Bacterial leaf blight resistance and productivity performance of rice on single and mixture planting

(1)

KETAHANAN TERHADAP HAWAR DAUN BAKTERI DAN

KERAGAAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH YANG

DITANAM TUNGGAL DAN CAMPURAN

TRI HASTINI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(2)

DITANAM TUNGGAL DAN CAMPURAN

TRI HASTINI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2012


(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri dan Keragaan Produktivitas Padi Sawah yang Ditanam Tunggal dan Campuran adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2012

Tri Hastini


(4)

TRI HASTINI. Bacterial Leaf Blight Resistance and Productivity Performance of Rice on Single and Mixture Planting. Supervised by HAJRIAL ASWIDINNOOR, DESTA WIRNAS and ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

The core of Indonesian agricultural development policy is to meet the demand of rice as staple food. The improved varieties which have been used still faced constraints such as abiotic and biotic stress. One of the important biotic stress is Bacterial Leaf Blight disease caused by Xanthomonas oryzae pv.oryzae. According to the previous research, mixture varieties planting could reduce disease intensity and increase the yield. The aim of this research was to find out the genotype that resistance to BLB, yield stability, genetic variability and other characters stability on single and mixture planting. The experiment used 17 genotypes as treatments which consisted of 7 cultivars and 10 cultivar mixtures with different resistance to BLB background. The trial was designed in Randomized Complete Block Design and replicated three times. The trial was conducted during two seasons in Majalengka and Pacitan. The characters observed were Bacterial Leaf Blight spreading, plant height, number of panicle per hill, number of well-filled grain per panicle, number of unfilled grain per panicle, number of total grain per panicle, 1000 grains weight, well-filled grain percentage, yield per ha and sink size. The disease spreading data was used to analyze the first appearance of disease, disease incidence, disease severity and Area Under Disease Progress Curve (AUDPC). The yield data was used to analyze yield stability and genetic parameters, while agronomic characters data was used to analyze the difference between two seasons and between single and mixture genotype using t test. According to the result of analysis, there was no difference between single and mixture genotype on the first appearance of disease, disease incidence, disease severity and AUDPC. The result of combine and stability analysis showed that genotype, season and their interactions influenced the yield; and the stable, unstable and specific single and mixture genotype could be determined. According to t test to other characters, there was no difference between single and mixture genotype. Based on the result of the analysis, the effect of mixture to reduce the Bacterial Leaf Blight disease and to increase the yield has not been known yet.


(5)

RINGKASAN

TRI HASTINI. Ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri dan Keragaan Produktivitas Padi Sawah yang Ditanam Tunggal dan Campuran. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR, DESTA WIRNAS dan ABDJAD ASIH NAWANGSIH.

Permintaan padi sebagai makanan pokok penduduk Indonesia sangat tinggi. Pemenuhan kecukupan pangan pokok menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia. Salah satu cara untuk memenuhi kecukupan pangan tersebut dengan penanaman varietas unggul. Penanaman varietas unggul seringkali mengalami kendala berupa cekaman abiotik dan cekaman biotik. Salah satu cekaman biotik pada tanaman padi saat ini adalah penyakit Hawar Daun Bakteri (HDB) yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae

(Xoo). HDB dapat mengakibatkan kerugian hingga 50% bahkan puso. Selama ini penanggulangan HDB terutama dilakukan dengan cara penanaman varietas yang tahan, namun ketahanan tersebut mudah patah di lapangan karena bakteri Xoo

sangat mudah bermutasi membentuk strain baru.

Penggunaan genotipe campuran dalam menurunkan laju perkembangan penyakit telah dicoba pada beberapa tanaman pangan seperti gandum, barley dan padi. Penanaman genotipe campuran tersebut mampu menurunkan keparahan penyakit dan meningkatkan hasil. Penanaman genotipe campuran pada tanaman padi diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mengendalikan penyakit HDB.

Hasil penelitian pada empat lingkungan diperoleh informasi tidak terdapat perbedaan kemunculan pertama penyakit, keparahan penyakit dan Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) antara genotipe tunggal dan campuran. Perbedaan terjadi antar musim tanam, dimana pada musim hujan terlihat keparahan penyakit lebih tinggi.

Analisis gabungan dan analisis stabilitas model Additive Main Effect and Multiplicative Interaction (AMMI) memberikan informasi bahwa semua sumber keragaman berpengaruh terhadap hasil kecuali ulangan/lokasi*musim. Hasil analisis AMMI menunjukan terdapat genotipe tunggal dan campuran yang tergolong stabil, tidak stabil dan spesifik. Produktivitas pada genotipe campuran setara dengan produktivitas pada genotipe tunggal. Selanjutnya diketahui bahwa


(6)

Analisis terhadap karakter pengamatan yang lain memberikan informasi yang sama. Tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran pada karakter tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuran sink. Berdasar uji t, perbedaan hanya terlihat antara musim kemarau dan musim hujan.

Berdasar analisis terhadap penyakit, stabilitas hasil serta karakter pengamatan yang lain dapat diketahui tidak ada pola yang spesifik ada genotipe tunggal maupun campuran. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pencampuran tidak mempengaruhi intensitas penyakit, stabilitas hasil dan nilai pengamatan karakter lainnya.


(7)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

NIM : A253100121

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua

Dr. Desta Wirnas, S.P., M.Si. Anggota

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi

Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(9)

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dipilih adalah ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri dan keragaan produktivitas padi sawah yang ditanam secara tunggal dan campuran. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 dan berakhir bulan Maret 2012. Judul karya ilmiah ini adalah Ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri dan Keragaan Produktivitas Padi Sawah yang Ditanam Tunggal dan Campuran.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. dan Dr. Desta Wirnas, S.P., M.Si., serta Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si., yang telah banyak memberikan saran. Terima kasih kepada Dr. Reflinur Basyirin dan Tinche yang telah meluangkan waktu untuk mengoreksi penulisan abstract. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan dana dan kesempatan studi, program I-HERE B.2c yang membantu pendanaan dalam penelitian, rekan-rekan teknisi dan penyuluh pertanian di lapangan yang membantu jalannya penelitian dan petani yang menyediakan lahan untuk percobaan serta rekan-rekan seperjuangan PBT 2010. Tidak lupa terima kasih kepada suami, orang tua, anak-anak, Ibu Uki yang telah mengasuh anak-anak serta seluruh keluarga atas pengertian, dukungan moral dan doanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2012


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pacitan pada tanggal 17 Desember 1971 dari ayah Danoeri dan ibu Rusmiatun. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pada tahun 2004 penulis menikah dengan Mujiaman Manik dan dikaruniai dua putra yaitu Dzaky Muhammad Dzakir Damanik dan Hilmi Muhammad Faruq Damanik.

Tahun 1992 penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung dan lulus pada tahun 1997. Tahun 2010 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan pascasarjana dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat sejak tahun 2002, dengan bidang kajian Sumberdaya.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Padi... 5

Penyakit HDB dan Pengaruhnya terhadap Hasil Padi Sawah... 6

Mekanisme Pertahanan Tanaman Padi terhadap HDB ... 8

Peran Pencampuran Varietas dalam Menekan Perkembangan Penyakit ... 9

Stabilitas Produktivitas dan Keragaman Varietas Campuran ... 11

PENGARUH PENCAMPURAN GENOTIPE PADI SAWAH TERHADAP PERKEMBANGAN HAWAR DAUN BAKTERI Abstrak ... 15

Abstract ... 16

Pendahuluan ... 17

Bahan dan Metode... 19

Hasil dan Pembahasan... 22

Kesimpulan ... 29

Daftar Pustaka ... 29

PENGARUH PENCAMPURAN TERHADAP BEBERAPA KARAKTER AGRONOMI PADI SAWAH Abstrak ... 33

Abstract ... 34

Pendahuluan ... 35

Bahan dan Metode... 36

Hasil dan Pembahasan... 38

Kesimpulan ... 44


(13)

ii STABILITAS DAN NILAI PARAMETER GENETIK PRODUKTIVITAS PADI SAWAH GENOTIPE TUNGGAL DAN CAMPURAN

Abstrak ... 47

Abstract ... 48

Pendahuluan ... 49

Bahan dan Metode... 51

Hasil dan Pembahasan... 55

Kesimpulan ... 60

Daftar Pustaka ... 61

PEMBAHASAN UMUM ... 63

KESIMPULAN DAN SARAN... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 69


(14)

Halaman

1 Materi yang digunakan dalam percobaan ... 20

2 Skala keparahan penyakit... 22

3 Kemunculan pertama penyakit di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH (hss)... 23

4 Total nilai AUDPC di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH ... 27

5 Materi yang digunakan dalam percobaan ... 36

6 Ringkasan hasil anova gabungan pada genotipe tunggal ... 38

7 Ringkasan hasil anova gabungan pada genotipe campuran ... 39

8 Rata-rata pengamatan genotipe tunggal MK II dan MH di Majalengka dan hasil ujit... 40

9 Rata-rata pengamatan genotipe tunggal MK II dan MH di Pacitan dan hasil ujit... 40

10 Rata-rata pengamatan genotipe campuran MK II dan MH di Majalengka dan hasil ujit... 41

11 Rata-rata pengamatan genotipe campuran MK II dan MH di Pacitan dan hasil ujit... 41

12 Rata-rata pengamatan genotipe tunggal MK II dan MH gabungan kedua lokasi dan hasil ujit... 42

13 Rata-rata pengamatan genotipe campuran MK II dan MH gabungan kedua lokasi dan hasil ujit... 42

14 Perbandingan genotipe tunggal dan campuran di Majalengka dan Pacitan berdasarkan ujit... 43

15 Materi genetik yang digunakan dalam percobaan... 52

16 Anova gabungan untuk musim dan lokasi ... 54

17 Rentang, rata-rata hasil, koefisien keragaman (KK) genotipe tunggal dan campuran padi sawah di dua musim dua lokasi ... 55

18 Produktivitas (t/ha) 17 genotipe di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH ... 56

19 Ranking genotipe tunggal dan campuran padi sawah pada dua lokasi dua musim ... 58


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Mekanisme kekebalan jenis ETI tanaman padi terhadapXoo... 9

2 Kejadian penyakit di Majalengka... 24

3 Keparahan penyakit di Majalengka... 25

4 Kejadian penyakit di Pacitan... 26

5 Keparahan penyakit Pacitan ... 27

6 Boxplot produktivitas (t ha-1) berdasarkan lingkungan pengujian ... 56


(16)

