Hama dan Penyakit Tanaman Pohpohan (Pilea Trinervia Wight) di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor
HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN POHPOHAN
(Pilea trinervia Wight) DI KECAMATAN TAMAN SARI,
KABUPATEN BOGOR
ADIYANTARA GUMILANG
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hama dan Penyakit
Tanaman Pohpohan (Pilea trinervia Wight) di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Adiyantara Gumilang
NIM A34100056
ABSTRAK
ADIYANTARA GUMILANG. Hama dan Penyakit Tanaman Pohpohan (Pilea
trinervia Wight) di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
SURYO WIYONO dan HERMANU TRIWIDODO.
Pohpohan (Pilea trinervia) merupakan salah satu tanaman sayuran
indigenous yang penting. Permasalahan hama dan penyakit di pohpohan belum
pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis hama dan penyakit pada
tanaman pohpohan, pengelolaan hama dan penyakit, dan teknik budidaya yang
dilakukan di dua lokasi budidaya pohpohan di wilayah Kabupaten Bogor. Metode
yang digunakan yaitu wawancara terhadap 20 petani, pengamatan lapangan di dua
lokasi berbeda dengan mengambil 10 tanaman contoh secara diagonal dengan total
20 lahan dalam satu kali pengamatan, identifikasi, pengambilan sampel hama dan
penyakit pada tanaman contoh, koleksi dan analisis data. Individu hama tidak
ditemukan pada tanaman contoh. Gejala serangan hama yang ditemukan yaitu daun
berlubang disebabkan oleh serangga dari famili Noctuidae, gerigitan pada daun
disebabkan oleh famili Acrididae, dan bintik putih pada daun disebabkan oleh
famili Cicadellidae. Penyakit yang ditemukan adalah busuk pangkal batang yang
disebabkan oleh Rhizoctonia solani Kuhn. Bercak daun disebabkan oleh
Phyllosticta sp.. Antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum sp.. Pengendalian
hama dan penyakit tidak dilakukan secara khusus. Teknik budidaya pohpohan
menggunakan sistem wanatani di bawah tegakan pohon damar dan pinus.
Kata kunci : gejala serangan hama, hama dan penyakit, pohpohan, sayuran
indigenous, wanatani.
ABSTRACT
ADIYANTARA GUMILANG. Pests and Diseases of Pohpohan (Pilea trinervia
Wight) in Taman Sari District, Bogor Regency. Supervised by SURYO WIYONO
and HERMANU TRIWIDODO.
Pohpohan (Pilea trinervia) is one of important indigenous vegetables. Pests
and diseases on pohpohan have not been studied. The aim of this research was to
study pests and diseases of pohpohan, management of pests and diseases, and
cultivation practice which has been conducted at two villages in Bogor. Interview
using structured questionnaire was done on 20 farmers. Field observation at two
different locations by taking 10 plants diagonally with total of 20 pohpohan plants
in once observation was carried out thereafter, identification, taking pests and
disease on plant sample, collection and data analysis were conducted. There were
not insect pests on sampled plants. Symptoms of pest were found on leaf such as
shot leaf hole caused by famili Noctuidae, leaf chunks caused by famili Acrididae,
and leaf white spot caused by famili Cicadellidae. Diseases of pilea were stem rot
caused by R. solani Kuhn. Leaf spot caused by Phyllosticta sp.. Antrachnose caused
by Colletotrichum sp.. There was no specific measures to control plant pests and
diseases. Pilea was cultivated in agroforestry system under pinus and damar stand.
Keywords: agroforestry, attack symptoms of insect, indigenous vegetables, pests
and diseases, pohpohan.
HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN POHPOHAN
(Pilea trinervia Wight) DI KECAMATAN TAMAN SARI,
KABUPATEN BOGOR
ADIYANTARA GUMILANG
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan serta panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, selain itu kepada Nabi besar SAW telah
meberikan cahaya serta kasih sayang kepada Umat-nya hingga sekarang, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Hama dan Penyakit Tanaman
Pohpohan (Pilea trinervia Wight) di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor”.
