Aplikasi Eritromisin dan Kloramfenikol dalam Menekan Jumlah Campylobacter spp. dan Koliform pada Ayam yang Diinfeksi oleh Campylobacter jejuni

APLIKASI ERITROMISIN DAN KLORAMFENIKOL DALAM
MENEKAN JUMLAH Campylobacter spp. DAN KOLIFORM
PADA AYAM YANG DIINFEKSI OLEH Campylobacter jejuni

MURDIANA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
 

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Aplikasi Eritromisin
dan Kloramfenikol dalam Menekan Jumlah Campylobacter spp. dan Koliform
pada Ayam yang Diinfeksi oleh Campylobacter jejuni adalah karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.


Bogor, September 2012
Murdiana
NIM B04080021

ABSTRACT
MURDIANA. Application Erythromycin and Chloramphenicol to Eliminate
Campylobacter spp. and Coliform in Chickens were Infected by
Campylobacter jejuni. Under the guidance of HERWIN PISESTYANI.
Campylobacter is one of the major pathogenic bacteria causing food
poisoning that can be transmitted through poultry products. Infection C. jejuni
and coliform in humans can be caused by eating contaminated food. Transmission
can be achieved at the farm level with treatment suffering from
campylobacteriosis in poultry, for example by administering antimicrobial. The
aimed of this study was to determine the number of Campylobacter spp. and
coliform in chickens were infected by C. jejuni before and after treatment with
erythromycin and chloramphenicol. A total of 17 chickens kept divided into four
experimental groups, namely (A) negative control, chickens were not infected by
C. jejuni and without antibiotic treatment, (B) positive control, chickens were
infected by C. jejuni and without antibiotic treatment, (C) chickens were infected

by C. jejuni and were treated by erythromycin, and (D) chickens infected by
C. jejuni and treated by chloramphenicol. Inspection was done in three times, in
one day old chickens, after infection (12 days old chickens), and after treatment
(17 days old chickens). The average number of Campylobacter spp. at one day old
chickens was 2.0 + 0.57 MPN/g, while the average number of coliforms was
2.8 x 107 + 3.5 x 106 cfu/g. After was infected by C. jejuni, the average number of
Campylobacter spp. increased to 46 + 27.15 MPN/g, while the average number of
coliforms was 2.0 x 106 + 1.7 x 105 cfu/g. After treatment by erythromycin and
chloramphenicol, the average number of Campylobacter spp. in both groups
decreased, respectively 2.5 + 2.12 as MPN/g and 2 + 0 MPN/g, while the average
number of coliforma much as 5.7 x 108 + 3.2 x 107 cfu/g and 4.3 x 108 + 1.7 x 108
cfu/g. From this research, erythromycin or chloramphenicol were effective for
treatment of campylobacteriosis in chickens.

Keywords: Campylobacter spp., coliform, erythromycin, and chloramphenicol.

RINGKASAN
MURDIANA. Aplikasi Eritromisin dan Kloramfenikol dalam Menekan Jumlah
Campylobacter spp. dan Koliform pada Ayam yang Diinfeksi oleh
Campylobacter jejuni. Dibawah bimbingan HERWIN PISESTYANI.

Campylobacter merupakan salah satu bakteri patogen utama penyebab
keracunan pangan yang dapat ditularkan melalui produk unggas. Campylobacter
dapat menginfeksi unggas sehat dan dapat mengontaminasi karkas selama proses
pemotongan dan pengolahan. Infeksi C. jejuni dan kelompok koliform pada
manusia dapat disebabkan karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi.
Upaya pencegahan dapat dilakukan di tingkat peternakan dengan pengobatan pada
unggas yang menderita campylobacteriosis, misalnya dengan pemberian
antimikroba. Pemberian antimikroba pada unggas yang menderita
campylobacteriosis dilakukan agar kontaminasi pada produk pangan dapat
dicegah sehingga pencegahan campylobacteriosis pada manusia dapat dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah Campylobacter spp. dan
koliform pada ayam yang diinfeksi C. jejuni sebelum dan setelah pengobatan
menggunakan antimikroba eritromisin dan kloramfenikol.
Sebanyak 17 ekor ayam dipelihara yang dibagi menjadi empat kelompok
percobaan, yaitu (A) 5 ekor kontrol negatif, ayam tidak diinfeksi C. jejuni dan
tanpa pengobatan antibiotik; (B) 4 ekor kontrol positif, ayam diinfeksi C. jejuni
dan tanpa pengobatan antibiotik; (C) 4 ekor ayam diinfeksi C. jejuni dengan
konsentrasi 104 cfu/ml secara oral dan diobati dengan eritromisin dengan dosis
40 µg/ml secara oral sebanyak 1 ml/hari/ekor; dan (D) 4 ekor ayam diinfeksi
C. jejuni dengan konsentrasi 104 cfu/ml secara oral dan diobati dengan

kloramfenikol dengan dosis 5 µg/ml secara oral sebanyak 1 ml/hari/ekor.
Pemeriksaan dilakukan tiga kali, yaitu pada ayam umur satu hari, setelah infeksi
(ayam umur 12 hari), dan setelah pengobatan (ayam umur 17 hari).
Rataan jumlah Campylobacter spp. pada ayam umur satu hari adalah 2.0 +
0.57 MPN/g, sedangkan rataan jumlah koliform adalah 2.8 x 107 + 3.5 x 106 cfu/g.
Setelah diinfeksi C. jejuni, rataan jumlah Campylobacter spp. meningkat menjadi
46 + 27.15 MPN/g, sedangkan rataan jumlah koliform adalah 2.0 x 106 + 1.7 x 105
cfu/g. Setelah dilakukan pengobatan menggunakan antimikroba eritromisin dan
kloramfenikol, rataan jumlah Campylobacter spp. pada kedua kelompok
mengalami penurunan, yaitu masing-masing sebanyak 2.5 + 2.12 MPN/g dan
2 + 0 MPN/g, sedangkan rataan jumlah koliform sebanyak 5.7 x 108 + 3.2 x 107
cfu/g dan 4.3 x 108 + 1.7 x 108 cfu/g. Dari penelitian ini, eritromisin dosis
40 µg/ml atau kloramfenikol dosis 5 µg/ml efektif dalam pengobatan
campylobacteriosis pada ayam.

