Analysis of Expenditure and Food Consumption Patterns and Its Relation to the Nutritional Status in Beastudi Etos Student West Java

(1)

ANALISIS PENGELUARAN DAN POLA KONSUMSI PANGAN

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI MAHASISWA

PENERIMA BEASISWA ETOS JAWA BARAT

ASEP SUBARNA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

ABSTRACT

ASEP SUBARNA. Analysis of Expenditure and Food Consumption Patterns and Its Relation to the Nutritional Status in Beastudi Etos Student West Java. Under the guidance of YAYUK FARIDA BALIWATI.

The objective of this study was to analyze expenditures and food consumption patterns and their relationship to the nutritional status of Beastudi Etos students of West Java. The research was conducted in three regions of West Java namely Bogor, Depok and Bandung. Design used in this study was a cross sectional study. Stratified Random Sampling used in get the number of samples as many as 84 people. Based on the Spearman correlation test, there is a relationship between energy sufficiency level (r=-0.332; p=0.002) and protein sufficiency level (r=-0.306; p=0.005) with the nutritional status. There was no relationship between spending on food with Dietary habits scores (r=0.125; p=0.256). There was no relationship between the cost of food to energy sufficiency level (r =0.001; p=0.990) and the protein sufficiency level (r=0.111; p=0.316). Dietary habit scores do not have a relationship with energy sufficiency level (r=0.031; p=0.776) and protein sufficiency level (r=0.168; p=0.126). Nutritional adequacy allegedly more influenced by food consumption, both in types and amounts consumed by samples. Based on the Spearman correlation test results, there is no significant correlation (r=0.020; p=0.858) between the score of dietary habits and nutritional status samples.


(3)

RINGKASAN

ASEP SUBARNA. Analisis Pengeluaran dan Pola Konsumsi Pangan serta Hubungannya dengan Status Gizi Mahasiswa Penerima Beasiswa Etos Jawa Barat. Di bawah bimbingan YAYUK FARIDA BALIWATI

Kelompok usia dewasa merupakan salah satu sumber daya manusia yang perlu disiapkan untuk menentukan keberhasilan pembangunan nasional bangsa di masa yang akan datang. Hasil Riskesdas (2010) juga menyatakan bahwa kelompok usia yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal tertinggi berada pada usia 19-29 tahun (dewasa awal) dengan persentase sebesar 54.5%. Jika konsumsi pangan kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan dan berangsur lama, maka akan berpengaruh terhadap status gizi. Pemilihan makanan yang tepat dari segi kualitas maupun kuantitas menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu, pengaturan dalam pengeluaran pangan juga perlu diperhatikan guna menghindari pengeluaran yang berlebihan namun tidak memberikan kontribusi gizi yang baik. Pola konsumsi pangan yang tepat penting diterapkan oleh mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa terutama bagi mereka yang tidak tinggal bersama dengan keluarga. Jika tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan pentingnya pemenuhan gizi yang baik secara kualitas dan kuantitas, maka bukan tidak mungkin kebutuhan gizi mereka tidak terpenuhi. Oleh karena itu, analisis pengeluaran dan pola konsumsi pangan ini perlu dilakukan.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengeluaran dan pola konsumsi pangan serta hubungannya dengan status gizi pada mahasiswa penerima Beastudi Etos. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) Mempelajari karakteristik individu dan karakteristik keluarga berdasarkan lokasi daerah; (2) Menganalisis pengeluaran pangan mahasiswa berdasarkan lokasi daerah; (3) Menganalisis pola konsumsi pangan mahasiswa berdasarkan lokasi daerah; (4) Menganalisis status gizi mahasiswa berdasarkan lokasi daerah; (5) Menganalisis hubungan pengeluaran pangan dan pola konsumsi pangan dengan status gizi mahasiswa.

Penelitian ini dilakukan di tiga daerah yaitu Bogor, Depok dan Bandung pada bulan Mei-Juni 2012. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study. Contoh dalam penelitian ini adalah mahasiswa penerima Beasiswa Etos di wilayah Jawa Barat. Kriteria contoh adalah mahasiswa Etos yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi penyelenggara Beastudi Etos antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Padjadjaran (Unpad). Berdasarkan perhitungan rumus Slovin ukuran minimal contoh yang digunakan adalah 81 contoh. Adapun jumlah seluruh contoh sebanyak 84 orang dan dikelompokkan menurut proporsi menjadi 37 contoh Bogor, 33 contoh Depok dan 14 contoh Bandung yang terpilih sebagai tempat penelitian.

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer yang didapatkan dari pengisian kuesioner dan data sekunder yang didapatkan dari wawancara. Data sekunder sebagai data pendukung yang diambil dari Manajemen Pusat Beasiswa Etos meliputi profil umum Beasiswa Etos. Pengolahan data meliputi editing, coding, entry, cleaning, dan analisis data. Data dientri menggunakan Microsoft Excel 2007 dan dianalisis dengan SPSS 16.0 for windows. Analisis data menggunakan uji Kruskall Wallis dan uji korelasi Rank Spearman.

Lebih dari separuh contoh (63%) berusia lebih dari 19 tahun. Jumlah contoh yang berjenis kelamin laki-laki lebih banyak (51%) dibandingkan dengan


(4)

perempuan (49%). Rata-rata jumlah uang saku contoh di ketiga wilayah berkisar 500 ribu-1 juta rupiah. Rata-rata uang saku tertinggi terdapat di wilayah Depok yaitu Rp. 985.909 dan terendah di wilayah Bogor yaitu Rp. 637.973. Berdasarkan hasil uji beda Kruskall Wallis, terdapat perbedaan yang nyata (p=0.011) pada jumlah uang saku di tiga daerah. Sebagian besar (54%) contoh wilayah Bogor berasal dari suku Sunda. Sebagian besar (58%) contoh wilayah Depok berasal dari suku Jawa. Terdapat dua suku yang memiliki kesamaan persentase di wilayah Bandung yaitu Sunda dan suku lainnya (29%). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (p=0.023) pada variabel suku bangsa di tiga wilayah.

Ayah bekerja sebagai buruh memiliki persentase terbesar (29%) di ketiga wilayah. Ibu sebagai ibu rumah tangga memiliki persentase terbesar (79%) di ketiga wilayah. Rata-rata pendapatan keluarga contoh di tiga wilayah adalah <1 juta rupiah/bulan (49%). Uji Kruskal Wallis, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.342) pada variabel jumlah total pendapatan keluarga contoh. Sebanyak 61% contoh tergolong keluarga sedang (5-7 orang). Uji Kruskal Wallis, menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p=0.117) pada besarnya anggota keluarga contoh di antara ketiga wilayah.

Rata-rata pengeluaran yang dikeluarkan contoh untuk pangan sekitar 350 ribu atau sekitar 70% dari jumlah uang saku yang diberikan Etos. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.635) pada jumlah uang saku yang dialokasikan contoh untuk pangan. Uji beda Kruskal Wallis, menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p=0.011) pada jumlah uang saku yang dikeluarkan contoh untuk non pangan.

Sebanyak 77% contoh memiliki skor kebiasaan makan cukup (60-80). Uji beda Kruskal Wallis, menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.163) pada variabel skor kebiasaan makan contoh. Rata-rata asupan energi wilayah Bandung paling tinggi (1816 kkal) dibandingkan dengan asupan energi wilayah Depok (1769 kkal) dan Bogor (1617 kkal). Rata-rata asupan protein wilayah Depok dan Bandung lebih tinggi (46 g) dibandingkan dengan asupan protein wilayah Bogor (42 g). Uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada variabel tingkat kecukupan energi (p=0.350) dan protein (p=0.474) contoh. Kurang dari 25% contoh memiliki asupan energi dan protein dalam jumlah yang normal. Menurut jenis dan jumlahnya, sebagian besar konsumsi pangan contoh masih belum memenuhi konsumsi ideal. Kelompok pangan serealia adalah satu-satunya kelompok pangan sumber tenaga yang konsumsi aktualnya (497,3 g/kap/hari) telah melebihi konsumsi ideal (275 g/kap/hari). Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan sumber tenaga contoh belum seimbang dan masih rendahnya konsumsi pangan sumber pembangun dan pengatur.

Status gizi contoh secara umum tergolong normal (>70%). Uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.584) antara status gizi contoh di ketiga wilayah. Persentase contoh berstatus gizi normal terbesar terdapat di wilayah Bandung yaitu 93%. Persentase contoh berstatus gizi normal di wilayah Bogor dan Depok berturut−turut adalah 76% dan 67%.

Uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pengeluaran pangan dengan skor kebiasaan makan (r=0.125; p=0.256), pengeluaran pangan dengan tingkat kecukupan energi (r=0.001; p=0.990) dan tingkat kecukupan protein (r=0.111; p=0.316) serta pengeluaran pangan dengan status gizi (r=0.097; p=0.379). Uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan (r=0.020; p=0.858) antara skor kebiasaan makan dengan status gizi. Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi energi (r=-0.332; p=0.002) dan protein (r=-0.306; p=0.005) dengan status gizi.


(5)

ANALISIS PENGELUARAN DAN POLA KONSUMSI PANGAN

SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STATUS GIZI MAHASISWA

PENERIMA BEASISWA ETOS JAWA BARAT

ASEP SUBARNA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Mayor Ilmu Gizi

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(6)

Judul : Analisis Pengeluaran dan Pola Konsumsi Pangan serta Hubungannya dengan Status Gizi Mahasiswa Penerima Beasiswa Etos Jawa Barat

Nama : Asep Subarna NRP : I14080056

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS NIP. 19630312 198703 2 001

Mengetahui : Ketua

Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1 001


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Analisis Pengeluaran dan Pola Konsumsi Pangan serta Hubungannya dengan Status Gizi Mahasiswa Penerima Beasiswa Etos Jawa Barat”. Selama proses penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik dan skripsi yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama proses belajar hingga penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku dosen pemandu dan penguji skripsi yang telah memberikan saran dan perbaikan skripsi.

3. Bapak Sain dan Ibu Napsiah sebagai orangtua serta seluruh kakak (Yuliani, Syuryana, Syuryani, Arpiah, Mairusmianti) dan adik (Hanyfa dan Mawaddah) yang telah memberikan dukungan doa terbaik dan motivasi kepada saya selama menjalani studi di IPB.

4. Beastudi Etos Dompet Dhuafa, Yayasan Karya Salemba Empat, B-Smart Muamalat, Polygon Scholarship 8, dan Beasiswa Cendikia yang telah membantu biaya kuliah selama menjalani studi di IPB.

