Pengaruh Pengetahuan Ibu Terhadap Kurang Kalori Protein Pada Balita
PENGARUH PENGETAHUAN IBU TERHADAP KURANG KALORI PROTEIN PADA
BALITA
M. ARIFIN SIREGAR
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
BAB I. PENDAHULUAN
Hampir semua orang makan setiap kali di rumah mereka masing-masing,
dengan demikian maka perbaikan gizi keluarga adalah pintu gerbang perbaikan gizi
masyarakat, dan pendidikan gizi keluarga merupakaaan kunci pembuka pintu
gerbang itu Di dalam keluarga biasanyaa ibu-ibu berperanan mengatur makanan
keluarga, oleh karena itu ibu-ibu adalah sasaran utama pendidikan gizi keluarga.
Pendidikan gizi keluarga dapat dilakukan dengan cara yang sangat sederhana,
rnisalnya dengan memberikan teladan, dapat pula dilakukan dengan cara yang lebih
khusus misalnya kursus-kursus.
Pengajaran dapat ditujukan kepada perorangan, dapat pula kepada
kelompok, Kalau ibu-ibu merupakan sasaran utama pendidikan, siapakah
pengajarnya? setiap orang yang mengetahui cara mengatasi rintangan jalur pangan
dapat menjadi pengajar, bahkan harus menjadi pengajar. Sebab mengatasi bahaya
gizi kurang adalah kewajiban semua orang. Sering terjadi bahwa perlu dididik orangorang tertentu untuk mengajarkan pengetahuan gizi kepada ibu-ibu dimana mereka
ini d isebut pelatih atau kader.
Pendidikan gizi keluarga khususnya untuk meningkatkan pengetahuan para
ibu bertujuan mengubah perbuatan-perbuatan yang keliru, yang mengakibatkan
bahaya gizi kuran, misalnya dengan memberi pengertian kepada ibu-ibu agar lebih
sering memberi makanan kepada anak-anak dan memberikan tambahan makanan
yang mengandung zat pembangunan ke dalam bubur bagi bayi mereka. Demikian
pula memberi pengertian kepada para suami agar memberi cukup uang kepada istri
mereka, agar dapat membeli cukup makanan yang bergizi tinggi. Pengajaran untuk
mengubah perilaku perlulah memberikan pengetahuan dari pengertian tentang
mengapa sesuatu harus di laksanakan, atas dasar pengetahuan dari pengertiannya
diharapkan mau untuk mengerjakannya.
Perbuatan orang atau ibu-ibu yang kurang benar sering didasarkan atas
keyakinannya yang keliru atas sesuatu hal, yang seakan-akan tidak dapat diubah
dengan pendidikan. Kalau kita dapatkan hal seperti ini haruslah kita cari akal
bagaimana mengubah perbuatannya tanpa mengubah keyakinannya. Misalnya
seorang ibu yang mempunyai keyakinan bahwa anak yang kurus itu dihinggapi dan
diganggu oleh setan, meskipun sesungguhnya ia menderita kurang gizi. Tanpa
mengubah keyakinannya tentang setan, dapat kita ajarkan bahwa untuk mengusir
setan itu. kepada si anak perlu diberikan makanan yang bergizi tinggi.
Sehubungan dengan hal diatas, para ibu sering juga kurang mengetahui
tentang bagamana kecukupan gizi dari anggota keluarganya, apakah ada diantara
anggota keluarga yang masuk kedalam golongan rawan gizi, seperti balita
khususnya. dimana golongan ini mudah sekali terkena penyakit gizi kurang yang
sering disebut dengan KKP (Kekurangan Kalori Protein) yang dapat menyebabkan
penderitaan bahkan kematian bagi bayi tersebut.
BAB II. PERMASALAHAN
“Sejauhmana pengaruh pengetahuan ibu terhadap KKP pada balita?”.
©2004 Digitized by USU digital library
1
BAB III. PEMBAHASAN
Seorang ibu yang hanya tamat Sekolah Dasar belum tentu pengetahuannya
jauh lebih rendah dibanding dengan ibu-ibu yang tamat dari sekolah lanjutan, karena
pengetahuan itu tidak hanya diperoleh dari bangku sekolah, namun pengetahuan
lebih banyak diperoleh dari pengalaman hidup sehari-hari, terutama pengetahuan
ibu tentang gizi, dimana mereka dapat mempero1eh pengetahuan tersebut dari
kursus-kursus masakan dengan jalan mengikuti program PKK, dengan adanya kerja
sama dengan ibu-ibu yang ahli dalam hal mengatur makanan keluarga. Namun
dalam hal ini sering para ibu tidak memperhatikan bagaimana pengetahuannya
sendiri tentang gizi, hal ini mungkin disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti
faktor sosial ekonomi yang rendah, dimana para ibu yang mencari nafkah untuk
kebutuhan sehari-hari dari penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk
kebutuhan yang sangat mendasar saja sehingga dengan sendirinya perhatian
mereka kehal-hal lain semakin berkurang termasuk dalam hal pengetahuan tentang
pengaturan makanan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa banyak juga ibu-ibu yang tidak
mengetahui apakah ada anggota keluarga yang rawan gizi atau tidak, juga sering
hidangan yang dihidangkan tidak seimbang sehingga dapat menimbulkan defisiensi
energi dan defisiensi protein yang disebut dengan penyakit Kurang Kalori dan Protein
(KKP).