Kata kunci: Campylobacter spp., koliform, eritromisin, dan kloramfenikol.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

APLIKASI ERITROMISIN DAN KLORAMFENIKOL DALAM
MENEKAN JUMLAH Campylobacter spp. DAN KOLIFORM
PADA AYAM YANG DIINFEKSI OLEH Campylobacter jejuni

MURDIANA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2012

Judul Penelitian : Aplikasi Eritromisin dan Kloramfenikol dalam Menekan
Jumlah Campylobacter spp. dan Koliform pada Ayam yang
Diinfeksi oleh Campylobacter jejuni
Nama
: Murdiana
NIM
: B04080021

Disetujui,

drh. Herwin Pisestyani, M.Si
Pembimbing

Diketahui,

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D, AP.Vet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan


Tanggal Lulus:

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah dan
karunia-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini
adalah Aplikasi Eritromisin dan Kloramfenikol dalam Menekan Jumlah
Campylobacter spp. dan Koliform pada Ayam yang Diinfeksi oleh
Campylobacter jejuni.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si
selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan dan ilmu yang diberikan
kepada penulis selama penelitian dan penyusunan tugas akhir ini dan kepada
bapak Dr. drh. Koekoeh Santoso, M.Si selaku dosen pembimbing akademik atas
bimbingan dan nasehat selama penulis menjalani studi. Ucapan terima kasih
penulis juga sampaikan kepada drh. Rahmat Hidayat, M.Si selaku dosen penguji
pada seminar hasil penelitian, dan kepada drh. Ekowati Handharyani, MS, Ph.D
dan Prof. drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D selaku dosen penguji pada ujian akhir
sarjana yang telah memberikan banyak saran kepada penulis. Kepada lembaga
Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (K2P3T)
penulis ucapkan terimakasih atas penyelenggaraan dana pada penelitian ini. Tidak

lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada drh. Rama Prima SF, M.Si atas
dukungan dan bimbingannya selama penelitian dan kepada Bapak Yuhendra yang
telah banyak membantu selama penelitian berlangsung. Kepada teman satu
penelitian (Iin Nuraeni) penulis berterima kasih atas kerjasama dan bantuannya
selama penelitian.
Terima kasih yang tak terhingga juga disampaikan kepada kedua orang tua
Bapak dan Mama, kakak-kakak tercinta daeng Udin, kak Mudi, daeng Didi, dan
kak Unni serta seluruh keluarga atas doa, semangat, dan cinta yang telah
diberikan. Selanjutnya ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada keluarga
Avenzoar 45 atas kesan dan nuansa indah selama perkuliahan dan juga kepada
keluarga Rumah Nahla atas doa, semangat, dan torehan tawa selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari
kekurangan, untuk itu penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran-saran
yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, September 2012

Murdiana

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 26 Januari 1990.
Penulis merupakan putri kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak
Djamaluddin dan Ibunda Mardiah.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SDI Tetebatu I dan lulus pada tahun
2002, yang kemudian dilanjutkan ke SMPN 1 Pallangga dan lulus pada tahun
2005. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMAN 3 Makassar dan lulus pada
tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor
(IPB) pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Mayor yang dipilih adalah Mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Selama menempuh pendidikan, penulis menjadi asisten praktikum mata
kuliah Biologi Dasar pada Tingkat Persiapan Bersama IPB. Selain itu, penulis
juga aktif dalam aktivitas organisasi Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas
FKH IPB dan beberapa kegiatan kepanitiaan Ikatan Mahasiswa Kedokteran
Hewan (IMAKAHI) Cabang IPB.

ABSTRACT
MURDIANA. The Number of Campylobacter spp. and Coliform in Chick were
Treated by Erythromycin and Chloramphenicol. Under the guidance of HERWIN
PISESTYANI.

This study was aimed to determine the number of Campylobacter spp. and
coliform before and after treatment with erythromycin and chloramphenicol.
Total of 100 DOC were divided into four groups, (A) negative control, chickens
did not infect C. jejuni; (B) positive control, chickens infected C. jejuni without
treatment, (C) chickens infected by C. jejuni treated with erythromycin, and (D)
chickens infected C. jejuni treated with chloramphenicol. Examinations were
performed three times, at 1 day-old-chick, after infection, and after treatment. The
average number of Campylobacter spp. at one day old chickens is 2.0 + 0.57
MPN/g, while the average number of coliforms was 2.8 x 107 + 3.5 x 106 cfu/g.
Once infected by C. jejuni, the average number of Campylobacter spp. increased
to 46 + 27.15 MPN/g, while the average number of coliforms was 2.0 x 106 + 1.7
x 105 cfu/g. After treatment with erythromycin and chloramphenicol, the average
number of Campylobacter spp. decreased in both groups, ie each as much as 2.5
+ 2.12 MPN/g and 2 + 0 MPN/g, while the average number of total coliform 5.7 x
108 + 3.2 x 107 cfu/g and 4.3 x 108 + 1.7 x 108 cfu/g.
Keywords: Campylobacter spp., coliforms, erythromycin, and chloramphenicol.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................


xii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

xiii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

xiv

PENDAHULUAN .........................................................................................
Latar Belakang ......................................................................................
Tujuan Penelitian ..................................................................................
Manfaat Penelitian ................................................................................
Hipotesis Penelitian ...............................................................................

1
1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
Karakteristik Campylobacter jejuni ......................................................
Campylobacteriosis pada Ayam ...........................................................
Campylobacteriosis pada Manusia .......................................................
Karakteristik Koliform .........................................................................
Kolibasilosis pada Ayam ........................................................................
Bakteri Koliform pada Manusia .............................................................
Antimikroba dan Antibiotik....................................................................
Eritromisin ...................................................................................
Kloramfenikol .............................................................................
Penggunaan Antibiotik pada Peternakan Ayam .....................................

3
3
4
5
7
8
9
9
11
11
12

BAHAN DAN METODE ..............................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian ...............................................................
Sampel dan Hewan Percobaan .............................................................
Alat dan Bahan .....................................................................................
Metode Penelitian .................................................................................
PemeliharaanAyam Broiler ...........................................................
InfeksiIsolatCampylobacterjejuni .................................................
PengobatandenganMenggunakanEritromisin
danKloramfenikol .........................................................................
PenghitunganJumlahCampylobacterjejuni
danKoliform ..................................................................................
PenghitunganJumlahCampylobacterjejuni (Review and
Methods for New Zaeland Laboratoriestahun 2003) ....................
PenghitunganJumlah Koliform (Compendium of Methods for
the Microbiological Examination of Foods tahun 2003) ..............
Analisis Data .................................................................................

14
14
14
14
15
15
15
15
15
16
17
17

xi 
 

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
Jumlah Campylobacter spp. pada Ayam Umur Satu Hari......................
Jumlah Campylobacter spp. pada Ayam setelah Diinfeksi oleh
Campylobacter jejuni .............................................................................
Jumlah Campylobacter spp. pada Ayam setelah Pengobatan
Menggunakan Eritromisin dan Kloramfenikol .......................................
Jumlah Koliform pada Ayam Umur Satu Hari .......................................
Jumlah Koliform pada Ayam setelah Diinfeksi oleh
Campylobacter jejuni .............................................................................
Jumlah Koliform pada Ayam setelah Pengobatan Menggunakan
Eritromisin dan Kloramfenikol ...............................................................

