Hematology and Blood Chemistry Profile of Dog Infected Chronically by Babesia sp. and Haemobartonella sp. Combination

PROFIL HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH ANJING
YANG TERINFEKSI KOMBINASI
Babesia sp. DAN Haemobartonella sp. KRONIS

LENI MAYLINA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Profil Hematologi dan
Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi Kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. Kronis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Leni Maylina
B351100031

RINGKASAN
LENI MAYLINA. Profil Hematologi dan Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi
Kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Kronis. Dibimbing oleh
DONDIN SAJUTHI dan ANITA ESFANDIARI.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari status kesehatan anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis melalui
pengamatan terhadap profil hematologi dan kimia darah. Penelitian menggunakan
28 ekor anjing yang telah didiagnosis positif terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. Anjing dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan ras,
yaitu BM/Belgian Malinois (n= 4), GR/Golden Retriever (n=3), LR/Labrador
Retriever (n=6), GS/German Shepherd (n=6), and RW/Rotweiller (n=9).
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mendapatkan temuan klinis. Sampel darah
diambil dari vena chepalica antibrachii untuk menghitung derajat infeksi,
hematologi rutin (jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit,
jumlah trombosit, jumlah leukosit total, jumlah limfosit, monosit, neutrofil

segmen, neutrofil batang, eosinofil dan basofil). dan kimia darah (aktivitas AST
dan ALT, konsentrasi total bilirubin, bilirubin conjugated, bilirubin unconjugated,
total protein, ureum, kreatinin, sodium, potasium, pH, pCO 2 , HCO 3 -, pO 2 dan
sO 2 ).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ras anjing memiliki derajat
infeksi terhadap Babesia sp. dan Haemobartonella sp. ≤ 1 % (derajat infeksi
ringan). Temuan klinis yang didapatkan bervariasi, meliputi kepucatan membran
mukosa, konjungtiva dan sklera hiperemi, aritmia, bradikardia, takhikardia,
splenomegali, diare berdarah dan infestasi caplak. Jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin, nilai hematokrit dan jumlah trombosit cenderung lebih rendah
(dibandingkan nilai normal) pada semua kelompok ras anjing, dengan indeks
eritrosit berupa normositik normokromik dan mikrositik normokromik. Temuan
lain berupa konsentrasi bilirubin total, bilirubin conjugated, ureum, dan total
protein yang cenderung lebih tinggi (dibandingkan nilai normal), sedangkan
tekanan oksigen (pO 2 ) dan saturasi oksigen (sO 2 ) cenderung lebih rendah
(dibandingkan nilai norrmal) pada semua kelompok ras anjing.
Kata kunci: hematologi, kimia darah, anjing, Babesia sp., Haemobartonella sp.

SUMMARY
LENI MAYLINA. Hematology and Blood Chemistry Profile of Dog Infected

Chronically by Babesia sp. and Haemobartonella sp. Combination. Supervised
by DONDIN SAJUTHI and ANITA ESFANDIARI.
The objective of this experiment was to study the hematology and blood
chemistry profiles of dog infected chronically by Babesia sp. and
Haemobartonella sp. combination. Twenty eight dogs 2-8 years of age positively
infected the combination of Babesia sp. and Haemobartonella sp. were devided
into five groups depending on breeds, i.e. BM/Belgian Malinois (n= 4),
GR/Golden Retriever (n=3), LR/Labrador Retriever (n=6), GS/German Shepherd
(n=6, and RW/Rotweiller (n=9). Physical examination were done to obtain clinical
findings. Blood samples were collected from cephalica antibrachii vein to
determine the degree of infection, routine hematology (erythrocyte count,
hemoglobin concentration, hematocrit, leukocyte count, neutrophyl, eosinophyl,
basophyl, limphocyte, monocyte, and thrombocyte count) and clinical chemistry
(ALT and AST activity, bilirubin count, conjugated bilirubin, unconjugated
bilirubin, protein count, ureum, creatinine, sodium, potassium, pH, pCO 2 , HCO 3 ,
pO 2 and sO 2 ).
Results of this study indicated that the degree of infection of Babesia sp.
dan Haemobartonella sp. were < 1 % at all breed of dogs. Clinical findings were
various including pale mucous membrane, hiperemic conjunctiva and sclera,
arythmia, bradycardy, tachycardy, splenomegaly, bloody diarrhea, and ticks

infestation. The erythrocyte count, hemoglobin concentration, hematocrit, and
thrombocyte counts tend to be lower than normal range at all groups. The other
findings such as total bilirubin, conjugated bilirubin, ureum, and total protein
tend to be higher than normal range, while oxygen tension (pO 2) and oxygen
saturation (sO 2 ) tend to be lower than normal range at all breed of dogs..
Keyword: hematology, blood chemistry, dogs, Babesia sp., Haemobartonella sp.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PROFIL HEMATOLOGI DAN KIMIA DARAH ANJING
YANG TERINFEKSI KOMBINASI
Babesia sp. DAN Haemobartonella sp. KRONIS


LENI MAYLINA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tertutup: drh. Agus Wijaya, MSc., PhD

Judul Tesis
Nama
NRP


: Profil Hematologi dan Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi
Kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. Kronis
: Leni Maylina
: B351100031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST, PhD
Ketua

Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Biomedis Hewan

Drh. Agus Setiyono, MS, PhD


Tanggal Ujian:

