Perubahan Visual Topeng Menor Antara Visual Dan Kesakralan

(1)

Tempat/ Tanggal Lahir : Padang / 08 Juni 1989 Jenis Kelamin : Pria

Agama : Islam Kewarganegaraan : Indonesia

Status : Belum Menikah

Pendidikan Terakhir : Sarjana

Jurusan : Desain Komunikasi Visual

Alamat : Jl. Tubagus Ismail Dalam No.56A Bandung – kode pos 40132 Handphone : 081220529955

Email : willyss1989@gmail.com

PENDIDIKAN FORMAL

Sekolah Jurusan Tempat Tahun

SD Negeri 011 - Pekanbaru 1995-2001

SMP Negeri 4 - Pekanbaru 2001-2004

SMA Negeri 9 IPA Pekanbaru 2004-2007

PerguruanTinggi Jurusan Tempat Tahun

Universitas Komputer Indonesia Desain Komunikasi Visual (S1) (ipk. 3,69)

Bandung 2009-2013

PENGALAMAN BEKERJA

(Diurut dari pekerjaan terakhir)

Durasi Bekerja 11 November 2013 – 22 Agustus 2015

Nama Perusahaan PT. Dian Megah Indo Perkasa Status Bekerja Staff Tetap

Posisi / Jabatan Staff Design

Rincian Pekerjaan Saya pernah bekerja diperusahaan industri plastik dengan Brand Twin Tulipware. Saya menjabat sebagai staff desain yang bertanggung jawab atas pembuatan dan perencanaan berbagai media promosi produk, perencanaan even kegiatan tahunan, layout katalog, packaging produk, flyer, spanduk, billboard, animasi flash untuk berbagai acara serta menjadi fotografer produk dan sebagai produk inovator.

Rincian Pekerjaan Dan Tanggung Jawab :

• Saya juga bertanggung jawab dalam proses perancangan design promosi , Branding, dan pengembangan design produk serta membuat inovasi desain-desain produk terbaru.

• Bertanggung jawab atas pembuatan desain katalog, flyer dan booklet. Pekerjaan mencakup perancangan desain layout dan fotografer produk.


(2)

Conferent dan acara buka puasa.

• Bertanggung jawab atas pembuatan desain packaging produk yang berupa dus. Pekerjaan mencakup desain layout dus dan fotografer produk.

Durasi Bekerja 19 Maret 2012 – 28 Juli 2012

Nama Perusahaan PT. Gramedia Pustaka Utama Status Bekerja Praktek Kerja Lapangan (PKL) Posisi / Jabatan Markom & Promosi GoBP Jabar

Rincian Pekerjaan

Rincian Pekerjaan :

• Membuat perancangan strategi promosi yang baik dalam penjualan buku di toko buku Gramedia Bandung

Pekerjaan : Desain branding rak buku, spanduk, Campflage (toko buku Gramedia jalan Merdeka Bandung &toko buku Gramedia Paris Van Java Bandung).

• Sebagai leader perancangan promosi bazar buku murah PT.Gramedia Pustaka Utama di toko buku Toga Mas jalan buah batu Bandung. Pekerjaan : Merancang desain billboard, spanduk, desain dekorasi pintu,

campflage.

KEMAMPUAN MENGGUNAKAN SOFTWARE

Software Kemapuan Operational Software

Adobe Photoshop Amat Baik Adobe Ilustrator Amat Baik

Adobe In Design Baik

Adobe Flash Amat Baik

Adobe Premiere Baik

Corel Draw Amat Baik

3Ds Max Cukup


(3)

• Juara 1 Lomba Photography di Universitas Komputer Indonesia dengan Thema “Still Life Moment” 2012.

• Lulus dengan predikat Cum Laude (Ipk 3,69)

• Mendapat Best Employe of the year 2014 (PT. Dian megah Indo Perkasa).

Demikian riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bandung, 21, Maret 2016


(4)

(5)

(6)

Oleh

WILLY SURYA SANI 9010213012

TESIS

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar Magister Desain

FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG


(7)

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah S.W.T yang memberikan ridha-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Dalam proses penyusunan laporan ini, penulis tidak akan berhasil apabila tidak didukung oleh pembimbing dan leader yang penuh kesabaran yang memberikan pengarahan serta masukan yang berharga, semoga Allah S.W.T membalas segala kebaikan tersebut.

Penelitian ini berjudul: "Perubahan Visual Topeng Menor Antara Visual dan Kesakralan". Salah satu sebab penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap objek ini, diawali oleh rasa keingintahuan yang mendalam saat menyaksikan pertunjukan topeng, terutama pada bentuk dan visual topeng yang digunakan oleh penarinya, namun penulis tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan saat bertamya pada penarinya. Hal inilah yang membulatkan tekad untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini ada dalam benak penulis dan semoga semua upaya yang dilakukan ini dapat memberikan manfaat serta informasi bagi pihak-pihak lain.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Primadi Tabrani selaku dosen pembimbing tesis, yang penuh perhatian dan kesabaran telah meluangkan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini. Dan juga


(9)

kepada Dr. Abay D Subarna dan Dr. Ahadiat Joedawinata, selaku penguji yang telah bersedia untuk mengoreksi, dan memberikan saran-saran pada tesis penelitian saya. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Dr. Ir. Herman S. Soegoto, MBA. selaku Dekan Magister Desain Universitas Komputer Indonesia.

2. Dr. Abay D Subarna. selaku Ketua Program Studi Magister Desain Universitas Komputer Indonesia.

3. Seluruh staf pengajar (Dosen) dan seluruh staf karyawan/karyawati Magister Desain Universitas Komputer Indonesia yang telah memberikan pelayanan terbaik selama penulis mengikuti proses pendidikan.

Akhir kata, penulis menyadari masih banyak sekali kekurangan dalam proses penelitian ini, dan harapan penulis semoga penelitian ini sebagai acuan untuk penelitian berikutnya.

Bandung, 2016


(10)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN... ii

PERNYATAAN... iii

PERSEMBAHAN... iv

ABSTRACT... v

ABSTRAK... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR GAMBAR... xiv

DAFTAR BAGAN... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Rumusan Masalah... 13

1.3. Tujuan Penelitian... 14

1.4. Manfaat Penelitian... 14

1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 15

1.6. Hipotesa Kerja... 15

1.7. Kerangka Penelitian... 17

1.8. Data Sumber Data Pengolahan Data... 18


(11)

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1. Penelitian Sebelumnya dan Posisi Peneliti... 22

2.1.1 Penelitian Sebelumnya dan Posisi Peneliti... 22

2.2. Topeng Sebagai Penutup Wajah... 23

2.3. Perwujudan Topeng... 25

2.4 Muka... 27

2.5. Muka Ganda: Pemain dan Topeng... 28

2.6. Topeng Setengah Muka... 30

2.7. Pewarisan Topeng Cirebon... 31

2.8. Pewarisan dalam Sistem Keluarga... 32

2.8.1. Latihan Kepekaan... 33

2.8.2. Latihan Keterampilan... 36

2.8.3. Laku Spiritual... 39

2.8.4. Pewarisan dalam Sistem Sekolah... 40

2.9. Mengamen atau Bebarang... 41

2.10. Penggunaan Simbol dalam Topeng Menor... 44

2.11. Riwayat Panji Sebagai Dasar Topeng Menor... 47

2.12. Cerita Panji Dalam Dimensi Sejarah... 50

2.13. Kaitan Simbol Visual dan Warna... 54


(12)

BAB III KAJIAN TEORI

3.1. Teori Bahasa Rupa………... 58

3.2. Pendekatan Komparatif………... 60

3.3. Analisis Matriks………... 61

3.4. Pengertian Topeng………... 62

3.5. Sejarah Topeng Menor……….... 64

3.6. Jenis Topeng Menor Subang dan Cerita………... 67

3.6.1. Topeng Panji………... 67

3.6.2. Topeng Pamindo - Samba Abang………..….... 70

3.6.3. Topeng Tumenggung……….... 74

3.6.4. Topeng Klana………..…... 77

3.6.5. Topeng Rumiang………..……. 79

3.7. Struktur Tari……….... 81

3.8. Gaya Tari……….... 83

3.9. Susunan Tari Topeng Dari Berbagai Daerah………... 86

3.10. Karakter………... 87

BAB IV UNSUR VISUAL PADA TOPENG MENOR 4.1. Analisis Unsur Rupa Visual Topeng………... 90

4.1.1. Topeng Sebagai Penutup Wajah………... 90

4.1.2. Unsur Rupa dalam Topeng………... 91

4.2. Analisis Matriks………... 101


(13)

4.4. Perbandingan Wayang Kulit Cirebon dengan Visual Topeng Menor….... 109

4.5. Kreasi Topeng………. 110

4.6. Analisis Cerita Panji dan Tokoh-Tokoh Utamanya……….... 113

4.7. Analisis Cerita Panji dalam Pertunjukan Topeng………... 117

4.8. Analisis Alat Gamelan dan Fungsinya dalam Pertunjukan Topeng…... 121

4.8.1. Kendang………... 121

4.8.2. Kendang Gending……….. 122

4.8.3. Keprak / Kecrek………... 122

4.8.4. Saron……….... 123

4.8.5. Titil………... 124

4.8.6. Penerus/ Kedemung………... 124

4.8.7. Bonang………... 125

4.8.8. Kenong dan Jenglong………... 125

4.8.9. Ketuk dan Kebluk………... 126

4.8.10. Gong dan Kiwul atau Kempul………... 126

4.8.11. Suling……….... 127

4.9. Fungsi Musik dalam Tari Topeng……….. 129

4.10.Pengaruh Warna Pada Bentuk Wajah Topeng... .. 130

BAB V KESIMPULAN……….. 134

DAFTAR PUSTAKA………. 140 LAMPIRAN


(14)

1

Sebuah karya seni pada suatu wilayah, sering dianggap sebagai sebuah produk kebudayaan. Di dalam sebuah produk kebudayaan kita sering menemukan beberapa unsur yang saling berkaitan, diantaranya adalah sistem, gagasan, yang disertai pula dengan tindakan dari masyarakat pendukungnya. Selain itu dalam sebuah produk kebudayaan kita juga dapat mengetahui beberapa aspek yang berkaitan dengan pertunjukan, diantaranya tentang bentuk pertunjukan, konsep pertunjukan, dan aktivitas perkembangannya.

Dari berbagai sumber banyak yang menyatakan bahwa seni pertunjukan berkait erat dengan kehidupan manusia, hal ini dikuatkan oleh dugaan para ahli yang menyatakan bahwa kemungkinan besar usia seni pertunjukan hampir sama dengan peradaban manusia. Keberadaan seni pertunjukan memiliki fungsi dan masa yang berbeda-beda, namun tetap erat berkait dengan kehidupan manusia sebagai mahluk yang menjalaninya. Contohnya adalah digunakannya tarian-tarian sebagai media perantara dalam memanggil atau berkomunikasi dengan alam para ruh nenek moyang dalam sebuah ritual, misalkan untuk memperingati daur hidup manusia sejak lahir sampai mati atau mengusir wabah penyakit yang sedang terjadi di suatu wilayah.


(15)

Fungsi ritual dari seni pertunjukan seperti yang sudah dijelaskan di atas tampaknya kini telah bergeser. Semula ritual ini erat dengan kegiatan religius, namun kini lebih mengarah pada hal-hal yang bersifat duniawi, sebagai Contoh kita lebih sering melihat sebuah aktivitas pertujukan seni tari berfungsi sebagai penggugah solidaritas untuk mencintai sebuah kebudayaan yang hampir punah, sebagai media promosi wisata suatu daerah, dan media hiburan. Contohnya kesenian sering digunakan sebagai pertunjukan pada tamu-tamu pemerintah daerah, prosesi menyambut pengantin, serta pada kegiatan festival ditingkat daerah, nasional dan mancanegara. Disini dapat dikatakan bahwa setiap karya yang diciptakan oleh manusia tentu memiliki maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan tersebut ada yang bersifat fungsional atau konseptual yang syarat dengan nilai-nilai filosofis.