18
18

SIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................
Simpulan ...............................................................................................
Saran .....................................................................................................

27
27
27

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

28

LAMPIRAN ...................................................................................................

32

19
20
22
23
25

xii 
 

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Rataan jumlah Campylobacter spp. pada ayam umur 1 hari
(sebelum diinfeksi) .................................................................................

18

Rataan jumlah Campylobacter spp. pada ayam setelah
diinfeksi oleh C. jejuni (ayam umur 12 hari) ........................................

19

Rataan jumlah Campylobacter spp. pada ayam setelah
pengobatanmenggunakan eritromisin dan kloramfenikol
(ayam umur 17 hari) .............................................................................

20

4

Rataan jumlah koliform pada ayam umur 1 hari ....................................

23

5

Rataan jumlah koliform pada ayam setelah diinfeksi C. jejuni
(ayam umur 12 hari) .............................................................................

24

Rataan jumlah koliform pada ayam setelah pengobatan
menggunakan eritromisin dan kloramfenikol
(ayam umur 17 hari) ...............................................................................

25

2

3

6

xiii 
 

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Bentuk morfologi Campylobacter jejuni ................................................

3

xiv 
 

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
 

HasilpenghitunganjumlahCampylobacter spp.dankoliform ...................

32

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Campylobacter merupakan salah satu bakteri patogen utama penyebab
keracunan pangan pada manusia yang dapat ditularkan melalui produk unggas.
Campylobacter mampu hidup di saluran pencernaan unggas sehat. Bakteri ini
bereplikasi di mukosa saluran pencernaan yang memiliki kadar oksigen rendah
(mikroaerofilik). Campylobacter dapat menginfeksi unggas sehat dan dapat
mengontaminasi karkas selama proses pemotongan dan pengolahan. Pada karkas
ayam, Campylobacter dapat bertahan hidup namun tidak mampu bereplikasi
(Wesley

2009).

Kontaminasi

pada

karkas

ayam

dapat

mengakibatkan

campylobacteriosis pada manusia.
Kasus campylobacteriosis di beberapa negara telah banyak dilaporkan,
misalnya pada tahun 2004, 25 negara bagian Uni Eropa melaporkan 183 961
kasus campylobacteriosis. Di Amerika Serikat, hampir dua juta penderita
campylobacteriosis mengakibatkan penurunan produktivitas kurang lebih $1.2
juta setiap tahunnya. Secara epidemiologi, diketahui bahwa 72% kasus
campylobacteriosis tersebut disebabkan oleh kontaminasi C. jejuni pada produk
unggas (Wesley 2009; CDC 2011a).
Pada saluran pencernaan ayam, selain Campylobacter juga terdapat jenis
bakteri lain yang hidup sebagai mikroflora normal, misalnya koliform. Koliform
merupakan kelompok bakteri yang sering digunakan sebagai indikator sanitasi
pada berbagai jenis bahan pangan. Bakteri ini ditemukan pada feses hewan
maupun manusia (Ray & Bhunia 2008). Beberapa jenis dari kelompok bakteri ini
dapat ditemukan pada produk pangan asal hewan, misalnya daging ayam. Adanya
mikroorganisme ini dalam suatu produk pangan menunjukkan adanya kontaminasi
pada proses persiapan dan pengolahan. Kontaminasi tersebut salah satunya dapat
berasal dari feses hewan.
Infeksi C. jejuni dan koliform pada manusia dapat disebabkan karena
mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Kontaminasi tersebut dapat berasal
dari feses hewan, karena C. jejuni dan koliform hidup secara komensal dalam
saluran pencernaan hewan. Pada kondisi campylobacteriosis dan kolibasilosis

2

jumlah mikroorganisme tersebut jauh lebih tinggi dibanding dalam kondisi normal
sehingga peluang terjadinya kontaminasi pada produk pangan jauh lebih tinggi.
Upaya pencegahan dapat dilakukan di tingkat peternakan dengan pengobatan pada
unggas yang menderita campylobacteriosis dan kolibasilosis, misalnya dengan
pemberian antimikroba.
Pemberian antimikroba pada unggas yang menderita campylobacteriosis dan
kolibasilosis dilakukan agar kontaminasi pada produk pangan dapat dicegah
sehingga pencegahan penyakit pada manusia dapat dilakukan. Antimikroba yang
sering digunakan dalam kasus campylobacteriosis adalah eritromisin (Giguère
2006). Menurut Setiabudy dan Kunardi (2003), kloramfenikol memiliki spektrum
luas terhadap berbagai jenis mikroba, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan
campylobacteriosis

dan

kolibasilosis.

Pada

uji

Minimum

Bactericidal

Concentration (MBC) yang dilakukan pada penelitian sebelumnya, kedua
antimikroba tersebut memiliki daya hambat yang tinggi terhadap perkembangan
C. jejuni.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah Campylobacter spp. dan
koliform pada ayam yang diinfeksi C. jejuni sebelum dan setelah pengobatan
menggunakan antimikroba eritromisin dan kloramfenikol.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis
antimikroba yang efektif dalam menangani kasus campylobacteriosis pada
peternakan ayam. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengendalian foodborne disease yang disebabkan oleh Campylobacter spp. dan
koliform dari produk ayam.

Hipotesis Penelitian
Antimikroba eritromisin atau kloramfenikol dapat menurunkan jumlah
Campylobacter spp. dan koliform pada ayam yang diinfeksi C. jejuni.