Penyakit ini banyak menyerang anak-anak yang sedang mengalami
perkembangan pertumbuhan pesat, anak balita merupakan kelompok yang
menununjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi
yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok
umur yang paling sering memderita KKP. Beberapa kondisi dan anggapan orang tua
dari masyarakat justru merugikan penyediaan mlakanan bagi kelompok balita ini:
a. Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang
dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi.
b. Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi keluarga,
karena belum sanggup ikut dalam membantu menambah kebutuhan hidup
keluarga, baik tenaga maupun kesanggupan kerja penambah keuangan. Anak itu
sudah tidak begitu diperhatikan dari pengurusannya sering diserahkan kepada
saudaranya yang lebih tua, tetapi sering belum cukup umur untuk mempunyai
pengalaman dari ketrampilan untuk mengurus anak dengan baik.
c. Ibu sering mempunyai anak kecil lagi atau sudah bekerja penuh, sehingga tidak
dapat lagi memberikan perhatian kepada anak balita, apalagi mengurusnya.
d. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik, dan belum dapat
berusaha mendapatkan sendiri apa yang ia perlukan untuk makanannya. Kalau
makan bersama dalam keluarga, anak balita masih diberi jatah makanannya dan
kalaupun tidak mencukupi, sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau
mengambil sendiri tambahannya.
e. Anak balita mulai turun ke tanah dan berkenalan dengan berbagai kondisi yang
memberikan infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya belum cukup
mempunyai immunitas atau daya tahan untuk melawan penyakit atau
menghindarkan kondisi lain yang memberikan bahaya kepada dirinya.
Di Indonesia anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi
untuk penyakit KKP. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya
perbaikan gizi dan kesehatannya, karen tidak dapat datang sendiri ke tempat
berkumpul yang ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang sibuk
semua.
Perbaikan gizi kelompok balita dicoba dijangkau melalui program pemberian
makanan tambahan (PMT), taman balita, dan UPGK. Di taman balita diadakan upaya
©2004 Digitized by USU digital library
2
rehabilitasi para penderita KKP dan melatih para ibu dan mereka yang bertanggung
jawab atas urusan balita di dalam keluarga, bagaimana mengurus dan memasak
serta menyediakan makanan bergizi bagi anak balita.
Adapun faktor-faktor penyebab penyakit KKP adalah sebagai berikut: faktor
diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan dan lain-lain.
Peranan Faktor Diet
Menrut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang
protein akan menyebabkan anak menjadi penderita Kwashiorkor. sedangkan diet
kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak
menjadi penderita Marasmus. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan
Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama, pada beberapa
anak timbul gejala-gejala Kwashiorkor, sedangkan pada beberapa anak yang lain
timbul gejala-gejala Marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet merupakan
faktor yang penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat
menjelaskan timbulnya gejala tersebut.
Peranan Faktor Sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun
temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KKP. Ada kalanya pantangan
tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi yang
turun-temurun. Jika pantangan itu di dasarkan kepada keagamaan maka sulit
diubah, tetapi jika pantangan tersebut berlangsung karena kebiasaan, maka dengan
pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terus menerus hal tersebut masih dapat
diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KKP
adalah:
a. Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang mempunyai anak banyak
dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal;
b. Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak, sehingga
dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat memberi cukup makan pada
anggota keluarganya yang besar itu;
c. Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
musim panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang letak
sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak terpaksa
ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian
dari pengobatan sewestinya;
d. Para ibu setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut
tidak mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI walaupun makanan
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Alangkah baiknya jika misalnya
badan-badan yang bergerak dibidang sosial menampung bayi dari anak-anak
kecil yang ditinggal bekerja seharian penuh di balai desa, mesjid, gereja, atau
tempat lain unttuk dirawat dan diberi makan yang cukup dan baik.
Peranan Faktor Infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan
infeksi. Infeksi drajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun
masih ringan, mempunyai pengaruh yang negatif pada daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Hubungan ini sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya
mempunyai konsekuensi yang lebih besar dari pada sendiri-sendiri.
©2004 Digitized by USU digital library
3
Peranan Faktor Kemiskinan
Penyakit KKP merupakan masalah negara-negara miskin dan terutama
merupakan problem bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara tersebut.
Pentingnya kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on
Protein pada tahun 1974. Mereka menganggap kemiskinan merupakan dasar
penyakit KKP. Tidak jarang terjadi bahwa petani miskin menjual tanah miliknya
untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, lalu ia menjadi penggarap yang
menurunkan lagi penghasilannya, atau ia meninggalkan desa untuk mencari nafkah
di kota besar. Dengan penghasilan yang tetap rendah, ketidakmampuan menanam
bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan timbulnya banyak penyakit lnfekisi
karena kepadatan tempat tinggal.
PENCEGAHAN KKP
Banyak orang yang beranggapan bahwa faktor utama pada malnutrisi itu
kemelaratan, sehingga malnutrisi hanya dapat diperbaiki dengan perbaikan status
sosial dan ekonomi masyarakat. Walaupun pendapat tersbut mengandung banyak
kebenaran, ini tidak berarti bahwa para petugas kesehatan lalu menjadi putus asa
dan melepaskan tanggung jawab dalam hal pencegahan KKP.