Setiap bentuk kebudayaan memiliki ciri khas tersendiri dan penamaannya berdasarkan letak wilayah masing-masing. Salah satu bentuk kebudayaan yang terletak di wilayah pantai disebut kebudayaan pesisir, salah satunya adalah seni pertunjukan. Kesenian yang lahir di wilayah pesisir berkembang seiring dengan proses percampuran budaya, selain kondisi masyarakat pesisir yang adaptif, mereka juga menggunakan kesenian sebagai sarana religius dan ritual sebagai sarana penyebaran agama, terutama pada awal penyebaran Islam. Masyarakat Cirebon adalah masyarakat yang heterogen, yaitu campuran Jawa dan Sunda, serta terdapat kelompok minoritas keturunan Cina. Walaupun demikian, tata cara adat desa umumnya masih diyakini dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan masyarakat Cirebon umumnya adalah petani, pedagang, nelayan, dan


(16)

pegawai negeri. Seniman topeng, khususnya penari dan pengrajin, adalah pekerja profesional, sedangkan para penabuh gamelan pada umumnya memiliki profesi sebagai petani atau pedagang.

Dari aspek bentuk, kesenian yang ada di Cirebon pada umumnya memiliki nilai keindahan tersendiri, nilai spiritual yang tinggi dan bermuatan filosofis, hal ini berkait dengan kehadiran dan pengaruh Sunan Gunung Jati sebagai pemegang otoritas pemerintahan serta pimpinan spritual tertinggi di Cirebon. Masyarakat di Cirebon pada umumnya masih terikat pada hal-hal yang bersifat mistis, dan hal lainnya adalah kecenderungan kaum laki-laki menjadi seniman, namun seiring waktu dan perkembangan zaman muncul beberapa seniman dari kaum wanita.

Salah satu bentuk kesenian yang terkenal dari daerah Cirebon adalah tari topeng. Tari topeng pada dasarnya merupakan seni tari tradisional masyarakat Cirebon yang secara spesifik menonjolkan penggunaan penutup muka berupa topeng atau “kedok”. Topeng selalu digunakan oleh penari ketika memerankan setiap tokoh dalam tarian. Unsur-unsur yang terdapat dalam seni tari topeng Cirebon mempunyai arti simbolik dan penuh pesan-pesan terselubung, baik dari jumlah topeng, warna topeng, gerakan, jumlah gamelan pengiring dan lain sebagainya.

Sejak abad ke-15, Cirebon dikenal sebagai daerah perniagaan dan pusat pelayaran, serta pusat penyebaran agama islam. Pelabuhan didaerah ini banyak didatangi oleh pedagang-pedagang dari Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik (Singapura), Pasai, Cina, Jawa Timur, Madura, Palembang, Bugis/Sulawesi, dll


(17)

(Sulendraningrat, 1985; 17). Pada masa itu di Cirebon berdiri keraton Pakungwati yang pernah menjadi pusat kegiatan politik dan keagamaan. Sulendraningrat juga menjelaskan bahwa seorang penguasa Cirebon abad 15 dan 16 (1479-1568) adalah Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati/Wali Kutub. Syarif Hidayatullah adalah salah seorang cucu Raja Pajajaran (Sunda) bernama Prabu Siliwangi. Pusat kekuasaan keraton kemudian terbagi tiga yaitu Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan. Melalui perjalanan waktu yang sangat panjang, yaitu dari masuknya agama islam atau zaman para wali, zaman pendudukan Mataram II di Cirebon, zaman VOC pada akhir abad ke-17 sampai masa pemerintahan Belanda abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (gocher, 1990; 20-23), telah terbentuk budaya yang unik dikalangan masyarakat Cirebon. Keunikan tersebut ditinjau terutama dari adat istiadat, bahasa, dan keseniannya. Hal tersebutlah yang menyebabkan para wali berinisiatif menyebarkan agama Islam dengan menggunakan kesenian tari topeng setelah media Dakwah kurang mendapat respon dari masyarakat.

Pada awalnya topeng hanya berfungsi sebagai kelengkapan dalam tarian, namun saat digunakan untuk menari fungsinya berubah menjadi sebuah karakter atau tokoh yang diceritakan dalam sebuah tarian. Filosofi yang terdapat dalam tari topeng diduga memiliki keterkaitan erat dengan sejarah kota Cirebon dan riwayat cerita Panji serta nilai-nilai ajaran Hindu-Budha, Islam dan Jawa. Cerita Panji terdapat beberapa versi, antara lain, hikayat Panji Kuda Semirang, cerita Panji Kamboja, cerita Panji dalam Serat Kanda, Angron-Akung, Cerita Jayakusuma, Panji Palembang. Cerita yang terdapat dalam kesenian topeng Menor sangat


(18)

berkaitan dengan cerita Hikayat Panji Kuda Semirang, berikut rangkuman singkat cerita Hikayat Panji Kuda Semirang :

Pada zaman dahulu kala ada dua kerajaan yang aman dan sentosa. Kerajaan itu adalah kerajaan Kuripan dan kerajaan Daha. Namun kedua kerajaan tersebut belum dikarunia anak untuk meneruskan tahta kerajaan, lalu sang raja bertapa selama 40 hari 40 malam dan meminta kepada dewa-dewa agar diberikan keturunan. Tak lama kemudian permaisuri dari kerajaan Kuripan pun hamil dan melahirkan seorang anak laki yang diberi nama Raden Panji Inu Kertapati. Raden Panji Inu Kertapati mempunyai paras yang tampan dan gagah. Mendengar kabar tersebut raja dari kerajaan Daha pun melakukan hal yang sama dan di karuniai seorang anak perempuan yang cantik jelita dan diberi nama Candra Kirana. Candra Kirana berwajah cantik dan rupawan. Guna mempererat hubungan antara kerajaan Kuripan dan Daha, maka raja Kuripan berniat mempertunangkan Raden Panji Inu Kertapati dengan anak putri dari kerajaan Daha yang bernama Candra Kirana.

Setelah mendapat kabar gembira mengenai pertunangan kedua anak kerajaan tersebut, kedua kerajaan berpesta menyambut kabar gembira tersebut sampai kedua raja melupakan janjinya kepada dewa seperti memberi hadiah kepada orang suci dan melepaskan kerbau dan kambing yang diberi tanduk emas dipekarangan candi suci ketika mereka diberi keturunan. Melihat keadaan tersebut Batara Kala dan Batara Gurupun murka dan memberikan bencana kepada kedua kerajaan.


(19)

Ketika Raden Panji Inu Kertapati sedang melakukan perburuan dihutan ia bertemu dengan seorang gadis cantik yang bernama Martalangu. Martalangu adalah salah seorang dewa yang dihukum dan diturunkan kebumi dengan sosok seorang wanita guna mempengaruhi Raden Panji Inu Kertapati dan memberi kesedihan. Martalangu merupakan anak perempuan dari seorang kepala desa Pengapiran. Melihat kecantikan Martalangu Raden Panji Inu Kertapati pun jatuh cinta dan Menjalin hubungan.

Mendengar kabar tersebut Permaisuri dari kerajaan Kuripan pun marah dan membunuh Martalangu dengan sebuah keris ketika ia sedang tidur. Setelah itu permaisuri pun menyesal karena melihat kecantikan Martalangu. Mendengar kabar tersebut Raden Panji Inu Kertapati pun bersedih. Kesedihan Raden Panji Inu Kertapatipun berlanjut setelah mendengar kabar bahwa Candra Kirana menghilang dari kerajaan Daha. Candra Kirana terdampar di gunung Jambangan dan di robah oleh dewa menjadi sesosok laki-laki dan merubah nama dengan Endang Sangulara. Perbatasari yang merupakan anak laki-laki dari kerajaan Dahapun kabur untuk mencari saudaranya dan bertemu dengan Endang Sangulara di Pandan Salas. Namun Perbatasari tidak lama dan meninggalkan Endang Sangulara.

Diperjalanan Raden Panji Inu Kertapati bertemu dengan Endang Sangulara di Pandan Salas, dan sekembalinya Perbatasari terjadi peperangan antara Raden Panji Inu Kertapati dengan Perbatasari. Perbatasaripun kalah dan


(20)

meninggal. Melihat saudaranya meninggal Endang Sangulara pingsan. Setelah itu mereka terpisah dan Endang Sangulara dirobah menjadi seorang wanita cantik bernama Panji Semirang dan ia mempersembahkan diri ke kerajaan Gegelengan. Perbatasari pun dihidupkan kembali oleh Batara Kala dan dipertemukan dengan Panji Semirang di Kerajaan Gegelengan. Panji Semirangpun merobah dirinya kembali menjadi seorang Candra Kirana.

Setalah melanjutkan perjalanan Raden Panji Inu Kertapati juga ikut mempersembahkan dirinya ke kerajaan Gegelengan. Setelah ia tahu bahwa raja Gegelengan itu adalah Candra Kirana dari kerajaan Daha yang hilang, maka Raden Panji Inu Kertapati menyampaikan niatnya untuk mempersunting Candra Kirana dan mengajaknya pulang ke Kuripan lalu mereka menikah (Poerbatjaraka, 1968:3).

Tari topeng berkembang di daerah pantai utara Jawa Barat, dari Cirebon sampai ke Banten. Tari topeng semula tumbuh subur di wilayah kekuasaan kerajaan Cirebon: Kuningan, Majalengka, dan Indramayu. Penyebarannya juga sampai ke beberapa daerah di Jawa Barat dari bagian utara sampai ke selatan. Kini tari topeng hanya terdapat di beberapa daerah saja, terutama di Cirebon, sebagian kecil Kabupaten Majalengka, Kabupaten Subang dan Kabupaten Indramayu.

Topeng, sebagai sarana transformasi dramatis seseorang untuk memiliki identitas lain, mungkin memiliki peringkat tertua kebudayaan manusia. Ada bukti dari penggunaan masker jauh sebelum orang mulai mengolah tanah, dan tentu saja


(21)

sebelum mereka menemukan tentang ekstraksi dan penggunaan logam. Salah satu contoh yang paling terkenal seni Palaeolithic adalah lukisan yang ditemukan di Trois Freres Gua di selatan Perancis. Seorang tokoh menari memakai tanduk rusa di kepalanya dan apa yang mungkin dianggap sebagai topeng di wajahnya. Tangannya yang tersembunyi di kaki beruang dan tubuhnya dalam kulit binatang dilengkapi dengan ekor. Bagian lain dari gambar dapat juga diartikan sebagai bagian dari tubuh berbagai hewan. Ini adalah pertama kalinya ditemukan sebuah gambar yang bisa ditafsirkan sebagai masker lengkap, meskipun penjajaran surealistik elemen hewan terasa sedikit aneh namun bisa juga menjadi representasi dari tokoh mitos, mimpi atau dukun dalam keadaan trance. Namun dengan demikian, masker merupakan salah satu interpretasi yang mungkin dapat di tujukan untuk gambar yang terdapat di Trois Freres Gua di selatan Perancis. (Hamlyn, 1992 : 6 ).

Gambar 1.1 Seni Palaeolithic lukisan yang ditemukan di Trois Freres Gua di selatan Perancis.


(22)

Topeng tidak hanya dipakai untuk menutupi wujud asli pemakainya, seperti untuk memerankan tokoh tertentu dari suatu lakon sebagai kesenian, melainkan juga terkait dengan ritus-ritus, sosial dan kerohanian. Mitologi atau sejarah lokal sering tergambarkan dari seni pertunjukan topeng, baik yang berhubungan dengan dewa-dewa, leluhur atau binatang. Oleh karena itu, budaya topeng dapat dilihat sebagai salah satu alat yang membuat terjadinya kesinambungan antara kehidupan dahulu, sekarang dan akan datang. Artinya, budaya topeng merupakan salah satu media pencatat sejarah, yang seumuran dengan peradaban manusia.

Sejak berkembangnya teknologi maritim yang semakin lama semakin canggih pada masa peradaban manusia, jejak-jejak budaya penduduk kawasan Nusantara menyebar di seluruh kawasan laut Hindia dan Pasifik, sejak Aborigin (Australia) di Selatan (60.000 SM), Madagaskar di barat sejauh 6500 km (sebelum permulaan masehi), Kepulauan Paskah di timur, Hawai di utara, dan Selandia Baru di selatan. Dengan perahu bercadik manusia asli Nusantara mengembara kebeberapa kawasan di dunia dan akhirnya kembali serta membawa beberapa kebudayaan yang dianggap cocok dengan kebudayaan yang ada di Nusantara, contohnya ajaran Hindu-Budha yang sangat melekat pada kesenian tari topeng yang ada di daerah Cirebon.

