Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus terreus dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk
PEMANFAATAN FUNGI
Aspergillus flavus
,
Aspergillus terreus
,
DAN
Trichoderma harzianum
UNTUK MENINGKATKAN
PERTUMBUHAN BIBIT
Rhizophora mucronata
Lamk
SKRIPSI
OLEH:
DARMANTO AMBARITA 111201118/BUDIDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tigadolok, Kota Pematang Siantar pada tanggal 11 April 1993. Penulis merupakan putra keempat dari enam bersaudara dari pasangan Amson Ambarita dan Konna Silalahi.
Pendidikan formal yang ditempuh penulis selama ini adalah; Pendidikan Dasar di SD Negeri 091444 Dolok Maraja (1999-2005), Pendidikan Lanjutan di SMP Negeri 1 Dolok Panribuan (2005-2008), Pendidikan Menengah di SMA Teladan Pematang Siantar (2008-2011) dan tahun 2011 diterima di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur UMB.
Kegiatan non formal yang diikuti oleh penulis selama perkuliahan adalah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU periode 2011-2014 serta anggota Komunitas Mahasiswa Kristen (KMK) USU periode 2011-2015. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Silvika pada tahun 2013, asisten praktikum Silvikultur pada tahun 2014, asisten praktikum Sifat Fisis dan Mekanis Kayu pada tahun 2014, asisten praktikum Hidrologi Hutan pada tahun 2015 dan asisten Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tahun 2014.
Penulis pernah melakukan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan Tongkoh pada tahun 2013, selain itu penulis juga pernah melakukan Praktik Kerja Lapangan di Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Pekalongan Timur Divisi Regional Jawa Tengah pada tahun 2015. Akhir kuliah penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus terreus dan Trichoderma harzianum untuk
Meningkatkan Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk untuk
(3)
ABSTRAK
DARMANTO AMBARITA. Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus,
Aspergillus terreus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk. Di bawah bimbingan
akademik oleh YUNASFI dan MISWAR BUDI MULYA.
Kondisi mangrove yang semakin rusak menyebabkan kualitas dan kuantitas bibit mangrove semakin berkurang. Untuk meningkatkan serta mendapatkan bibit mangrove yang baik, maka dibutuhkan rehabilitasi terhadap mangrove. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan berbagai jenis fungi yang dapat meningkatkan daya tumbuh mangrove menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk memberi informasi mengenai fungi yang mempunyai kemampuan yang
besar dalam meningkatkan pertumbuhan bibit R. mucronata. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan aplikasi 3 jenis fungi dan lima ulangan.
Jenis fungi yang diaplikasikan yaitu A. flavus, A.terreus T. harzianum. Pemberian
fungi Trichoderma harzianum memberikan hasil pertumbuhan yang paling baik
terhadap semua parameter pertumbuhan semai R. mucronata dengan tinggi
rata-rata 15,48 cm, diameter 0,47 cm, luas permukaan daun 1375,43 cm2 dan bobot
kering total 119,5 g dibandingkan dengan bibit kontrol serta bibit dengan pemberian fungi yang lain.
(4)
ABSTRACT
DARMANTO AMBARITA. The utilization of Aspergillus flavus, Aspergillus
terreus and Trichoderma harzianum Fungis to increase growth of seedling Rhizophora mucronata Lamk. Under academic supervision of YUNASFI and MISWAR BUDI MULYA.
Mangrove condition deteriorating lead to the quality and quantity of mangrove seedlings wane. To improve and get better mangrove seedlings, then the required rehabilitation of mangroves. One of the efforts is the use of various types of fungi that can enhance the growth of mangroves for the better. This research can provide information on the types of fungi are able to increase growth of seedling R mucronata. This study was conducted from June 2014 until January 2015 using a completely randomized design (CRD) with treatment application types of fungi
and five replications. There are three types of fungi namely A. flavus applied,
A.terreus T. harzianum. Application of Trichoderma harzianum gave the best
results on seedling growth parameters R. mucronata, with an average height of
15,48 cm, a diameter of 0,47 cm, 1375,43 cm2 leaf area, and total dry weight of
119,5 g higher than the average of control and another fungi.
(5)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan perlindungan-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini.
Penelitian ini berjudul “Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus,
Aspergillus terreus dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk”. Tujuan penelitian ini adalah
untuk membandingkan kemampuan berbagai jenis fungi dalam meningkatkan
pertumbuhan Bibit R. mucronata.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Yunasfi, M. Si dan kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, S.Si., M.Si atas kesediaannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan hasil penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk hasil penellitian yang lebih baik. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Maret 2015
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR GAMBAR ... vi
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 3
Manfaat Penelitian ... 4
Hipotesis Penelitian ... 4
Kerangka Pemikiran ... 4
TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove... 6
Habitat dan Zonasi Mangrove ... 7
Fungsi Hutan Mangrove ... 9
Deskripsi Rhizophora mucronata ... 11
Fungi yang Hidup di Ekosistem Hutan Mangrove ... 13
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat ... 17
Alat dan Bahan ... 18
Prosedur Penelitian... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 22
Hasil pengamatan bibit R. mucronata ... 22
Tinggi Bibit ... 22
Diameter Bibit ... 23
Luas Daun ... 24
Berat Kering Total ... 25
(7)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 36 Saran ... 36 DAFTAR PUSTAKA
(8)
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1.
Kerangka Pemikiran ... 52. Peta Lokasi Penelitian Desa Pulau Sembilan ... 17
3. Proses Pembuatan Suspensi Fungi ... 20
4. Grafik Pertambahan Tinggi Bibit R. mucronata ... 23
5. Grafik Pertambahan Diameter Semai R. mucronata ... 24
6. Grafik Bobot Kering Total Bibit R. mucronata ... 25
7. Grafik Luas permukaan daun R. mucronata ... 26
(9)
ABSTRAK
DARMANTO AMBARITA. Pemanfaatan Fungi Aspergillus flavus,
Aspergillus terreus, dan Trichoderma harzianum untuk Meningkatkan
Pertumbuhan Bibit Rhizophora mucronata Lamk. Di bawah bimbingan
akademik oleh YUNASFI dan MISWAR BUDI MULYA.
Kondisi mangrove yang semakin rusak menyebabkan kualitas dan kuantitas bibit mangrove semakin berkurang. Untuk meningkatkan serta mendapatkan bibit mangrove yang baik, maka dibutuhkan rehabilitasi terhadap mangrove. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan berbagai jenis fungi yang dapat meningkatkan daya tumbuh mangrove menjadi lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk memberi informasi mengenai fungi yang mempunyai kemampuan yang
besar dalam meningkatkan pertumbuhan bibit R. mucronata. Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan Juni 2014 sampai Januari 2015 menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan aplikasi 3 jenis fungi dan lima ulangan.
Jenis fungi yang diaplikasikan yaitu A. flavus, A.terreus T. harzianum. Pemberian
fungi Trichoderma harzianum memberikan hasil pertumbuhan yang paling baik
terhadap semua parameter pertumbuhan semai R. mucronata dengan tinggi
rata-rata 15,48 cm, diameter 0,47 cm, luas permukaan daun 1375,43 cm2 dan bobot
kering total 119,5 g dibandingkan dengan bibit kontrol serta bibit dengan pemberian fungi yang lain.
(10)
ABSTRACT
DARMANTO AMBARITA. The utilization of Aspergillus flavus, Aspergillus
terreus and Trichoderma harzianum Fungis to increase growth of seedling Rhizophora mucronata Lamk. Under academic supervision of YUNASFI and MISWAR BUDI MULYA.
Mangrove condition deteriorating lead to the quality and quantity of mangrove seedlings wane. To improve and get better mangrove seedlings, then the required rehabilitation of mangroves. One of the efforts is the use of various types of fungi that can enhance the growth of mangroves for the better. This research can provide information on the types of fungi are able to increase growth of seedling R mucronata. This study was conducted from June 2014 until January 2015 using a completely randomized design (CRD) with treatment application types of fungi
and five replications. There are three types of fungi namely A. flavus applied,
A.terreus T. harzianum. Application of Trichoderma harzianum gave the best
results on seedling growth parameters R. mucronata, with an average height of
15,48 cm, a diameter of 0,47 cm, 1375,43 cm2 leaf area, and total dry weight of
119,5 g higher than the average of control and another fungi.
(11)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 4,25 juta Ha. Umumnya mangrove dapat ditemukan di seluruh kepulauan Indonesia. Mangrove tersebar luas, di Irian Jaya sekitar 2,94 juta Ha (38%), Kalimantan 978 Ha (28%) dan
Sumatera 673.300 Ha (Noor dkk., 2006). Menurut Pramudji (2001), Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Pada hakekatnya hutan mangrove sangat mudah untuk dikenali dan dibedakan dengan hutan lainnya, karena hutan ini membentuk suatu formasi yang khas pada daerah garis pantai. Didalamnya terdapat beberapa jenis flora yang merupakan bagian dari komunitas ekosistem hutan mangrove, antara lain adalah
jenis Sonneratia sp., Bruguiera sp. Ceriops sp, Aegiceras sp, Excoecaria sp,
Xylocarpus sp. Rhizophora sp dan Avicennia sp.