Tindakan pencegahan KKP bertujuan untuk mengurangi insiden KKP dan
menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Usaha disebut tadi mungkin dapat
ditanggulangi oleh petugas kesehatan tanpa menunggu perbaikan status ekonomi
golongan yang berkepentingan. Akan tetapi tujuan yang lebih luas dalam
pencegahan KKP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental
anak-anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat
bekerja baik dan memiliki kecerdasan yang cukup.
Oleh sebab akar-akar malnutrisi menjalar melampaui jangkauan bldang
kesehatan dan gizi, akan tetapi mengenai pula lingkungan tradisi dan keadaan
ekonomi rakyat, maka inisiatif tunggal dari petugas kesehatan tidak mungkin dapat
mencapai tujuan yang luas ini.
Tindakan pencegahan KKP harus dilaksanakan secara nasional dan hal ini
memerlukan analisa, perencanaan yang luas dan sistematis. Perencanaan program
intervensi sendiri merupakan prosedur yang kompleks dan memerlukan kerjasama
para ahli berbagai bidang dan disiplin seperti ahli-ahli dari departemen kesehatan,
pendidikan, perdagangan, perhubungan dan sebagainya.
Perbaikan status gizi jangka panjang bergantung kepada pemberian makanan
sehari-hari pada anak-anak, yang harus mengandung cukup energi maupun zat-zat
gizi esensial. Masukan (intake) bahan makanan yang kurang maupun berlebihan
terus-menerus akan mengganggu pertimbuhan dan kesehatan anak-anak tersebut
akan tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa kebutuhan tiap orang akan dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti umur, berat badan, jenis kelamin, aktivitasnya, suhu
lingkungan dimana mereka berada, keadaan sakit, dan sebagainya. Terutama pada
anak-anak infestasi parasit dan infeksi kuman dapat mengubah kebutuhan makanan
sehari-hari.
Persediaan dan kebutuhan bahan makanan juga dipengaruhi berbagai faktor,
misalnya keadaan ekonomi, sosial dan polotik. Makan perencanaan yang efektif
memerlukan survei, waktu dan dibicarakan oleh para ahli berulang-ulang.
Perencanaan yang realistis harus didasarkan pada perkiraan persediaan bahan
makanan maupun keperluannya pada waktu yang akan datang.
Adapun berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasal satu
atau lebih dari satu faktor dasar penyebab KKP yaitu:
1. Meningkatkan hasil produksi pertanian supaya persediaan bahan makanan
menjadi yang lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan pengahasilan
©2004 Digitized by USU digital library
4
2.
3.
4.
5.
6.
7.
rakyat seperti dikemukakan Presiden Soeharto pada peresmian pabrik pupuk
fospat (TSP) unit II di Gresik pada tanggal 30 Juli 1983.
Penyediaan makanan formula yang mangandung tinggi protein dan tinggi energi
untuk anak-anak yang disapih. Makanan demikian pada umumnya tidak terdapat
dalam diet tradisi, tetapi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat pada anak-anak berumur 6 bulan keatas. Formula tersebut dapat
diberikan dalam program pemberian makanan tambahan maupun dipasarkan
dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pembuatan makanan demikian
juga dapat diajarkan pada masyarakat sehingga juga merupakan pendidikan gizi.
Memperbaiki infrastruktur pemasaran, infrastruktur pemasaran yang tidak baik
akan berpengaruh negatif terhadap harga maupun kualitas bahan makanan. Hal
ini sudah ditanggulangi pemerintah melalui Bulog.
Subsidi harga bahan makanan. Intervensi demikian bertujuan untuk membantu
mereka yang sangat terbatas penghasilannya. Pada hakekatnya pemerintah
sudah memberikan subsidi yang cukup besar kepada petani melalui program
intensifikasi padi. Oleh proyek bimas dikeluarkan dana antara lain untuk
membiayai kegiatan operasional sepeti pembinaan, penyuluhan, latihan dan
sebagainya.
Pemberian makanan suplementer. Dalam hal ini makanan diberikan .secara
cuma-cuma atau dijiual dengan harga minim. Makanan semacam ini terutama
ditujukan terutama pada anak-anak yang termasuk golongan umur rawan akan
penyakit KKP. Makanan tersebut dapat disediakan pada waktu-waktu tertentu di
Puskesmas maupun diberikan secara periodik untuk dibawa pulang. Cara yang
disebut belakangan ini biasanya kurang manfaatnya karena makanan yan
seharusnya diberikan pada anak-anak yang membutuhkannya, dibagikan kepada
seluruh keluarga atau dijual.