Penyusunan skripsi bertujuan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MScAgr dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc sebagai
dosen pembimbing yang memberikan arahan, motivasi, saran, dan kritik dari
pembuatan usulan penelitian hingga skripisi,
2. Dr. Endang Sri Ratna sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan dukungan moril selama menempuh kuliah di Departemen Proteksi
Tanaman,
3. Dr. Ir. Ali Nurmansyah MSi selaku dosen penguji yang meberikan kritik dan
saran,
4. Seluruh Dosen dan staf Departemen Proteksi Tanaman yang telah memberikan
ilmu selama penulis menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor,
5. Kedua Orang tua yang selalu tersenyum Agus Sugendar dan Agustina
Hendrawati serta Kakak almarhum Gunaraya Priawan, Adik almarhumah
Azzahra Putri lahiragita dan Kedua adik yang dibanggakan Raka Hadyan
Adzhani dan Rayi Hadyan Awanis, Kakek Entum Dartum dan Nenek Otty serta
Keluarga Besar,
6. Keluarga Besar Fauzi Febrianto yang telah memberikan semangat dan dukungan
selama berkuliah di IPB,
7. Andika Septiana Suryaningsih yang selalu memberikan dukungan selama ini,
8. PT. Pijar Nusa Pasifik yang telah memberikan beasiswa selama kuliah di IPB,
9. Keluarga Besar Departemen Proteksi Tanaman terkhusus “Proteksi Tanaman
47”,
10.Keluarga Besar Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (PPRPG) Satya
Soedirman SMAN 1 Bogor dan Banyu Karikil yang telah memberikan pola
pandang dan wawasan dalam arti perjuangan,
11.Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam IPB (LAWALATA) yang telah
memberikan semangat selama menempuh pendidikan di IPB,
12.Warga Desa Taman Sari Kampung Calobak dan Bobojong yang telah
memberikan keramahan dan kerjasama yang baik selama penulis melakukan
penelitian.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang Hama dan Penyakit Tanaman.
Bogor, Maret 2015
Adiyantara Gumilang
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode
Survei dan Penentuan Lahan
Wawancara Petani
Pengamatan Lapangan
Pengambilan Sampel Hama dan Penyakit
Identifikasi Hama dan Penyakit
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah, Kondisi Pertanaman Pohpohan dan Teknik Budidaya
Hama Tanaman Pohpohan
Penyakit Tanaman Pohpohan
Pengendalian Hama dan Penyakit di Bobojong dan Calobak
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
4
4
4
5
5
9
11
16
17
17
17
18
20
27
DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi penelitian di kampung Calobak dan Bobojong
hasil digitasi menggunakan Google maps
2 Titik contoh pengamatan pada masing – masing lahan di dua desa.
3 Peta Taman Nasional Gunung Halimun Salak
4 Kondisi umum pertanaman pohpohan
5 Pohpohan
6 Gejala serangan yang ditemukan di kedua kampung
7 Serangga yang ditemukan di kedua kampung
8 Busuk pangkal batang
9 Gejala bercak daun phyllostica dan hasil pengamatan mikroskopik
10 Pengamatan mikroskopik bercak daun phyllosticta
11 Gejala antraknosa di daun,batang dan hasil pengamatan mikroskopik
2
3
5
5
8
10
11
12
13
13
14
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Skoring keparahan penyakit antraknosa pada pohpohan
Skoring keparahan bercak daun phyllosticta
Kondisi dan cara budidaya di dua lokasi pertanaman pohpohan
Aplikasi pemupukan di dua kampung berdasarkan hasil wawancara
Jenis-jenis hama berdasarkan wawancara di kedua kampung
Serangan hama di dua kampung
Informasi penyakit pohpohan berdasarkan hasil wawancara
Kejadian penyakit di kedua kampung
Keparahan penyakit di kedua kampung
3
4
6
9
9
11
12
14
15
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner wawancara petani pohpohan
2 Blanko Pengamatan lapangan
3 Tabel pengamatan kejadian dan keparahan penyakit
21
25
26
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pohpohan (Pilea trinervia) merupakan salah satu jenis tanaman sayuran
indigenous yang penting di Jawa Barat. Pohpohan dikonsumsi dalam keadaan
segar. Pohpohan ditemukan di hutan alam sebagai tumbuhan liar. Budidaya
pohpohan masih dalam lingkup terbatas seperti di halaman rumah sebagai tanaman
hias dan pagar (Mahyar 1994). Sayuran indigenous merupakan suatu tanaman yang
dibudidayakan di daerah tertentu oleh sejumlah masyarakat. Menurut Duriat et al.