Hutan mangrove dapat diartikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut yang tergenang pada saat air pasang dan tidak tergenang pada saat air surut seperti laguna dan muara sungai dimana tumbuhannya memiliki toleransi yang tinggi terhadap kadar garam (Kusmana dkk., 2003).
Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan mangrove tidak optimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak
(12)
besar dengan arus pasang surut kuat, karena dalam kondisi ini tidak memungkinkan adanya pengendapan lumpur yang diperlukan substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003)
Walaupun ekosistem hutan mangrove tergolong sumberdaya yang dapat pulih, namun bila pengalihan fungsi atau konversi dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa mempertimbangkan kelestariannya, maka kemampuan ekosistem tersebut untuk memulihkan dirinya tidak hanya terhambat tetapi juga tidak berlangsung, karena beratnya tekanan akibat perubahan tersebut. Kerusakan ekosistem hutan mangrove berdampak besar baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial (Ghufran, 2012).
Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan, maka fungsi lingkungan pantai di beberapa daerah telah menurun atau rusak dimana banyaknya kepentingan yang menyebabkan kawasan mangrove mengalami perlakuan yang melebihi kemampuan untuk mengadakan permudaan, pengalihan penggunaan lahan dari tanah timbul menjadi pemukiman. Selain itu, kurang adanya usaha yang signifikan dalam melakukan rehabilitasi mangrove yang telah mengalami kerusakan (Luqman dkk., 2013).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Firman dan Arynantha (2003) diketahui bahwa fungi Penicillium, Rhizhopus, dan Fusarium memiliki potensi sebagai penghasil glukosa oksidasi dengan aktivitas yang cukup tinggi. Semakin banyak karbohidrat yang dihasilkan dan tersedia di dalam tanah akan meningkatkan laju pembentukan sel-sel baru dan dengan semakin banyak sel-sel baru yang terbentuk sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama pertambahan diameter batang.
(13)
Berdasarkan penelitian Sihite (2014) pemberian fungi yang berbeda pada
tanaman A.marina memberikan reaksi pertumbuhan dan pertambahan tinggi
tanaman yang berbeda. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan
antara beberapa jenis fungi dalam menyediakan unsur hara bagi A.marina serta
perbedaan enzim yang dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan lumpur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian fungi memberikan pengaruh terhadap tinggi dan diameter batang. Pemberian jenis fungi yang berbeda dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan diameter batang A.marina.
Kondisi mangrove yang semakin rusak menyebabkan kualitas dan kuantitas bibit mangrove semakin berkurang. Untuk meningkatkan serta mendapatkan bibit mangrove yang baik, maka dibutuhkan rehabilitasi terhadap mangrove. Salah satu upaya yang dilakukan adalah penggunaan berbagai jenis fungi yang dapat meningkatkan daya tumbuh mangrove menjadi lebih baik. Dalam konteksnya, fungi berperan sebagai dekomposer dalam menguraikan bahan organik dalam tanah sehingga meningkatkan jumlah unsur hara yang dapat diserap oleh bibit mangrove.
Tujuan Penelitian
1. Membandingkan kemampuan berbagai jenis fungi dalam meningkatkan
pertumbuhan bibit R. mucronata.
2. Menetapkan jenis fungi yang mempunyai kemampuan tinggi dalam
(14)
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna untuk memberi informasi tentang fungi yang dapat
meningkatkan pertumbuhan bibit R. mucronata dan menunjang program
rehabilitasi mangrove.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah fungi-fungi yang diaplikasikan untuk
pertumbuhan bibit R. mucronata mendukung pertumbuhan semai tersebut.
Kerangka Pemikiran
Secara ekologis mangrove berfungsi sebagai stabilisator tepian sungai dan pesisir dan memberikan dinamika pertumbuhan di kawasan pesisir seperti pengendalian erosi, menjaga stabilitas sedimen dan bahkan berperan dalam menambah perluasan lahan daratan dan perlindungan garis pantai. Walaupun demikian, banyak aktivitas di daerah pesisir yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove berdampak besar bagi ekologi, ekonomi maupun sosial. Dampak secara ekologi salah satu diantaranya adalah kurangnya ketersediaan bibit baik secara kualitas maupun kuantitas sehingga proses pemulihan ekosistem mangrove menjadi lambat. Salah satu kegiatan rehabilitasi mangrove yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan fungi. Peranan fungi adalah sebagai dekomposer dalam menguraikan bahan organik dalam tanah sehingga meningkatkan jumlah unsur hara yang dapat
diserap oleh bibit mangrove. Penelitian sebelumnya menggunakan bibit A. marina
(15)
mengembangkan penelitian terhadap jenis yang berbeda yaitu R. mucronata dengan skala pembibitan di lapangan. Alur kerangka pemikiran dapat di lihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian. HUTAN MANGROVE
Rehabilitasi mangrove Kerusakan (konversi, degradasi, pengambilan kayu, pertambangann, pencemaran)
Dekomposisi serasah, peningkatan unsur hara
Pemanfaatan Fungi
Peningkatan pertumbuhan
bibit mangrove termasuk R.
(16)
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Mangrove
Kata mangrove mempunyai dua arti pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000). Hutan mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Rochana (2006) penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis tumbuhan yang ada di mangrove.
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut (terutama di daerah laguna, muara sungai) yang dipengaruhi oleh pasang surut yang ditumbuhi oleh komunitas tumbuhan bertoleransi terhadap garam. Hutan mangrove sering disebut juga hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu
jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove yaitu Rhizophora sp.
(Kusmana, 1995).
Hutan mangrove merupakan masyarakat hutan halofil yang menempati bagian zona tropika dan subtropika, berupa rawa atau hamparan lumpur yang terbatasi oleh pasang surut. Halofil merupakan bagi makhluk yang tidak dapat hidup dalam lingkungan bebas garam, khususnya yang berupa tumbuh-tumbuhan yang disebut halofita atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap salinitas payau dan harus hidup pada kondisi lingkungan yang
(17)
demikian sehingga spesies tumbuhannya disebut tumbuhan halofita obligat (Indriyanto, 2006).
Sedangkan Saputro dkk., (2009) mengatakan bahwa, mangrove adalah sekelompok tumbuhan, terutama golongan halopit yang terdiri dari beragam jenis, dari suku tumbuhan yang berbeda-beda tetapi mempunyai persamaan dalam hal adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat tumbuhannya dan genangan pasang surut air laut yang mempengaruhinya. Pengertian tersebut menunjukkan adanya makna: (1) rezim botani yang menyangkut antara lain taksonomi dan fisiologi tumbuhan; (2) rezim habitat yang antara lain menyangkut struktur lingkungan; (3) rezim laut yang antara lain menyangkut kondisi pasang surut seperti kelas tingginya atau lamanya genangan air laut.
Habitat dan Zonasi Mangrove
Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas, temperatur, curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya struktur dan komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai dari zona yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan lautan, serta menyebabkan terjadinya perbedaan struktur tumbuhan mangrove dari
satu daerah dengan daerah lainnya (Hutahaean dkk., 1999).
Hutan mangrove banyak ditemukan di daerah pantai-pantai dan teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai yang terlindung dari tanjung dan selat. Kusuma (2003) menyatakan mangrove hidup di daerah antara level pasang naik tertinggi sampai level disekitar atau diatas permukaan laut rata-rata. Hampir 75%
(18)
Asia Tenggara, seperti Malaysia, Sumatera dan beberapa daerah Kalimatan yang mempunyai curah hujan tinggi dan bukan musiman.
Bengen (1999) menyatakan karakteristik habitat hutan mangrove, yaitu:
a. Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur,
berlempung atau berpasir,
b. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang
hanya tergenang pada saat pasang purnama,
c. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat,
d. Terlindung dari gelombang besar dan arus surut yang kuat.
Terdapat beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi penyebaran vegetasi mangrove yaitu : (1) suhu yang relatif tinggi, (2) daerah terlindung, (3) arus yang kuat, (4) tipe substrat lumpur atau lunak, (5) paparan yang dangkal atau landai, (6) salinitas atau kadar garam, dan (7) kisaran pasang surut yang tinggi. Hardjowigeno (1998) menambahkan dari pengamatan kualitatif di lapangan menyimpulkan bahwa terjadinya zonasi dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :
a. Sifat tanah terutama konsistensi tanah (keras atau lunak), tekstur tanah (liat,
pasir, debu dan sebagainya),
b. Salinitas,
c. Ketahanan jenis vegetasi terhadap arus dan ombak,
d. Kondisi perkecambahan dan pertumbuhan semai.
Pada umumnya, vegetasi yang tumbuh di kawasan mangrove mempunyai variasi yang seragam, yakni hanya terdiri dari satu strata yang berupa pohon-pohon yang berbatang lurus dengan tinggi pohon mencapai 20-30 meter. Jika tumbuh di daerah berpasir atau terumbu karang, tanaman akan tumbuh kerdil, rendah dan batang
(19)
tanaman sering sekali bengkok. Berdasarkan tempat tumbuhnya, kawasan mangrove dibedakan menjadi beberapa zonasi, yang disebut nama-nama vegetasi yang mendominasi (Arif, 2007).
