penyelesaian masalah. Hal ini karena kemampuan
memecahkan masalah secara sistematis semakin tinggi sehingga masalah-masalah
yang dihadapi di rumah susun diupayakan sedemikian rupa untuk diselesaikan
bersama.
Tabel 10 menjelaskan hubungan antara tingkat keseringan melakukan
aktivitas perselisihan keluarga dengan tingkat pendidikan keluarga. Dari sejumlah
36 keluarga dengan tingkat pendidikan terendah (tidak tamat SD) seluruhnya
(100%) menyatakan tidak pernah melakukan aktivitas perselisihan. Keluarga
dengan tingkat pendidikan akhir tamat SMA yang menyatakan tidak pernah

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

melakukan aktivitas perselisihan sebesar 96,4% dari 28 keluarga yang menjadi
responden.
Tabel 9. Tabulasi Silang Tingkat Keseringan Aktivitas Penyelesaian Masalah
Berdasarkan Perbedaan Tingkat Pendidikan Keluarga
Tingkat
Pendidikan
Tidak Tamat
SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Total

Tingkat Keseringan Aktivitas Penyelesaian Masalah
Tidak
Jarang
Biasa
Sering
Sangat
Pernah
Sering
27
8
1
(75,0%)
(22,3%)
(2,8%)
55
18
4
7
1
(64,7%)
(21,1%)
(4,7%)
(8,2%)
(1,2%)
22
18
5
6
(43,1%)
(35,2%)
(9,8%)
(11,8%)
13
8
5
2
(46,4%)
(28,6%)
(17,8%)
(7,2%)
117
52
15
15
1
(58,5%)
(26,0%)
(7,5%)
(7,5%)
(0,5%)

Total
36
(100%)
85
(100%)
51
(100%)
28
(100%)
200
(100%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Keluarga yang relatif sering melakukan perselisihan dengan tetangga
adalah yang bertingkat pendidikan menengah (SMP). Hal ini membuktikan bahwa
pada keluarga tersebut, tingkat kecerdasan intelektual tidak diimbangi dengan
kecerdasan emosional. Kondisi ini justru tidak tampak pada keluarga dengan
tingkat pendidikan rendah (tidak tamat SD dan tamat SD) dan keluarga dengan
tingkat pendidikan tinggi (SMA) karena pola pikir mereka lebih baik untuk
menghindari konflik/perselisihan yang bersifat merusak tatanan sosial yang sudah
terbina.
Tabel 10. Tabulasi Silang Tingkat Keseringan Aktivitas Perselisihan
Berdasarkan Perbedaan Tingkat Pendidikan Keluarga
Tingkat
Pendidikan
Tidak Tamat SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Total

Tidak
Pernah
36
(100,0%)
85
(100,0%)
47
(92,2%)
27
(96,4%)
195
(97,5%)

Tingkat Keseringan Aktivitas Perselisihan
Jarang
Biasa
Sering
-

-

-

Sangat
Sering
-

-

-

-

-

1
(2,0)
1
(3,6%)
2
(1,0%)

1
(2,0%)

-

2
(3,9%)
-

1
(0,5%)

-

2
(1,0%)

Total
36
(100%)
85
(100%)
51
(100%)
28
(100%)
200
(100%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Tabel 11 menjelaskan hubungan antara tingkat keseringan keluarga
berupaya mendapatkan kedudukan sosial dengan tingkat pendidikan keluarga.
Dari sejumlah 36 keluarga dengan tingkat pendidikan terendah (tidak tamat SD)
yang menyatakan tidak pernah dan jarang berupaya mendapatkan kedudukan
sosial sebesar 100%. Keluarga dengan tingkat pendidikan akhir tamat SMA yang
menyatakan tidak pernah dan jarang berupaya mendapatkan kedudukan sosial

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

sebesar 78,6% dari sejumlah 28 keluarga yang menjadi responden dan yang
menyatakan biasa sebesar 21,4%.
Tabel 11. Tabulasi Silang Upaya Mendapatkan Kedudukan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Tingkat Pendidikan Keluarga
Tingkat
Pendidikan
Tidak Tamat
SD
Tamat SD
Tamat SMP
Tamat SMA
Total