Halaman

1 Deskripsi varietas Inpari 6 Jete ... 77

2 Deskripsi varietas Inpari 13 ... 78

3 Deskripsi varietas Ciherang ... 79

4 Deskripsi varietas Maros... 80

5 Deskripsi varietas Cigeulis... 81

6 Tata letak percobaan pada MK II di Majalengka... 82

7 Tata letak percobaan pada MK II di Pacitan ... 83

8 Tata letak percobaan MH di Majalengka ... 84

9 Tata letak percobaan MH di Pacitan ... 85

10 Contoh analisis persen kejadian penyakit (PKP) HDB... 86

11 Contoh analisis keparahan penyakit HDB ... 87

12 Contoh analisis AUDPC ... 88

13 Analisis ragam model AMMI dan nilai RMSPD... 89

14 Analisis ragam gabungan karakter produktivitas padi sawah pada MK II dan MH di Majalengka dan Pacitan ... 90

15 Nilai ragam, heritabilitas dan koefisien keragaman genetik karakter produktivitas padi sawah pada MK II dan MH di Majalengka dan Pacitan 91 16 Analisis ragam beberapa karakter genotipe tunggal ... 92

17 Analisis ragam beberapa karakter genotipe campuran... 94

18 Hasil ujit karakter penyakit HDB... 91

19 Hasil ujit karakter agronomi lainnya... 97

20 Hasil analisis tanah pada MK II di Majalengka ... 99

21 Hasil analisis tanah pada MK II di Pacitan ... 100

22 Hasil analisis tanah MH di Majalengka ... 101

23 Hasil analisis tanah MH di Pacitan ... 102


(17)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia. Permintaan beras setiap tahun semakin meningkat karena laju pertambahan penduduk yang diperkirakan mencapai 1,43% pada kurun waktu 2010-2015 (Statistik Indonesia 2011). Saat ini konsumsi beras Indonesia tergolong tinggi di dunia yaitu sebesar 139 kg per kapita per tahun (BPS 2009). Kecukupan pangan terutama beras dengan harga yang terjangkau telah menjadi tujuan yang utama kebijakan pembangunan pertanian (Swastikaet al. 2007).

Peningkatan produksi padi dapat dilakukan melalui penanaman varietas unggul berdaya hasil tinggi. Indonesia telah berhasil meningkatkan produksi dari 20.2 juta ton pada tahun 1971 menjadi 54 juta ton pada tahun 2006 melalui peningkatan produktivitas padi, peningkatan luas panen dan interaksi keduanya dengan kontribusi masing-masing sebesar 56.1%, 26.3% dan 17.5% (Sembiring 2007). Upaya lain untuk meningkatkan produksi adalah peningkatan sumberdaya lahan, irigasi, intensitas tanam dan teknologi usaha tani (Swastika et al. 2007). Penanaman suatu varietas unggul berdaya hasil tinggi secara terus menerus akan mengalami penurunan produktivitas apabila tidak disertai karakter ketahanan terhadap cekaman biotik atau abiotik. Mekanisme penurunan produktivitas padi dan ketahanan terhadap serangan penyakit utama disebabkan oleh terjadinya degradasi genetik apabila suatu varietas ditanam secara terus-menerus (Suprapto & Widyantoro 2005). Salah satu penyakit yang sangat penting dalam penurunan produktivitas padi adalah Hawar Daun Bakteri (HDB).

Menurut IRRI (2009) penyakit HDB dapat menyebabkan kehilangan hasil panen sebesar 6– 60%. Secara umum di dunia, infeksi HDB dapat mengakibatkan penurunan hasil hingga 50% (Ou 1985). Bahkan pada serangan HDB yang parah dapat berakibat puso (Kadir et al. 2009). Penyakit HDB umum terjadi di negara tropik dan subtropik di lahan beririgasi maupun tadah hujan. HDB menyerang tanaman pada fase vegetatif maupun generatif. Tanaman yang terinfeksi akan mengalami kerusakan daun sehingga menyebabkan fotosintesis terganggu sehingga gabah yang dihasilkan menurun jumlahnya dan bahkan hampa.


(18)

HDB berkembang dengan baik pada suhu 25oC – 35oC, kondisi angin kencang, curah hujan dan kelembaban tinggi (Ou 1985). Selain itu, pemberian pupuk nitrogen yang tinggi juga memicu berkembangnya HDB. Suprihanto et al. (2008) melaporkan bahwa dosis pupuk Nitrogen memberikan pengaruh nyata terhadap keparahan beberapa penyakit padi. Bahkan pada musim kemarau (MK), dosis pupuk Nitrogen berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit busuk batang, hawar pelepah, hawar daun jingga, HDB danfalse smut. Pemberian pupuk Nitrogen dengan dosis yang semakin tinggi menunjukkan keparahan penyakit busuk batang, hawar pelepah, hawar daun jingga dan HDB semakin tinggi. Pemupukan dengan dosis Nitrogen tinggi (135 kg/ha) menyebabkan keparahan paling tinggi dibandingkan dosis Nitrogen yang lebih rendah. Menurut Sudiret al.

(2001) ketahanan genetik suatu varietas akan memunculkan reaksi ketahanan terhadap serangan penyakit sehingga setiap varietas akan menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap serangan penyakit.

Keragaman genetik merupakan salah satu cara yang dapat mencegah kerapuhan genetik tanaman yang ditanam secara monokultur. Di Propinsi Yunan China, penanaman tanaman padi secara campuran menunjukkan hasil 89% lebih tinggi dan penurunan serangan penyakit blas sampai 94% dibandingkan padi yang ditanam secara monokultur (Zhu et al. 2001). Penggunaan fungisida berkurang dan penanaman varietas campuran merupakan pendekatan yang efektif untuk menahan serangan penyakit terutama untuk wilayah penanaman yang luas sehingga dapat menjaga kestabilan hasil panen (Zhuet al. 2000).

Varietas campuran didefinisikan sebagai pencampuran beberapa varietas yang dibuat menjadi satu genotipe tanpa ada usaha pemuliaan untuk menciptakan keseragaman fenotipiknya (Samonte 2008). Percampuran dua atau lebih varietas pada tanaman menyerbuk sendiri merupakan usaha untuk memperbaiki populasi yang bertujuan mendapatkan varietas unggul yang heterogen homozigot. Varietas yang dicampur dipilih yang mempunyai potensi hasil tinggi, stabil dan mempunyai ketahanan terhadap cekaman biotik atau abiotik. Percampuran untuk memperoleh varietas yang lebih tahan harus tetap memperhatikan keseragaman dari segi mutu, karakter agronomi, umur panen, bentuk, ukuran dan sebagainya


(19)

3

tunggal yang dipilih sebagai komponen percampuran harus mempunyai kontribusi terhadap perbaikan sifat genetik yang dituju tanpa mengurangi keseragaman fenotipik (Samonte 2008). Lebih jauh pemilihan komponen dalam percampuran varietas umumnya berdasarkan ketahanan terhadap patotipe yang berbeda-beda pada jenis patogen yang sama (Smithson & Lenne 1996).

Penanaman genotipe campuran tanaman padi dengan berbagai latar belakang tingkat ketahanan HDB diharapkan dapat menurunkan laju mutasi

Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo) sehingga kecepatan untuk memecahkan resistensi tanaman terhambat namun potensi hasil tetap tinggi dan stabil selama beberapa musim tanam. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai penanaman secara tunggal dan campuran pada tanaman padi untuk mengetahui ketahanan genotipe terhadap penyakit HDB dan stabilitas hasilnya.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi tentang ketahanan padi sawah terhadap HDB pada genotipe tunggal dan campuran.

2. Mendapatkan informasi tentang hasil dan keragaan karakter agronomi lainnya antar musim pada genotipe tunggal dan campuran.

3. Mendapatkan informasi tentang stabilitas hasil dan keragaman genetik pada genotipe tunggal dan campuran.

Hipotesis

1. Genotipe campuran lebih tahan terhadap HDB daripada genotipe tunggal. 2. Hasil dan keragaan karakter agronomi lainnya asal benih dari genotipe

campuran lebih baik daripada asal benih genotipe tunggal

3. Hasil dan stabilitas hasil genotipe tunggal dan campuran tidak berbeda dan memiliki keragaman genetik yang luas.


(20)

Padi merupakan satu-satunya jenis serealia yang dapat beradaptasi pada tempat tumbuh yang kering maupun tergenang. Tanaman padi tersebar luas di lima benua sehingga menjadi makanan pokok sebagian besar penduduk dunia (IRRI 2009).

Menurut sejarahnya padi berasal dari China, namun ada juga yang mengatakan dari India. Sejarawan yang menyatakan padi berasal dari China berdasarkan sastra China yang dibuat pada 5000 tahun sebelum Masehi bahwa padi sudah dibudidayakan pada masa kekaisaran Shen Mung. Padi mulai menyebar ke seluruh dunia karena dibawa oleh bangsa India. Bangsa India menyebarkan padi ke bagian selatan Spanyol melalui negara-negara Arab dan kemudian berkembang luas di bagian Selatan Perancis, Italia dan masuk negara-negara Balkan. Selain itu, dari India padi juga menyebar ke wilayah Asia bagian timur seperti Jepang, Filipina dan kepulauan di lautan Pasifik. Padi juga tersebar ke Malaysia dan akhirnya masuk ke Indonesia tahun 1500 sebelum Masehi (Silitonga 2004).

Padi dengan nama ilmiah Oryza sativa L. merupakan anggota dari kingdom Plantae, Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales dan Famili Poaceae. Padi termasuk tumbuhan setahun dalam bentuk rumpun, tinggi 80 – 130 cm, batang berbuku-buku yang pada setiap bukunya terdapat satu daun yang secara keseluruhan tersusun dalam dua baris. Pelepah daun yang sebelah bawah menutupi pelepah daun yang di atasnya sehingga terbentuklah batang semu yang menyelimuti buku-bukunya. Bunga majemuk di ujung batang berbentuk malai dengan spikelet biseksual berjumlah 50 – 500. Buahnya kariopsis dalam bentuk butiran. Berdasarkan habitat, tanaman padi dibedakan menjadi padi gogo, padi sawah dan padi rawa. Sedangkan berdasarkan geografis, tanaman padi dibedakan ke dalam tiga sub spesies yaitu indica,japonicadan javanica. Padi indica terutama di wilayah Asia Tenggara, japonica di Jepang, Korea Selatan, China Utara, New South Wales, Eropa bagian Selatan, California dan negara-negara Amerika Selatan, sedangkan


(21)

6

Penyakit HDB dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Padi Sawah

Penyakit HDB diketahui pertama kali di Asia Timur dan sejak diperkenalkan varietas berdaya hasil tinggi di Asia Selatan dan Asia Tenggara pada 1960, HDB mulai menyebar luas. Sejak saat itu, HDB menjadi penyebab utama menurunnya produksi padi pada lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan dan lahan rawa (IRRI 1989). Selain itu, HDB juga ditemukan di Australia menyerang padi liar Oryza rufipogon dan O. australiensis. Saat ini HDB menyebar luas dari benua Asia sampai Afrika dan Amerika. Distribusi penyebarannya mulai dari 20o LS di Quensland Australia sampai 58o LU di Heilang Jiang China dan serangan lebih tinggi pada musim hujan pada dataran rendah daripada musim kemarau pada dataran tinggi (Mew 1989).