Pembagian zonasi menurut Arif (2007) juga dapat dilakukan berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut :
a. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada
zona ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam tinggi.
b. Zona Rhizophora, terletak di belakang zona Avicennia dan Sonneratia. Pada
zona ini tanah berlumpur lembek dengan kadar garam lebih rendah. Perakaran tanaman terendam selama terjadinya pasang air laut.
c. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini tanah
berlumpur agak keras dan perakaran hanya terendam pasang dua kali sebulan.
d. Zona Nipah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini
sebenarnya tidak harus ada kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir dari sungai ke laut.
Fungsi Hutan Mangrove
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang
(20)
paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar. Secara biologi hutan mangrove mempunyai
fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah
(spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.
Secara biologis ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990).
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik.
Menurut Suryanto (2005) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan mangrove baik dari aspek ekonomi maupun aspek lingkungan, yaitu:
(21)
a. Penghasil Kayu. Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis pohon dapat menghasilkan kayu untuk pertukangan dan industri lainnya.
b. Tempat pemijahan berbagai jenis ikan. Dengan adanya hutan mangrove di
tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk berlindung karena gelombang di bawah tegakan hutan mangrove relatif tenang. Keberadaan biota tersebut juga didukung banyaknya plankton.
c. Menjaga kelestarian terumbu karang. Terumbu karang sangat berguna untuk
tempat berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan dikembangkan untuk tempat wisata alam.
d. Mencegah abrasi dan erosi pantai. Keutuhan pantai dapat terjaga dan
menghindari penurunan luasan pantai secara drastis. Menurut informasi 50% kekuatan gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove
Deskripsi Rhizophora mucronata
Klasifikasi tumbuhan bakau (Rhizophora mucronata) menurut Duke
(2006) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Mytales
Famili : Rhizophoraceae
Genus : Rizhophora
Spesies : Rizhophora mucronata Lamk.
Nama daerah Rhizophora mucronata adalah bakau, bakau gundul, bakau,
(22)
banyak ditemukan pada daerah berpasir serta daerah pasang surut air laut. Tanaman bakau dapat tumbuh hingga ketinggian 35-40 m. Tanaman bakau memiliki batang silindris, kulit luar berwarna cokelat keabu-abuan sampai hitam, pada bagian luar kulit terlihat retak-retak. Bentuk akar tanaman ini menyerupai akar tunjang. Akar tunjang digunakan sebagai alat pernapasan karena memiliki lentisel pada permukaannya. Akar tanaman tersebut tumbuh menggantung dari batang atau cabang yang rendah dan dilapisi semacam sel lilin yang dapat dilewati oksigen tetapi tidak tembus air. Tanaman bakau memiliki daun melonjong, berwarna hijau dan mengkilap dengan panjang tangkai 17-35 mm. Tanaman ini umumnya memiliki bunga berwarna kuning yang dikelilingi kelopak berwarna kuning-kecoklatan sampai kemerahan. Proses penyerbukan dibantu oleh serangga dan terjadi pada April sampai dengan Oktober. Penyerbukan menghasilkan buah berwarna hijau yang umumnya memiliki panjang 36-70 cm dan diameter 2 cm (Kusmana, 2003).
Rhizophora mucronata Lamk adalah salah satu jenis mangrove yang digunakan untuk rehabilitasi kawasan mangrove di pantai barat maupun pantai timur di Sulawesi Selatan. Salah satu alasan yang membuat jenis ini banyak dipilih untuk rehabilitasi hutan mangrove karena buahnya yang mudah diperoleh, mudah disemai serta dapat tumbuh pada daerah genangan pasang yang tinggi maupun genangan rendah (Supriharyono, 2000).
(23)
Fungi yang Hidup di Ekosistem Hutan Mangrove
Fungi merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler (umumnya berbentuk benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan seperti anyaman disebut miselium, dinding sel disebut kitin, eukariotik dan tidak berklorofil. Hidup secara heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah organik), parasit (merugikan organisme lain) dan simbiosis. Habitat jamur secara umum terdapat di darat dan di tempat lembab. Jamur uniseluler dapat berkembangbiak dengan dua cara yaitu vegetatif dapat dilakukan dengan cara spora, membelah diri, kuncup. Secara generatif dengan cara membentuk spora askus (Rustono, 2009).
Keefektifan bakteri, fungi dan hewan lainnya dalam dekomposisi serasah ditunjukkan oleh cepat atau lambatnya serasah hilang dari permukaan tanah secepat jatuhnya serasah dari tanaman. Dekomposisi yang lengkap membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan bertahun-tahun. Bahan organik dapat dihancurkan melalui dua proses utama, yaitu melalui dekomposisi aerobik dan anaerobik (fermentasi). Kedua proses dekomposisi tersebut dapat memberi manfaat seperti: mengurangi total masa bahan organik, meningkatkan persentase unsur hara dan menghilngkan bau busuk, bahan toksik dan patogen yang mungkin ada pada bahan organik tersebut. Laju dimana bahan organik dapat dihancurkan sangat ditentukan oleh: jenis atau sifat bahan organik, mikroba penghancur, jenis yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme (Kurniawan, 2007).
Keanekaragaman bakteri di hutan mangrove memiliki peran penting dalam proses dekomposisi. Keberadaan bakteri di hutan mangrove dipengaruhi oleh faktor tempat atau lokasi, iklim, vegetasi, pH dan salinitas. Hasil dekomposisi
(24)
merupakan bahan organik dan unsur hara yang penting bagi kehidupan organisme dan produktivitas perairan terutama dalam peristiwa rantai makanan. Meningkatnya jumlah jenis bakteri pada proses dekomposisi serasah setelah aplikasi fungi mungkin disebabkan oleh kayanya nutrisi yang terdapat pada serasah daun akibat peranan dari fungi yang diaplikasikan sehingga mendukung pertumbuhan dari bakteri yang lain. Peranan fungi yang diaplikasikan diduga
sebagai dekomposer awal. Fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma dan
Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa, selanjutnya fungi banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulosa yang berguna dalam penguraian serasah. Fungi akan berperan sangat besar dalam proses dekomposisi serasah karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun (Thaher, 2013).
Menurut Sihite (2014), berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman yang dilakukan di rumah kaca, aplikasi fungi berpengaruh terhadap tinggi tanaman.
Tinggi bibit A.marina dengan berbagai fungi menunjukkan bahwa tinggi tanaman
yang paling rendah adalah tanaman kontrol namun tidak berbeda nyata dengan tanaman yang diberi perlakuan. Sedangkan yang paling tinggi terdapat pada
perlakuan T. harzianum hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Herlina (2004),
spesies Trichoderma disamping sebagai pengurai, dapat pula berfungsi sebagai
agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Fungi Trichoderma diberikan
ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (daun dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku sebagai biofungisida,yang berperan mengendalikan pathogen penyebab penyakit
(25)
tanaman. Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa fungi penyebab
penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum,
Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsi. Disamping kemampuan sebagai pengendali
hayati, T. harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman,
pertumbuhan tanaman dan hasil produksi tanaman.
Berdasarkan penelitian Thaher (2013), fungi Aspergillus sp yang
diaplikasikan menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan terhadap bobot
kering serasah daun R. mucronata dimana laju dekomposisi paling tinggi terdapat
pada salinitas 31 ppt. Fungi Aspergillus sp merupakan salah satu fungi yang
mampu hidup pada daerah yang ekstrim sesuai dengan pernyataan Effendi (1999). Fungi ini diketahui mampu bertahan dalam keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari pada mikroorganisme lain.
Trichoderma merupakan salah satu fungi yang dapat dijadikan agen biokontrol karena bersifat antagonis bagi fungi lainnya, terutama yang bersifat patogen. Aktivitas antagonis yang dimaksud dapat meliputi persaingan, parasitisme, predasi, atau pembentukan toksin seperti antibiotik. Untuk keperluan
bioteknologi, agen biokontrol ini dapat diisolasi dari Trichoderma dan digunakan
untuk menangani masalah kerusakan tanaman akibat patogen. Beberapa penyakit
tanaman sudah dapat dikendalikan dengan menggunakan fungi Trichoderma.
Trichoderma sp. menghasilkan enzim kitinase yang dapat membunuh patogen sehingga fungi ini sangat cocok digunakan dalam mengelola lahan bekas pertambangan untuk kembali melestarikannya (Tjandrawati, 2003).
(26)
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pulau sembilan merupakan nama suatu Desa yang berada di gugusan pulau-pulau di Kabupaten Langkat. Desa Pulau Sembilan berdekatan dengan Selat Malaka dan merupakan salah satu tujuan wisata utama di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan secara administrasi terletak di Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat. Desa ini terletak sekitar 90 km dari Kota Medan. Adapun batas-batas lokasinya sebagai berikut:
• Sebelah utara berbatasan dengan Pulau Kampai
• Sebelah timur berbatasan dengan Selat Malaka
• Sebelah selatan berbatasan dengan Pangkalan susu dan
• Sebelah barat berbatasan dengan Teluk Aru.
