Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp.

ABSTRAK
CHANIFATUS SOLIHAH. Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis
Babesia sp. Dibimbing oleh RETNO WULANSARI dan LENI MAYLINA.
Babesiosis merupakan penyakit penting pada anjing yang disebabkan oleh
Babesia sp yang mengakibatkan terjadinya anemia. Tujuan penelitian ini adalah
memperoleh gambaran eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. Sebanyak tiga
belas anjing dari Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok
digunakan dalam penelitian. Anjing dipilih tanpa memperhatikan ras, umur, dan
jenis kelamin. Pengambilan sampel darah melalui vena Cephalica antibrachii
sebanyak 3 ml. Sediaan ulas darah dibuat untuk penghitungan persentase
parasitemia. Jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit
dianalisis dengan cell counter-blood analyzer Hemavet®. Hasil yang diperoleh
dari penelitian menunjukkan rata-rata persentase parasitemia, jumlah eritrosit,
konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit masing-masing sebesar
(0.53±0.35)%, (5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43)g/dl, dan (36.62±3.45)%.
Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan persentase parasitemia berada dalam
tingkatan ringan dengan rata-rata jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan
nilai hematokrit berada dalam kisaran normal rendah.
Kata kunci: Babesia sp., eritrosit, hematokrit, hemoglobin

ABSTRACT

CHANIFATUS SOLIHAH. Profile of Dogs Erythrocyte which Chronic Infected
of Babesia sp. Supervised by RETNO WULANSARI and LENI MAYLINA
Babesiosis is an important disease in dogs caused by Babesia sp, that it was
caused anemia. The purpose of this research was to obtain the profile of dogs
erythrocyte which chronic infected of Babesia sp. This research used thirteen
hound dogs from the K-9 Unit of Direktorat Polisi Satwa, Kelapa Dua, Depok
regardless of breed, age, and sex. The blood samples as much as 3 ml were taken
through Cephalic vein. Blood smears were made for the parasitemia percentage
calculation. The count of erythrocytes, hemoglobin concentration, and percentages
of hematocrit were analyzed by cell counter-blood analyzer Hemavet®. The
results showed that the percentages of parasitemia, erythrocytes count,
hemoglobin concentration, and value of hematocrit were (0.53±0.35)%,
(5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43) g/dl, and (36.62±3.45)% respectively. The
conclusions showed that the parasitemia percentages were mild infection (1%).
The erythrocytes count, hemoglobin concentration, and the value of hematocrit
were in the low normal range.
Keywords: Babesia sp., erythrocyte, hematocrit, hemoglobin

PROFIL ERITROSIT ANJING YANG TERINFEKSI KRONIS
Babesia sp.


CHANIFATUS SOLIHAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Eritrosit Anjing
yang Terinfeksi Kronis Babesia sp. adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Chanifatus Solihah

NIM B04080075

ABSTRAK
CHANIFATUS SOLIHAH. Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis
Babesia sp. Dibimbing oleh RETNO WULANSARI dan LENI MAYLINA.
Babesiosis merupakan penyakit penting pada anjing yang disebabkan oleh
Babesia sp yang mengakibatkan terjadinya anemia. Tujuan penelitian ini adalah
memperoleh gambaran eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp. Sebanyak tiga
belas anjing dari Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok
digunakan dalam penelitian. Anjing dipilih tanpa memperhatikan ras, umur, dan
jenis kelamin. Pengambilan sampel darah melalui vena Cephalica antibrachii
sebanyak 3 ml. Sediaan ulas darah dibuat untuk penghitungan persentase
parasitemia. Jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit
dianalisis dengan cell counter-blood analyzer Hemavet®. Hasil yang diperoleh
dari penelitian menunjukkan rata-rata persentase parasitemia, jumlah eritrosit,
konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit masing-masing sebesar
(0.53±0.35)%, (5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43)g/dl, dan (36.62±3.45)%.
Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan persentase parasitemia berada dalam
tingkatan ringan dengan rata-rata jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin dan
nilai hematokrit berada dalam kisaran normal rendah.

Kata kunci: Babesia sp., eritrosit, hematokrit, hemoglobin

ABSTRACT
CHANIFATUS SOLIHAH. Profile of Dogs Erythrocyte which Chronic Infected
of Babesia sp. Supervised by RETNO WULANSARI and LENI MAYLINA
Babesiosis is an important disease in dogs caused by Babesia sp, that it was
caused anemia. The purpose of this research was to obtain the profile of dogs
erythrocyte which chronic infected of Babesia sp. This research used thirteen
hound dogs from the K-9 Unit of Direktorat Polisi Satwa, Kelapa Dua, Depok
regardless of breed, age, and sex. The blood samples as much as 3 ml were taken
through Cephalic vein. Blood smears were made for the parasitemia percentage
calculation. The count of erythrocytes, hemoglobin concentration, and percentages
of hematocrit were analyzed by cell counter-blood analyzer Hemavet®. The
results showed that the percentages of parasitemia, erythrocytes count,
hemoglobin concentration, and value of hematocrit were (0.53±0.35)%,
(5.38±0.44)x106/µl, (13.19±1.43) g/dl, and (36.62±3.45)% respectively. The
conclusions showed that the parasitemia percentages were mild infection (1%).
The erythrocytes count, hemoglobin concentration, and the value of hematocrit
were in the low normal range.
Keywords: Babesia sp., erythrocyte, hematocrit, hemoglobin


PROFIL ERITROSIT ANJING YANG TERINFEKSI KRONIS
Babesia sp.

CHANIFATUS SOLIHAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Profil Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp.
Nama
: Chanifatus Solihah
NIM

: B04080075

Disetujui oleh

Drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D
Pembimbing I

Drh. Leni Maylina, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh. Agus Setiyono, MS, Ph.D, AP.Vet
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan. Judul penelitian adalah Profil
Eritrosit Anjing yang Terinfeksi Kronis Babesia sp.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Drh. Retno Wulansari, MSi, Ph.D
dan Ibu Drh. Leni Maylina, MSi selaku dosen pembimbing skripsi atas segala
bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penelitian dan
penyusunan tugas akhir ini. Terima kasih kepada Ibu Drh. RR. Soesatyoratih, MSi
selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan nasehat selama penulis
menjalankan studi. Disamping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
pimpinan beserta tim K-9 Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua, Depok dan
pimpinan beserta staf Laboratorium Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam,
Departemen KRP, FKH IPB yang telah membantu penulis dalam penelitian.
Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada
ayah dan ibu serta seluruh keluarga atas segala doa, nasehat dan kasih sayang
yang telah diberikan. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada
teman-teman penulis di Avenzoar 45, An Nahl, Salimah 33, Van Java, dan Wisma
Ayu atas bantuan, saran, dan motivasi selama ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari
kekurangan, untuk itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

Chanifatus Solihah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


1

Manfaat Penelitian

1

Hipotesis Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Babesia sp.