Pendidikan gizi. Tujuan pendidikan gizi ialah untuk mengajar rakyat mengubah
kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara menghidangkan
makanan supaya mereka dan anak-anaknya mendapat makanan yang lebih baik
mutunya. Menurut Hofvandel (1983) pendidikan gizi akan berhasi jika:
a. penduduk diikutsertakan dalam pembuatan rencana, menjalankan rencana
tersebut, serta ikut menilai hasilnya.
b. rencana tersebut tidak banyak kebiasaan yang sudah turun temurun.
c. anjuran cara pemberian makanan yang diulang pada setiap kesempatan dan
situasi.
d. semua pendidik atau mereka yang diberi tugas untuk memberikan
penerangan pada masyarakat yang memberi anjuran yang sama.
e. mendiskusilran anjuran dengan kelompok yang terdiri dari para ibu serta
anggota masyarakat lainnya, sebab keputusan yang diambil oleh satu
kelompok lebih mudah dijalankan daripada seorang ibu saja.
f. pejabat kesehatan, teman-teman, dan anggota keluarga memberikan
bantuan aktif dalam memperaktekkan anjuran itu.
g. orang tua maupun anggota masyarakat lainnya dapat melihat hasil yang
menguntungkan atas praktek anjuran itu.
Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:
a. pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu misalnya di BKIA,
Puskesmas dan posyandu
b. melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang prevalensinya
tinggi.
c. memperbaiki higiene lingkungan dengan menyediakan air minum, tempat
membuang air besar (WC).
d. mendidik rakyat untuk membuang air besar di tempat-tempat tertentu atau di
tempat yang sudah disediakan, memasak air minum, memakai sendal atau
©2004 Digitized by USU digital library
5
sepatu untuk menghindari infeksl dari parasit., membersihkan rumah serta
isinya dan memasang jendela-jendela untuk mendapat hawa segar.
e. menganjurkan rakyat untuk mengunjungi puskesmas secepatnya jika
kesehatannya terganggu.
f. menganjurkan keluarga berencana. Petros Bemazian (1970) berpendapat
bahwa Child spacing merupakan faktor yang sangat penting untuk status gizi
ibu maupun anaknya. Dampak kumulatif kehamilan yang berturut-turut dan
dimulai pada umur muda dalam kehidupan seorang ibu dapat mengakibatkan
deplesi zat-zat gizi orang tersebut.
Intervensi gizi yang berhasil dapat mengurangi jumlah penderita malnutrisi
sehingga merupakan sumbangan yang positif dalam proses perkembangan negara.
Tujuan intervensi gizi meliputi:
a. peningkatan kapasitas kerja;
b. peningkatan kesejahteraan rakyat;
c. pemerataan pendapatan yang lebih baik.
Dampak intervensi akan lebih positif jika "cukup pangan" didefenisikan tidak
saja sebagai "kebutuhan dasar", melainkan sebagai "hak dasar" (Austin, 1981).
Presiden Soeharto pada pembukaan Widyakarya National Pangan dan Gizi
pada tanggal 25 Juli 1983 menekankan bahwa:
“Gizi bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar bertujuan untuk mencapai
Kesehatan jasmani saja, akan tetapi melalui perbaikan makanan dan peninngkatan
gizi juga ingin ditingkatkan kecerdasan bangsa. Pencerdasan kehiduan bangsa tidak
akan cukup hanya elalui pendidikan saia, melainkan pula tidak dapat dipisahkan dari
peningkatan gizi secara mantap".
BAB IV. KESIMPULAN
Pengetahuan Ibu sangat mempengaruhi keadaan gizi dari Balita yang
merupakan salah satu dari kelompok yang rawan gizi. Hal ini dapat diketahui dari
adanya penyakit KKP yang diderita oleh balita yang diakibatkan karena kadaan
pangan yang tidak seimbang pada hidangan makanan sehari-hari, dimana yang
berperanan besar terhadap penyediaan tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga.
Pengetahuan ibu rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial
masyarakat dari keluarga itu sendiri diantaranya adalah penghasilan keluarga yang
minim sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi perhatian ibu terhadap
penyediaan makanan di rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Pujiadi, Solihin, Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta, 1990
Berg, Alan, Nutrition Factor its Role in National Development. (Diterjemahkan Zahara
D. Noer, Rajawali dan Seyogya), CV Rajawali, Jakarta 1986.
Achmad djaeni Sedia Oetama, Ilmu Gizi, Dian Rakyat: Jakarta, Des 1985.
Husaini, Yayah K, Makanan Bayi Bergizi, Gajah Mada University Press, 1986
Wield, Harry Apriadji, Gizi Keluarga, Jakarta 1986.
©2004 Digitized by USU digital library
6
BALITA
M. ARIFIN SIREGAR
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
BAB I. PENDAHULUAN
Hampir semua orang makan setiap kali di rumah mereka masing-masing,
dengan demikian maka perbaikan gizi keluarga adalah pintu gerbang perbaikan gizi
masyarakat, dan pendidikan gizi keluarga merupakaaan kunci pembuka pintu
gerbang itu Di dalam keluarga biasanyaa ibu-ibu berperanan mengatur makanan
keluarga, oleh karena itu ibu-ibu adalah sasaran utama pendidikan gizi keluarga.
Pendidikan gizi keluarga dapat dilakukan dengan cara yang sangat sederhana,
rnisalnya dengan memberikan teladan, dapat pula dilakukan dengan cara yang lebih
khusus misalnya kursus-kursus.
Pengajaran dapat ditujukan kepada perorangan, dapat pula kepada
kelompok, Kalau ibu-ibu merupakan sasaran utama pendidikan, siapakah
pengajarnya? setiap orang yang mengetahui cara mengatasi rintangan jalur pangan
dapat menjadi pengajar, bahkan harus menjadi pengajar. Sebab mengatasi bahaya
gizi kurang adalah kewajiban semua orang. Sering terjadi bahwa perlu dididik orangorang tertentu untuk mengajarkan pengetahuan gizi kepada ibu-ibu dimana mereka
ini d isebut pelatih atau kader.