Berdasarkan data BPS (2009) bahwa Pulau Sembilan mempunyai luas 24,00
km2, dengan jumlah penduduk 2.159 jiwa dan kepadatan penduduk 89,96 jiwa/km2,
dengan rincian laki-laki berjumlah 1.107 jiwa dan perempuan 1.052 jiwa. Mata pencaharian masyarakat antara lain petani, nelayan, kerajinan tangan dan pegawai negeri.
Masalah yang dihadapi di Desa Pulau Sembilan adalah masalah pengeboran minyak yang dilakukan oleh pihak BUMN di wilayah Pulau Sembilan dan berimbas kepada sumberdaya laut yang berkurang tahun-tahun terakhir. Masalah lain yang dihadapi yaitu pembukaan lahan tambak di Pulau Sembilan menyebabkan harus dikonversinya lahan mangrove yang berimbas kepada berkurangnya lahan mangrove di Pulau Sembilan (Yunasfi, 2014).
(27)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014 sampai dengan bulan
Januari 2015. Pengambilan propagul dan penanaman bibit R. mucronata
dilaksanakan di Desa Pulau Sembilan. Peremajaan fungi dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian Desa Pulau Sembilan
(28)
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan Petri, tabung reaksi, gelas ukur, labu Erlenmeyer, pipet tetes, timbangan analitik, kamera, oven, spidol permanen, Autoklaf, inkubator fungi, label kertas, aluminum foil, plastik clingwrap, lampu Bunsen, gunting, benang nilon, corong, kapas kertas saring, polybag, sarung tangan, sprayer, kompor.
Bahan penelitian yang digunakan adalah fungi yang diperoleh dari hasil
peremajaan, alkohol 70 %, spritus, antibiotik, aquades.
Prosedur Penelitian Pembuatan PDA
Media Potato Dextrose Agar (PDA) dibuat dengan menggunakan bahan
kentang 200 g, agar-agar 20 g dan gula 20 g. Media PDA dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf dengan suhu 121oC dan
tekanan 15 psi selama 30 menit dan disimpan di lemari pendingin untuk menghindari pertumbuhan mikroorganisme lain. Sampai media tersebut akan digunakan dalam proses peremajaan fungi, biasanya cukup 3 hari.
Peremajaan fungi
Media PDA dipanaskan hingga mencair, cawan Petri yang telah steril disiapkan. Media PDA dimasukkan ke dalam cawan petri sampai seluruh cawan terisi. Fungi yang telah diisolasi sebelumnya diambil sedikit yaitu 1 cm x 1 cm sebagai inang dan dimasukkan kedalam cawan petri. Cawan Petri yang berisi fungi kemudian disimpan dan ditunggu sampai fungi tersebut tumbuh dan berkembang. Waktu yang dibutuhkan fungi tersebut untuk tumbuh dan berkembang adalah 3 hari dan pertumbuhan maksimal akan terlihat setelah 1 minggu.
(29)
Penyiapan media tanam dan penanaman
Media yang digunakan adalah lumpur yang diambil dari kedalaman
0 cm-20 cm dan dimasukkan ke dalam wadah tanam polybag yang berukuran 15
cm.
Pengambilan propagul diupayakan diambil dekat dengan lokasi yang akan dilakukan penanaman. Pengambilan propagul harus diseleksi, yaitu memilih propagul yang sehat, ukuran antara 45-75 cm, lurus dan kuat. Pengambilan propagul tersebut sebaiknya dilakukan pada bulan September untuk jenis Rhizophora sp. karena pada bulan tersebut bibit jenis mangrove sudah cukup
layak tanam (Wirjodarmodjo, 1982).Propagul R. mucronata kemudian ditanam ke
wadah yang sudah diisi lumpur. Setelah propagul tersebut tumbuh dan memiliki dua buah daun, diaplikasikan fungi yang didapat dari hasil peremajaan fungi. Jenis-jenis fungi yang telah disiapkan untuk penelitian diaplikasikan dengan cara
membuat suspensi fungi. Fungiyang tumbuh di media PDA diambil 1 cm x 1 cm,
selanjutnya fungi ini dimasukkan ke dalam air steril 10 ml pada tabung reaksi. Fungi yang ada dalam tabung reaksi ini selanjutnya dikocok, sampai fungi terlepas dari agar. Tiap jenis fungi dibuat 5 kali ulangan sesuai dengan perlakuan yang akan dilaksanakan. Suspensi fungi ini selanjutnya dimasukkan ke dalam polybag. Proses pembuatan suspensi dapat dilihat pada Gambar 3.
(30)
Gambar 3. Proses pembuatan suspensi fungi yang akan diaplikasikan ke bibit
R. mucronata.
Parameter yang diamati
a. Tinggi semai (cm)
Pengukuran tinggi bibit dilakukan sekali dua minggu selama tiga bulan. Alat ukur yang digunakan adalah penggaris dengan ketelitian 1 cm. Pengukuran tinggi dimulai dari batang dimana daun pertama muncul, demikian dengan pengukuran selanjutnya sehingga data yang diperoleh lebih akurat.
b. Diameter semai (cm)
Diameter batang diukur dengan menggunakan kalifer. Untuk mendapatkan pengukuran yang lebih akurat diameter batang diukur dari batang dimana daun pertama muncul.
c. Luas daun
Perhitungan luas daun dilaksanakan pada pengamatan terakhir. Daun difoto
diatas kertas putih lalu di scan ke komputer, selanjutnya dihitung dengan
menggunakan software image J.
Suspensi fungi dituang ke polybag Potongan fungi
1 cm x 1 cm
Isolat Fungi Potongan fungi dimasukkan ke
dalam tabung rekasi yang berisi air 10 ml
(31)
d. Bobot kering tajuk
Dianalisis setelah data terakhir diambil. Daun dan akar dari setiap perlakuan dan kontrol masing-masing dimasukkan ke dalam oven dengan suhu
700C sampai berat konstan. Kemudian daun dan akar tersebut ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik. Rancangan percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
rancangan acak lengkap (RAL) karena kondisi lingkungan yang homogen dan faktor perlakuannya hanya satu yaitu pengaruh aplikasi fungi. Terdapat tiga jenis fungi yang diaplikasikan dengan lima kali ulangan.
���= �+��+���
Keterangan:
��� = respon pertumbuhan tanaman terhadap perlakuan ke-i ulangan ke-j
� = rataan umum
�� = taraf perlakuan
��� = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j
i = Kontrol, A. flavus, A. terreus, dan T. harzianum j = 1, 2, 3, 4, 5
(32)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan terhadap bibit R. mucronata
selama 12 minggu menunjukkan perbedaan pertambahan tinggi, diameter, luas
daun dan berat kering total. Hasil pengamatan bibit R. mucronata 12 minggu
setelah tanam dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Bibit R. mucronata 12 Minggu Setelah Tanam
Parameter pengamatan Perlakuan
Kontrol A. flavus A. terreus T. harzianum
Tinggi rataan (cm) 10.08 12.54 11.6 15.48
Diameter rataan (cm) 0.4 0.428 0.408 0.476
Luas daun total (cm2) 920.85 1027.09 1320.61 1375.43
Berat kering total (g) 66.9 115.8 91.1 119.5
Tinggi bibit
Dari pengukuran yang dilakukan selama 12 minggu, diperoleh data tinggi
bibit R. mucronata yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Hasil pengukuran pada
Lampiran 1 menunjukkan bahwa secara keseluruhan data rataan perlakuan pemberian fungi lebih bagus dibandingkan dengan kontrol. Namun pada
perlakuan A. flavus pada ulangan ke 1 menunjukkan pertumbuhan tinggi yang
lebih rendah dibandingkan kontrol. Hal ini dikarenakan pada ulangan tersebut fungi tidak memberikan pertumbuhan yang signifikan terhadap bibit walaupun terjadi peningkatan tinggi bibit setiap minggunya. Semua bibit yang ditanam
memiliki persentase hidup 100% dan tumbuh dengan baik. Semua bibit
(33)
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1).
Pertambahan tinggi yang lebih tinggi terdapat pada bibit R. mucronata dengan
perlakuan T.harzianum dengan tinggi rata-rata 15.48 cm sedangkan yang
terendah terdapat pada bibit tanpa aplikasi fungi dengan tinggi rata-rata 10.08 cm. Grafik rataan pertambahan tinggi setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Rataan Pertambahan Tinggi Bibit R. mucronata.
Diameter bibit
Pemberian fungi berpengaruh terhadap diameter bibit R. mucronata. Hasil
pengukuran diameter dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil pengukuran diameter pada Lampiran 2 menunjukkan bahwa secara keseluruhan data rataan diameter bibit dengan perlakuan pemberian fungi lebih bagus dibandingkan dengan
kontrol. Diameter tertinggi terdapat pada bibit R. mucronata dengan perlakuan
aplikasi fungi T.harzianum yang memiliki diameter 0,476 cm. Sedangkan
diameter terkecil terdapat pada bibit yang tidak diberi perlakuan dengan diameter 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
0 2 4 6 8 10 12
T in g g i B ib it ( cm )
Pengukuran minggu
ke-Kontrol
A flavus A terreus T harzianum
(34)
sebesar 0,40 cm (Tabel 1). Semua bibit menunjukkan perubahan diameter setiap minggunya serta memberikan nilai yang berbeda-beda dengan perlakuan yang
berbeda-beda.. Pertumbuhan semua bibit R. mucronata mengalami kenaikan
setiap minggunya, hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Grafik Rataan Pertambahan Diameter Bibit R. mucronata.