Topeng memiliki beragam arti dan makna, sehingga sulit untuk membuat sebuah definisi yang dapat berlaku umum, baik dari sisi bentuk maupun fungsinya. Maka hal ini berarti peran dan fungsi topeng pun berbeda-beda pula. Topeng yang digunakan dalam pertunjukan, belum tentu hanya merupakan


(23)

ekspresi seni dari seorang seniman pembuat atau pemainnya, tetapi juga berkaitan dengan sistem kepercayaan.

Pada kegiatan penelitian ini, objek yang dikaji adalah sebuah produk kesenian dari seni pertunjukan, yaitu topeng dari kesenian Topeng Menor. Topeng Menor merupakan sebuah tarian yang berasal dari daerah Cirebon. Seiring perkembangannya tari topeng kemudian tari topeng tersebar sampai ke daerah Kabupaten Subang. Menurut kamus besar bahasa Indonesia kata Menor memiliki arti yaitu mencolok cara berdandannya atau berhias-nya (dengan berpakaian berwarna terang yang berwarna-warni)”. Menor adalah nama panggilan bagi Mimi Carini yang diberikan oleh ayahnya yang bernama Sutawijaya karena merupakan satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara. Berdasarkan penuturan Mimi Carini panggilan itu muncul juga bersumber dari masyarakat sekitar yang sejak kecil sering melihat Mimi Carini pandai berdandan atau bersolek.

Mimi Carini merupakan salah satu anak tertua dari empat bersaudara (Sunaryo, Supendi, dan Komar), hasil pernikahan dari orang tuanya yang bernama Sutawijaya dan Sani. Ibu dari Mimi Carini yang bernama Sani berasal dari daerah Pamayahan, Kabupaten Indramayu. Ibu dari seorang Mimi Carini adalah seorang dalang topeng yang cukup terkenal. Dalang Topeng adalah sebutan yang lazim digunakan untuk menunjuk penari topeng. Kata dalang mempunyai makna untuk menunjuk status kegiatan seseorang yang berkaitan dengan keterampilan memainkan suatu kesenian.


(24)

Sementara ayahnya yang bernama Sutawijaya adalah seorang dalang wayang kulit. Sutawijaya masih mempunyai pertalian saudara dengan Mimi Rasinah, yang merupakan seorang dalang topeng terkenal dari daerah Pekandangan Indramayu. Selain itu Sutawijaya juga masih memiliki pertalian saudara dengan dalang-dalang wayang terkenal seperti Rusdi dan Tomo, dari daerah Indramayu. Pada awalnya kesenian ini memiliki nilai yang sangat sakral, terutama bagi sebagian masyarakat pendukungnya yang tetap menggunakan kesenian ini sebagai sarana ritual tradisi.

Ciri khas dari kesenian ini adalah tampilnya lima tarian dengan lima karakter dalam satu pertunjukan yang mencerminkan suatu siklus hidup manusia dari bayi hingga dewasa, serta penggunaan kedok ditambah beberapa unsur lainnya, yaitu Tekes atau Sobrah (penutup kepala pada penari topeng saat melakukan pertunjukan), Mahkuta (hiasan pada bagian sobrah yang terdiri dari ttatahan kulit yang disungging dengan ornamen berbentuk selur-selur berwarna-warni bernuansa keemasan), Jamang (tatahan kulit yang melingkar pada bagian bawah sobrah dengan berbentuk mahkota dengan motif stilasi tumbuhan), Rarawis (terdiri dari 14 buah ronce), Tutup Rasa (ikat pinggang yang digunakan oleh penari yang terbuat dari logam yang berwarna kuning emas atau pengikat yang berwarna hitam yang berhias manik-manik), Krodong atau Mongkrong (kain atau selendang pada bagian dada hingga punggung), baju, celana dan kain sinjang

(penutup pada bagian tubuh bawah yang digunakan oleh penari yang diikatkan pada bagian pinggang). Agar memiliki nuansa berbeda dengan tari Topeng Cirebon dalam iringannya tari Topeng Menor di Kabupaten Subang terdapat


(25)

musik-musik Bajidoran, serta penambahan tarian Klana Udeng yang merupakan hasil cipta atau kreasi penari agar berbeda dengan yang ada di Cirebon. Selain itu salah satu keunikan Topeng Menor adalah menggunakan bahasa Sunda yang merupakan bahasa dominan di daerah berkembangnya kesenian ini. Jika di Cirebon dan Indramayu, bahasa yang dipergunakan untuk bodoran maupun dialog adalah bahasa Jawa, akan tetapi Topeng Menor menggunakan bahasa Sunda karena topeng ini berada dilingkungan etnis Sunda yang kebanyakan masyarakatnya tidak mengerti bahasa Jawa Cirebon. Hal ini tidak berarti bahwa dalang topeng dan para nayaganya tidak bisa berbahasa Jawa. Mereka umumnya sangat fasih berbahasa Jawa Cirebon. Inilah salah satu keunikannya, dan boleh jadi pemakaian bahasa Sunda adalah bagian dari cara mereka beradaptasi dengan lingkungan mereka di Kabupaten Subang.

Gambar 1.2. Visual Topeng Menor (Sumber: Dokumentasi penulis)

Pada penelitian ini penulis akan mengkaji hubungan unsur-unsur visual yang memiliki nilai kesakralan (suci) pada visual Topeng Menor sejak awal kemunculan sampai saat ini serta mengetahui perubahan yang terjadi pada visual topeng.


(26)

Gambar 1.1. Bagan Skema Berfikir (Sumber: Penulis 2015)

1.2. Rumusan Masalah

Sebuah topeng lahir sebagai salah satu objek material kebudayaan yang telah dimulai dari masa lampau hingga berkembang sampai saat ini. Selain berfungsi sebagai penutup wajah, topeng berperan juga sebagai media komunikasi pesan visual sebuah cerita yang berlandaskan budaya tertentu, atas dasar tersebut objek penelitian ini menjadi penting untuk dikaji antara lain :

1. Pada visual topeng terdapat kesakralan-kesakralan yang masih dianut dan dipahami oleh penarinya.

2. Kesakralan pada visual topeng menor dapat mempengaruhi penarinya dalam memerankan karakter tarian.

Kesenian Tradisional Cirebon

Asumsi

Topeng Menor

Teori Bahasa Rupa dan analisis

komparatif

Nilai-nilai kesakralan pada visual topeng

menor

Kesimpulan

Analisis kualitatif Bahasa Rupa Primadi

Tabrani Pendekatan nilai-nilai kesakralan pada visual topeng Hasil Analisa Tari Topeng Cirebon dan

pesebarannya sampai ke Subang

Kebudayaan dan Sejarah seni pertunjukan di Subang


(27)

Berdasarkan butir-butir pokok diatas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana Bentuk kesakralan pada visual topeng menor? 2. Apakah topeng dapat mempengaruhi penarinya?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui seberapa kuat unsur kesakralan pada visual topeng menor. 2. Mengetahui apakah topeng dapat mempengaruhi penarinya.

3. Mengetahui perubahan bentuk rupa topeng dari sudut pandang desain komunikasi visual.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sebuah data tertulis tentang visual topeng Menor yang digunakan oleh penari tari topeng Menor.

2. Dapat mendeskripsikan makna serta simbolisasi yang ada dalam setiap unsur visual pada sebuah topeng Menor, khususnya di wilayah yang dijadikan objek penelitian.

3. Manfaat penelitian untuk meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap kebudayaan seni tari topeng dengan cara memaparkan makna visual topeng Menor.

4. Selain itu menjadi bahan literatur dalam ilmu desain dan diharapkan menjadi rujukan bagi pengembangan penelitian lanjutan, baik sebagai rujukan dalam metode maupun objek penelitiannya.


(28)

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Luasnya permasalahan penelitian yang akan diteliti, membuat peneliti merasa perlu membuat batasan ruang lingkupnya, sebagai berikut :

1. Dari beberapa wilayah yang memiliki tari topeng di Indonesia, penulis tertarik untuk menjadikan tari topeng menor sebagai objek penelitian. Mimi Carini adalah satu-satunya pewaris tari topeng di Kabupaten Subang yang masih hidup, sehingga dapat memahami struktur terdahulu pada pemakaian topeng, kegunaan, serta makna-makna yang terkandung di dalamnya.

2. Jenis pertunjukan topeng yang dipilih sebagai objek adalah jenis Topeng Babakan, yang menampilkan tarian lepas atau tunggal, disuguhkan perbabak, tidak mementingkan isi cerita, melainkan menampilkan keindahan gerak penari dan diselingi oleh bodoran atau lawakan. Untuk memudahkan penelitian, peneliti membatasi penelitian pada topeng menor hanya sebatas hubungan antara visual/rupa dan kesakral pada tari topeng menor.

1.6. Hipotesa Kerja

Dari aspek visual, topeng yang digunakan oleh penari terdiri dari berbagai stilasi bentuk objek benda, hewan dan lingkungan alam sekitar yang dapat dicermati sebagai hasil olah fikir dari si penciptanya. Diduga unsur-unsur visual yang ada pada topeng merupakan hasil peleburan dari berbagai bentuk kebudayaan yang ada pada masa terbentuknya kesenian ini, diantaranya :


(29)

1. Makna dan simbol yang ada di dalam sebuah topeng menyiratkan tentang filosofi hidup perilaku manusia dan hubungannya dengan penciptanya dalam bentuk tingkatan keimanan dan nafsu manusia.

2. Perubahan yang terjadi dalam unsur visual topeng merupakan ekspresi sikap seniman dan penari topeng terhadap perkembangan zaman serta respon dari sikap masyarakat pendukungnya, tetapi unsur-unsur tersebut masih mengacu pada bentuk yang sudah ada dan digunakan pada masa perkembangan kesenian ini.

3. Bentuk rupa visual topeng mengacu pada kesenian wayang kulit Cirebon. 4. Pada visual topeng menor terdapat kesakralan yang mempengaruhi penarinya


(30)

1.7. Kerangka Penelitian

Alur kerja penelitian dapat digambarkan melalui bagan berikut :

Gambar 1.2. Bagan alur kerja penelitian Judul Penelitian

Topeng Menor Antara Visual Dan Kesakralan

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui

seberapa kuat unsur kesakralan pada visual topeng menor.

2. Mengetahui apakah topeng dapat mempengaruhi

penarinya. 3. Mengetahui

perubahan bentuk rupa topeng dari sudut

pandang desain

Rumusan Masalah

1. Bagaimana Bentuk kesakralan pada visual topeng menor?

2. Apakah topeng dapat

mempengaruhi penarinya?

Ruang Lingkup Penelitian

Untuk memudahkan penelitian, peneliti membatasi penelitian pada

topeng menor Kab. Subang hanya sebatas

hubungan antara visual/rupa dan kesakralan

pada tari topeng menor Kab. Subang.

Metodologi

• Analisis kualitatif

Bahasa Rupa Primadi Tabrani.

• Pendekatan nilai-nilai kesakralan pada visual topeng.

Analisis Data


(31)

1.8. Data-Sumber Data-Pengolahan Data

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan pencarian data yang terbagi atas data primer dan sekunder. Dalam penelitian kualitatif kedudukan data menempati peringkat tertinggi dan langkah pertama yang harus diambil setelah merumuskan masalah adalah menentukan jenis data yang akan digunakan, mencari sumber data dan melakukan kritik terhadap sumber, maka jenis data yang diolah adalah jenis data primer dan sekunder.

1. Data primer berupa dokumentasi, gambar dan foto yang didapat dari penari topeng di wilayah Subang, pemerhati kesenian topeng, budayawan dan narasumber lain, baik dari lingkungan praktisi maupun akademis.

2. Data sekunder, sumbernya berasal dari studi literatur yang berkaitan dengan budaya Cirebon serta kesenian topeng di wilayah Cirebon, seperti majalah, jurnal, makalah penelitian, surat kabar, foto-foto dan lain sebagainya. Kegiatan wawancara digunakan untuk melengkapi data-data dan jawaban-jawaban tersebut akan di reduksi dan di analisis.

3. Narasumber : Penari topeng Menor dan pemilik sanggar tari topeng (sanggar seni cipta pusaka Kab. Subang), kepala balai pengelolaan taman budaya jawa barat, budayawan topeng sunda.

4. Area : di sanggar seni cipta pusaka dan pementasan di dago tea house. 5. Dokumen :

- Buku rangkuman revitalisasi topeng Menor yang ditulis oleh Toto Amsar Suanda.


