Formasi Wapulaka terletak selaras diatas Formasi Sampolakosa akan tetapi pada beberapa bagian
menunjukkan hubungan tidak selaras. Batuan penyusunnya terdiri atas batugamping terumbu
ganggang dan koral, memperlihatkan undak-undak pantai purba dan topografi karst, endapan hancuran
terumbu, batukapur, batugamping pasiran, batupasir gampingan, batulempung dan napal kaya foraminifera
plankton. Formasi ini berumur Plistosen yang diendapkan dalam lingkungan laguna – litoral.
Dalam pelaksanaan kegiatan lapangan, tentu sebelumnya terlebih dahulu dilakukan pengumpulan
data sekunder yang diambil dari hasil kegiatan lapangan terdahulu. Data sekunder ini diperlukan
sebagai panduan dalam pelaksanaan
penyelidikan lapangan seperti peta geologi Lembar Buton hasil
penyelidikan N. Sikumbang dkk, serta laporan penyelidikan bitumen
padat daerah Waodeburi hasil
penyelidikan Untung Triono dkk tahun 2004. Berdasarkan data penyelidikan tersebut, kemudian
dilakukan penyelidikan lanjutan khususnya di daerah Labuan, Kabupaten Muna. Pekerjaan yang dilakukan
dilapangan sebagian besar merupakan pemetaan geologi dan outcrop drilling dengan dibeberapa tempat
dibuat lintasan terukur guna mengetahui ketebalan formasi yang terdapat di daerah penyelidikan.
Aluvium merupakan endapan hasil rombakan saat ini yang terdiri atas kerikil, kerakal, pasir lumpur dan
gambut hasil endapan sungai, rawa dan pantai.
2.2.Struktur Geologi Regional
Peristiwa tektonik yang terjadi pada Kepulauan Tukangbesi – Buton menyebabkan terjadinya struktur
perlipatan berupa antiklin dan sinklin, serta struktur sesar yang terdiri dari sesar naik, sesar normal dan
sesar geser mendatar.
Umumnya struktur berarah timurlaut – baratdaya di Buton Selatan, kemudian berarah utara – selatan di
Buton Tengah, dan utara-baratlaut hingga selatan- tenggara di Buton Utara.
Sesar-sesar
mendatar umumnya
memotong struktur utama yang merupakan sruktur antiklin
sinklin, dimana secara garis besar struktur antiklin sinklin berarah relatif sejajar dengan arah
memanjangnya tubuh batuan pra-Tersier. Pemetaan geologi permukaan dilakukan dengan
menyusuri sungai-sungai yang terdapat di daerah penyelidikan, dimana titik berat pekerjaannya adalah
mencari singkapan-singkapan sedimen klastik halus, terutama serpih dan batupasir yang terisi rembasan
aspal yang mungkin tersingkap di dasar atau tebing sungai. Singkapan serpih atau batupasir yang
ditemukan kemudian diukur arah jurus dan kemiringannya serta ditentukan posisinya dengan
bantuan alat Global Positioning System GPS Garmin tipe 12 CX, yang kemudian hasilnya dicatat dan diplot
pada peta dasar 1 : 50.000 dari Bakosurtanal. Pemetaan ini masih merupakan pemetaan regional sebagai
kelanjutan dari pemetaan tahun 2004, dengan di beberapa tempat yang dianggap mempunyai kandungan
bitumen padat dilakukan pemboran guna mengetahui variasi ketebalannya.
Peristiwa tektonik yang terjadi berulang-ulang ini menyebabkan batuan-batuan yang berumur lebih tua
mengalami beberapa kali aktivitas struktur, sehingga batuan tua umumnya ditemukan pada lokasi dengan
kemiringan lapisan yang relatif tajam. Sedangkan pada batuan yang lebih muda kemiringan lapisan
relatif lebih landai dibandingkan dengan batuan berumur tua.
Pengamatan singkapan bitumen padat dan litologi lainnya dilakukan pada seluruh formasi yang terdapat
di daerah penyelidikan, akan tetapi lebih dikonsentrasikan pada Formasi Winto, Formasi Tondo
dan Formasi Sampolakosa yang diperkirakan mengandung endapan bitumen padat. Sedangkan untuk
kegiatan pemboran outcrop drilling lebih ditekankan pada formasi batuan yang mengandung serpih bitumen,
dalam hal ini Formasi Winto dan Formasi Tondo sebagai sasaran pemboran.
2.3. Indikasi Endapan Bitumen Padat Dalam
upaya mengetahui
batuan yang
mengandung bitumen padat, salah satu cara yang cukup mudah untuk dilakukan dilapangan adalah dengan
membakar sedikit batuan yang diduga mengandung bitumen tersebut, dimana batuan yang mengandung
bitumen akan mengeluarkan aroma khas seperti aroma aspal terbakar.