Luas daun
Luas daun dihitung pada akhir pengamatan untuk setiap perlakuan. Data pengukuran luas daun dapat dilihat pada Lampiran 3 yang menunjukkan secara keseluruhan luas daun dengan pemberian fungi lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Aplikasi fungi menunjukkan perbedaan luas daun pada masing-masing
perlakuan (Tabel 1). Luas daun tertinggi terdapat pada bibit R. mucronata dengan
perlakuan T. harzianum sebesar 1375.43 cm2, sedangkan yang terendah terdapat
pada kontrol dengan luas daun sebesar 920,85 cm2. Perbedaan luas daun pada
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6. 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4
0 2 4 6 8 10 12
D ia m ete r B ib it ( cm )
Pengukuran minggu
ke-Kontrol
A flavus A terreus T harzianum
(35)
Gambar 6. Grafik Luas Daun Bibit R. mucronata
Berat Kering Total
Setelah data tinggi dan diameter diperoleh, dihitung bobot kering total
bibit R. mucronata seperti yang tercantum pada Lampiran 4. Secara keseluruhan
data bobot kering dengan perlakuan pemberian fungi menunjukkan hasil yang bagus dibandingkan dengan kontrol. Bobot kering total merupakan hasil penjumlahan dari bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Bobot kering tertinggi
terdapat pada bibit dengan perlakuan T. harzianum sebesar 119.5 g dan yang
terendah terdapat pada kontrol yaitu sebesar 66.9 g (Tabel 1). Perbedaan berat kering total pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.
920,85
1027,09
1320,61 1375,43
0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600
Kontrol A flavus A tereus T harzianum
L
ua
s P
er
m
uka
an
D
(36)
Gambar 7. Grafik Berat Kering Total Bibit R. mucronata.
Pembahasan
Aplikasi fungi yang berbeda memberikan hasil yang berbeda pula terhadap
bibit R. mucronata. Dibandingkan dengan kontrol, bibit yang diaplikasikan fungi
memiliki pertumbuhan yang lebih baik. Hasil pengamatan terhadap bibit untuk semua parameter menunjukkan bahwa fungi memiliki peran yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman baik tinggi bibit, diameter bibit, luas permukaan daun serta berat kering total bibit.
Tinggi bibit
Hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa
aplikasi fungi berpengaruh terhadap tinggi bibit R. mucronata. Tinggi bibit
R. mucronata dengan pemberian fungi menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan yang paling tinggi terdapat pada
perlakuan dengan pamberian fungi T. harzianum. Hal ini sesuai dengan pendapat
66,9 115,8 91,1 119,5 0 20 40 60 80 100 120 140
Kontrol A flavus A tereus T harzianum
B er at K er in g T o ta l
(37)
Suheiti (2010) bahwa T. harzianum memiliki kemampuan untuk berkembang
dengan cepat yaitu 7 hari pada media padat. Setelah konidia T. Harzianum
diintroduksikan ke tanah, akan tumbuh kecambah konidia di sekitar perakaran tanaman. Seiring dengan laju pertumbuhan yang cepat, maka dalam waktu sekitar
tujuh hari daerah perakaran tanaman sudah dikolonisasi (didominasi) oleh T.
harzianum. Semakin banyak koloni T. Harzianum maka kompetisi dengan jamur
patogen pun lebih baik. T. harzianum pun dapat menjadi dekomposer yang dapat
memperbaiki struktur tanah, memudahkan pertumbuhan akar tanaman, menahan air, meningkatkan aktivitas biologis mikroorganisme tanah yang menguntungkan bagi tanaman. Ini menyebabkan fungi jenis ini mampu memberikan pertumbuhan
yang lebih baik dibandingkan jenis fungi yang lain. Selain itu, Trichoderma spp.
telah banyak diselidiki sebagai agensia hayati untuk mengendalikan berbagai
penyakit tanaman tertentu, T. harzianum telah banyak dikomersialkan untuk
mengendalikan penyakit busuk akar, dan penyakit rebah kecambah yang
disebabkan oleh jamur Fusarium, Rhizoctonia dan Pythium (Verma et al., 2007).
Trichoderma harzianum efektif digunakan untuk mengendalikan patogen F.culmarum, F. oxysporum, F. moniliforme, R.solani, Sclerotium rolfsii, Gaeumannomyces graminis var. tritici dan Drechslera sorokiniana (Haggag dan Mohamed, 2007). Perbedaan pertumbuhan tinggi bibit dapat dilihat pada Gambar 8.
(38)
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 8. Kondisi bibit R mucronata setelah 12 minggu pengamatan, (a). Bibit
dengan perlakuan fungi A flavus, (b). Bibit dengan perlakuan kontrol,
(c). Bibit dengan perlakuan fungi A terreus, (d). Bibit dengan
(39)
Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa selama pengamatan semua
bibit tumbuh dengan baik. Bibit dengan pemberian fungi T. harzianum
memberikan pertumbuhan yang terbaik dari perlakuan yang lainnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Sihite (2014), juga menunjukkan bahwa fungi T. harzianum
mampu memberikan pertumbuhan terbaik terhadap bibit A. marina. Hal ini
dikarenakan, Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa fungi
penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium
oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsi. Disamping kemampuan sebagai
pengendali hayati, T. harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran
tanaman, pertumbuhan tanaman dan hasil produksi tanaman. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Herlina (2004) yang menyatakan bahwa spesies Trichoderma disamping sebagai pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Fungi Trichoderma diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (daun dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku sebagai biofungisida,yang berperan mengendalikan patogen penyebab penyakit tanaman.
Pemberian fungi yang berbeda pada tanaman R. mucronata memberikan
reaksi pertumbuhan dan pertambahan tinggi tanaman yang berbeda. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan kemampuan antara beberapa jenis fungi dalam
menyediakan unsur hara bagi R. mucronata serta perbedaan enzim yang
dikeluarkan oleh fungi untuk mendekomposisikan serasa yang terdapat pada lumpur sebagai media tanam. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian fungi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi bibit
(40)
R. mucronata. Dan hasil uji lanjutan dengan BNT 5% menunjukkan bahwa
perlakuan fungi dengan T. harzianum berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Diameter batang
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan, pertumbuhan
diameter tertinggi terdapat pada fungi T. harzianum dengan diameter rata-rata
0,476 cm dan pertumbuhan diameter terendah terdapat pada tanaman kontrol dengan diameter rata-rata 0,4 cm.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pemberian fungi memberikan pengaruh terhadap diameter batang. Pemberian jenis fungi yang berbeda dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan diameter batang pada R. mucronata. Fungi yang
memberikan pertumbuhan terbaik adalah T. harzianum. Hal ini sesuai dengan
pendapat Thaher (2013), Fungi tanah seperti Aspergillus, Trichoderma dan
Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa, selanjutnya fungi banyak berperan dalam proses dekomposisi serasah karena memiliki kemampuan untuk menghasilkan enzim selulose yang berguna dalam penguraian serasah. Fungi akan berperan sangat besar dalam proses dekomposisi serasah karena fungi mampu mendegradasi senyawa organik seperti selulosa dan lignin yang merupakan komponen penyusun dinding sel daun. Peningkatan jumlah unsur hara dalam tanaman akan meningkatkan pertumbuhan tanaman. Ketersediaan unsur hara P dalam tanaman mampu meningkatkan kekuatan batang bibit sehingga bibit tidak mudah roboh. Unsur hara P digunakan tanaman sebagai sumber energi, proses fotosintesis, glikolisis dan perkembangan akar (Doberman dan Fairhust, 2000). Fungi juga memiliki potensi sebagai penghasil glukosa oksidasi dengan aktivitas yang cukup tinggi. Semakin banyak karbohidrat yang
(41)
dihasilkan dan tersedia di dalam tanah akan meningkatkan laju pembentukan sel-sel baru dan dengan semakin banyak sel-sel-sel-sel baru yang terbentuk sehingga meningkatkan pertumbuhan tanaman terutama pertambahan diameter batang.
Salah satu alternatif pengendalian yang memberikan harapan untuk dikembangkan yaitu pengendalian hayati dengan menggunakan jamur antagonis Trichoderma spp. Mekanisme Trichoderma spp. dalam mengendalikan berbagai jenis pathogen tanaman dapat dibedakan secara langsung dan tidak langsung terhadap patogen. Menurut Harman (2000), mekanisme secara langsung berupa
kompetisi, hiperparasit, antibiosis dan lisis. Harman et al. (2004) melaporkan
bahwa mekanisme tidak langsung terhadap patogen diantaranya memperkuat
sistem perakaran, meningkatkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan
ketersediaan hara dan menginduksi ketahanan tanaman. Aspergillus terreus dapat
menghambat pertumbuhan jamur patogen Botrytis cinerea karena mengeluarkan
senyawa volatile seperti : α-phellandrene, acetic acid pentyl ester dan
2-acetyl-5-methylfuran (Ting et al., 2010).