2

Komposisi dan Fungsi Darah Anjing


3

Proses Pembentukan dan Penguraian Eritrosit Anjing

3

Pemeriksaan Eritrosit Anjing

4

Anemia

5

METODOLOGI PENELITIAN

5

Waktu dan Tempat


5

Alat dan Bahan

6

Persiapan hewan

6

Pengambilan Sampel Darah

6

Pembuatan Sediaan Ulas Darah

6

Penghitungan Jumlah Eritrosit Berparasit

6

Pemeriksaan Parameter Eritrosit

7

Penghitungan Indeks Eritrosit

7

Analisis Data

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

8

Persentase Parasitemia

8

Parameter Eritrosit

8

Indeks Eritrosit
SIMPULAN DAN SARAN

12
14

Simpulan

14

Saran

14

DAFTAR PUSTAKA

14

RIWAYAT HIDUP

16

DAFTAR TABEL
1 Nilai acuan eritrosit anjing normal
2 Persentase parasitemia anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
3 Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit
anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
4 Nilai MCV dan MCHC pada anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.

3
8
9
13

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Skema lapang pandang mikroskop
Grafik jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
Grafik konsentrasi hemoglobin anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
Grafik nilai hematokrit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.

7
10
11
12

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena
mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan
anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, juga digunakan
sebagai hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan
dan pengabdian yang tinggi pada manusia. Anjing juga mempunyai keistimewaan
yaitu memiliki daya penciuman yang sangat tajam (Hatmosrojo dan Budiana
2003).
Kemampuan penciuman pada anjing dapat dimanfaatkan untuk melacak
keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu polisi dalam
memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba, maupun
pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu unit di
bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak.
Beberapa jenis anjing yang digunakan sebagai anjing pelacak antara lain ras
Labrador Retriever, Rotweiller, Doberman Pincher, Belgian Malinois, Beagle,
dan German Shepherd (POLRI 1996).
Kesehatan anjing adalah salah satu poin penting yang harus diperhatikan
agar selalu dalam keadaan yang optimal. Beberapa penyakit yang seringkali
menyerang anjing antara lain infeksi ektoparasit seperti kutu dan caplak. Jenis
caplak yang umum menginfeksi anjing di Indonesia adalah jenis Rhipicephalus
sanguineus. Gigitan caplak pada kulit dapat mengganggu kenyamanan anjing
karena rasa sakit dan gatal (Sigit et al. 2006).
Investasi caplak mengakibatkan masuknya protozoa, virus, dan riketsia yang
dapat menimbulkan penyakit. Salah satu protozoa yang seringkali menginfeksi
anjing melalui gigitan caplak adalah Babesia sp. (Sigit et al. 2006). Babesia sp.
merupakan parasit intraeritrositik yang akan menyebabkan kerusakan eritrosit.
Beberapa gejala yang timbul saat hewan terinfeksi kronis Babesia sp. antara lain
anemia, anoreksia, lesu, dan malas bergerak (Subronto 2006), sehingga dapat
mempengaruhi kinerja anjing. Oleh karena itu, profil eritrosit anjing yang
terinfeksi Babesia sp. sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran darah
sehingga dapat menunjang proses terapi yang akan dilakukan kemudian.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran umum eritrosit anjing
yang terinfeksi kronis Babesia sp. melalui pemeriksaan eritrosit.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran eritrosit
anjing yang terinfeksi Babesia sp. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan dasar
dalam melakukan tindakan pengobatan serta pencegahan secara berkala guna
mengurangi kemungkinan terjadinya penularan Babesia sp. pada anjing.

2
Hipotesis Penelitian
Infeksi kronis oleh Babesia sp. berpengaruh pada profil eritrosit anjing.

TINJAUAN PUSTAKA
Babesia sp.
Babesia sp. adalah protozoa penyebab babesiosis pada hewan. Menurut
Levine (1994), Babesia sp. diklasifikasikan dalam subfilum Apicomplexa, kelas
Piroplasma, dan famili Babesiidae. Penyakit babesiosis pada anjing umumnya
disebabkan oleh Babesia canis (B. canis). Selain B. canis, Babesia gibsoni
(B. gibsoni) dan Babesia vogeli (B. vogeli) juga dapat menginfeksi anjing.
B. vogeli memiliki karakteristik yang sama dengan B. canis tetapi berukuran lebih
besar. B. canis mempunyai ukuran tubuh sebesar 4-5 mikron, berbentuk seperti
buah pir (pyriform) yang runcing pada ujung satu dan bulat pada ujung yang lain.
B. canis akan menginfeksi eritrosit inang. Satu eritrosit dapat mengandung lebih
dari 10 B. canis. Hal ini menandakan adanya multiinfeksi dalam eritrosit tersebut
(Subronto 2006).
Proses penyebaran B. canis melalui vektor caplak Rhipicephalus sanguineus
(R. sanguineus). Infeksi dimulai saat caplak R. sanguineus menghisap darah
anjing yang terinfeksi babesiosis. B. canis akan masuk ke dalam tubuh caplak,
menjadi motil, menembus dinding sel, masuk ke rongga tubuh dan melalui
pembuluh darah menuju ovarium untuk menginfeksi ovum. B. canis
memperbanyak diri di dalam ovum dan menjadi sumber penularan transovarium
saat ovum caplak menetas menjadi larva (Soulsby 1982). Setelah berkembang di
dalam tubuh caplak, B. canis bermigrasi ke kelenjar ludah caplak dan siap
menginfeksi anjing saat caplak menghisap darah (Subronto 2006). Bentuk infektif
B. canis adalah tropozoit yang menginfeksi eritrosit anjing. Tropozoit berkembang
biak dengan pembelahan biner sehingga terbentuk merozoit yang banyak (Soulsby
1982). B. canis kemudian keluar dari eritrosit tersebut dan mengakibatkan
rupturnya eritrosit yang terinfeksi untuk menginfeksi eritrosit yang baru (Weiss
dan Wardrop 2010).
Babesiosis atau disebut juga piroplasmosis, secara perakut/akut dapat
menyebabkan keparahan pada anjing. Infeksi protozoa ini dapat menyebabkan
demam yang sangat tinggi dan peningkatan frekuensi nafas. Gejala yang tampak
setelah anjing terinfeksi parasit ini antara lain demam, hemoglobinuria, ikterus,
dan splenomegali. Gejala infeksi yang kronis ditandai dengan anoreksia,
kehilangan berat badan, kelemahan, dan anemia yang bersifat ringan (Sugiarto
2005).
Parasitemia yang disebabkan oleh B. canis dapat berlangsung selama 3-4
hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama kurang
lebih 10 hari. Setelah 2 minggu pasca infeksi akan terjadi parasitemia kedua,
dengan jumlah parasit lebih banyak di dalam eritrosit, sebagai hasil perbanyakan
secara pembelahan (Subronto 2006).