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012 ini adalah Profil
Hematologi dan Kimia Darah Anjing yang Terinfeksi Kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. Kronis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi,
MST., PhD dan Ibu Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku pembimbing, Bapak
drh. Agus Wijaya, MSc., PhD selaku penilai serta Bapak drh. Agus Setiyono,
MS., PhD., APVet selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan yang telah
banyak memberi kemudahan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan

kepada segenap pimpinan beserta Tim Dokter dari Klinik Veteriner (KOMPOL
drh. R. Chaindrapraso Saleh, IPTU drh. Fitri Patmawati, IPTU drh. Adi, drh.
Jeanni Dumayanti) dan tim K-9 Direktorat Polisi Satwa Kelapa Dua, Depok,
Pimpinan beserta Staf Laboratorium Praktek Dokter Hewan Bersama (PDHB)
drh. cucu K. Sajuthi, dkk., Staf Laboraorium Patologi Klinik Rumah Sakit
BRIMOB Kelapa Dua, Depok beserta seluruh Staf Pengajar Bagian Penyakit
Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH-IPB yang telah banyak
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada suami (drh. Didid Wahyu Jatmiko), anak (Raihan Arya Sena Jatmiko),
ayah (alm. Bapak H. Darsam), ibu (Hj. Tatik Syafiati, Spd), mertua (Bapak
Mulyono, SPd dan Ibu Kustati, SPd) serta seluruh keluarga, atas segala doa,
pengertian, dukungan dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013
Leni Maylina

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


xii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

5

3 METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Desain Penelitian
Prosedur Analisis Data

15
15
15
17
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN


19

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

53
53
53

DAFTAR PUSTAKA

55

LAMPIRAN

59

RIWAYAT HIDUP

93

DAFTAR TABEL
1 Persentase eritrosit berparasit pada kelima ras anjing yang terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
2 Hasil pemeriksaan keadaan umum semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
3 Temuan klinis yang ditemukan selama pemeriksaan fisik dan observasi
pada kelima kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp.
dan Haemobartonella sp. kronis
4 Rata-rata parameter hematologi pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
5 Rata-rata parameter kimia darah pada kelima kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis

20
23
24
26
37

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Siklus hidup Babesia sp.
Proses destruksi eritrosit
Babesia canis dan Babesia gibsoni
Haemobartonella canis pada eritrosit anjing
Desain penelitian
Identifikasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. serta morfologi
eritrosit: sferosit → sebagai tanda adanya anemia yang dimediasi sistem
imun
persentase eritrosit berparasit pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata jumlah eritrosit (x106/µL) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata konsentrasi hemoglobin (g/dL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Rata-rata nilai hematokrit (%) pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata jumlah trombosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata jumlah leukosit total (x103/µL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Rata-rata jumlah limfosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata jumlah monosit (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata jumlah neutrofil segmen (x103/µL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Rata-rata jumlah neutrofil batang (x103/µL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Rata-rata jumlah eosinofil (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata jumlah basofil (x103/µL) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata aktivitas AST (IU/L) pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata aktivitas ALT (IU/L) pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Rata-rata konsentrasi total protein (g/dL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Rata-rata konsentrasi bilirubin total (mg/dL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis

7
8
11
13
17
19
21
27
28
28
30
31
32
33
33
34
35
35
38
39
39
40

23 Rata-rata konsentrasi bilirubin conjugated (mg/dL) pada semua
kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
24 Rata-rata konsentrasi bilirubin unconjugated (mg/dL) pada semua
kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
25 Rata-rata konsentrasi ureum (mg/dL) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
26 Rata-rata konsentrasi kreatinin (mg/dL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
27 Rata-rata pO 2 (mmHg) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
28 Rata-rata sO 2 (%) pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
29 Rata-rata pH darah pada semua kelompok ras anjing yang terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
30 Rata-rata pCO 2 (mmHg) pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
31 Rata-rata konsentrasi HCO 3 - (mEq/L) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
32 Kurva disosiasi hemoglobin (HbO 2 ) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
33 Rata-rata konsentrsi natrium (mEq/dL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
34 Rata-rata konsentrasi kalium (mEq/dL) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis

40
41
42
43
44
45
45
46
47
48
50
50

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Uji statistik persentase eritrosit berparasit semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Uji statistik bobot badan semua kelompok ras anjing yang terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik temperatur tubuh pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik frekuensi nafas (RR) pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Uji statistik frekuensi denyut jantung pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik jumlah eritrosit pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik konsentrasi hemoglobin (Hb) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata nilai hematokrit (Hct) pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah trombosit pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah leukosit total pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah limfosit pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah monosit pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah neutrofil segmen pada semua kelompok
ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah neutrofil batang pada semua kelompok
ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah eosinofil pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata jumlah basofil pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis

61
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77

17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

Uji statistik rata-rata konsentrasi ureum pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi kreatinin pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata aktivitas AST pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis
Uji statistik rata-rata aktivitas ALT pada semua kelompok ras anjing
yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemotbartonella sp.
kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi total protein pada semua kelompok
ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi bilirubin total pada semua kelompok
ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi bilirubin conjugated pada semua
kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi bilirubin unconjugated pada semua
kelompok ras anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata pH darah pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata pCO 2 pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi HCO 3 - pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata pO 2 pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata sO 2 pada semua kelompok ras anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi natrium pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis
Uji statistik rata-rata konsentrasi kalium pada semua kelompok ras
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. kronis

