Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis

GAMBARAN LEUKOSIT ANJING YANG TERINFEKSI
Babesia sp. KRONIS

YUSTI MAULIDA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Gambaran Leukosit
Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2014

Yusti Maulida
NIM B04090063

ABSTRAK
YUSTI MAULIDA. Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis.
Dibimbing oleh SUS DERTHI WIDHYARI dan LENI MAYLINA.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran leukosit anjing yang
terinfeksi Babesia sp. kronis. Penelitian ini menggunakan tiga belas ekor anjing
yang positif terinfeksi Babesia sp. dengan persentase parasitemia kurang dari 1%
tanpa memperhatikan ras, umur, dan jenis kelamin. Pengambilan sampel darah
melalui vena Cephalica antibrachii menggunakan syringe dan dimasukkan ke
dalam tabung yang berisi antikoagulan K3 EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid). Jumlah total leukosit dianalisis dengan cell counter-blood analyzer
Hemavet®. Sediaan ulas darah dibuat untuk penghitungan differensial leukosit.
Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis secara umum tidak memperlihatkan perubahan terhadap jumlah leukosit
dan diferensial leukosit. Gambaran leukosit pada beberapa anjing secara individu
memperlihatkan kondisi leukositosis disertai dengan perubahan salah satu atau
beberapa jenis sel leukosit.

Kata kunci: anjing, Babesia sp., kronis, leukositosis.

ABSTRACT
YUSTI MAULIDA. Profile of Dogs Leukocyte which Chronic Infected of Babesia
sp. Supervised by SUS DERTHI WIDHYARI and LENI MAYLINA.

The aim of this research was to obtain the profile of leukocyte of dogs
which were chronically infected by Babesia sp. This research used thirteen dogs
were positive of chronical infection by Babesia sp with parasitemic percentage
less than 1% regardless of breed, age, and sex. The blood samples were taken
through Cephalic antibachii vein used syringe and inserted to tube with
anticoagulant K3 EDTA (Ethylene Diamine Tetraacetic Acid). The count of total
leucocytes were analyzed by cell counter-blood analyzer Hemavet ®. Blood smears
were made for the differential leucocytes calculation. In conclusion, the dogs
chronically infected with Babesia sp. generally showed no changes on white blood
cells. Leukocyte profile on few dogs individually showed leukocytosis condition
with changes on one or few types of leukocyte cell.
Keywords: Babesia sp., chronic, dogs, leukocytosis.

GAMBARAN LEUKOSIT ANJING YANG TERINFEKSI

Babesia sp. KRONIS

YUSTI MAULIDA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis
Nama
: Yusti Maulida
NIM
: B04090063


Disetujui oleh

Dr Drh Sus Derthi Widhyari, MSi
Pembimbing I

Drh Leni Maylina, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Judul penelitian
ini adalah Gambaran Leukosit Anjing yang Terinfeksi Babesia sp. Kronis.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Drh Sus Derthi Widhyari,

M.Si dan Ibu Drh Leni Maylina, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi atas segala
bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan penyusunan
tugas akhir ini. Terima kasih kepada Bapak Drh. Chaerul Basri, M. Epid selaku dosen
pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis menjalankan studi.
Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pimpinan beserta tim
medis dan pasukan yang tergabung dalam K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa
Dua, Depok dan pimpinan beserta staf Laboratorium Patologi Klinik, Bagian
Penyakit Dalam, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran
Hewan IPB yang telah membantu penulis dalam penelitian.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada ayah
H. Rahmat, ibu Hj. Tati Ratnawati, MM, dan adik Fachry Muhammad Fadillah, serta
seluruh keluarga atas segala doa, nasehat dan kasih sayang yang telah diberikan.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman penulis di
Geochelone 46, Himpunan Mahasiswa Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik FKH
IPB, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB 46,
BEM KM IPB 10/12, Penghuni Wisma Jelita dan teh War, Rusunawa 9, TPB 46
A07/08, serta sahabat terdekat Dewi Utami Dimiyati, Adella Anfidina Putri, S.Si,
Dwi Utari Rahmiati, S.KH, Rahayu Woro Wiranti, S.KH, Septiana Eka Sari, dan
Cinthyarindi Tiffani Lestari atas bantuan, saran, dan motivasi selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari

kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat.

Bogor, Februari 2014
Yusti Maulida

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

9


Latar Belakang

9

Tujuan Penelitian

9

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

METODE

4


Waktu dan Tempat

4

Alat dan Bahan

4

Hewan Penelitian

5

Pengambilan Darah dan Penghitungan Total Leukosit

5

Pembuatan dan Pewarnaan Sediaan Ulas Darah

5


Penghitungan Diferensial Leukosit

5

Analisis Data

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Total Leukosit

6

Diferensial Leukosit

7


SIMPULAN DAN SARAN

13

Simpulan

13

Saran

13

DAFTAR PUSTAKA

14

RIWAYAT HIDUP

15


DAFTAR TABEL
1. Jumlah leukosit anjing
2. Total leukosit dan nilai relatif deferensial leukosit anjing yang
terinfeksi Babesia sp. kronis
3. Total leukosit dan jumlah deferensial leukosit anjing yang terinfeksi
Babesia sp.kronis

3
6
8

DAFTAR GAMBAR
1. Rata-rata jumlah total leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis
2. Rata-rata jumlah limfosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis
3. Rata-rata jumlah monosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis
4. Rata-rata jumlah neutrofil segmen anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis
5. Rata-rata jumlah neutrofil band anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis
6. Rata-rata jumlah eosinofil anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis
7. Rata-rata jumlah basofil anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis

