Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp pada Benih Padi Menggunakan Laser Induced Flourescence

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Metode Deteksi
Cepat Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan
Laser-Induced Fluorescence adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2008
Ariny Prasetya
NRP A451064024

PENGEMBANGAN METODE DETEKSI CEPAT
Aspergillus flavus Link. DAN Fusarium sp. PADA BENIH PADI
MENGGUNAKAN LASER-INDUCED FLUORESCENCE

ARINY PRASETYA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008

ABSTRACT
ARINY PRASETYA.
The Development of Rapid Detection Method for
Aspergillus flavus Link. and Fusarium sp. on Rice Seed Using Laser-Induced
Fluorescence. BONNY POERNOMO WAHYU SOEKARNO dan AKHIRUDDIN
MADDU.
Rice as a food crop provides high economical value in Indonesia and many
other countries. Seed is one of important commodity which is being constraint
factor in rice production system. Seed quality will determine the value of an
agricultural production, because of that seed is a commodity which has high
economical value. The rice crop is known to be attacked by many microbial
infections or contaminations. Fungi have been reported to cause more diseases
of rice than any other group of pathogens. Fusarium sp. is one of fungi that
infects rice crop in field, while Aspergillus flavus Link. spoils rice grains in
storage. Seed health tetsting is done in order to prevent or to minimize risks

caused by seed-borne pathogens. Ideally, the seed health testing should be
accurate, specific, sensitive, fast, practical, cheap, and reliable. One of potential
technology can be developed as detection method is laser-induced fluorescence.
This study is aimed to develop rapid detection protocol by laser-induced
fluorescence mechanism. The result of the this study is expected in the future
fluorescence spectroscopy using laser light could be used as easy, cheap, fast,
and accurate seed health testing method. The research was conducted in
Mycology Laboratory of Plant Protection Department and Biophysics Laboratory
Physics Department, Bogor Agricultural Institute, started from April 2008 until
November 2008. This research covered (1) research preparation to obtain pure
isolates of A. flavus and Fusarium sp., (2) calibration of laser-induced
fluorescence which covered measurement wavelength of metabolite produced by
A. flavus and Fusarium sp.; and laser-induced fluorescence calibration of
metabolite of A. flavus and Fusarium sp. as standard fungi metabolite, and (3)
detection of A. flavus and Fusarium sp. on rice seed which covered fungi growth
media modification as standard media to measure the wavelength of fungi
metabolite; and laser-induced fluorescence application to detect A. flavus and
Fusarium sp. on PDA media. The result of this study showed that laser induced
fluorescence could detect fluorescence emission of metabolite of A. flavus and
Fusarium sp. after rice seeds were incubated for 4 days. Metabolite of A. flavus

produced blue fluorescence at 424-427 nm and metabolite of Fusarium sp.
produced blue fluorescence at 427 nm when exposed to violet light (405 nm).
A. flavus and Fuarium sp. displayed typical fluorescence emission spectra which
differ from fluorescence emission spectra of growth medium PDA (448 nm and
485 nm). The results indicate that specific fluorescence emission spectra have
been identified which permit detection method of fungal infection on rice seed
using laser-induced fluorescence.
Keywords: rice seed, detection, Aspergillus flavus, Fusarium sp., laser-induced
fluorescence

RINGKASAN
ARINY PRASETYA. Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus
Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan Laser-Induced
Fluorescence. BONNY POERNOMO WAHYU SOEKARNO dan AKHIRUDDIN
MADDU.
Padi merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan
sebagai komoditas politik.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk
mencapai target produksi padi sehingga dapat mengimbangi kenaikan konsumsi
beras sebesar 2% yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan

peningkatan konsumsi beras per kapita. Benih merupakan salah satu komponen
utama yang menjadi faktor pembatas dalam sistem produksi padi. Kualitas benih
akan menentukan nilai ekonomi suatu produksi pertanian, sehingga benih
merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi.
Dewasa ini telah dilaporkan berbagai mikroorganisme penyebab penyakit
pada tanaman padi terbawa dan tertular melalui benih. Cendawan merupakan
kelompok mikroorganisme penyebab penyakit (patogen) utama pada padi.
Fusarium sp. merupakan salah satu cendawan patogen yang terbawa benih dan
menimbulkan penyakit saat padi ditanam di lapang, sedangkan Aspergillus flavus
Link. merupakan salah satu cendawan yang merusak benih di penyimpanan.
Salah satu langkah utama untuk mencegah atau mengurangi resiko akibat
penyakit atau patogen terbawa benih adalah dilakukan pengujian kesehatan
benih. Persyaratan utama dalam pengujian kesehatan benih adalah akurat,
spesifik, sensitif, cepat, praktis, murah, dan dapat dipercaya. Salah satu
teknologi yang sangat potensial dikembangkan untuk deteksi cendawan patogen
terbawa benih adalah laser-induced fluorescence.
Pemanfaatan fluorescen menggunakan sinar laser (laser-induced
fluorescence) untuk deteksi cendawan patogen tumbuhan dikembangkan karena
cendawan patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu yang akan
menghasilkan emisi fluorescen sangat spesifik apabila dikenai cahaya near

ultraviolet atau ultraviolet. Proses fluorescen diawali oleh adanya absorbsi
energi cahaya oleh suatu molekul. Selanjutnya, molekul akan memanfaatkan
tambahan energi tersebut untuk mengangkat elektron sehingga mencapai
keadaan tereksitasi. Molekul akan melepaskan sisa energi, salah satunya,
dengan memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan protokol deteksi cepat
cendawan patogen tumbuhan melalui mekanisme laser-induced fluorescence.
Hasil penelitian ini diharapkan di masa depan spektroskopi fluorescen
menggunakan sinar laser dapat dimanfaatkan sebagai metode pengujian
kesehatan benih yang cepat, mudah, murah, dan akurat. Penelitian telah
dilaksanakan di Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi Tanaman dan
Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor, dari April
2008 hingga November 2008. Penelitian ini meliputi (1) persiapan penelitian
untuk mendapatkan isolat murni A. flavus dan Fusarium sp., (2) kalibrasi laserinduced fluorescence, meliputi pengukuran panjang gelombang metabolit yang
dihasilkan dari isolat cendawan A. flavus dan Fusarium sp.; dan kalibrasi laserinduced fluorescence metabolit A. flavus dan Fusarium sp. sebagai metabolit
cendawan standar, dan (3) deteksi A. flavus dan Fusarium sp. pada benih padi,
meliputi modifikasi media tumbuh cendawan sebagai media standar untuk
pengukuran panjang gelombang metabolit cendawan dan aplikasi laser-induced
fluorescence untuk deteksi A. flavus dan Fusarium sp. pada media PDA.