Pendidikan gizi keluarga khususnya untuk meningkatkan pengetahuan para
ibu bertujuan mengubah perbuatan-perbuatan yang keliru, yang mengakibatkan
bahaya gizi kuran, misalnya dengan memberi pengertian kepada ibu-ibu agar lebih
sering memberi makanan kepada anak-anak dan memberikan tambahan makanan
yang mengandung zat pembangunan ke dalam bubur bagi bayi mereka. Demikian
pula memberi pengertian kepada para suami agar memberi cukup uang kepada istri
mereka, agar dapat membeli cukup makanan yang bergizi tinggi. Pengajaran untuk
mengubah perilaku perlulah memberikan pengetahuan dari pengertian tentang
mengapa sesuatu harus di laksanakan, atas dasar pengetahuan dari pengertiannya
diharapkan mau untuk mengerjakannya.
Perbuatan orang atau ibu-ibu yang kurang benar sering didasarkan atas
keyakinannya yang keliru atas sesuatu hal, yang seakan-akan tidak dapat diubah
dengan pendidikan. Kalau kita dapatkan hal seperti ini haruslah kita cari akal
bagaimana mengubah perbuatannya tanpa mengubah keyakinannya. Misalnya
seorang ibu yang mempunyai keyakinan bahwa anak yang kurus itu dihinggapi dan
diganggu oleh setan, meskipun sesungguhnya ia menderita kurang gizi. Tanpa
mengubah keyakinannya tentang setan, dapat kita ajarkan bahwa untuk mengusir
setan itu. kepada si anak perlu diberikan makanan yang bergizi tinggi.
Sehubungan dengan hal diatas, para ibu sering juga kurang mengetahui
tentang bagamana kecukupan gizi dari anggota keluarganya, apakah ada diantara
anggota keluarga yang masuk kedalam golongan rawan gizi, seperti balita
khususnya. dimana golongan ini mudah sekali terkena penyakit gizi kurang yang
sering disebut dengan KKP (Kekurangan Kalori Protein) yang dapat menyebabkan
penderitaan bahkan kematian bagi bayi tersebut.
BAB II. PERMASALAHAN
“Sejauhmana pengaruh pengetahuan ibu terhadap KKP pada balita?”.
©2004 Digitized by USU digital library
1
BAB III. PEMBAHASAN
Seorang ibu yang hanya tamat Sekolah Dasar belum tentu pengetahuannya
jauh lebih rendah dibanding dengan ibu-ibu yang tamat dari sekolah lanjutan, karena
pengetahuan itu tidak hanya diperoleh dari bangku sekolah, namun pengetahuan
lebih banyak diperoleh dari pengalaman hidup sehari-hari, terutama pengetahuan
ibu tentang gizi, dimana mereka dapat mempero1eh pengetahuan tersebut dari
kursus-kursus masakan dengan jalan mengikuti program PKK, dengan adanya kerja
sama dengan ibu-ibu yang ahli dalam hal mengatur makanan keluarga. Namun
dalam hal ini sering para ibu tidak memperhatikan bagaimana pengetahuannya
sendiri tentang gizi, hal ini mungkin disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti
faktor sosial ekonomi yang rendah, dimana para ibu yang mencari nafkah untuk
kebutuhan sehari-hari dari penghasilan yang diperoleh hanya cukup untuk
kebutuhan yang sangat mendasar saja sehingga dengan sendirinya perhatian
mereka kehal-hal lain semakin berkurang termasuk dalam hal pengetahuan tentang
pengaturan makanan.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa banyak juga ibu-ibu yang tidak
mengetahui apakah ada anggota keluarga yang rawan gizi atau tidak, juga sering
hidangan yang dihidangkan tidak seimbang sehingga dapat menimbulkan defisiensi
energi dan defisiensi protein yang disebut dengan penyakit Kurang Kalori dan Protein
(KKP).
Penyakit ini banyak menyerang anak-anak yang sedang mengalami
perkembangan pertumbuhan pesat, anak balita merupakan kelompok yang
menununjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi
yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok
umur yang paling sering memderita KKP. Beberapa kondisi dan anggapan orang tua
dari masyarakat justru merugikan penyediaan mlakanan bagi kelompok balita ini:
a. Anak balita masih dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang
dewasa, jadi masih memerlukan adaptasi.
b. Anak balita dianggap kelompok umur yang paling belum berguna bagi keluarga,
karena belum sanggup ikut dalam membantu menambah kebutuhan hidup
keluarga, baik tenaga maupun kesanggupan kerja penambah keuangan. Anak itu
sudah tidak begitu diperhatikan dari pengurusannya sering diserahkan kepada
saudaranya yang lebih tua, tetapi sering belum cukup umur untuk mempunyai
pengalaman dari ketrampilan untuk mengurus anak dengan baik.
c. Ibu sering mempunyai anak kecil lagi atau sudah bekerja penuh, sehingga tidak
dapat lagi memberikan perhatian kepada anak balita, apalagi mengurusnya.
d. Anak balita belum dapat mengurus diri sendiri dengan baik, dan belum dapat
berusaha mendapatkan sendiri apa yang ia perlukan untuk makanannya. Kalau
makan bersama dalam keluarga, anak balita masih diberi jatah makanannya dan
kalaupun tidak mencukupi, sering tidak diberi kesempatan untuk minta lagi atau
mengambil sendiri tambahannya.
e. Anak balita mulai turun ke tanah dan berkenalan dengan berbagai kondisi yang
memberikan infeksi atau penyakit lain, padahal tubuhnya belum cukup
mempunyai immunitas atau daya tahan untuk melawan penyakit atau
menghindarkan kondisi lain yang memberikan bahaya kepada dirinya.