5. Rekan-rekan etoser ’45 putra Gugie, Taufik, Taufan, Ahmad dan Ajay serta semua etoser ’45 puteri, etoser 46, dan 47 yang telah memberikan banyak pelajaran hidup.

6. Udin RBI, Jamil, Amin, Ojan, Muklis, Alna, Egun, Saumi, Angga, Alam, Cici dan semuanya yang banyak memberikan inspirasi selama penulis hidup merantau di kota hujan.

7. Keluarga baru Badut Kost, Pauji, Anom, Away, Deslaknyo, Ka Dipa, Ka ikin, Ka Hadi, Ka Nene yang banyak memberikan semangat dan motivasi.

8. Teman-teman GM ’45, Geng Ukhty, FORSIA’ers dan pasukan Merah Saga, tetap berjuang dan jaga terus silaturahmi antara kita.

Bogor, Desember 2012


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Asep Subarna merupakan anak ke 6 dari 8 bersaudara, dari pasangan Bpk. Sain dan Ibu Napsiah yang dilahirkan di Depok pada tanggal 6 September 1989. Penulis memulai pendidikan di SDN RKP Jaya Baru Depok, MTs Miftaahul Hudaa Depok kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 1 Parung Kab. Bogor. Setelah lulus SMA, pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Mayor Ilmu Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama kuliah, penulis aktif di organisasi baik intra kampus (DPM TPB IPB, KOPMA, FORSIA, Al Ghiza dan Dewan Mushola C3 Asrama Putra) maupun ekstra kampus (BEBC dan Lughata Expression). Selain itu, penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan baik intra kampus seperti Masa Perkenalan Fakultas dan Departeman (MPF dan MPD), FEMA berqurban, Forsia Islamic Festival dan Seminar Gizi Nasional (SENZASIONAL) maupun ekstra kampus seperti Festival Anak Shaleh, Tebar Hewan Qurban dan Ramadhan Ceria.

Penulis pernah mendapatkan dana DIKTI untuk PKM Kewirausahaan. Selain itu, penulis pernah menjadi juara Nasional Program Kewirausahaan Etos DD. Tahun 2011 penulis mendapatkan penghargaan Polygon 8th Scholarship Award sebagai pejuang lingkungan. Di bidang seni penulis pernah menjadi juara 3 Lomba Solo Vokal Dangut IPB Art Contest 2012.

Penulis pernah melakukan kuliah kerja profesi (KKP) pada bulan Juli-Agustus 2011 di desa Tirawan, Kabupaten Kotabaru Kalimantan Selatan bekerja sama dengan PT. ARUTMIN. Selanjutnya penulis melakukan Internship Dietetik di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta pada bulan Februari-Maret 2012. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam dan Mata Kuliah Perencanaan Pangan dan Gizi. Tahun 2012, penulis melakukan penelitian mengenai “Analisis Pengeluaran dan Pola Konsumsi Pangan serta Hubungannya dengan Status Gizi Mahasiswa Penerima Beasiswa Etos Jawa Barat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi di Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Tujuan Umum ... 3

Tujuan Khusus ... 3

Kegunaan Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Beastudi Etos ... 4

Karakteristik Individu ... 4

Umur dan Jenis Kelamin ... 4

Uang Saku ... 5

Karakteristik Keluarga ... 5

Pekerjaan dan Pendapatan ... 5

Besar Keluarga ... 5

Pengeluaran Pangan ... 6

Pola Konsumsi Pangan ... 7

Kebiasaan Makan ... 7

Konsumsi Pangan ... 10

Penilaian Konsumsi Pangan ... 12

Angka Kecukupan Gizi ... 13

Status Gizi ... 14

KERANGKA PEMIKIRAN ... 15

METODE PENELITIAN ... 17

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

Teknik Penarikan Contoh ... 17

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 18

Pengolahan dan Analisis Data ... 19

Definisi Operasional ... 21


(10)

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 23

Karakteristik Individu ... 24

Umur ... 24

Jenis Kelamin ... 25

Uang Saku ... 25

Suku Bangsa ... 27

Karakteristik Keluarga ... 28

Pekerjaan Orang Tua ... 28

Pendapatan Keluarga ... 30

Besar Keluarga ... 31

Pengeluaran Pangan ... 32

Pola Konsumsi Pangan ... 33

Kebiasaan Makan ... 34

Konsumsi Pangan ... 50

Status Gizi ... 55

Variabel yang Berhubungan dengan Pengeluaran Pangan ... 56

Hubungan Pengeluaran Pangan dengan Kebiasaan Makan, Tingkat Kecukupan Gizi dan Status Gizi ... 57

Hubungan Kebiasaan Makan dengan Status Gizi ... 58

Hubungan Tingkat Kecukupan Gizi dengan Status Gizi ... 58

KESIMPULAN DAN SARAN ... 60

Kesimpulan ... 60

Saran ... 61

DAFTAR PUSTAKA... 62


(11)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Jenis dan cara pengumpulan data ... 18

2 Kategori dan variabel data contoh ... 20

3 Sebaran contoh berdasarkan umur ... 24

4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin ... 25

5 Sebaran uang saku contoh per bulan ... 26

6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah... 29

7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu ... 29

8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga... 30

9 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga ... 31

10 Pengeluaran pangan contoh ... 32

11 Sebaran contoh berdasarkan pengeluaran pangan ... 33

12 Sebaran contoh berdasarkan makanan pantangan... 34

13 Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan pantangan ... 35

14 Sebaran contoh berdasarkan alasan menghindari makanan tertentu ... 35

15 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan lengkap ... 36

16 Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan pokok ... 37

17 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan sarapan ... 38

18 Sebaran contoh berdasarkan menu sarapan ... 38

19 Sebaran contoh berdasarkan minuman saat sarapan ... 39

20 Sebaran contoh berdasarkan jumlah konsumsi air putih ... 40

21 Sebaran contoh berdasarkan kebiasaan jajan ... 40

22 Sebaran contoh berdasarkan jenis makanan jajanan ... 41

23 Sebaran contoh berdasarkan alasan jajan ... 41

24 Sebaran contoh berdasarkan skor kebiasaan makan. ... 42

25 Sebaran contoh berdasarkan susunan menu makan siang ... 43

26 Sebaran contoh berdasarkan susunan menu makan malam ... 43

27 Sebaran contoh berdasarkan cara memperoleh makanan ... 44

28 Sebaran contoh berdasarkan tempat memperoleh makan ... 44

29 Sebaran contoh berdasarkan alasan memilih makanan ... 45

30 Konsumsi pangan pokok contoh menurut frekuensi ... 46

31 Konsumsi pangan hewani contoh menurut frekuensi ... 46


(12)

33 Konsumsi sayur contoh menurut frekuensi ... 47

34 Konsumsi buah contoh menurut frekuensi ... 48

35 Konsumsi susu contoh menurut frekuensi ... 49

36 Konsumsi jajanan contoh menurut frekuensi ... 49

37 Sebaran asupan energi contoh ... 50

38 Sebaran asupan protein contoh ... 52

39 Konsumsi aktual contoh menurut kelompok triguna makanan ... 54


(13)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1 Kerangka pemikiran penelitian ... 16

2 Perbandingan alokasi uang saku contoh ... 27

3 Sebaran contoh berdasarkan suku bangsa ... 28

4 Sebaran contoh berdasarkan TKE ... 51

5 Sebaran contoh berdasarkan TKP ... 53


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Kuesioner ... 65

2 Hasil uji beda Krusskal Wallis ... 72

3 Hasil uji hubungan karakteristik individu dan karaktersitik keluarga dengan pengeluaran pangan ... 72

4 Hasil uji hubungan pengeluaran pangan dengan pola konsumsi pangan ... 72

5 Hasil uji hubungan kebiasaan makan dengan tingkat kecukupan gizi ... 72

6 Hasil uji hubungan pola konsumsi pangan dengan status gizi ... 73


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Saat ini Indonesia telah memasuki era globalisasi di berbagai bidang seperti komunikasi, teknologi, informasi maupun ekonomi. Bangsa Indonesia harus mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang handal, berkarakter, memiliki mental yang kuat dan kesehatan yang prima serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menjaga eksistensi bangsa dalam menghadapi era globalisasi tersebut. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses pembentukannya seperti masalah pendidikan, kesehatan, gizi, informasi dan teknologi.

Kelompok usia dewasa merupakan salah satu sumber daya manusia yang perlu disiapkan untuk menentukan keberhasilan pembangunan nasional bangsa di masa yang akan datang. Dengan kata lain, kualitas SDM pada masa yang akan datang salah satunya dipengaruhi oleh kualitas para individu saat ini. Oleh karena itu, upaya persiapan kualitas SDM harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Salah satu upaya yang perlu diperhatikan adalah status kesehatan dan status gizi setiap individu tersebut.

Status gizi seseorang atau sekelompok orang tidak selalu sama dari waktu ke waktu karena hal tersebut merupakan hasil interaksi beberapa faktor. Menurut Riyadi (2003), faktor yang secara langsung mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan dan status kesehatan. Berdasarkan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004, kecukupan energi yang dianjurkan per orang per hari untuk usia 19-29 tahun adalah 2550 kkal untuk laki-laki dan 1900 kkal untuk wanita.

Secara nasional, penduduk Indonesia yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal (<70%) adalah sebanyak 40.7% dan untuk di wilayah Jawa Barat sebanyak 44.8%. Penduduk yang mengkonsumsi protein di bawah kebutuhan minimal (<80%) adalah sebanyak 37% dan untuk di wilayah Jawa Barat sebanyak 43.5% (Riskesdas 2010). Menurut Depkes (1996), klasifikasi tingkat kecukupan gizi seseorang dibedakan menjadi lima, yaitu defisit berat (TKG <70%), defisit sedang (TKG 70-79%), defisit ringan (TKG 80-89%), normal (TKG 90-119%) dan kelebihan gizi (TKG≥120%). Hasil Riskesdas (2010) juga menyatakan bahwa kelompok umur yang mengkonsumsi energi di bawah kebutuhan minimal tertinggi berada pada usia 19-29 tahun dengan persentase sebesar 54.5% dan rata-rata konsumsi energi penduduk usia 19-29 tahun


(16)

berkisar antara 69.5%-84.3% dari angka yang dianjurkan. Menurut Deptan (2010), penggolongan tingkat ketahanan pangan penduduk dibagi menjadi tiga, yaitu penduduk rawan pangan (<70% AKG), penduduk resiko rawan pangan (70-89.9% AKG), dan penduduk tahan pangan (≥90% AKG). Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa lebih dari separuh penduduk usia dewasa awal tersebut mengalami rawan pangan. Berdasarkan indikator tingkat kecukupan zat gizi, maka penduduk usia tersebut masih tergolong defisit berat dan defisit ringan.