Hasil penelitian adalah laser-induced fluorescence dapat mendeteksi
metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada benih padi setelah diinkubasikan
selama empat hari. Metabolit A. flavus menghasilkan fluorescen biru pada
panjang gelombang 424-427 nm, sedangkan metabolit Fusarium sp.
menghasilkan fluorescen biru pada panjang gelombang 427 nm ketika dipapari
sinar laser violet (405 nm). A. flavus dan Fusarium sp. memiliki spektrum emisi
fluorescen tertentu yang berbeda dengan spektrum emisi fluorescen media PDA
(448 nm dan 485 nm). Aplikasi laser-induced fluorescence berpotensi untuk
dikembangkan sebagai dasar metode deteksi cepat cendawan patogen
tumbuhan yang cepat, mudah, spesifik, tidak merusak, dan akurat.
Kata kunci: benih padi, deteksi, Aspergillus flavus, Fusarium sp., laser-induced
fluorescence

@ Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGEMBANGAN METODE DETEKSI CEPAT
Aspergillus flavus Link. DAN Fusarium sp. PADA BENIH PADI
MENGGUNAKAN LASER-INDUCED FLOURESCENCE

ARINY PRASETYA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Departemen Proteksi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008


LEMBAR PENGESAHAN
Judul Tesis :

Pengembangan Metode Deteksi Cepat Aspergillus flavus Link.
dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan Laser-Induced
Flourescence

Nama

:

Ariny Prasetya

NRP

:

A451064024


Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Bonny P.W. Soekarno, MS.
Ketua

Dr. Akhiruddin Maddu, S.Si, M.Si.
Anggota

Diketahui
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ketua Program Studi
Entomologi-Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MS.

Tanggal ujian: 22 Desember 2008

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


Tanggal lulus: 14 Januari 2009

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga tesis dengan judul “Pengembangan Metode Deteksi Cepat
Aspergillus flavus Link. dan Fusarium sp. pada Benih Padi Menggunakan LaserInduced Fluorescence ” dapat diselesaikan.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Badan
Karantina Pertanian Departemen Pertanian yang telah memberikan kesempatan
untuk melanjutkan sekolah pascasarjana di Departemen Proteksi Tanaman
Institut Pertanian Bogor. Penghargaan dan terima kasih disampaikan kepada
Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MS. selaku ketua komisi pembimbing,
Dr. Akhiruddin Maddu, S.Si, M,Si. selaku anggota komisi pembimbing, dan
Dina, S.TP., M.Si. selaku dosen penguji luar komisi.
Akhir kata, penulis berharap semoga tesis ini dapat membawa manfaat
bagi yang memerlukannya.

Bogor, Desember 2008


Penulis

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Oktober 1980. Penulis
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Asril Agus (alm.)
dan Bustanidar Badar. Tahun 1998, penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tangerang
dan melanjutkan pendidikan di Universitas Andalas, Fakultas Pertanian, Jurusan
Hama dan Penyakit Tumbuhan di Padang tahun 1998-2002. Tahun 2007,
penulis mendapat ijin belajar dari Badan Karantina Pertanian untuk mengikuti
program S2 pada program studi Entomologi-Fitopatologi di Departemen Proteksi
Tanaman-Institut Pertanian Bogor.
Penulis menjadi pegawai negeri sipil di Badan Karantina Pertanian
Departemen Pertanian pada tahun 2002. Penulis ditugaskan pertama kali di
Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I SSK II Pekanbaru dan dimutasikan ke
Stasiun Karantina Tumbuhan Kelas I Soekarno-Hatta, sekarang menjadi Balai
Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta, pada tahun 2004.
Penulis menikah dengan Asep Orien Mubasyirin, ST pada tahun 2006 dan
dikaruniai putra bernama Rafif Alifio Musabbihin pada tahun 2006.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ...................................................................................

Halaman
xiv

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

xv

PENDAHULUAN ...................................................................................

1

Latar Belakang .............................................................................

1

Tujuan ..........................................................................................

4

Manfaat ........................................................................................

4

TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................

5

Cendawan Patogen pada Benih Padi ..........................................

5

Deteksi Cendawan Patogen .........................................................

9

Spektroskopi Fluorescen ..............................................................

12

BAHAN DAN METODE .........................................................................

15

Tempat dan Waktu .......................................................................

15

Bahan dan Alat .............................................................................

15

Metode .........................................................................................

15

Persiapan Penelitian ...........................................................

15

Kalibrasi Laser-Induced Fluorescence ................................

16

Deteksi Aspergillus flavus dan Fusarium sp. pada Benih
Padi ...........................................................................

17

HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................

18

Hasil ...............................................................................................

18

Pembahasan ..................................................................................

25

KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................

29

Kesimpulan .....................................................................................

29

Saran ..............................................................................................

29

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

31

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Kandungan air biji padi pada kelembaban relatif 65% sampai 90%
dan kecenderungan cendawan yang muncul .................................
2. Cendawan pada benih padi varietas Cisantana, metode kertas
blotter dengan deep freezing ..........................................................

DAFTAR GAMBAR

9

18

Halaman
1. Skema proses fluorescen .................................................................

13

2. Skema
aplikasi
......................................

fluorescence

17

3. Grafik fluorescen metabolit A. flavus (A), grafik fluorescen
Fusarium sp. (B) ...............................................................................

19

laser-induced

20

4. Grafik fluorescen media PDB ...........................................................
5. Grafik fluorescen metabolit A. flavus (A): 10-1(a), 10-2(b), 10-3(c),
10-4(d), 10-5(e), 10-6(f), 10-7(g), 10-8(h); grafik fluorescen metabolit
Fusarium sp. (B): 10-1(a), 10-2(b), 10-3(c), 10-4(d), 10-5(e) .................
6. Media PDA (A.a), media PDA yang ditumbuhi Fusarium sp. (A.b),
media PDA yang ditumbuhi A. flavus (A.c); Eksitasi laser violet
(405
nm)
pada
metabolit
cendawan
(B)
............................................
7. Grafik fluorescen metabolit A. flavus, inkubasi hari ke-4 (A), Grafik
fluorescen metabolit A. flavus, inkubasi hari ke-6 ............................
8. Grafik
fluorescen
...........................

Fusarium

sp.,

inkubasi

hari

ke-6

9. Grafik fluorescen media PDA ...........................................................

PENDAHULUAN

21

23
23
24
25

Latar Belakang
Padi merupakan komoditas pangan yang memiliki peranan cukup besar,
karena padi merupakan bahan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk
Indonesia (AAK 1990). Produksi padi tahun 2006 diperkirakan mencapai 54,66
juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 35,53 juta ton beras (asumsi
rendemen 65%).