(32)

- Data video pementasan di Kabupaten Subang dan dago tea house. - Foto-foto pementasan di Kabupaten Subang dan dago tea house

Proses pencarian data akan dilakukan penulis dengan meninjau langsung pada sanggar lokal, penari topeng dari lingkungan akademis, serta penari yang aktif di Kabupaten Subang. Informasi yang bersifat lisan dan tertulis juga akan dicari dari pihak balai pengelolaan dinas kebudayaan Jawa Barat sebagai pusat konservasi budaya tertinggi di wilayah Bandung.

Kegiatan dokumentasi serta membuat rekontruksi dari gambar-gambar yang didapat akan dilakukan penulis sebagai data untuk mempermudah proses deskripsi dan analisa terhadap topeng tersebut. Sumber dari kegiatan analisa akan diambil dari keterangan para narasumber baik yang sifatnya tertulis maupun lisan, disertai studi literasi pustaka-pustaka dan hasil dokumentasi.

Untuk kegiatan analisa akan dilakukan dengan melakukan klasifikasi data-data yang telah diperoleh langsung dari sumber primer yaitu penari topeng Mimi Carini. Klasifikasi akan dilakukan dengan cara membaca simbol dan makna pesan visual yang ingin disampaikan topeng. Setelah proses klasifikasi, maka semua unsur akan di rekontruksi atau digambar ulang, diharapkan langkah tersebut akan mempermudah penulis untuk melakukan kegiatan analisa pada objek kajian.


(33)

1.9. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Setiap bab menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian secara sistematis dan runut, yaitu :

Bab I Pendahuluan

Bab ini menguraikan latar belakang masalah mengenai fenomena atau gejala permasalahan yang dijadikan topik untuk dikaji (topeng Menor), kemudian merumuskannya ke dalam suatu uraian permasalahan yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran (jawaban) atas masalah yang diteliti, pendekatan dan metode yang digunakan serta alur penelitian.

Bab II Tinjauan Pustaka

Pada bab ini peneliti akan memaparkan konsep yang dipergunakan serta pisau bedah untuk mengkaji unsur visual pada topeng yang bersifat teoritis. Pada bab ini terdiri atas beberapa sub-bab yang isinya akan memaparkan teori-teori yang berkait dengan judul penelitian, seperti penelitian yang sudah ada sebelumnya, penggunaan simbol dan warna pada topeng, serta cerita mengenai topeng.

Bab III Metode Penelitian

Merupakan penjelasan metode yang berisikan tentang uraian tentang pendekatan keilmuan yang digunakan sampai dengan analisis pengolahan data. Dan tentunya penjelasan tentang data dan sumber data yang diperoleh. Pada bab ini menjelaskan mengenai bagaimana perkembangan topeng secara umum serta mengetahui kaitan antara topeng dan


(34)

simbol-simbol yang sudah terakulturasi di Kabupaten Subang antara kebudayaan dengan ajaran jawa kuno yang dibawa dari Cirebon dengan kebudayaan lokal Sunda. Selain itu juga paparan deskriptif tentang seni pertunjukan topeng yang ada di Kabupaten Subang, yang berisi tentang paparan secara deskriptif tentang seni pertunjukan dan istilah bebareng pada kesenian topeng. Pemaparan dimulai dari perkembangan topeng, hal ini akan membawa peneliti untuk memperhatikan ada banyak faktor pada visual topeng. Setelah itu pemaparan bagaimana proses pewarisan topeng, identitas penari topeng, perilaku spiritual penari topeng, sampai dengan riwayat cerita Panji sebagai dasar tari topeng Menor Subang. Pembahasan lainnya juga menyinggung kaitan antara warna dan simbol pada topeng.

Bab IV Analisa Visual Topeng

Pada bab ini berisikan bahasan mendalam mengenai hasil analisis visual topeng yang berkaitan dengan unsur rupa visual yaitu bentuk, warna, simbol serta hasil perbandingan bentuk topeng Menor yang dibuat pada tahun 70an di Cirebon dengan hasil topeng Menor yang dibuat di Kabupaten Subang.

Bab V Kesimpulan dan Saran

Pada bab ini berisikan kesimpulan dari keseluruhan analisis yang bersumber dari hasil temuan penelitian, serta menyertakan harapan dan saran dari tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini.


(35)

22 2.1.1. Penelitian tentang tari topeng

Beberapa peneliti sebelumnya sudah ada yang mengkaji mengenai tari topeng, baik dari kostum, gerakan dan fungsi, Seperti Usep Kustiawan (ITB, 1996) yang meneliti Topeng sebagai Bentuk Seni Rupa pada Kesenian Tradisional Cirebon, penelitian Ayoeningsih Dyah W (ITB, 2007) yang meneliti Unsur Visual dan Makna Simbol pada Kostum Tari Topeng Babakan Keni Arja di Slagit Cirebon, dan Toto Amsar Suanda (STSI, 2009) yang meneliti Motivasi dan Cara Pewarisan Nilai-Nilai Estetis Topeng di Kalangan Dalang Topeng, Willy Surya Sani (Unikom, 2013) yang meneliti Tari Topeng Menor Cipunagara (Melalui Media Buku Fotografi Tari Topeng Menor).

Merujuk dari penelitian yang sudah ada sebelumnya dan guna melanjutkan penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh penulis, dalam hal ini penulis melakukan penelitian mengenai tari topeng yang berfokus pada bentuk hasil kriya kesenian tersebut, yaitu “Topeng”. Penelitian ini lebih menekankan bagaimana bentuk perubahan visual topeng Menor sebagai objek yang diteliti selama perjalanan serta bagaimana pengaruh perubahan tersebut terhadap penghayatan penari dalam mempertahankan kesakralan tarian.


(36)

2.2. Topeng Sebagai Penutup Wajah

Mungkin orang tidak akan merasa asing dengan istilah "topeng", karena kata ini cukup umum dipakai dalam bahasa sehari-hari. Perampok banyak yang bertopeng untuk menyembunyikan identitas dirinya, sedangkan penyelam harus memakai topeng saluran udara untuk kegunaan praktis agar dapat bernafas di dalam air; demikian juga seperti dokter, perawat, pekerja di pabrik kimia, dan tukang las, umumnya memakai topeng sebagai pelindung untuk membatasi kontak antara dirinya dengan objek luar yang dianggap berbahaya. Dalam dunia kesenian, topeng pun tidaklah asing, karena terdapat di beberapa wilayah budaya, hanya tentu saja, topeng punya makna yang berbeda dengan topeng untuk kegunaan praktis di atas, walaupun terdapat aspek-aspek persamaannya. Topeng tidak hanya dipakai untuk menutupi wujud asli pemakainya, seperti untuk memerankan tokoh tertentu dari suatu lakon sebagai kesenian, melainkan juga terkait dengan ritus-ritus sosial-kerohanian. Mitologi atau sejarah lokal sering tergambar dari pertunjukan topeng, baik yang berhubungan dengan dewa-dewa, leluhur, atau binatang (totem). Oleh karena itu, budaya topeng dapat dilihat sebagai salah satu alat hubungan atau kesinambungan antara kehidupan lama, masa kini, dan mendatang. Artinya, budaya topeng merupakan salah satu media pencatat sejarah, yang seumur dengan peradaban manusianya. Dengan kata 1ain, melalui pengkajian seni topeng, akan diperoleh pemahaman mengenai nilai-nilai kemanusiaannya. "Topeng" memiliki beragam arti dan makna, sehingga sulit untuk membuat sebuah definisi yang dapat berlaku umum, baik dari sisi bentuk maupun fungsinya. Jika di atas dikatakan bahwa topeng terdapat di mana-mana,


(37)

dimiliki oleh hampir seluruh lingkup sosial-budaya yang berbeda-beda, hal ini berarti peran dan fungsi topeng pun berbeda-beda pula. Topeng yang dipakai dalam pertunjukan, belum tentu hanya merupakan ekspresi seni dari seorang seniman pembuat atau pemainnya, tetapi berkaitan dengan proses tertentu (misalnya berpuasa) yang berhubungan dengan sistem kepercayaan. Dengan kesadaran bahwa kesenian memiliki beragam makna, maka untuk memahami pertunjukan seperti topeng Menor diperlukan berbagai pendekatan, karena, dalam topeng, idiom_seninya itu tidak tunggal. Di dalamnya terdapat tari, musik, drama, dan lawakan, yang diungkapkan oleh pemain dan ditangkap oleh penonton dengan cara dan idiom yang berbeda-beda. Penanggap, undangan, pengurus desa, anak-anak, dan pedagang, mempunyai hubungan tersendiri dengan tontonan. Di balik kesenian itu masih terdapat aspek-aspek lain, yaitu pertanian, ekonomi, dan kepercayaan yang saling berkaitan.

Gambar 2.1. Tampilan tampak belakang topeng Menor (Sumber: Dokumentasi Penulis)


(38)

Penutup muka yang dikenakan oleh para penari disebut topeng atau kedok. Cara penggunaan topeng adalah dengan cara digigit dari arah dalam serta pada bagian belakang mulut terdapat karet yang menjulur sebagai tempat untuk menggigit. Untuk melihat pada bagian mata terdapat celah sempit untuk melihat kearah luar oleh penari. Istilah topeng sendiri bagi masyarakat sunda berasal dari kata topeng-gepeng, atau sumber lain mengatakan bahwa topeng berasal dari kata taweng atau towing yang berarti menutupi atau tertututp. Penunjukan nama topeng juga bahkan diberikan pula pada si pelaku penarinya, misalnya dalang topeng Rasinah, sering mereka sebut “topeng Rasinah”, begitu juga yang lainnya.

2.3. Perwujudan Topeng

Dilihat dari wujudnya ditemukan macam-macam topeng dalam kebudayaan di dunia ini, baik ditinjau dari segi ukuran, bentuk, bahan pembuatan, warna maupun dari cara memakainya. Ada topeng yang persis seukuran muka, ada yang besar sekali, dan juga ada yang sangat kecil, hanya menutupi atau menempel pada sebagian muka. Bahkan ada juga yang berlapis, yaitu satu topeng menutup topeng yang lainnya, seperti yang terdapat dalam budaya topeng di Indian Amerika. Topeng besar yang melebihi ukuran muka manusia, sering menjadi satu dengan kostum atau bagian tubuh iainnya sehingga menutup seluruh tubuh pemakainya, misalnya, topeng barong di Bali, berokan di Cirebon, barongsay Cina, dan sebagainya. Sebaliknya, banyak juga topeng berukuran kecil yang hanya menutup sebagian muka saja, seperti topeng-topeng lucu yang tersebar di budaya Jawa, Bali, Madura, Lombok, dan Melayu. Bahkan ada yang


(39)

sangat kecil, hanya sebesar bola pingpong yang ditempelkan di hidung pelawak sirkus atau badut.

Gambar 2.2. Topeng Barong dari Bali, Berokan dari Cirebon, Barongsai dari Cina (Sumber: http://s15.postimg.org/, http://3.bp.blogspot.com/-, http://www.jejakislam.com)

Dari sisi bentuk atau gayanya, mungkin topeng ada yang sangat realistis, abstrak, dekoratif; ada pula yang menggambarkan makhluk manusia, dewa-dewa, binatang, ataupun makhluk-makhluk aneh yang imaginatif. Ada macam-macam bahan yang digunakan untuk membuat topeng, yakni dari rotan, daun-daunan, bulu burung, batu, logam, tanah liat, kulit binatang, dan kayu, rerumputan, kertas, karet, balon, dan plastik. Topeng tidak jarang dibuat dari bahan yang sangat mahal, seperti emas, tapi banyak pula dari bahan sangat murah seperti kertas dan kulit kayu atau buah-buahan yang sudah menjadi sampah. Cara membuatnya pun bervariasi, dari mulai yang sangat sulit dan rinci, dengan teknik ukiran dan lukisan yang rumit, sampai pada yang dibuat secara mudah, seperti dengan guntingan kertas atau kain, rangkaian daun-daunan, dan irisan buah labu atau kulit jeruk.

Topeng tidak selamanya dipakai untuk menutupi muka, dengan cara digigit, diikat dengan tali, atau ditempel dengan perekat. Akan tetapi banyak topeng dipakai di luar posisi muka pemainnya: ada yang dipegang, dipakai di atas


(40)

kepala sehingga menyerupai topi atau helm, ditempelkan di bagian belakang kepala, di dacia atau di perut, dan disambungkan dengan tongkat. Pada pertunjukan topeng di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali sebagian besar dikenakan dengan ikatan tali. Sementara topeng Cirebon dikenakan dengan cara menggigit "canggem". Canggem terletak pada bagian dalam topeng Cirebon, tepatnya di bagian dalam mulut topeng. Oleh karena itu perwujudan keseluruhannya pun menjadi bermacam-macam.