Jika konsumsi pangan usia remaja akhir/dewasa awal tersebut kurang dari angka kecukupan yang dianjurkan dan berangsur lama, maka akan berpengaruh terhadap status gizi (Apriliana 2010). Pemenuhan gizi yang relatif besar tersebut dapat dilakukan dengan mengkonsumsi pangan yang cukup. Aspek pemilihan makanan merupakan hal lain yang juga perlu diperhatikan. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya ragam gaya hidup, perubahan perilaku, dan faktor pengalaman dalam memilih makanan akan mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi usia remaja akhir/dewasa awal tersebut. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi tetapi hanya sekedar bersosialisasi, untuk kesenangan, dan supaya tidak kehilangan status (Khomsan 2002).

Selain pemilihan makanan yang tepat dari segi kualitas maupun kuantitas, pengaturan dalam pengeluaran pangan pun perlu diperhatikan. Hal tersebut dilakukan guna menghindari pengeluaran yang berlebihan namun tidak memberikan kontribusi gizi yang cukup berarti. Pola makan yang tepat tentunya penting untuk diterapkan oleh mahasiswa terutama bagi mereka yang tidak tinggal bersama dengan keluarga. Mereka bebas memilih makanan yang akan dikonsumsi dengan uang yang telah diberikan oleh orangtuanya. Jika tidak memiliki pengetahuan yang cukup akan pentingnya pemenuhan gizi yang baik secara kualitas dan kuantitas, maka bukan tidak mungkin kebutuhan gizi mereka tidak terpenuhi. Oleh karena itu, analisis pengeluaran dan pola konsumsi pangan ini perlu dilakukan.


(17)

Tujuan Tujuan Umum

Adapun tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis pengeluaran dan pola konsumsi pangan serta hubungannya dengan status gizi pada mahasiswa penerima Beastudi Etos wilayah Jawa Barat.

Tujuan Khusus

1. Mempelajari karakteristik individu dan karakteristik keluarga berdasarkan lokasi daerah

2. Menganalisis pengeluaran pangan mahasiswa berdasarkan lokasi daerah 3. Menganalisis pola konsumsi pangan mahasiswa berdasarkan lokasi daerah 4. Menganalisis status gizi mahasiswa berdasarkan lokasi daerah

5. Menganalisis hubungan pengeluaran pangan dan pola konsumsi pangan dengan status gizi mahasiswa

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang besarnya pengeluaran dan pola konsumsi pangan yang dilakukan oleh mahasiswa penerima Beastudi Etos yang berada di wilayah Jawa Barat. Kecukupan gizi mahasiswa penerima Beastudi Etos dapat diketahui melalui kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi Tim Pengelola Beastudi Etos Pusat dalam menentukan besaran uang beasiswa yang diberikan terutama dalam kaitannya dengan biaya belanja pangan minimal yang dibutuhkan untuk memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan.


(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Beastudi Etos

Beastudi Etos merupakan sebuah beasiswa yang dikelola oleh Lembaga Pengembangan Insani Dompet Dhuafa. Beasiswa ini berdiri sejak tahun 2005 hingga sekarang dengan jumlah penerima manfaat lebih dari 2000 orang. Beastudi Etos merupakan beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa dengan syarat umum adalah berasal dari keluarga kurang mampu dan berprestasi. Seleksi untuk mendapatkan beasiswa ini dimulai sejak masih di bangku sekolah SMA/sederajat.

Saat ini Beastudi Etos telah tersebar di 14 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit di Indonesia antara lain : Universitas Andalas, Universitas Syahkuala, Universitas Sumatera Utara, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh November, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Mulawarwan. Bentuk beasiswa yang diberikan adalah biaya masuk kuliah, biaya kuliah tahun pertama, uang saku selama 4 tahun, akomodasi tempat tinggal dan pelatihan pengembangan diri.

Karakteristik Individu Umur dan Jenis Kelamin

Setiap individu mengkonsumsi makanan dalam jumlah dan jenis yang berbeda. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah umur. Konsumsi makanan biasanya terkait dengan jumlah energi yang diperlukan oleh individu untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pada masa anak-anak, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh tidak sebesar jumlah energi yang diperlukan pada masa remaja atau dewasa. Dengan bertambahnya umur, jumlah energi tersebut meningkat dan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Namun, jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh akan mengalami penurunan kembali pada saat usia lanjut. Hal ini terkait dengan kebudayaan dan pangan lokal yang tersedia di suatu daerah (Suhardjo 1989). Selanjutnya Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa tubuh yang besar memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan tubuh yang kecil untuk melakukan kegiatan fisik yang sama. Wanita dengan ukuran tubuh yang lebih kecil umumnya memerlukan energi yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki.


(19)

Uang Saku

Uang saku merupakan banyaknya uang yang diterima seseorang setiap bulan baik dari beasiswa, orangtua ataupun lainnya yang digunakan untuk keperluan baik makanan maupun non makanan. Seseorang yang telah diberi kepercayaan mengelola uang saku secara sendiri cenderung memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri keuangannya, tidak terkecuali dalam hal memilih makanan. Menurut Mardayanti (2008) besarnya uang saku yang diterima tidak mempengaruhi jumlah konsumsi energi dan zat gizi lainnya. Rata-rata uang saku yang diterima dialokasikan untuk makanan sebesar 34.7%, untuk bukan makanan 60.7% serta untuk lainnya sebesar 4.6%.

Karakteristik Keluarga Pekerjaan dan Pendapatan

Pekerjaan berhubungan dengan tingkat pendapatan seseorang. Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan seseorang dalam mengkonsumsi makanan baik kualitas maupun kuantitas. Apabila penghasilan keluarga meningkat, biasanya penyediaan mutu lauk pauk meningkat. Golongan ekonomi kuat cenderung boros dan tingkat konsumsinya melampaui kebutuhan sehari-hari, akibatnya berat badan terus bertambah sehingga sering ditemukan beberapa penyakit yang disebabkan kelebihan gizi (Suhardjo 1989).

Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam memilih jumlah dan jenis makanan yang bermutu. Suhardjo (1989) menyatakan bahwa dengan meningkatnya pendapatan seseorang, maka akan terjadi perubahan dalam susunan menu makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragam dan bermutunya konsumsi pangan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makanan adalah pangan yang dimakan memiliki harga yang lebih mahal. Berg (1986) menyatakan bahwa peningkatan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada konsumsi pangan. Walaupun banyak pengeluaran untuk pangan, belum tentu kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik.

Besar Keluarga

Pada skala keluarga, tingkat konsumsi pangan ditentukan oleh adanya pangan yang cukup. Hal ini dipengaruhi oleh kemampuan keluarga untuk memperoleh bahan pangan yang diperlukan. Terutama pada keluarga yang


(20)

miskin, pemenuhan kebutuhan akan lebih mudah jika yang harus diberi makan berjumlah sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian jelas tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar (Suhardjo 1989).

Besar anggota keluarga akan sangat mempengaruhi belanja pangan keluarga, yang pada akhirnya akan mempengaruhi ketersediaan pangan dalam keluarga dan konsumsi zat gizi setiap anggota keluarga. Seperti yang dikatakan Sanjur (1982) bahwa banyaknya anggota keluarga dapat mempengaruhi pembagian di antara anggotanya sehingga dapat terjadi kurangnya konsumsi zat gizi dari jumlah yang dibutuhkan. Berg (1986) menyatakan bahwa kelaparan dapat terjadi pada keluarga yang mempunyai jumlah anggota empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang anggotanya sedikit. Keluarga dengan status ekonomi rendah dan memiliki banyak anak akan mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak termasuk kebutuhan makan.

Pengeluaran Pangan

Pengeluaran pangan merupakan cerminan dari pendapatan. Martianto (1994) menyatakan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsi (pengeluaran). Sesuai dengan hukum Bennet, bahwa semakin tinggi pendapatan maka kualitas bahan pangan yang dikonsumsi pun semakin baik yang tercermin dari perubahan pembelian bahan pangan yang harganya murah menjadi bahan pangan yang harganya lebih mahal dengan kualitas gizi yang lebih baik. Menurut Harper et al (1986) salah satu faktor utama yang menentukan konsumsi pangan adalah pengeluaran pangan. Pengeluaran merupakan indikator yang baik digunakan untuk memperkirakan pendapatan tetapi karena pengeluaran merupakan faktor yang dominan dalam menentukan konsumsi rumah tangga atau individu. Konsumsi komoditi tertentu dapat diukur melalui pola pengeluaran pangan.

Semakin tinggi penghasilan, semakin besar pula persentase dari penghasilan tersebut digunakan untuk membeli buah, sayur mayur, dan berbagai jenis pangan lainnya (Berg 1986). Suhardjo (1989) menyatakan bahwa pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Banyak pengeluaran untuk pangan belum tentu kualitas makanan yang dikonsumsi lebih baik.


(21)

Pola Konsumsi Pangan

Menurut Suhardjo (1989) pola konsumsi pangan adalah jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh suatu masyarakat pada waktu tertentu. Menurut Sukandar (2007) pola konsumsi pangan pada penelitian yang dilakukan di petani Banjar Jawa Barat mencakup jumlah frekuensi makan bersama serta prioritas dalam pembagian makan. Menurut Junaidi (1997) pola konsumsi merupakan banyaknya pangan yang dikonsumsi, ada tidaknya makanan pantangan, serta frekuensi makan seseorang. Kesanggupan menyusun hidangan tidaklah diturunkan dalam pengertian hereditas, tetapi merupakan kepandaian yang diajarkan dari leluhur melalui orangtua ke generasi yang lebih muda. Jadi susunan hidangan adalah hasil manifestasi proses belajar. Ini berarti bahwa susunan hidangan suatu masyarakat dapat diubah dengan jalan pendidikana gizi, penerangan dan penyuluhan meskipun harus diakui bahwa usaha mengubah suatu hidangan yang telah terjadi sangat sulit dilakukan. Proses belajar yang menghasilkan kebiasaan makan terjadi seumur hidup. Itulah sebabnya mengapa kebisaan makan dan susunan hidangan sangat kuat bertahan terhadap berbagai pengaruh yang mungkin dapat mengubahnya. Kebiasaan makan seseorang merupakan kebiasaan keluarganya, selama individu tersebut tinggal di dalam bersama keluarga.