Tetapi, pertumbuhan atau kenaikan produksi padi periode

2001-2006 sebesar 0,9% merupakan angka paling kecil dibandingkan dengan
pertumbuhan periode 1990-2000 sebesar 1,47% per tahun dan periode 19801990 sebesar 4,34% per tahun.

Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan

produksi padi nasional tidak dapat mengimbangi kenaikan konsumsi beras
sebesar 2% yang disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan
peningkatan konsumsi beras per kapita (Muchtadi 2008).
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mencapai target produksi padi
agar kebutuhan beras nasional terpenuhi, seperti menerapkan intensifikasi
pertanian. Hal ini dilakukan mengingat beras bukan hanya sekedar komoditas
pangan, tetapi juga merupakan komoditas strategis yang memiliki sensitivitas
politik, ekonomi, dan kerawanan sosial yang tinggi ( Andoko 2007). Salah satu
komponen utama sistem produksi padi adalah benih.

Kualitas benih akan

menentukan nilai ekonomi suatu produksi pertanian, sehingga benih merupakan
komoditas yang bernilai ekonomi tinggi (Hidayat 2006).
Penyakit tanaman merupakan salah satu faktor penentu dalam budidaya
dan produksi padi.
benih.

Sebagian penyakit tersebut terbawa dan tertular melalui

Cendawan, bakteri, virus, dan nematoda merupakan mikroorganisme

yang paling sering terdeteksi terbawa benih padi (Agarwal et al. 1989; Mew &
Gonzales 2002).

Menurut Rennie & Cockerrel (2006), organisme penyebab

penyakit dapat terbawa atau berada dalam benih, dimana pada kondisi
lingkungan yang sesuai dapat menyebabkan penyakit pada saat benih
berkecambah atau tanaman dewasa.
Patogen dan penyakit terbawa benih harus mendapat perhatian dalam
proses produksi pertanian karena sering menimbulkan kerugian dalam berbagai
hal: (1) Inokulum patogen terbawa benih dapat menurunkan daya berkecambah
benih, meningkatkan kematian bibit/tanaman muda berupa pre-emergence atau
post-emergence serta meningkatkan perkembangan penyakit (tingkat keparahan
penyakit) di lapang.

Gangguan tersebut pada akhirnya akan menurunkan

produksi dalam kualitas dan kuantitas, (2) Benih sebagai pembawa suatu

patogen baru atau strain patogen baru ke suatu tempat sehingga akan
menimbulkan ledakan suatu penyakit (outbreak) di tempat tersebut, dan (3)
Benih yang terinfeksi atau membawa patogen sering terkontaminasi oleh toksin
(mikotoksin) yang dihasilkan oleh patogen dan dapat merubah nilai nutrisi benih
tersebut (Soekarno 2003).
Patogen yang terbawa benih (seedborne pathogen) sekarang ini banyak
mendapat

perhatian,

karena

penggunaan

benih

bebas

patogen

dapat

mengurangi biaya penanggulangan penyakit di lapangan dan mengurangi
populasi patogen tersebut di musim berikutnya (Sutakaria 1982). Oleh sebab itu,
penggunaan benih padi yang baik dan sehat mutlak diperlukan, mengingat
peranan padi sebagai komoditas pangan yang bernilai strategis bagi penduduk
Indonesia.
Cendawan merupakan kelompok patogen utama yang dapat terbawa benih
atau

ditransmisikan

melalui

benih.

Cendawan

yang

merusak

benih

dikelompokkan menjadi cendawan lapang dan cendawan penyimpanan.
Cendawan lapang menyerang benih selama perkembangan atau pematangan
tetapi sebelum panen, sedangkan cendawan penyimpanan biasanya merusak
benih sesudah panen apabila kelembaban udara dan suhu cukup tinggi (Agarwal
& Sinclair 1997; Martinus 2003). Pada benih padi, menurut Mew & Gonzales
(2002), terdapat lebih dari 80 jenis cendawan dan sekitar 20 spesies cendawan
patogen terdeteksi dari benih padi pada satu kali pemeriksaan.
Beberapa cendawan patogen terbawa benih yang merugikan secara
ekonomi pada tanaman padi antara lain Alternaria padwickii (Ganguly) Ellis,
Ephelis oryzae Syd., Pyricularia oryzae Cav., Fusarium moniliforme Sheld., dan
Rhizoctonia solani Kühn (Agarwal et al. 1989; Agarwal & Sinclair 1997; Mew &
Gonzales 2002).

Cendawan patogen terbawa benih tersebut diketahui

menyebabkan kehilangan hasil yang cukup tinggi. Di daerah Asia tropis, tingkat
infeksi A. padwickii sebesar 80% sampai 90% (Mew & Gonzales 2002).
Kehilangan hasil padi akibat F. moniliforme telah dilaporkan sekitar 15% di India,
20% sampai 50% di Jepang, dan 3,7% sampai 14,6% di Thailand. R. solani
telah menyebabkan kehilangan hasil sekitar 25% di Jepang.

Sementara itu,

P. oryzae telah menyebabkan kelaparan di India dan kehilangan hasil 50%
sampai 90% produksi padi. Di Indonesia, serangan P. oryzae dapat mencapai
sekitar 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia (Ou 1975; Agarwal
& Sinclair 1997; Utami et al. 2005).

Fusarium semitectum Berk. & Rav.

dilaporkan menyebabkan busuk kering pada benih padi di Amerika Serikat, dan
juga menyebabkan busuk buah pada pisang, mentimum, melon, dan tomat (Nath
et al. 1970).
Infeksi cendawan penyimpanan pada benih padi dapat terjadi selama
proses transportasi, penanganan, dan penyimpanan benih. Cendawan tersebut
biasanya tidak berperan dalam perkembangan penyakit benih tetapi berperan
dalam kerusakan benih.

Kelompok cendawan penyimpanan yang sering

merusak benih padi adalah beberapa spesies dari Aspergillus dan Penicillium.
Aspergillus dan Penicillium menyerang benih atau butiran apabila kadar air di
atas 16% dan suhu rendah (Agarwal & Sinclair 1997; Anonim 2003; Martinus
2003).
Salah satu langkah utama untuk mencegah atau mengurangi resiko akibat
penyakit atau patogen terbawa benih adalah dilakukan pengujian kesehatan
benih.