78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing memiliki tingkat intelegensi dan kesetiaan yang tinggi sehingga
dapat dilatih sebagai penjaga, pelacak bahan peledak dan narkoba serta pengendali
huru-hara. Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mendirikan Sub Direktorat
Satwa (sekarang Direktorat Polisi Satwa) yang memiliki unit K-9 yang khusus
memfasilitasi pelatihan anjing pelacak dan pengendali massa. Anjing yang dilatih
di Direktorat Polisi Satwa antara lain Belgian mallinoise (BM), Golden retriever
(GR), Labrador retriever (LR), German shepherd (GS), dan Rotweiller retriever
(RW) (POLRI 2007). Anjing-anjing tersebut dipilih karena mudah dilatih dan
dapat dimanfaatkan sebagai anjing pekerja, misalnya sebagai hewan kesayangan,
pemburu, pencari jejak dan penyelamat, penjaga, pemandu dan pelacak
(Grandjean 2006).
Pemeliharaan anjing di Direktorat Polisi Satwa memiliki kendala,
diantaranya adanya gangguan oleh ektoparasit. Ektoparasit yang sering ditemukan
pada anjing adalah caplak Rhipicephalus sanguineus. Caplak ini hidup di
permukaan kulit anjing dan menghisap darah melalui pembuluh darah perifer
yang berada di bawah kulit. Caplak berpotensi sebagai vektor berbagai penyakit
yang disebabkan oleh protozoa maupun riketsia (Levine 1994).
Protozoa yang ditularkan oleh caplak diantaranya Babesia sp., dan oleh
riketsia diantaranya Haemobartonella sp.. Spesies Babesia yang sering ditemukan
menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan Babesia gibsoni. Keduanya
merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan
Scott 2002), sedangkan Haemobartonella sp. (pada anjing Haemobartonella
canis) hidup epieritrositik. Baik Babesia sp. maupun Haemobartonella sp.,
keduanya dapat menyebabkan anemia hemolitik secara akut maupun kronis,
tergantung dari derajat infeksi dan keaktifan agen penyebab (Weiss dan Wardrop
2010).
Penyakit yang diakibatkan oleh infeksi Babesia sp. (babesiosis) tersebar di
seluruh dunia, terutama di negara tropis dan subtropis (Lubis 2006). Hal ini terkait
dengan cara penularan protozoa ini, dimana penularannya dapat terjadi melalui
vektor caplak, sehingga kemungkinan penularan antar sesama anjing sangat besar.
Kasus babesiosis dilaporkan terjadi pada spesies sapi, kuda, domba, kucing,
anjing, dan hewan liar (seperti rubah, rusa dan hewan pengerat) (Yatim dan
Herman 2006).
Kasus haemobartonellosis lebih sering dilaporkan terjadi pada kucing
(Weiss dan Wardrop 2010).
Belum ditemukan laporan mengenai studi
epidemiologi kasus infeksi oleh Haemobartonella sp. di Indonesia. Infeksi
tunggal oleh Haemobartonella sp. menunjukkan manifestasi klinis ringan pada
anjing, sedangkan infeksi tunggal Babesia sp. dapat memperlihatkan gejala
anemia ringan sampai berat (membran mukosa pucat sampai ikterus), penurunan
berat badan, gangguan saluran pencernaan maupun pernafasan. Menurut Guyton
dan Hall (2007), manifestasi klinis yang tampak pada masing-masing infeksi
tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal (tatalaksana pemeliharaan, lingkungan
dan musim) dan faktor internal (status kekebalan individu dan status nutrisi).

2

Kombinasi infeksi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. dapat menunjukkan
manifestasi klinis yang lebih nyata dibandingkan dengan infeksi yang terjadi
secara tunggal (Birkenheuer et al. 2007).
Pemberian terapi untuk babesiosis dan haemobartonellosis pada anjing
didasarkan pada kondisi penderita dan derajat infeksi. Imidocarb diproprionat
sejak lama telah digunakan untuk pengobatan babesiosis, sedangkan doksisiklin
dan klindamisin adalah obat terbaru yang dimanfaatkan untuk pengobatan
babesiosis dan haemobartonellosis. Faktor yang mempengaruhi keputusan
pemberian terapi diantaranya adalah status kesehatan anjing, yang dapat dinilai
melalui pemeriksaan hematologi dan kimia darah (Aielo 2002).
Informasi mengenai infeksi kombinasi babesiosis dan haemobartonellosis
pada anjing di Indonesia belum ada laporannya. Selama ini belum ada informasi
mengenai gambaran hematologi dan kimia darah pada infeksi kombinasi kedua
penyakit ini di Indonesia. Penelitian pendahuluan yang telah dilakukan
menunjukkan bahwa lebih dari 50 % anjing di Direktorat Polisi Satwa Polri
Kelapa Dua terinfeksi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.. Oleh karena itu
penelitian ini penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah
Anjing dapat dimanfaatkan sebagai anjing pelacak yang membantu polisi
dalam melakukan tugasnya. Oleh karena itu, berdasarkan fungsinya anjing-anjing
tersebut disebut sebagai anjing polisi yang tergabung dalam sebuah tim khusus
yang disebut K-9. Anjing polisi di Direktorat Polisi Satwa Kelapa dua, Depok
banyak didatangkan dari Amerika (Amerika Serikat dan Kanada) serta Eropa
(Belanda), dimana negara-negara tersebut adalah endemik babesiosis pada anjing.
Masalah utama pemeliharaan anjing di Kelapa Dua terutama adanya infestasi
ektoparasit caplak. Beberapa laporan penelitian disana menyebutkan bahwa
caplak yang menginfeksi anjing adalah jenis Riphicephalus sanguineus, dimana
caplak ini merupakan vektor parasit darah dan riketsia; diantaranya adalah
Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
Babesiosis pada anjing (oleh Babesia canis dan atau Babesia gibsoni)
merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit (intrasitoplasmik) (Stockham dan
Scott 2002), sedangkan Haemobartonella sp. pada anjing (Haemobartonella
canis) hidup pada permukaan eritrosit. Keduanya akan mengakibatkan eritrosit
mengalamai kerusakan (membran, hemoglobin, dan fleksibilitas) sehingga terjadi
proses destruksi. Destruksi eritrosit besar-besaran berpotensi menyebabkan
anemia. Jika destruksi eritrosit berhubungan dengan mediator sistem imun, maka
terjadi anemia hemolisis intravaskular maupun ekstravaskular yang akan
memperparah anemia. Pemecahan eritrosit akan berdampak pada oksigenasi
jaringan (terjadi hipoksia dan hipoksemia) (Price dan Wilson 2006; Macfarlane et
al. 2000). Hipoksia pada jaringan akan mengganggu organ-organ vital dalam
tubuh, misalnya jantung, paru-paru, ginjal dan hati (Davies dan Shell 2002).
Selain itu, hipoksemia dan hipoksia akan mempengaruhi keseimbangan kurva
disosiasi hemoglobin (Price dan Wilson 2006) yang berakibat pada afinitas
hemoglobin dalam mengikat oksigen. Selain anemia, babesiosis dan