7
9
10
10
11
12
12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing dijadikan sebagai hewan peliharaan karena memiliki kecerdasan dan
loyalitas tinggi terhadap pemiliknya. Anjing memiliki keistimewaan ketajaman
pendengaran dan penciuman, sehingga anjing dapat juga dijadikan sebagai hewan
penjaga maupun hewan pelacak. Penciuman anjing yang sangat tajam
dimanfaatkan untuk membantu tugas polisi dalam menyelesaikan berbagai
permasalahan. Melalui kemampuan penciuman anjing, dapat digunakan untuk
melacak jejak kriminalisme seperti bom, narkotika, pencurian, pembunuhan,
ataupun penertiban saat adanya kerusuhan (Budiana 2008).
Direktorat Polisi Satwa POLRI memiliki Unit K-9 yaitu sebuah unit yang
dikhususkan untuk memelihara dan melatih anjing pelacak. Beberapa jenis anjing
yang digunakan sebagai anjing pelacak kepolisian antara lain ras Belgian
malinois, Labrador retriever, Rotweiller, Doberman pincher, German shepherd,
dan Beagle (POLRI 1996).
Anjing memerlukan perawatan kesehatan agar selalu dalam keadaan
optimal. Kendala yang sering ditemukan dalam perawatan kesehatan anjing salah
satunya adalah investasi ektoparasit seperti caplak. Anjing sering terinvestasi
caplak Rhipichepalus sp. yang dapat menyebabkan lesio kemerahan pada kulit
sehingga anjing merasa tidak nyaman akibat rasa gatal yang ditimbulkannya (Case
2005). Investasi caplak pada anjing dapat berperan sebagai vektor penyakit yang
disebabkan oleh protozoa, virus, ataupun rickettsia. Babesia sp. merupakan salah
satu protozoa yang dapat menginfeksi anjing melalui gigitan caplak
Rhipicephalus sp.
Babesiosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit darah
Babesia sp. Parasit ini hidup dalam sitoplasma eritrosit. Babesia sp. merupakan
organisme yang menginvasi, merusak, dan membelah diri secara biner dalam
eritrosit. Hal ini menyebabkan eritrosit ruptur sehingga mengakibatkan anemia
hemolitik pada anjing (Taylor et al. 2007). Hewan yang telah terinfeksi Babesia
sp. selama hidupnya akan menjadi carrier, apabila sudah terinfeksi kronis
selamanya akan menetap di dalam tubuh. Pemeriksaan darah merupakan salah
satu cara untuk mengetahui status kesehatan anjing. Gambaran leukosit dapat
menunjukkan respon kondisi tubuh saat terinfeksi suatu penyakit, karena sel
leukosit berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh. Penelitian mengenai gambaran
leukosit pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis belum banyak informasi
yang dilaporkan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan sebagai kajian untuk
melihat gambaran leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran leukosit anjing yang
terinfeksi Babesia sp. kronis.

2
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang status
kesehatan melalui perubahan pada gambaran jumlah dan jenis sel leukosit anjing
yang terinfeksi Babesia sp. kronis.

TINJAUAN PUSTAKA
Babesia sp.
Babesia sp. merupakan parasit darah yang menyebabkan penyakit
Babesiosis atau dikenal juga dengan Piroplasmosis. Babesia sp. termasuk kedalam
famili Babesiidae. Spesies yang umum menginfeksi anjing adalah Babesia canis
(B. canis), Babesia vogeli, dan Babesia gibsoni (Subronto 2006). Menurut
Taylor et al. (2007) perbedaan dari ketiga spesies itu adalah besar ukurannya.
B. canis memiliki bentuk yang lebih kecil dari B. vogeli, dan B. gibsoni memiliki
ukuran yang paling kecil dari ketiganya. Babesia canis memiliki panjang 4-5 µm,
salah satu ujungnya runcing dan ujung lainnya membulat dan berbentuk pyriform
(seperti buah pir).
Penyebaran infeksi Babesia sp. diperantarai oleh vektor caplak
Rhipicephalus sanguineus yang berada ditubuh anjing. Babesia sp. yang berada
dalam tubuh caplak tidak melakukan perbanyakan secara seksual.
Perbanyakannya terjadi pada ovarium caplak dan menjadi sumber penularan
transovarium saat caplak menetas menjadi larva, selanjutnya Babesia sp. yang
telah berkembang dalam tubuh caplak bermigrasi ke kelenjar ludah caplak
(Subronto 2006). Proses infeksi Babesia sp. pada anjing berawal dari gigitan
caplak R. sanguineus (Sigit et al. 2006).
Infeksi dari Babesia sp. menyebabkan anemia hemolitik secara mekanis
karena Babesia sp hidup di dalam sel darah merah (eritrosit). Keparahan dari
babesiosis ini bergantung pada jenis Babesia sp. yang menginfeksi dan faktor dari
inangnya sendiri seperti umur, status imun, dan adanya infeksi lain (Taylor et al.
2007). Infeksi Babesia sp. memiliki bentuk akut dan kronis. Pada infeksi kronis,
B. canis sedikit bahkan jarang ditemukan dalam darah, terjadi anemia ringan, serta
limfositosis ringan akibat dari stimulasi antigenik kronis. Pada bentuk akut dan
subakut, Babesia sp. banyak ditemukan dalam darah, anemia sedang sampai berat,
retikulositosis, peningkatan polikromatik, makrositik, hiperbilirubinemia,
bilirubinuria, dan memungkinkan hemoglobinuria (Stockham dan Scott 2008).
Leukosit
Darah berperan dalam sistem sirkulasi tubuh, dalam pembuluh darah di
sistem kardiovaskular darah berfungsi sebagai cairan konektor yang memiliki tiga
fungsi utama yaitu transportasi, regulasi, dan pertahanan tubuh (Colville dan
Bassert 2002). Darah dalam tubuh anjing kurang lebih sekitar 7% dari volume
cairan tubuhnya. Darah terdiri dari komponen seluler dan komponen cairan yang
kaya akan protein yang disebut dengan plasma. Plasma terdiri dari 91-92% air dan
8-9% larutan misalnya protein, lipid dan elektrolit (Dellmann dan Eurell 1998).