(1999) sayuran indigenous yang dibudidayakan oleh petani masih dalam skala
kecil.
Manfaat dari pohpohan diketahui memiliki antioksidan yang dapat
menangkap munculnya radikal bebas. Senyawa fenol, asam askorbat, β–karoten, αtofokerol merupakan sumber dari antioksidan (Desminarti 2001). Menurut Dwiyani
(2008), pohpohan dikonsumsi dalam keadaan segar oleh Suku Sunda. Sayuran
segar memiliki vitamin dan kandungan serat lebih besar dibandingkan dengan
sayuran yang sudah dimasak.
Kurangnya informasi terhadap nilai gizi pohpohan merupakan salah satu
kendala dan akar permasalahan untuk mengembangkan bisnis budidaya pohpohan
di masa mendatang. Jika hal ini tidak disadari secara terus menerus, pohpohan tidak
mempunyai nilai jual di masyarakat yang mengakibatkan daya tarik konsumen
terhadap pohpohan di kota–kota besar masih terbatas sehingga daya tarik konsumen
terhadap pohpohan akan lebih rendah dibandingkan pada daya tarik jenis–jenis
sayuran yang sudah umum dikonsumsi. Namun jika dibandingkan, pemberian
informasi mengenai nilai gizi dari berbagai jenis sayuran yang sudah dilakukan di
negara-negara barat untuk mengetahui informasi nilai gizi dari berbagai jenis
sayuran yang dapat menjadi daya tarik suatu jenis sayuran. Oleh sebab itu, sayuran–
sayuran dapat dimanfaatkan dan diketahui potensinya dari segi kesehatan dan
ekonomi (Andarwulan et al. 2012).
Hama dan penyakit pada tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat
mengurangi produktivitas dari suatu tanaman budidaya. Sayuran indigenous
berpotensi dikembangkan dalam skala lebih luas. Oleh karena itu, hama dan
penyakit perlu diketahui untuk pengendalian hama penyakit di masa mendatang.
Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai hama dan penyakit pohpohan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis hama dan penyakit pohpohan,
pengelolaan hama dan penyakit, dan teknik budidaya pohpohan yang dilakukan di
Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang hama
dan penyakit pada pohpohan sebagai dasar pengelolaan dan pengendalian hama
penyakit pohpohan.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Kampung Bobojong dan Calobak, Desa Taman Sari,
Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Identifikasi penyakit dilakukan di
Klinik Tanaman dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Identifikasi hama dilakukan di Laboratorium
Biosistematika Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB
dari bulan November 2014 hingga Februari 2015.
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang digunakan pada penelitian: sampel daun sakit, sampel
hama yang menyerang tanaman, dan air steril. Alat yang digunakan jarum
inokulasi, plastik, gunting, pinset, botol film, pinset, laminar air flow, mikroskop
compound, mikroskop stereo, preparat, cover glass kamera digital, koran bekas,
dan GPS.
Metode
Survei dan Penentuan Lahan
Survei dilakukan di 2 lokasi Kampung Bobojong dan Calobak, Desa Taman
Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Kegiatan survei antara lain untuk
memperoleh informasi awal terkait: budidaya pohpohan, perizinan penelitian
kepada instansi terkait, perizinan kepada warga sekitar, pengamatan lahan petani
pohpohan, pemilihan lahan contoh dan keadaan umum yang terdiri dari tanaman
sekitar dan ketinggian.
Penentuan lahan dilakukan setelah pemilihan lahan contoh. Lahan contoh
yang dipilih berjumlah 20 lahan terbagi di dua Kampung Bobojong dan Calobak.
Pembuatan titik di setiap lahan dilakukan untuk visualisai ke dalam bentuk peta
menggunakan alat GPS Garmin 60i dan diolah menggunakan perangkat lunak
Google Maps (Gambar 1).