2.4. Muka

Walaupun ekspresi tubuh manusia bukan hanya melalui muka, melainkan oleh sikap (gesture) dan gerak dari seluruh tubuh, tapi muka menjadi pusat perhatian (center of interest) yang utama, baik dalam komunikasi sehari-hari maupun dalam dunia pertunjukan. Dalam topeng selalu ada unsur muka (lengkap atau tidak), baik manusia maupun binatang. Bentuk topeng yang paling banyak adalah yang dekat dengan struktur muka manusia, karena itu pula, banyak tarian yang memakai topeng memerankan seorang atau beberapa tokoh yang berhubungan dengan karakter atau ekspresi muka manusia. Jika suatu topeng ditarikan, maka kita dapat melihat adanya hubungan antara si penari dengan topeng itu, baik dari segi bentuk topeng dan gerak penarinya, maupun dari hal-hal di luar itu. Ketika ia menari tanpa topeng dan dengan topeng, terjadi perbedaan yang cukup besar. Banyak penari yang mengatakan bahwa ketika ia memakai topeng, perasaan keraguan, "kesopanan" (tata hubungan) pribadi dengan penonton yang kebanyakan sudah kenal itu menjadi hampir luntur. Dengan topeng yang menutupi mukanya, ia merasa lebih bebas dalam mengekspresikan karakternya.


(41)

2.5. Muka Ganda: Pemain dan Topeng

Sebagian besar topeng digunakan untuk menutupi muka pemainnya, sehingga muncul sebuah sosok perwujudan baru yang berbeda. Di sisi lain, terdapat pula topeng yang dipakai di atas kepala, seperti topeng-topeng binatang dalam tradisi Indian Amerika. Muka pemainnya secara sengaja tidak ditutupi, bahkan tetap menjadi bagian dari "seni pertunjukan." Oleh karena itu, cukup sulit untuk menentukan muka yang mana yang sebenarnya dimaksudkan sebagai perwujudan seninya. Jelas, dalam kasus ini, keduanya dianggap penting. Apabila suatu perwujudan itu dianggap harus jelas, maka muncul kegandaan makna. Dalam kesenian, hal-hal yang tidak jelas ini banyak sekali ditemukan, karena sebuah kesenian memerlukan penafsiran. Sehingga ketidak jelasan seperti ini tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang tidak logis atau tidak rasional, melainkan harus dipahami bahwa kesenian punya sistem logika tersendiri. Hal yang hampir serupa dengan tradisi topeng Indian-Amerika itu adalah "topeng" dalam bunraku, sebuah seni pertunjukan boneka di Jepang. Dalam bunraku satu boneka dimainkan oleh 3 orang, dan seorang di antaranya adalah master atau tokoh ahli. Dua orang yang dianggap "pemain-pembantu" memakai pakaian serba hitam dan memakai "topeng" hitam yang menutupi seluruh kepalanya, sehingga mereka tidak tampak di panggung yang berlayar hitam. Akan tetapi master-nya tidak memakai penutup muka. Persamaan bunraku dengan kasus topeng Indian Amerika dapat disaksikan pada dua figur yang satu sama lain tidak berhubungan apabila dikaitkan dengan tokoh dari cerita yang dilakonkan. Akan tetapi, pada


(42)

kasus bunraku tampaknya muka ganda tersebut lebih bersifat teknis agar yang menonjol adalah masternya yang tanpa topeng.

Gambar 2.3. Bunraku satu boneka si mainkan tiga orang di Jepang (Sumber: http://jepang.panduanwisata.id)

Dalam pertunjukan topeng Cirebon, kedua muka itu tampil tidak secara bersamaan, tetapi bergantian oleh seorang penari: seniman menari dahulu tanpa topeng, kemudian diteruskan dengan memakai topeng. Yang menarik di sini, tarian tidak bertopeng itu bukanlah semata sebagai pendahuluan, tambahan, atau sampingan, melainkan merupakan bagian yang tidak kalah pentingnya dengan bagian yang bertopeng. Hal ini dapat dilihat dari kuatnya pola tarian tanpa topeng, yang berbeda antara satu karakter dengan karakter lainnya. Di sini proses transformasi/pembebasan diri penari dari egonya sendiri, berlangsung secara eksplisit, untuk kemudian memuncak pada dikenakannya topeng yang sesuai dengan karakter yang dipilihnya; proses ini terjadi hampir pada seluruh karakter topeng.


(43)

2.6. Topeng Setengah Muka

Penampakan dua elemen muka (penari dan topeng) dapat terlihat dalam topeng-topeng setengah muka. Topeng jenis ini terdapat di banyak tempat. Dengan hanya sebagian muka yang tertutup, maka tampilan keseluruhan muka terbentuk atas dua bagian: topeng dan muka penarinya yang tampak. Bagian muka penari yang tampak itu, seperti mata dan mulut, dapat membuat ekspresi yang berubah-ubah. Topeng serupa ini banyak terdapat pada pertunjukan topeng pajegan di Bali, yakni untuk topeng Bondres (Seni pertunjukan topeng yang sering menampilkan tokoh-tokoh yang lucu). Pada saat penggunaan topeng dapat terlihat adanya perubahan ekspresi melalui manipulasi mata, mulut, dan dagu pemainnya, dari satu topeng yang sama.

Gambar 2.4 Topeng Bondres Bali

(Sumber: http://i.ytimg.com/ dan http://www.balimaskmaking.com)

Pada umumnya kehadiran topeng untuk peran yang lucu, seperti panakawan (pengiring, pelayan dari suatu tokoh bangsawan), tokoh kasar, kakek atau nenek, tampak sangat penting. Hampir semua jenis pertunjukan topeng di Jawa mempunyai topeng sejenis ini. Bahkan, ada pertunjukan topeng yang tidak lagi memakai topeng untuk karakter utama dalam cerita (bangsawan, satria) tetapi


(44)

tetap mempunyai peran yang memakai topeng setengah muka, seperti untuk Jantuk dalam topeng Betawi. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang paling terkenal adalah sepasang topeng setengah-muka, Bancak dan Doyok, atau Tembem dan Pentul. Di Cirebon, Tembem dan Pentul ini pun pernah dikenal, walaupun kini jarang sekali dimainkan dalam topeng. Dalam wayang wong Cirebon, yang sejak tahun 90-an sudah tidak hidup lagi, Tembem dan Pentul ini menjadi tokoh Semar dan Gareng. Jika dipertunjukkan, bodor yang memakai topeng Pentul ini biasanya sebagai panakawan dengan nama Patrajaya, pengiring Pamindo. Pentul dipakai untuk peran Jaka Bluwo, yaitu sebagai penyamaran Panji Inu Kartapati.

2.7. Pewarisan Topeng Cirebon

Bertahannya kesenian topeng di Cirebon sebagai tradisi yang tetap diusung oleh masyarakat pendukungnya, sangat berkaitan dengan sistem pewarisan tari topeng yang terjadi, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal pewarisan ini dilakukan oleh pendukung utama tari topeng itu sendiri melalui sistem keluarga yang bersifat informal, sedangkan secara eksternal dilakukan melalui sosialisasi dan perluasan apresiasi secara formal melalui sisterti pendidikan. Proses pewarisan dalam sistem keluarga terjadi secara turun temurun atau melalui cara pengajaran tradisional yang bersifat informal serta erat hubungannya dengan praktik adat istiadat dalam konteks sebuah desa, sesuai dengan lingkungan, tradisi, serta kepercayaan setempat. Cara pembelajaran ini biasanya tidak diselenggarakan melaiui suatu pendidikan khusus, tetapi melalui pengalaman sehari-hari, pengamatan, dan penyampaian dongeng-dongeng leluhur.


(45)

Selain proses pewarisan dalam sistem keluarga, dikenal pula sistem sekolah yang bersifat formal. Sistem sekolah dirancang dalam satuan waktu dan kurikulum tertentu, yang biasanya dilaksanakan di luar konteks masyarakat pendukungnya. Pewaris topeng ini merupakan pencatat bentuk pertunjukan topeng dari jaman ke jaman karena selama itu belum ada alat rekam yang dapat bertahan lama. Meskipun demikian kondisi pewaris seni topeng dan masyarakatnya sangat ditentukan oleh keadaan sosial, politik, dan budaya pada jamannya.

2.8. Pewarisan dalam Sistem Keluarga

Proses pewarisan tari topeng dalam sistem keluarga adalah suatu proses pendidikan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan, tradisi, serta kepercayaan setempat. Cara pewarisan ini terlaksana di dalam sebuah lingkungan keluarga. Pada kenyataannya proses ini tidak hanya diikuti oleh anggota keluarga yang masih ada hubungan darah saja, tetapi juga diikuti oleh orang lain di luar keluarga, yang menjadi murid dan sepakat mengikuti sistem keluarga tersebut. Cara orang luar yang masuk pada sistem keluarga ini sering disebut dengan istilah nyantrik (berguru dengan mengikuti cara hidup gurunya).

Praktik pewarisan sistem keluarga sekurang-kurangnya meliputi tiga tahap, yakni proses mengkondisikan (conditioning) atau latihan kepekaan, latihan keterampilan, dan laku spiritual. Proses ini ditempuh tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Penari-penari generasi usia 60-an yang kini menjadi maestro, seperti Sudjana Ardja, Keni Ardja (Slangit-Cirebon), Rasinah (Pekandangan-Indramayu), Carpan (Cibereng-Indramayu), dan Sawitri (alm. dari Losari) mendapatkan


(46)

keahliannya dengan melaksanakan tahapan tersebut sebagai laku normatif dalam tradisinya, sedangkan generasi muda penari topeng usia di bawah 30-an seperti: Een Endrawati (Beber/Ligung-Majalengka), Baerni (Gegesik-Cirebon), Nani (Palimanan-Cirebon), Nur Anani, Kartini, dan Taningsih (Losari-Cirebon) hanya sebagian yang mengalami tahapan seperti generasi pendahulunya.

Murid- murid di luar keluarga yang sengaja berguru kepada seniman topeng dengan cara nyantrik, hanya sebagian saja yang melakukan tahapan pembelajaran dari cara-cara yang pernah dilakukan gurunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan ini, salah satunya adalah perubahan jaman. Generasi seniman topeng Cirebon usia 60-an mempelajari seni topeng pada saat Indonesia belum merdeka, sedangkan generasi muda mempelajari seni topeng setelah Indonesia merdeka bersamaan dengan wajib belajar di sekolah formal yang kemudian juga diikuti dengan berdirinya sekolah-sekolah kesenian.

2.8.1. Latihan Kepekaan

Proses mengkondisikan atau latihan kepekaan merupakan proses yang tidak disadari oleh pewaris seni topeng sendiri pada umumnya karena telah dilakukan sejak usia dini. Di Cirebon dan sekitarnya, penari topeng dikenal dengan sebutan dalang topeng. Kata penari atau tari, dalam bahasa Cirebon nyaris tak pernah dipakai dalam percakapan sehari-hari. Dalang Topeng adalah sebutan yang lazim digunakan untuk menunjuk penari topeng dan joged adalah kata yang artinya sama dengan tari. Kata dalang tampaknya memunyai makna untuk menunjuk status kegiatan seseorang


(47)

yang berkaitan keterampilan memainkan suatu kesenian. Oleh sebab itu, seseorang yang memunyai keterampilan memainkan berokan disebut dengan dalang berokan, yang menari Sintren, disebut dalang Sintren, yang memainkan wayang disebut dalang wayang, dan sebagainya. Dengan demikian, maka kata dalang topeng artinya adalah penari topeng yang biasanya menarikan kelima kedok : Panji, Pamindo, Rumyang, Tumenggung, dan Klana. Seorang dalang wayang (merangkap penari topeng) biasanya membawa anak-anaknya sejak bayi pada pertunjukan-pertunjukannya. Para ibu, keluarga dalang ataupun pemain gamelan, sudah biasa menyusui dan menidurkan anaknya di atas panggung ketika mereka pentas. Bagi anak-anak usia dini sudah terbiasa menonton tari menirukan dan mendengar musik topeng ketika terdapat pertunjukan kesenian, baik bersama orang tua maupun pada pertunjukan lain di masyarakat.