Kebiasaan Makan

Menurut Suhardjo (1989), kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan seperti tata krama makan, frekuensi makan, kepercayaan tentang makanan, distribusi makanan di antara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan, dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Khumaidi (1989) menyatakan, bahwa kebiasaan erat kaitannya dengan penyediaan makanan karena akan mempengaruhi pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi untuk mencukupi kebutuhan gizi. Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kebiasaan makan manusia, yaitu faktor ekstrinsik (yang berasal dari luar diri manusia) dan faktor instrinsik (yang berasal dari dalam diri manusia). Faktor ekstrinsik tersebut adalah lingkungan alam, sosial, budaya, ekonomi dan agama. Faktor instrinsik antara lain asosiasi emosional, keadaan jasmani dan kejiwaan yang sedang sakit dan penilaian yang lebih terhadap mutu makanan.


(22)

Makanan Pantangan. Pantangan atau tabu adalah suatu larangan untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu karena terdapat ancaman bahaya atau hukuman terhadap siapa yang melanggarnya. Dalam ancaman bahaya ini terdapat kesan magis, yaitu adanya kekuatan super power yang berbau mistik, yang akan menghukum orang-orang yang melanggar pantangan atau tabu tersebut. Kita harus membedakan pantangan atau tabu makanan yang berdasarkan agama dan yang bukan agama atau kepercayaan. Pantangan atau tabu yang berdasarkan agama bersifat absolut tidak dapat ditawar lagi bagi penganutnya. Sedangkan pantangan atau tabu yang lainnya masih dapat dihilangkan jika diperlukan. Tabu makanan ini ada yang dapat merugikan terhadap pemeliharaan bahan makanan yang dikonsumsi. Dengan adanya tabu ini, maka jumlah makanan yang dikonsumsi menjadi terbatas. Walaupun tidak berakibat fatal yaitu hanya merugikan saja. Sehingga penting untuk dicermati bahwa tidak semua tabu itu merugikan atau jelek bagi kondisi gizi dan kesehatan (Suhardjo 1989).

Frekuensi Makan. Menurut berbagai kajian, frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari. Secara kuantitas dan kualitas akan sulit untuk memenuhi kebutuhan gizi apabila hanya makan satu atau dua kali sehari. Keterbatasan volume lambung menyebabkan seseorang tidak dapat makan sekaligus dalam jumlah banyak. Itulah sebabnya makan dilakukan secara frekuentif yaitu tiga kali makan dalam sehari. Frekuensi makan dapat menjadi tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya dengan semakin tinggi frekuensi makan peluang untuk mencukupi kebutuhan gizi akan semakin besar (Khomsan 2002).

Penekanan waktu dan komitmen terhadap aktivitas memberi pengaruh negatif terhadap kebiasaan makan remaja. Mengabaikan sarapan atau mengkonsumsi sarapan yang kualitas nutrisinya kurang, sering kali menjadi masalah. Makanan ringan yang biasanya dipilih berdasarkan kemudahan untuk mendapatkan makanan tersebut daripada kandungan gizinya yang bermanfaat, semakin menjadi bagian dari kebiasaan pola makan selama masa remaja (Wong et al 2002). Makan larut malam merupakan salah satu kebiasaan makan yang kurang baik karena akan meningkatkan berat badan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa konsumsi makan larut malam akan meningkatkan asupan kalori hingga 15%. Ketika hal tersebut dilakukan terus menerus, maka peningkatan berat badan akan terjadi.


(23)

Kebiasaan Sarapan. Menurut Khomsan (2002) menyatakan bahwa makan pagi adalah suatu kegiatan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik. Paling tidak ada dua manfaat yang dapat diambil jika melakukan sarapan pagi. Pertama, sarapan pagi dapat menyediakan karbohidrat yang siap digunakan untuk meningkatkan gula darah. Dengan kadar gula darah yang terjamin normal, maka gairah dan konsentrasi kerja bisa lebih baik sehingga berdampak positif untuk meningkatkan produktivitas. Kedua, pada dasarnya sarapan pagi akan memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan tubuh seperti protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ketersediaan zat gizi ini bermanfaat untuk berfungsinya proses fisiologi dalam tubuh.

Melewatkan makan pagi akan menyebabkan tubuh kekurangan glukosa dan hal ini menyebabkan tubuh lemah dan kurang konsentrasi karena tidak adanya suplai energi. Sarapan pagi menyumbang gizi sekitar 25%. Ini jumlah yang cukup signifikan. Sisa kebutuhan enegri dan protein lainnya dipenuhi oleh makan siang, makan malam dan selingan di antara waktu makan (Khomsan 2002).

Makanan Jajanan. Makanan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi makanan jajanan di masyarakat diperkirakan terus meningkat mengingat semakin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat. Kontribusi makanan jajanan terhadap konsumsi pada remaja di perkotaan menyumbang 21% energi dan 16% protein. Kontribusi terhadap konsumsi anak usia sekolah menyumbang 5.5% energi dan 4.2% protein (Cahanar & Suhanda 2006). Jajan kue-kue hanya member tambahan energi sedangkan zat pembangun dan zat pengatur sangat sedikit (Suhardjo 1989). Penelitian yang dilakukan Paeratakul (2003) menyebutkan bahwa remaja yang banyak mengkonsumsi snack dan makanan jajanan memiliki asupan karbohidrat dan protein yang rendah tetapi tinggi lemak.

Konsumsi Air Putih. Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Air sebagai salah satu zat gizi makro mempunyai fungsi dalam berbagai proses penting dalam tubuh manusia, seperti metabolisme, pengangkutan dan sirkulasi zat gizi dan non gizi, pengendalian suhu tubuh, kontraksi otot, transmisi impuls saraf, pengaturan keseimbangan elektrolit, dan


(24)

proses pembuangan zat tak berguna dari tubuh. Berdasarkan WKNPG (2004), jumlah kecukupan air bagi orang indonesia usia 19-29 tahun adalah 2 liter untuk laki-laki dan 2.5 liter untuk perempuan. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh The Indonesian Hydration Regional Study (THIRST) mengungkap bahwa 46.1% subyek yang diteliti mengalami kurang air. Kejadian ini lebih tinggi pada remaja (49.5%) dibanding pada orang dewasa (42.5%).

Susunan Menu Makan. Menu adalah suatu susunan beberapa macam hidangan yang disajikan pada waktu tertentu. Menu dapat terdiri dari satu macam hidangan yang lengkap atau tidak lengkap, juga dapat berupa hidangan untuk makan atau sarapan pagi, untuk makan siang atau makan malam saja ataupun hidangan makan untuk satu hari penuh dengan atau tanpa makan selingan. Susunan menu makanan yang baik adalah hidangan yang terdiri dari berbagai jenis atau saat ini biasa dikenal dengan slogan 3B (Beragam, Bergizi, Berimbang). Dengan mengkonsumsi makanan sehari-hari yang beranekaragam maka kekurangan zat gizi pada jenis pangan yang satu akan dilengkapi oleh keunggulan susunan zat gizi jenis pangan yang lain. Dengan demikian, diperoleh masukan zat gizi yang seimbang. Terdapat tiga kata kunci dalam makanan (menu) berbasis gizi seimbang, yaitu 1) seimbang antara asupan (konsumsi) zat gizi dengan kebutuhan setiap orang sehari; 2) seimbang jumlah antar kelompok pangan dan fungsi yaitu sebagai sumber tenaga (pangan sumber karbohidrat dan lemak mencakup pangan pokok yaitu serealia, umbi-umbian, makanan berpati; gula; buah/biji berminyak; lemak & minyak), sebagai sumber pembangun (pangan sumber protein hewani, yang dikenal sebagai lauk yaitu daging, telur, susu, ikan serta pangan sumber protein nabati, yang dikenal sebagai pauk yaitu berasal dari kacang-kacangan), sebagai sumber pengatur (pangan sumber vitamin mineral yang berasal dari sayur dan buah); serta 3) serimbang jumlah antar waktu makan berdasarkan kebiasaan frekuensi makan sehari.

Konsumsi Pangan

Menurut UU Pangan No. 7 Tahun 1996, pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air baik yang diolah ataupun tidak diolah, yang digunakan sebagai makanan atau minuman bagi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, atau pembuatan makanan dan minuman.

Manusia memerlukan sejumlah zat gizi agar dapat hidup sehat dan dapat mempertahankan kesehatannya. Sejumlah zat gizi yang harus dipenuhi dari


(25)

konsumsi makanan disebut kebutuhan gizi. Kekurangan atau kelebihan konsumsi gizi dari kebutuhan, terutama dalam jangka waktu dapat membahayakan kesehatan bahkan bisa sampai pada tahap kematian (Hardinysah & Martianto 1989).

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan oleh seorang atau sekelompok orang dengan tujuan tertentu dalam aspek gizi, tujuan memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan oleh tubuh (Hardiansyah & Martianto 1989). Konsumsi pangan (food intake) seseorang meliputi jenis, waktu, tempat, cara) dan jumlah pangan yang dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang meliputi sosial ekonomi, politik dan budaya. Kesukaan seseorang terhadap suatu jenis pangan akan berpengaruh terhadap asupan zat gizi yang diperoleh. Konsumsi yang terbentuk dari waktu kecil dan dimulai pertama kali di rumah akan menjadi dasar untuk konsumsi pangan seseorang merupakan suatu proses yang saling terkait dan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif lama (Sanjur 1982).

Tingkat konsumsi akan menentukan kecukupan gizi seseorang. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan oleh tubuh di dalam susunan hidangan. Kuantitas hidangan menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi di dalam susunan hidangan. Jika hal ini dapat dipenuhi baik dari sudut kualitas maupun kuantitasnya, maka akan tercapai keadaan gizi yang sebaik-baiknya (Sediaoetama 1991).

Energi. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Energi dan zat gizi diperlukan oleh seseorang sesuai dengan kebutuhan berdasarkan jenis kelamin, berat badan, lama dan berat ringannya aktivitas fisik. Variasi bahan makanan sangat penting karena kandungan gizi tiap-tiap jenis makanan berbeda-beda, dan tidak satupun bahan makanan di alam ini dapat mengandung seluruh zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan dalam satu hari.

Tubuh memerlukan energi untuk keperluan-keperluan seperti memenuhi kebutuhan energi basal, aktivitas tubuh dan keperluan khusus (ibu hamil dan menyusui serta orang yang baru sembuh dari sakit). Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan dan melakukan aktifitas fisik. Energi diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein suatu bahan makanan. Selanjutnya Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa semakin aktif


(26)

kegiatan fisik seseorang, makin banyak energi yang dibutuhkan. Tubuh yang besar memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan tubuh yang kecil.