Tingkat Keseringan Upaya Mendapatkan Kedudukan Sosial
Tidak
Jarang
Biasa
Sering
Sangat
Pernah
Sering
33
3
(91,7%)
(8,3%)
64
8
13
(75,3%)
(9,5%)
(15,3%)
26
9
15
1
(51,0%)
(17,6%)
(29,5%)
(2,0%)
19
3
6
(67,9%)
(10,7%)
(21,4%)
142
23
34
1
(71,0%)
(11,5%)
(17%)
(0,5%)

Total
36
(100%)
85
(100%)
51
(100%)
28
(100%)
200
(100%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Dengan demikian disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan
keluarga di rumah susun maka semakin sering upaya keluarga untuk mendapatkan
kedudukan sosial. Hal ini karena mayoritas keluarga di rumah susun yang
dominan berpendidikan rendah lebih terfokus perhatiannya pada pekerjaan seharihari sehingga kurang berminat untuk mendapatkan kedudukan sosial di rumah
susun.
Perbedaan Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Lokasi Rumah Susun (PERUMNAS dan PT.IRA)
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 Tentang
Rumah Susun Pasal 1 menyatakan bahwa penyelenggara pembangunan rumah
susun adalah Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, Koperasi, dan Badan Usaha
Milik Swasta yang bergerak dalam bidang pembangunan rumah susun serta
swadaya masyarakat. Dalam hal ini lokasi rumah susun Sukaramai II dikelola oleh
PERUMNAS (pemerintah) dan PT IRA (swasta).
Tabel 12. Hasil Uji Beda Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Lokasi Rumah Susun
Variabel
Aktivitas Kerukunan
Aktivitas Toleransi
Aktivitas Penyelesaian Masalah
Aktivitas Perselisihan
Aktivitas Menguasai Pihak Lain
Aktivitas Mendapatkan Kedudukan Sosial

Nilai Signifikansi
(p)
0,249
0,040
0,918
0,478
0,526
0,444

Kesimpulan
Tidak Ada Perbedaan
Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Hasil uji beda pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial
berdasarkan perbedaan lokasi rumah susun dapat dilihat pada Tabel 12. Dengan
menggunakan tingkat kesalahan 5%, ditemukan perbedaan pola aktivitas toleransi
berdasarkan perbedaan tingkat pendidikan keluarga (p ≤ 0,05), sedangkan pada

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

variabel kerukunan bersama,penyelesaian masalah, perselisihan, aktivitas
menguasai pihak lain dan upaya mendapatkan kedudukan sosial tidak ditemukan
perbedaan pola aktivitas berdasarkan perbedaan lokasi rumah susun (p > 0,05).
Perbedaan tingkat keseringan keluarga melakukan aktivitas toleransi
berdasarkan perbedaan lokasi rumah susun dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Tabulasi Silang Tingkat Keseringan Aktivitas Toleransi
Berdasarkan Perbedaan Lokasi Rumah Susun
Tingkat Keseringan Aktivitas Toleransi
Jarang
Biasa
Sering

Lokasi Rumah
Susun
PERUMNAS

Tidak
Pernah
-

PT.IRA

-

-

Total

-

-

-

39
(21,4%)
2
(11,1%)
41
(20,5%)

121
(66,4%)
12
(66,6%)
133
(66,5%)

Sangat
Sering
22
(12,1%)
4
(22,2%)
26
(13,0%)

Total
182
(100%)
18
(100%)
200
(100%)