Dongeng-dongeng leluhur yang disampaikan orang tuanya sebelum tidur masih mereka peroleh. Dongeng-dongeng itu memberi pengetahuan kosmologi, mitologi, etika, dan filsafat kehidupan. Kebiasaan di atas memberi dasar kepekaan bagi keahlian seninya setelah anak menjadi dewasa. Salah satu contoh keberhasilan cara ini terbukti pada anak-anak Sumitra (bapak Sawitri) di Losari. Semua anak Sumitra memiliki keahlian seni, baik sebagai penari, penabuh gamelan, pengukir kedok atau wayang, maupun sebagai dalang wayang. Keberhasilan proses mengkondisikan atau melatih kepekaan yang dialami oleh keluarga Sumitra di Losari


(48)

dipengaruhi oleh dukungan masyarakatnya dalam bentuk mengalirnya undangan pertunjukan kepada mereka.

Kesenian lain yang berkembang pada masa itu, seperti lais, sintren, brai, dan sebagainya, tampaknya kurang menarik minat masyarakatnya, sehingga topeng dan wayang kulit merupakan tontonan yang menarik bagi mereka. Dalam proses mengkondisikan ini, anak-anak mengamati gerak-gerik bapak, ibu, atau saudara mereka, pada saat mereka menari. Dalam pertunjukan topeng, anak-anak disuruh duduk di dekat kotak topeng atau sambil menabuh gamelan. Pada saat itu, si anak merekam dengan mata dan hatinya semua peristiwa yang terjadi di atas panggung. Dari proses ini tampaknya anak-anak kemudian melakukan latihan praktik tari dengan meniru gerak penari yang ditontonnya.

Gambar 2.5. Topeng Menor (Sumber: Dokumentasi penulis)

Proses mengkondisikan anak pada situasi berkesenian topeng sejak tahun 1980-an jarang dilakukan lagi oleh para orang tua mereka di desa-desa. Salah satu sebabnya adalah menurunnya pertunjukan topeng di


(49)

masyarakat. Hanya sebagian kecil orangtua yang masih melakukannya, contohnya Mimi Carini (65 tahun pada tahun 2011), yang pada tahun 2011 mengadakan pentas di Dago Tea House Bandung, dengan mengajak cucunya Tati (13 tahun) pada acara tersebut. Ketika Mimi Carini menari, Tati dan adiknya duduk di dekat kotak sambil memperhatikan gerak-gerik Mimi Carini. Dengan cara demikian, Tati merasa lebih gampang untuk mengingat dan melakukan gerak-gerak tari tersebut.

2.8.2. Latihan Keterampilan

Latihan keterampilan teknik menari yang dilaksanakan oleh seniman usia sepuh “tua” diawali dengan cara menabuh gamelan atau ngrawit, kemudian diikuti dengan menari; sedangkan generasi muda kebanyakan hanya latihan keterampilan menari saja. Keterampilan menabuh gamelan diawali dengan pengalaman mendengar gending wayang dan topeng, diikuti dengan praktik menabuh yang telah dilakukannya sejak kecil. Bagi anak-anak seniman topeng dan wayang, cara ini memperkuat sensitivitas musikalnya sehingga pada usia sekitar sembilan tahun mereka sudah bisa menabuh gamelan (ngrawit). Cara belajar menabuh gamelan sejak usia dini dilakukan oleh Sudjana Ardja dari Desa Slangit dan Sawitri dari Losari.

Alat-alat yang dimainkan oleh anak itu adalah ketuk-kebluk dan

kemanak. Semakin tambah usia semakin banyak alat yang dikuasainya. Mereka merasa bahwa pengalaman ngrawit ini merupakan landasan untuk


(50)

mempermudah penguasaan gerak tari topeng. Hanya sebagian kecil generasi muda mengikuti cara orang tuanya belajar menabuh gamelan terlebih dahulu. Salah satunya adalah Inukertapati, putra dari Sujana Arja di Slangit. Kemampuan praktik tari diperoleh melalui ngamen atau pertunjukan keliling. Seperti pada uraian sebelumnya, ternyata mengamen merupakan sarana paling efektif dalam proses pewarisan topeng, karena di situ lebih banyak terjadi pelatihan keterampilan teknik sekaligus pentas secara langsung. Selain itu, tampil menari pada usia anak melatih mental, kepercayaan diri, dan keberanian sebagai calon penari. Pada usia ini pula biasanya tubuh masih cukup lentur sehingga mudah melakukan berbagai peniruan gerak-gerak tari. Kritik dan saran dari orang tua terhadap penampilan anaknya dilakukan pada saat istirahat malam di rumah orang yang disinggahi, atau juga kadang-kadang di balai desa.

Tarian yang ditampilkan oleh anak-anak biasanya diawali dengan tarian berkarakter lincah, seperti tari Pamindo. Tampaknya tarian tersebut sesuai dengan perkembangan karakter anak-anak yang memang cenderung lincah. Setelah tarian tersebut dianggap cukup baik dan anak menjadi dewasa, maka tari berikutnya adalah tari Tumenggung/tari Patih dan tari Klana. Ngamen tidak dilakukan lagi ketika generasi Sawitri dan Sujana melaksanakan proses pewarisan ini. Pertunjukan keliling dilarang oleh pemerintah setempat pada tahun 1970-an dengan alasan telah mempermalukan pembina kesenian (dalam hal ini Dikbud atau Kasie. Kebudyaan kabupaten). Oleh karenanya, proses pewarisan selanjutnya


(51)

hanya dilakukan berdasarkan latihan keterampilan tari saja. Mereka mendapatkan keterampilan gerak dengan cara meniru. Pelatih berada di depan, sedangkan siswa berada di belakangnya. Sebagai iringan tariannya menggunakan musik yang diputar dari kaset. Cara latihan ini dapat menghilangkan komunikasi langsung antara penari dan penabuh gamelan. Di samping itu, penanaman sensitivitas atau kepekaan terhadap seni topeng sejak usia dini berkurang dan bahkan dikatakan hilang. Kendatipun demikian, alternatif penggunaan iringan kaset dapat membantu proses latihan secara mandiri.

Tari yang dipelajari generasi muda adalah tari-tarian yang sudah distandarkan, baik gerak maupun musiknya. Salah satu contoh proses pewarisan ini adalah di Losari pada grup "Purwa Kencana," pimpinan Sawitri, mereka latihan dengan jadwal rutin bersama pengrawit setiap hari Minggu. Waktu latihan hari-hari lain disesuaikan dengan jadwal sekolah mereka masing-masing. Setelah mereka menguasai satu sampai dengan tiga tarian, maka latihan rutin pun berhenti. Latihan bersama pemain musik diganti dengan iringan musik hasil dari rekaman kaset sesuai dengan keperluan menghadapi pentas. Kebiasaan belajar yang seperti ini kurang menguntungkan bagi pengembangan kemampuan penari. Kekayaan gerak tari topeng yang dimiliki generasi pendahulunya tidak dapat diwariskan sepenuhnya kepada generasi muda. Penguasaan tari topeng generasi muda hanya terbatas pada gerak-gerak yang terstruktur sesuai dengan rekaman musiknya dalam durasi waktu sekitar 8 sampai


(52)

dengan 15 menit. Akhirnya kemampuan kreativitasnya di atas panggung tidak dapat dilakukan oleh generasi muda sekarang ini.

2.8.3. Laku Spiritual

Laku spiritual pada masa generasi Sawitri (seorang pimpinan grup tari Purwa Kencana) merupakan bagian dari proses pendidikan untuk menjadi seorang dalang topeng atau wayang. Laku spiritual ini dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan supranatural dalam jiwanya, baik pada saat pertunjukan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Cara laku spiritual adalah mandi air bunga di perempatan jalan, mandi di tujuh sumber mata air, mengunjungi makam-makam keramat atau leluhur, dan berpuasa. Seniman topeng di Cirebon dan sekitarnya, seperti Andet Suanda (alm), Ening Tasminah, Sudjana Ardja, Dewi (alm), dan Sawitri (alm), pernah melakukan laku tersebut. Ada beberapa macam puasa yang dilakukan Sawitri, antara lain ngetan (hanya makan nasi ketan saja saat berbuka puasa), nuitih (hanya makan nasi putih saja dan segelas air), dan puasa wali (tidak makan dan minum sepanjang hari). Puasa wali merupakan puasa yang paling berat karena tidak makan dan minum selama 40 hari. Jenis puasa lain yang pemah dilakukan oleh Dewi (alm), yaitu puasa yang hanya makan cabai saja tanpa makanan lain, sedangkan Sudjana Ardja pernah melakukan puasa hanya makan pisang saja, atau menghindari makanan buatan manusia. Laku spiritual ini hampir tidak lagi dilaksanakan dalam proses pewarisan dalam sistem keluarga. Kenyataan


(53)

ini disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya, misalnya, pergeseran kepercayaan dan perubahan gaya hidup. Laku spiritual ini berhubungan dengan kepercayaan generasi terdahulu terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Tampaknya kepercayaan tersebut tidak lagi dimiliki oleh generasi muda, sedangkan adanya perubahan gaya hidup, misalnya, hal ini disebabkan oleh kebijakan sistem pemerintahan Orde Baru yang dengan pesat ingin menuju pada suatu masyarakat industri yang modern. Perangkat elektronik serta media massa audio-visual seperti radio, tape recorder, film, televisi, turut berperan dalam situasi ini. Media-media tersebut mampu menggeser pertunjukan wayang kulit dan topeng karena unsur pencitraannya secara audiovisual yang dikemas dengan gaya modern lebih menarik. Industri budaya ini sangat besar pengaruhnya dalam perubahan gaya hidup masyarakat, sehingga generasi muda lebih suka meniru gaya bintang pop yang pernah mereka lihat di televisi, serta mengikuti gaya hidup modernnya daripada mengikuti cara hidup generasi pendahulunya.

2.8.4. Pewarisan dalam Sistem Sekolah

Sistem sekolah formal dilaksanakan berdasarkan kurun waktu terbatas dengan kurikulum yang beragam. Pendidikannya lebih mengutamakan sistem kelas di luar konteks budaya masyarakatnya. Pendidikan sekolah formal ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yakni pendidikan profesi dan pendidikan umum. Pendidikan profesi menuju pada penguasaan keterampilan seni sebagai profesi seperti pada sekolah


(54)

menengah kejuruan dan lernbaga pendidikan tinggi seni maupun kependidikan seni. Pendidikan umum bertujuan untuk menghasilkan peminat atau apresiator seni, seperti di sekolah umum. Jelas, dua wilayah ini memiliki cara pendekatan yang berbeda dalam. pengajarannya. Pengajaran kesenian di lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni, kependidikan seni, serta sekolah kejuruan seni bertujuan agar peserta didik terampil menari. Lembaga ini mempunyai peranan penting salah satunya dalam regenerasi penari topeng Cirebon dan kesenian lainnya. Untuk mencapai tujuan di atas, pada proses belajar mengajar tari tradisi topeng Cirebon, dihadirkanlah senimannya dari Desa Slangit dan Losari sebagai pengajar dan nara sumber. Tentu saja pembelajaran ini masih mempunyai kelemahan dibandingkan dengan cara seniman topeng mempelajari keseniannya pada masa lalu. Kelemahannya yaitu, dalam proses pembelajaran dengan sistem pewarisan di sekolah mereka tidak dapat merasakan secara langsung bagaimana suasana pertunjukan yang sebenarnya ketika pementasan.