Karbohidrat. Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah. Produk yang dihasilkan terutama dalam bentuk gula sederhana yang mudah larut dalam air dan mudah didistribusikan ke seluruh sel-sel guna penyediaan energi (Almatsier 2001). Fungsi utama dari karbohidrat adalah menyediakan energi bagi tubuh. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal. Sebagian dari karbohidrat disimpan dalam tubuh sebagai glukosa untuk keperluan energi segera, sebagian disimpan dalam otot dan hati sebagai glikogen, sebagian lagi diubah menjadi lemak sebagai cadangan energi. Seseorang yang mengkonsumsi karbohidrat berlebih akan menjadi gemuk.

Protein. Protein dapat diperoleh dari dua sumber yaitu protein hewani dan protein nabati. Fungsi utama dari protein adalah sebagai zat pembangun. Protein diperlukan untuk pertumbuhan, pembentukan sel/jaringan, pengganti jaringan yang rusak. Protein juga berfungsi dalam pembentukan enzim dan hormon yang berperan dalam proses pencernaan dan metabolisme serta pembentukan hemoglobin dan antibodi. Kualitas protein hewani lebih baik dari protein nabati. Protein hewani mengandung semua asam amino esensial, sedangkan protein nabati umumnya kurang lengkap. Selain itu, daya cerna dan proses penyerapan protein hewani lebih cepat daripada protein nabati.

Penilaian Konsumsi Pangan

Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penilaian kualitatif dapat dilakukan dengan mengetahui riwayat pola makan serta frekuensi makan. Penilaian secara kuantitatif dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya metode inventaris, cara pendaftaran, recall, dan penimbangan. Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur keadaan konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menilai status gizi. Penilaian konsumsi pangan dilakukan dengan cara survei (Suhardjo 1989). Survei diet atau penilaian konsumsi makananadalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok (Supriasa et al 2001).

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, maka pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data konsumsi yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode kulaitatif yaitu dengan mengetahui frekuensi makan.


(27)

Frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggal informasi tentang kebiasaan makan (food habits) serta cara-cara memperoleh bahan makanan tersebut. Metode kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM) dan Daftar Penyerapan Minyak (Supriasa et al 2001).

Salah satu metode pengukuran konsumsi makanan untuk individu yang bersifat kuantitatif adalah metode recall 24 jam. Menurut Powell (2010), penggunaan metode recall 24 jam merupakan salah satu metode yang mudah dan dapat menggambarkan jumlah makanan yang dikonsumsi responden. Prinsip dari metode recall 24 jam yaitu dilakukan dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Recall 24 jam sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Apabila pengukuran hanya dilakukan sekali, maka data yang diperoleh kurang representatif untuk menggambarkan kebiasaan makan individu (Supriasa et al 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal dua kali recall 24 jam tanpa berturut-turut dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang asupan harian individu.

Selain recall terdapat juga metode food frequency. Metode ini digunakan untuk memperoleh data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu seperti hari, minggu dan bulan. Frekuensi pangan digunakan untuk menilai frekuensi penggunaan pangan atau kelompok pangan tertentu (Supriasa et al 2001). Selain itu, dengan metode ini dapat diperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu berdasarkan rangking konsumsi zat gizi. Kuesionernya mempunyai dua komponen utama yaitu daftar pangan dan frekuensi penggunaan pangan.

Angka Kecukupan Gizi

Kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan. Kecukupan gizi dipengaruhi umur, jenis kelamin, aktifitas, berat dan tinggi badan serta genetika. Menurut energi yang tercantum dalam Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004 yang dianjurkan per orang per hari untuk pria usia 19-29 tahun adalah 2550 kkal dan 1900 kkal untuk


(28)

wanita. Perbedaan antara laki-laki dan wanita disebabkan kebutuhan zat gizi antara laki-laki dan wanita berdasarkan pengeluaran energi berbeda, bukan berdasarkan konsumsi (Hardinsyah & Martianto 1992).

Status Gizi

Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan zat-zat gizi makanan (Almatsier 2001). Status gizi merupakan hasil masukan zat gizi dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik, diperlukan pangan yang mengandung cukup zat gizi, aman dikonsumsi dan dapat memenuhi kebutuhan gizi yang ditentukan oleh berbagai faktor antara lain umur, jenis kelamin, aktivitas fisik, berat badan, tinggi badan, keadaan fisiologis dan keadaan kesehatan.

Menurut Riyadi (2003), penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian, yaitu antropometri, klinis, biokimia dan dietary. Pengukuran status gizi yang paling sering digunakan adalah antropometri dengan berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) sebagai ukuran antropometri yang banyak diterapkan. Menurut Supariasa et al (2001), penilaian status gizi dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu penilaian status gizi secara langsung dan tidak langsung. Sementara itu, penilaian secara tidak langsung ada tiga, yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital, faktor ekologi. Upaya perbaikan gizi dapat memperbaiki status gizi dan kesehatan yang kemudian akan berpengaruh terhadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pertumbuhan ekonomi.


(29)

KERANGKA PEMIKIRAN

Karakteristik individu seperti : umur, jenis kelamin, uang saku per bulan, dan asal daerah beserta karaktersitik keluarga (pekerjaan orangtua, pendapatan, dan besar keluarga) merupakan faktor yang akan mempengaruhi pengeluaran pangan. Menurut Suhardjo (1989) terdapat tiga faktor dominan yang mempengaruhi pola konsumsi pangan yaitu : kondisi ekosistem, ekonomi, dan konsep kesehatan gizi. Kondisi ekonomi yang mencakup daya beli atau pengeluaran pangan merupakan variabel yang akan dihubungkan dengan pola konsumsi dalam penelitian ini.

Pola konsumsi dalam penelitian ini merupakan gambaran mengenai jumlah dan jenis konsumsi pangan serta kebiasaan makan contoh. Kebiasaan makan yang akan diteliti dalam penelitian ini menyangkut ada tidaknya makanan pantangan, frekuensi makan utama dalam sehari, kebiasaan sarapan, kebiasaan minum air putih, kebiasaan jajan, susunan menu makan, cara memperoleh makanan (termasuk di dalamnya pengolah dan tempat memperoleh makanan), serta frekuensi konsumsi pangan contoh.

Sanjur (1982) menyatakan bahwa, konsumsi pangan seseorang merupakan suatu proses yang terkait dan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif lama. Konsumsi pangan yang tepat untuk dapat memenuhi kebutuhan gizi contoh yang digunakan untuk melakukan aktivitas yang tinggi dan untuk pertumbuhan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan dilakukan.Tingkat kecukupan gizi merupakan perbandingan antara jumlah konsumsi zat gizi (energi dan protein) dengan angka kecukupan yang dianjurkan. Tingkat kecukupan tersebut didasarkan pada umur, jenis kelamin dan berat badan.

Konsumsi pangan tersebut kemudian diduga dapat menentukan tingkat kecukupan gizi individu. Tingkat kecukupan gizi yang dihitung dalam penelitian ini adalah energi dan protein. Konsumsi pangan dan status kesehatan individu akan mempengaruhi status gizi seseorang. Namun, dalam penelitian ini status kesehatan merupakan variabel yang tidak diteliti. Semua variabel dalam penelitian ini didasarkan pada perbedaan asal perguruan tinggi di empat kampus wilayah Jawa Barat.


(30)

Pola Konsumsi

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Keterangan :

: variabel yang diteilti : variabel yang tidak diteliti : variabel yang diuji hubungan : variabel yang tidak diuji hubungan Karakteristik Individu

*Umur

*Jenis Kelamin *Uang Saku *Suku Asal

Karakteristik Keluarga *Pekerjaan Orangtua *Pendapatan

*Besar Keluarga

Pengeluaran Pangan

Status Kesehatan

Status Gizi *Susunan Menu Makan

*Cara Memperoleh Makanan *Frekuensi Konsumsi Pangan (FFQ)

Konsumsi Pangan *Jumlah Pangan

*Jenis Pangan

*Tingkat Kecukupan Energi & Zat Gizi Kebiasaan Makan

*Ada Tidaknya Makanan Pantangan *Frekuensi Makan Utama

*Kebiasaan Sarapan

*Kebiasaan Konsumsi Air Putih *Kebiasaan Jajan


(31)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yang dilakukan di perguruan tinggi penyelenggara Beastudi Etos wilayah Jawa Barat yaitu Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Universitas Padjajaran dan Institut Teknologi Bandung. Lokasi penelitian dipilih secara purposive yaitu dilakukan kepada mahasiswa penerima Beastudi Etos yang berada di wilayah Jawa Barat yang terdiri dari Bogor, Depok, dan Bandung. Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012. Pengolahan data dilaksanakan bulan Juli sampai September 2012.

Teknik Penarikan Contoh

Contoh dalam penelitian ini adalah mahasiswa penerima Beastudi Etos yang masih aktif dan tersebar di wilayah Jawa Barat. Total populasi sebanyak 102 mahasiswa dengan rincian sebanyak 44 mahasiswa Bogor, 40 mahasiswa Depok dan 18 mahasiswa Bandung. Jumlah contoh yang diambil mengacu berdasarkan rumus Slovin yaitu :

Keterangan :

n = ukuran contoh N = populasi e = presisi (5%)

Berdasarkan rumus tersebut maka didapat jumlah contoh minimal yang harus diambil sebanyak 81 contoh. Dengan menggunakan teknik penarikan contoh Stratified Random Sampling dengan alokasi proporsional berdasarkan jumlah populasi tiap daerah, maka didapatkan :

n1 = = 35 n2 =

= 32 n3 =


(32)

= 14 Keterangan :

N = populasi total n = ukuran contoh minimal N1 = populasi Bogor n1 = contoh Bogor

N2 = populasi Depok n2 = contoh Depok N3 = populasi Bandung n3 = contoh Bandung

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang diambil adalah karakterisitk contoh, karakteristik keluarga, pengeluaran pangan, pola konsumsi pangan, dan status gizi yang diperoleh dengan cara wawancara dan pengukuran langsung. Data sekunder yang diambil meliputi data profil mahasiswa dari tim manajemen pusat Beastudi Etos. Berikut adalah tabel mengenai jenis dan cara pengumpulan data penelitian :

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis Data Variabel Cara Pengumpulan Data Karakteristik Individu Umur, Jenis Kelamin, Uang

Saku, Suku Asal

Pengisian Kuesioner Karakteristik Keluarga Pekerjaan Orangtua,

Pendapatan Keluarga, Besar Keluarga

Pengisian Kuesioner

Pengeluaran Pangan Pengeluaran Pangan Pengisian Kuesioner Pola Konsumsi Pangan

 Kebiasaan Makan  Ada Tidaknya Makanan Pantangan, Frekuensi Makan Utama, Kebiasaan Sarapan, Kebiasaan Konsumsi Air Putih, Kebiasaan Jajan

 Susunan Menu Makan,

Cara Memperoleh

Makanan, Frekuensi Konsumsi Pangan (FFQ)

Pengisian Kuesioner

 Konsumsi Pangan Jumlah Pangan, Jenis Pangan

Wawancara recall 2x24 jam Status Gizi Berat Badan, Tinggi Badan Penimbangan dengan

timbangan digital dan microtoise


(33)

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis dengan uji statistika deskriptif menggunakan software Microsoft Excell 2007 dan SPSS 16 for Windows. Uji korelasi Spearman digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas antara lain hubungan karakteristik individu dan karakteristik keluarga dengan pengeluaran pangan; hubungan pengeluaran pangan dengan tingkat kebiasaan makan dan tingkat kecukupan zat gizi; hubungan pengeluaran pangan dengan status gizi; serta hubungan pola konsumsi dengan status gizi.