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Tampak bahwa keluarga yang tinggal di rumah susun yang dikelola oleh
PT. IRA memiliki tingkat keseringan melakukan aktivitas toleransi lebih tinggi
dibandingkan keluarga yang tinggal di rumah susun yang dikelola oleh
PERUMNAS. Dari 182 keluarga di rumah susun (PERUMNAS), sebanyak 66,4%
menyatakan sering dan 12,1% sangat sering melakukan aktivitas toleransi.
Sedangkan keluarga di rumah susun (PT. IRA) yang menyatakan sering
melakukan aktivitas toleransi sebanyak 66,6% dan sangat sering 22,2% (Tabel
13).
Dengan demikian dapat disimpulkan keluarga yang tinggal di rumah susun
PT. IRA lebih sering melakukan aktivitas toleransi berupa tidak pernah merasa
terganggu dengan kegiatan keagamaan yang dilakukan tetangga dan sering
mengunjungi tetangga pada hari-hari besar keagamaan karena jumlah
penghuninya lebih sedikit sehingga dapat berinteraksi lebih intens.
Perbedaan Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Tipe Rumah Susun (Tipe 21, 36 dan 54)
Hasil uji beda pola perilaku keluarga terhadap lingkungan sosial
berdasarkan perbedaan tipe rumah susun dapat dilihat pada Tabel 14. Tipe rumah
susun yang ada di Kelurahan Sukaramai II dibedakan atas tiga kategori yaitu Tipe
21, Tipe 36 dan Tipe 54. Dengan menggunakan tingkat kesalahan 5%, ditemukan
perbedaan pola aktivitas kerukunan bersama, toleransi dan penyelesaian masalah
berdasarkan perbedaan tipe rumah susun (p ≤ 0,05). Perbedaan pola aktivitas
perselisihan, menguasai pihak lain dan upaya mendapatkan kedudukan sosial
berdasarkan tipe rumah susun tidak ditemukan (p > 0,05).
Tipe rumah yang beraneka ragam telah diterapkan pada perumahan berskala
besar sesuai ketentuan pemerintah tentang komposisi 1:3:6 (Kwanda, 2003),
namun ketiga tipe tersebut dipisahkan pada blok-blok yang berbeda agar nilai jual
tipe rumah besar dapat terpenuhi. Pemisahan tipe rumah tersebut pada blok yang
berbeda memiliki dampak negatif antara lain interaksi sosial antar berbagai
stratifikasi sosial dimungkinkan untuk tidak tercapai (Kwanda, 2003).

Ahmad Windu Utama: Evaluasi Purna Huni Aspek Sosial Lingkungan Pembangunan Rumah Susun (Studi Kasus Pada Rumah
Susun Kelurahan Sukaramai II Kecamatan Medan Area Kota Medan), 2007.
USU e-Repository © 2008

Tabel 14. Hasil Uji Beda Pola Perilaku Keluarga Terhadap Lingkungan Sosial
Berdasarkan Perbedaan Tipe Rumah Susun
Variabel
Aktivitas Kerukunan
Aktivitas Toleransi
Aktivitas Penyelesaian Masalah
Aktivitas Perselisihan
Aktivitas Menguasai Pihak Lain
Upaya Mendapatkan Kedudukan Sosial

Nilai Signifikansi
(p)
0,014
0,000
0,033
0,063
0,163
0,088

Kesimpulan
Ada Perbedaan
Ada Perbedaan
Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan
Tidak Ada Perbedaan

Sumber : Data Primer Diolah; 2006

Perbedaan tingkat keseringan keluarga melakukan aktivitas kerukunan
bersama berdasarkan perbedaan tipe rumah susun dapat dilihat pada Tabel 15.
Tampak bahwa keluarga yang tinggal di rumah susun tipe 21 lebih sering (23,9%)
melakukan aktivitas kerukunan bersama dibandingkan dengan keluarga yang
tinggal di rumah susun tipe 36 dan tipe 54. Hal ini karena bentuk rumah susun tipe
21 yang lebih menyerupai barak dibandingkan dengan bentuk rumah susun secara
umum. Akibatnya keluarga yang tinggal di rumah susun tipe 21 secara fisik lebih
dekat satu sama lain dibandingkan dengan keluarga yang tinggal di rumah susun
tipe 36 dan tipe 54. Mayoritas keluarga yang