2.9. Mengamen atau Bebarang

Mengamen atau bebarang adalah pertunjukan keliling, dari desa ke desa, dari halaman ke halaman dengan jumlah anggota rombongan yang lebih sedikit dibandingkan dengan rombongan topeng pada hajatan. Pemainnya terdiri atas empat atau lima pemain gamelan dan penari. Biasanya penari topeng pada acara mengamen ini adalah anak-anak usia sembilan sampai dengan dua belas tahun yang berasal dari anggota keluarga grup pengamen. Alat gamelan pokok yang


(55)

dibawa pengamen ini adalah kendang, saron, ketuk-kebluk, kecrek, gong, dan kiwul. Semua peralatan ini dibawa dengan cara dipikul. Selain itu, mereka pun sering membawa peralatan memasak sederhana (untuk menanak nasi dan memasak air). Pertunjukan topeng pada acara mengamen, tariannya dilakukan babak demi babak dalam durasi waktu terbatas atau sesuai dengan permintaan penontonnya. Tarian yang ditampilkan terdiri atas tari Pamindo dan tari Rumiang untuk penari anak-anak, dan tari Tumenggung serta tari Klana untuk penari yartg lebih dewasa. Tari Panji jarang dipentaskan pada acara ini. Mengamen dilakukan untuk mendapatkan penghasilan. Pada masa ini seniman topeng Cirebon pada umumnya tidak mempunyai pekerjaan lain (misalnya: bertani), sehingga apabila undangan dari masyarakat berkurang, maka para seniman mengadakan pertunjukan atas inisiatif grupnya dengan cara mengamen, yang biasanya dilakukan pada saat menunggu panen tiba dan pada tahun baru Cina. Keterkaitan pertunjukan topeng dengan acara tahun baru Cina tampaknya mempunyai tujuan tertentu, baik bagi kaum etnis Cina maupun masyarakat asli setempat. Namun keterkaitan itu sampai sekarang belum terungkap dan masih diperlukan penelitian yang mendalam tentang keterkaitan yang ada. Mengamen dilakukan pula sebagai salah satu proses pendidikan atau regenerasi penari dan penabuh, karena dengan demikian calon-calon penari dan penabuh mendapatkan kesempatan latihan yang banyak. Secara tidak disengaja topeng dalam acara mengamen ini telah menarik perhatian seniman-seniman di daerah-daerah yang dikunjungi. Mereka belajar tari topeng dengan cara mengundang seniman topeng Cirebon, sebagai gurunya. Akhirnya bermunculan jenis tari topeng seperti di Sumedang dan Bandung yang


(56)

kini disebut sebagai topeng Priangan. Sejak tahun 1970-an mengamen tidak pernah dilakukan lagi oleh seniman Cirebon. Alasannya adalah: mengamen dilarang oleh pemerintah setempat karena dianggap "memalukan".

Sejak pertengahan tahun 1970-an pemerintah, melalui kantor-kantor kebudayaannya mengimbau para seniman untuk tidak melakukan barangan, karena aktivitas itu dianggap memalukan. Menurut pandangan mereka, barangan tak terlalu berbeda dengan meminta-minta, yang sangat merendahkan derajat kesenian. Hal ini bertentangan dengan program pemerintah yang sedang mengupayakan peningkatan pengembangan kesenian, namun sampai saat ini pemerintah tidak dapat memberikan solusi yang kongkrit mengenai bagaimana cara membantu seniman untuk terus dapat eksis dimasyarakat. Barangan itu sesungguhnya tidak semata hanya untuk keperluan ekonomi. Ini adalah sebuah bagian yang menyatu dengan sistem pewarisan seninya, sebuah modus operandi yang paling praktis dari cara belajar-mengajar. Dalam barangan, si murid, yang telah diajari secara mendasar, akan punya kesempatan latihan setiap hari, setiap saat. Latihan itu bukan hanya akan menumbuhkan kelenturan tubuh, keluwesan gerak, kepekaan musikal, kepekaan ruang dan waktu, akan tetapi juga latihan mental-spiritual dalam menghadapi tantangan-tantangan praktis yang berat dan dalam menghadapi penonton.

Hilangnya pertunjukan mengamen bersamaan dengan pergeseran struktur sosial masyarakat dan politik, yang salah satunya ditandai dengan hadirnya "pembina kesenian." Padahal pelarangan mengamen oleh mereka belum bisa mewujudkan kegiatan pengganti dalam rangka regenerasi penari dan penabuh


(57)

topeng. Sehingga yang terjadi dewasa ini adalah putusnya tradisi pembelajaran secara alamiah seperti yang terjadi pada proses mengamen di atas. Seharusnya pemerintah dapat mengambil kebijakan dan mencarikan solusi agar tari topeng Menor dapat kembali kehabitatnya yaitu kedalam acara kenduri, upacara adat, dan perayaan hari besar.

2.10. Penggunaan Simbol dalam Topeng Menor

Setiap budaya memiliki ekspresi simbol yang berbeda, hal ini tentunya berkaitan pada cara pandang serta lingkungan yang berada di sekelilingnya. Simbol yang dimaksud dalam pembahasan di sini adalah simbol dan lambang yang mengekspresikan ide-ide, yang berlandaskan pada kepercayaan, mitologi yang sifatnya mistis dan religius. Namun pada intinya tetap mengacu pada nilai kesatuan yang bersifat paradoks atau oposisi binner, seperti perempuan-lelaki, langit-bumi, bulan-matahari dan hulu-hilir. Konsep ini mengacu pada kosmologi tiga dunia atau triloka, yang berasal dari paham Jawa-kuno pada masa Hindu.

Pembacaan terhadap karya seni pada masa pramodern lebih terfokus pada sistem religius atau budaya mistis spiritual, sehingga lahir konsep pembagian semesta yang mengandung empat arah mata angin, dan setiap arah mata angin memiliki pula unsur warna dan elemen-elemen pembentuk bumi.

Bentuk-bentuk yang digambarkan pada motif-motif ragam hias, pada umumnya adalah stilasi dari binatang, tumbuhan serta unsur-unsur yang ada di alam, di antaranya : burung melambangkan dunia atas, pohon melambangkan dunia tengah dan ular melambangkan dunia bawah, maksud dari gambaran


(58)

tersebut adalah manusia itu hidup tidak kekal dan berada di dunia tengah atau

madya pada. Bila pengendalian hidupnya salah maka akan masuk dunia bawah atau lembah kesengsaraan, bila pengendalian hidupnya mencapai kebenaran, maka akan masuk dunia atas atau kemuliaan abadi. Makna keseluruhannya adalah, hidup itu tidak mudah, sengsara atau mulia adalah tergantung dari perbuatan dan pengendalian hidup manusia itu sendiri.Sedangkan konsep seni yang dianut oleh masyarakat Subang sebenarnya memiliki gabungan antara nilai Hindu, Budha dan Islam, sehingga bentuk dan ekspresi yang dihasilkan menjadi kaya, karena melebur menjadi suatu identitas lokal yang sangat kaya dan khas. Hasil peleburan berbagai nilai budaya terlihat dalam setiap aspek kegiatan seni, baik seni pertunjukan, ragam hias, seni rupa dan lainnya. Penciptaan topeng bertujuan agar wujud mengenai watak manusia tampak nyata, hal ini di dasari pula oleh perwujudan sifat-sifat abstrak kepada bentuk-bentuk nyata alam,walaupun muncul dalam bentuk yang di lebih-lebihkan, dan sifatnya stilasi. Pemaknaan pada wujud dan warna topeng sudah memberikan jaminan pada watak-watak itu, sehingga seolah-olah hadir dalam dunianya sendiri yaitu alam ghaib. Dalam visualisasi topeng dapat kita cermati makna pertama adalah warna yang digunakan pada topeng. Semakin gelap warna yang tersirat, maka semakin jauh ia dari dunia surgawi, begitu pula sebaliknya. Putih dianggap sebagai warna yang mencerminkan tingkat keimanan dan tingkat kesempurnaan, dan ia berperan sebagai pusat segala warna, segala perilaku, segala sifat (Ayoeningsih Dyah,2007:18).


(59)

Bentuk mata liyep(sipit), pada tokoh Panji menunjukkan tingkat kesempurnaan, selain itu arah tatapan mata menghadap kebawah, menyiratkan keberadaannya berasal dari dunia atas namun ia telah hadir pula di dunia bawah, karena ia melihat kearah bawah. Pada bentuk mata antara Rumyang, lenyepan dan Klana, pentelengan keduanya memiliki perbedaan sekaligus persamaan. Nilai sama adalah keduanya sama-sama menatap kearah depan dan bola mata terlihat besar, namun kelopak mata memiliki bentuk yang berlawanan. Mata Rumyang dan Klana mengandung makna bahwa mereka telah melihat banyak tentang kehidupan dengan cara mengembara, bedanya Rumyang pengembara dari dunia atas, sedangkan Klana pengembara dari dunia bawah.

Dalam kisah Panji diceritakan bahwa sosok Rumyang adalah Dewi Sekartaji yang menyamar menjadi Panji Semirang, ia melakukan pengembaraan, begitu pula dengan sosok Kelana, yang selalu berada dalam pengembaraan, karena ia selalu di “pihak luar”. Rumyang memposisikan sebagai perempuan yang berkelakuan laki-laki, ia berada dalam wilayah orang kerajaan, dunia atas dan surga, namun didalamnya telah mengandung pula nilai manusia. Sedangkan Klana adalah sifat kelelakian yang sangat menonjol dan ia benar-banar berada di dunia manusia.

Dari unsur rupa yang dapat ditangkap secara visual, topeng memiliki kedekatan dengan rupa manusia dan antar topeng memiliki keterkaitan, baik secara visual, watak dan atribut pada topeng yang dapat diterjemahkan sebagai upaya penciptaan karya rupa yang mempertimbangkan seluruh unsur dengan nilai keseimbangan atau saling mengisi.


(60)

2.11. Riwayat Panji Sebagai Dasar Topeng Menor

Jika ditinjau dari bentuk aslinya, pertunjukan tari topeng pada masa kelahirannya berperan sebagai sarana ritual yang bersifat religius dan pertunjukannya berlangsung dalam lingkungan kerajaan. Dalam perkembangannya, pertunjukkan ini memiliki fungsi sebagai berikut :

Kandungan dalam pertunjukkan topeng pada dasarnya menggambarkan siklus kehidupan manusia, dari bayi beranjak ke masa kanak-kanak, masa dewasa hingga masa dimana seorang manusia telah mencapai kedudukannya. Dalam siklus kehidupan tersebut terkandung tiga unsur kehidupan manusia, yaitu perkawinan, perjalanan, pengembaraan serta pertempuran.

Topeng yang digunakan saat ini tetap menampilkan lima karakter, dan kelima karakter tersebut dibedakan dengan menggunakan lima jenis topeng. Perihal kelima tokoh dalam tarian tersebut, ternyata tidak dapat dilepas dari hikayat cerita panji yang diduga telah ada sejak tahun 1350 pada zaman kerajaan Majapahit.

Tafsiran etnik dalam perwatakan dalam karakter tari Topeng pada intinya adalah menceritakan kisah panji, yang menceritakan tentang pangeran dan putri dari empat negara yaitu Gegelengan, Kuripan, Daha, dan Singasari. Keempat Negara tersebut dipimpin oleh raja yang saling bersaudara.

Saat itu Raden Panji menolak perjodohan dengan putri Candra Kirana, putri dari Kerajaan Daha, karena Raden Panji sudah memiliki Martalangua, namun Martalangua dibunuh oleh permaisuri dari kerajaan Kuripan dan Panji


(61)

bersedih lalu melakukan mengembara dengan menyamarkan diri sebagai Panji Klana Edan. Dalam pelariannya Raden Panji bertemu dan jatuh cinta pada Panji Semirang yang ternyata ia adalah Putri Candra Kirana yang berubah atau menyamar menjadi laki-laki. Pernikahan Panji dengan Candra Kirana membuat bersatunya keempat kerajaan Jawa dan pusatnya di Kuripan. Panji diartikan sebagai yang pertama, yang berasal dari kata siji atau satu dalam bahasa Jawa.

Panji menggambarkan makhluk yang baru lahir kedunia, gambaran seorang bayi yang tidak berdaya. Hal tersebut terlihat pada gerakan tari yang kecil-kecil dan diam.

Tokoh kedua adalah Pamindo, tokoh ini menggambarkan masa kanak-kanak, digambarkan adalah Gunung Sari dari Kerajaan Daha. Tokoh Pamindo pada wayang, dikisahkan sebagai Raden Kuda Panulis. Sedangkan didaerah lain yaitu Losari-Cirebon, Pamindo diidentikan dengan tokoh Sutera Winangon. Tarian ini berada diposisi kedua, dalam bahasa Jawa Mindo artinya kedua.

Tokoh ketiga adalah Rumyang dalam wayang tokoh ini diidentikan dengan Sadewa dan Soemantri. Pada topeng Subang Rumyang merupakan tari ketiga. Rumyang diidentikan sebagai Candra Kirana, Dewi yang menjelma menjadi manusia. Candra Kirana menyamar sebagai Panji Semirang dan berprilaku laki-laki.