Uji Kruskal Wallis digunakan untuk mengetahui perbedaan variabel berdasarkan perbedaan wilayah antara lain umur, besarnya uang saku, suku asal, pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga, besar keluarga, pengeluaran pangan dan non pangan, skor kebiasaan makan, tingkat kecukupan zat gizi serta status gizi. Semua uji dinyatakan dalam signifikan p<0.05.

Variabel tingkat konsumsi zat gizi diperoleh melalui data jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi yang didapatkan melalui metode recall 2x24 jam. Data tersebut dikonversikan dalam bentuk energi dan protein dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM). Nilai kandungan zat gizi dapat diperoleh dengan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) :

KGij = jumlah zat gizi i dari setiap jenis pangan j Bj = berat pangan j (gram)

Gij = kandungan zat gizi i dari pangan j

BDDj = persen jumlah pangan j yang dapat dimakan

Tingkat konsumsi zat gizi dapat diperoleh dengan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) :

Konsumsi adalah rata-rata asupan zat gizi contoh yang didapat melalui recall 2x24 jam. Kecukupan gizi aktual adalah besarnya zat gizi yang yang harus dikonsumsi contoh menurut berat badan aktual yang dibandingkan dengan berat badan standar yang terdapat dalam AKG. Kondisi ini berlaku bagi contoh yang memiliki status gizi normal. Jika contoh memiliki status gizi kurus ataupun gemuk, maka yang digunakan adalah perbandingan antara berat badan ideal dengan berat badan standar yang terdapat dalam AKG. Berikut rumus untuk menentukan berat badan standar berdasarkan rumus Brocca :


(34)

BB ideal = (TB aktual-100) – (10%x(TB aktual-100))

Tingkat kecukupan gizi contoh diklasifikasikan menjadi 6 kategori menurut Depkes (2005) yaitu defisit tingkat berat (<70% AKG); defisit tingkat sedang (70-79% AKG); defisit ringan (80-89% AKG); normal (90-119% AKG) dan berlebih (≥120% AKG).

Indikator status gizi contoh menggunakan Indeks Masa Tubuh (BB/TB). Nilai IMT diperoleh dari nilai berat dan tinggi badan dengan rumus

. Status gizi kelompok orang ditentukan melalui suatu perhitungan statistik dengan menghitung angka nilai hasil penimbangan dibandingkan dengan angka rata-rata dari suatu angka acuan standar Departemen Kesehatan 2005. Berikut tabel yang menjelaskan variabel serta kategori yang digunakan :

Tabel 2 Kategori dan variabel data contoh

Variabel Kategori

Umur

≤19 tahun >19 tahun (sebaran contoh)

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan Total Uang Saku

<500.000

500.000-1.000.000 >1.000.000 (sebaran contoh) Pengeluaran Pangan

<250.000

250.000-400.000 >400.000

(sebaran contoh) Pendapatan Keluarga

<1.000.000

1.000.000-2.000.000 >2.000.000

(sebaran contoh) Besar Keluarga

Keluarga kecil (≤4 orang) Keluarga sedang (5-7 orang) Keluarga besar (>7 orang) (BKKBN 2004)

Kebiasaan Makan

 Makanan Pantangan Ada (skor =0) Tidak ada (skor = 1)  Kebiasaan Sarapan Ya (skor =1) Tidak (skor =0)  Frekuensi Makan Utama < 3 kali/hari (skor =0) ≥ 3 kali/hari (skor =1)  Konsumsi Air Putih < 8 gelas (skor =0) ≥ 8 gelas (skor =1)  Kebiasaan Jajan Ya (skor =1)

Tidak (skor =0)  Susunan Menu Makan


(35)

Tabel 2 Kategori dan variabel data contoh (lanjutan)

Variabel Kategori

 Cara Memperoleh Makanan  Frekuensi Konsumsi Pangan (FFQ) Konsumsi Pangan

 Tingkat Kecukupan Energi & Zat Gizi

Defisit tingkat berat (<70% AKG) Defisit tingkat sedang (70-79% AKG) Defisit ringan (80-89% AKG)

Normal (90-119% AKG) Berlebih (≥120% AKG) (Depkes 2005)  Jenis dan Jumlah Pangan

Sumber tenaga Sumber pembangun Sumber pengatur (triguna makanan)

Status Gizi (BB/TB)

Gemuk sekali (IMT>27) Gemuk (25>IMT≤27) Normal (18.5≥IMT≤25) Kurus (17≥IMT<18.5) Kurus sekali (IMT<17) (Depkes 2005)

Definisi Operasional

Karakteristik individu adalah karakteristik individu contoh yang meliputi umur, jenis kelamin, uang saku per bulan, dan daerah asal.

Karakteristik keluarga adalah karakterisitk keluarga contoh yang meliputi pekerjaan orangtua, pendapatan keluarga dan besar keluarga.

Pengeluaran pangan adalah sejumlah uang yang dikeluarkan oleh contoh untuk memenuhi kebutuhan pangannya dalam satuan rupiah per bulan.

Pola konsumsi pangan adalah gambaran mengenai konsumsi pangan dan kebiasaan makan contoh

Konsumsi pangan adalah jenis dan jumlah rata-rata makanan yang dikonsumsi contoh dalam sehari yang dibandingkan antara konsumsi aktual dengan konsumsi ideal serta tingkat kecukupan energi dan protein.

Kebiasaan makan adalah gambaran perilaku makan contoh yang meliputi ada tidaknya makanan pantangan, frekuensi makan utama, kebiasaan sarapan, kebiasaan jajan, konsumsi air putih, susunan menu makan, cara memperoleh makan dan frekuensi konsumsi pangan yang dihitung dengan skor kebiasaan makan.

Skor kebiasaan makan adalah ukuran nilai perilaku makan contoh yang meliputi makanan pantangan, frekuensi makan utama, kebiasaan sarapan, kebiasaan jajan dan konsumsi air putih yang dinyatakan dalam satuan skoring 0-1.


(36)

Makanan pantangan adalah makanan yang dengan sengaja dihindari oleh contoh untuk alasan tertentu.

Frekuensi makan utama adalah jumlah waktu makan contoh dalam sehari yang meliputi makan pagi, makan siang dan makan malam.

Kebiasaan sarapan adalah gambaran mengenai perilaku sarapan contoh dalam sehari.

Kebiasaan jajan adalah gambaran mengenai perilaku konsumsi jajanan contoh dalam sehari.

Konsumsi air putih adalah jumlah rata-rata air putih yang dikonsumsi contoh dalam sehari berdasarkan angka kecukupan air.

Susunan menu makan adalah jenis pangan yang dipilih contoh untuk tiap waktu makan, meliputi nasi, lauk hewani dan nabati, sayur, buah dan susu serta olahannya.

Frekuensi konsumsi pangan adalah frekuensi dan jenis pangan yang dikonsumsi contoh rata-rata menurut kelompok pangan dalam satuan kali per bulan.

Tingkat kecukupan energi & zat gizi adalah perbandingan antara asupan energi dan zat gizi contoh dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan berdasarkan AKE dan AKP pada WNPG 2004 yang dinyatakan dalam persen (%).

Status gizi adalah kondisi contoh yang diukur dengan menggunakan indikator antropometri Indeks Masa Tubuh (BB/TB) dan dikategorikan ke dalam kurus sekali, kurus, normal, gemuk dan gemuk sekali.


(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Beastudi Etos adalah beasiswa untuk anak-anak muda lulusan SMA yang tengah memperjuangkan cita-citanya agar dapat kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pilihan. Anak-anak muda ini tengah memperjuangkan masa depan mereka meski berangkat dari keterbatasan dan hambatan khususnya secara ekonomi. Beastudi Etos memiliki mimpi besar bagi perbaikan bangsa Indonesia melalui program pengembangan SDM. Oleh karena itu Beastudi Etos tidak hanya memberikan bantuan biaya pendidikan dan uang saku. Beastudi Etos juga melengkapinya dengan aktivitas pembinaan pengembangan diri dan kehidupan berasrama. Beastudi Etos dihadirkan untuk Indonesia yang lebih baik.

Beastudi Etos memiliki visi : “terdepan dalam membentuk SDM unggul dan mandiri”. Beastudi Etos ingin melahirkan generasi-generasi excellent bagi bangsa ini. Beastudi Etos berusaha menghadirkan pejuang-pejuang baru yang gigih memperjuangkan masa depan bangsa ini, dengan keunggulan dan kemandirian yang mereka miliki. Demi menghasilkan generasi yang hebat ini, Beastudi Etos memiliki misi antara lain : menerapkan manajemen mutu Beastudi Etos, menerapkan kurikulum pembinaan Beastudi Etos yang berbasis kompetensi, membangun dan mengoptimalkan jaringan Beastudi Etos, serta mengoptimalkan peran SDM Beastudi Etos dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat.

Saat ini Beastudi Etos tersebar di 12 wilayah dan 14 PTN dengan penerima manfaat sebanyak 409 orang dan 477 alumni. Adapun 12 wilayah persebaran program Beastudi Etos adalah Aceh, Medan, Padang, Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Samarinda dan Makassar. Beastudi Etos terdapat di PTN antara lain : Universitas Syahkuala, Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Brawijaya, Universitas Mulawarman, dan Universitas Hassanudin.