3
B. canis dapat menginfeksi anjing pada semua umur. Sebuah penelitian dari
OVAH (Onderstepoort Veterinary Academic Hospital) mengatakan bahwa 77%
infeksi B. canis terjadi pada anjing yang berumur kurang dari tiga tahun
(Lobetti 2005).

Komposisi dan Fungsi Darah Anjing
Darah anjing pada umumnya berjumlah kurang lebih 7% dari total volume
cairan tubuhnya. Darah terdiri atas 55% plasma darah dan 45% butir darah
(Pearce 2006). Plasma darah terdiri atas air (91%), protein (7%), dan zat lain
seperti ion, gas, dan sisa metabolisme (2%). Butir darah terdiri atas sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit). Satu mm3
darah anjing mengandung 5 500 000-8 500 000 eritrosit, 200 000-500 000
trombosit, dan 6 000-17 000 leukosit (Colville dan Bassert 2002). Menurut Weiss
dan Wardrop (2010), nilai acuan eritrosit anjing dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Nilai acuan eritrosit anjing normal
Parameter
Eritrosit
Hemoglobin
PCV
MCV
MCHC

Nilai Normal
5.5-8.5
12.0-18.0
37-55
60-77
32-36

Satuan
x 106/µl
g/dl
%
fl
%

Darah merupakan salah satu unsur terpenting tubuh hewan. Darah
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi transportasi, fungsi regulasi, dan
fungsi pertahanan. Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen yang terikat
oleh hemoglobin ke seluruh jaringan pada tubuh (Guyton dan Hall 1997). Selain
itu, eritrosit juga berfungsi untuk membawa nutrisi dari saluran pencernaan
menuju jaringan, mengangkut hasil akhir metabolisme ke organ ekskresi,
mengatur suhu tubuh, dan menjaga kesetimbangan asam-basa tubuh (Cunningham
2002).

Proses Pembentukan dan Penguraian Eritrosit Anjing
Proses pembentukan eritrosit disebut eritropoesis yang terjadi di dalam
sumsum tulang. Salah satu hormon yang mempengaruhi pembentukan eritrosit
adalah eritropoietin yang diproduksi oleh ginjal. Hormon ini akan menstimulasi
pembentukan eritrosit apabila terdeteksi adanya hipoksia (kurangnya oksigen)
dalam darah. Eritrosit pada anjing rata-rata mempunyai umur 110 hari (Colville
dan Bassert 2002).
Selama beredar dalam pembuluh darah, eritrosit akan dibantu oleh enzimenzim intrasitoplasmik yang membantu metabolisme sel, diantaranya membentuk
NADPH (Nikotinamid Adenin Dinukleotida Phosfat) yang berfungsi untuk
mempertahankan kelenturan membran sel, mempertahankan pengangkutan ionion melalui membran sel, mempertahankan bentuk besi hemoglobin sel dalam

4
bentuk fero (bentuk yang berfungsi mengangkut oksigen), dan mencegah oksidasi
protein dalam eritrosit (Guyton dan Hall 1997).
Sistem metabolik eritrosit akan melemah saat umur eritrosit tua. Hal ini
ditandai dengan membran sel yang rapuh. Akibat membran sel yang rapuh,
eritrosit akan mudah pecah saat melalui tempat yang sempit dalam sirkulasi,
seperti saat melalui trabekula pulpa merah limpa. Hemoglobin akan dilepaskan
dari eritrosit saat pecah dan segera difagosit oleh sel-sel makrofag yang ada di
seluruh tubuh terutama sel Kupffer yang ada di hati. Selama beberapa jam atau
beberapa hari setelahnya, makrofag akan melepaskan besi yang didapat dari
hemoglobin, masuk kembali ke dalam peredaran darah dan diangkut oleh
transferin menuju sumsum tulang untuk membentuk eritrosit baru atau menuju
hati dan jaringan lainnya untuk disimpan dalam bentuk feritin. Bagian porfirin
dari molekul hemoglobin diubah oleh makrofag menjadi bilirubin yang dilepaskan
ke dalam darah dan akhirnya disekresikan oleh hati masuk ke dalam kantung
empedu (Guyton dan Hall 1997).

Pemeriksaan Eritrosit Anjing
Hematokrit
Nilai hematokrit sering disebut sebagai PCV (Packet cell volume).
Hematokrit merupakan perbandingan persentase eritrosit di dalam volume darah
utuh (whole blood). Nilai hematokrit didapat dengan cara mensentrifugasi sampel
darah yang dimasukkan ke dalam pipa mikrohematokrit. Nilai yang didapat dapat
menggambarkan jumlah eritrosit sampel darah yang diperiksa (Weiss dan
Wardrop 2010).
Hemoglobin
Komponen utama eritrosit adalah hemoglobin (Hb). Sintesis hemoglobin
dalam eritrosit berlangsung dari eritoblast sampai stadium perkembangan
retikulosit. Fungsi utama hemoglobin adalah transport oksigen dan karbon
dioksida. Konsentrasi hemoglobin darah diukur berdasarkan intensitas warnanya
dengan menggunakan fotometer dan dinyatakan dalam gram hemoglobin/ seratus
milliliter darah (g/100 ml) atau gram/desiliter (g/dl) (Price dan Wilson 2006).
Indeks Eritrosit
Menurut Weiss dan Wardrop (2010), Indeks eritrosit digunakan untuk
mengetahui ukuran dan karakter hemoglobin serta jumlah eritrosit dalam darah.
Indeks eritrosit terdiri atas MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH (Mean
Corpuscular Hemoglobin), dan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration). Price dan Wilson (2006) menyebutkan bahwa indeks eritrosit
dapat digunakan untuk menentukan jenis anemia yang terjadi di dalam tubuh
hewan.
Anemia
Anemia merupakan suatu kondisi patologis yang disebabkan oleh
penurunan jumlah eritrosit sehingga terjadi penurunan kapasitas oksigen yang