Menurut Ekowati (2000) menyatakan bahwa keberhasilan mekanisme ini
terjadi karena T. harzianum mampu menghasilkan senyawa antifungi. Zat yang
dikeluarkan dapat menembus tanaman inang dan membentuk satu penghalang bagi masuknya jamur patogen tular tanah. Dengan dihambatnya jamur patogen, maka transpor hara dan air menjadi lancar. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tanaman akan baik, sehingga berpengaruh terhadap pertambahan diameter batang. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian fungi
(42)
uji lanjutan dengan BNT 5% menunjukkan bahwa perlakuan fungi dengan T. harzianum berbeda nyata dengan perlakuan lainnya.
Luas permukaan daun
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa luas permukaan daun dengan
aplikasi fungi T. harzianum memberikan hasil yang lebih bagus dibandingkan
dengan kontrol dan fungi yang lain. Hal ini dikarenakan T. harzianum adalah
cendawan menguntungkan yang bersimbiosis mutualisme dengan akar tanaman, karena peran cendawan Trichoderma sangat penting dalam memberikan sinyal auksin dan merangsang pertumbuhan tanaman (Nurahmi, 2012). Selain itu
penggunaan T. harzianum juga dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman, karena kemampuannya dalam mendegradasi senyawa-senyawa yang sulit terdegradasi seperti lignosellulosa (Affandi, 2001). Selanjutnya dijelaskan oleh Bugisinesia (2010), bahwa pemberian Trichoderma mampu menghambat perkembangan penyakit layu fusarium sampai 47,53 % dibandingkan dengan tanaman kontrol, dikarenakan Trichoderma menghasilkan enzim lytic
ekstraseluler seperti 1,3 β-glukanase dan chitinase yang dapat menyebabkan lisis
pada dinding sel inangnya. Pemberian fungi mampu mengurangi penyakit pada daun seperti hawar daun, sehingga daun tetap segar dan berfungsi dengan baik.
Hasil penelitian Suwahyono (2004) pemberian T. harzianum dapat
meningkatkan jumlah akar serta daun menjadi lebih lebar, yang ditunjukkan dengan tumbuhnya serabut akar baru dan pucuk-pucuk daun yang baru. Hal tersebut menunjukkan hal yang sama dengan peningkatan luas permukaan daun
pada bibit R. mucronata. Bibit dengan pemberian fungi T. harzianum memiliki
(43)
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian fungi
tidak berpengaruh nyata terhadap luas permukaan daun bibit R. mucronata.
Aplikasi fungi tidak berbeda nyata dengan kontrol, namun pemberian fungi menunjukkan luas permukaan daun yang lebih baik dari kontrol. Kemampuan masing masing fungi dalam menyediakan unsur hara bagi tanaman berbeda-beda sehingga hasil yang diperoleh menunjukkan data yang berbeda-beda pula.
Berat Kering Total
Penggunaan jenis fungi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap berat kering total tanaman. Hasil perhitungan untuk bobot kering total menunjukkan bahwa berat kering total rata-rata tanaman yang diberi jenis fungi A. flavus, A. tereus, T. harzianum berbeda nyata dengan kontrol. Berat kering
total rata – rata tanaman yang diberi fungi T. harzianum lebih tinggi dari semua
perlakuan (Tabel 1).
Secara keseluruhan berat kering tanaman kontrol lebih rendah dibandingkan perlakuan. Berat kering tanaman merupakan hasil pertumbuhan keseluruhan semua organ tanaman. Berat kering menunjukkan kemampuan tanaman dalam menyerap bahan organik yang digunakan untuk proses pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara dan air, penyerapan air dan hara yang baik dipengaruhi oleh pertumbuhan akar, dengan pemberian fungi maka pertumbuhan akan menjadi lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan air berjalan baik yang berakibat
juga terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan lebih baik. T. harzianum selain menghasilkan bahan organik yang diperlukan untuk
(44)
pertumbuhan, mampu mengeluarkan senyawa anti fungi sehingga zat tersebut merupakan penghalang bagi masuknya jamur patogen.
Upaya dalam meningkatkan kesuburan tanah dalam mendukung
pertumbuhan tanaman, yaitu dengan penggunaan Trichoderma sp sebagai agen
hayati yang membantu mendegradasi bahan organik sehingga lebih tersedianya
hara bagi pertumbuhan tanaman (EPA. 2000). Ketersediaan unsur hara dalam
tanaman meningkatkan pertumbuhan seluruh organ tanaman sehingga meningkatkan berat kering tanaman. Bagian tanaman yang dijadikan sampel untuk bobot kering yaitu akar, batang dan daun. Unsur hara yang tersedia di dalam tanah akan meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap unsur hara tersebut sehingga bobot kering tanaman akan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat
Herlina (2004) menunjukkan bahwa pemberian T. harzianum dapat meningkatkan
pertumbuhan akar, khususnya jumlah akar samping dan panjang akar primer serta
struktur anatomi akar. Selanjuntnya, Suryanti et al., (2003) menyatakan bahwa
agen hayati Trichoderma sp mampu mendekomposisi lignin, selulosa, dan kithin
dari bahan organik menjadi unsur hara yang siap diserap tanaman.
Keunggulan dari biofungisida dibandingkan dengan jenis fungisida kimia sintetis adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen di dalam tanah, ternyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ini terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia aktif Trichoderma spp dalam memacu hormon/stimulator pertumbuhan tanaman (Suwahyono, 2004).
Dari seluruh hasil yang diperoleh, diketahui bahwa aplikasi fungi memberi perbedaan dibanding dengan kontrol. Bibit yang diberi perlakuan mempunyai
(45)
pertumbuhan yang lebih bagus, hal ini disebabkan tanah berperan penting dalam mempercepat penyediaan hara dan juga sebagai sumber bahan organik tanah. Salah satu manfaat dari fungi adalah kemampuannya dalam mendekomposisi serasah serta bahan organik tanah, sehingga meningkatkan ketersediaan jumlah unsur hara di dalam tanah. Penyerapan unsur hara ini meningkatkan pertumbuhan bibit sehingga dibandingkan dengan kontrol bibit dengan aplikasi fungi memiliki pertumbuhan yang lebih baik.
(46)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Perbandingan kemampuan fungi T. harzianum : A. flavus : A. tereus dalam
meningkatkan bibit R mucronata adalah 100% : 58,3% : 41.6%.
2. Pemberian fungi T. harzianum memberikan hasil yang lebih baik terhadap
semua parameter pertumbuhan semai R mucronata.
Saran
Perlu dilakukan penelitian terkait dengan pemanfaatan fungi T. harzianum
terhadap spesies selain mangrove seperti peningkatan bibit spesies dataran tinggi sehingga dapat dilihat kemampuan fungi tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan bibit-bibit pada dataran tinggi.
Rekomendasi
Sebaiknya untuk mempercepat proses pertumbuhan bibit pada persemaian
digunakan fungi Trichoderma harzianum sehingga diperoleh bibit yang lebih baik
(47)
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, M., Ni’matuzahrohdan A. Supriyanto. 2001. Diversitas dan visualisasi karakter jamur yang berasosiasi dengan proses degradasi serasah di lingkungan Mangrove. Medika Ekstra. 2 (1) : 39-52.
Arif. 2007. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta. Bengen, D., G. 1999. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Bogor: Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, IPB. Bengen, Dietriech G, 2000. Sinopsis Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.
BPS. 2009. Kecamatan Pangkalan Susu dalam Angka. Badan Pusat Statistik KSK Pangkalan Susu Kabupaten Langkat.
Bugisinesia, T., U. Nurwaidah dan A. Gafar. 2010. Pengaruh teknik aplikasi
cendawan antagonis Trichoderma spp menekan penyakit layu fusarium
(Fusarium oxysporumf. sp) tanaman kentang (Solanum tuberosum l.). prosiding seminar ilmiah dan pertemuan tahunan pei dan pfi xx komisariat daerah sulawesi selatan : 267-275
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut : Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Doberman, A., T. Fairhust. 2000. Nutrient Disorders and Nutrient Management.
International Rice Research Institute. Manila. Philippines.
Duke, N.C. 2006. Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, R. annamalai,
R. lamarckii (Indo–West Pacific stilt mangrove). Permanent Agriculture Resources2 (1) : 17-26.
Effendi, I. 1999. Pengantar Mikrobiologi Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekan Baru.
Ekowati N, Ratnaningtyas & Mumpuni. 2000. Aktivitas senyawa antifungi
beberapa isolat lokal Gliocladium spp dan Trichoderma spp
terhadap Phyptophthora pakmivora penyebab busuk buah kakao.
LaporanPenelitian. Purwokerto: UNSOED
EPA. 2000. Trichoderma hazianum Rifai Strain T–39 (119200) Technical
Dokument.