Secara geologi formasi batuan yang mengandung endapan bitumen padat dapat terbentuk pada
lingkungan pengendapan danau, laut dangkal – neritik atau lagun.
Pengambilan conto batuan untuk keperluan analisa retorting dan analisa petrografi hampir seluruhnya
berasal dari hasil pemboran yang dilakukan pada singkapan batu serpih yang mengandung bitumen, serta
conto batupasir aspal yang diambil dari singkapan batuan. Conto batuan tersebut diambil untuk keperluan
analisa laboratorium, dimana tiap “ply sample” diusahakan mewakili tiap bagian batuan hasil
pemboran yang dipisahkan berdasarkan perbedaan fisik batuan, terutama perbedaan warna yang diperkirakan
akan menghasilkan kandungan minyak berbeda.
Batuan ini biasanya merupakan sedimen klastik halus, seperti serpih, lanau atau batupasir halus dan sering
berasosiasi atau mengandung sisa-sisa tumbuhan, kayu terarangkan atau mengandung batubara.
Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, maka dapat dilokalisir daerah yang mempunyai indikasi
kandungan bitumennya, sehingga lebih mempermudah dalam pelaksanaan penyelidikannya.
3.2. Analisa Laboratorium Seperti
telah disebutkan
di atas
bahwa pengambilan conto batuan diperlukan untuk analisa
laboratorium, baik untuk analisa retorting maupun analisa petrografi. Conto batuan hasil pemboran
kemudian diambil sedikit untuk keperluan analisa petrografi, sedangkan sisanya yang terbesar dipakai
untuk analisa retorting.
3. KEGIATAN PENYELIDIKAN 3.1. Penyelidikan Lapangan
PEMAPARAN HASI L KEGI ATAN LAPANGAN SUBDI T BATUBARA – 2005 BI TUMEN PADAT – KALI SUSU MUNA
Analisa retorting dimaksudkan untuk mengetahui kandungan minyak yang terdapat di dalam batuan,
dimana hasil analisa yang diperoleh antara lain kandungan minyak dalam satuan literton, kandungan
air dalam satuan literton serta berat jenis dalam satuan gramton. Jumlah conto batuan yang dianalisa retort
sebanyak 10 conto dengan 8 buah conto berasal dari pemboran dan 2 conto dari singkapan batuan.
Analisa petrografi dilakukan untuk membantu dalam mengetahui kandungan maseral, komposisi, dan
variasinya. Selain itu juga dapat membantu menentukan tingkat kematangan suatu material
organik, dalam hal ini tingkat kematangan generasi hidrokarbon melalui reflektan vitrinitnya. Juga dapat
digunakan sebagai data silang terhadap hasil analisa retorting.
Jumlah conto batuan yang dianalisa petrografi sebanyak 5 buah conto terdiri dari serpih bitumen dan
batupasir aspal. Seluruh analisa batuan dilakukan di Laboratorium
Kimia dan Fisika Mineral, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral.
3.3. Pengolahan Data Seluruh data yang terkumpul selama kegiatan
lapangan, kemudian diolah untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Data-data lapangan ini
kemudian lokasinya dimasukan kedalam peta dasar berikut arah jurus dan kemiringan lapisan serta jenis
batuan juga ketebalannya. Pemasukan data lapangan ini dimaksudkan untuk dapat mengetahui seberapa luas
sebaran bitumen padat yang terdapat di daerah penyelidikan, baik lapisan serpih maupun batupasir
aspal. Dalam pengolahan data lapangan tentunya sangat tergantung dari data hasil penyelidikan lapangan
dimana semakin rapat data yang diperoleh, akan semakin baik interpretasi yang dihasilkan. Akan tetapi
dalam pengumpulan data tentunya banyak faktor yang sangat menentukan baik faktor pelaksana lapangan,
medan lapangan serta singkapan bitumen padat yang muncul dipermukaan. Berdasarkan data yang
dihasilkan selama kegiatan penyelidikan bitumen padat daerah Kulisusu, Kabupaten Muna, diperoleh data
pemboran sebanyak 4 lokasi dengan masing-masing kedalaman bor 25 meter. Pemboran ini ditujukan untuk
mengetahui jumlah lapisan serpih bitumen serta ketebalannya. Selain data pemboran tentunya terdapat
data-data singkapan batuan serpih bitumen yang sangat diperlukan untuk penarikan korelasi lapisan batuan.
Endapan bitumen padat yang terdapat di daerah Kulisusu terdapat dalam 3 lokasi, dimana 1 lokasi
merupakan lapisan serpih bitumen yang terdapat di sekitar desa Labuan, dan 2 lokasi merupakan endapan
aspal yang terdapat di daerah Maligano dan Tomoahi. 4. HASIL PENYELIDIKAN
4.1 Geologi Daerah Penyelidikan 4.1.1. Morfologi