3

haemobartonellosis dapat menyebabkan pula terjadinya trombositopenia (Weiss
dan Wardrop 2010).
Temuan klinis yang muncul merupakan manifestasi klinis dari anemia dan
trombositopenia Infeksi kronis oleh kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella
sp. sering tidak memunculkan gejala klinis dan sering terlewatkan. Padahal,
infeksi kronis merupakan tahap dimana anjing menjadi pembawa (carrier) yang
menjadikan penyebaran kedua agen ini semakin meluas. Seringkali anjing
dilaporkan mati secara tiba-tiba dengan gambaran patologi berupa kerusakan
multi organ (terutama organ jantung, ginjal dan hati). Gambaran darah dapat
merepresentasikan kondisi anjing pada saat masih hidup. Oleh karena itu
diperlukan kajian mengenai profil hematologi dan kimia darah anjing yang
terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis.
Hipotesis
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah infeksi kombinasi
Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis mempengaruhi profil hematologi dan
kimia darah pada anjing.

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari profil hematologi dan kimia
darah pada anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.
kronis.
.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah informasi tentang
status kesehatan anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan
Haemobartonella sp. kronis melalui pemeriksaan hematologi dan kimia darah
sehingga didapatkan rekomendasi penanganan yang sesuai.

4

Halaman ini sengaja dikosongkan

5

TINJAUAN PUSTAKA
Anjing (Canis familiaris)
Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena
mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan
anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, dan juga sebagai
hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan dan
pengabdian yang tinggi kepada manusia (Grandjean 2006).
Salah satu keistimewaan anjing adalah daya penciumannya yang sangat
tajam. Kemampuan penciuman yang sangat tajam pada anjing dapat dimanfaatkan
untuk melacak keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu
polisi dalam memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba,
maupun pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu
unit di bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak.
Anjing yang sering dipilih sebagai anjing pelacak adalah ras Belgian Malinois
(Belgian Shepherd), Golden Retriever, Labrador Retriever, German Shepherd dan
Rottweiler (POLRI 1996).
Anjing-anjing tersebut dipilih sebagai anjing polisi karena memiliki
berbagai keistimewaan. Belgian Malinois memiliki karakter sangat energik dan
aktif, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai anjing pelacak, penjaga, dan
penyelamat. Golden Retriever adalah anjing yang berani, aktif, memiliki
penciuman tajam, dan memiliki ingatan yang istimewa, sehingga dapat
dimanfaatkan sebagai anjing pemandu, penyelamat, dan pendeteksi obat-obatan.
Labrador Retriever merupakan raja anjing pemburu yang memiliki karakteristik
sangat aktif, gesit, memiliki penciuman yang sangat tajam, pandai berenang,
memiliki ingatan visual dan mampu merekam jejak lokasi dengan baik, sehingga
anjing ini baik digunakan sebagai penjaga, penyelamat dan pendeteksi obatobatan. German Shepherd memiliki kewaspadaan yang tinggi, cepat belajar,
ramah, berani, patuh pada perintah, dan memiliki penciuman yang istimewa,
sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing pekerja (pemburu, pencari
jejak dan penyelamat, penjaga, dan pemandu). Rottweiler memiliki kekuatan luar
biasa, pekerja keras dan tidak akan pernah menyalak tanpa ada penyebab,
sehingga anjing ini dapat dimanfaatkan sebagai anjing polisi, militer, penjaga dan
pengendali massa (huru hara) (Grandjean 2006).
Anjing-anjing yang dipergunakan sebagai anjing polisi tersebut masuk ke
dalam kategori ras besar dan dapat dilatih menjadi anjing pekerja (working dog).
Masing-masing ras memiliki keistimewaan dan perbedaan kepekaan terhadap
penyakit. Beberapa ras diduga lebih tahan dalam merespon suatu infeksi,
sedangkan ras lainnya lebih peka terhadap infeksi yang sama. Ras anjing German
Shepherd sering disebut sebagai ras yang sangat peka dalam merespon suatu
penyakit (Grandjean 2006).