3
Butir darah terdiri atas sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit),
dan platelet (trombosit). Komposisi darah anjing terdiri dari 5.5-8.5 (x106/µL)
eritrosit, 2-5 (x105/µL) trombosit, dan 6-17 (x103/µL) leukosit (Colville dan
Bassert 2002). Leukosit atau sel darah putih memiliki jumlah yang lebih sedikit
dibandingkan dengan eritrosit.
Leukosit merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh dan lebih
banyak berperan pada saat kondisi yang kurang sehat. Leukosit dalam darah
terbagi menjadi 2 bagian agranulosit dan granulosit. Agranulosit terdiri dari
limfosit dan monosit, sedangkan granulosit terdiri dari neutrofil, eosinofil, dan
basofil. Granulosit, monosit, dan sedikit limfosit dibentuk dalam sumsum tulang,
sedangkan sebagian besar limfosit dan sel-sel plasma dibentuk dalam jaringan
limfe (Guyton dan Hall 1997). Jumlah leukosit anjing dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Jumlah leukosit anjing
Parameter
Leukosit (x103/µL)
Limfosit (%)
Monosit (%)
Neutrofil segmen (%)
Neutrofil band (%)
Eosinofil (%)
Basofil (%)
Limfosit (x103/µL)
Monosit (x103/µL)
Neutrofil segmen (x103/µL)
Neutrofil band (x103/µL)
Eosinofil (x103/µL)
Basofil (x103/µL)

Jumlah Normal*
8-17
12-30
3-10
60-70
0-4
2-10
0-1
0.72-5.1
0.18-1.35
3.6-13.1
0-0.68
0.12-0.75
0-0.17

*Jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011)

Limfosit merupakan sel berinti satu berukuran kecil hingga sedang
mempunyai nukleus yang relatif besar yang dikelilingi sejumlah sitoplasma.
Intinya besar, memiliki sedikit lekuk pada salah satu sisinya dan heterokromatin,
serta dikelilingi sitoplasma yang berwarna biru pucat (Colville dan Bassert 2002).
Limfosit memiliki fungsi yang berhubungan dengan sistem pertahanan tubuh.
Limfosit yang berasal dari darah, korteks limfonodus, dan pulpa putih pada limpa
memiliki respon yang cepat terhadap antigen (Ettinger 1995). Limfosit juga
berperan dalam memproduksi antibodi dan memfiksasi toksin dalam tubuh.
Limfosit tidak memiliki granul, dan tidak bersifat fagositik yaitu tidak dapat
mencerna partikel asing, seperti bakteri atau jaringan yang sudah mati (Swenson
1984).
Monosit memiliki bentuk seperti leukosit, tidak bergranul namun ukurannya
sangat besar. Sitoplasmanya berwarna biru ke abu-abuan, intinya berbentuk oval
seperti tapal kuda dengan ujung yang membesar (Colville dan Bassert 2002).
Berbeda dengan limfosit, monosit merupakan sel fagositik. Pada aliran darah
monosit kurang aktif memfagosit dari pada di jaringan. Monosit yang masuk
dalam jaringan disebut juga dengan makrofag yang berfungsi mencerna sel-sel
yang mati ataupun yang rusak (Ettinger 1995).