3

TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Campylobacter jejuni
Campylobacter spp. merupakan bakteri Gram negatif, tidak berspora, dan
bersifat oksidase positif. Bentuk sel pleomorfik dan berukuran kecil, yaitu lebar
0.2-0.5 µm dan panjang 0.5-8.0 µm. Bakteri ini berbentuk spiral, ramping, dan
memiliki satu atau lebih flagela yang memberikan kemampuan untuk bergerak
cepat (Adams & Moss 2008).
Menurut Debruyne et al. (2008), genus Campylobacter termasuk ke dalam
famili Campylobacteraceae. Genus ini terdiri dari 14 spesies yang beberapa
diantaranya patogen bagi manusia.
Klasifikasi
Kingdom : Bacteria
Filum

: Proteobacteria

Kelas

: Epsilonproteobacteria

Ordo

: Campylobacterales

Famili

: Campylobacteraceae

Genus

: Campylobacter

Spesies

: Campylobacter jejuni

Gambar 1 Bentuk morfologi C. jejuni.
Menurut Songer dan Post (2005), C. jejuni tumbuh optimal pada suhu
42-45 C. Bakteri ini mati pada suhu pasteurisasi dan sangat sensitif dalam
kondisi asam. Pada suhu beku, C. jejuni mampu bertahan lama namun

4

kelangsungan hidupnya menurun, sehingga bakteri ini dapat bertahan hidup dalam
produk unggas hingga beberapa bulan.
Campylobacter jejuni bersifat mikroaerofilik dan 'capnophilic' (menyukai
karbondioksida) sehingga optimal tumbuh pada suasana yang mengandung
karbondioksida 10% dan 5-6% oksigen (Fernandes 2009). Campylobacter spp.
tidak mampu mengoksidasi karbohidrat, namun bakteri ini memiliki sistem
metabolisme kemoorganotropik yang mampu menggunakan asam amino sebagai
sumber energi (Sellars et al. 2002).

Campylobacteriosis pada Ayam
Ayam merupakan inang utama dari C. jejuni. Bakteri ini hidup secara
komensal pada mukosa saluran pencernaan ayam. Campylobacter jejuni dapat
bersifat patogen pada ayam usia muda, tapi umumnya pada ayam dewasa tidak
bersifat patogen. Pada day old chicken (DOC), infeksi dapat dengan mudah terjadi
tanpa menimbulkan gejala klinis (Snelling et al. 2005; Lee & Newell 2006).
Penularan Campylobacter spp. pada peternakan ayam dapat terjadi secara
vertikal

dan

horizontal.

Menurut

Sahin

et

al.

(2003b),

penularan

Campylobacter spp. secara vertikal dapat terjadi melalui kontaminasi telur dalam
saluran reproduksi ayam betina selama tahap perkembangan telur dan juga
melalui kontaminasi pada kerabang telur oleh feses yang mengandung
Campylobacter spp. dan berpenetrasi ke dalam bagian telur. Secara horizontal,
penularan Campylobacter spp. pada suatu peternakan ayam dapat terjadi melalui
kontaminasi dari lingkungan sekitar. Menurut Pearson et al. (1993) bakteri ini
dapat mengontaminasi pakan dan air minum. Kontaminasi silang melalui udara,
serangga, burung liar, dan pekerja juga dapat terjadi. Penyebaran penyakit dari
satu ayam ke ayam lainnya dalam satu kandang terjadi dengan sangat cepat. Ayam
yang terinfeksi dalam suatu peternakan dapat menyebarkan penyakit ke semua
populasi ayam dalam waktu beberapa hari (Lee & Newell 2006).
Serangga merupakan vektor penyebar C. jejuni. Lalat dan kumbang adalah
vektor yang dapat menyebarkan C. jejuni dalam suatu peternakan ayam. Selain
itu, rodensia dan burung liar yang berkeliaran di sekitar peternakan ayam juga
dapat menjadi sumber penyebaran C. jejuni. Menurut Shane dan Stern (2003),

5

rodensia dan burung liar merupakan reservoar bagi C. jejuni yang dapat
menyebarkan bakteri tersebut melalui kotoran yang mengandung bakteri.
Proses infeksi C. jejuni pada ayam dapat terjadi melalui rute oral. Infeksi
masuk melalui pakan atau air minum yang terkontaminasi. Bakteri masuk melalui
mulut ke dalam lambung, dan selanjutnya ke saluran intestinal. Patogenesis akibat
infeksi C. jejuni dimulai ketika bakteri ini berpenetrasi pada lapisan mukosa usus.
Bakteri ini berpenetrasi dengan menggunakan flagella. Bakteri yang telah
berpenetrasi akan melekat pada sel epitel dengan bantuan fibronectin binding
protein (CadF), lipoprotein (JlpA), flagellin, dan lipopolisakarida (LPS). Proses
perlekatan bakteri akan diikuti oleh proses invasi sel epitel yang mengakibatkan
terjadinya respon peradangan (Songer & Post 2005; Cox et al. 2010). Menurut
van Vliet dan Ketley (2001), respon peradangan yang terjadi mengakibatkan
kerusakan pada mukosa usus dan memicu terjadinya diare. Selain itu, kejadian
diare juga dapat terjadi akibat toksin yang dihasilkan oleh C. jejuni, yaitu
enterotoksin dan sitotoksin. Toksin ini dianggap merupakan salah satu faktor
terjadinya diare akibat infeksi C. jejuni (Shane & Stern 2003).
Infeksi Campylobacter spp. pada broiler dapat terjadi sejak ayam berumur 7
hari. Masa inkubasi penyakit pada ayam selama 2-7 hari (Shane & Stern 2003;
Lee & Newell 2006). Campylobacteriosis pada ayam dapat menimbulkan diare
dan dilatasi saluran pencernaan mulai dari distal lengkung duodenum sampai
bifurkasio pada sekum. Pada kejadian tersebut juga terjadi perdarahan akibat
enteritis hemoragi yang ditimbulkan oleh infeksi C. jejuni. Penyakit yang
ditimbulkan ini dapat pulih tanpa pemberian antibiotik (Dhillon et al. 2006;
Pisestyani 2010).

Campylobacteriosis pada Manusia
Campylobacteriosis pada manusia disebabkan oleh infeksi bakteri
Campylobacter spp. Bakteri ini dapat menyebabkan enterokolitis akut. Gejala
klinis yang terjadi diantaranya demam, nyeri perut, dan diare. Gejala lainnya
berupa muntah, sakit kepala, dan panas dingin juga sering ditemukan. Diare
merupakan gejala utama dari infeksi C. jejuni. Feses yang dihasilkan mengandung
Campylobacter 106-109 sel per gram, berbau busuk, berair, bahkan berdarah.