Menurut Mew (1989) HDB adalah penyakit vaskular, infeksinya bersifat sistemik dan patogen masuk ke dalam tanaman inang melalui luka atau lubang alami seperti stoma. Terkadang patogen masuk ke dalam xylem dan menyebar ke seluruh tubuh tanaman. Patogen ini menyebabkan dua gejala tergantung fase tanaman diserang. Apabila menyerang pada saat vegetatif pada fase persemaian sampai menjelang fase terbentuknya anakan, gejalanya disebut kresek dan bersifat lebih merusak. Seluruh daun tanaman menjadi pucat, kuning dan menggulung. Penyakit kresek pertama kali ditemukan di Indonesia dan sangat umum menyerang di daerah tropik. Apabila serangan terjadi pada saat fase anakan maksimum sampai biji pada malai menguning disebut hawar daun. Gejala serangannya terlihat mulai dari pinggir daun dan meluas sampai pelepah. Selanjutnya jerami terlihat memutih, keabu-abuan atau kekuningan dalam 1-2 minggu. Ooze dari bakteri dapat diamati pada keadaan panas dan lembab.

Genus Xanthomonas pada tanaman dapat menyebabkan nekrosis, gummosis dan penyakit vaskular atau parenkhim pada daun, batang dan buah pada 124 tumbuhan monokotil dan 268 tumbuhan dikotil. Genus Xanthomonas

berwarna kuning, bentuk koloni tipis, merupakan bakteri gram negatif yang patogenik, bergerak dengan satu flagel yang tedapat pada satu kutubnya atau tidak bergerak (Swings 1989). Suatu strain Xanthomonas dapat diidentifikasi dari

spesies inangnya, yang dikenal dengan konsep “new-host, new spesies”. Sehingga dari satu spesies Xanthomonas terdapat ratusan strain atau pathovar (pv.).


(22)

Pengklasifikasian strain atau pathovar Xanthomonas berdasarkan pathogenesitasnya terhadap tanaman inang. Pengujian tingkat pathogenesitas bakteri dilakukan menggunakan uji serologi. Dengan pendekatan serologi dapat diketahui arsitektur molekuler sel bakteri serta hubungan antar bakteri. Sel bakteri terdiri dari lapisan tipis, kapsul, flagela, pili, dinding sel dan membran sitoplasma dimana terdapat antibodi yang dapat digunakan untuk mengelompokkan jenis-jenis bakteri (Quimio 1989).

Bakteri menyerang tanaman inang diawali dengan proses pergerakan bakteri, kontak antara bakteri dengan tanaman inang, penetrasi bakteri ke dalam tanaman inang dan proliferasi bakteri di dalam tanaman inang. Pergerakan bakteri secara kemotaksis dipicu oleh zat yang dikeluarkan oleh tanaman. Bakteri kemudian mulai masuk ke tanaman inang dengan proses penetrasi melalui stomata, hidatoda atau nektar serta luka pada tanaman. Masuknya organisme patogen ke dalam inang dan kemudian terjadi hubungan parasitik baik permanen atau tidak di antara keduanya disebut infeksi. Faktor lingkungan yang sangat berperan dalam proses infeksi adalah kelembaban relatif, unsur hara, suhu dan cahaya (Huang & Cleene 1989; Yudiarti 2007).

Pengaruh penyakit HDB terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah berbeda-beda tergantung dari varietas dan stadia tumbuh tanaman. Penelitian Sudir (2008) menunjukkan bahwa varietas yang tidak mempunyai gen ketahanan terhadap HDB lebih mudah terserang dan populasi bakteri Xanthomonas oryzae

pv.oryzae (Xoo) lebih besar. Populasi bakteri Xoo pada varietas yang mempunyai gen ketahanan terhadap HDB lebih kecil bahkan tidak ada. Stadia tumbuh tanaman juga berpengaruh nyata terhadap populasi bakteri Xoo. Populasi Xoo

tertinggi terlihat pada stadia pengisian bulir dan terendah pada stadia anakan awal. Populasi Xoo yang tinggi pada stadia pengisian bulir merupakan akumulasi dari stadia-stadia sebelumnya. Pada stadia pemasakan populasi Xoo mulai menurun karena kondisi tanaman yang sudah tua tidak mampu lagi menyediakan nutrisi bagi perkembangan bakteri.

Menurut Ou (1985) penyakit HDB dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 60%. Penyakit HDB juga dapat menurunkan mutu beras karena pengisian gabah yang kurang sempurna (Prasetiyono 2007). Kehilangan hasil dan penurunan


(23)

8

mutu beras tersebut disebabkan karbohidrat/energi yang digunakan untuk tumbuh dan berkembangnya tanaman yang dihasilkan oleh daun tidak maksimal. Daun yang mengandung klorofil berfungsi untuk menangkap sinar matahari (Makarim & Suhartatik 2009), maka apabila terjadi kerusakan pada daun karena penyakit HDB, maka kandungan klorofil akan menurun sehingga fotosintat yang dihasilkan juga menurun.

Mekanisme Pertahanan Tanaman Padi Terhadap HDB

Terdapat tiga jenis kekebalan tanaman terhadap patogen. Kekebalan tersebut adalah PAMP-triggered imunity (PTI), effector-triggered imunity (ETI) dan systemic aqcuired resistance (SAR). PTI merupakan kekebalan yang dipicu oleh asosiasi molekuler patogen/mikrobia, sedangkan ETI adalah jenis kekebalan yang dipicu oleh molekul efektor. Kekebalan yang mampu bertahan lama terhadap berbagai jenis patogen adalah SAR, dimana dalam mekanismenya memerlukan Asam Salisilat (SA) (Chen & Ronald 2011). Asam Jasmonik (JA), Etylene (ET) dan SA merupakan fitohormon penting dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap serangan patogen (Fujita et al 2006). Pada padi JA dan SA ditemukan pada bagian akar dan tajuk dengan konsentrasi yang bervariasi antar genotipe yang berbeda (Youet al 2011).

Tanaman padi memiliki respon tingkat ketahanan terhadap bakteri Xoo

yang berbeda-beda. Umumnya tingkat ketahanan tanaman inang dikelompokkan menjadi dua yaitu ketahanan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Ketahanan kualitatif atau ketahanan vertikal dikendalikan oleh gen mayor yang monogenik sedangkan ketahanan kuantitatif atau ketahanan horizontal dikendalikan oleh gen minor yang multigenik. Hingga saat ini telah teridentifikasi 21 gen ketahanan yang kualitatif (Gnanamanickamet al 1999).

Gen ketahanan terhadap bakteri Xoo antara lain XA21, XA3 dan XA26.

XA21 berperan sebagai sensor yang berfungsi mendeteksi peptida sulfatXoo Ax21 yang disekresikan oleh bakteri Xoo. Jika tidak terjadi serangan patogen, XA21

berasosiasi dengan XB24 ATP-ase dan berlangsung proses autofosforilasi sehinggaXA21berada dalam kondisi tidak aktif (Gambar 1).


(24)

Sumber : TRENDS in Plant Science

Gambar 1 Mekanisme kekebalan jenis ETI tanaman padi terhadapXoo

Apabila terjadi serangan patogen, XA21 kinase terlepas dari XB24, selanjutnya

XA21 mengaktifkan mekanisme pertahanan. Respon selanjutnya melibatkan mitogen-activated protein kinase 5 (MAPK5), MAPK12 dan XB3 yang sangat diperlukan dalam aktivitasXA21(Chen & Ronald 2011).

Peran Pencampuran Genotipe Dalam Menekan Perkembangan Penyakit Penelitian tentang penggunaan genotipe campuran telah dilakukan antara lain untuk menekan penyakit blas pada padi di China (Zhu et al 2000; Zhu et al

2001), penyakit karat pada tanaman gandum (Biabani 2009), penyakit karat pada tanaman barley (Pradhanang 1995) dan penyakit embun tepung pada tanaman


(25)

10

gandum (Ninget al. 2012). Smithson & Lenne (1996) melaporkan bahwa varietas campuran telah banyak digunakan di pertanian subsisten maupun pertanian modern. Pemilihan varietas untuk percampuran tidak hanya bertujuan untuk menjaga stabilitas hasil dan menekan serangan penyakit namun juga untuk kesesuaian jenis tanah dan musim tanam.

Penggunaan genotipe campuran merupakan pendekatan secara ekologi untuk menekan serangan penyakit. Percobaan varietas campuran padi ketan yang peka terhadap blas dan padiindica yang relatif tahan blas yang dilakukan dengan menanam satu baris padi ketan pada setiap empat baris padi indica mampu mengurangi kejadian dan keparahan penyakit blas. Kejadian penyakit blas pada padi ketan yang ditanam secara campuran berkurang 94-99% apabila dibandingkan dengan yang ditanam secara monokultur, dan pada padi hibrida 1-25%. Berkurangnya kejadian penyakit blas tersebut berpengaruh nyata terhadap hasil. Hasil yang diperoleh dari percampuran varietas Xianyou 63 dan Huangkenuo sebesar 10533,1 kg atau lebih tinggi 825,8 kg dibandingkan Xianyou 63 yang ditanam secara monokultur, hasil Xianyou 63 yang dicampur Zinuo 10461,7 kg atau lebih tinggi 833,9 kg, sedangkan hasil percampuran varietas Xianyou 22 dan Huangkenuo serta Xianyou 22 dengan Zinuo masing-masing sebesar 9996 kg dan 9993 kg atau lebih tinggi 916,8 kg dan 852,5 kg (Zhu et al

2001).

Hasil penelitian Biabani (2009) pada tanaman gandum memperlihatkan hasil yang lebih tinggi pada pertanaman campuran dibanding pertanaman monokultur. Penggunaan materi yang mempunyai toleransi lebih luas terhadap keadaan lingkungan dan arsitektur kanopi diduga sebagai faktor utama yang mendukung hasil yang tinggi. Arsitektur kanopi yang beragam memperbesar intersepsi cahaya matahari ke dalam pertanaman sehingga memperbesar produksi bahan kering.

Keragaman mendukung produktivitas dan stabilitasnya, dengan demikian keragaman akan mendukung fungsi ekosistem sehingga kelestarian organisme tetap terjaga (Phillips & Wolfe 2004). Pertanaman varietas campuran akan mempertahankan kestabilan hasil meskipun pada kondisi lingkungan yang minimal, efisien dalam penggunaan nutrisi untuk pertumbuhan, menciptakan


(26)

keragaman biologi dan mempunyai potensi untuk mengendalikan hama dan penyakit. Kelemahan penggunaan genotipe campuran adalah kesulitan diaplikasikan dalam skala kecil dan kesulitan dalam melakukan mekanisasi pertanian pada saat penanaman, pemupukan, penyiangan dan panen (Biabani 2009). Pada saat ini, pertanaman monokultur mendominasi pertanian modern. Pertanaman monokultur adalah pertanaman yang menggunakan satu spesies dan satu varietas sehingga keragaman genetik dalam populasi pertanaman tersebut sangat terbatas. Alasan penggunaan pertanaman monokultur adalah kemudahan dalam penanaman, panen dan prosesing serta hasil yang diperoleh akan seragam kualitasnya. Pertanaman monokultur lebih banyak menyerap input produksi berupa pemupukan dan pengendalian hama, penyakit dan gulma. Pertanaman campuran dengan penggunaan varietas yang beragam dalam ekosistem bermanfaat untuk mendaur ulang unsur hara, mengendalikan iklim mikro, mengatur proses hidrologi secara lokal, menekan organisme yang tidak diinginkan dan detoksifikasi bahan kimia berbahaya. Altieri (1999) dikutip Phillips dan Wolfe (2004) berpendapat bahwa keragaman genetik dengan penggunaan varietas campuran atau varietas multilini dapat mengatasi masalah yang terjadi pada pertanaman monokultur.