4
Neutrofil merupakan leukosit yang memiliki granul halus pada
sitoplasmanya dan memiliki gelambir pada intinya (Colville dan Bassert 2002).
Neutrofil berdasarkan umurnya terbagi atas neutrophil dewasa (bersegmen) dan
neutrofil muda (band). Inti sel neutrofil dewasa dibagi atas lobus atau segmen
yang dihubungkan oleh filamen. Sedangkan sel neutrofil muda intinya seperti
balok yang berlekuk atau melingkar tanpa segmentasi (Swenson 1984). Neutrofil
memiliki fungsi memfagosit partikel asing dan membunuh bakteri melalui proses
hidrolisis enzimatis. Lama hidup neutrofil dalam aliran darah kira-kira 10 jam di
sirkulasi darah sebelum masuk ke jaringan. Jangka waktu di sirkulasi akan
semakin pendek bila permintaan terhadap neutrofil di jaringan meningkat.
Sumsum tulang dirangsang untuk melepas lebih banyak netrofil dalam aliran
darah dan terjadilah leukositosis yang ditandai dengan peningkatan leukosit muda
(band netrofil) pada saat kasus infeksi akut (Ettinger 1995).
Eosinofil memiliki ukuran, bentuk, jumlah, dan karakteristik warna butir
eosinofil yang berbeda-beda pada setiap hewan sehingga dapat dibedakan pada
saat mengamati leukosit. Eosinofil memiliki sitoplasma berwarna biru pucat, inti
bersegmen, dan granul yang berwarna merah hingga jingga. Pada anjing, butir
sitoplasmanya jarang, dan bervariasi dari kecil sampai besar, homogen merah
muda sampai jingga pada butir vakuolanya (Colville dan Bassert 2002). Eosinofil
memiliki fungsi yang erat kaitannya dengan sel mast. Ketika sel mast melepaskan
histamin menuju jaringan kemungkinan eosinophil secara kemotaksis berada
disekitar jaringan tersebut. Eosinophil membantu mengkontrol respon alergi dan
reaksi hipersensitivitas anafilaktik (Ettinger 1995).
Basofil dalam aliran darah normal, memiliki jumlah yang sangat sedikit dari
total jumlah leukosit. Basofil memiliki granul yang berwarna biru namun
bentuknya bervariasi bergantung jenis hewannya. Pada anjing, basofil memiliki
sedikit granul, inti yang panjang, dan sitoplasma yang lebih basofilik atau biru
(Colville dan Bassert 2002). Menurut Ettinger (1995) basofil melepas mediator
untuk aktifitas pembarahan dan alergi, dan memiliki reseptor untuk IgE dan IgG
yang menyebabkan degranulasi melalui eksostosis. Basofil memiliki kemiripan
dengan sel mast pada sistem peredaran darah (Guyton dan Hall 1997).

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2012 sampai Januari 2013 di
Klinik Veteriner Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok dan
Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik,
Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain syringe 3 ml, gelas
objek, mikroskop, kertas saring, tabung vacum K3 EDTA (Ethylene Diamine
Tetraacetic Acid), cell counter-blood analyzer Hemavet® dan pipet tetes. Bahan

5
yang digunakan antara lain larutan Giemsa 10%, metanol, alkohol 70%, aquades,
minyak emersi, dan xylol.

Hewan Penelitian
Penelitian ini menggunakan 13 ekor anjing yang positif terinfeksi Babesia
sp. secara kronis, dengan berbagai ras (Labrador retriever, Rotweiller, Belgian
malinois, German shepherd, dan Beagle), berumur antara 3 sampai 5 tahun.

Pengambilan Darah dan Penghitungan Total Leukosit
Pengambilan darah dilakukan melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak
2 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang mengandung
antikoagulan EDTA untuk kemudian dilakukan pemeriksaan total leukosit.
Pemeriksaan jumlah total leukosit dilakukan dengan menggunakan alat cell
counter-blood analyzer Hemavet®.

Pembuatan dan Pewarnaan Sediaan Ulas Darah
Preparat ulas darah dibuat secara langsung dari darah utuh (whole blood).
Darah diteteskan pada salah satu ujung sebuah gelas obyek yang bersih dan
kering. Sebuah gelas obyek lain salah satu sisinya ditempelkan pada gelas obyek
yang telah ditetesi darah membentuk sudut 45° digerakkan sampai menyinggung
dan menyebar tetesan darah di sepanjang sudut antara kedua gelas obyek. Gelas
obyek yang dipegang didorong ke depan sehingga terbentuk ulas darah yang tipis.
Preparat ulas darah tersebut kemudian dikeringkan di udara, lalu direndam dalam
larutan metanol selama 5 menit agar terfiksasi dan dikeringkan kembali.
Selanjutnya sediaan ulas darah diwarnai dengan cara direndam dalam larutan
Giemsa 10% selama 45-60 menit. Sediaan yang telah terwarnai tersebut diangkat
lalu dibilas menggunakan air mengalir dan dikeringkan di udara.

Penghitungan Diferensial Leukosit
Persiapkan mikroskop dan dibersihkan bagian optiknya, preparat ulas darah
yang telah disiapkan diletakkan di meja mikroskop. Preparat ditetesi minyak
emersi, kemudiaan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 100x10 kali.
Leukosit dibedakan berdasarkan ukuran sel, warna dan granulasi sitoplasma,
bentuk kromatin, jumlah gelambir inti dan bentuk inti. Hasil pengamatan berupa
diferensiasi leukosit yaitu limfosit, neutrofil bersegmen, neutrofil band, eosinofil,
basofil, dan monosit. Perhitungan diferensial leukosit berupa persentase, terhitung
hingga seratus leukosit sebagai nilai relatifnya. Nilai absolut dari diferensial
leukosit didapatkan dengan cara mengkalikan nilai relatif (%) terhadap jumlah
total leukosit (sel/µL) (Weiss dan Wardrop 2010).

6
Analisis Data
Data dianalisis secara deskriptif menggunakan software SPSS 16.0 for
windows dan MS Office Excell.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Parasitemia merupakan kondisi dimana ditemukan adanya parasit dalam
darah. Derajat atau tingkat infeksi Babesia sp dapat dilihat melalui parameter
tingkat parasitemia atau persentasi parasitemia (persentase eritrosit ber”parasit”
Babesia sp.). Persentase parasitemia dapat digunakan sebagai acuan untuk melihat
tingkat keparahan sebuah penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat
parasitemia adalah spesies hewan, imunitas hewan, periode infeksi parasit,
resistensi hewan terhadap vektor, dan periode infestasi vektor (Ndungu et al.
2005).
Menurut Ndungu et al. (2005) tingkat parasitemia diklasifikasikan
berdasarkan persentase eritrosit berparasit yang diperoleh, yaitu derajat infeksi
ringan (persentase parasitemia 5%).
Penelitian ini menggunakan anjing yang positif mengalami infeksi Babesia sp.
secara kronis dengan presentase parasitemia kurang dari 1% (Solihah 2013).
Menurut Stockham dan Scott (2008) pada saat infeksi kronis, Babesia sp. yang
ada dalam darah memiliki jumlah yang sangat sedikit. Pada infeksi kronis jumlah
parasit sedikit dalam tubuh mengakibatkan gejala klinis seperti demam
intermitten, anoreksia, lesu, dan kurang aktif (Taylor et al. 2007).