5
dibawa oleh darah. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya
sedikitnya eritrosit yang bersirkulasi, kerusakan eritrosit, penurunan produksi
eritrosit, perdarahan, infeksi parasit di dalam eritrosit, dan jumlah hemoglobin
yang sedikit pada jumlah eritrosit yang normal (Colville dan Bassert 2002).
Menurut Price dan Wilson (2006) anemia dapat digolongkan menjadi dua
jenis, yaitu berdasarkan morfologi eritrosit dan berdasarkan etiologi anemia.
Berdasarkan morfologi eritrosit, anemia dapat diklasifikasikan menjadi anemia
normositik normokromik, anemia normositik hipokromik, anemia makrositik
normokromik, anemia makrositik hipokromik, anemia mikrositik normokromik,
dan anemia mikrositik hipokromik.
Anemia normositik normokromik ditandai dengan ukuran dan bentuk
eritrosit normal serta mengandung jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin
yang normal (MCV dan MCHC normal atau normal rendah), tetapi hewan
menderita anemia. Hal ini disebabkan oleh kehilangan darah yang bersifat akut,
hemolisis, maupun karena penyakit infeksi yang kronis. Anemia normositik
hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit yang normal tetapi konsentrasi
hemoglobin rendah (MCV normal, MCHC rendah). Anemia ini jarang terjadi.
Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh defisiensi besi dan sintesis hemoglobin
yang belum sempurna (Stockham dan Scott 2008).
Anemia makrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih
besar, tetapi berwarna normal karena konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV
meningkat, MCHC normal). Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan atau
terhentinya sintesis asam nukleat DNA karena defisiensi unsur-unsur tertentu
seperti vitamin B12. Anemia makrositik hipokromik ditandai dengan ukuran
eritrosit lebih besar dari normal, tetapi memiliki konsentrasi hemoglobin yang
lebih rendah dari normal (MCV meningkat, MCHC rendah). Hal ini diakibatkan
karena perdarahan yang berlebihan sehingga eritrosit muda (retikulosit)
dilepaskan ke dalam peredaran darah sebagai respon regeneratif (Stockham dan
Scott 2008).
Anemia mikrositik normokromik ditandai dengan ukuran eritrosit lebih
kecil dari normal, dengan konsentrasi hemoglobin yang normal (MCV rendah,
MCHC normal). Hal ini diakibatkan oleh defisiensi zat besi dan gangguan
metabolisme hati. Anemia mikrositik hipokromik ditandai dengan ukuran eritrosit
lebih kecil dari normal dengan konsentrasi hemoglobin lebih sedikit dari normal
(MCV dan MCHC rendah). Kejadian ini disebabkan oleh insufisiensi sintesis hem
(besi) akibat defisiensi zat besi serta defisiensi pyridoxine (Stockham dan Scott
2008).

METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2012 di Klinik
Veteriner Direktorat Polisi Satwa POLRI Kelapa Dua Depok dan Laboratorium
Patologi Klinik, Bagian Penyakit Dalam, Departemen Klinik, Reproduksi dan
Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

6
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain syringe 3 ml, gelas
objek, mikroskop, lensa mikrookuler, kertas saring, tabung vacum EDTA
(Ethylene Diamine Tetraacetic Acid), alat penghitung (counter), cell counterblood analyzer Hemavet®, dan pipet tetes. Bahan yang digunakan antara lain
sampel darah segar, larutan Giemsa 10%, metanol, alkohol 70%, aquades, minyak
emersi, dan xylol.

Persiapan Hewan
Penelitian ini menggunakan 13 ekor anjing (terdiri atas 7 jantan dan 6
betina), berumur antara 3-5 tahun, dengan berbagai ras yang sebelumnya telah
diketahui terinfeksi Babesia sp. Anjing yang akan diambil sampel darahnya
dilakukan pemeriksaan fisik secara inspeksi meliputi status gizi, temperamen, dan
sikap hewan. Selain itu juga dilakukan pengukuran suhu tubuh anjing tersebut
(Widodo et al. 2011).

Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan darah dilakukan melalui vena Cephalica antibrachii sebanyak
3 ml dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung vakum yang mengandung
antikoagulan EDTA untuk kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Pembuatan Sediaan Ulas Darah
Sediaan ulas darah dibuat secara langsung dari darah utuh (whole blood).
Darah diteteskan pada sebuah gelas objek yang bersih dan kering berjarak sekitar
2 cm dari salah satu sisi ujung gelas obyek. Sisi ujung yang lain dipegang
menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan kiri. Sebuah gelas obyek lain dipegang
dengan tangan kanan dan salah satu sisi obyek yang dipegang oleh tangan kanan
digerakkan mundur sampai menyinggung dan menyebar tetesan darah di
sepanjang sudut antara kedua gelas obyek. Segera setelah itu, gelas obyek yang
dipegang oleh tangan kanan didorong ke depan sehingga terbentuk sediaan ulas
darah yang tipis. Sediaan ulas darah tersebut kemudian dikeringkan di udara.
Sediaan ulas darah yang telah kering direndam dalam larutan metanol selama 5
menit agar terfiksasi kemudian dikeringkan kembali. Selanjutnya sediaan ulas
darah diwarnai dengan cara direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45-60
menit. Setelah terwarnai, sediaan tersebut diangkat dan dibilas di air mengalir.
Setelah itu sediaan dikeringkan di udara.
Penghitungan Jumlah Eritrosit Berparasit
Penghitungan jumlah eritrosit berparasit menggunakan lensa mikrookuler
yang dipasang dibawah lensa okuler mikroskop. Persentase eritrosit berparasit
dihitung dalam 1000 eritrosit.

7

Gambar 1. Skema lapang pandang mikroskop
Menurut Brown (1980), penghitungan jumlah parasit darah dapat dilakukan
dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
% eritrosit yang terinfeksi parasit =

j ml h

i oi

j ml h o l

p

i

i oi

x 100%

Keterangan : Kotak A (kotak besar dalam lapang pandang lensa mikrookuler)
Kotak B (kotak kecil dalam lapang pandang lensa mikrookuler)
Penghitungan jumlah eritrosit dalam kotak B dihitung hingga mencapai 110115 eritrosit dari beberapa lapang pandang yang berbeda.

Pemeriksaan Parameter Eritrosit
Pemeriksaan parameter eritrosit berupa penghitungan jumlah eritrosit,
konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit dilakukan dengan menggunakan cell
counter-blood analyzer Hemavet®.