6

Babesiosis pada Anjing
Babesiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Babesia sp..
Babesia sp. merupakan protozoa intraeritrositik yang dapat ditularkan melalui
vektor caplak. Penyakit ini ditularkan pada anjing yang imunitasnya menurun
atau dalam kondisi imunosupresi. Tingkat keparahan penyakit ini dipengaruhi
oleh faktor umur, ras dan status/kondisi premunisi (Benavides dan Sacco 2007).
Kondisi premunisi yaitu keseimbangan yang terjadi antara respon imun hewan
yang terinfeksi dengan kemampuan parasit untuk memunculkan gejala klinis
(Mandell et al. 2010; Wulansari 2002). Ras anjing diduga merupakan faktor
predisposisi dan mempengaruhi infeksi ini. Hasil penelitian Mellanby et al.
(2011) menunjukkan bahwa anjing ras besar pekerja (working dogs) memiliki
resiko terinfeksi babesiosis lebih besar dibandingkan dengan anjing ras mini
(Mellanby et al. 2011).
Secara historis, Babesia diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan spesies
mamalia yang diinfeksi. Babesia besar mempunyai panjang 3 sampai 6 pm,
sedangkan Babesia kecil mempunyai panjang 1 sampai 3 pm ((Iqbal et al. 2011).
Dua spesies Babesia yang sering menginfeksi anjing adalah Babesia canis dan
Babesia gibsoni. Keduanya merupakan protozoa yang hidup intraeritrosit
(intrasitoplasmik) (Stockham dan Scott 2002). Babesia canis adalah spesies yang
diidentifikasi sebagai Babesia besar. Babesia canis mencakup tiga subspesies,
yaitu Babesia canis vogeli, Babesia canis canis, dan Babesia canis rossi. Ketiga
subspesies tersebut secara genetik berbeda, ditularkan oleh vektor yang berbeda,
dan memiliki distribusi geografis yang berbeda dengan berbagai tingkat
patogenitas (Iqbal et al. 2011).
Babesia canis vogeli memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh
Rhipicephalus sanguineus, dan dianggap kurang patogen. Babesia canis canis
ditemukan terutama di Eropa, ditularkan oleh Dermacentor reticulatus, dan cukup
patogen. Babesia canis rossi adalah endemik di Afrika, ditularkan oleh
Haemaphysalis leachi, dan merupakan subspesies sangat ptogen. Babesia gibsoni
(B. gibsoni) merupakan spesies yang diidentifikasi sebagai Babesia kecil..
Babesia gibsoni memiliki distribusi di seluruh dunia, ditularkan oleh
Haemaphysalis, dan memiliki derajat infeksi yang bersifat subklinis sampai
infeksi berat yang dapat menyebabkan kematian (Iqbal et al. 2011). Selain
ditularkan melalui vektor caplak, agen ini dilaporkan dapat juga ditularkan
melalui aplikasi tranfusi darah dari donor ke resipien apabila anjing pendonor
bersifat carrier dan melalui transplasental dari induk ke anak (Fukumoto et al.
2005).
.
Siklus Hidup Babesia sp.
Caplak terinfeksi merozoit selama menghisap eritrosit dan tetap infektif
selama beberapa generasi melalui transmisi transovarial (Boozer dan Macintire
2005) Babesia sp. memiliki siklus perkembangan aseksual (skizogoni) yang
terjadi pada inang dan perkembangan seksual (gametogoni dan sporogoni) yang
terjadi pada caplak. Transmisi dimulai ketika inang tergigit caplak yang
mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang

7

memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, dimana akan mengikuti aliran
limfe dan membentuk tropozoit (infektif). Beberapa hari kemudian terbentuk
badan berinti banyak (schizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak jumlah
merozoit menjadikan schizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam aliran
darah. Merozoit yang menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan
jika telah matang berubah lagi menjadi schizont yang dapat pecah kembali dan
melepaskan merozoit lain yang akan menginfeksi eritrosit lain di sekitarnya
(Gardiner et al. 2002). Siklus hidup Babesia sp. dijelaskan melalui Gambar 1.

Gambar 1 Siklus hidup Babesia sp. (Gardiner et al. 2002)

Patogenesis
Babesiosis ditularkan melalui gigitan vektor, salah satunya yaitu
Rhipicephalus sanguineus. Sporozoit akan ditemukan dalam sirkulasi darah pada
inang (anjing) setelah terinfeksi selama 2 sampai 3 hari (Igarashi et al. 1988).
Infeksi oleh Babesia sp. dimulai ketika inang tergigit caplak yang
mengandung sporozoit Babesia sp. di dalam kelenjar ludahnya. Sporozoit yang
memasuki inang mengalami siklus pre-eritrositik, mengikuti aliran limfe dan
membentuk tropozoit (Gardiner et al. 2002). Tiga sampai empat hari kemudian
terbentuk badan berinti banyak (skizont) yang berisi merozoit. Semakin banyak
jumlah merozoit menjadikan skizont pecah dan melepaskan merozoit ke dalam
aliran darah setelah anjing terinfeksi selama 2 sampai 3 hari.

8

b

a

c

Gambar 2 Proses destruksi eritrosit a) infeksi Babesia sp. dalam eritrosit; b)
Penetrasi merozoit Babesia sp. ke dalam eritrosit mengaktifkan
komplemen (C3b) (Kaneko et al. 1997); c) hemolisis intravaskular
dan ekstravaskular akibat destruksi eritrosit oleh Babesia sp. yang
diperantarai sistem imun (Stockham dan Scott 2002)