Di Indonesia anak kelompok balita menunjukkan prevalensi paling tinggi
untuk penyakit KKP. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya
perbaikan gizi dan kesehatannya, karen tidak dapat datang sendiri ke tempat
berkumpul yang ditentukan tanpa diantar, padahal yang mengantar sedang sibuk
semua.
Perbaikan gizi kelompok balita dicoba dijangkau melalui program pemberian
makanan tambahan (PMT), taman balita, dan UPGK. Di taman balita diadakan upaya
©2004 Digitized by USU digital library
2
rehabilitasi para penderita KKP dan melatih para ibu dan mereka yang bertanggung
jawab atas urusan balita di dalam keluarga, bagaimana mengurus dan memasak
serta menyediakan makanan bergizi bagi anak balita.
Adapun faktor-faktor penyebab penyakit KKP adalah sebagai berikut: faktor
diet, faktor sosial, kepadatan penduduk, infeksi, kemiskinan dan lain-lain.
Peranan Faktor Diet
Menrut konsep klasik, diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang
protein akan menyebabkan anak menjadi penderita Kwashiorkor. sedangkan diet
kurang energi walaupun zat-zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak
menjadi penderita Marasmus. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Gopalan dan
Narasnya (1971) terlihat bahwa dengan diet yang kurang-lebih sama, pada beberapa
anak timbul gejala-gejala Kwashiorkor, sedangkan pada beberapa anak yang lain
timbul gejala-gejala Marasmus. Mereka membuat kesimpulan bahwa diet merupakan
faktor yang penting, tetapi ada faktor lain yang masih harus dicari untuk dapat
menjelaskan timbulnya gejala tersebut.
Peranan Faktor Sosial
Pantangan untuk menggunakan bahan makanan tertentu yang sudah turun
temurun dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KKP. Ada kalanya pantangan
tersebut didasarkan pada keagamaan, tetapi ada pula yang merupakan tradisi yang
turun-temurun. Jika pantangan itu di dasarkan kepada keagamaan maka sulit
diubah, tetapi jika pantangan tersebut berlangsung karena kebiasaan, maka dengan
pendidikan gizi yang baik dan dilakukan terus menerus hal tersebut masih dapat
diatasi. Faktor-faktor sosial lain yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit KKP
adalah:
a. Perceraian yang sering terjadi antara wanita yang mempunyai anak banyak
dengan suaminya yang merupakan pencari nafkah tunggal;
b. Para pria dengan penghasilan kecil mempunyai banyak istri dan anak, sehingga
dengan pendapatan yang kecil ia tidak dapat memberi cukup makan pada
anggota keluarganya yang besar itu;
c. Para ibu mencari nafkah tambahan pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada
musim panen mereka pergi memotong padi para pemilik sawah yang letak
sawahnya jauh dari tempat tinggal para ibu tersebut. Anak-anak terpaksa
ditinggalkan di rumah sehingga jatuh sakit dan mereka tidak mendapat perhatian
dari pengobatan sewestinya;
d. Para ibu setelah melahirkan menerima pekerjaan tetap sehingga harus
meninggalkan bayinya dari pagi sampai sore. Dengan demikian, bayi tersebut
tidak mendapat ASI sedangkan pemberian pengganti ASI walaupun makanan
tambahan tidak dilakukan dengan semestinya. Alangkah baiknya jika misalnya
badan-badan yang bergerak dibidang sosial menampung bayi dari anak-anak
kecil yang ditinggal bekerja seharian penuh di balai desa, mesjid, gereja, atau
tempat lain unttuk dirawat dan diberi makan yang cukup dan baik.
Peranan Faktor Infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergistis antara malnutrisi dan
infeksi. Infeksi drajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Malnutrisi, walaupun
masih ringan, mempunyai pengaruh yang negatif pada daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Hubungan ini sinergistis, sebab malnutrisi disertai infeksi pada umumnya
mempunyai konsekuensi yang lebih besar dari pada sendiri-sendiri.
©2004 Digitized by USU digital library
3
Peranan Faktor Kemiskinan
Penyakit KKP merupakan masalah negara-negara miskin dan terutama
merupakan problem bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara tersebut.
Pentingnya kemiskinan ditekankan dalam laporan Oda Advisory Committee on
Protein pada tahun 1974. Mereka menganggap kemiskinan merupakan dasar
penyakit KKP. Tidak jarang terjadi bahwa petani miskin menjual tanah miliknya
untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, lalu ia menjadi penggarap yang
menurunkan lagi penghasilannya, atau ia meninggalkan desa untuk mencari nafkah
di kota besar. Dengan penghasilan yang tetap rendah, ketidakmampuan menanam
bahan makanan sendiri, ditambah pula dengan timbulnya banyak penyakit lnfekisi
karena kepadatan tempat tinggal.