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Kampung Calobak ( ) dan Bobojong ( )
hasil digitasi menggunakan Google maps
3
Wawancara Petani Pohpohan
Wawancara dilakukan secara langsung kepada 20 petani yang dipilih secara
acak terbagi di Kampung Bobojong dan Calobak. Wawancara dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang: permasalahan hama dan penyakit pada pohpohan,
pengendalian hama penyakit pada pohpohan, dan teknik budidaya pohpohan.
Wawancara petani pohpohan menggunakan blanko wawacara petani dari Klinik
Tanaman IPB.
Pengamatan Lapangan
Pengamatan dilakukan sekali dengan mengambil 20 petak contoh terbagi di
Kampung Calobak dan Bobojong. Setiap petak contoh tanaman pohpohan diambil
5 titik pengamatan dimana dalam satu titik terdiri dari 2 tanaman dan diberi jarak 5
tanaman berikutnya (Gambar 2). Lahan amatan yang digunakan adalah milik petani
pohpohan yang sudah diwawancarai.
Gambar 2 Titik contoh pengamatan pada masing–masing petak lahan di dua
kampung
Bagian tanaman yang diamati adalah daun, batang, dan keseluruhan
tanaman. Penghitungan serangan hama dan kejadian penyakit di lapangan
menggunakan rumus:
Luas serangan hama atau kejadian penyakit (%) = Jumlah tanaman yang terserang x100%
Jumlah keseluruhan tanaman
Penghitungan keparahan penyakit menggunakan rumus:
∑ nivi
x 100%
Keparahan Penyakit (%) =
NV
ni = jumlah tanaman dengan skor ke-i, vi = nilai skor penyakit dari, N = jumlah
tanaman yang diamati, V= skor tertinggi
Penilaian penyakit bercak daun phyllosticta pada tanaman pohpohan dilakukan
dengan menggunakan penilaian keparahan seperti Tabel 1.
Tabel 1 Penilaian keparahan bercak daun phyllosticta pada pohpohan
Skor
Keparahan serangan (%)
0
tidak ada serangan
1
serangan
1 ≤ x < 25
2
serangan
25 ≤ x < 50
3
serangan
50 ≤ x < 75
4
serangan
x ≥ 75
4
Penilaian keparahan penyakit antraknosa pada tanaman pohpohan Tabel 2.
Tabel 2 Penilaian keparahan penyakit antraknosa pada pohpohan
Skor
Keparahan serangan (%)
0
tidak ada serangan
1
serangan
1 < x < 20
2
serangan
20 < x < 40
3
serangan
40 < x < 60
4
serangan
60 < x < 80
5
serangan
x > 80
Pengambilan Sampel Hama dan Penyakit
Sampel hama dan penyakit diambil dari bagian tanaman contoh untuk di
identifikasi di laboratorium. Sampel hama disimpan di dalam botol film dan
kantong plastik. Bagian tanaman bergejala penyakit disimpan di dalam kantong
plastik dan koran bekas.
Identifikasi Hama dan Penyakit
Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga
IPB. Identifikasi penyakit dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan
Klinik Tanaman IPB. Identifikasi penyakit dilakukan dengan menggunakan buku
identifikasi (Barnett dan Hunter 1998;Watanabe 2002) dengan bimbingan dosen
pembimbing. Identifikasi penyakit dilihat secara mikroskopik menggunakan
mikroskop compound dan stereo.
Analisis Data
Data luas serangan hama, kejadian dan keparahan penyakit tanaman
pohpohan yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan ditampilkan dan
diolah menggunakan Microsoft Excel 2013 sehingga diperoleh nila rata-rata dan
simpangan baku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah, Kondisi Umum Pertanaman dan Teknik Budidaya Pohpohan
Lokasi budidaya pohpohan di Kampung Bobojong dan Calobak, Desa Taman
Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor berada dalam kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Awalnya, Taman Nasional Halimun
dan Hutan Gunung Salak berada dalam kawasan kerja terpisah. Pengelolaan Hutan
Gunung Salak awalnya dikelola oleh Perum Perhutani yang termasuk kedalam
hutan lindung dan produksi terbatas. Penambahan luas area Taman Nasional
Halimun mengakibatkan kawasan Hutan Gunung Salak bergabung menjadi
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak pada tahun 2003 berdasarkan
surat keputusan Menteri Kehutanan 175/Kpts-II/2003 dengan luas total ± 113 357
ha (BTNGHS 2013) (Gambar 3).