Total Leukosit
Hasil penelitian pada Tabel 2 menunjukkan nilai relatif dari masing-masing
leukosit. Nilai relatif menunjukkan persentase setiap sel dari jumlah total
leukositnya. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata hasil nilai relatif diferensial
leukosit anjing berada pada kisaran nilai normal menurut literatur Tilley dan
Smith (2011).
Tabel 2 Total Leukosit dan nilai relatif diferensial leukosit anjing yang terinfeksi
Babesia sp. kronis.
Parameter
Rata-rata hasil
Kisaran hasil
Nilai normal*
3
Total Leukosit (x10 /µL)
13.62±3.69
9.33-16.71
8-17
Limfosit (%)
23.46±20.28
3.18-43.74
12-30
Neurofil Segmen (%)
65.46±20.58
44.88-86.04
60-70
Neutrofil Band (%)
3.15±1.82
1.33-4.97
0-4
Eosinofil (%)
1.08±1.32
0-2.04
2-10
Basofil (%)
0.15±0.38
0-0.53
0-1
Monosit (%)
5.00±4.67
0.33-9.67
3-10
(*) Nilai normal menurut Tilley dan Smith (2011)

7
Hasil penelitian jumlah total leukosit anjing yang didapat memiliki rata-rata
(13.02±3.69) x103/µL. Jumlah tersebut berada pada kisaran normal yang berkisar
pada (8-17) x103/µL (Tilley dan Smith 2011). Hasil penelitian secara individu
didapatkan tiga anjing memiliki jumlah total leukosit yang lebih tinggi dari
jumlah normal yang berkisar pada (17.7-19.4) x103/µL. Perbedaan jumlah total
leukosit setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 1.

Total Leukosit (x103/µL)

25.00

20.00

17
15.00

10.00

8

5.00

0.00

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Nomor Anjing
Gambar 1 Rata-rata jumlah total leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
(Daerah diantara garis
menunjukkan rentang jumlah total leukosit normal)

Leukositosis merupakan kondisi jumlah total leukosit yang lebih tinggi dari
kisaran jumlah normalnya (Ettinger 1995). Kejadian leukositosis dapat bersifat
fisiologis maupun patologis. Faktor fisiologis dapat berupa stress akibat rasa
takut, emosi, dan latihan fisik. Leukositosis yang bersifat patologis dapat
diakibatkan oleh infeksi bakteri piogenik ataupun adanya anemia akibat penyakit
kronis (Tilley dan Smith 2011). Infeksi Babesia sp. kronis pada anjing dapat
mengakibatkan anemia normositik normokromik (Solihah 2013).

Diferensial Leukosit
Hasil penelitian ini berupa nilai relatif dan jumlah absolut dari leukosit.
Nilai absolut berupa hasil perhitungan nilai relatif diferensial leukosit dikalikan
dengan jumlah total sel leukosit. Pengamatan nilai relatif kurang memberikan
makna secara klinis, sehingga pada saat interpretasi leukogram perubahan jumlah
absolut digunakan sebagai acuan untuk melihat kejadian abnormalitas pada
leukosit (Stockham dan Scott 2008). Jumlah diferensial leukosit anjing tersaji
pada Tabel 3.

8
Tabel 3 Total leukosit dan jumlah diferensial leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis
Nomor
Anjing

Leukosit
(x103/µL)

Limfosit
(x103/µL)

Monosit
(x103/µL)

Neutrofil
Segmen
(x103/µL)
5.29
11.45
7.58
7.45
10.62
11.28
10.75
8.47
11.66
7.73
10.89
2.30
4.42
8.45 ±
3.02

1
15.1
7.85
1.06
2
19.4
4.85
1.94
3
9.6
1.63
0.19
4
9.8
1.18
0.49
5
17.7
5.66
0.35
6
12.4
0.50
0.12
7
12.5
0.75
0.13
8
11
1.54
0.22
9
13.1
1.05
0.13
10
11.2
2.46
0.67
11
19.1
0.57
3.25
12
9.2
6.44
0.28
13
9.2
3.68
0.74
Rata13.02 ±
2.94 ±
0.74 ±
rata±SD
3.69
2.50
0.91
Jumlah
8-17
0.72-5.1 0.18-1.35 3.6-13.1
Normal*
(*) Jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011)

Neutrofil
Band
(x103/µL)
0.76
0.97
0.19
0.49
0.35
0.25
0.88
0.22
0.13
0.22
0.38
0.18
0.37
0.41 ±
0.28
0-0.68

Eosinofil
(x103/µL)

Basofil
(x103/µL)