9

Di dalam tubuh inang, organisme menempel pada membran eritrosit dan
ditelan melalui proses endositosis. Mekanisme masuknya merozoit melalui proses
endositosis, yang terdiri dari tiga tahap: 1) usaha untuk tidak dikenali inang dan
penempelan ke membran eritrosit; 2) invaginasi eritrosit mengelilingi merozoit
untuk membentuk parasitophorus vacuole; dan 3) membran eritrosit menutup
setelah invasi merozoit selesai (Igarashi et al. 1988). Tahap selanjutnya, membran
luar (berasal dari parasitophorus vacuole eritrosit inang) segera terlepas, sehingga
parasit dapat berkontak langsung dengan sitoplasma eritrosit. Merozoit yang
menginfeksi eritrosit berubah menjadi tropozoit muda dan jika telah matang
berubah lagi menjadi skizont yang dapat pecah kembali dan melepaskan merozoit
lain yang akan menginfeksi eritrosit lain disekitarnya (Gardiner et al. 2002).
Penetrasi merozoit ke dalam eritrosit terjadi melalui mekanisme: 1) kontak
merozoit menyebabkan membran plasma teraktivasi sehingga jalur komplemen
juga teraktivasi dan merozoit memperoleh komplemen di permukaan eritrosit dan
melalui reseptor komplemen pada sitoplasma terbentuk ikatan yang kuat; dan 2)
merozoit memiliki reseptor C3b sehingga dapat mengikat C3b yang terdapat pada
permukaan membran eritrosit (Igarashi et al. 1988).
Eritrosit yang terinfeksi merozoit (Gambar 2a), berikatan dengan
komplemen yang melapisi eritrosit (Gambar 2b). Kerusakan membran eritrosit
diduga diakibatkan oleh lisis osmotik dalam sirkulasi (hemolitik intravaskular)
(Gambar 2c). Eritrosit yang dilapisi oleh komplemen diekspresikan melalui proses
fagositosis oleh sel makrofag (Gambar 2c) menghasilkan kerusakan eritrosit,
yang akan dibuang dalam ruang ekstravaskular pada limpa dan hati (hemolisis
ekstravaskular) (Weiss dan Wardrop 2010).
Pembelahan
terus-menerus
merozoit
yang
tidak
terbendung
mengakibatkan eritrosit-eritrosit lain di sekitar eritrosit berparasit juga ikut
terinfeksi. Eritrosit yang terinfeksi oleh parasit ini mengalami destruksi (Gardiner
et al. 2002). Daya hidup eritrosit normal pada anjing adalah 100 hari, namun
dengan adanya infeksi ini menyebabkan pemendekan umur eritrosit sampai
kurang dari setengahnya (Weiss dan Wardrop 2010), sehingga banyak eritrosit
akibat infeksi parasit ini didestruksi lebih cepat dari umurnya.
Parasitemia adalah suatu keadaan dimana parasit ditemukan dalam
sirkulasi darah. Parasitemia dikaitkan dengan siklus hidup Babesia sp. dan
terdeteksi di dalam sirkulasi selama periode prepaten. Periode prepaten adalah
periode perkembangan sporozoit menjadi tropozoit dan periode ketika merozoit
menginfeksi eritrosit. Periode ini membutuhkan waktu selama 1 – 2 minggu
(Urquhart et al. 2003).
Parasitemia yang disebabkan oleh B. canis dapat berlangsung selama 3-4
hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama kurang
lebih 10 – 14 hari. Selanjutnya, periode inkubasi dan perkembangan merozoit
terjadi antara 2 – 12 minggu (Quin et al. 2008). Biasanya persentase parasitemia
mencapai 1.5 % atau lebih pada stadium perkembangan. Tingkat parasitemia
tersebut telah mampu memunculkan gejala klinis. Gejala klinis yang muncul
berupa demam, kepucatan membran mukosa, pembesaran limpa dan hati,
takhikardia serta urin menjadi lebih gelap. Parasitemia mencapai puncak (>1.5 %
- >5 %) pada 4 sampai 6 minggu setelah infeksi (Boozer dan Macintire 2005).
Stadium terakhir merupakan stadium “penyembuhan”, ditunjukkan dengan
persentase parasitemia yang rendah. Jika hal ini berlangsung lama tanpa

10

menimbulkan gejala klinis, maka bisa dipastikan hewan menjadi carrier (Kocan et
al. 2010). Setelah 2 minggu pasca infeksi akan terjadi parasitemia kedua, dengan
jumlah parasit lebih banyak di dalam eritrosit, sebagai hasil perbanyakan secara
pembelahan (Subronto 2005). Parasitemia dapat terjadi berulang-ulang ketika
inang berada dalam kondisi dengan kekebalan tubuh yang menurun. Sistem
kekebalan tubuh yang ada, tidak benar-benar menghilangkan infeksi, dan hewan
akan menjadi carrier kronis (Boozer dan Macintire 2005).
Anemia hemolitik dan trombositopenia merupakan gambaran utama
babesiosis pada anjing. Anemia disebabkan oleh ekstra dan intravaskular
hemolisis. Destruksi eritrosit akibat immune mediated hemolytic anemia (IMHA)
terjadi karena adanya antigen Babesia sp. pada permukaan eritrosit. Hal ini
menyebabkan kerusakan eritrosit, baik intravaskular maupun ekstravaskular
(Gambar 2c). Destruksi eritrosit tersebut akan memunculkan gejala
hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kuning (ikterus/jaundice) (Boozer dan
Macintire 2005).

Gejala Klinis
Gejala klinis muncul setelah periode inkubasi, dimana derajat parasitemia
mencapai > 1.5 %, dan diperkirakan terjadi dalam waktu 4 – 6 minggu pasca
infeksi. Gejala klinis pada infeksi perakut ditandai dengan kegagalan respirasi
(dyspnoe) hingga kematian secara tiba-tiba. Secara umum, gejala klinis pada
infeksi akut yang muncul pada anjing penderita babesiosis berupa demam,
membran mukosa anemis sampai ikterus, hati dan limpa membesar, berat badan
menurun, gangguan saluran cerna (muntah dan diare berdarah), gangguan saluran
pernafasan, takikardia dan urin berwarna lebih gelap (Lubis 2006). Gejala klinis
pada infeksi kronis sering tidak tampak, namun terkadang ditemukan membran
mukosa anemis, demam intermiten dan penurunan berat badan (Tilley dan Smith
2011).
Babesia gibsoni dapat menyebabkan infeksi yang bersifat hiperakut, akut,
dan kronis. Infeksi hiperakut yang langka terutama terjadi pada anak anjing yang
baru lahir dan mengakibatkan kematian dengan cepat. Infeksi tersebut diduga
diperoleh dari induknya. Infeksi Babesia gibsoni akut biasanya memunculkan
gejala demam, kelesuan, trombositopenia, dan anemia, sedangkan infeksi babesia
kronis bisa sama sekali tanpa gejala atau bisa juga disertai dengan demam
intermiten, lesu, dan penurunan berat badan (Boozer dan Macintire 2005).