Persyaratan utama dalam pengujian kesehatan benih adalah akurat,

spesifik, sensitif, cepat, praktis, murah, dan dapat dipercaya (Ball & Reeves 1991
dalam Maude 1996; Agarwal & Sinclair 1997). Muschick (2002) menyatakan
bahwa hasil pengujian benih, pada dasarnya, diharapkan dapat menggambarkan
secara tepat rata-rata kualitas dari suatu lot benih dan dapat diulang di
laboratorium yang berbeda. Salah satu faktor yang mempengaruhi keakuratan
hasil pengujian benih yaitu metode pengujian kesehatan benih yang digunakan
oleh suatu laboratorium.
Menurut Misra et al. (1994), metode pengujian kesehatan benih yang
biasa digunakan pada benih padi adalah metode kertas blotter, metode media
agar, pencucian benih, dan pengujian gejala. Metode kertas blotter merupakan
metode standar untuk mendeteksi cendawan patogen terbawa benih padi dan
benih lainnya. Metode ini juga telah lama dan sampai saat ini masih digunakan
di laboratorium pengujian di Indonesia, seperti laboratorium karantina tumbuhan.
Seiring dengan kemajuan teknologi, deteksi dan identifikasi cendawan patogen
terbawa benih telah mengarah pada pendekatan molekuler berdasarkan DNA
dan atribut fisiologis lainnya.
Salah satu teknologi yang sangat potensial dikembangkan untuk deteksi
cendawan patogen terbawa benih adalah spektroskopi fluorescen. Pemanfaatan
spektroskopi fluorescen dengan sinar laser (laser-induced fluorescence) untuk
deteksi cendawan patogen tumbuhan dikembangkan karena cendawan patogen
diketahui menghasilkan metabolit tertentu yang akan menghasilkan emisi

fluorescen yang sangat spesifik, apabila dikenai cahaya near ultraviolet atau
ultraviolet.
Proses fluorescen diawali dengan absorpsi energi cahaya oleh suatu
molekul.

Selanjutnya, molekul akan mengakomodasi tambahan energi untuk

mengangkat elektron sehingga mencapai keadaan tereksitasi. Tambahan energi
tersebut dapat dilepaskan melalui beberapa cara. Salah satunya, molekul akan
melepaskan sisa energi dengan memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen.
Chen et al. (2005) menggunakan spektrometer luminescen dari lightinduced delayed luminescence (DL) untuk mendeteksi kontaminasi aflatoksin B1
(AfB1) yang dihasilkan A. flavus pada kacang tanah. Spektrometer luminescen
akan menghasilkan DL dan spektrum fluorescen dari kacang tanah yang
terkontaminasi A. flavus.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan protokol deteksi cepat
cendawan patogen tumbuhan melalui mekanisme laser-induced fluorescence.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan di masa depan spektroskopi fluorescen
dengan sinar laser dapat dimanfaatkan sebagai metode pengujian kesehatan
benih yang cepat, mudah, spesifik, murah, dan akurat.

TINJAUAN PUSTAKA

Cendawan Patogen pada Benih Padi
Di Indonesia, padi merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai
ekonomi tinggi dan sebagai komoditas politik. Nilai ekonomi padi terletak pada
harga jual padi yang masih mendorong petani menanam padi. Sebagai bahan
makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan padi
sebagai tanaman pangan utama yang memiliki sensitivitas politik tinggi. Beras
seringkali

dijadikan

alat

tawar-menawar

politik

pemerintah

untuk

mempertahankan kekuasaannya. Nilai strategis padi tersebut mendorong
pemerintah

untuk

mengupayakan

ketersediaan

beras

nasional

secara

kesinambungan. Oleh karena itu, padi harus selalu diupayakan dalam stabilitas
produksinya.
Benih merupakan salah satu komponen utama yang menjadi faktor
pembatas dalam sistem produksi pertanian.

Selain mutu genetis dan mutu

fisiologis, kesehatan benih termasuk pula sebagai kriteria kualitas benih.
Kesehatan

benih

menggambarkan

potensi

mikroorganisme penyebab penyakit tanaman.

benih

sebagai

pembawa

Dewasa ini telah diketahui

berbagai mikroorganisme yang terbawa benih mampu menimbulkan penyakit
ketika benih berkecambah, tanaman muda, dan tanaman dewasa (Soekarno
2003; Hidayat 2006).
Kelompok mikroorganisme yang dapat terbawa benih atau ditransmisikan
melalui benih diantaranya adalah cendawan. Cendawan yang merusak benih
dikelompokkan menjadi cendawan lapang dan cendawan penyimpanan.
Cendawan lapang menyerang benih selama perkembangan atau pematangan
tetapi sebelum panen, sedangkan cendawan penyimpanan biasanya merusak
benih sesudah panen apabila kelembaban udara dan suhu cukup tinggi (Agarwal
& Sinclair 1997; Martinus 2003).
Cendawan patogen terbawa benih padi dapat dikelompokkan menjadi tiga
yaitu, (a) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada daun padi,
(b) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada batang, pelepah,
dan akar padi, dan (c) Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit
pada biji dan influorescen (Agarwal et al. 1989; Mew & Gonzales 2002).
Penyakit paling penting yang disebabkan oleh cendawan patogen terbawa benih
tersebut, menurut Webster & Gunnell (1992), antara lain blas, hawar pelepah,
busuk akar, dan penyakit pada pembibitan karena menghancurkan tanaman
apabila lingkungan dan kondisi pertanaman sesuai bagi perkembangan penyakit.

Mew & Gonzales (2002) menyebutkan bahwa cendawan patogen terbawa
benih penyebab penyakit pada daun padi adalah Alternaria padwickii (Ganguly)
Ellis, Bipolaris oryzae (Breda de Haan) Shoem. sinonim Drechslera oryzae
(Breda de Haan) Subram. & Jain, Cercospora janseana (Racib.) Const. sinonim
C. oryzae Miyake, Microdochium oryzae (Hasioka & Yokogi) Samuels & Hallet
sinonim Gerlachia oryzae (Hasioka & Yokogi) W. Gams., dan Pyricularia oryzae
Cav.

Webster & Gunnell (1992) menambahkan cendawan patogen terbawa

benih yang menyebabkan penyakit minor pada daun padi, antara lain Entyloma
oryzae Syd. & P. Syd., D. gigantea (Heald & F.A. Wolf), Sclerophthora
macrospora (Sacc.) Thirumalachar, C. G. Shaw & Narasimhan, Mycovellosiella
oryzae (Deighton & Shaw) Deighton, Ascochyta oryzae Cattaneo, Puccinia
graminis f. sp. oryzae, dan Uromyces coronatus Yosh.
A. padwickii menyebabkan bercak daun stackburn. Infeksi cendawan ini
pada benih menyebabkan perubahan warna biji, menurunkan daya kecambah,
dan mengurangi kualitas benih.

Cendawan ini bertahan dalam tanah, pada

benih, dan pada sisa tanaman sakit sebagai sklerotium dan miselium. Infeksi
terjadi melalui konidia yang terbawa angin. Infeksi umumnya terjadi melalui luka,
tetapi A. padwickii dapat juga mempenetrasi glume secara langsung dan
menginfeksi kernel yang belum masak. Infeksi pada benih sering menyebabkan
infeksi pada pembibitan yang mengakibatkan hawar bibit (Webster & Gunnell
1992; Mew & Gonzales 2002).
P. oryzae (blas) merupakan penyebab kelaparan di Jepang selama tahun
1930-an.