Firman, A. P. dan I. P. Aryantha. 2003. Eksplorasi dan Isolasi Enzim Glukosa
Oksidase dari Fungi Inperfekti (Genus Penicillium dan Aspergillus). KPP
(48)
Ghufran, M. 2012. Ekosistem Mangrove Potensi, Fungsi, dan Pengelolaan. PT. Rineka cipta. Jakarta.
Haggag, W.M., and H. A.L. A. Muhamed, 2007. Biotechnological Aspects of
Microorganisms Used in Plant Biological Control. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture, 1(1): 7-12.
Hardjowigeno, S. 1989. Metode Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Harman GE, Howell CR, Viterbo A, Chet I & Lorito M. 2004. Trichoderma
species: Opportuninistica virulent plant symbionts. Nature
Review/microbiology 2(1) : 43-56.
Harman GE. 2000. Changes in perceptions derived from research on
Trichoderma harzianum T-22. Plant Disease 84 (4):377-392.
Herlina L, Dewi P & Mubarok I, 2004. Efektivitas biofungisida Trichoderma
viride terhadap pertumbuhan tomat. Laporan Penelitian. Semarang: FMIPA UNNES
Hutahaean, E., C. Kusmana, dan H. R. Dewi. 1999. Studi kemampuan tumbuh
anakan mangrove jenis Rhizophora mucronata, Bruguiera gimnorrhiza
dan Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 5, (1):77-85.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan Bumi Aksara. Jakarta
Kusmana, C. 1995. Pengembangan Sistem Silvikultur Hutan Mangrove dan
Alternatifnya. Rimba Indonesia30, (1):35-41.
Kusmana, C. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Luqman, A., Wanjat K., Iwan S. 2013. Analisis kerusakan mangrove akibat aktivitas penduduk di pesisir kota cirebon. Antologi Geografi, (1) : 15-23, Edisi 2 Oktober 2013
Naamin, M. 1990. Penggunaan Lahan Mangrove untuk Budidaya Tambak. Keuntungan dan Kerugiannya. Prosiding Seminar IV Ekosistem Mangrove. Bandar Lampung
Noor,Y. R, M. Khazali dan I.N.N Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands Internasional-Indonesia Programe. Bogor.
(49)
Nurahmi, E., Susanna dan R. Sriwati. 2012. Pengaruh Trichoderma terhadap perkecambahan dan pertumbuhan bibit kakao, tomat, dan kedelai. Floratek 7 (1) : 57 – 65.
Pramudji. 2001. Upaya pengelolaan rehabilitasi dan konservasi pada lahan mangrove yang kritis kondisinya. 26 (2):1-8.
Rochana. 2006. Ekosistem Mangrove dan Pengelolaannya di Indonesia. Diakses
dari
Rustono. 2009. Jamur. http://blog.unnes.ac.id.
Saenger, P. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems. IUCN. Commision on
Ecology No. 3.
Saputro, J. B. et al. 2009. Peta Mangrove Indonesia. Jakarta: Pusat Survey
Sumber Daya Alam Laut Badan Koordinasi Survey dan pemetaan Nasional (Bakosurtanal).
Sihite, E. 2014. Jenis-Jenis Fungi Dan Pengaruh Aplikasinya Terhadap
Pertumbuhan Semai Avicennia marina. Skripsi. USU. Medan.
Suheiti, R., T. Chamzurni dan Sukarman. 2010. Deteksi dan identifikasi
cendawan endofit Trichoderma yang berasosiasi pada tanaman Kakao.
Jurnal Agrista. 15 (1): 15-20.
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Suryanti, T. Martoedjo, A-H. Tjokrosoedarmono, dan E. Sulistyaningsih. 2003. Pengendalian Penyakit Akar Merah Anggur pada The dengan Trichoderma spp. Hlm. 143-146. Pros. Kongres Nasional XVII dan Seminar Nasional FPI, Bandung, 6-8 Agustus 2003.
Suryanto H, Dartoyo A dan Pramono GH. 2005. Prosedur dan Spesifikasi Teknis Analisis Kesesuaian Budidaya Tiram Mutiara. Norma, Prosedur, Pedoman, Spesifikasi dan Standar. Pusat Survey Sumberdaya Alam Laut Bakosurtanal.
Suwahyono. 2004. Trichoderma harzianum, indigeneous untuk pengendalian
hayati.studi dasar menuju komersialisi. Disampaikan pada Seminar
Biologi.Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.
Thaher, E. 2013. Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora mucronata dengan
Aplikasi Fungi Aspergillus sp. Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Skripsi.
USU. Medan
Ting, A.S.Y., S.W. Mah and C.S. Tee. 2010. Identification of Volatile Metabolites
(50)
oxysporum F. sp. cubense Race 4. American Journal of Agricultural and Biological Sciences, 5 (2): 177-182.
Tjandrawati, T. 2003. Isolasi dan Karakteristik Sebagai Kitinase
Trichoderma viride, TNJ 63. Jurnal Natural Indonesia. (2) : 143-151 ISSN 1410 – 9379.
Verma, M., S. K. Brar, R.D. Tyagi, R.Y. Surampalli, and J.R. Val´ero. 2007.
Antagonistic fungi, Trichoderma spp.: Panoply of biological control.
Biochemical Engineering Journal 37 (1) : 1–20.
White, A.P et al. 1987. The Coastal Environmental Profile of Segara Anakan
Cilacap (iclarm, 1989).
Wiryodamodjo, H. dan Z. Hamzah. 1982. Beberapa pengalaman Perum Perhutani dalam pengelolaan hutan mangrove. Prosiding Seminar II
Ekosistem Hutan Mangrove 15: 29-40.
(51)
LAMPIRAN
(52)
Lampiran 1. Data Pengukuran Tinggi Bibit R mucronata.
Perlakuan Ulangan Pengukuran ke-
I II III IV V VI VII
Kontrol 1 1.3 4.5 7.5 9.7 11.5 12.5 13.4
2 1.3 5 7 8.9 10 10.9 12.5
3 3.2 4.4 5.9 7.2 9.5 10.8 11.9
4 3.3 4.3 5.2 7.5 9.3 11.1 11.8
5 2.9 4.1 6.1 7.5 9.2 11.5 12.7
A. flavus 1 3.6 4.6 6.7 7.5 9.5 11.9 13.2
2 3.3 5.5 7.3 9.5 11.5 13.4 15.7
3 3.5 6.5 10.1 12 14 15.7 18
4 7.7 10.2 14 15.5 16.5 18.5 20
5 3.4 5.7 7.9 10.5 12.5 14.4 17.3
A. tereus 1 2.5 5.2 9.5 10.6 12.3 14.9 16.4
2 3.3 6.1 11.5 13.7 14.9 16.2 17.8
3 3 5 7 10.3 11 12.3 14
4 2.9 4.5 6.5 6.5 9.2 10.8 13
5 6.8 8.1 9.5 11.5 12.7 14.2 15.3
T. harzianum 1 3.2 4.2 8.5 9.5 11.7 14.9 18.2
2 3.1 5.2 7.1 9.5 11.5 15.7 18.9
3 3.1 4.5 7.3 8.7 10.9 13.4 17.3
4 5.2 6.4 9.2 10.8 12.2 16 19.3
5 3 4.6 9 12 14.3 18.4 21.3
Anova: Single Factor Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 77.6815 3 25.89383 6.764766 3.238871 *
Galat 61.2440 16 3.82775
Total 138.9255 19
(53)
Uji lanjutan BNT 5%
Perlakuan Tinggi Rataan Notasi
Kontrol 10.08 cm a
A. tereus 11.6 cm ab
A. flavus 12.58 cm b
T. harzianum 15.48 cm c
Keterangan : Angka didampingi huruf yang sama pada tinggi rataan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Lampiran 2. Data Pengukuran Diameter Bibit R mucronata.