Stabilitas Produktivitas dan Keragaman Genotipe Campuran

Penelitian mengenai hasil dan stabilitas genotipe campuran telah dilakukan sejak lama. Harlan dan Martini telah melakukan studi ini pada tahun 1938 pada tanaman barley (Wortmann et al. 1996). Allard (1961) melaporkan bahwa hasil

lima bean lebih stabil jika ditanam dalam populasi yang heterogen dibandingkan populasi yang homogen. Lebih lanjut Ayeh (1988) melaporkan bahwa interaksi genotipe x lingkungan lebih kecil pada genotipe campuran bean dibandingkan genotipe tunggal. Meskipun tidak berbeda nyata dengan genotipe tunggal, namun genotipe campuran lebih stabil dan rata hasilnya lebih tinggi daripada rata-rata hasil komponen penyusunnya. Penelitian ini juga menunjukkan hubungan yang linier antara diversitas dan stabilitas.

Berdasarkan penelitian Wortmann (1996), tidak terdapat indikasi bahwa stabilitas hasil pada bean dipengaruhi oleh level penyakit. Beberapa genotipe


(27)

12

campuran menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan rata-rata genotipe penyusunnya. Slope garis regresi genotipe campuran >1 karena pada dua lokasi pengujian genotipe tersebut menunjukkan hasil yang sangat baik. Analisis stabilitas menggunakan metode AMMI dan Principal Coordinate Model pada

faba bean menunjukkan bahwa genotipe yang stabil dalam resistensi terhadap penyakit tidak seiring dengan kestabilan hasil (Flores 1996).

Keragaman dapat diartikan sebagai perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam suatu populasi. Keragaman dalam populasi tanaman dapat dibedakan menjadi keragaman fenotipik dan keragaman genotipik. Keragaman fenotipik adalah keragaman yang dapat diukur atau dilihat langsung untuk karakter-karakter tertentu, sedangkan keragaman genotipik adalah keragaman yang tidak dapat dilihat atau diukur secara langsung namun dapat diduga melalui analisis data-data statistik. Suatu populasi yang memiliki keragaman fenotipik yang luas belum tentu mempunyai keragaman genotipik yang luas karena penampilan fenotipik dipengaruhi oleh lingkungan (Hermiati 2001).

Hasil merupakan karakter yang bersifat kuantitatif yang dikendalikan oleh banyak gen dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Hermiati 2001). Cukup sulit menentukan seberapa jauh kontribusi faktor genetik sebagai akibat aksi gen dan seberapa jauh kontribusi lingkungan. Bagaimanapun juga, hasil yang tampak (fenotipe) merupakan hasil dari genetik dan lingkungan, P = G + E (Roy 2000; Syukuret al. 2009).

Keragaman yang diwariskan adalah keragaman genetik, sedangkan keragaman lingkungan tidak diwariskan. Keragaman lingkungan harus dibuat sekecil mungkin supaya pendugaan yang diperoleh terhadap aksi gen lebih mendekati kebenaran. Beberapa sumber dari keragaman lingkungan adalah E1 (atau Ew), E2 dan Eb. E1 atau Ew merupakan keragaman lingkungan antara individu dalam satu famili. Keragaman ini muncul karena keragaman sampel yang diambil, kesalahan pengukuran dan keragaman pertumbuhan tanaman. E2 adalah keragaman nilai rata-rata famili dan Eb adalah keragaman yang muncul karena pengaruh petak percobaan (Roy 2000).

Keragaman dalam suatu populasi pemuliaan sangat penting artinya dalam proses seleksi. Seleksi akan berjalan efektif apabila keragaman dalam populasi


(28)

besar. Beberapa cara untuk menciptakan keragaman antara lain melalui persilangan (hibridisasi), introduksi, mutasi dan transformasi genetik. Selain itu penggunaan varietas campuran juga mampu untuk meningkatkan keragaman genetik.

Koefisien keragaman dinyatakan sebagai standar deviasi dibagi dengan rata-rata pengamatan (Roy 2000). Koefisien keragaman genetik (KKG) menyatakan sempit atau luasnya keragaman genetik dari populasi yang sedang dipelajari. Nilai KKG relatif rendah mengindikasikan sempitnya keragaman genetik dari suatu populasi dan sebaliknya (Tampake & Luntungan 2002)

Heritabilitas adalah rasio proporsi ragam genotipik terhadap ragam fenotipiknya. Heritabilitas menyatakan seberapa besar genotipe berperan terhadap fenotipe yang tampak (Hermiati 2001).


(29)

PENGARUH PENCAMPURAN GENOTIPE PADI SAWAH TERHADAP PERKEMBANGAN HAWAR DAUN BAKTERI

Abstrak

Percobaan dilakukan untuk membuktikan bahwa pencampuran genotipe dapat meningkatkan ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri. Percobaan menggunakan 17 genotipe padi sawah sebagai perlakuan, terdiri atas genotipe tunggal dan genotipe campuran dengan berbagai latar belakang ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri. Percobaan disusun Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dan dilaksanakan di dua lokasi yaitu di Kabupaten Majalengka dan Pacitan selama dua musim tanam berturut-turut. Musim tanam pertama bertepatan dengan musim kemarau II 2011 (MK II) dan musim tanam kedua bertepatan dengan musim hujan 2011/2012 (MH). Luas petak percobaan 6.84 m2 atau petak bersih 5.78 m2. Pengamatan penyakit dimulai pada masa primordia dan berakhir saat menjelang panen dengan interval waktu ± 14 hari. Pengamatan luas area luka dilakukan terhadap 15 rumpun sampel dari setiap plot dan kemudian diskoring sesuai ketentuan SES IRRI. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan uji t

untuk mengetahui perbedaan kejadian penyakit, keparahan penyakit dan Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) pada genotipe tunggal dan campuran serta perbedaan antara MK II dan MH. Kemunculan pertama penyakit dianalisis secara deskriptif. Hasil uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran dalam kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC di Majalengka MK II, Majalengka MH dan Pacitan MK II. Perbedaan hanya terlihat di Pacitan MH dimana genotipe tunggal mempunyai nilai kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC lebih tinggi daripada genotipe campuran. Hal tersebut menunjukkan adanya pengaruh pencampuran dalam menekan perkembangan penyakit Hawar Daun Bakteri di Pacitan pada MH.

Kata kunci: genotipe campuran, Hawar Daun Bakteri, kemunculan pertama, kejadian penyakit, keparahan penyakit, AUDPC.


(30)

Abstract

Seventeen rice genotypes used as treatments to prove that Bacterial Leaf Blight (BLB) resistance increased in mixture. The 17 genotypes have different levels of resistance againts BLB. The trial was designed in Randomized Complete Block Design with three replications and conducted at two locations those are Majalengka and Pacitan during second dry season and wet season. The plot area was 6.84 m2 or net plot was 5.78 m2. The data was gathered from primordia stage until harvest date to 15 sample hills per plot then scored based on International Rice Research Institute Standard Evaluation System for Rice (IRRI SES). Data were recorded for the first disease appearance, disease incidence, disease severity and Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) analysis. Differences between cultivar vs cultivar mixtures and between dry season vs wet season were analyzed by t test. No difference in the first appearance of BLB between cultivar and cultivar mixtures during dry season and wet season in Majalengka and Pacitan. It was also no difference between dry season and wet season in cultivar and cultivar mixtures in Pacitan. Disease incidence showed that there was no difference between cultivar and cultivar mixtures during dry season and wet season in Majalengka and during wet season in Pacitan. Between dry season and wet season, there was disease incidence difference in cultivar and cultivar mixtures in Pacitan and cultivar in Majalengka. There were also no disease severity difference between cultivar and cultivar mixtures during dry season and wet season in Majalengka and during dry season in Pacitan. While between dry season and wet season, the difference occured in cultivar in Majalengka and Pacitan, and also in cultivar mixtures in Pacitan. The difference in AUDPC between cultivar and cultivar mixtures only occurred during wet season in Pacitan.

Key words: mixture genotype, BLB, first appearance, disease incidence, disease severity, AUDPC.


(31)

17

Pendahuluan

Salah satu penyakit utama pada komoditas padi sawah adalah Hawar Daun Bakteri (HDB) yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv oryzae (Xoo). Xoo mempunyai banyak strain dan Indonesia merupakan negara yang mempunyai strain Xoo terbanyak dibandingkan negara-negara di Asia lainnya berdasarkan analisis kluster (Adhikari et al. 1995). Sejak tahun 1950 telah ditemukan 12 strainXoo di Indonesia (Wahyudiet al. 2011).

Penyakit HDB menyebar secara luas di dunia seperti Indonesia (Suryadiet al. 2006), India (Rajarajeswari & Muralidharan 2006) dan China (Qi 2009) serta wilayah lain dan mengakibatkan kehilangan hasil sampai 50% (Elinget al. 1997). Kejadian dan intensitas penyakit HDB sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain sinar matahari, curah hujan, suhu, kelembaban udara, dosis Nitrogen tinggi yang dapat meningkatkan laju asimilasi CO2, dan kondisi angin yang kencang (Ou 1985; Horino et al. 1982). Apabila konsep segitiga penyakit terpenuhi, HDB berkembang sangat pesat bahkan bisa mengakibatkan puso (Kadir

et al. 2009). Elingset al. (1997) melaporkan bahwa kehilangan hasil merupakan korelasi antara tanaman inang x patogen x lingkungan.

Serangan bakteri Xoo dimulai dari ujung daun (bagian hidatoda) dan menjalar ke tepi daun hingga akhirnya merusak seluruh daun sehingga terlihat seperti kering (Mew et al. 1993). Dalam jaringan daun, Xoo bermultiplikasi dan masuk ke dalam jaringan xylem sambil terus bermultiplikasi, meluas dan memblokir transportasi air dan mengurangi laju transpirasi (Horino & Kaku 1989). Keadaan daun yang demikian mengakibatkan berkurangnya laju fotosintesis dan diduga hal ini menjadi penyebab utama dalam mekanisme kerusakan tanaman (Elings et al. 1997). Dengan demikian tanaman menjadi tidak mampu menghasilkan asimilat untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya. Hasil penelitian Philip & Devadath (1981) membuktikan adanya korelasi positif antara luas area luka pada daun dengan laju fotosintesis.

