3. Pengelolaan Small Scale Forest SSF di Indonesia
Kondisi hutan alam di Indonesia yang terfragmentasi memperlihatkan kenyataan bahwa sangat sulit membuat sebuah unit manajemen utuh dan kompak dengan
tegakan hutan yang luas. Tegakan-tegakan yang ada, hanya ada dalam bentuk luasan yang kecil sampai ratusan hektar bahkan mungkin hanya sampai puluhan
hektar saja. Secara ekologis dan kepentingan social, hutan dengan luasan puluhan sampai
ratusan hektar tidak menjadi masalah. Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah ketika hutan dengan luasan kecil ini harus memberikan hasil berupa kayu.
Undang-undang No 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa berdasarkan status kepemilikannya dikenal hutan negara dan hutan milik. Hutan negara adalah
kawasan hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik, sedangkan hak milik adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak
milik, yang dalam penjelasan hutan milik ini lazim disebut dengan hutan rakyat. Krisis ekonomi yang menghancurkan sebagian dunia usaha, ternyata tidak untuk
perekonomian masyarakat pertanian dan kehutanan. Bahkan di negara AS pun, menurut Bliss 2003, pada saat perubahan kondisi sosial ekonomi global tak bisa
dihindari, hutan keluarga di AS sangat dibutuhkan keberadaanya. Praktek pengelolaan hutan dalam luasan yang kecil sebenarnya telah ada sejak
lama di Indonesia. Sebuah keluarga misalnya pernah memiliki hutan jati dengan luas puluhan hektar, bisa juga disebut dengan ”family forest”. Hutan-hutan yang
dimiliki tersebut tidak selalu kompak tetapi terpisah-pisah lokasinya, bahkan ada juga yang hanya berupa tegakan sebagai pembatas tanah. Dalam
perkembangannya kemudian hutan-hutan yang demikian disebut juga hutan rakyat.
Hutan rakyat didefinisikan sebagai hutan yang dibangun pada lahan milik atau gabungan dari lahan milik yang ditanami pohon-pohon, yang pembinaannya dan
pengelolaannya dilakukan oleh pemiliknya atau oleh suatu badan usaha seperti
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil Small Scale Forest Management, 2009 USU e-Repository © 2009
koperasi, dengan berpedoman kepada ketentuan yang digariskan oleh pemerintah Alrasyid 1979.
Beberapa negara di dunia telah melaksanakan pengelolaan hutan skala kecil dan terbukti berhasil. Seperti pengalaman di Papua Nugini, Bolivia, Inggris dan
Brazil dapat dijadikan perbandingan jika ingin menerapkan pengelolaan hutan skala kecil di Indonesia.
Melihat pengalaman penerapan system TPTI dalam pengelolaan hutan alam yang tidak berhasil, perlu peninjauan ulang prinsip-prinsip system TPTI. Sistem
TPTI ini akan sulit diterapkan dalam hutan skala kecil, karena harus menebang pohon dengan diameter tertentu dan meninggalkan sejumlah pohon tertentu.
Namun demikian keberadaan pengelolaan hutan dalam skala besar tetap diperlukan, karena kehadirannya menjamin kontinuitas aliran income dari
penjualan kayu bagi pemilik hutan melalui pembelian hasil SSF; juga membantu dalam pemeliharaan infrastruktur di daerah-daerah terpencil. Selain itu juga
dapat berperan dalam mengawali pembentukan kerjasama antara pemilik hutan skala kecil Hyttinen, 2002.
Seperti dalam penelitian yang dilakukan Purnomo et al di Gunung Lumut- Indonesia tahun 2004, bahwa dalam sistem colaborative forest management
masih sangat memerlukan peran Pemerintah Dinas Kehutanan Kabupaten dan perusahaan pemegang konsesi yang lebih luas dalam penyediaan permodalan,
peralatan berat dan infrastruktur jalan bagi masyarakat untuk mengakses hutan. Colaborative forest management ini dilakukan melalui pemberian konsesi pada
masyarakat dengan aturan tersendiri misalnya dalam ijin pemungutan dan pemanfaatan kayu.
Mengingat secara ekonomis, hutan skala kecil alam dengan system TPTI murni sulit dilakukan; maka pengelolaan hutan skala kecil dapat dilakukan dengan
pengelolaan yang intensif, dan tidak menggantungkan pada kemampuan hutan
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil Small Scale Forest Management, 2009 USU e-Repository © 2009
untuk mengelola ekosistemnya sendiri. Dengan demikian pilihan pembangunan hutan skala kecil lebih layak dilakukan di hutan seumur.
Beberapa pertimbangan yang harus diperhatikan dalam mengelola hutan dalam luasan kecil antara lain :
1. Ukuran luas minimal Luasan minimal terkait dengan kekontinuan usaha pengelolaan hutan.
Misalnya jika pemilik hutan mengusahakan pohon dengan usia masak tebang 25 tahun, maka selama dalam jangka pengelolaan 25 tahun ini setipa
tahunnya harus memberikan hasil yang sama kepada pemilik. Hasil yang diperoleh dalam satu tahun, minimal harus sama dengan jumlah
biaya yang dikeluarkan oleh pemilik hutan dalam mengelola tegakannya. Biaya-biaya yang diperlukan dapat dikelompokkan ke dalam 1 biaya
pembangunan hutan, 2 biaya pemeliharaan hutan, 3 biaya pemanenan hutan dan pengangkutan, 4 biaya manajemen, serta 4 pajak yang harus
dibayarkan kepada negara. Pembiayaan per unit luas akan lebih rendah jika luas hutan yang dikelola lebih besar.