6

Penyakit ini bersifat self limiting disease yang dapat sembuh dalam waktu
seminggu (van Vliet & Ketley 2001; Adams & Moss 2008).
Kejadian campylobacteriosis pada manusia umumnya disebabkan oleh
C. jejuni (95%) dan C. coli (5%) (Songer & Post 2005). Sumber infeksi pada
manusia dapat berasal dari makanan atau minuman yang terkontaminasi dan
melalui kontak langsung dengan hewan atau feses hewan yang terinfeksi.
Konsumsi daging ayam yang tidak matang sempurna merupakan faktor utama
penyebab campylobacteriosis pada manusia. Kontaminasi pada daging ayam
dapat terjadi selama proses pemotongan dan pengeluaran jeroan, sedangkan
kontaminasi pada air minum bisa terjadi melalui feses burung liar dan berbagai
jenis hewan domestik yang mengandung Campylobacter spp. dalam fesesnya.
Proses pemanasan dapat membunuh Campylobacter spp. Oleh karena itu, dengan
proses pengolahan yang benar diharapkan mampu mengurangi risiko penularan
C. jejuni pada manusia (Wesley 2009).
Mekanisme patogenik campylobacteriosis belum sepenuhnya dipahami,
tetapi diketahui beberapa faktor virulensi dari C. jejuni berperan penting dalam
proses infeksi, diantaranya kemampuan motilitas, kemotaksis, dan produksi racun.
Campylobacter jejuni

mampu memproduksi beberapa toksin, utamanya

enterotoksin dan sitotoksin. Kemampuan motilitas memiliki peran yang sangat
penting dalam virulensi karena diperlukan untuk menembus lapisan dinding usus.
Ketika kemampuan motilitas bakteri hilang, maka infeksi yang terjadi juga hilang
(Cox et al. 2010).
Menurut van Vliet dan Ketley (2001), campylobacteriosis pada manusia
dapat menimbulkan penyakit kronis yang disebut Guillain-Barrè Syndrome
(GBS). Sindrom ini merupakan salah satu penyakit autoimun yang menyerang
sistem saraf perifer. Kejadian GBS pada manusia menyebabkan infiltrasi sel
mononuklear pada saraf perifer yang akan mengakibatkan degenerasi akson atau
demielinasi pada saraf perifer. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
motoris dan alexia (Ang et al. 2001; Winer 2001).
Mekanisme dari penyakit ini belum sepenuhnya diketahui. Namun menurut
Ang et al. (2001), kejadian GBS dapat dipicu oleh adanya infeksi saluran
pencernaan

akibat

C.

jejuni.

Campylobacter

jejuni

memiliki

struktur

7

lipopolisakarida (LPS) pada bagian membran luarnya. Inti oligosakarida pada LPS
C. jejuni mengandung gangliosida yang strukturnya sangat mirip dengan
gangliosida pada sel saraf manusia. Struktur LPS pada C. jejuni bersifat sangat
antigenik, sehingga pada saat terjadi gastroenteritis akibat C. jejuni tubuh akan
memproduksi antibodi untuk menghancurkan struktur LPS tersebut. Kemiripan
struktur antara inti oligosakarida pada LPS dan gangliosida pada sel saraf ini
mengakibatkan antibodi dan sel mononuklear dari dalam tubuh ikut menyerang
bagian gangliosida dari sel saraf perifer. Seiring dengan serangan yang berlanjut,
jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik dan sensorik
akan diserang, sehingga terjadi disfungsi motorik dan sensorik. Kejadian ini pada
akhirnya dapat mengakibatkan kelumpuhan pada manusia (van Vliet &
Ketley 2001).

Karakteristik Koliform
Bakteri koliform merupakan kelompok bakteri yang digunakan sebagai
indikator sanitasi air dan berbagai produk pangan. Istilah koliform bukan
merupakan istilah taksonomi melainkan mewakili sekelompok spesies dari
beberapa genus yang memiliki banyak karakteristik umum. Kelompok koliform
diantaranya Escherichia, Enterobacter, Kleibsiella, dan Citrobacter. Bakteribakteri tersebut merupakan bakteri dari famili Enterobacteriaceae yang bersifat
Gram negatif, berbentuk batang, tidak membentuk spora, pada umumnya motil,
anaerob fakultatif, dan mampu memfermentasi laktosa yang menghasilkan asam
dan gas dalam waktu 48 jam pada suhu 32 C atau 35 C. Beberapa spesies dapat
tumbuh pada suhu tinggi (44.5 C), namun pada umumnya tumbuh pada suhu
4-5 C. Semua anggota kelompok koliform sensitif terhadap suhu rendah dan
dapat mati pada suhu pasteurisasi. Kelompok koliform dapat ditemukan pada
feses manusia, hewan berdarah panas, dan burung. Beberapa diantaranya juga
dapat ditemukan di tanah, air, dan tanaman (Mead 2007; Ray & Bhunia 2008).
Kelompok koliform yang merupakan kontaminan feses disebut koliform
fekal. Koliform fekal adalah bagian dari bakteri kelompok koliform yang mampu
memfermentasi laktosa pada suhu 44.5 + 0.2 C dalam waktu 48 jam dan bersifat
thermotolerant. Koliform fekal terdiri dari Escherichia, Kleibsiella, dan

8

Enterobacter. Kebanyakan dari kelompok ini terdiri dari E. coli. Escherichia coli
merupakan indikator keberadaan bakteri enterik patogen dalam feses. Peningkatan
populasi koliform fekal pada air memungkinkan adanya peningkatan bakteri
patogen (McMurry et al. 1998; Mead 2007).
Beberapa bakteri dari kelompok koliform fekal dapat ditemukan pada
makanan mentah dari produk hewani. Pada produk pasteurisasi juga sering
ditemukan akibat proses sanitasi setelah pemanasan yang tidak benar. Pada
makanan mentah, kontaminasi koliform fekal dapat berasal dari feses dan sanitasi
yang buruk (Ray & Bhunia 2008).

Kolibasilosis pada Ayam
Bakteri koliform merupakan mikroflora normal pada saluran pencernaan
hewan berdarah panas, unggas, dan manusia (Ray & Bhunia 2008). Lebih dari
90% dari jumlah total koliform terdiri dari E. coli. Umumnya E. coli bersifat
komensal pada saluran pencernaan ayam, namun beberapa strain E. coli bersifat
patogen (Mead 2007).
Menurut Bolder (1998), jumlah bakteri koliform pada saluran pencernaan
ayam dapat mencapai 106-109 cfu/g. Sebagian besar dari jumlah tersebut bersifat
komensal dan beberapa diantaranya bersifat patogen. Penularan bakteri koliform
patogen pada peternakan ayam dapat terjadi melalui kontaminasi feses pada air
dan pakan. Air minum berperan penting sebagai jalur transmisi berbagai jenis
bakteri patogen. Beberapa jenis bakteri koliform dan bakteri patogen lainnya
dapat bertahan lama dalam air (Jafari et al. 2006).
Menurut Ismail (2011), tingginya jumlah bakteri koliform dalam saluran
pencernaan dapat berdampak pada penurunan bobot badan ayam. Hal ini
disebabkan beberapa strain E. coli yang bersifat patogen dapat menimbulkan
terjadinya kolibasilosis pada ayam. Kolibasilosis pada ayam merupakan penyakit
infeksius yang menyerang saluran pernafasan dan pencernaan ayam. Kejadian ini
dapat menimbulkan kematian jika tidak dilakukan pengobatan.