Diagnosis
Diagnosis pada kasus infeksi B. canis akut didasarkan pada gejala klinis
yang muncul dan ditemukannya parasit Babesia sp di dalam eritrosit melalui
pemeriksaan ulas darah. Pada pemeriksaan ulas darah, Babesia besar (Babesia
canis) tampak terlihat seperti buah pear, sedangkan Babesia kecil (Babesia
gibsoni) tampak sebagai inti kecil bersitoplasma (Boozer dan Macintire 2005)
(Gambar 3).
Sampai saat ini belum ada tes yang 100% sensitif untuk diagnosis
babesiosis pada anjing. Selain melalui pemeriksaan ulas darah, diagnosis bisa
dilakukan melalui pemeriksaan serologis yang meliputi Coomb Test, IFA

11

(Immunoflourescent Antibody Test), IFT (Indirect Fluorescent Test), ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbent Assay), dan PCR (Polymerase Chain Reaction)
(Iqbal et al. 2011; Boozer dan Macintire 2005).

a
b
Gambar 3 Babesia canis (a) dan Babesia gibsoni (b) di dalam eritrosit anjing
(Boozer dan Macintire 2005)

Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Babesiosis pada Anjing
Anemia dan trombositopenia merupakan kelainan yang paling sering
ditemukan pada anjing dengan infeksi babesiosis tunggal. Gejala klinis yang
muncul pada penderita babesiosis merupakan manifestasi klinis dari adanya
anemia (Iqbal et al. 2011).
Destruksi eritrosit akibat infeksi Babesia sp. secara besar-besaran akan
menyebabkan terjadinya anemia. Sumsum tulang meresponnya dengan cara
meningkatkan produksi eritrosit muda (retikulosit) yang akan dilepaskan ke dalam
sirkulasi darah. Jumlah retikulosit yang sangat tinggi di dalam sirkulasi darah
(retikulositosis) bisa mengindikasikan adanya proses hemolisis. Penghitungan
jumlah retikulosit dalam sirkulasi merupakan kunci diagnosis adanya anemia
hemolitik. Destruksi eritrosit pada anemia hemolitik umumnya terjadi di dalam
limpa sehingga organ ini akan mengalami pembesaran. Rata-rata masa hidup
eritrosit pada kejadian ini sangat pendek, berkisar antara 10-20 hari (Sibuea et al.
2009), dimana masa hidup eritrosit pada anjing dalam keadaan normal berkisar
antara 100 – 110 hari (Weiss dan Wardrop 2010; Colville dan Bassert 2002).
Destruksi eritrosit menyebabkan terjadinya pemecahan eritrosit besarbesaran sehingga di dalam hati terbentuk bilirubin yang berlebihan. Kemampuan
hati dalam mengkonjugasi bilirubin terbatas, menyebabkan kadar bilirubin
unconjugated di dalam darah akan meningkat sehingga penderita terlihat
kekuningan (ikterus/jaundice) yang disebut sebagai ikterus prehepatik.
Pemecahan eritrosit berlebihan akan berdampak pada menurunnya ikatan
hemoglobin–oksigen (HbO 2 ). Ikatan ini yang membawa oksigen beredar dalam
sirkulasi sehingga membantu proses oksigenasi sel. Salah satu faktor utama yang
mempengaruhi oksigenasi jaringan atau sel adalah konsentrasi oksigen yang
terkandung dalam darah (Segal 2010). Konsekuensi dari menurunnya ikatan
hemoglobin–oksigen (HbO 2 ) menyebabkan oksigenasi jaringan terganggu.

12

Manifestasi klinis yang terlihat adalah adanya takhikardia akibat hipoksemia dan
hipoksia (Price dan Wilson 2006).

Pengobatan dan Pencegahan
Tujuan utama pengobatan pada kasus babesiosis adalah untuk menekan
perkembangan parasitemia dan mengembangkan keadaan premunisi. Imidocarb
dipropionat adalah obat yang direkomendasikan oleh FDA (Food and Drug
Association) untuk pengobatan babesiosis pada anjing. Dosis yang disarankan
adalah 6,6 mg/kg, diberikan secara intramuskular, dengan dosis yang diulang
dalam dua minggu berikutnya (Tilley dan Smith 2011).
Efek samping yang paling sering dilaporkan muncul setelah pemberian
imidocarb adalah sakit di lokasi penyuntikan dan tanda-tanda kolinergik, seperti
hipersalivasi, defekasi, dan panting. Pemberian atropin dosis 0,022 mg/kg secara
subkutan, 15 sampai 30 menit sebelum pemberian imidocarb dapat mengurangi
tanda-tanda kolinergik (Tilley dan Smith 2011). Imidocarb efektif digunakan
untuk semua subspesies Babesia canis. Meskipun tidak dapat
mengeliminasi/menghilangkan seluruh parasit dalam darah, imidocarb dapat
menurunkan mortalitas pada infeksi Babesia gibsoni (Iqbal et al. 2011).
Obat-obatan lain yang bisa diberikan adalah kombinasi atovakuon
(Mepron Glaxo Smith Kline) dengan dosis 13.5 mg/kg BB secara oral, azitromisin
10 mg/kgBB secara oral sekali/hari selama 10 hari. Studi terbaru menunjukkan
bahwa pemberian klindamisin 10 mg/kg BB secara oral selama 14 hari efektif
untuk terapi babesiosis pada anjing tanpa efek samping. Pemberian terapi suportif
berupa terapi cairan dan/atau tranfusi darah tergantung pada kondisi dan derajat
anemia anjing (Iqbal et al. 2011).
Pencegahan yang dapat dilakukan adalah kontrol terhadap caplak sebagai
vektor penyakit. Tindakan pencegahan ini termasuk kontrol caplak (sanitasi
lingkungan dan hewan menggunakan Butox®), screening induk, screening donor
darah, serta mencegah perkelahian antar anjing untuk mempersempit penularan
infeksi antar anjing (Iqbal et al. 2011).

Haemobartonellosis pada Anjing
Infeksi oleh Haemobartonella sp. disebabkan oleh Mycoplasma
haemocanis, yang sebelumnya dikenal sebagai Haemobartonella canis.
Mycoplasma haemocanis merupakan mikroorganisme yang masuk ke dalam
kelompok riketsia. Mycoplasma haemocanis disebut juga sebagai "Hemotropic
mycoplasma”. Mikroorganisme ini mampu bertahan hidup tanpa oksigen, dan
tidak memiliki dinding sel sejati, sehingga membuat mereka tahan terhadap
antibiotik (Subronto 2006). Mycoplasma merupakan gram negatif dan tahan asam
serta bereproduksi melalui pembelahan biner (Aielo 2002). Siklus hidup
Haemobartonella sp. sampai saat ini belum banyak dilaporkan. Laporan yang ada
terbatas pada informasi bahwa riketsia mampu hidup dalam berbagai stadia caplak
dan sewaktu-waktu dapat dipindahkan ke hewan lain (Subronto 2006).
Simptom yang muncul merupakan manifestasi klinis anemia, berupa lesu,
tidak nafsu makan, anemis, demam, gangguan pernafasan (dispnoe, tachypnoea),

13

dan gangguan sirkulasi (takhikardia dan kerapuhan kapiler) (Gretillat 2008).
Anjing penderita haemobartonellosis akut biasanya akan menunjukkan tandatanda depresi, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, dan demam.
Kematian dapat terjadi pada kasus yang parah, (Nash 2012).