Adapun contoh yang dijadikan lokasi penelitian ini adalah mahasiswa Beastudi Etos wilayah Jawa Barat yang terdapat di Institut Pertanian Bogor, Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Institut Teknologi Bandung. Fasilitas yang diberikan kepada penerima program ini yaitu : penggantian biaya


(38)

masuk PTN, SPP semester I dan II, uang saku Rp. 450.000-Rp. 500.000 per bulan selama empat tahun, akomodasi asrama selama tiga tahun, serta pelatihan, pembinaan dan pendampingan 4 domain (spiritual, akademik, pengembangan diri, dan sosial) selama 4 tahun. Secara umum ada tiga bagian pembinaan, yaitu pembinaan asrama (harian), pembinaan rutin (pekanan) dan pembinaan nasional (tahunan). Pelatihan, pembinaan dan pendampingan ini dilakukan berdasarkan kurikulum berbasis kompetensi untuk pengembangan prestasi.

Karakteristik Individu Umur

Setiap manusia mengkonsumsi makanan dalam jumlah dan jenis yang berbeda. Banyak hal yang mempengaruhi konsumsi pangan seseorang. Menurut Suhardjo (1989) ada tiga faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik makanan dan karakterisitk lingkungan. Dalam penelitian ini, karakterisitk individu yang dimaksud antara lain umur, jenis kelamin, besaran uang saku dan suku bangsa. Pertambahan umur seseorang akan menyebabkan peningkatan jumlah energi yang dibutuhkan. Menurut Suhardjo (1989), pada masa anak-anak jumlah energi yang diperlukan oleh tubuh tidak sebesar jumlah energi yang diperlukan pada masa dewasa. Jumlah energi yang diperlukan akan mencapai puncaknya pada masa dewasa. Namun, kemudian jumlah energi yang diperlukan tubuh akan mengalami penurunan kembali pada saat lanjut usia. Menurut Santrock (2003) umur contoh dalam penelitian ini tergolong dewasa awal. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan umur :

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan umur Umur contoh (tahun)

Wilayah

Total Bogor Depok Bandung

n % n % n % n %

≤19 13 35 11 33 7 50 31 37

>19 24 65 22 67 7 50 53 63

Jumlah 37 100 33 100 14 100 84 100

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar umur contoh wilayah Bogor dan Depok berusia lebih dari 19 tahun (>60%), sedangkan untuk wilayah Bandung memiliki proporsi yang sama antara contoh yang berusia kurang dari atau sama dengan 19 tahun (50%) dengan contoh yang berusia lebih


(39)

dari 19 tahun (50%). Berdasarkan uji Kruskal Wallist Test, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.536) pada umur contoh di ketiga wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur minimum contoh untuk wilayah Bogor adalah 18 tahun dengan umur maksimum 22 tahun. Umur minimum contoh untuk wilayah Depok adalah 17 tahun dengan umur maksimum 22 tahun. Umur minimum contoh wilayah Bandung adalah 17 tahun dengan umur maksimum 21 tahun. Rata-rata umur contoh di tiga wilayah tersebut adalah 20 tahun. Hal ini sesuai dengan karakteristik contoh yang sebagian besar berada di tingkat kedua di kampus masing-masing. Jenis Kelamin

Jenis Kelamin

Jumlah kebutuhan gizi antara pria dan wanita berbeda. Jenis kelamin merupakan salah satu dasar penentuan kecukupan gizi seseorang. Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa tubuh yang besar memerlukan energi yang lebih banyak dibandingkan tubuh yang kecil. Berdasarkan tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004, kecukupan energi yang dianjurkan per orang per hari untuk usia 19-29 tahun pada laki-laki lebih besar yaitu 2550 kkal jika dibandingkan dengan kecukupan yang dianjurkan untuk wanita yaitu 1900 kkal. Untuk melakukan kegiatan fisik yang sama, wanita dengan ukuran tubuh yang lebih kecil umumnya memerlukan energi yang lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin :

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin

Wilayah

Total Bogor Depok Bandung

n % n % n % n %

Laki-laki 20 54 16 48 7 50 43 51

Perempuan 17 46 17 52 7 50 41 49

Jumlah 37 100 33 100 14 100 84 100

Berdasarkan data pada tabel 4 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh (51%) contoh berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar (54%) contoh di wilayah Bogor berjenis kelamin laki-laki. Hal ini berbeda dengan wilayah Depok dimana sebagian besar contoh (52%) berjenis kelamin perempuan. Wilayah Bandung memiliki jumlah yang sama (50%) antara contoh laki-laki dan perempuan.

Uang Saku

Uang saku merupakan banyaknya uang yang diterima contoh setiap bulan baik dari orang tua / seseorang yang mempunyai tanggungan terhadapnya ataupun dari hasil pendapatan sendiri seperti mengajar, berwirausaha dan


(40)

beasiswa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non-makanan. Uang saku adalah total uang yang diterima seseorang baik mingguan atau bulanan yang diperuntukkan untuk keperluan sehari hari seperti makan dan keperluan lainnya (Sukandar 2007). Berdasarkan sebaran contoh maka uang saku contoh dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu kurang dari 500 ribu per bulan, antara 500 ribu sampai dengan satu juta per bulan dan lebih dari satu juta per bulan. Tabel berikut menyajikan sebaran uang saku yang diterima contoh setiap bulan :

Tabel 5 Sebaran uang saku contoh per bulan Uang Saku (Rp/bulan)

Wilayah

Total

Bogor Depok Bandung

n % n % n % n %

<500.000 10 27 4 12 3 21 17 20

500.000-1.000.000 25 68 17 52 8 58 50 60

>1.000.000 2 5 12 36 3 21 17 20

Jumlah 37 100 33 100 14 100 84 100

Rata-rata (rupiah) 637.973 985.909 821.429

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa sebanyak 68% contoh wilayah Bogor memiliki uang saku antara Rp. 500.000-1.000.000. Hal ini sama seperti wilayah Depok dan Bandung yang sebagian besar (52%) dan (58%) contohnya memiliki uang saku antara Rp. 500.000-1.000.000. Jika dilihat dari rata-rata total uang saku per bulan, maka wilayah Depok memiliki nominal yang paling besar yaitu Rp. 985.909. Sementara untuk wilayah Bogor memiliki nominal paling kecil yaitu Rp. 637.973. Wilayah Bandung memiliki nominal rata-rata sebesar Rp. 821.429. Berdasarkan hasil uji beda, terdapat perbedaan yang nyata (p=0.011) pada jumlah uang saku yang diterima contoh dalam sebulan di tiga daerah.

Berdasarkan hasil wawancara, beberapa sumber pendapatan contoh selain berasal dari uang saku Etos adalah bersumber dari kiriman orangtua, berdagang, mengajar hingga mendirikan lembaga training. Uang saku yang diterima contoh setiap bulannya dialokasikan untuk berbagai keperluan hidup. Alokasi uang saku contoh antara lain untuk pengeluaran makanan dan non-makanan. Gambar berikut menunjukkan proporsi alokasi uang saku ketiga daerah :


(41)

Gambar 2 Perbandingan alokasi uang saku contoh

Semakin besar pendapatan, maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa uang saku yang dikeluarkan untuk keperluan makanan pada contoh wilayah Bogor dan Bandung lebih besar yaitu 62% dan 52% dibandingkan dengan contoh wilayah Depok yang hanya mengeluarkan 44% uang sakunya untuk keperluan makanan. Menurut Sukandar (2007) kelompok yang berpendapatan rendah umumnya mempunyai proporsi paling besar untuk pengeluaran pangan. Begitu pula sebaliknya, kelompok yang berpendapatan tinggi umumnya mengalokasikan lebih banyak pendapatannya untuk keperluan non pangan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sabates (2001) bahwa proporsi pengeluaran terhadap pangan akan menurun jika pendapatan seseorang meningkat.

Suku Bangsa

Setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain tanpa terkecuali dalam hal memilih dan mengolah makanan. Pola kebudayaan mempengaruhi orang dalam memilih makanan. Hal ini juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana cara pengolahannya, penyalurannya, hingga penyajiannya (Sukandar 2007). Suku bangsa contoh dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 4 yaitu Sunda, Jawa, Betawi dan

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70%

Bogor Depok Bandung

Makanan Non Makanan


(42)

lainnya seperti Minang, Bugis dan Batak. Gambar berikut memperlihatkan sebaran asal suku bangsa contoh :

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan suku bangsa

Berdasarkan gambar 3 dapat diketahui bahwa sebagian besar (54%) contoh wilayah Bogor berasal dari suku Sunda. Suku Betawi memiliki persentase paling kecil yaitu 8% dari total contoh. Di wilayah Depok suku Jawa menempati persentase paling besar yaitu 58% dan suku Betawi menempati persentase paling kecil yaitu 9%. Berbeda dengan Bogor dan Depok, untuk wilayah Bandung terdapat dua suku yang memiliki kesamaan persentase. Sunda dan suku lainnya memiliki persentase 29%, sedangkan Jawa dan Betawi memiliki persentase sebesar 21%. Berdasarkan uji beda, terdapat perbedaan yang nyata (p=0.023) pada variabel suku bangsa di tiga wilayah.

Karakteristik Keluarga Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan Ayah. Pekerjaan secara tidak langsung melalui pendapatan dapat mempengaruhi pola konsumsi individu (Suhardjo 1989). Menurut Sukandar (2007) pekerjaan seseorang merupakan faktor yang mempengaruhi pendapatan. Pendpatan merupakan salah satu faktor yang paling menentukan tentang kuantitas dan kualitas makanan. Dalam penelitian ini, pekerjaan ayah dikategorikan menjadi enam jenis pekerjaan. Data mengenai pekerjaan ayah ketiga daerah contoh disajikan pada tabel berikut :

0 10 20 30 40 50 60 70

Bogor Depok Bandung

Sunda Jawa Betawi Lainnya


(43)

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ayah Pekerjaan Ayah

Wilayah

Total

Bogor Depok Bandung

n % n % n % n %

Karyawan 4 11 3 9 5 36 12 14

Pegawai Desa/Guru 2 5 2 6 1 7 5 6

Wiraswasta 10 27 10 30 1 7 21 25

Petani 4 11 3 9 0 0 7 8

Buruh 11 30 7 21 6 43 24 29

Tidak Bekerja 6 16 8 25 1 7 15 18

Jumlah 37 100 33 100 14 100 84 100

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa secara umum di tiga wilayah pekerjaan ayah contoh yang memiliki persentase terbesar adalah sebagai buruh (29%) dan hanya 6% ayah yang bekerja sebagai pegawai desa. Pekerjaan ayah contoh wilayah Bogor lebih banyak bekerja sebagai buruh yaitu 30% dan paling sedikit sebagai pegawai desa yaitu 5%. Hal ini juga sama dengan wilayah Bandung yang lebih banyak pekerjaan ayah contoh sebagai buruh yaitu 43%. Berbeda dengan wilayah Bogor dan Bandung, untuk wilayah Depok pekerjaan ayah lebih banyak sebagai wiraswasta yaitu 30%.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak manajemen, salah satu pertimbangan dalam penerimaan contoh sebagai penerima Beasiswa Etos adalah faktor ekonomi. Sehingga besarnya persentase pekerjaan ayah sebagai buruh dikatakan wajar karena dasar program Beasiswa Etos ini memang diperuntukkan bagi kelompok ekonomi lemah. Berdasarkan uji beda, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.079) pada sebaran pekerjaan ayah contoh di ketiga wilayah.