Penghitungan Indeks Eritrosit
Penghitungan MCV, MCH, dan MCHC dapat dilakukan dengan
menggunakan rumus :




Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dengan mencari nilai rata-rata dan standar
deviasi selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Persentase Parasitemia
Menurut Ndungu et al. (2005), tingkat parasitemia diklasifikasikan menjadi
tiga tingkatan, yaitu tingkat ringan (mild reaction), tingkat sedang (severe
reaction), dan tingkat berat (very severe reaction). Tingkat ringan terjadi apabila
persentase parasitemia kurang dari 1%, tingkat sedang terjadi apabila persentase
parasitemia 1-5%, dan tingkat berat apabila persentase parasitemia lebih dari 5%.
Persentase parasitemia Babesia sp. pada anjing yang diperiksa disajikan dalam
Tabel 2.
Tabel 2. Persentase parasitemia anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
No
Anjing
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Ras
Labrador Retriever
Rotweiller
Labrador Retriever
Belgian Malinois
German Shepherd
German Shepherd
Rotweiller
Rotweiller
German Shepherd
Golden Retriever
Belgian Malinois
Golden Retriever
Beagle
Rata-rata ± SD

Persentase Parasit (%)
1.36
0.58
1.08
0.58
0.48
0.49
0.60
0.19
0.30
0.19
0.48
0.30
0.19
0.53±0.35

Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata persentase parasitemia anjing
yang diperiksa mengalami infeksi sebesar 0.53±0.35%, dengan kisaran nilai
antara 0.19-1.36%. Nilai ini menunjukkan anjing yang diperiksa mengalami
infeksi Babesia sp. dalam tingkatan ringan (< 1%). Stockham dan Scott (2008)
menyatakan bahwa Babesia sp. berada dalam jumlah yang sangat sedikit saat
infeksi berlangsung kronis.
Persentase parasitemia yang rendah tidak mengakibatkan munculnya gejala
klinis yang nyata seperti jaundice, peningkatan suhu tubuh, anoreksia, lesu, dan
kurang aktif (Subronto 2006). Selain persentase parasitemia yang rendah, tidak
munculnya gejala klinis juga dipengaruhi oleh lingkungan kandang yang baik,
status nutrisi yang terjaga, dan faktor imunitas tubuh yang baik.

Parameter Eritrosit
Jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit merupakan
parameter penting dalam pemeriksaan eritrosit anjing. Penurunan salah satu dari
ketiga parameter tersebut dapat menjadi indikasi adanya anemia yang terjadi pada

9
anjing (Cowell 2004). Penelitian yang telah dilakukan pada anjing pelacak yang
terinfeksi Babesia sp. secara kronis menghasilkan gambaran eritrosit yang
disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Rataan jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin, dan nilai hematokrit
anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
Parameter
Eritrosit (x 106/µl)
Hemoglobin (g/dl)
Hematokrit (%)

Kisaran nilai (n=13)
4.60-5.90
10.40-14.80
30.00–40.00

Rata-rata±SD
5.38±0.44
13.19±1.43
36.62±3.45

Nilai normal
5.50–8.50
12.00–18.00
37.00–55.00

Sumber : Weiss dan Wardrop (2010)

Jumlah Eritrosit
Penurunan jumlah eritrosit karena hemolisis dapat terjadi secara fisiologis
akibat kematian eritrosit yang sudah tua. Namun, peningkatan jumlah eritrosit
yang mengalami hemolisis mengindikasikan adanya kondisi patologis yang terjadi
dalam tubuh seperti adanya infeksi parasit dalam eritrosit (Stockham dan Scott
2008).
Rendahnya jumlah eritrosit pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. terjadi
karena adanya hemolisis (Stockham dan Scott 2008). Hemolisis yang disebabkan
oleh Babesia sp. dapat berupa hemolisis intravaskular, hemolisis ekstravaskular,
dan hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan (immune mediated hemolytic
anemia). Hemolisis intravaskular terjadi karena eritrosit anjing mengalami
kerusakan (lisis) di dalam sistem sirkulasi. Kerusakan terjadi saat Babesia sp.
keluar dari dalam eritrosit setelah melakukan pembelahan, yaitu dalam bentuk
merozoit. Hemolisis ekstravaskular terjadi karena eritrosit yang terinfeksi Babesia
sp. keluar dari sistem sirkulasi akibat kebocoran pembuluh darah yang disebabkan
oleh turunnya jumlah trombosit. Hemolisis yang diperantarai oleh kekebalan
terjadi karena eritrosit yang mengandung Babesia sp. difagosit oleh makrofag
(Weiss dan Wardrop 2010).
Tabel 3 menunjukkan jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi Babesia sp.
mempunyai rataan sebesar 5.38±0.44x106/µl. Nilai ini berada di bawah nilai
normal menurut Weiss dan Wardrop (2010), yaitu sebesar 5.50–8.50x106/µl.
Jumlah eritrosit yang relatif lebih rendah dibandingkan nilai normal menunjukkan
anjing mengalami anemia yang bersifat ringan (mild anemia). Menurut Stockham
dan Scott (2008), anemia yang ringan terjadi karena infeksi Babesia sp. yang
bersifat kronis.
Wulansari (2002) menyatakan bahwa infeksi Babesia sp. yang bersifat
kronis akan menyebabkan hewan dalam kondisi premunition, yaitu keseimbangan
yang terjadi antara respon imun hewan yang terinfeksi dengan kemampuan parasit
untuk memunculkan gejala klinis. Jumlah eritrosit masing-masing anjing yang
terinfeksi kronis Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 2.

10

9,00

jumlah eritrosit (x106/µl)

8,00
7,00
6,00

5,90
5,40

5,50

5,60

5,60

5,60

5,70

5,80

12

13

5,20

4,80

5,00

5,60
4,60

4,60

4,00
3,00
2,00
1,00
0,00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

nomor anjing

Gambar 2. Grafik jumlah eritrosit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
(Daerah diantara tanda
menunjukkan rentang jumlah eritrosit normal)
Gambar 2 menunjukkan semua anjing memiliki kisaran jumlah eritrosit
yang rendah. Anjing nomor 7 dan nomor 10 memiliki jumlah eritrosit terendah,
yaitu sebesar 4.6x106/µl, dengan persentase parasitemia masing-masing sebesar
0.60% dan 0.19% (Tabel 2). Anjing nomor 1 mempunyai jumlah eritrosit tertinggi
diantara anjing yang lain yaitu sebesar 5.9x106/µl, sedangkan persentase
parasitemia anjing nomor 1 sebesar 1.36% (Tabel 2). Menurut Soulsby (1982),
saat infeksi berlangsung kronis tidak ada hubungan langsung antara persentase
parasitemia dengan derajat anemia dan gejala klinis yang muncul. Penurunan
jumlah eritrosit saat terjadi infeksi Babesia sp. yang berlangsung kronis
disebabkan oleh makrofag yang memfagosit eritrosit, baik eritrosit yang berparasit
maupun tidak.