2. Metode pengaturan hasil Dengan anggapan bahwa tegakan yang dikelola adalah berupa hutan
tanaman, maka metode pengaturan hasil yang digunakan adalah ettat luas yang ditentukan dengan membagi luas hutan skala kecil dibagi dengan daur
tanaman pokoknya. 3. Metode pemanenan
Melihat pengalaman di Papua Nugini, maka sebaiknya pemanenan dilakukan dengan membawa alat pengolah kayu gergajian ke dalam hutan, sehingga dari
segi ekonomis tidak perlu biaya angkut yang lebih besar. Selain itu secara ekologis tidak terlalu banyak jumlah biomassa yang dikeluarkan dari dalam
hutan.
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil Small Scale Forest Management, 2009 USU e-Repository © 2009
Di desa-desa di sebagian wilayah P Jawa telah dikenal sawmill kecil yang dapat berpindah-pindah lokasi. Demikian juga jika melihat cara kerja dari
para pelaku illegal loging sudah menggunakan metode ini. Dengan demikian juga, kendala jauh dari perusahaan sawmill dapat diatasi dengan adanya
sawmill yang portable ini.
Distribusi dan Pengalokasian Lahan Hutan
Pada masanya, hutan-hutan dimiliki oleh penguasa sebuah negara terutama di daratan Eropa. Seiring berubahnya waktu dan perkembangan sistem
pemerintahan dan tata pergaulan dunia, maka terjadi perubahan dalam penguasaan lahan hutan. Seperti misalnya di negara-negara di Eropa dimana
pengelolaan SSF dimulai dengan munculnya demokrasi, yang membawa implikasi terpecah-pecahnya kepemilikan lahan hutan dari skala besar, dan
pemerintah membagi lahan hutan ke kepemilikan pribadi Horison et al, 2002. Di Indonesia, pembagian tanah-tanah negara dilakukan dalam program
transmigrasi, dimana peserta diberikan tanah seluas 2.5 hektar dengan rumah dan pekarangannnya, dengan ketentuan bahwa lahan tersebut dijadikan lahan
pertanian. Kebijaksanaan ini, memiliki peluang berhasil untuk diterapkan dalam
pembangunan hutan skala kecil SSF. Misalnya dalam program transmigrasi satu wilayah, dimana pesertanya mendapatkan lahan untuk budidaya tanaman
kehutanan disebut dengan transmigrasi SSF. Kepemilikan hutan keluarga sangat sesuai selain hutan rakyat, mengingat daur
jenis-jenis kayu bernilai cukup panjang, dengan harapan pengelolaan hutan keluarga SSF akan dilanjutkan oleh keluarga. Dalam budaya masyarakat
Indonesia , etos dan semangat kerja akan besar jika kelak apa yang dihasilkan akan dinikmati oleh generasi penerus keluarganya. Hal ini seperti di AS dimana
keluarga yang memiliki hutan walaupun tinggal di perkotaan masih mengunjungi
Samsuri : Pengelolaan Hutan Skala kecil Small Scale Forest Management, 2009 USU e-Repository © 2009
pertanian kakek neneknya, atau menebang kayu bakar di hutan keluarga, tetapi sebagian masih tinggal Bliss, 2002.
Sistem Plasma dan Inti
Jika di negara lain menerapkan pembagian hutan ke dalam skala kecil melalui kepemilikan hutan, maka di Indonesia dapat dikatakan telah menerapkan prinsip
ini dalam manajemen perkebunan melalui sistem inti plasma, di mana petani- petani kecil mengelola perkebunan dalam skala kecil dan kemudian bergabung
dalam suatu serikat untuk menjual produk perkebunannya. Pada umumnya petani-petani kebun ini dibina oleh sebuah perusahaan perkebunan besar dan
sekaligus menampung produk petani-petani kecil tersebut. Prinsip ini sebenarnya berpeluang diterapkan juga dalam model pengelolaan
hutan skala kecil, di mana pemilikipengelola hutan yang diberikan hak mengusahakan hutan seluas 51 sebagai plasma. Pemerintah atau Badan Usaha
Milik Negara menjadi inti yang bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pembelian produk-produk dari hutan skala kecil. Metode ini juga bisa digunakan
sebagai cara untuk menanggulangi illegall loging yang selama ini disinyalir menyebabkan kerusakan hutan.
Dalam program pemerataan penduduk di Indonesia selain untuk perluasan tahan pertanian juga dapat digunakan untuk mengembangkan SSF di Indonesia.
Transmigrans hendaknya dijadikan plasma dalam model ini, yang berkumpul menjadi satu inti misalnya dalam satu blok areal transmigrasi.
4. Perencanaan Pengelolan Small Scale Forest SSF