Pekerjaan Ibu. Menurut Suhardjo (1989), ibu yang bekerja tidak lagi memiliki waktu untuk mempersiapkan makanan bagi keluarga. Namun ibu yang bekerja akan meningkatkan pendapatan keluarga. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu :

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan ibu Pekerjaan ibu

Wilayah

Total

Bogor Depok Bandung

n % n % n % n %

Petani 2 5 3 9 0 0 5 6

Pedagang 2 5 6 18 0 0 8 10

Penjahit 1 3 0 0 0 0 1 1

Buruh 2 5 1 3 0 0 3 4

Guru 1 3 2 6 1 7 4 5

Ibu Rumah Tangga 29 79 21 64 13 93 63 74

Jumlah 37 100 33 100 14 100 84 100


(44)

Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui sebagian besar (74%) pekerjaan ibu di ketiga wilayah adalah sebagai ibu rumah tangga. Di wilayah Bogor lebih dari separuh (79%) ibu contoh bekerja sebagai ibu rumah tangga. Hal yang sama juga dengan contoh di wilayah Depok dan Bandung dimana sebagian besar ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan persentase 64% dan 93%. Berdasarkan uji beda, tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.274) pada sebaran pekerjaan ibu contoh di ketiga wilayah.

Pendapatan Keluarga

Faktor pendapatan mempunyai peranan besar dalam masalah gizi dan kebisasaan makan masyarakat. Ketersediaan pangan suatu keluarga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga tersebut. Pendapatan dalam penelitian ini adalah pendapatan keluarga yang merupakan total pendapatan ayah, ibu, dan anggota keluarga lain guna memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pendapatan keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan yang secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat konsumsi pangan. Menurut Garcia (2009) pendapatan memiliki dampak terhadap jumlah konsumsi pangan. Pendapatan yang tinggi berarti memiliki kemampuan yang lebih dalam membeli barang ataupun makanan. Tingkat pendapatan yang tinggi akan memberikan peluang yang lebih besar dalam memilih makanan yang baik dalam jumlah dan jenis (Suhardjo 1989). Pendapatan dan harga pangan merupakan faktor penentu daya beli keluarga. Sehingga suatu keluarga akan memilih pangan untuk dikonsumsi sesuai dengan daya belinya. Tabel berikut memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan total pendapatan keluarga :

Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga Pendapatan Keluarga

(Rp/bulan)

Wilayah

Total

Bogor Depok Bandung

n % n % n % n %

<1.000.000 19 51 17 52 5 36 41 49

1.000.000-2.000.000 14 38 12 36 6 43 32 38

>2.000.000 4 11 4 12 3 21 11 13

Jumlah 37 100 33 100 14 100 84 100

Rata-rata (rupiah) 1.117.027 1.177.576 1.353.571

Berdasarkan tabel 8 dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan keluarga contoh wilayah Bandung paling tinggi (Rp. 1.353.571) jika dibandingkan dengan contoh wilayah Depok (Rp. 1.177.576). Rata-rata pendapatan keluarga contoh wilayah Bogor paling kecil (Rp. 1.117.027) jika dibandingkan dengan contoh wilayah Depok dan Bandung. Sebanyak 51% contoh wilayah Bogor


(1)

D67 Lainnya, sebutkan 1 Ya 2 Tidak 7 Bagaimana susunan makan malam yang sering Anda makan

D71 Nasi 1 Ya 2 Tidak

D72 Lauk hewani 1 Ya 2 Tidak

D73 Lauk Nabati 1 Ya 2 Tidak

D74 Sayur 1 Ya 2 Tidak

D75 Buah 1 Ya 2 Tidak

D76 Susu 1 Ya 2 Tidak

D77 Lainnya, sebutkan 1 Ya 2 Tidak

8 D8 Bagaimana Anda biasa memperoleh makanan 1 Memasak sendiri

2 Dimasakkan 3 Membeli

4 Lainnya, sebutkan

D81 Jika jawaban no. 8 dimasakkan, oleh siapa makanan Anda dimasak?

1 Ibu/keluarga 2 Ibu kos 3 Pembantu

4 Lainnya, sebutkan

D82 Jika jawaban no. 8 membeli, dimana Anda biasa membeli? 1 Rumah makan

2 Warung Nasi 3 Kantin 4 Catering

5 Lainnya, sebutkan

9 D9 Alasan Anda dalam memilih makanan 1 Selera

2 Ketersediaan 3 Harga

4 Keamanan 5 Gizi

6 Kebersihan 7 Kebutuhan 8 Lainnya, sebutkan 10 D10 Apa alasan Anda jajan?

1 Rasa lapar 2 Diajak teman 3 Ikutan teman 4 Mau saja

5 Lainnya, sebutkan

11 Apa jenis jajanan yang biasa Anda beli?

D111 Siomay 1 Ya 2 Tidak

D112 Bakso 1 Ya 2 Tidak

D113 Batagor 1 Ya 2 Tidak

D114 Gorengan 1 Ya 2 Tidak

D115 Snack ringan 1 Ya 2 Tidak

D116 Lainnya, sebutkan 1 Ya 2 Tidak

12 D12 Berapa jumlah air putih yang Anda minum per hari….gelas Sheet 6 FrekPang


(2)

E. Frekuensi Makan

E1 1 Berapa kali Anda makan dalam sehari…kali E2 2 Berapa kali Anda biasa jajan dalam sehari….kali E3 3 Apakah Anda memiliki jadwal makan yang teratur?

1. Ya 2. Tidak

Beri alasan E3a : ……….. Sheet 7 FrekKuanPang

Isikan jawaban Anda pada kolom yang tersedia F. Frekuensi Konsumsi Pangan

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8

No Jenis Pangan Frekuensi pangan per Kuantitas per kali

Biaya per kali hr Mgg Bln thn

1

Pangan pokok Beras, nasi Lontong Mie instan Bihun

Jagung dan Olahannya Singkong, ubi, kentang Lainnya, sebutkan

2

Pangan nabati Tempe Tahu

Kacang hijau Kacang tanah Kedelai

Lainnya, sebutkan

3

Pangan hewani Daging sapi Daging kambing Daging kerbau Ayam

Telur ayam Telur bebek (asin) Telur puyuh Hati

Sosis

Ikan bandeng Udang Sarden

Lainnya, sebutkan

4

Sayuran Bayam Kangkung Sawi Buncis Wortel Tomat


(3)

5

Buah Pisang Papaya Melon Mangga Apel Jeruk Semangka Lainnya, sebutkan

6

Susu dan olahannya Susu segar

Susu kental manis Yoghurt

Keju Es krim

Lainnya, sebutkan

7

Minyak Minyak kelapa Minyak sawit Minyak kedelai Lainnya, sebutkan

8

Makanan jajanan Bakso

Biskuit, wafer Siomay Batagor Kue basah Snack ringan Lainnya, sebutkan

WAWANCARA Sheet 8 Recall

G. Recall Hari Pertama

G11 G12

No Menu

Makanan Pangan/Bahan Kode

URT

Gr/URT Berat Bersih No Jumlah Satuan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16


(4)

17 18 19 20

Recall Hari Kedua

G21 G22

No Menu

Makanan Pangan/Bahan Kode

URT

Gr/URT Berat Bersih No Jumlah Satuan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20


(5)

Lampiran 2 Hasil uji beda Krusskal Wallis

Variabel Siginfikansi

Umur 0.536

Uang saku total 0.011*

Suku asal 0.023*

Pekerjaan ayah 0.079

Pekerjaan ibu 0.274

Pendapatan keluarga 0.342

Besar keluarga 0.117

Pengeluaran pangan 0.635

Pengeluaran non pangan 0.000**

Skor kebiasaan makan 0.163

Tingkat kecukupan energi 0.350

Tingkat kecukupan protein 0.474

Status gizi 0.584

Lampiran 3 Hasil uji hubungan karakteristik individu dan karaktersitik keluarga dengan pengeluaran pangan

Variabel Koefisien korelasi Siginfikansi

Umur 0.179 0.536

Jenis kelamin -0.186 0.091

Suku asal -0.259* 0.017

Uang saku total 0.432** 0.000

Pekerjaan ayah 0.064 0.563

Pekerjaan ibu 0.165 0.133

Pendapatan keluarga 0.042 0.704

Besar keluarga 0.052 0.637

Lampiran 4 Hasil uji hubungan pengeluaran pangan dengan pola konsumsi pangan

Variabel Koefisien korelasi Siginfikansi

Pengeluaran pangan dengan skor kebiasaan makan

-0.125 0.256

Pengeluaran pangan dengan TKE -0.001 0.990

Pengeluaran pangan dengan TKP 0.111 0.316

Lampiran 5 Hasil uji hubungan kebiasaan makan dengan tingkat kecukupan gizi

Variabel Koefisien korelasi Siginfikansi

Skor kebiasaan makan dengan TKE

0.031 0.776

Skor kebiasaan makan dengan TKP


(6)

Lampiran 6 Hasil uji hubungan pola konsumsi pangan dengan status gizi

Variabel Koefisien korelasi Siginfikansi

Skor kebiasaan makan dengan status gizi

0.020 0.858

TKE dengan status gizi -0.322* 0.002

TKP dengan status gizi -0.306* 0.005

Lampiran 7 Hasil uji beda Krusskal Wallis terhadap Frekuensi Pangan

Variabel Siginfikansi

Pangan pokok 0.644

Lauk Hewani 0.829

Lauk Nabati 0.437

Sayur 0.132

Buah 0.851

Susu 0.580

Makanan jajan 0.874

Keterangan :

* nyata pada α=0.05 ** nyata pada α=0.01