PENCEGAHAN KKP
Banyak orang yang beranggapan bahwa faktor utama pada malnutrisi itu
kemelaratan, sehingga malnutrisi hanya dapat diperbaiki dengan perbaikan status
sosial dan ekonomi masyarakat. Walaupun pendapat tersbut mengandung banyak
kebenaran, ini tidak berarti bahwa para petugas kesehatan lalu menjadi putus asa
dan melepaskan tanggung jawab dalam hal pencegahan KKP.
Tindakan pencegahan KKP bertujuan untuk mengurangi insiden KKP dan
menurunkan angka kematian sebagai akibatnya. Usaha disebut tadi mungkin dapat
ditanggulangi oleh petugas kesehatan tanpa menunggu perbaikan status ekonomi
golongan yang berkepentingan. Akan tetapi tujuan yang lebih luas dalam
pencegahan KKP ialah memperbaiki pertumbuhan fisik dan perkembangan mental
anak-anak Indonesia sehingga dapat menghasilkan manusia Indonesia yang dapat
bekerja baik dan memiliki kecerdasan yang cukup.
Oleh sebab akar-akar malnutrisi menjalar melampaui jangkauan bldang
kesehatan dan gizi, akan tetapi mengenai pula lingkungan tradisi dan keadaan
ekonomi rakyat, maka inisiatif tunggal dari petugas kesehatan tidak mungkin dapat
mencapai tujuan yang luas ini.
Tindakan pencegahan KKP harus dilaksanakan secara nasional dan hal ini
memerlukan analisa, perencanaan yang luas dan sistematis. Perencanaan program
intervensi sendiri merupakan prosedur yang kompleks dan memerlukan kerjasama
para ahli berbagai bidang dan disiplin seperti ahli-ahli dari departemen kesehatan,
pendidikan, perdagangan, perhubungan dan sebagainya.
Perbaikan status gizi jangka panjang bergantung kepada pemberian makanan
sehari-hari pada anak-anak, yang harus mengandung cukup energi maupun zat-zat
gizi esensial. Masukan (intake) bahan makanan yang kurang maupun berlebihan
terus-menerus akan mengganggu pertimbuhan dan kesehatan anak-anak tersebut
akan tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa kebutuhan tiap orang akan dipengaruhi
oleh faktor-faktor seperti umur, berat badan, jenis kelamin, aktivitasnya, suhu
lingkungan dimana mereka berada, keadaan sakit, dan sebagainya. Terutama pada
anak-anak infestasi parasit dan infeksi kuman dapat mengubah kebutuhan makanan
sehari-hari.
Persediaan dan kebutuhan bahan makanan juga dipengaruhi berbagai faktor,
misalnya keadaan ekonomi, sosial dan polotik. Makan perencanaan yang efektif
memerlukan survei, waktu dan dibicarakan oleh para ahli berulang-ulang.
Perencanaan yang realistis harus didasarkan pada perkiraan persediaan bahan
makanan maupun keperluannya pada waktu yang akan datang.
Adapun berbagai macam cara intervensi gizi, masing-masing untuk mengatasal satu
atau lebih dari satu faktor dasar penyebab KKP yaitu:
1. Meningkatkan hasil produksi pertanian supaya persediaan bahan makanan
menjadi yang lebih banyak, yang sekaligus merupakan tambahan pengahasilan
©2004 Digitized by USU digital library
4
2.
3.
4.
5.
6.
7.
rakyat seperti dikemukakan Presiden Soeharto pada peresmian pabrik pupuk
fospat (TSP) unit II di Gresik pada tanggal 30 Juli 1983.
Penyediaan makanan formula yang mangandung tinggi protein dan tinggi energi
untuk anak-anak yang disapih. Makanan demikian pada umumnya tidak terdapat
dalam diet tradisi, tetapi sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang
meningkat pada anak-anak berumur 6 bulan keatas. Formula tersebut dapat
diberikan dalam program pemberian makanan tambahan maupun dipasarkan
dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat. Pembuatan makanan demikian
juga dapat diajarkan pada masyarakat sehingga juga merupakan pendidikan gizi.
Memperbaiki infrastruktur pemasaran, infrastruktur pemasaran yang tidak baik
akan berpengaruh negatif terhadap harga maupun kualitas bahan makanan. Hal
ini sudah ditanggulangi pemerintah melalui Bulog.
Subsidi harga bahan makanan. Intervensi demikian bertujuan untuk membantu
mereka yang sangat terbatas penghasilannya. Pada hakekatnya pemerintah
sudah memberikan subsidi yang cukup besar kepada petani melalui program
intensifikasi padi. Oleh proyek bimas dikeluarkan dana antara lain untuk
membiayai kegiatan operasional sepeti pembinaan, penyuluhan, latihan dan
sebagainya.
Pemberian makanan suplementer. Dalam hal ini makanan diberikan .secara
cuma-cuma atau dijiual dengan harga minim. Makanan semacam ini terutama
ditujukan terutama pada anak-anak yang termasuk golongan umur rawan akan
penyakit KKP. Makanan tersebut dapat disediakan pada waktu-waktu tertentu di
Puskesmas maupun diberikan secara periodik untuk dibawa pulang. Cara yang
disebut belakangan ini biasanya kurang manfaatnya karena makanan yan
seharusnya diberikan pada anak-anak yang membutuhkannya, dibagikan kepada
seluruh keluarga atau dijual.