Konsentrasi Hemoglobin
Faktor lain yang mempengaruhi derajat anemia anjing selain jumlah eritrosit
adalah konsentrasi hemoglobin yang ada dalam darah anjing tersebut.
Hemoglobin merupakan komponen utama penyusun eritrosit yang berfungsi
mengangkut oksigen dan karbon dioksida (Price dan Wilson 2006). Menurut
Weiss dan Wardrop (2010), konsentrasi hemoglobin normal anjing adalah 12.0018.00 g/dl. Anjing yang diperiksa mempunyai konsentrasi hemoglobin rata-rata
sebesar 13.19±1.43 g/dl (Tabel 3). Konsentrasi hemoglobin ini berada dalam
rentang yang normal. Besarnya konsentrasi hemoglobin dipengaruhi oleh banyak
faktor, diantaranya nutrisi, ras, umur, waktu pengambilan sampel, dan
antikoagulan yang dipakai dalam pengambilan sampel (Mbassa dan Poulsen

11
1993). Konsentrasi hemoglobin masing-masing anjing yang terinfeksi Babesia sp.
dapat dilihat pada Gambar 3.
20,00

konsentrasi hemoglobin (g/dl)

18,00
16,00

14,40

14,80

14,20
13,30

14,00

14,00

14,00

14,30
12,60

13,30

13,80

11,60

12,00

10,80

10,40

10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

nomor anjing

Gambar 3. Grafik nilai hemoglobin anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
(Daerah diantara tanda
menunjukkan rentang nilai hemoglobin normal)
Gambar 3 menunjukkan sebagian besar anjing mempunyai konsentrasi
hemoglobin yang normal rendah. Akan tetapi, ada tiga anjing yang mempunyai
konsentrasi hemoglobin di bawah normal, yaitu anjing nomor 2, nomor 7, dan
nomor 10, dengan konsentrasi hemoglobin masing-masing sebesar 11.60 g/dl,
10.40 g/dl, dan 10.80 g/dl. Nilai hemoglobin yang rendah ini berkorelasi positif
dengan jumlah eritrosit anjing tersebut yang berada di bawah jumlah normal, yaitu
sebesar 4.80x106 g/µl, 4.60x106 g/µl, dan 4.60x106 g/µl (Gambar 2). Rendahnya
jumlah hemoglobin diakibatkan oleh jumlah eritrosit yang rendah, karena
hemoglobin merupakan komponen utama pengisi eritrosit (Guyton dan Hall
1997).

Nilai Hematokrit
Nilai hematokrit menggambarkan perbandingan persentase eritrosit dengan
komponen darah lain dalam volume tertentu darah utuh (whole blood). Nilai
hematokrit merupakan salah satu unsur yang dapat digunakan untuk menentukan
derajat anemia selain jumlah eritrosit dan konsentrasi hemoglobin. Jumlah
eritrosit yang rendah dan ukuran eritrosit yang kecil akan menyebabkan nilai
hematokrit menjadi rendah. Sebaliknya, nilai hematokrit yang tinggi dapat
mengindikasikan terjadinya dehidrasi. Pada anjing yang mengalami dehidrasi,
total plasma darah akan berkurang sehingga persentase nilai hematokrit terlihat
meningkat (Colville dan Bassert 2002).
Nilai hematokrit normal anjing menurut Weiss dan Wardrop (2010) berada
pada kisaran 37.00-55.00%. Apabila nilai hematokrit berada di bawah 37.00%
maka anjing mengalami anemia. Sebaliknya, apabila nilai hematokrit melebihi

12
55.00%, maka anjing mengalami polisitemia. Nilai hematokrit masing-masing
anjing yang terinfeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Gambar 4.
60,00
55,00
50,00
45,00
40,00

nilai hematokrit (%)

40,00

40,00
38,00

40,00

38,00

40,00
38,00

37,00

36,00

35,00

33,00

35,00

31,00

30,00

30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

nomor anjing

Gambar 4. Grafik Nilai hematokrit anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
(Daerah diantara tanda
menunjukkan rentang nilai hematokrit normal)
Gambar 4 menunjukkan anjing yang diperiksa mempunyai kisaran nilai
hematokrit antara 30.00-40.00%. Lima anjing yang diperiksa mempunyai nilai
hematokrit di bawah normal, yaitu anjing nomor 2 (33%), nomor 4 (36%), nomor
7 (31%), nomor 10 (30%), dan nomor 11 (35%). Perbandingan antara nilai
hematokrit anjing yang berada di bawah normal dengan jumlah eritrosit yang
ditampilkan pada Gambar 2 menunjukkan adanya korelasi positif antara
keduanya, yaitu semakin rendah jumlah eritrosit maka nilai hematokrit juga
semakin rendah.
Menurut Swenson (1984), perubahan volume eritrosit dan plasma darah
yang tidak seimbang dalam sirkulasi darah akan mengubah nilai hematokrit.
Jumlah eritrosit yang terlalu tinggi (polisitemia) akan menyebabkan kenaikan nilai
hematokrit, sehingga viskositas darah meningkat (Cunningham 2002).

Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit terdiri atas MCV, MCH, dan MCHC. Indeks eritrosit dapat
digunakan untuk mengetahui jenis anemia yang terjadi pada hewan berdasarkan
morfologi eritrosit (Price dan Wilson 2006). Kenaikan nilai MCV
mengindikasikan eritrosit berukuran lebih besar dari normal (makrositik),
sebaliknya penurunan nilai MCV mengindikasikan eritrosit berukuran lebih kecil
dari normal (mikrositik), dan penurunan nilai MCHC mengindikasikan

13
konsentrasi hemoglobin yang rendah (hipokromik). Indeks eritrosit anjing yang
terinfeksi Babesia sp. dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai MCV dan MCHC pada anjing yang terinfeksi kronis Babesia sp.
No Anjing
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Rata-rata ±
SD

MCV (fl)
nilai normal
(60.00-77.00)
67.80
68.75
70.37
65.45
67.86
71.43
67.39
66.07
71.43
65.22
67.31
66.67
68.97

MCHC (%)
nilai normal
(32.00-36.00)
36.00
35.15
37.37
36.94
36.84
37.00
33.55
37.84
35.75
36.00
36.00
35.00
34.50

68.05±2.07

36.00±1.22

Sumber : Weiss dan Wardrop (2010)

Tabel 4 menunjukkan nilai MCV anjing yang terinfeksi Babesia sp. berada
dalam kisaran 65.22-71.43 fl dengan nilai rata-rata sebesar 68.05±2.07 fl. Nilai
MCHC berada pada kisaran 33.55-37.84% dengan nilai rata-rata sebesar
36.00±1.22%. Nilai MCV dan MCHC ini berada dalam kisaran normal menurut
Weiss dan Wardrop (2010). Beberapa anjing mempunyai nilai MCHC yang lebih
tinggi dari batas atas nilai normal. Hal ini diduga karena kondisi hemoglobinemia
yang menyebabkan hemoglobin dalam plasma darah akan ikut terhitung saat
pengukuran konsentrasi hemoglobin sehingga menyebabkan nilai MCHC
cenderung lebih tinggi dari normal (Stockham dan Scott 2008).
Menurut Stockham dan Scott (2008), infeksi akut terjadi selama 3-4 hari
setelah Babesia sp. masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan terjadinya
hemolisis intravaskular. Kondisi ini menyebabkan penurunan jumlah eritrosit
yang beredar dalam pembuluh darah. Penurunan jumlah eritrosit yang beredar
dalam pembuluh darah mengakibatkan kondisi anemia normositik normokromik
karena diperlukan waktu bagi sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit muda
(retikulosit). Setelah terjadi anemia normositik normokromik, sumsum tulang
akan melepaskan retikulosit ke dalam pembuluh darah. Retikulosit mulai muncul
dalam peredaran darah pada hari ke-4 setelah infeksi. Munculnya retikulosit
dalam pembuluh darah mengakibatkan perubahan anemia menjadi makrositik
hipokromik. Hal ini disebabkan karena ukuran retikulosit lebih besar dari eritrosit
normal dengan konsentrasi hemoglobin yang ada di dalamnya belum optimal.
Infeksi akut Babesia sp. akan mengakibatkan peningkatan limfosit sebagai
bentuk respon imun tubuh. Respon imun tubuh yang baik akan mengakibatkan
Babesia sp. tidak aktif, sehingga eritrosit anjing yang lisis akan berkurang dan