Perlakuan Ulangan Pengukuran ke-
I II III IV V VI VII
Kontrol 1 0.7 0.83 0.86 0.9 0.98 1.02 1.09
2 0.73 0.83 0.87 0.9 0.97 1.04 1.07
3 0.66 0.75 0.81 0.92 0.99 1.04 1.07
4 0.7 0.75 0.79 0.87 0.94 1.02 1.09
5 0.44 0.54 0.67 0.72 0.76 0.89 0.91
A. flavus 1 0.85 0.92 0.99 1.02 1.13 1.17 1.25
2 0.76 0.83 0.97 1.03 1.14 1.21 1.25
3 0.89 0.99 1.03 1.07 1.1 1.17 1.29
4 0.82 0.99 1.02 1.1 1.14 1.21 1.27
5 0.86 0.94 0.99 1.04 1.09 1.11 1.26
A. tereus 1 0.86 0.94 1.02 1.09 1.17 1.23 1.29
2 0.89 0.97 1.06 1.09 1.13 1.16 1.22
3 0.76 0.91 1.05 1.09 1.14 1.19 1.21
4 0.89 0.98 1.1 1.14 1.19 1.21 1.25
5 0.89 0.99 1.12 1.19 1.21 1.25 1.29
0.858 0.958 1.07 1.12 1.168 1.208 1.252 T. harzianum 1 0.82 0.97 1.07 1.14 1.2 1.24 1.29
2 0.89 0.99 1.09 1.19 1.27 1.3 1.39
3 0.92 1.02 1.14 1.21 1.26 1.29 1.35
4 0.79 0.92 1.07 1.17 1.2 1.24 1.29
(54)
Anova: Single Factor Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 0.020975 3 0.006992 3.922394 3.23887*
Galat 0.02852 16 0.001783
Total 0.049495 19
Ket : * = berpengaruh Nyata
Uji lanjutan BNT 5%
Perlakuan Diameter Rataan Notasi
Kontrol 0.4cm a
A. tereus 0.414 ab
A. flavus 0.428 cm ab
T. harzianum 0.476 cm b
Keterangan : Angka didampingi huruf yang sama pada diameter rataan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Lampiran 3. Data Pengukuran Berat Kering Total Bibit R mucronata
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3 4 5
Kontrol 14.8 15.3 22.5 10.8 3.5 66.9
A. tereus 26.6 22.6 12.8 11.6 17.5 91.1
A. flavus 20.2 24 24.3 15 32.3 115.8
T. harzianum 25 15.3 23.7 23.3 32.2 119.5
Anova: Single Factor SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Column 1 5 66.9 13.38 48.287
Column 2 5 91.1 18.22 40.782
(55)
Column 4 5 119.6 23.92 36.532 ANOVA Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 359.546 3 119.8487 2.890985 3.2388tn
Galat 663.296 16 41.456
Total 1022.842 19
Ket : tn = Tidak berpengaruh nyata
Lampiran 4. Data Pengukuran Luas Permukaan Daun Bibit R mucronata
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3 4 5
Kontrol 144.44 197.25 272.19 197.97 109 920.85
A tereus 322.75 275.13 270.04 163.76 288.93 1320.61 A flavus 152 158.34 280.94 199.76 236.38 1027.09 T harzianum 235.54 296.59 280.59 215.97 346.74 1375.43
Anova: Single Factor
SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Column 1 5 920.85 184.17 3834.512
Column 2 5 1320.61 264.122 3570.352
Column 3 5 1027.42 205.484 2941.007
Column 4 5 1375.43 275.086 2671.4
ANOVA Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 29394.24 3 9798.079 3.010794 3.23887tn
Galat 52069.09 16 3254.318
Total 81463.33 19
(56)
Lampiran 5. Dokumentasi kegiatan
a. Media tanam bibit b. Persemaian bibit
c. Kondisi bibit pada awal tanam d. Kondisi bibit di persemaian
d. Pengukuran diameter bibit e. Perhitungan berat kering total
(57)
Lampiran 6. Bagian bibit yang akan digunakan untuk menghitung berat kering total
(1)
Lampiran 1. Data Pengukuran Tinggi Bibit R mucronata.
Perlakuan Ulangan Pengukuran ke-
I II III IV V VI VII
Kontrol 1 1.3 4.5 7.5 9.7 11.5 12.5 13.4
2 1.3 5 7 8.9 10 10.9 12.5
3 3.2 4.4 5.9 7.2 9.5 10.8 11.9
4 3.3 4.3 5.2 7.5 9.3 11.1 11.8
5 2.9 4.1 6.1 7.5 9.2 11.5 12.7
A. flavus 1 3.6 4.6 6.7 7.5 9.5 11.9 13.2
2 3.3 5.5 7.3 9.5 11.5 13.4 15.7
3 3.5 6.5 10.1 12 14 15.7 18
4 7.7 10.2 14 15.5 16.5 18.5 20
5 3.4 5.7 7.9 10.5 12.5 14.4 17.3 A. tereus 1 2.5 5.2 9.5 10.6 12.3 14.9 16.4 2 3.3 6.1 11.5 13.7 14.9 16.2 17.8
3 3 5 7 10.3 11 12.3 14
4 2.9 4.5 6.5 6.5 9.2 10.8 13
5 6.8 8.1 9.5 11.5 12.7 14.2 15.3 T. harzianum 1 3.2 4.2 8.5 9.5 11.7 14.9 18.2
2 3.1 5.2 7.1 9.5 11.5 15.7 18.9
3 3.1 4.5 7.3 8.7 10.9 13.4 17.3
4 5.2 6.4 9.2 10.8 12.2 16 19.3
5 3 4.6 9 12 14.3 18.4 21.3
Anova: Single Factor Sumber
Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 77.6815 3 25.89383 6.764766 3.238871 *
Galat 61.2440 16 3.82775
Total 138.9255 19
(2)
Uji lanjutan BNT 5%
Perlakuan Tinggi Rataan Notasi
Kontrol 10.08 cm a
A. tereus 11.6 cm ab
A. flavus 12.58 cm b
T. harzianum 15.48 cm c
Keterangan : Angka didampingi huruf yang sama pada tinggi rataan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Lampiran 2. Data Pengukuran Diameter Bibit R mucronata.
Perlakuan Ulangan Pengukuran ke-
I II III IV V VI VII
Kontrol 1 0.7 0.83 0.86 0.9 0.98 1.02 1.09
2 0.73 0.83 0.87 0.9 0.97 1.04 1.07 3 0.66 0.75 0.81 0.92 0.99 1.04 1.07 4 0.7 0.75 0.79 0.87 0.94 1.02 1.09 5 0.44 0.54 0.67 0.72 0.76 0.89 0.91 A. flavus 1 0.85 0.92 0.99 1.02 1.13 1.17 1.25 2 0.76 0.83 0.97 1.03 1.14 1.21 1.25 3 0.89 0.99 1.03 1.07 1.1 1.17 1.29 4 0.82 0.99 1.02 1.1 1.14 1.21 1.27 5 0.86 0.94 0.99 1.04 1.09 1.11 1.26 A. tereus 1 0.86 0.94 1.02 1.09 1.17 1.23 1.29 2 0.89 0.97 1.06 1.09 1.13 1.16 1.22 3 0.76 0.91 1.05 1.09 1.14 1.19 1.21 4 0.89 0.98 1.1 1.14 1.19 1.21 1.25 5 0.89 0.99 1.12 1.19 1.21 1.25 1.29 0.858 0.958 1.07 1.12 1.168 1.208 1.252 T. harzianum 1 0.82 0.97 1.07 1.14 1.2 1.24 1.29
2 0.89 0.99 1.09 1.19 1.27 1.3 1.39 3 0.92 1.02 1.14 1.21 1.26 1.29 1.35 4 0.79 0.92 1.07 1.17 1.2 1.24 1.29 5 0.82 0.95 1.09 1.18 1.22 1.28 1.3
(3)
Anova: Single Factor
Sumber Keragaman
Jumlah Kuadrat
Derajat Bebas
Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 0.020975 3 0.006992 3.922394 3.23887*
Galat 0.02852 16 0.001783
Total 0.049495 19
Ket : * = berpengaruh Nyata
Uji lanjutan BNT 5%
Perlakuan Diameter Rataan Notasi
Kontrol 0.4cm a
A. tereus 0.414 ab
A. flavus 0.428 cm ab
T. harzianum 0.476 cm b
Keterangan : Angka didampingi huruf yang sama pada diameter rataan menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNT 5%.
Lampiran 3. Data Pengukuran Berat Kering Total Bibit R mucronata
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3 4 5
Kontrol 14.8 15.3 22.5 10.8 3.5 66.9
A. tereus 26.6 22.6 12.8 11.6 17.5 91.1
A. flavus 20.2 24 24.3 15 32.3 115.8
T. harzianum 25 15.3 23.7 23.3 32.2 119.5
Anova: Single Factor SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Column 1 5 66.9 13.38 48.287
Column 2 5 91.1 18.22 40.782
(4)
Column 4 5 119.6 23.92 36.532 ANOVA Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 359.546 3 119.8487 2.890985 3.2388tn
Galat 663.296 16 41.456
Total 1022.842 19
Ket : tn = Tidak berpengaruh nyata
Lampiran 4. Data Pengukuran Luas Permukaan Daun Bibit R mucronata
Perlakuan Ulangan Total
1 2 3 4 5
Kontrol 144.44 197.25 272.19 197.97 109 920.85
A tereus 322.75 275.13 270.04 163.76 288.93 1320.61 A flavus 152 158.34 280.94 199.76 236.38 1027.09 T harzianum 235.54 296.59 280.59 215.97 346.74 1375.43
Anova: Single Factor SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
Column 1 5 920.85 184.17 3834.512
Column 2 5 1320.61 264.122 3570.352
Column 3 5 1027.42 205.484 2941.007
Column 4 5 1375.43 275.086 2671.4
ANOVA Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Derajat Bebas Kuadrat
Tengah F Hit F Tab
Perlakuan 29394.24 3 9798.079 3.010794 3.23887tn
Galat 52069.09 16 3254.318
Total 81463.33 19
(5)
Lampiran 5. Dokumentasi kegiatan
a. Media tanam bibit b. Persemaian bibit
c. Kondisi bibit pada awal tanam d. Kondisi bibit di persemaian
d. Pengukuran diameter bibit e. Perhitungan berat kering total bibit
(6)
Lampiran 6. Bagian bibit yang akan digunakan untuk menghitung berat kering total