0.15
0
0
0.20
0.71
0.25
0
0
0.13
0.11
0.57
0
0
0.16 ±
0.23

0
0.19
0
0
0.18
0
0
0
0
0
0
0
0
0.03 ±
0.07

0.12-0.75

0-0.17

Limfosit memiliki fungsi yang berkaitan dengan sistem pertahanan tubuh
karena dapat memproduksi antibodi. Limfosit yang berada dalam darah memiliki
respon yang cepat terhadap antigen (Ettinger 1995). Hasil yang didapatkan dari
penelitian ini menunjukkan rata-rata jumlah limfosit anjing sebesar (2.94±2.50)
x103/µL dan masih berada pada kisaran normal menurut Tilley dan Smith (2011),
yaitu berkisar (0.72-5.1) x103/µL. Furlanello et al. (2005) melaporkan adanya
infeksi Babesia sp secara alami memperlihatkan abnormalitas dari diferensial
leukosit yang terjadi berupa kondisi limfositopenia dan neutropenia. Hal ini
berbeda dengan penelitian Shah et al. (2011) yang menyatakan bahwa pada kasus
Babesiosis secara alami tidak terlihat perubahan spesifik dari total leukosit dan
diferensial leukositnya.
Limfositosis merupakan kondisi meningkatnya jumlah limfosit dari kisaran
jumlah normal limfosit dalam darah, sedangkan limfositopenia merupakan kondisi
menurunya jumlah limfosit dalam darah (Tilley dan Smith 2011). Hasil penelitian
secara individu menunjukkan limfositosis dijumpai pada tiga ekor anjing yaitu
anjing ke-1, ke-5, dan ke-12 dengan jumlah berkisar pada (5.66-7.85)x103/µL.
Menurut Stockham dan Scott (2008) kondisi limfositosis dapat terjadi akibat
stimulasi infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, rickettsia, fungi,
virus, dan parasit darah seperti Babesia sp. dan Theileria sp. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Maylina (2013) yang menyebutkan bahwa
anjing yang terinfeksi kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. dapat
mengalami limfositosis. Perbedaan jumlah limfosit pada setiap individu anjing
dapat dilihat pada Gambar 2.

9
9.00
8.00

Limfosit (x103/µL)

7.00
6.00

5.1

5.00
4.00
3.00
2.00
1.00

0.57

0.00

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Nomor Anjing
Gambar 2 Rata-rata jumlah limfosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
(Daerah diantara garis
menunjukkan rentang jumlah limfosit normal)

Hasil penelitian secara individu juga menunjukkan limfositopenia dijumpai
pada dua ekor anjing yaitu anjing ke-6 dan ke-7. Kejadian limfositopenia pada
anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat disebabkan akibat terjadinya SIRS
(Systemic Inflammatory Responses Syndrome) yaitu adanya respon radang yang
sudah sistemik pada tubuh anjing, yang dapat dikategorikan dalam keadaan sepsis
(Furlanello et al. 2005).
Rata-rata jumlah monosit pada penelitian ini sebesar (0.74±0.91) x103/µL,
hasil penelitian berada pada kisaran normal menurut Tilley dan Smith (2011) yaitu
berkisar pada (0.18-1.35) x103/µL. Hasil penelitian menunjukkan terdapat dua
ekor anjing memiliki jumlah monosit yang lebih tinggi dari jumlah normal.
Menurut Stockham dan Scott (2008) jumlah monosit yang lebih tinggi dari jumlah
normalnya dapat terjadi akibat adanya stress ataupun infeksi kronis. Hal ini dapat
terjadi akibat adanya respon imun akibat reaksi radang. Hasil penelitian juga
menunjukan tiga ekor anjing memiliki jumlah monosit lebih rendah dari jumlah
normal (monositopenia). Pada kasus menurunnya jumlah monosit dalam darah
tidak ada relevansinya secara klinis (Stockham dan Scott 2008). Menurut
Furlanello et al. (2002) hanya 18% kemungkinan terjadinya monositopenia pada
anjing yang terinfeksi Babesia sp. Perbedaan jumlah monosit setiap individu
anjing dapat dilihat pada Gambar 3

10
3.50

Monosit (x103/µL)

3.00
2.50
2.00
1.50

1.35
1.00

0.50

0.18

0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Nomor Anjing
Gambar 3 Rata-rata jumlah monosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
(Daerah diantara garis
menunjukkan rentang jumlah monosit normal)

Hasil rata-rata jumlah neutrofil segmen sebesar (8.45±3.02) x103/µL, jumlah
ini berada pada kisaran jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011) yang
berkisar pada (3.6-13.1) x103/µL. Hasil penelitian menunjukkan adanya satu ekor
anjing yaitu anjing ke-12 memiliki jumlah neutrofil segmen yang lebih rendah
dari jumlah normal (neutropenia). Keadaan neutropenia pada anjing biasanya
dikaitkan dengan penurunan jumlah total leukosit. Hasil penelitian menunjukkan
anjing ke-12 memiliki jumlah total leukosit yang berada pada kisaran normal dan
memiliki jumlah limfosit yang lebih tinggi dari jumlah normal. Hasil yang didapat
selain terinfeksi Babesia sp. anjing tersebut dimungkinkan terinfeksi penyakit lain
atau adanya infeksi sekunder. Menurut Stockham dan Scott (2008), neutropenia
yang disertai dengan limfositosis dapat diakibatkan oleh gangguan hormon seperti
pada saat terjadi hipoadrenokortism dan juga dapat disebabkan adanya infeksi
Ehrlichia canis (Tilley dan Smith 2011). Perbedaan jumlah neutrofil segmen
setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 4.
14.00