Di Philipina, kerugian akibat blas diperkirakan lebih dari 50%.

Serangan P. oryzae dapat mencapai sekitar 12% dari total luas areal
pertanaman padi di Indonesia (Agarwal & Sinclair 1997; Utami et al. 2005).
Penyakit blas telah menyebar dan dikenal di semua negara penanam padi,
kurang lebih ada 85 negara di dunia. Kemampuan cendawan penyebab penyakit
blas menghasilkan konidia yang berjumlah sangat banyak, menyebabkan
penularannya ke tanaman di sekitarnya sangat cepat. Sifat cendawan mampu
terbawa benih memungkinkan dapat tersebarkan melewati jarak dan waktu yang
jauh (Kuyek 2000).
Fusarium moniliforme Sheld. dan Sarocladium oryzae (Sawada) W. Gams.
& D. Hawks. merupakan cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit
pada batang, pelepah, dan akar padi (Mew & Gonzales 2002).

Selain itu,

Webster & Gunnell (1992) menyebutkan pula Magnaporthe salvinii (Cattaneo)

R. Krause & R. K. Webster, Rhizoctonia solani Kuhn, R. oryzae-sativac (Sawada)
Mordue, Cylindrocladium scoparium Morg., Gaeumannomyces graminis (Sacc.)
Arx & D. Oliver var. graminis, dan Myrothecium verrucaria (Albertini & Schwein)
penyebab penyakit pada pelepah padi.
Kehilangan hasil padi akibat F. moniliforme telah dilaporkan sekitar 15% di
India, 20% sampai 50% di Jepang, dan 3,7% sampai 14,6% di Thailand (Agarwal
& Sinclair 1997). F. moniliforme menyebabkan hawar bibit, busuk kaki, kerdil,
dan hipertropi (penyakit bakanae). Penyakit bakanae merupakan penyakit yang
paling penting di wilayah Asia (Booth 1971). F. moniliforme berada pada embrio,
glume, palea, dan lemma (Agarwal et al. 1989).
Hawar pelepah, yang disebabkan oleh R. solani, merupakan penyakit
kedua terpenting setelah blas di Jepang, Cina, Taiwan, Sri Lanka, dan Amerika
Serikat. Kehilangan hasil akibat infeksi R. solani diperkirakan mencapai 30%
sampai 40% di Jepang, 25% sampai 50% di Philipina, dan 50% di Amerika
Serikat (Agarwal et al. 1989). Sklerotia R. solani dapat bertahan dalam tanah
mulai dari beberapa bulan sampai satu atau dua tahun, tergantung kelembaban
dan suhu (Ou 1975).
Cendawan patogen terbawa benih penyebab penyakit pada biji padi dan
influorescen antara lain Curvularia sp., Fusarium solani (Mart.) Sacc., Nigrospora
sp., Phoma sorghina (Sacc.) Boerema et al., Pinatubo oryzae Manandhar &
Mew, dan Tilletia barclayana (Bref.) Sacc. & Syd. (Mew & Gonzales 2002).
Agarwal et al. (1989) menambahkan pula Ustilagonoidea virens (Cooke) Tak.,
Ephelis oryzae Syd., dan F. gramineum Schwabe.
Fusarium semitectum Berk. & Rav. dilaporkan menyebabkan busuk kering
pada benih padi di Amerika Serikat, dan juga menyebabkan busuk buah pada
pisang, mentimum, melon, dan tomat (Nath et al. 1970). Penyakit false smut
merupakan salah satu penyakit pada biji padi yang disebabkan oleh U. virens.
Cendawan ini menyerang ovari pada fase awal pembungaan, tetapi dapat juga
menyerang biji yang masak. U. virens dapat bertahan sebagai sklerotium atau
pseudomorph.

Penyakit false smut telah dilaporkan pernah menimbulkan

epidemi di India, Burma, Peru, dan Philipina (Webster & Gunnell 1992).
Penyakit udbatta telah dilaporkan merupakan penyakit yang cukup penting
di India, Cina, Hong Kong, New Caledonia, dan Afrika Barat.

Penyakit ini

disebabkan oleh E. oryzae. Di India, kehilangan hasil akibat penyakit ini sekitar

10% sampai 11% (Agarwal et al. 1989). Patogen ini terbawa benih secara
internal. Infeksi dimulai pada saat panikel mulai muncul (Kato et al. 1998).
Berbagai faktor yang mempengaruhi siklus infeksi adalah kondisi cuaca,
kultur teknis, ketahanan atau kerentanan varietas tanaman, virulensi patogen,
dan jumlah inokulum yang dihasilkan untuk penyebaran sekunder serta efisiensi
inokulum (Mew & Gonzales 2002). Menurut Agarwal & Sinclair (1997), apabila
suatu patogen itu terbawa benih, maka ia harus menginfeksi atau menginfestasi
benih dengan inokulum yang mampu menyebabkan penyakit pada tanaman
setelah penanaman.
Setelah padi dipanen dan dikeringkan, kelompok cendawan yang berbeda
akan berkembang saat penyimpanan atau disebut cendawan penyimpanan. Biji
padi jarang sekali terinfeksi cendawan penyimpanan selama di lapangan.
Cendawan penyimpanan tumbuh pada kelembaban relatif kurang dari 95%.
Bahkan, cendawan penyimpanan ini dapat tumbuh dan berkembang pada
kelembaban relatif 70% dimana tidak ada kandungan air bebas dan suhu rendah
(Anonim 2003).
Beberapa spesies Aspergillus dan Penicillium merupakan cendawan
penyimpanan yang umum dijumpai pada benih padi (Tabel 1). Setiap spesies
Aspergillus dan Penicillium memerlukan kelembaban relatif yang berbeda,
sehingga perkembangan cendawan tersebut menjadi indikator kandungan air
dari biji yang disimpan (Anonim 2003).
Cendawan penyimpanan tidak berperan dalam perkembangan penyakit
benih tetapi

berperan dalam

kerusakan benih.

Cendawan

berkembang pada benih tanpa adanya air bebas.

ini mampu

Peranan cendawan

penyimpanan terhadap kerusakan benih agak sulit diketahui. Sekitar 4% dari
benih yang disimpan hilang setiap tahun. Kehilangan hasil lebih banyak terjadi di
daerah tropis karena kelembaban yang tinggi, curah hujan tinggi, dan cara
penyimpanan serta suhu yang jelek (Martinus 2003).