Beberapa metode telah dilakukan untuk mengatasi serangan HDB, antara lain peramalan penyakit (Yang 2010), pengendalian secara biologi misalnya menggunakanLysobacter antibioticus strain 13-1 (Jiet al. 2008) dan penggunaan varietas yang tahan (Josi & Nayak 2010). Penggunaan varietas yang tahan


(32)

merupakan merupakan cara yang murah dan efisien (Josi & Nayak 2010) serta ramah lingkungan, namun satu gen ketahanan hanya efektif untuk satu patogen spesifik (Adhikari et al. 1995). Beberapa tahun terakhir upaya pemuliaan berupa pemanfaatan gen ketahanan terhadap Xoo yang berasal dari varietas padi liar juga telah dilakukan. Pemanfaatan gen ketahanan tersebut harus memperhatikan interaksi inang-patogen (Qi 2009). Gen tersebut diintroduksikan ke dalam varietas komersial untuk memberi ketahanan terhadap Xoo strain tertentu. Zhou et al.

(2011) memanfaatkan gen ketahanan Xa23 dari Oryza rufipogon ke dalam padi hibrida Minghui63, YR293 dan Y1671 menggunakan pendekatanMarker Assisted Backcross (MAB) dan berhasil memperbaiki ketahanannya terhadap HDB. Namun genotipe dengan satu gen ketahanan akan mudah patah di lapangan karena patogen akan terus berevolusi untuk mematahkan ketahanan tersebut. Misalnya genotipe padi dengan gen ketahanan Xa4 saja yang sudah ditanam luas di India, Philipina dan Indonesia menjadi rentan terhadap HDB. Genotipe pada dengan gen

Xa21 yang sebelumnya dikenal mempunyai ketahanan yang luas juga telah patah ketahanannya di India, Korea, Nepal dan China (Qi 2009).

Strategi berbasis gen untuk mengurangi tekanan seleksi patogen dapat dilakukan dengan cara rotasi varietas yang mempunyai gen ketahanan berbeda, piramidanisasi gen, penanaman varietas multilini dan varietas campuran (Samonte 2008). Piramidanisasi gen adalah upaya untuk mengurangi intensitas penyakit dengan cara mengumpulkan beberapa gen ketahanan ke dalam satu varietas. Meskipun piramidanisasi gen terbukti paling efektif untuk mengatasi Xoo

(Samonte 2008), namun cara ini relatif sulit dan tidak aplikatif di lapangan. Tidak banyak dilaporkan keberhasilan piramidanisasi gen ketahanan terhadap Xoo, namun contoh genotipe yang telah berhasil diintroduksi dengan beberapa gen ketahanan adalah galur PR106 yang diintroduksi tiga gen ketahanan terhadapXoo

yaituxa5, xa12danXa21(Singhet al. 2001) dan galur padi yang diintroduksi gen

Xa4, xa5, xa13 dan Xa21 (Huang et al. 1997). Introduksi tersebut menggunakan

Marker Assisted Selection (MAS).

Piramidanisasi gen dalam populasi tanaman dengan menggunakan varietas campuran merupakan alternatif pengendalian HDB yang murah, aplikatif dan lebih mudah dikembangkan (Sharma & Dubin 1996; Lopez & Mundt 2000;


(33)

19

Samonte 2008). Banyak dilaporkan bahwa penggunaan varietas campuran mampu menurunkan intensitas penyakit (Mundt & Leonard 1986; Mahmood et al. 1991; Finckh & Mundt 1992; Mundt 2002; Ning et al. 2012). Penggunaan varietas campuran mampu menurunkan intensitas penyakit diduga karena inokulum menjadi lemah, percampuran merupakan hambatan fisik bagi patogen dan percampuran akan menginduksi resistensi pada genotipe yang rentan (Ning et al.

2012). Garret & Mundt (1999) mempostulatkan bahwa semakin luas diversitas ketahanan yang dimiliki oleh tanaman inang, akan menghambat kemampuan adaptasi patogen terhadap gen ketahanan. Ohtsuki & Sasaki (2006) menyatakan bahwa dengan mencampur genotipe yang rentan dan tahan akan mendorong strain patogen berkompetisi untuk mencari inang yang kompatibel.

Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan bahwa penanaman genotipe campuran dengan berbagai latar belakang ketahanan terhadap HDB mampu menunda kemunculan pertama HDB, mengurangi kejadian, intensitas dan AUDPC penyakit HDB.

Bahan Dan Metode 1. Materi percobaan

Perlakuan yang digunakan dalam percobaan adalah 17 genotipe padi sawah berupa genotipe tunggal, campuran dua genotipe dan campuran tiga genotipe dengan latar belakang ketahanan terhadap HDB beragam (Tabel 1). Materi percobaan berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

2. Pelaksanaan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 17 perlakuan dan 3 ulangan. Percobaan dilakukan di lahan petani di Kabupaten Majalengka Jawa Barat dan di Kabupaten Pacitan Jawa Timur selama dua musim tanam berturut-turut. Generasi pertama ditanam bertepatan dengan Musim Kemarau II 2011 (MK II) bulan Juni - September 2011 dan generasi kedua ditanam bertepatan dengan Musim Hujan 2011/2012 (MH) bulan Nopember 2011– Maret 2012.


(34)

Luas petak percobaan 6.84 m2 (petak bersih 5.78 m2). Benih disemai dan pindah tanam bibit dilakukan pada 14 hari setelah semai (hss). Penanaman 2 bibit per lubang tanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pupuk diberikan sesuai kebutuhan tanaman berdasarkan hasil analisis tanah menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Pengujian sampel tanah dilakukan sebelum pengolahan tanah. Perawatan lain yaitu penyiangan, pengaturan air dan pengendalian hama. Pengamatan penyakit dimulai pada saat tanaman memasuki masa primordia (Djatmiko & Fatichin 2009) sampai dengan menjelang panen dengan interval  14 hari sekali terhadap 15 rumpun sampel per plot. Luas area luka (%) setiap rumpun sampel dicatat dan diskoring sesuai standar SES IRRI (1996) yaitu :

Skala 1 : 1– 5% Skala 3 : 6– 12% Skala 5 : 13– 25% Skala 7 : 26– 50% Skala 9 : 51– 100%

Tabel 1 Materi genetik yang digunakan dalam percobaan

Ketahanan terhadap strainXoo Sumber

Kode Genotipe

III IV VIII

G1 Inpari 6 Jete tahan tahan tahan BB Padi G2 Inpari 13 agak rentan agak rentan agak rentan BB Padi

G3 Ciherang tahan tahan - BB Padi

G4 IPB 98-F-5-1-1 tahan agak rentan agak rentan IPB

G5 IPB 97-F-13-1-1 agak tahan - - IPB

G6 IPB 102-F-92-1-1 tahan agak rentan agak rentan IPB G7 IPB 107- F-60-1-1 tahan agak tahan agak rentan IPB G8 Maros+Ciherang tahan+tahan tahan - BB Padi G9 Maros+Cigeulis tahan tahan - BB Padi G10 Ciherang+Cigeulis tahan tahan+tahan - BB Padi G11 Inpari 6 Jete+Inpari 13 tahan + agak

rentan

tahan + agak rentan

tahan + agak rentan

BB Padi G12 Inpari 6 Jete+Ciherang tahan+tahan tahan+tahan tahan BB Padi G13 Maros+Ciherang+Cigeulis tahan+tahan tahan+tahan - BB Padi G14 IPB 117-F-7-2+IPB

97-F-13-1-1

agak tahan +agak tahan

IPB G15 IPB 107-F-60+IPB

102-F-90-2-1

tahan+rentan IPB

G16 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13 +IPB 98-F-5-1-1-1

agak tahan +agak tahan +tahan

agak rentan agak rentan IPB

G17 IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1 +IPB 102-F-90-2-1

tahan+tahan+ rentan agak rentan+agak tahan agak rentan+agak rentan IPB


(35)

21

3. Analisis data

Data pengamatan penyakit di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2003 dan SAS 9.2. Analisis dilakukan terhadap kemunculan pertama penyakit, kejadian penyakit, keparahan penyakit danArea Under Disease Progress Curve (AUDPC). Untuk mengetahui perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran dilakukan uji t pada taraf alpha 5%. Kemunculan pertama penyakit ditentukan berdasarkan waktu mulai terlihatnya gejala penyakit secara fisik. Kejadian penyakit merupakan jumlah penyakit dari unit sampel yang dinyatakan sebagai persentase dari jumlah total unit sampel yang diamati. Sedangkan keparahan penyakit adalah proporsi antara area yang terinfeksi pada unit sampel dan total area unit sampel dan dinyatakan dalam persen (Narayanasamy 2002)

Kejadian penyakit dihitung menggunakan formula (Amadioha 2000):

% 100 x N

n

PKP

Keterangan :

PKP : persen kejadian penyakit n : jumlah rumpun yang terinfeksi N : jumlah rumpun yang diamati

Analisis keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus Townsend dan Heuberger (1943)dalamRekanovicet al. (2007):

% 100 ) (

x NxZ

V x n

I

Keterangan :

I : keparahan serangan penyakit (%)

n : jumlah rumpun yang terkena serangan pada skala tertentu V : nilai skala serangan

N : jumlah seluruh rumpun yang diamati Z : skala keparahan tertinggi


(36)

Tabel 2 Skala keparahan penyakit (IRRI, 1996)

Skala Gejala luas daun terinfeksi (%) Tingkat ketahanan Kelas ketahanan

1 1-5 Tahan T

3 6-12 Agak tahan AT

5 13-25 Agak rentan AR

7 26-50 Rentan R

9 51-100 Sangat rentan SR

Kurva perkembangan penyakit atau AUDPC merupakan luasan total area di bawah kurva perkembangan penyakit dihitung menurut formula (Narayanasamy 2002): d x s s AUDPC k i i i

         1 1 2 Keterangan :

k : jumlah pengamatan

si: intensitas penyakit pada pengamatan ke-i d : interval waktu antara dua pengamatan

Hasil Dan Pembahasan Kemunculan Pertama Penyakit HDB

Kemunculan penyakit pada MK II pada genotipe tunggal di Majalengka pada umur 61 hari setelah semai (hss), demikian pula pada genotipe campuran. Pada MK II di Pacitan, rata-rata kemunculan pertama penyakit HDB pada genotipe tunggal lebih awal daripada genotipe campuran yaitu pada 61,57 hss dan genotipe campuran pada 60.7 hss. Pada Tabel 3 terlihat bahwa pada MH kemunculan pertama penyakit HDB pada genotipe tunggal di Majalengka berkisar 64 – 92 hss dan pada genotipe campuran berkisar 64 – 112 hss, sedangkan di Pacitan kisaran kemunculan pertama penyakit HDB pada genotipe tunggal adalah 77– 112 hss dan pada genotipe campuran 108– 112 hss.