Neutrofil Segmen (x103/µL)

13.1
12.00
10.00
8.00
6.00
4.00

3.6

2.00
0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Nomor Anjing
Gambar 4 Rata-rata jumlah neutrofil segmen anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
(Daerah diantara garis
menunjukkan rentang jumlah neutrofil segmen normal)

11
Hasil penelitian menunjukan rata-rata jumlah neutrofil band sebesar
(0.41±0.28) x103/µL berada pada kisaran jumlah normal menurut Tilley dan
Smith (2011) yaitu berkisar pada (0-0.68) x103/µL. Jumlah neutrofil band yang
meningkat dalam tubuh menjadi siklus normal ketika sumsun tulang melepaskan
neutrofil band sebagai pengganti neutrofil segmen yang sudah mati (Stockham
dan Scott 2008). Perbedaan jumlah neutrofil band setiap individu anjing dapat
dilihat pada Gambar 5.

Neutrofil band (x103/µL)

1.20
1.00
0.80

0.68
0.60
0.40

0.20
0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Nomor Anjing
Gambar 5 Rata-rata jumlah neutrofil band anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
(Daerah diantara garis
menunjukkan rentang jumlah neutrofil band normal).

Eosinofil membantu mengontrol respon alergi dan reaksi hipersensitivitas
anafilaktik (Ettinger 1995). Rata-rata jumlah eosinofil hasil penelitian ini
menunjukkan jumlah sebesar (0.16±0.23) x103/µL berada pada kisaran jumlah
normal. Menurut Tilley dan Smith (2011) yaitu jumlah eosinofil normal berkisar
antara (0.12-0.75) x103/µL. Penurunan jumlah eosinofil dalam darah dapat terjadi
akibat sedikitnya jumlah eosinofil yang dilepas dari sumsum tulang, banyaknya
yang terlepas ke jaringan, dan adanya stress. Namun penurunan jumlah eosinofil
dalam darah memiliki sedikit relevansi klinisnya (Stockham dan Scott 2008).
Perbedaan jumlah eosinofil pada setiap individu anjing dapat dilihat pada
Gambar 6.

12
0.80

0.75

Eosinofil (x103/µL)

0.70
0.60
0.50
0.40

0.30
0.20

0.12

0.10
0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Nomor Anjing
Gambar 6 Rata-rata jumlah eosinofil anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
(Daerah diantara garis
menunjukkan rentang jumlah eosinofil normal)

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah basofil sebesar (0.03±0.07)
x103/µL berada pada kisaran jumlah normal menurut Tilley dan Smith (2011)
yaitu berkisar pada (0-0.17) x103/µL. Jumlah basofil pada dua ekor anjing yaitu
anjing ke-2 dan ke-5 memiliki jumlah yang lebih tinggi dari jumlah normal
dengan jumlah berkisar pada (0.18-0.19)x103/µL.
Menurut Stockham dan Scott (2008), penyebab dari tingginya jumlah
basofil dalam darah jarang dilaporkan, karena kejadian ini jarang ditemukan.
Basofilia atau tingginya basofil dalam darah bisa dihubungkan dengan kejadian
infeksi akibat parasit, alergi, dan keadaan neoplastik. Hasil penelitian ini beberapa
individu yang memiliki jumlah basofil yang tinggi selain akibat infeksi
Babesia sp. kronis dapat juga akibat alergi atau sedang terinfeksi parasit lain.
Perbedaan jumlah basofil pada setiap individu anjing dapat dilihat pada Gambar 7.
0.25

Basofil (x103/µL)

0.20

0.17
0.15

0.10

0.05

0.00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

Nomor Anjing
Gambar 7 Rata-rata jumlah basofil anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis.
(Daerah diantara garis
menunjukkan rentang jumlah basofil normal.)

13

13
Gambaran leukosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. kronis pada hasil
penelitian ini secara umum tidak memperlihatkan perubahan terhadap jumlah
leukosit dan diferensial leukositnya. Hal ini dapat disebabkan karena hewan
sedang berada dalam keadaan preimunisi, yaitu terjadinya keseimbangan antara
respon imun hewan yang terifeksi dengan kemampuan parasit untuk menunjukkan
gejala klinis (Mandell et al. 2010). Kondisi ini dapat menyebabkan gejala klinis
tidak teramati bahkan tidak memperlihatkan adanya gejala klinis pada saat infeksi
kronis. Menurut penelitian Fabisiak et al. (2009) jumlah total leukosit dan
diferensial leukosit yang terjadi pada kasus infeksi alami babesiosis tidak hanya
dipengaruhi oleh keberadaan parasit dalam darah, tetapi dapat dipengaruhi oleh
variasi ras, umur, respon sistem imunologi setiap individunya, dan faktor-faktor
infeksius lainnya seperti parasit, fungi, virus, dan bakteri.
Hasil penelitian yang tersaji pada Tabel 3 secara individu didapatkan tiga
anjing memiliki jumlah total leukosit yang lebih tinggi dari jumlah normal.
Peningkatan jumlah total leukosit dapat terjadi akibat peningkatan salah satu atau
beberapa jenis sel leukosit. Anjing ke-5 memiliki jumlah total leukosit yang tinggi
disertai dengan peningkatan jumlah limfosit dari jumlah normal. Peningkatan
jumlah limfosit sebagai indikasi adanya respon tubuh terhadap antigen (Stockham
dan Scott 2008).
Peningkatan jumlah total leukosit pada anjing ke-2 dan ke-11 disertai
peningkatan jumlah sel monosit dan penurunan jumlah limfosit dari jumlah
normal pada anjing ke-11. Hal ini diduga sebagai akibat dari respon tubuh
terhadap adanya peradangan yang bersifat kronis. Kejadian limfositopenia
menunjukkan anjing sedang berada dalam status imunitas yang menurun. Daya
imunitas yang menurun dapat terjadi akibat adanya infeksi yang sistemik, selain
itu dapat juga terjadi saat kondisi sekresi glukokortikoid meningkat dalam tubuh
karena stress ataupun saat terapi obat (Tilley dan Smith 2011). Terjadinya
monositosis dapat juga dijumpai pada kondisi stress (Tilley dan Smith 2011).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anjing yang terinfeksi Babesia sp.
kronis secara umum tidak memperlihatkan perubahan jumlah leukosit dan
diferensial leukosit. Gambaran leukosit pada beberapa anjing secara individu
memperlihatkan kondisi leukositosis disertai dengan perubahan beberapa atau
salah satu jenis sel leukosit.
Saran
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjut pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. dengan jumlah sampel yang
lebih banyak dan ras anjing yang lebih seragam. Identifikasi sel limfosit T spesifik
dapat dilakukan untuk melihat aktivitas sel terhadap infeksi Babesia sp.