Tabel 1 Kandungan air biji padi pada kelembaban relatif 65% sampai 90% dan
kecenderungan cendawan yang muncul

Kelembaban relatif

Kandungan air biji

Cendawan

(%)

(%)

70-75
75-80

14.0-15.0
14.5-15.0

A. restrictus, A. glaucus
A. candidus, A. restrictus,

80-85

16.0-18.0

A. glaucus
A. flavus, A. candidus,

85-90

18.0-20.0

A. restrictus, A. glaucus
Penicillium, A. flavus, A. candidus,
A. restrictus, A. glaucus

Sumber: Christensen & Sauer 1982 dalam Anonim 2003.

Kerugian

yang

diakibatkan

cendawan

menurunnya perkecambahan dan pemanasan.

penyimpanan

antara

lain

Menurut Anonim (2003),

viabilitas benih akan menurun karena melemahnya atau matinya embrio benih
yang diawali dengan perubahan warna.
perubahan warna terdeteksi.

Benih tidak berkecambah apabila

Menurunnya viabilitas benih tergantung pada

cendawan penyimpanan. Aspergillus flavus Link. dapat membunuh keseluruhan
lot benih yang terinfeksi apabila benih disimpan selama tiga bulan. A. flavus
berkembang pada kadar air benih antara 16% sampai 18%.

Cendawan ini

menyebabkan perubahan warna, pemanasan yang cepat, dan mematikan
kecambah. Pemanasan pada benih padi yang disimpan terjadi apabila sebagian
benih yang disimpan lembab dan kadar air yang tinggi akibat kebocoran tempat
penyimpanan atau aktifitas serangga atau peningkatan suhu benih yang
disimpan.

Deteksi Cendawan Patogen
Soekarno (2003) menyebutkan bahwa metode deteksi dan identifikasi
patogen merupakan salah satu komponen yang menentukan tingkat efektifitas
atau keberhasilan pengendalian patogen terbawa benih.

Oleh karena itu,

metode deteksi dan identifikasi yang cepat dan akurat merupakan prasyarat
tingkat keberhasilan pengendalian suatu patogen. Keberhasilan deteksi patogen
terbawa benih tergantung proses ekstraksi dan isolasi patogen.

Sejumlah

patogen terbawa benih mudah dikenali karena menunjukkan gejala dan atau
membentuk struktur khusus pada benih, namun kebanyakan patogen sulit
dikenali sehingga perlu dilakukan isolasi terlebih dahulu.

Neergaard

(1977)

mengemukakan

tujuan

dan

maksud

pengujian

kesehatan benih sebagai berikut:
a. Untuk maksud karantina sebagai usaha mencegah masuknya penyakit baru
dari negara lain atau mencegah meluasnya penyakit di dalam negeri atau ke
negara lain.
b. Untuk sertifikasi benih sebagai usaha menghilangkan atau mengurangi
patogen terbawa benih.
c. Untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan tanaman di persemaian
maupun di lapang.
d. Mengevaluasi kualitas biji yang akan disimpan untuk keperluan konsumsi
atau untuk penanaman.
e. Untuk mengetahui perlu tidaknya dilakukan perawatan benih sebelum
diadakan penanaman atau penyimpanan benih.
f.

Mengevaluasi efek fungisida untuk keperluan perawatan benih.

g. Usaha mengadakan survei patogen terbawa benih, sehingga dapat diketahui
penyebaran terutama yang dapat menginfeksi dan menginfestasi biji.
Metode pengujian kesehatan benih yang digunakan tergantung pada jenis
benih dan jenis patogen yang terbawa benih tersebut. Penentuan metode yang
digunakan bertujuan agar deteksi dan identifikasi patogen terbawa benih dapat
dilakukan dengan mudah, sehingga untuk menguji kesehatan suatu contoh benih
mungkin hanya digunakan satu metode atau beberapa metode pengujian.
Beberapa

metode

pengujian

kesehatan

benih

untuk

pemeriksaan

cendawan patogen terbawa benih antara lain pemeriksaan langsung benih
kering, pencucian benih, inkubasi dengan kertas blotter, inkubasi pada media
agar, pengujian gejala kecambah, dan penghitungan embrio (Mathur et al. 1989;
Agarwal & Sinclair 1997). Masing-masing metode tersebut memiliki kelebihan
dan kekurangan, sehingga cara pengujian kesehatan benih dapat dipilih salah
satu atau lebih sesuai tujuan dari pengujian kesehatan benih.
Pada pengujian kesehatan benih padi, metode yang sering digunakan
adalah metode inkubasi dengan kertas blotter, media agar, pencucian benih, dan
pengujian gejala kecambah (Surachmat & Suwanda 1984; Misra & Mew 1994;
Mew & Gonzales 2002). Saat ini telah dikembangkan metode deteksi patogen
terbawa benih padi dengan pendekatan karakter molekuler berdasarkan sifat
protein seperti serologi dan berdasarkan sifat asam nukleat seperti hibridisasi

DNA/RNA dan Polymerase Chain Reaction (PCR)/Reverse Trancription-PCR
(RT-PCR).
Pemeriksaan langsung benih kering merupakan metode pengujian
kesehatan benih yang dapat dilaksanakan untuk mendeteksi cendawan patogen
terbawa benih, berdasarkan perubahan karakteristik warna dari benih atau
perubahan ukuran dan bentuk benih.

Cara pemeriksaan tersebut dapat

memberikan informasi yang cepat terhadap status kesehatan contoh benih.
Tetapi dalam kebanyakan kasus, pemeriksaan langsung benih kering tidak dapat
diterima sebagai satu-satunya cara pemeriksaan benih karena ketiadaan gejala
atau struktur cendawan pada atau dalam benih tidak langsung menunjukkan
bahwa benih bebas dari infeksi patogen, sedangkan adanya gejala tidak selalu
menunjukkan keberadaan inokulum patogen yang aktif (Mathur et al. 1989).
Metode

pencucian

benih

merupakan

prosedur

yang

cepat

untuk

mendeteksi spora spesifik dari cendawan patogen yang terbawa di permukaan
benih, seperti P. oryzae, D. oryzae dan Trichoconis padwickii (A. padwickii) pada
benih padi. Identifikasi dengan metode ini hanya berdasarkan karakteristik spora
dimana pada beberapa kasus sulit karena parameter lain, seperti lokasi dan
karakteristik massa spora, gejala pada tanaman inang, penting pula untuk
identifikasi spesies cendawan (Surachmat & Suwanda 1984; Mathur et al 1989).
Metode kertas hisap (blotter test) dan metode agar digunakan secara luas
untuk mendeteksi cendawan, karena prinsip metode tersebut memberikan
kondisi optimal untuk struktur perkembangbiakan lain dari cendawan patogen
terbawa benih. Kelemahan metode kertas hisap adalah tingkat perkecambahan
benih yang tinggi dan pertumbuhan saprofit yang cepat. Sedangkan metode
agar, menurut Mathur et al. (1989), membutuhkan waktu dan biaya dalam
menyiapkan media agar sehingga hanya digunakan untuk pengujian kesehatan
benih yang sulit dideteksi dengan metode kertas hisap.
Prinsip metode pengujian gejala kecambah adalah menumbuhkan benih uji
pada media tumbuh tertentu kemudian diamati gejala penyakit yang timbul pada
kecambah.