14
anjing mampu bertahan hidup. Babesia sp. akan terus berada dalam eritrosit
dengan bentuk tidak aktif. Hal ini mengakibatkan infeksi berlangsung kronis.
Infeksi yang berlangsung kronis menyebabkan sumsum tulang melakukan
penyesuaian fisiologis dengan tidak menstimulasi pengeluaran retikulosit ke
dalam peredaran darah. Hal ini menyebabkan tubuh tetap berada dalam kondisi
anemia karena eritrosit yang telah dikeluarkan tidak dapat bekerja secara optimal
akibat infestasi Babesia sp. di dalamnya. Kondisi ini terjadi akibat adanya depresi
eritrogenesis (Schalm et al. 1975).

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
anjing yang terinfeksi Babesia sp. secara kronis cenderung mengalami anemia
normositik normokromik karena terjadi depresi eritrogenesis.

Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlu dilakukan
penelitian lanjut pada anjing yang terinfeksi Babesia sp. dengan jumlah sampel
yang lebih banyak dan ras anjing yang lebih beragam.

DAFTAR PUSTAKA
Brown BA. 1980. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea &
Febiger
Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary
Technicians. Missouri: Mosby.
Cowell RL. 2004. Veterinary Clinical Pathology Secrets. St.Louis: Elsevier
Mosby.
Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Ed ke-3. Philadelphia: Saunders
Company
Guyton AC, Hall JE. 1997. Textbook of Medical Physiology. Philadelphia:
Saunders Company.
Hatmosrojo R, Budiana NS. 2003. Melatih Anjing Penjaga. Depok: Penebar
Swadaya.
Levine ND. 1994. Buku Pelajaran Parasitology Veteriner. Terjemahan G. Ashadi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lobetti, RG. 2005. The pathophysiology of renal and cardiac changes in canine
babesiosis. [tesis]. Faculty of Veterinary Science University of Pretoria.
Mbassa GK, Poulsen JSD. 1993. Reference Ranges for Hematological Value in
Landrace Goats. Small Rum Res.

15
Ndungu SG, Brown CGD, Dolan TT. 2005. In vivo comparison of susceptibility
between Bos indicus and Bos Taurus cattle types to Theileria parva
infection. Onderstepoort J Vet Res (72) : 13-22
Pearce, EC. 2006. Anatomis dan Fisiologis untuk Paramedis, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
[POLRI] Kepolisian Republik Indonesia. 1996. Hut Satwa Polri ke 37. Jakarta:
Direktorat Samapta Polri Sub Direktorat Satwa.
Price SA, Wilson LM. 2006. Pathophysiology Clinical Concepts of Disease
Processes. Ed ke-4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Schalm OW, Jain NC, Carroll EJ. 1975. Veterinary Hematology. Ed ke-3.
Philadelphia: Lea & Febiger.
Sigit SH, Koesharto FX, Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan IA,
Chalidaputra M, Rivai M, Priyambodo S, Yusuf S, et al. 2006. Hama
Permukiman Indonesia. Bogor: UKPHP FKH IPB.
Soulsby, EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domesticated
Animals. Ed ke-7. London: Bailliere Tindall.
Stockham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology.
Ed ke-2. State Avenue: Blackwell Publishing.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sugiarto. 2005. Potensi caplak anjing Rhipicephalus sanguineus sebagai vektor
penyakit. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Swenson. 1984. Duke’s Phisiology of Domestic Animals. Ed ke-10. London:
Cornel University Press.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. State Avenue:
Blackwell Publishing.
Widodo S, Sajuthi D, Choliq C, Wijaya A, Wulansari R, Lelana RPA. 2011.
Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor: IPB Press.
Wulansari R. 2002. Therapeutic effect of clindamycin on experimental infection
with Babesia gibsoni and their immune responses in dogs. [disertasi]. The
United Graduate School of Veterinary Sciences, Yamaguchi University,
Japan.