9

Bakteri Koliform pada Manusia
Pada manusia, bakteri koliform juga merupakan mikroflora normal dalam
saluran pencernaan. Jenis bakteri ini umumnya bersifat komensal, namun
beberapa strain E. coli bersifat sangat patogen pada manusia. Beberapa strain yang
dianggap sangat patogen pada manusia adalah E. coli O157 yang merupakan
penyebab infeksi E. coli utama pada manusia dan E. coli O104:H4 yang
merupakan penyebab wabah E. coli di Jerman pada tahun 2011 (Ogden 2007;
CDC 2011b).
Bakteri koliform dapat ditemukan di tanah, tanaman, dan air. Kontaminasi
tersebut dapat berasal dari kotoran hewan atau manusia yang mengandung
koliform fekal di dalamnya. Penularan bakteri koliform patogen pada manusia
dapat terjadi melalui konsumsi bahan pangan dan air yang terkontaminasi.
Kontaminasi pada daging dan susu dapat terjadi secara langsung melalui feses
hewan. Selain itu, kontaminasi juga dapat terjadi pada proses pengolahan bahan
pangan melalui air dan tanah yang terkontaminasi. Proses penyimpanan yang
tidak tepat dan sanitasi yang buruk juga menjadi salah satu sumber kontaminasi
bakteri koliform pada bahan pangan (Ray & Bhunia 2008).
Kejadian infeksi E. coli pada manusia dapat terjadi tanpa menimbulkan
gejala klinis, namun dalam beberapa kasus terlihat adanya gejala diare berair dan
kolitis hemoragi. Diare merupakan gejala yang paling banyak ditemukan. Kolitis
hemoragi ditandai dengan adanya gejala diare berat yang sering disertai dengan
diare berdarah, kram perut, mual, dan muntah. Akibat kehilangan banyak cairan
tubuh pada saat diare dan muntah, maka risiko dehidrasi sering terjadi. Pada
infeksi yang berat, penyakit ini dapat menimbulkan kematian pada manusia jika
tidak dilakukan pengobatan (OIE 2009; CDC 2011b).

Antimikroba dan Antibiotik
Antimikroba merupakan obat yang dapat menghambat atau membunuh
bakteri dan berbagai jenis mikroorganisme, diantaranya virus, protozoa, jamur,
dan rikettsia. Aktivitas kerja antimikroba dibedakan

menjadi aktivitas

bakteriostatik dan aktivitas bakterisidal. Antimikroba yang memiliki aktivitas
bakteriostatik bekerja dengan menghambat pertumbuhan mikroba, sedangkan

10

antimikroba bakterisidal mampu membunuh mikroba. Antimikroba tertentu
aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi bakterisidal apabila
kadar antimikroba tersebut ditingkatkan (Kee & Hayes 1996; Setiabudy & Gan
2003).
Sifat antimikroba berbeda satu dengan lainnya. Beberapa jenis antimikroba
bersifat aktif terhadap bakteri Gram positif, namun bakteri Gram negatif tidak
peka. Berdasarkan sifat ini, antimikroba dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
berspektrum sempit dan berspektrum luas. Antimikroba berspektrum luas
merupakan antimikroba yang aktif terhadap berbagai jenis mikroba baik Gram
positif maupun Gram negatif, misalnya kloramfenikol dan tetrasiklin, sedangkan
antimikroba berspektrum sempit merupakan antimikroba yang hanya aktif pada
beberapa jenis mikroba tertentu misalnya benzil penisilin dan streptomisin
(Setiabudy & Gan 2003).
Mekanisme kerja antimikroba dibagi dalam lima kelompok, yaitu
mengganggu metabolisme sel mikroba, menghambat sintesis dinding sel mikroba,
mengganggu permeabilitas membran sel mikroba, menghambat sintesis protein
sel mikroba, dan menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.
Penggunaan

antimikroba

ini

ditentukan

berdasarkan

indikasi

dengan

mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya gambaran klinik penyakit
infeksi, jenis mikroba, dan patogenisitas mikroba. Oleh karena itu, indikasi untuk
memberikan antimikroba pada pasien harus dipertimbangkan dengan seksama
(Setiabudy & Gan 2003).
Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba sebagai metabolit
sekunder yang mempunyai massa molekul rendah sehingga pada konsentrasi
rendah dapat menghambat dan membasmi mikroba jenis lain. Namun dalam
praktik sehari-hari antimikroba yang tidak diturunkan dari produk mikroba juga
sering digolongkan sebagai antibiotik (Kee & Hayes 1996; Setiabudy & Gan
2003).

11

Eritromisin
Eritromisin merupakan antibiotik golongan makrolida yang dihasilkan oleh
Streptomyces erythreus. Antibiotik ini memiliki sebuah cincin lakton makrosiklik
yang terdiri dari keton dan gula amino. Eritromisin berupa kristal berwarna
kekuningan yang kelarutannya rendah dalam air dan tidak stabil dalam suasana
asam (Setiabudy 2003; Giguère 2006).
Eritromisin bekerja dengan menghambat sintesis protein mikroba yaitu
dengan berikatan secara reversibel pada ribosom sub unit 50S. Antibiotik ini
bersifat bakteriostatik atau bakterisidal tergantung dari jenis dan jumlah mikroba
(Setiabudy 2003).
Eritromisin sangat mudah didegradasi oleh asam lambung. Hal tersebut
dapat dihindari dengan pemberian lapisan yang tahan asam pada eritromisin yang
diberikan secara per oral atau digunakan sediaan dalam bentuk basa bebas, stearat,
etilsuksinat atau ester estolat. Stearat dihidrolisis dalam usus menjadi basa,
sedangkan etilsukinat dan ester estolat langsung diserap dan dihidrolisis dalam
tubuh menjadi basa aktif. Eritromisin mudah diserap oleh usus halus bagian atas
dan mudah didistribusikan ke berbagai jaringan tubuh kecuali otak dan cairan
serebrospinal. Antibiotik ini dimetabolisme dan diekskresikan sebagian besar
dalam empedu. Sebagian besar dari obat ini akan terikut dalam feses meskipun
penyerapan usus terjadi (Setiabudy 2003; Giguère 2006).
Menurut Giguère (2006), eritromisin merupakan obat pilihan untuk
pencegahan dan pengobatan diare akibat infeksi C. jejuni. Pada unggas, antibiotik
ini juga dapat ditambahkan ke dalam air minum untuk pengobatan dan
pencegahan infeksi staphylococcal atau streptococcal, dermatitis nekrosa,
infectious coryza, dan infeksi M. gallisepticum.

Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan turunan asam dikloroasetat yang mengandung
gugus nitrobenzena. Kloramfenikol dapat diisolasi dari Streptomyces venezuelae.
Obat ini berbentuk kristal putih yang sulit larut dalam air tapi dapat larut dalam
lemak (Setiabudy & Kunardi 2003; Dowling 2006).

12

Kloramfenikol bekerja dengan menghambat pembentukan protein mikroba.
Obat ini berikatan secara irreversibel dengan reseptor pada ribososom sub unit
50S dan menghambat enzim peptidil transferase, sehingga pembentukan ikatanikatan peptida pada proses sintesis protein mikroba tidak terjadi. Kloramfenikol
umumnya bersifat bakteriostatik, namun pada konsentrasi tinggi obat ini dapat
bersifat bakterisidal terhadap mikroba-mikroba tertentu (Setiabudy & Kunardi
2003; Dowling 2006).
Pada hewan monogastrik, kloramfenikol dapat diserap baik oleh saluran
pencernaan. Obat ini didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh,
termasuk jaringan otak, cairan serebrospinal, dan mata (Setiabudy & Kunardi
2003; Brumbaugh et al. 1983 diacu dalam Dowling 2006). Masa paruh eliminasi
kloramfenikol bervariasi antar spesies. Eliminasi terutama oleh metabolisme hati
melalui konjugasi dengan asam glukuronat. Metabolit yang tidak aktif akan
diekskresikan melalui urin (Dowling 2006).
Menurut

Hofacre

(2006),

kloramfenikol

memiliki

potensi

untuk

menimbulkan anemia aplastik pada manusia. Pada dosis tertentu kloramfenikol
dapat menghambat sintesis protein mitokondria sel-sel sumsum tulang mamalia
sehingga menimbulkan gangguan pada sistem hemopoetik. Hal tersebut
mengakibatkan pelarangan penggunaan kloramfenikol pada hewan konsumsi di
sebagian besar negara.

Penggunaan Antibiotik pada Peternakan Ayam
Pada suatu industri unggas komersial, pencegahan penyakit merupakan
fokus utama bagi seorang dokter hewan. Ketika prosedur biosekuriti gagal untuk
mencegah masuknya suatu agen penyakit, maka penggunaan antibiotik
merupakan salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk menekan kerugian
ekonomi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunakan antibiotik
pada peternakan ayam diantaranya, pemilihan obat yang sesuai dengan aturan,
cara pemberian obat yang tepat, dan waktu henti obat (withdrawal time) dalam
produk ternak.
Penggunaan antibiotik pada peternakan ayam dapat dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu sebagai tindakan pencegahan, obat terapi, dan pemacu

13

pertumbuhan. Antibiotik pemacu pertumbuhan dapat diberikan melalui pakan.
Penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan pada kebanyakan negara
tidak diperbolehkan karena dapat menimbulkan resistensi berbagai jenis mikroba
terhadap antibiotik.
Infeksi bakteri pada ayam cenderung berjalan dengan cepat dan dalam
waktu singkat dapat menimbulkan kematian. Selain itu, berbagai jenis penyakit
pada ayam dapat terjadi tanpa menimbulkan gejala klinis. Seorang dokter hewan
harus mampu melihat tanda atau perubahan yang terjadi dalam kelompok ternak
sedini mungkin agar kerugian ekonomi akibat suatu penyakit dapat ditekan.
Pengobatan pada suatu peternakan ayam dilakukan secara populasi.
Pengobatan ini dilakukan tidak hanya untuk menghindari penyakit pada ternak,
namun juga dilakukan untuk mencegah penularan penyakit ke manusia. Dampak
residu antibiotik pada produk pangan merupakan salah satu pertimbangan dalam
penggunaan antibiotik pada ayam. Oleh karena itu, seorang dokter hewan
diharapkan dapat menjamin bahwa daging ayam yang dipasarkan aman dan sehat
untuk dikonsumsi.

14

Penggunaan Antibiotik pada Kejadian Campylobacteriosis di Ayam
Penularan C. jejuni melalui makanan dapat dikontrol melalui proses sanitasi
yang baik. Pengolahan pangan yang tepat mulai dari proses pemotongan
diharapkan mampu mengurangi kejadian campylobacteriosis pada manusia.
Pencegahan campylobacteriosis pada manusia juga dapat dilakukan dengan
pemberian antibiotik pada ayam. Sebagian besar Campylobacter sp. rentan
terhadap

antibiotik,

diantaranya

eritromisin

(Songer

&

Post

2005;

Roasto et al. 2007).
Pada suatu kajian mengenai resistensi C. jejuni terhadap beberapa antibiotik
di Norwegia, diketahui bahwa C. jejuni rentan terhadap antibiotik golongan
quinolone, yaitu eritromisin, gentamisin, enrofloksasin, dan asam nalidiksat.
Sedangkan pada oksitetrasiklin dan ampisilin diketahui tingkat resistensi C. jejuni
masing-masing sebesar 1.3% dan 4% (Norstrom et al. 2007).
Sebuah hasil penelitian di Kanada pada tahun 2005 menunjukkan bahwa,
persentase resistensi C. jejuni pada beberapa antibiotik berbeda-beda. Resistensi
C. jejuni terhadap ampisilin sebesar 14.3%; asitromisin 17.9%; kloramfenikol 0%;
siprofloksasin 3.7%; klindamisin 2.3%; eritromisin 6.7%; gentamisin 0.2%; asam
nalidiksat 5.1%; streptomisin 13.6%; dan tetrasiklin 52.6% (Larkin et al. 2006).
Tingkat resistensi C. jejuni terhadap antibiotik dari berbagai wilayah berbedabeda. Hal ini berkaitan dengan jenis strain dari isolat C. jejuni dan tingkat
penggunaan suatu antibiotik pada wilayah tersebut.

Campylobacter spp. yang masuk ke dalam tubuh tahan terhadap asam
lambung dan berkembang di usus kecil. Bakteri ini akan berpenetrasi ke dalam
mukosa usus dan menginvasi sel epitel. Invasi jaringan oleh Campylobacter spp.
dapat menimbulkan enteritis hemoragi yang menyebabkan terjadinya diare
berdarah pada

14

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2011-Januari 2012. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan Laboratorium
Lapangan Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Sampel dan Hewan Percobaan
Sampel berupa usus ayam broiler yang diambil dari bagian duodenum
sampai yeyunum. Penelitian ini menggunakan ayam broiler bangsa Cobb berumur
satu hari sebanyak 17 ekor yang dipelihara selama 17 hari. Ayam dibagi menjadi
empat kelompok percobaan, yaitu:
A. 5 ekor kontrol negatif, ayam tidak diinfeksi C. jejuni tanpa pengobatan
antibiotik;
B. 4 ekor kontrol positif, ayam diinfeksi C. jejuni tanpa pengobatan
antibiotik;
C. 4 ekor ayam diinfeksi C. jejuni dan diobati dengan eritromisin;
D. 4 ekor ayam diinfeksi C. jejuni dan diobati dengan kloramfenikol.

Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan untuk isolasi C. jejuni terdiri media Nutrient Broth
No. 2 (Oxoid CM00678), Buffered Pepton Water (Pronadisa 1402.00), Preston,
Growth Supplement (Oxoid SR0232E), Charcoal Cefaphorazone Deoxychilate
Agar Selective Supplement (Oxoid SR0155E), dan Campygen. Untuk identifikasi
C. jejuni diperlukan alkohol 70%, akuades steril, pewarna carbol fuchsin, dan
minyak emersi. Sedangkan untuk penghitungan jumlah koliform digunakan media
Violet Red Bile Agar (Pronadisa 0102.00).
Alat yang digunakan untuk isolasi dan penghitungan C. jejuni dan koliform
adalah gunting, pinset, plastik steril, stomacher, inkubator, tube shaker, autoklaf,
anaerob jar, Erlenmeyer, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cawan Petri, ose, pipet
steril, kapas, pembakar Bunsen, tissue, mikroskop, gelas objek, dan gelas penutup.

15

Peralatan yang digunakan untuk pemeliharaan ayam antara lain, kandang unggas,
tempat pakan, tempat minum, dan alat pemanas.

Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap pemeliharaan ayam
broiler, infeksi C. jejuni, pengobatan, dan penghitungan jumlah Campylobacter
spp. dan koliform.

Pemeliharaan Ayam Broiler
Sebanyak 17 ekor ayam broiler dipelihara selama 17 hari. Waktu
pemeliharaan yang dibutuhkan sejak ayam berumur 1 hari sampai tahap
pengobatan selesai adalah 17 hari. Tahap pemeliharaan terdiri dari pemberian
pakan, vaksinasi ND dan IB, pemberian air minum dan vitamin, serta
pembersihan kandang dan peralatan kandang lainnya.

Infeksi Isolat Campylobacter jejuni
Sebanyak 0.5 ml suspensi C. jejuni dengan konsentrasi 104 cfu/ml (dosis
infektif) dicekokkan (oral) ke ayam pada hari ke-9 pemeliharaan (Pisestyani
2010). Pada ayam umur 9 hari, titer maternal antibodi telah menurun, sehingga
rentan terhadap infeksi C. jejuni (Sahin et al. 2003a). Isolat C. jejuni adalah isolat
lapang yang berasal dari Kudus (Andriani 2012).

Pengobatan dengan Menggunakan Eritromisin dan Kloramfenikol
Pengobatan dilakukan pada hari ke-3 pasca infeksi selama lima hari
berturut-turut (ayam umur 12, 13, 14, 15, dan 16 hari). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Pisestyani (2010), masa inkubasi C. jejuni berlangsung
selama 3-7 hari. Pengobatan dilakukan dengan cara dicekokkan (oral)
menggunakan eritromisin dan kloramfenikol. Eritromisin diberikan sebanyak
1 ml/hari/ekor dengan dosis 40 µg/ml dan kloramfenikol sebanyak 1 ml/hari/ekor
dengan dosis 5 µg/ml (Fauzi 2012).

16

Penghitungan Jumlah Campylobacter jejuni dan Koliform
Penghitungan jumlah C. jejuni dan koliform dilakukan sebanyak 3 kali,
yaitu sebelum diinfeksi C. jejuni (ayam umur 1 hari), pasca infeksi (ayam umur 12
hari), dan pasca pengobatan (ayam umur 17 hari).

Penghitungan Jumlah Campylobacter jejuni (Review and Methods for New
Zaeland Laboratories tahun 2003)
Penghitungan C. jejuni terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pre enrichment,
selective enrichment, dan identifikasi dengan pewarnaan. Jumlah C. jejuni
dihitung menggunakan metode most probable number (MPN) tiga tabung dengan
tiga tingkat pengenceran.
Tahap pre-enrichment. Usus sebanyak 1 g dibuka dengan menggunakan
gunting dan dimasukkan ke dalam kantong plastik steril. Pada pengenceran 10-1,
9 ml BPW 0.1% dimasukkan ke dalam sampel kemudian dihancurkan
menggunakan stomacher. Pengenceran

10-2, sebanyak 1 ml larutan 10-1

dimasukkan ke dalam 9 ml BPW 0.1% kemudian dihomogenkan. Begitu pula
untuk pengenceran 10-3. Setiap tingkat pengenceran diinokulasi ke dalam tiga
tabung media Nutrient Broth 2 dan selanjutnya diinkubasi selama 48 jam pada
suhu 42 C dalam kondisi mikroaerofilik.
Tahap enrichment. Setelah diinkubasi, sebanyak satu ose pupukan
diinokulasikan pada media CCDA kemudian diinkubasi pada suhu 42 C dalam
kondisi mikroaerofilik selama 24-48 jam.
Pewarnaan C. jejuni. Pewarnaan dilakukan untuk melihat morfologi bakteri
dengan menggunakan pewarna carbol fuchsin. Sebanyak 1-2 loop akuades steril
diletakkan di atas gelas objek, kemudian ditambahkan koloni yang diduga
C. jejuni. Koloni diratakan, dikeringkan, dan difiksasi di atas api. Selanjutnya
ditetesi dengan pewarna carbol fuchsin, didiamkan selama satu menit, kemudian
dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Preparat ditetesi minyak emersi dan
diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 10x100.
Penghitungan metode MPN. Penghitungan C. jejuni dilakukan dengan
menggunakan metode MPN, yaitu:
MPN/gram

=

x faktor pengenceran tabung di tengah

17

Penghitungan Jumlah Koliform (Compendium
Microbiological Examination of Foods tahun 2003)

of

Methods

for

the

Penghitungan jumlah koliform dilakukan pada tiga tingkat pengenceran
terakhir dari setiap sampel. Hasil pengenceran sampel dimasukkan ke dalam
cawan Petri. Sebanyak 10-15 ml media VRBA dituang ke dalam masing-masing
cawan Petri dan dihomogenkan dengan cara digeser membentuk angka 8 supaya
media merata ke seluruh permukaan, kemudian didiamkan hingga memadat.
Setelah memadat, dilakukan proses overlay dengan cara menuang kembali media
VRBA di atas permukaan sampai menutupi permukaan dan dibiarkan memadat
kembali. Selanjutnya pupukan dii