Pada beberapa kasus, kecambah bahkan mungkin mati akibat

inokulum patogen terbawa benih. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi
patogen penyebab penyakit pada fase kecambah seperti Alternaria, Fusarium,
Drechslera, Pyricularia (Surachmat & Suwanda 1984; Mathur et al. 1989).
Metode

deteksi

cendawan

melalui

pendekatan

merupakan kemajuan dalam pengujian kesehatan benih.

karakter

molekuler

Metode ini mampu

memberikan hasil pengujian yang cepat dan akurat.

Namun, metode ini

memerlukan bahan yang mahal.
Upaya untuk mengembangkan metode deteksi dan identifikasi cendawan
patogen yang cepat, mudah, murah, dan akurat perlu dilakukan.

Cendawan

patogen diketahui menghasilkan metabolit tertentu. Metabolit yang dihasilkan
cendawan tersebut akan menghasilkan emisi fluorescen sangat spesifik apabila
dikenai cahaya near ultraviolet atau ultraviolet.

Oleh karena itu, teknologi

spektroskopi fluorescen sangat potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif
metode pengujian kesehatan benih. De Champrode (2007) menyatakan bahwa
pengujian dengan fluorescen dapat dilakukan tanpa biaya mahal tiap sampel,
selektif, sensitif, dan akurat.

Spektroskopi Fluorescen
Spektroskopi fluorescen merupakan salah satu teknik spektroskopi yang
telah digunakan secara luas dalam bidang biokimia dan biofisika molekuler saat
ini.

Spektroskopi fluorescen cukup terkenal karena sensitivitasnya terhadap

perubahan dinamika dan struktural biokimia dan biofisika, meskipun pengukuran
fluorescen tidak memberikan informasi struktural yang terinci (Royer 1995).
Menurut Royer (1995), terdapat empat persyaratan dasar yang harus
dipenuhi dalam spektroskopi fluorescen yaitu:
1. Prinsip Frank-Condon: inti tidak berubah selama transisi elektronik, dan juga
eksitasi terjadi sampai tingkat keadaan elektronik tereksitasi secara vibrasi.
2. Emisi terjadi dari tingkat vibrasi terendah pada keadaan singlet tereksitasi
terendah karena relaksasi dari tingkat vibrasi tereksitasi lebih cepat
dibandingkan emisi.
3. The

Stokes

shift:

emisi

selalu

merupakan

energi

yang

lebih

rendah daripada absorbsi karena relaksasi inti pada keadaan tereksitasi.
4. The mirror image rule: emisi spectrum merupakan bayangan cermin dari pita
absorbsi energi terendah.
Molekul memiliki berbagai keadaan yang menunjukkan beberapa tingkat
energi. Spektroskopi fluorescen pada dasarnya berhubungan dengan keadaan
elektronik dan vibrasi. Secara umum, spesies yang diuji akan memiliki keadaan
elektronik dasar (suatu keadaan berenergi rendah) dan keadaan elektronik
tereksitasi pada tingkat energi lebih tinggi. Di dalam setiap keadaan elektronik
tersebut terdapat berbagai keadaan vibrasi (Anonim 2008).

Pada spektroskopi fluorescen (Gambar 1), suatu molekul terlebih dahulu
dieksitasi oleh adanya absorbsi cahaya dari suatu sinar dari keadaan elektronik
dasar ke salah satu dari berbagai keadaan vibrasi pada keadaan elektronik
tereksitasi. Molekul akan kehilangan sisa energi vibrasi dengan cepat melalui
tabrakan dan jatuh pada salah satu dari berbagai tingkat vibrasi pada keadaan
elektronik dasar sambil memancarkan cahaya dalam bentuk fluorescen. Hal ini
disebabkan energi telah diabsorbsi dan mencapai salah satu tingkat vibrasi
tertinggi pada keadaan tereksitasi.

Cahaya yang dipancarkan akan memiliki

frekuensi dan energi yang berbeda dengan cahaya yang diserap.

Struktur

tingkat vibrasi yang berbeda, termasuk intensitas relatifnya, dapat ditentukan
melalui analisis frekuensi cahaya yang berbeda dipancarkan pada spektroskopi
fluorescen (Bass 2000; Anonim 2008).

Keadaaan
elektronik tereksitasi

Energi (eV)

Absorbsi

Keadaan
elektronik dasar

Relaksasi vibrasi

Fluorescen

Gambar 1 Skema Proses Fluorescen

Kebanyakan molekul menempati tingkat vibrasi terendah dari keadaan
dasar elektronik pada suhu kamar, dan pada absorbsi cahaya molekul-molekul
tersebut diangkat untuk mencapai keadaan tereksitasi.
mengakibatkan

molekul

mencapai

berbagai

berhubungan dengan setiap keadaan elektronik.

sub-tingkat

Eksitasi dapat
vibrasi

yang

Oleh karena energi yang

diabsorbsi memiliki kuanta tersendiri, maka proses tersebut menghasilkan
rangkaian pita absorbsi yang berbeda (Bass 2000).

Fluorescen telah menyediakan banyak informasi terkait biomolekul dan
dinamikanya.

Fluorescen telah banyak digunakan untuk memonitor proses

polimerasi, mendeteksi basa nitrogen pada DNA, mengukur koefisien difusi, dan
menginvestigasi daerah pengikat antibodi. Spektroskopi fluorescen telah banyak
pula digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa organik dan inorganik.
Teknik spektroskopi fluorescen ini memiliki potensi untuk dikembangkan
sebagai dasar metode deteksi dan identifikasi cendawan patogen tumbuhan.
Bergkvist (1989) menyatakan bahwa pemanfaatan fluorescen dengan cahaya
near ultraviolet untuk deteksi cendawan patogen tidak cukup untuk digunakan
sendiri, namun fluorescen dapat menjadi bagian dari metode pengujian
kesehatan benih untuk memfasilitasi deteksi cendawan patogen. Metode deteksi
cendawan patogen dengan memanfaatkan fluorescen memiliki kelebihan, antara
lain cepat, mudah, dan murah.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Cendawan Departemen Proteksi
Tanaman dan Laboratorium Biofisika Departemen Fisika Institut Pertanian Bogor,
dari April 2008 hingga November 2008.

Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan antara lain benih padi varietas Cisantana,
media Potato Dextrosa Agar (PDA), media Potato Dextrose Broth (PDB), isolat
A. flavus, isolat Fusarium sp., streptomycin, kertas membran nitrat selulosa
Whatman 0,2 µm, dan kertas membran nitrat selulosa Whatman 0,45 µm.
Peralatan yang digunakan meliputi mikroskop stereo binokuler, mikroskop
majemuk binokuler, autoklaf, cork borer, shaker, vacuum pump, cuvette plastik,
spektrofluoremeter USB 4000-FL merk Ocean Optics, laser violet (405 nm),
cuvette holder, fiber optik, dan komputer dengan software Spectrasuite Ocean
Optics.

Metode

Persiapan Penelitian
Isolat murni.

Sebanyak 200 benih padi direndam dalam larutan natrium

hipoklorit 1% selama 3 menit dan dibilas dengan akuades selama 1 menit
sebanyak dua kali. Selanjutnya, benih disemai di atas tiga lembar kertas saring
yang telah dilembabkan dengan akuades dalam cawan petri plastik.

Jumlah

benih yang disemai sebanyak 25 benih untuk setiap cawan. Cawan tersebut
diletakkan dalam ruang inkubasi di bawah penyinaran lampu near ultraviolet
(NUV) dengan pengaturan penyinaran selama 12 jam terang dan 12 jam gelap
secara bergantian.

Pada hari ke-2 inkubasi, cawan dipindahkan ke freezer

dengan suhu -20 °C selama 24 jam. Inkubasi di dalam freezer bertujuan untuk
mematikan daya tumbuh benih sehingga memudahkan dalam pengamatan.
Selanjutnya, cawan dipindahkan kembali ke ruang inkubasi selama lima hari
berikutnya (Mathur et al. 1989; Mew & Gonzales 2002).
Setelah selesai inkubasi, dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop
stereo binokuler dan mikroskop majemuk binokuler. Cendawan A. flavus dan

Fusarium sp. yang tumbuh kemudian dimurnikan pada media PDA untuk
mendapatkan isolat murni cendawan.

Kalibrasi Laser-Induced Fluorescence
Pengukuran panjang gelombang metabolit yang dihasilkan dari isolat
cendawan A. flavus dan Fusarium sp. Isolat murni cendawan A. flavus dan
Fusarium sp. diambil sebanyak dua lingkaran cork borer dan ditumbuhkan dalam
tabung erlenmeyer yang berisi 100 ml media PDB. Media PDB di-shaker selama
dua minggu. Selanjutnya, suspensi cendawan tersebut disaring dengan vaccum
pump untuk mendapatkan metabolit cendawan A. flavus dan Fusarium sp.
Suspensi cendawan disaring sebanyak dua kali penyaringan.

Penyaringan

pertama dilakukan menggunakan kertas membran nitrat selulosa Whatman
0,45 µm sebanyak dua lembar dan penyaringan kedua dilakukan menggunakan
kertas membran nitrat selulosa Whatman 0,2 µm sebanyak dua lembar.
Metabolit yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam cuvette
plastik. Cuvette plastik diletakkan pada cuvette holder dan dieksitasi dengan
sinar laser violet pada panjang gelombang 405 nm.

Panjang gelombang emisi

fluorescen

sp.,

metabolit

A.

flavus

dan

Fusarium

selanjutnya

diukur

menggunakan Spectrofluoremeter USB 4000-FL.
Kalibrasi

laser-induced

flourescence

metabolit

A.

flavus

dan

Fusarium sp. sebagai metabolit cendawan standar. Metabolit A. flavus dan
Fusarium sp. dimasukkan dalam akuades untuk dilakukan pengenceran.
Pengenceran dilakukan hingga didapatkan konsentrasi metabolit 10-1, 10-2, 10-3,
10-4, 10-5, 10-6, 10-7, 10-8, 10-9, dan 10-10. Hal ini dilakukan untuk memperoleh
panjang gelombang emisi fluorescen metabolit cendawan standar. Setelah itu,
masing-masing metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada berbagai konsentrasi
tersebut diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam cuvette plastik. Cuvette
plastik diletakkan pada cuvette holder dan dieksitasi dengan sinar laser violet
pada panjang gelombang 405 nm.

Panjang gelombang emisi fluorescen

metabolit A. flavus dan Fusarium sp. pada berbagai konsentrasi diukur dan
dikalibrasi menggunakan Spectrofluoremeter USB 4000-FL.

Deteksi A. flavus dan Fusarium sp. pada Benih Padi

Modifikasi media tumbuh cendawan sebagai media standar untuk
pengukuran panjang gelombang metabolit cendawan. Benih padi direndam
dalam akuades selama 24 jam, dimaksudkan untuk merangsang perkecambahan
benih pada media tumbuh.

Selanjutnya, benih padi disterilisasi permukaan

dalam natrium hipoklorit 1% selama 3 menit dan dibilas dengan akuades selama
1 menit sebanyak dua kali. Benih tersebut ditumbuhkan pada cuvette plastik
yang berisi 1,5 ml media tumbuh PDA yang ditambahkan Streptomycin. Jumlah
benih yang ditanam adalah satu biji tiap cuvette plastik. Penumbuhan benih ini
bertujuan untuk menghasilkan metabolit cendawan.
Aplikasi laser-induced fluorescence untuk deteksi A. flavus dan
Fusarium sp. pada Media PDA.

Metabolit yang dihasilkan A. flavus dan

Fusarium sp. pada kecambah benih tersebut dieksitasi dengan sinar laser violet
pada panjang gelombang 405 nm.

Gambar 2 menunjukkan skema aplikasi

laser-induced fluorescence. Panjang gelombang emisi fluorescen metabolit A.
flavus

dan

Fusarium

sp.

pada

media

PDA

diukur

menggunakan

Spectrofluoremeter USB 4000-FL. Pengamatan dilakukan pada saat kecambah
berumur dua hari, empat hari, dan enam hari.

Software: Ocean Optics
Laser Violet
405 nm
Spektrofluoremeter
USB 4000-FL
Fiber optik
Sampel uji
Gambar 2 Skema Aplikasi Laser-Induced Fluorescence

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Isolat Murni Cendawan
Hasil intersepsi cendawan pada benih padi varietas Cisantana setelah
diinkubasi satu minggu dengan metode kertas blotter dengan deep freezing,
seperti tercantum pada Tabel 2.

Hasil identifikasi cendawan memperlihatkan

pertumbuhan cendawan, baik cendawan lapang maupun cendawan gudang.
Cendawan A. flavus dan Fusarium sp. yang didapatkan kemudian diisolasi dan
dimurnikan pada media PDA untuk digunakan pada perlakuan selanjutnya.

Tabel 2 Cendawan pada benih padi varietas Cisantana, metode kertas blotter
dengan deep freezing
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13

Jenis Cendawan
Alte