Penokohan Rumyang hampir sama dengan Panji kedua pasangan ini dianggap sebagai pasangan suami istri sejak di dunia atas. Asal kata Rumyang sendiri berasal dari Ramyang-Ramyang artinya mulai terang (Toto Amsar Suanda,


(62)

1989:24). Keadaan mulai terang atau carangcang tihang dalam bahasa sunda artinya baru setengah terlihat. Rumyang digambarkan sebagai manusia yang mulai terang dalam melihat kehidupan dunia, walaupun terlihat ragi-ragu dalam gerakkannya namun cenderung membuat gerakkan yang terlihat menolak dan membuang.

Rumyang menggambarkan masa remaja, dia melambangkan nak sulung perempuan namun memiliki asas seperti laki-laki. Itulah alasannya tarian ini menampilkan tokoh laki-laki walaupun ia perempuan. Gerak dalam tarian ini merefleksikan perjalanan serta penyamaran Candra Kirana sehingga sepanjang tarian ia tak pernah sedikitpun menanggalkan topeng agar penyamaran yang dilakukan berhasil.

Tokoh keempat adalah Patih yang selalu bergerak di area luar. Ia diidentikan sebagai raja Soka Windu, musuh keluarga Panji. Sedangkan dalam wayang dianggap sebagai Raden Setiaki dan Gatot kaca. Tarian ini menggambarkan pertikaian Tumanggung Magang Dirajat, calon menantu Raja Bawarna yang berupaya untuk menaklukan Jingga Anom. Dalam tarian ini didaapati pula unsur dialog sehingga tarian ini tampak seperti bagian fragmen tari. Sosok patih digambarkan sebagai kedewasaan jaman. Ia berada diarah barat-selatan atau sebagai pihak luar, duniawi, pihak musuh, kematian, kasar, dan kelelakian.

Tokoh kelima adalah Kelana Udeng dalam cerita wayang ia diidentikan dengan rahwana atau dasamuka. Klana digambarkan dengan karakter yang penuh


(63)

dinamika dengan hasrat jasmani dan duniawi. Terkadang ia disebut menak jingga karena melambangkan nafsu yang terkekang manusia. Sosok klana menggambarkan raja yang gagah perkasa bernama Buda Negara ia tergila-gila pada putri Dewi Runjung Ayu. Kisah lain menunjukkan klana adalah raja Blambangan yang ingin mempersunting Dewi Sekartaji dari kerajaan Jenggala yang tak lain adalah Candra Kirana yang merupakan pasangan Panji.

2.12. Cerita Panji Dalam Dimensi Sejarah

Diperkirakan bahwa cerita Panji muncul pada tengah pertama abad XIII, pada menjelang lahirnya kerajaan Majapahit. Dalam catatan sejarah, setidaknya tahun 1375 cerita Panji sudah populer di Jawa Timur. Hal ini dibuktikan dengan adanya relief di candi Panataran (1369) yang menggambarkan adegan Panji Kartala dihadap oleh panakawan Prasanta (Supriyanto, Henri, 1997: 14). Lahirnya cerita Panji saat itu dapat diduga ada hubungannya dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Setidaknya terdapat unsur-unsur kesamaan antara cerita Panji dengan keadaan dan peristiwa sejarah yang terjadi sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa tahun 1049, sebelum turun tahta raja Airlangga di Kahuripan membagi kerajaan menjadi dua untuk anak-anaknya dari istri selir. Pembagian dua wilayah tersebut dibatasi oleh sungai Berantas. Di sebelah timur sungai Berantas, wilayah tersebut dinamakan Jenggala, dan di sebelah barat sungai Berantas bernama Panjalu, yang dikemudian hari terkenal dengan sebutan Kediri, atau Daha (Hall, 1988: 68). Dalam arti kata bahwa penguasa wilayah Jenggala dan Panjalu atau Kediri dalam sejarah adalah dua bersaudara yang merupakan putra raja Airlangga.


(1)

• Ada adegan-adegan pengembaraan dua tokoh utama tersebut;

• Ada pertemuan kembali dari dua tokoh utama yang kemudian diikat dengan

pernikahan.

Cerita Panji ini secara keseluruhan bersifat romantik dengan menonjolkan kepahlawanan. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita Panji tersebut adalah nilai sosial, budaya, dan agama. Nilai sosial tergambar dalam sikap dan perilaku Panji yang suka menolong sesama, gotong royong, dan kerjasama. Sedangkan nilai moral tergambar dalam pribadi Panji yang kuat menahan hawa nafsu, tidak menyimpan dendam, dan senang kepada seni, dan yang terakhir, nilai agama, terwujud pada ketaatan Panji dalam menjalankan perintah dewa. Nilai-nilai tersebut tergambar dari berbagai versi cerita Panji di atas.

Di sisi lain dalam buku Poerbatjaraka juga menyatakan bahwa cerita Panji yang pertama ditulis pada jaman kejayaan Majapahit, yaitu kira-kira pada tahun 1400. Sedangkan berbagai sumber sejarah lain mengatakan, cerita Panji dilahirkan pada abad 11-12, yaitu pada pertumbuhan kerajaan di Jawa Timur, yang kemudian, pada jaman Majapahit (abad 13-14), cerita ini tersebar ke banyak pelosok di Nusantara sampai ke wilayah dataran Asia Tenggara. Meskipun cerita ini dianggap asli lahir di Jawa Timur, apabila ditinjau dari jalan cerita dan tokoh-tokoh utamanya, terasa sekali adanya pengaruh dari cerita Ramayana dari India. Pada dasarnya, cerita ini menggambarkan pertemuan, perpisahan, dan pertemuan kembali seorang pangeran (dengan nama yang bervariasi, tetapi umumnya adalah Panji Inu Kartapati), dengan


(2)

istrinya (Sekartaji atau Candrakirana). Dalam cerita itu digambarkan adanya upaya mendekatkan hubungan antara golongan bangsawan (ningrat, kerajaan) dan rakyat kebanyakan. Ini terlihat dari berbagai peristiwa, ketika Panji sering digambarkan dalam penyamarannya untuk bisa bertemu kembali dengan istrinya, dengan menyamar sebagai anak janda dari desa, atau orang miskin dan buruk rupa, sehingga seolah-olah ada misi untuk tidak membedakan derajat dari kalangan atas dan kalangan bawah. Atau dengan kata lain, rakyat kecil itu pada hakikatnya adalah sama dengan bangsawan bahkan sama dengan dewa, seperti halnya dengan sosok panakawan (misalnya Semar dalam cerita wayang).

Pada topeng menor cerita panji yang dianut adalah cerita panji kuda semirang. Cerita Panji memang unik. Jalur ceritanya sering melingkar-lingkar, dengan upaya menggali hubungan erat antara kalangan bangsawan dengan kalangan rakyat. Oleh karena itu pula cerita ini kemudian banyak digemari, dan berkembang subur di kalangan orang kebanyakan. Penyebarannya yang luas di kalangan rakyat berdasarkan tradisi lisan, sehingga dengan cara ini ditemukan banyak sekali versi dan varian ceritanya, oleh karena itu hal ini pula lah yang menyebabkan banyaknya varian dari bentuk visual topeng.

Walaupun mengalami beberapa perubahan pada bentuk visual topeng menor, namun mimi Carini sebagai dalang topeng menor tetap mempertahankan beberapa unsur kesakralan dalam memperlakukan topeng diantaranya memandikan topeng dengan kembang tujuh rupa dan dibungkus dengan kain yang serupa dengan warna topeng.


(3)

Setiap penari itu memiliki keunikan dan kemahiran tersendiri ketika menarikan tari topeng. Pada topeng menor topeng Panji hanya kadang-kadang ditarikan karena ketika proses pewarisan tari topeng dari dalang sebelumnya proses pembelajarannya selalu dimulai dari topeng pamindo, karena topeng Pamindo berkarakter lincah dan gesit yang dianggap sesuai dengan anak-anak pada masa pewarisan sementara topeng panji berkarakter lembut dan tidak berpindah-pindah. Selain itu ada teknik yang cukup sulit ketika ketika menarikan topeng panji, teknik tersebut adalah dengan mengatur pernafasan yang ditahan agar tidak kelihatan tersengal-sengal. Istilah yang digunakan oleh dalang topeng untuk menyebut cara demikian adalah megeng napas.

Cara megeng napas ini sulit dan berat, karena dilakukan dalam posisi berdiri dan

dalam rentang waktu yang relatif lama (kurang lebih dua jam). Oleh karena itu, minat penari berusia muda untuk menampilkan tari ini semakin menurun. Mimi Carini sendiri mengatakan bahwa ia ketika menarikan topeng Kelana Udeng ia merasa seperti kerasukan, namun sebenarnya hal ini tidak selalu berkaitan dengan mistis, namun berkaitan dengan bagaimana kemampuan para para penari topeng menghayati karakter yang ia bawakan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Caturwati, Endang, Dr. (2007). Tari di Tatar Sunda. Bandung: Sunan Ambu. Darmaprawira, Sulasmi W.A. 2002. Warna: Teori dan Kreativitas Penggunaannya Edisi ke-2. Bandung: ITB.

Edi Sedyawati, Dr. (1981). Pengetahuan Elementari Tari dan Beberapa Masalah

Tari. Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian

Jakarta.

Hawkins, Alma M. (1990). Creating Through Dance. Jakarta: Masyarakat Seni

Pertunjukan Indonesia.

Hamlyn, (1992). The World Of Mask. Prague: Aventinum.

Nawi, Hasan, (1998). Topeng Cirebon Arti dan Makna. Cirebon: Kasepuhan. Masunah. Juju dan Karwati. Uus. (2003). Topeng Cirebon. Bandung: P4ST UPI

Soedarsono. (1999) :3, Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi.

Yogyakarta : Kanisius

Suanda, Endo. (2005). Topeng. Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara. Sumardjo, Jakob. (2002). Arkeologi Budaya Indonesia, Qalam.

Tabrani, Primadi. (2005). Bahasa Rupa, Penerbit ITB, Bandung.

Suanda, Toto Amsar. (2013). Revitalisasi Topeng Menor. Bandung: DISBUDPAR Jawa Barat

Suanda, Toto Amsar. (2009). Tari Topeng Cirebon. Bandung: Jurusan Tari STSI


(5)

Bandem, I Made, dan Fredrik Eugene deBoor. (2004). Kaja dan Kelod, Tarian Bali dalam Transisi. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Bonnefoy, Yves. (1993), Asian Mythologies. Chicago: The University of Chicago Press.

Hall, D.G.E. (1988), Sejarah Asia Tenggara, (Terj. I.P. Soewarsha), Surabaya: Usaha Nasional,

Kartodirdjo, Sartono, dkk. (1975), Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Mudjanattistomo, R.M., dkk. (1977), Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid . Yogyakarta: Yayasan Habirandha Ngayogyakarta,

Poerbatjaraka. (1968), Cerita Pandji dalam Perbandingan. Djakarta: Gunung Agung.

Rassers, W.H. (1982), Panji, the Cultural Hero: A. Structural Study of Religion in Java. Leiden, the Netherlands: The Hague-Martinus Nijhoff.

SarDesai, D.R. (1994), Southeast Asia, Past and Present, Third Edition. California: L.A: Westview Press.

Supriatun. (2002), “Makna dan Filosofi Topeng dan Kedok Cirebon” dalam Artista, Majalah Informasi Seni dan Pendidikan Seni, No.2, Vol. 4, Agustus-Oktober 2002, Yogyakarta: PPPG Kesenian.

Supriyanto, Henri., dan M. Soleh Adi Pramono. (1997), Dramatari Wayang Topeng Malang, Padepokan Seni Mangun Dharma. Malang: Tumpang-Malang.


(6)

Tesis:

Dyah W, Ayoeningsih, 2007. Unsur Visual Dan Makna Simbolis Pada Kostum Tari Toprng Babakan Keni Arja Di Slangit Cirebon, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, Bandung.

Kustiawan, Usep, 1996. Topeng Sebagai Bentuk Seni Rupa Pada Kesenian Tradisional Cirebon, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB, Bandung. Website:

Budiana Photography.(2010).Tatar Subang: Landscape kota Subang. Tersedia di: http://tatarsubang.blogspot.com [9 Juli 2013]

Endo Suanda. (1994). Topeng Cirebon: Bertahan dengan Pembaruan. Tersedia di: http://majalah.tempointeraktif.com [14 April 2013]

Toto Amsar Suanda.2011(9 April). Pergelaran Tari Topeng Menor di Tetaer Terbuka Taman Budaya Jawa Barat dalam rangka sosialisasi hasil revitalisasi 9 April 2011.Tersedia di: http://lpsn.or.id [9 Juli 2013]