Genotipe yang mempunyai kemunculan pertama paling lambat (67 hss) di Pacitan MK II adalah IPB 98-F-5-1-1 dan genotipe campuran IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1. Pada MH di Majalengka, genotipe campuran IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1 terserang paling lambat dibanding genotipe


(37)

23

lain (112 hss), sedangkan di Pacitan terdapat lima genotipe yang tidak terserang HDB yaitu IPB 102-F-92-1-1, campuran Maros+Ciherang, Ciherang+Cigeulis, Inpari 6 Jete+Ciherang dan IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1.

Munculnya gejala awal penyakit HDB terjadi pada saat massa bakteri sudah cukup terakumulasi untuk menginfeksi tanaman (Mazolla et al. 1994). Perkembangan massa bakteri ditentukan oleh faktor lingkungan yang mendukung, salah satunya suhu yang hangat. Perbedaan waktu kemunculan pertama penyakit HDB pada MK II dan MH diduga lebih disebabkan faktor suhu. Suhu pada MK II yang bertepatan dengan MK II lebih tinggi daripada MH. Kondisi yang hangat memicu pertumbuhan bakteri sehingga penyakit muncul lebih awal. Pada MH suhu relatif lebih rendah daripada MK II karena ketersediaan air cukup sepanjang musim serta adanya curah hujan. Suhu yang relatif rendah membuat bakteri kurang berkembang sehingga gejala muncul lebih lambat.

Tabel 3 Kemunculan pertama penyakit di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH (hss)

Genotipe MK II MH

Majalengka Pacitan Majalengka Pacitan

G1 Inpari 6 Jete 61 60 64 101

G2 Inpari 13 61 60 78 96

G3 Ciherang 61 60 64 96

G4 IPB 98-F-5-1-1 61 67 92 112

G5 IPB 97-F-13-1-1 61 64 64 112

G6 IPB 102-F-92-1-1 61 60 78

-G7 IPB 107- F-60-1-1 61 60 69 77

G8 Maros+Ciherang 61 60 64

-G9 Maros+Cigeulis 61 60 64 112

G10 Ciherang+Cigeulis 61 60 64

-G11 Inpari 6 Jete+Inpari 13 61 60 73 112

G12 Inpari 6 Jete+Ciherang 61 60 69

-G13 Maros+Ciherang+Cigeulis 61 60 64 112 G14 IPB 117-F-7-2+IPB

97-F-13-1-1

61 60 78

-G15 IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1

61 67 64 101

G16 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1+IPB 98-F-5-1-1

61 60 112 112

G17 IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1

61 60 64 108

Kejadian, keparahan dan AUDPC Penyakit HDB Majalengka MK II

Uji t menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Pengamatan kejadian penyakit pertama dan kedua tidak ada perbedaan berdasarkan uji t dengan nilai p masing-masing 0.4937 dan 0.8008. Seluruh


(38)

genotipe mengalami kejadian penyakit 100% pada pengamatan ketiga dan keempat.

Analisis terhadap keparahan penyakit pada pengamatan pertama sampai pengamatan keempat tidak terlihat adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran, demikian pula untuk nilai AUDPC (p>0.05).

0 20 40 60 80 100 120

61 80 94 106 64 78 92 112

MK II (hss) MH (hss)

P

e

rs

e

n

ta

s

e

K

e

ja

d

ia

n

P

e

n

y

a

k

it

tunggal campuran

Gambar 2 Kejadian penyakit di Majalengka

Majalengka MH

Pengamatan kejadian penyakit pertama menunjukkan terdapatnya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran, dimana genotipe campuran terlihat lebih tinggi serangannya (p=0.018). Pada pengamatan selanjutnya, tidak terlihat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05).

Keparahan penyakit pada pengamatan pertama memperlihatkan bahwa genotipe campuran lebih parah daripada genotipe tunggal (p=0.0075). Pada pengamatan kedua keparahan penyakit antara genotipe tunggal dan campuran tidak terdapat perbedaan, namun pada pengamatan ketiga genotipe campuran menunjukkan keparahan yang lebih tinggi daripada genotipe tunggal (p=0.0395).


(39)

25 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

61 80 94 106 64 78 92 112

MK II (hss) MH (hss)

P e rs e n ta s e K e p a ra h a n P e n y a k it tunggal campuran

Gambar 3 Keparahan penyakit di Majalengka

Keparahan genotipe tunggal dan campuran tidak berbeda lagi pada pengamatan keempat. Analisis terhadap nilai AUDPC memperlihatkan tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05).

Pacitan MK II

Berdasarkan ujit, kejadian penyakit antara genotipe tunggal dan campuran terlihat pada pengamatan kedua, dimana genotipe campuran mempunyai kejadian penyakit lebih tinggi (p=0.0035). Pengamatan pertama terhadap kejadian penyakit tidak terlihat adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran, demikian juga pada pengamatan ketiga, keempat dan kelima (p>0.05).

Keparahan penyakit pada pengamatan pertama belum ada perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Pada pengamatan kedua, genotipe campuran lebih parah daripada genotipe tunggal (p=0.0032), namun pada pengamatan ketiga keparahan penyakit antara genotipe tunggal dan campuran tidak terdapat perbedaan. Perbedaan terlihat kembali pada pengamatan keempat, namun pada pengamatan keempat genotipe tunggal lebih parah daripada genotipe campuran (p=0.0147). Pada pengamatan kelima, antara genotipe tunggal dan campuran tidak terdapat perbedaan.


(40)

0 20 40 60 80 100 120

60 73 87 101 115 63 77 87 101 112

MK II (hss) MH (hss)

P

e

rs

e

n

ta

s

e

K

e

ja

d

ia

n

P

e

n

y

a

k

it

tunggal campuran

Gambar 4 Kejadian penyakit di Pacitan

Pengamatan pertama ke pengamatan kedua menunjukkan bahwa genotipe campuran mempunyai nilai AUDPC lebih tinggi (p=0.0119). Nilai AUDPC pada pengamatan-pengamatan selanjutnya tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05).

Pacitan MH

Pengamatan pertama belum menunjukkan adanya gejala penyakit sehingga skor seluruh genotipe adalah nol. Gejala mulai tampak pada pengamatan kedua dan pada pengamatan kedua ini tidak terdapat perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran. Perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran terlihat pada pengamatan ketiga, keempat dan kelima dimana kejadian penyakit pada genotipe tunggal lebih tinggi daripada genotipe campuran. Nilai p untuk pengamatan ketiga, keempat dan kelima berturut-turut 0.0306, 0.0037 dan 0.0047.


(41)

27 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

60 73 87 101 115 63 77 87 101 112

MK II (hss) MH (hss)

P e rs e n ta s K e p a ra h a n P e n y a k it tunggal campuran

Gambar 5 Keparahan penyakit di Pacitan

Belum terlihat adanya perbedaan keparahan penyakit antara genotipe tunggal dan campuran pada pengamatan pertama dan kedua. Pada pengamatan ketiga sampai pengamatan kelima, genotipe tunggal terserang lebih parah dibandingkan genotipe campuran (nilai p berturut-turut 0.0306, 0.0037 dan 0.007).

Tabel 4 Total nilai AUDPC di Majalengka dan Pacitan pada MK II dan MH

Genotipe Majalengka Pacitan

MK II MH MK II MH

G1 Inpari 6 Jete 5.48 6.04 6.90 0.53

G2 Inpari 13 8.01 6.49 14.46 2.48

G3 Ciherang 8.91 2.51 4.52 1.58

G4 IPB 98-F-5-1-1 9.01 0.62 10.53 0.14

G5 IPB 97-F-13-1-1 10.46 3.49 9.72 0.38

G6 IPB 102-F-92-1-1 6.55 6.36 2.53 0.00

G7 IPB 107- F-60-1-1 7.51 18.55 9.73 5.48

G8 Maros+Ciherang 6.26 6.18 7.40 0.00

G9 Maros+Cigeulis 10.04 5.23 5.51 0.11

G10 Ciherang+Cigeulis 6.55 17.29 5.71 0.00 G11 Inpari 6 Jete+Inpari 13 7.19 9.46 10.25 0.34 G12 Inpari 6 Jete+Ciherang 7.43 9.05 6.33 0.00 G13 Maros+Ciherang+Cigeulis 6.93 9.95 6.76 0.12 G14 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1 7.58 4.16 6.13 0.00 G15 IPB 107-F-60+IPB 102-F-90-2-1 7.51 19.63 9.79 1.29 G16 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13

+IPB 98-F-5-1-1-1 8.89 0.00 8.37 0.05 G17 IPB 102-F-92-1-1+IPB 107-F-60-1-1 +IPB


(42)

Analisis nilai AUDPC pada pengamatan pertama ke pengamatan kedua serta pengamatan kedua ke pengamatan ketiga tidak menunjukkan perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran (p>0.05). Perbedaan AUDPC terlihat pada pengamatan ketiga ke pengamatan keempat dan pengamatan keempat ke pengamatan kelima dengan nilai p berturut-turut 0.0128 dan 0.0069.

Perkembangan penyakit HDB di lapangan sangat ditentukan oleh faktor patogen, lingkungan serta tanaman inang. Benih padi yang ditanam dapat berfungsi sebagai agen pembawa Xoo sebagai penyebab HDB. Perbedaan yang terjadi pada keempat lingkungan pengujian diduga disebabkan oleh perbedaan jumlah inokulum awalXoo yang terbawa benih. Menurut Walcott (2003), patogen yang terbawa benih tidak terlihat gejalanya sehingga tidak mungkin dapat dideteksi secara visual. Populasi patogen terbawa benih umumnya tidak terlalu besar dan tidak merata jumlahnya pada setiap benih. Keadaan yang demikian menyebabkan bervariasinya kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC penyakit HDB pada genotipe yang diuji.

Secara umum, tidak adanya perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran di Majalengka dan di Pacitan pada MK II diduga karena patogen yang terbawa benih mempunyai kemampuan untuk menyerang tanaman inangnya didukung oleh faktor lingkungan terutama suhu. Suhu yang hangat pada MK II sangat mendukung perkembangan bakteri Xoo, sehingga tersedia inokulum yang cukup untuk menyerang tanaman. Seluruh genotipe baik tunggal maupun campuran dengan berbagai latar belakang ketahanan terhadap Xoo terserang seluruhnya dengan tingkat serangan yang bervariasi. Gejala serangan yang terlihat pada genotipe tunggal dan campuran tidak memperlihatkan pola yang spesifik.

Pada MH Xoo lebih lambat berkembang karena suhu lebih rendah. Pada MH di Majalengka, tidak ada perbedaan antara genotipe tunggal dan campuran dalam hal kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC pada akhir pengamatan. Perbedaan kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC antara genotipe tunggal dan campuran terlihat di Pacitan, dimana genotipe tunggal mempunyai nilai yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bahwa di Pacitan pada MH, pencampuran genotipe dapat menekan perkembangan kejadian, keparahan dan AUDPC penyakit HDB.