Gambar 3 Peta Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebelum penambahan luas
area dan setelah penambahan (Dit PJLKKHl 2012).
Kondisi umum budidaya pohopohan di Kampung Calobak dan Bobojong
memiliki kondisi yang hampir sama dilihat dari kondisi lingkungan sekitar dan
teknik budidaya yang dilakukan. Budidaya pohpohan berada di bawah tegakan
pohon pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis damara) (Gambar 4), dan kaliandra
(Calliandra callothyrsus dan C. tetragoma).
a
b
Gambar 4 Kondisi umum budidaya pohpohan dengan sistem wanatani dibawah
tegakan pohon pinus (a) dan damar (b).
6
BTNGHS (2013) menginformasikan pohon damar, kaliandra, dan pinus merupakan
pohon-pohon yang mendominasi sehingga mudah ditemukan di kawasan TNGHS
karena pihak pengelola pada saat itu Perum Perhutani melakukan penanaman ketiga
jenis pohon tersebut untuk keperluan penghijauan lahan. Petani pohpohan di kedua
kampung merupakan petani penggarap karena kepemilikan lahan dipegang
sepenuhnya oleh pihak TNGHS. Kondisi umum budidaya pohpohan dan teknik
budidaya disajikan di dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kondisi dan cara budidaya pohpohan di dua lokasi pengamatan
Informasi
Budidaya Pohpohan
Budidaya
Calobak
Bobojong
Dataran lokasi
tinggi
tinggi
Ketinggian (m dpl)
743-821
685-922
Luas (m2)
500-2500
250-1000
Cara tanam
wanatani
wanatani
Jarak tanam (cm)
5x5, 10-20x10-20
5x5, 10-20 x 10-20
Pengendalian gulma
manual
manual
Kondisi lahan
terawat
terawat
Waktu panen (bulan)
1-2
1
Produksi hasil panen
3000-25000
300-20000
(ikat)
Teknik budidaya yang digunakan oleh sejumlah petani pohpohan di kedua
kampung menggunakan sistem wanatani atau agroforestry. Wanatani merupakan
salah satu teknik budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian. Sistem
wanatani pohpohan di bawah tegakan damar dan pinus sudah dilakukan semenjak
tahun 1991. Petani pohpohan memanfaatkan area di bawah tegakan pohon damar,
pinus, dan kaliandra untuk budidaya pohpohan. Alasan lain untuk melakukan
budidaya pohpohan adalah tambahan penghasilan bagi warga di kedua kampung.
Pada awalnya petani pohpohan di kedua kampung belum mempunyai izin
resmi untuk memanfaatkan lahan kosong dibawah tegakan pinus dan damar, namun
pada tahun 2002 kegiatan wanatani di kedua kampung mempunyai kekuatan hukum
sehingga munculah Kelompok Tani Hutan Mekarsari (Priana 2004). Keterpaduan
antara masyarakat sekitar hutan dan Perum Perhutani melalui Program Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang bertujuan untuk
pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan bersama masyarakat sekitar hutan
dapat terwujud. Kegiatan masyarakat di kedua kampung selain melakukan
budidaya pohpohan adalah pemanfaatan buah pala, penjualan daun pisang, daun
honje, daun pandan, penyadapan getah pinus dan damar.
Pengaruh naungan berpengaruh terhadap diameter batang, tinggi tanaman,
panjang dan lebar daun (Ekawati et al. 2010). Menurut Foulkes dan Murchie
(2011), naungan mempunyai pengaruh fisiologi yang berdampak pada pengunaan
efisiensi nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman karena mengoptimalisasikan;
pengangkapan radiasi/pengambilan nutrisi, penyebaran vertikal N, peningkatan
fotosintetis daun/unit N, optimisasi N dalam penyimpanan daun, batang, biji dan
remobilisasi nitrogen.