Patogenesis
Patogenesis haemobartonellosis belum banyak dilaporkan. Menurut Weiss
dan Wardrop (2010) serta Stockham dan Scott (2002), proses infeksi
Haemobartonella sp. terkait dengan mediator imun. Babesiosis dan
haemobartonellosis memiliki kesamaan dalam mengaktifkan sistem komplemen
(Weiss dan Wardrop 2010; Stockham dan Scott 2002).

Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada ditemukannya Hemobartonella canis pada
preparat ulas darah (Gambar 4). Bila dilihat secara mikroskopis, Mycoplasma
haemocanis tampak dalam bentuk rantai atau bisa berupa organisme individu
yang menembus
permukaan eritrosit (Gambar 4). Polymerase Chain
Reaction/PCR merupakan tes yang sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis
anjing yang terinfeksi Hemobartonella canis (Kumarl et al. 2011).

Gambar 4 Haemobartonella canis pada eritrosit anjing
(Boozer dan Macintire 2005)

Gambaran Hematologi dan Kimia Klinik Haemobartonellosis pada Anjing
Haemobartonellosis, seperti juga babesiosis, menyebabkan anemia
hemolitik. Gejala klinis yang muncul merupakan akibat dari anemia yang
ditimbulkannya.
Tingkat keparahan anemia yang ditimbulkan bervariasi,
tergantung pada durasi dan derajat parasitemia. Bentuk anemia biasanya
regeneratif atau non-regeneratif. Profil hematologi yang pernah dilaporkan
berupa neutrofilia, anisositosis, poikilositosis dan anisositosis. Trombositopenia
bisa ditemukan pada beberapa kasus. Perubahan biokimiawi darah pada umumnya
ringan dan sekunder terhadap anemia akibat kondisi hipoksia (Gretillat 2008).

14

Terapi
Tujuan utama pengobatan haemobartonellosis adalah untuk menekan
perkembangan Haemobartonella sp. Terapi untuk Mycoplasma haemocanis
adalah tetrasiklin yang diberikan secara oral (dosis 20-22 mg/kgBB, tiga kali
sehari selama 21 hari) atau kloramfenikol (diberikan secara intravena dengan
dosis 20-22 mg/kgBB, dua atau tiga kali sehari selama 9 sampai 21 hari). Karena
terapi antibiotik tidak sepenuhnya menghilangkan M. haemocanis, tanda-tanda
klinis dapat muncul kembali jika penyakit imunosupresif yang mendasarinya
berkembang. Pemberian glukokortikoid secara oral (dosis 1 mg/kgBB, dua kali
sehari, diberikan secara bertahap) efektif jika infeksi Mycoplasma haemocanis
berhubungan dengan anemia hemolisis yang diperantarai kekebalan (Immune
Mediated Hemolytic Anaemia/IMHA). Terapi suportif berupa terapi cairan dan
tranfusi darah diberikan ketika hewan menderita anemia berat (Kumarl et al.
2011).

15

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan di Direktorat Polisi Satwa Polri Kelapa Dua
Depok, Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit BRIMOB Kelapa Dua Depok
dan di Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen
Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor. Penelitian berlangsung selama bulan Mei-Oktober 2012.

Alat dan Bahan
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah 28 ekor anjing
(umur 2-8 tahun, tanpa membedakan jenis kelamin) yang positif terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp.,. Anjing dibagi ke dalam lima
kelompok berdasarkan ras, terdiri dari ras Belgian Malinois/BM (4 ekor), Golden
Retriever/GR (3 ekor), Labrador Retriever/LR (6 ekor), German Shepherd/GS (6
ekor) dan Rottweiler/RW (9 ekor).
Alat yang dipergunakan adalah cell counter – blood analyzer Hemavet®,
instrumen Dialab Photometer DTN-410®, Abbott i-STAT®, tabung vacuum
Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA), mikroskop, hand refraktrometer,
kertas saring, alat penghitung, tabung mikrohematokrit, pipet tetes, gelas obyek
dan syringe 3 ml.
Reagen yang dipergunakan adalah kit untuk ureum, kreatinin, total protein,
Aspartate transaminase (AST), Alanine transaminase (ALT), bilirubin total,
bilirubin direct/conjugated; kit Hemavet®; dan CG8+ Cartridge®. Bahan lainnya
yaitu metanol, larutan Giemsa 10 % dan alkohol 70 %.

Metodologi

Metode
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan berdasarkan metode Widodo et al. (2011)
untuk mengidentifikasi temuan klinis.
2. Pengambilan Sampel Darah
Sampel darah diambil dari vena cephalica antibrachii sebanyak 2 ml
menggunakan syringe 3 ml. Sebanyak 0.5 ml ditempatkan pada CG8+ cartridge®
dan sebanyak 1,5 ml pada tabung vacuum EDTA. Sampel darah dalam tabung
vacuum EDTA diperlukan untuk pemeriksaan hematologi lengkap dan kimia
darah, sedangkan sampel darah dalam cartridge digunakan untuk analisis gas
darah dan elektrolit. Preparat ulas darah dibuat langsung dari darah utuh (whole
blood) segera setelah pengambilan darah.

16

3. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi lengkap dilakukan menggunakan cell counter blood analyzer Hemavet®, meliputi jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin,
nil