(43)

29

Ketahanan yang muncul di Pacitan pada MH adalah ketahanan horizontal. Genotipe campuran yang mempunyai lebih banyak gen ketahanan dalam populasinya memperlihatkan gejala yang lebih sedikit. Strain Xoo yang menyerang pun tidak spesifik. Genotipe IPB 107-F-60-1-1 mempunyai sifat tahan terhadap Xoo strain III, agak tahan strain IV namun agak rentan terhadap strain VIII. Genotipe campuran Ciherang+Cigeulis mempunyai sifat tahan terhadap strain III dan IV, sedangkan genotipe IPB 107-F-60-1-1+IPB 102-F-90-2-1 mempunyai sifat tahan dan agak rentan terhadap strain III. Meskipun demikian tidak dapat dikatakan bahwa strain Xoo yang menyerang adalah strain VIII, karena terdapat genotipe lain dengan AUDPC jauh lebih rendah padahal bersifat agak rentan atau tidak mempunyai ketahanan terhadap strain VIII. Dengan demikian pola AUDPC tidak berkaitan dengan sifat ketahanan genotipe terhadap strain tertentu.

Kesimpulan

Hasil analisis uji t untuk membandingkan genotipe tunggal dan campuran pada setiap lokasi pada MK II dan MH diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC di Majalengka MK II, Majalengka MH dan Pacitan MK II. Perbedaan hanya terlihat di Pacitan pada MH dimana genotipe tunggal mempunyai kejadian penyakit, keparahan penyakit dan AUDPC lebih tinggi daripada genotipe campuran. Dapat dikatakan bahwa pencampuran dapat mengurangi perkembangan penyakit HDB di Pacitan pada MH.

Daftar Pustaka

Adhikari TB et al. 1995. Genetic diversity ofXanthomonas oryzae pv. oryzae in Asia.Appl. Environ. Microbiol. 61 : 966– 971.

Amadioha AC. 2000. Controlling rice blast in vitro and in vivo with extracts of

Azadirachtaindica.Crop Protection 19:287–290.

Djatmiko AH, Fatichin. 2009. Ketahanan dua puluh satu varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri. J. HPT Tropika 9: 168-173

Elings Aet al. 1997. Rice bacterial leaf blight : field experiments, system analysis dan damage coefficients.Field Crop Research 51 : 113– 131.


(44)

Finckh MR, Mundt CC. 1992. Stripe rust, yield, and plant competition in wheat cultivar mixtures. Phytopathol 82 : 905– 913.

Garret KA, Mundt CC. 1999. Epidemiology in mixed host population.

Phytopathol 89 : 984– 990.

Horino O, Kaku H. 1989. Defense mechanism of rice againts bacterial blight caused by Xanthomonas campestris pv. oryzae di dalam: Banta S.J, Cervantes E, Mew T.W (Editor), Bacterial Blight of Rice, Proc. Of the Int. Workshop on Bacterial Blight of Rice, IRRI, Los Banos, 135– 152.

Horino O, Mew TW, Yamada T. 1982. The effect of temperature on the development of bacterial leaf blight on rice.Ann. Phytopathol. Soc. Jpn 48 : 72– 75

Huanget al. 1997. Pyramiding of bacterial blight resistance genes in rice : marker assisted selection using RFLP and PCR.Theor. Appl. Genet. 95 : 313– 320. [IRRI] International Rice Research Institute.1996.Standard Evaluation System for

Rice. Ed ke-4. INGER Genetic Resources Center.

Ji GH, Wei LF, He YQ, Wu YP, Bai XH. 2008. Biological control of rice bacterial blight byLysobacter antibioticus strain 13-1.Biological Control 45 : 288– 296.

Josi RK, Nayak S. 2010. Gene pyramiding-A broad spectrum technique for developing durable stress resistance in crops.Biotechnol. Mol. Biol. Rev. 5 : 51-60.

Kadir TS, Suryadi Y, Sudir, Machmud M. 2009. Penyakit bakteri padi dan cara pengendaliannya. Inovasi Teknologi Padi, BB Padi.

Lopez CG, Mundt CC. 2000. Using mixing ability analysis from two way cultivar mixtures to predict the performance of cultivar in complex mixtures. Field Crop Research 68 : 121-132

Mahmood T, Marshall D, McDaniel ME. 1991. Effects of winter wheat cultivar mixtures on leaf severity and grain yield. Phytopathol 81 : 471– 474.

Mazzola M, Leach JE, Nelson R, White FF. 1994. Analysis of the interaction between Xanthomonas oryzae pv. oryzae and the rice cultivars IR24 and IRBB21. Phytopathology 84 : 392– 397.

Mew TW, Alvarez AM, Leach JE, Swings J. 1993. Focus on bacterial blight of rice.Plant dis 77 : 5– 12

Mundt CC, Leonard KJ. 1986 Analysis of factors affecting disease increase and spread in mixtures of immune and susceptible plants in computer simulated epidemics.Phytopathol 76:832– 840

Mundt CC. 2002. Performance of wheat cultivars and cultivar mixtures in the presence of Chepalosporium stripe.Crop Protection 21 : 93– 99

Narayanasamy P. 2002. Microbial Plant Pathogens and Crop Disease Management. Tamil Nadu Agricultural University Coimbatore, India. Science Publishers, Inc.


(45)

31

Ning I, et al. 2012. The effect of wheat mixtures on the powdery mildew disease and some yield components. Journal of Integratif Agriculture 11 : 611 –

620.

Ohtsuki A, Sasaki A. 2006. Epidemiology and disease control under gene-for-gene plant-pathogen interaction.Journal of Theoritical Biology 238 : 780 –

794.

Ou SH. 1985.Rice Disease. Ed ke-2. Commonwealth Mycological Institute. Philip R, Devadath S. 1981. Studies on the physiology of bacterial leaf blight

infected tolerant and susceptible rice cultivar.Phytopathol 101 : 65– 71. Qi Z. 2009. Genetics and improvement of bacterial blight resistance of hybrid rice

in China.Rice Science 16 : 83– 92.

Rajarajeswari NVL, Muralidharan K. 2006. Assesment of farm yield and district production loss from bacterial leaf blight epidemics in rice.Crop Protection

25 : 244– 252.

Rekanovic E, S Milijasevic, B Todorovic, I Potocnik. 2007. Possibilities of biological and chemical control of verticillium wilt in pepper.

Phytoparasitica 35:436–441.

Samonte O. 2008. Rice Multilines and Mixtures. Texas Rice. Agrilife Research Texas A&M System VIII : 7.

Sharma RC, Dubin HJ . 1996. Effect of wheat cultivar mixtures on spot blotch (Bipolaris sorokiniana) and grain yield.Field Crop Research 48 : 95 -101. Singh S, et al. 2001. Pyramiding three bacterial blight resistance genes (xa5, xa12

and Xa21) using marker assisted selection into indica rice cultivar PR 106.

Theor. Appl. Genet. 102 : 1011– 1015.

Suryadi Y, Kadir TS, Machmud M. 2006. Deteksi Xanthomonas oryzae pv

oryzae, penyebab hawar daun bakteri pada tanaman padi. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25

Wahyudi AT, Meliah S, Nawangsih AA. 2011. Xanthomonas oryzae pv oryzae bakteri penyebab hawar daun pada padi: isolasi, karakterisasi, dan telaah mutagenesis dengan transposon.Makara Sains 15 : 89– 96.

Walcott R.R. 2003. Detection of seedborne pathogens. Horttechnology 13 : 40 -47

Yang CM. 2010. Assesment of the severity of bacterial leaf blight in rice using canopy hypercpestral reflectance.Precision Agric 11 : 61-81

Zhou et al. 2011. Improvement of bacterial blight resistance of hybrid rice in China using the Xa23 gene derived from wild rice (Oryza rufipogon). Crop Protection 30 : 637-644.


(46)

Abstrak

Tujuan percobaan adalah mengetahui pengaruh pencampuran genotipe terhadap beberapa karakter agronomi padi sawah antar musim, yaitu dari musim kemarau ke musim hujan. Materi genetik yang digunakan terdiri dari 7 genotipe tunggal dan 10 genotipe campuran padi sawah. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan genotipe sebagai perlakuan yang diulang tiga kali. Percobaan dilakukan di lahan petani di Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Pacitan masing-masing selama dua musim tanam berturut-turut yaitu pada musim kemarau II 2011 dan musim hujan 2011/2012. Benih dari musim kemarau II ditanam pada musim hujan. Budidaya dan pemupukan dilakukan sesuai rekomendasi setempat. Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter agronomi dan komponen hasil yaitu tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah total per malai, bobot 1000 butir, persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuran sink. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengaruh genotipe, musim dan interaksi keduanya terhadap karakter tinggi tanaman pada genotipe tunggal maupun campuran. Uji t menunjukkan terdapatnya perbedaan pada nilai pengamatan antara musim kemarau II dan musim hujan. Perbedaan tidak terjadi antara genotipe tunggal dan campuran, kecuali pada jumlah malai per rumpun di Majalengka dan bobot 1000 butir di Majalengka dan Pacitan.


(47)

34

Abstract

The experiment to find out the effect of mixture in several agronomic characters from dry season 2011 to wet season 2011/2012 was conducted on 7 cultivars and 10 cultivar mixtures of rice. The experiment was laid out in a Randomized Complete Block Design in which genotypes were used as a treatment and each treatment was repeated three times. The study was conducted at two location of farmer’s fieldincluding Majalengka and Pacitan during two successive growing seasons. Rice cultivation and fertilizer application were performed according to a local recommendation. Several important agronomic traits and yield components, such as plant height, number of panicle per hill, number of well-filled grain per panicle, number of unfilled grain per panicle, number of total grain per panicle, 1000-grain weight, well-filled grain percentage, yield per ha and sink size were evaluated. Based on analysis of variance, both genotype and season factors had significantly different effect to the plant height as well as those the genotype and season interaction in both cultivar and cultivar mixtures genotypes. Additionally, further analysis by using

t-test showed that the value of observed traits between dry season and wet season was different. However, the difference was not observed between cultivar and cultivar mixtures genotypes, except for the number of panicle per hill in Majalengka and 1000-grain weight in Majalengka and Pacitan. Therefore, the effect of the mixture genotypes to the difference in observed value of traits collected from the two seasons has remained unknown.