16

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 8 November
1990. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Syukur Syarifudin
dan Ibu Sarilah.
Penulis menempuh pendidikan dasar di I
’ if K li
hingg l l
pada tahun 2002. Setelah itu penulis melanju k n p ndidik n di T
’ if 2
Selomerto dan lulus pada tahun 2005. Pendidikan selanjutnya penulis tempuh di
SMA Negeri 2 Wonosobo dan lulus pada tahun 2008. Tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan ke Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa lembaga mahasiswa,
diantaranya menjadi staf Departemen Keputrian LDK Al Hurriyyah 2008-2009,
Sekretaris Departemen Sosial BEM FKH 2009-2010, dan Sekretaris Umum DKM
An Nahl FKH IPB 2010-2011. Penulis juga pernah menjadi asisten untuk mata
kuliah Pendidikan Agama Islam tahun 2010-2012. Beberapa beasiswa yang
pernah diperoleh penulis antara lain Beastudi Etos LPI DD pada tahun 2008-2011
dan beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) pada tahun 2011-2012.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan salah satu hewan yang banyak dipelihara karena
mempunyai hubungan erat dengan manusia. Beberapa tujuan dari pemeliharaan
anjing antara lain sebagai hewan kesayangan, hewan penjaga, juga digunakan
sebagai hewan pelacak. Hal ini dikarenakan anjing memiliki tingkat kecerdasan
dan pengabdian yang tinggi pada manusia. Anjing juga mempunyai keistimewaan
yaitu memiliki daya penciuman yang sangat tajam (Hatmosrojo dan Budiana
2003).
Kemampuan penciuman pada anjing dapat dimanfaatkan untuk melacak
keberadaan barang ataupun orang sehingga sangat membantu polisi dalam
memecahkan permasalahan kriminal seperti adanya bom, narkoba, maupun
pencarian orang. Unit K-9 Direktorat Polisi Satwa merupakan salah satu unit di
bawah POLRI yang menangani pelatihan dan pemeliharaan anjing pelacak.
Beberapa jenis anjing yang digunakan sebagai anjing pelacak antara lain ras
Labrador Retriever, Rotweiller, Doberman Pincher, Belgian Malinois, Beagle,
dan German Shepherd (POLRI 1996).
Kesehatan anjing adalah salah satu poin penting yang harus diperhatikan
agar selalu dalam keadaan yang optimal. Beberapa penyakit yang seringkali
menyerang anjing antara lain infeksi ektoparasit seperti kutu dan caplak. Jenis
caplak yang umum menginfeksi anjing di Indonesia adalah jenis Rhipicephalus
sanguineus. Gigitan caplak pada kulit dapat mengganggu kenyamanan anjing
karena rasa sakit dan gatal (Sigit et al. 2006).
Investasi caplak mengakibatkan masuknya protozoa, virus, dan riketsia yang
dapat menimbulkan penyakit. Salah satu protozoa yang seringkali menginfeksi
anjing melalui gigitan caplak adalah Babesia sp. (Sigit et al. 2006). Babesia sp.
merupakan parasit intraeritrositik yang akan menyebabkan kerusakan eritrosit.
Beberapa gejala yang timbul saat hewan terinfeksi kronis Babesia sp. antara lain
anemia, anoreksia, lesu, dan malas bergerak (Subronto 2006), sehingga dapat
mempengaruhi kinerja anjing. Oleh karena itu, profil eritrosit anjing yang
terinfeksi Babesia sp. sangat diperlukan untuk mengetahui gambaran darah
sehingga dapat menunjang proses terapi yang akan dilakukan kemudian.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran umum eritrosit anjing
yang terinfeksi kronis Babesia sp. melalui pemeriksaan eritrosit.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang gambaran eritrosit
anjing yang terinfeksi Babesia sp. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan dasar
dalam melakukan tindakan pengobatan serta pencegahan secara berkala guna
mengurangi kemungkinan terjadinya penularan Babesia sp. pada anjing.

2
Hipotesis Penelitian
Infeksi kronis oleh Babesia sp. berpengaruh pada profil eritrosit anjing.

TINJAUAN PUSTAKA
Babesia sp.
Babesia sp. adalah protozoa penyebab babesiosis pada hewan. Menurut
Levine (1994), Babesia sp. diklasifikasikan dalam subfilum Apicomplexa, kelas
Piroplasma, dan famili Babesiidae. Penyakit babesiosis pada anjing umumnya
disebabkan oleh Babesia canis (B. canis). Selain B. canis, Babesia gibsoni
(B. gibsoni) dan Babesia vogeli (B. vogeli) juga dapat menginfeksi anjing.
B. vogeli memiliki karakteristik yang sama dengan B. canis tetapi berukuran lebih
besar. B. canis mempunyai ukuran tubuh sebesar 4-5 mikron, berbentuk seperti
buah pir (pyriform) yang runcing pada ujung satu dan bulat pada ujung yang lain.
B. canis akan menginfeksi eritrosit inang. Satu eritrosit dapat mengandung lebih
dari 10 B. canis. Hal ini menandakan adanya multiinfeksi dalam eritrosit tersebut
(Subronto 2006).
Proses penyebaran B. canis melalui vektor caplak Rhipicephalus sanguineus
(R. sanguineus). Infeksi dimulai saat caplak R. sanguineus menghisap darah
anjing yang terinfeksi babesiosis. B. canis akan masuk ke dalam tubuh caplak,
menjadi motil, menembus dinding sel, masuk ke rongga tubuh dan melalui
pembuluh darah menuju ovarium untuk menginfeksi ovum. B. canis
memperbanyak diri di dalam ovum dan menjadi sumber penularan transovarium
saat ovum caplak menetas menjadi larva (Soulsby 1982). Setelah berkembang di
dalam tubuh caplak, B. canis bermigrasi ke kelenjar ludah caplak dan siap
menginfeksi anjing saat caplak menghisap darah (Subronto 2006). Bentuk infektif
B. canis adalah tropozoit yang menginfeksi eritrosit anjing. Tropozoit berkembang
biak dengan pembelahan biner sehingga terbentuk merozoit yang banyak (Soulsby
1982). B. canis kemudian keluar dari eritrosit tersebut dan mengakibatkan
rupturnya eritrosit yang terinfeksi untuk menginfeksi eritrosit yang baru (Weiss
dan Wardrop 2010).
Babesiosis atau disebut juga piroplasmosis, secara perakut/akut dapat
menyebabkan keparahan pada anjing. Infeksi protozoa ini dapat menyebabkan
demam yang sangat tinggi dan peningkatan frekuensi nafas. Gejala yang tampak
setelah anjing terinfeksi parasit ini antara lain demam, hemoglobinuria, ikterus,
dan splenomegali. Gejala infeksi yang kronis ditandai dengan anoreksia,
kehilangan berat badan, kelemahan, dan anemia yang bersifat ringan (Sugiarto
2005).
Parasitemia yang disebabkan oleh B. canis dapat berlangsung selama 3-4
hari, diikuti periode hilangnya parasit dari peredaran darah perifer selama kurang
lebih 10 hari. Setelah 2 minggu pasca infeksi akan terjadi parasitemia kedua,
dengan jumlah parasit lebih banyak di dalam eritrosit, sebagai hasil perbanyakan
secara pembelahan (Subronto 2006).

3
B. canis dapat menginfeksi anjing pada semua umur. Sebuah penelitian dari
OVAH (Onderstepoort Veterinary Academic Hospital) mengatakan bahwa 77%
infeksi B. canis terjadi pada anjing yang berumur kurang dari tiga tahun
(Lobetti 2005).

Komposisi dan Fungsi Darah Anjing
Darah anjing pada umumnya berjumlah kurang lebih 7% dari total volume
cairan tubuhnya. Darah terdiri atas 55% plasma darah dan 45% butir darah
(Pearce 2006). Plasma darah terdiri atas air (91%), protein (7%), dan zat lain
seperti ion, gas, dan sisa metabolisme (2%). Butir darah terdiri atas sel darah
merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit). Satu mm3
darah anjing mengandung 5 500 000-8 500 000 eritrosit, 200 000-500 000
trombosit, dan 6 000-17 000 leukosit (Colville dan Bassert 2002). Menurut Weiss
dan Wardrop (2010), nilai acuan eritrosit anjing dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1 Nilai acuan eritrosit anjing normal
Parameter
Eritrosit
Hemoglobin
PCV
MCV
MCHC

Nilai Normal
5.5-8.5
12.0-18.0
37-55
60-77
32-36

Satuan
x 106/µl
g/dl
%
fl
%

Darah merupakan salah satu unsur terpenting tubuh hewan. Darah
mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi transporta