14

DAFTAR PUSTAKA
Budiana NS. 2008. Anjing: Panduan Lengkap Memelihara, Merawat, dan Melatih
Anjing Kesayangan. Depok (ID): Penebar Swadaya
Case LP. 2005. The Dog: Its Behaviour, Nutrition, and Health. Ed 2. Iowa (USA):
Blackwell Publishing
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Technicians. Missouri (USA): Mosby.
Dellmann HD, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Philadelphia
(USA): Lippincott Williams and Wilkins.
Ettinger SJ. 1995. Textbook of Veterinary Internal Medicine. Volume 2.
Philadhelpia (USA): W.B. Saunders Company.
Fabisiak M, Sapierzyński R, Kluciński W. 2009. Analysis of haematological
abnormalities observed in dogs infected by a large babesia. Bull Vet Inst
Pulawy. 54: 167-170
Furlanello T, Fiorio F, Caldin M, Lubas G, Solano-Gallego L. 2005.
Clinicopathological findings in naturally occurring cases of babesiosis
caused by large form Babesia from dogs of northeastern Italy. Vet
Parasitol. 134: 77–85.
Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia (USA):
Saunders Company.
Mandell GL, Bennett JE, Dolin R. 2010. Mandell, Douglas, and Bennett’s
Principles and Practice of Infectious Disease. Ed 7. Philadelphia: Elsevier.
Maylina L. 2013. Profil hematologi dan kimia darah anjing yang terinfeksi
kombinasi Babesia sp. dan Haemobartonella sp. kronis. [tesis] Bogor
(ID): Institut Pertania Bogor.
Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility
between Bos indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva
infection. Onderstepoort J Vet Res. 72: 13-22
[POLRI] Kepolisian Republik Indonesia. 1996. Hut Satwa Polri ke 37. Jakarta
(ID): Direktorat Samapta Polri Sub Direktorat Satwa.
Shah SA, Sood NK, Tumati SR. 2011. Haemato-biochemical changes in natural
cases of canine babesiosis. Asian Jurnal of Animal Science. 5(6): 387-392.
Sigit SH, Koesharto FX, Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan IA,
Chalidaputra M, Rivai M, Priyambodo S, Yusuf S, et al. 2006. Hama
Permukiman Indonesia. Bogor (ID): UKPHP FKH IPB.
Solihah C. 2013. Profil eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp. [skripsi]
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.
Ed ke-2. State Avenue (USA): Blackwell Publishing.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.
Swenson. 1984. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. Ed 10. London (UK):
Cornel University Press.
Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed 3. Iowa
(USA): Blackwell Publishing.

15
Tilley LP, Smith JR. 2011. Blackwell’s Five-Minute Veterinary Consults Canine
and Feline. Ed 5. Philadephia (USA): Tilley Blackwell.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. State Avenue:
Blackwell Publishing.

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 20 September 1991.
Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Bapak H. Rahmat dan Ibu Hj. Tati
Ratnawati, MM. Penulis memiliki satu adik Fachry Muhammad Fadillah yang
sekarang masih menempuh sekolah menengah atas di SMAN 3 Bandung.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SDN Ibu Dewi 5 Cianjur hingga lulus
pada tahun 2003. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2
Cianjur dan lulus pada tahun 2006. Pendidikan selanjutnya penulis tempuh di SMA
Negeri 2 Cianjur dan lulus pada tahun 2009. Tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa lembaga mahasiswa,
diantaranya menjadi Bendahara Departemen BOS BEM TPB 46 2009-2010, staf
Kementrian Kebijakan Kampus BEM KM IPB 2010-2011, staf Departemen Kajian
dan Strategi IMAKAHI IPB 2010-2011, staf Kementrian Kebijakan Pusat Nasional
BEM KM IPB 2011-2012, Bendahara angkatan Geochelone FKH 46, dan aktif di
HIMAT (Himpunan Mahasiswa Tjiandjoer). Penulis juga pernah menjadi asisten
untuk mata kuliah Endoparasit pada tahun 2011. Beberapa beasiswa yang pernah
diperoleh penulis antara lain Beasiswa Dikti PPA/BBM pada tahun 2010-2012.