(48)

Pendahuluan

Meskipun pertumbuhan tanaman merupakan resultan dari banyak proses mulai dari proses penangkapan cahaya matahari sesuai bentuk kanopi, fotosintesis dan konversi fotosintat menjadi biomasa (Shimono et al 2002), namun faktor genetik tanaman serta lingkungan juga berperan dalam menentukan pertumbuhan akhir tanaman. Sadras & Slafer (2012) berpendapat bahwa komponen hasil sangat dipengaruhi oleh gabungan dari pengaruh lingkungan, kendali genetik dan fisiologi. Faktor lingkungan yang berperan dalam menentukan pertumbuhan dan hasil tanaman adalah tanah dan iklim serta perlakuan budidaya (Casanova et al

2002). Hiraiet al (2012) menyimpulkan bahwa hasil padi sangat dipengaruhi oleh cuaca, iklim mikro, kondisi tanah serta perlakuan budidaya. Alexandrov & Hoogenboom (2000) melaporkan bahwa keadaan tanah dan iklim sangat berpengaruh terhadap hasil jagung dan merupakan faktor pembatas dalam pertumbuhan tanaman.

Faktor genetik juga berperan dalam menentukan produktivitas. Apabila suatu genotipe ditanam terus menerus dalam area yang luas maka akan mengalami kerapuhan genetik terutama akan mudah terserang hama dan penyakit (Harahap & Silitonga 1988; Suprapto & Widyantoro 2005). Kerapuhan genetik berdampak terhadap semakin menurunnya ketahanan tanaman terhadap hama penyakit dan semakin menurunnya hasil dan kualitas hasil.

Beberapa genotipe Salix viminalis yang ditanam secara tunggal dan campuran selama dua musim tanam menunjukkan pola yang tidak sama antar genotipe pada karakter hasil panen. Genotipe 77082 menunjukkan adanya penurunan hasil pada MH pada penanaman tunggal maupun campuran dengan genotipe lain, sedangkan genotipe 870148 menunjukkan kenaikan hasil pada MH pada penanaman tunggal maupun campuran dengan genotipe lain (Begley et al

2009). Tanaman gandum memperlihatkan penurunan pada karakter hasil (kg ha-1) maupun jumlah biji per m2 pada semua genotipe yang diuji (Jackson & Wennig 1997).

Krakter-karakter yang mendukung hasil pda tanaman padi antara lain tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah gabah per malai, ukuran gabah, rasio gabah isi, persen gabah hampa, bobot 1000 butir (Cooper et al 1999; Sakamoto &


(49)

36

Matsuoka 2008; Makarim & Ikhwani 2008; Hirai et al 2012). Bobot biji sangat ditentukan oleh faktor genetik, namun rasio gabah isi sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Sakamoto & Matsuoka 2008). Kemudian Jeng et al (2006) melaporkan bahwa pengaruh waktu tanam terhadap hasil dan komponen hasil tergantung genotipe.

Sampai saat ini praktek budidaya padi sawah melalui pencampuran varietas belum pernah dilaporkan. Percobaan dilakukan untuk mengetahui pengaruh pencampuran terhadap beberapa karakter agronomi padi sawah pada genotipe tunggal dan campuran dan perubahannya dari MK II ke MH.

Bahan Dan Metode 1. Materi percobaan

Materi genetik yang digunakan dalam percobaan adalah 17 genotipe padi sawah berupa varietas dan galur tunggal, campuran dua dan campuran tiga galur/varietas yang mempunyai ketahanan terhadap HDB berbeda-beda (Tabel 5). Materi percobaan berasal dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) dan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Tabel 5 Materi genetik yang digunakan dalam percobaan

Ketahanan terhadap strainXoo Sumber Kode Pertanaman tunggal dan

campuran III IV VIII

G1 Inpari 6 Jete tahan tahan tahan BB Padi G2 Inpari 13 agak rentan agak rentan agak rentan BB Padi

G3 Ciherang tahan tahan - BB Padi

G4 IPB 98-F-5-1-1 tahan+tahan tahan - BB Padi G5 IPB 97-F-13-1-1 tahan tahan - BB Padi G6 IPB 102-F-92-1-1 tahan tahan+tahan - BB Padi

G7 IPB 107- F-60-1-1 tahan + agak rentan

tahan + agak rentan

tahan + agak rentan

BB Padi G8 Maros+Ciherang tahan+tahan tahan+tahan tahan BB Padi

G9 Maros+Cigeulis tahan+tahan tahan+tahan - BB Padi

G10 Ciherang+Cigeulis agak tahan IPB

G11 Inpari 6 Jete+Inpari 13 agak tahan IPB

G12 Inpari 6 Jete+Ciherang agak tahan IPB

G13 Maros+Ciherang+Cigeulis tahan IPB

G14 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13-1-1 agak tahan + agak tahan IPB G15 IPB 107-F-60+IPB 102-F-90-2-1 tahan + rentan IPB

G16 IPB 117-F-7-2+IPB 97-F-13 +IPB 98-F-5-1-1-1

agak tahan+agak tahan+agak tahan IPB G17 IPB 102-F-92-1-1+IPB

107-F-60-1-1 +IPB 102-F-90-2-1


(50)

2. Pelaksanaan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 17 perlakuan dan 3 ulangan. Percobaan dilakukan di lahan petani di Kabupaten Majalengka Jawa Barat dan di Kabupaten Pacitan Jawa Timur selama dua musim tanam berturut-turut. Generasi pertama ditanam bertepatan dengan Musim Kemarau II 2011 (MK II) bulan Juni - September 2011 dan generasi kedua ditanam bertepatan dengan Musim Hujan 2011/2012 (MH) bulan Nopember 2011– Maret 2012.

Luas petak percobaan 6.84 m2 (petak bersih 5.78 m2). Benih disemai dan pindah tanam bibit dilakukan pada 14 hari setelah semai (hss). Penanaman 2 bibit per lubang tanam dengan jarak tanam 20 cm x 20 cm. Pupuk diberikan sesuai kebutuhan tanaman berdasarkan hasil analisis tanah menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Pengujian sampel tanah dilakukan sebelum pengolahan tanah. Perawatan lain yaitu penyiangan, pengaturan air dan pengendalian hama. Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter agronomi dan komponen hasil yaitu tinggi tanaman (cm), jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per malai (butir), jumlah gabah hampa per malai (butir), jumlah gabah total per malai (butir), bobot 1000 butir (g), persentase gabah isi (%), hasil per ha (t ha-1) dan ukuran sink (g m-2). Pengukuran kadar air dilakukan masing-masing tiga kali terhadap setiap sampel. Selanjutnya hasil dikonversi ke kadar air 14% dan bobot 1000 butir dikonversi ke kadar air 13% sesuai standar SES IRRI (1996).

3. Analisis Data

Analisis data dilakukan menggunakan anova pada masing-masing unit percobaan menggunakan software SAS 9.1.3 portable serta Minitab versi 15. Perbandingan setiap karakter pengamatan untuk perbedaan nilai pengamatan antar kedua musim tanam dilakukan dengan uji t pada taraf nyata 5%. Formula untuk ujitberpasangan adalah (Mattjik & Sumertajaya 2006):

n s d t

d do hitung

/

µ

ð

pada derajat bebas n-1.

adalah nilai tengah dari beda dua contoh

n d

di


(51)

38

adalah galat baku

Kriteria pengambilan keputusan adalah jika nilai p < 0.05 pada taraf 5% berarti terdapat perbedaan antara MK II dan MH, dan jika nilai p  0.05 artinya tidak terdapat perbedaan antara MK II dan MH.

Hasil dan Pembahasan

Hasil anova gabungan MK II dan MH pada genotipe tunggal dan campuran disajikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Pada genotipe tunggal terlihat bahwa genotipe sangat berpengaruh terhadap seluruh karakter pengamatan. Pengaruh musim pada genotipe tunggal tampak pada karakter tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah hampa per malai, persentase gabah isi, hasil per ha dan ukuran sink, sedangkan interaksi genotipe dengan musim berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah isi per malai. Karakter pengamatan yang sangat dipengaruhi oleh genotipe, musim dan interaksi keduanya pada genotipe tunggal adalah tinggi tanaman dan jumlah malai per rumpun.

Tabel 6 Ringkasan hasil anova gabungan pada genotipe tunggal

Karakter pengamatan Genotipe Musim Genotipe*musim

Tinggi tanaman (cm) ** ** *

Jml malai per rumpun ** ** *

Jml gabah isi per malai (butir) ** tn * Jml gabah hampa per malai (butir) ** * tn Jml gabah total per malai (butir) * tn tn

Bobot 1000 butir (g) ** tn tn

Persentase gabah isi (%) ** * tn

Ukuran sink (g m2)

** * tn

Hasil per ha (ton) ** ** tn

Pada genotipe campuran, genotipe juga sangat berpengaruh terhadap seluruh karakter kecuali ukuran sink. Pengaruh musim tampak pada tinggi tanaman, jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir, hasil per ha dan ukuran

sink, sedangkan interaksi genotipe dengan musim hanya mempengaruhi tinggi tanaman. Karakter pengamatan yang sangat dipengaruhi oleh genotipe, musim dan interaksi keduanya pada genotipe campuran hanyalah tinggi tanaman.

n n d d n s

s d i

d

) 1 /( )

(  2 

  


(1)

98

Lanjutan Lampiran 19 Hasil uji t karakter agronomi lainnya

Karakter pengamatan Perbandingan Lingkungan Nilai p Majalengka 0.4649 MK II vs MH tunggal

Pacitan 0.7807

Majalengka 0.0255 MK II vs MH campuran

Pacitan 0.5288

MK II vs MH tunggal Majalengka dan Pacitan

0.4620 Bobot 1000 butir

MK II vs MH campuran Majalengka dan Pacitan

0.0384 Majalengka 0.7523 MK II vs MH tunggal

Pacitan 0.0799

Majalengka 0.0019 MK II vs MH campuran

Pacitan 0.1225

MK II vs MH tunggal Majalengka dan Pacitan

0.1760 Persentase gabah isi

MK II vs MH campuran Majalengka dan Pacitan

0.2945 Majalengka 0.0009 MK II vs MH tunggal

Pacitan 0.1155

Majalengka <0.0001 MK II vs MH campuran

Pacitan 0.0002

MK II vs MH tunggal Majalengka dan Pacitan

0.0023 Ukuransink

MK II vs MH campuran Majalengka dan Pacitan

<0.0001 Majalengka 0.1536 MK II vs MH tunggal

Pacitan <0.0001 Majalengka 0.7254 MK II vs MH campuran

Pacitan

MK II vs MH tunggal Majalengka dan Pacitan

<0.0001 Hasil per ha

MK II vs MH campuran Majalengka dan Pacitan

<0.0001


(2)

99


(3)

100


(4)

101


(5)

102


(6)

103

Bulan Musim tanam Majalengka* Pacitan**

Juni 2011 1 0 11

Juli 2011 1 0 0

Agustus 2011 1 0 0

September 2011 1 0 0

Oktober 2011 1 0 52

Nopember 2011 2 305 217

Desember 2011 2 580 432

Januari 2012 2 76.58*** 395

Februari 2012 2 181.7*** 387

Maret 2012 2 192 455

*data dari Dinas Pekerjaan Umum Cigasong **data dari Dinas Pekerjaan Umum Pacitan ***data dari BMG stasiun Meteorologi Jatiwangi