Pendidikan gizi. Tujuan pendidikan gizi ialah untuk mengajar rakyat mengubah
kebiasaan mereka dalam menanam bahan makanan dan cara menghidangkan
makanan supaya mereka dan anak-anaknya mendapat makanan yang lebih baik
mutunya. Menurut Hofvandel (1983) pendidikan gizi akan berhasi jika:
a. penduduk diikutsertakan dalam pembuatan rencana, menjalankan rencana
tersebut, serta ikut menilai hasilnya.
b. rencana tersebut tidak banyak kebiasaan yang sudah turun temurun.
c. anjuran cara pemberian makanan yang diulang pada setiap kesempatan dan
situasi.
d. semua pendidik atau mereka yang diberi tugas untuk memberikan
penerangan pada masyarakat yang memberi anjuran yang sama.
e. mendiskusilran anjuran dengan kelompok yang terdiri dari para ibu serta
anggota masyarakat lainnya, sebab keputusan yang diambil oleh satu
kelompok lebih mudah dijalankan daripada seorang ibu saja.
f. pejabat kesehatan, teman-teman, dan anggota keluarga memberikan
bantuan aktif dalam memperaktekkan anjuran itu.
g. orang tua maupun anggota masyarakat lainnya dapat melihat hasil yang
menguntungkan atas praktek anjuran itu.
Pendidikan dan pemeliharaan kesehatan:
a. pemeriksaan kesehatan pada waktu-waktu tertentu misalnya di BKIA,
Puskesmas dan posyandu
b. melakukan imunisasi terhadap penyakit-penyakit infeksi yang prevalensinya
tinggi.
c. memperbaiki higiene lingkungan dengan menyediakan air minum, tempat
membuang air besar (WC).
d. mendidik rakyat untuk membuang air besar di tempat-tempat tertentu atau di
tempat yang sudah disediakan, memasak air minum, memakai sendal atau
©2004 Digitized by USU digital library
5
sepatu untuk menghindari infeksl dari parasit., membersihkan rumah serta
isinya dan memasang jendela-jendela untuk mendapat hawa segar.
e. menganjurkan rakyat untuk mengunjungi puskesmas secepatnya jika
kesehatannya terganggu.
f. menganjurkan keluarga berencana. Petros Bemazian (1970) berpendapat
bahwa Child spacing merupakan faktor yang sangat penting untuk status gizi
ibu maupun anaknya. Dampak kumulatif kehamilan yang berturut-turut dan
dimulai pada umur muda dalam kehidupan seorang ibu dapat mengakibatkan
deplesi zat-zat gizi orang tersebut.
Intervensi gizi yang berhasil dapat mengurangi jumlah penderita malnutrisi
sehingga merupakan sumbangan yang positif dalam proses perkembangan negara.
Tujuan intervensi gizi meliputi:
a. peningkatan kapasitas kerja;
b. peningkatan kesejahteraan rakyat;
c. pemerataan pendapatan yang lebih baik.
Dampak intervensi akan lebih positif jika "cukup pangan" didefenisikan tidak
saja sebagai "kebutuhan dasar", melainkan sebagai "hak dasar" (Austin, 1981).
Presiden Soeharto pada pembukaan Widyakarya National Pangan dan Gizi
pada tanggal 25 Juli 1983 menekankan bahwa:
“Gizi bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar bertujuan untuk mencapai
Kesehatan jasmani saja, akan tetapi melalui perbaikan makanan dan peninngkatan
gizi juga ingin ditingkatkan kecerdasan bangsa. Pencerdasan kehiduan bangsa tidak
akan cukup hanya elalui pendidikan saia, melainkan pula tidak dapat dipisahkan dari
peningkatan gizi secara mantap".
BAB IV. KESIMPULAN
Pengetahuan Ibu sangat mempengaruhi keadaan gizi dari Balita yang
merupakan salah satu dari kelompok yang rawan gizi. Hal ini dapat diketahui dari
adanya penyakit KKP yang diderita oleh balita yang diakibatkan karena kadaan
pangan yang tidak seimbang pada hidangan makanan sehari-hari, dimana yang
berperanan besar terhadap penyediaan tersebut adalah ibu-ibu rumah tangga.
Pengetahuan ibu rumah tangga sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial
masyarakat dari keluarga itu sendiri diantaranya adalah penghasilan keluarga yang
minim sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi perhatian ibu terhadap
penyediaan makanan di rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Pujiadi, Solihin, Ilmu Gizi Klinis pada Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta, 1990
Berg, Alan, Nutrition Factor its Role in National Development. (Diterjemahkan Zahara
D. Noer, Rajawali dan Seyogya), CV Rajawali, Jakarta 1986.
Achmad djaeni Sedia Oetama, Ilmu Gizi, Dian Rakyat: Jakarta, Des 1985.
Husaini, Yayah K, Makanan Bayi Bergizi, Gajah Mada University Press, 1986
Wield, Harry Apriadji, Gizi Keluarga, Jakarta 1986.
©2004 Digitized by USU digital library
6