7
Peran agroekologi wanatani mempunyai peranan dalam hubungan antar
sesama komponen seperti: keberlanjutan, keanekearagaman, dan ekonomi sehingga
terbentuknya sebuah sistem keterpaduan di dalamnya. (Wojtkowski 2002).
Menurut Singh (1995) wanatani mempunyai sejumlah kelebihan diantaranya
pencegahan erosi, siklus nutrisi, fiksasi nitrogen, penambahan bahan organik dan
perubahan iklim mikro.
Petani pohpohan mendapatkan bibit dari budidaya pohpohan sebelumnya
dengan cara memotong bagian batang kemudian ditanam di petakan. Perolehan
bibit pohpohan tidak dapat dipastikan, bibit yang diperoleh hingga kini merupakan
bibit yang diperoleh dari sesama petani pohpohan dan diperbanyak sendiri.
Menurut Mahyar (1994) pohpohan termasuk kedalam Famili Urticacae.
Pohpohan tumbuh tegak herba monoecious atau dioceous dapat mencapai 2 m.
Pertumbuhan luas daun 6-20 cm x 2-10 cm P. trinervia dan P. glabberima 6-25 cm
x 2-8 cm. Bentuk daun meruncing dan panjang petiol mencapai 1-10 cm. Terdapat
dua spesies utama yang umum diketahui yaitu P. Trinervia dan P. glabberima
(Blume). Pohpohan memiliki bunga jantan atau betina dan warna bunga putih
kehijau-hijauan.
Pohpohan dapat ditemukan di hutan, perbatasan hutan, dan sekitar aliran air
dengan ketinggian ketinggian 500-2500 mdpl. Budidaya pohpohan tidak mudah
tergantung lingkungan tempat tumbuh. Perbanyakan pohpohan dapat dilakukan
menggunakan pemotongan cabang lateral dan benih. Namun pengguanan benih
harus terlebih dahulu disemai di dalam tray karena ukuran benih pohpohan sangat
kecil.
Petani pohpohan di kedua kampung umumnya menggunakan jarak tanam 520 cm. Petani pohpohan menggunakan jarak tanam dengan kerapatan tinggi
bertujuan untuk mendapatkan hasil panen lebih tinggi. Alasan utama kerapatan
jarak tanam ialah tambahan pendapatan bagi para petani pohpohan untuk menutupi
modal yang telah dikeluarkan untuk keperluan budidaya pohpohan. Berdasarkan
penelitian Sutapradja (2008) penggunaan jarak tanam mempunyai pengaruh
terhadap persaingan antar tanaman, selain itu pertumbuhan dan hasil yang diperoleh
pada jarak tanam berbeda dan ukuran bibit yang digunakan berpengaruh terhadap
hasil yang dapat dijadikan bibit kentang.
Pengendalian gulma yang dilakukan petani pohpohan di kedua kampung
tersebut sama. Pengendalian dilakukan secara manual menggunakan alat kored.
Waktu pengendalian gulma dilakukan setiap 1 bulan atau setelah panen.
Pengendalian secara kimia menggunakan herbisida tidak pernah dilakukan oleh
petani pohpohan di kedua kampung tersebut.
Pemanenan pohpohan di kedua kampung tidak jauh berbeda. Dalam satu kali
panen, petani pohpohan memerlukan waktu 1-2 bulan jika bibit pohpohan yang
digunakan sudah lebih dari 3-4 bulan. Penanaman awal menggunakan bibit
pohpohan memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan (Gambar 5a). Petani pohpohan di
kedua kampung membuat petakan persegi panjang berukuran berkisar 5-6 m x 5-7
m (Gambar 5b). Hasil panen yang diperoleh dikumpulkan dalam ikatan dan dijual
kepada tengkulak. Penjualan pohpohan dari petani pohpohan dibatasi 2000-3000
ikat oleh tengkulak. Petani pohpohan di dua kampung menjual kepada tengkulak
dalam bentuk ikatan kecil dan besar (Gambar 5c dan d). Setiap ikatan pohpohan
terdiri dari 8-10 batang dengan harga jual Rp 800/ikat kecil, sedangkan itu
8
pohpohan dalam ikatan besar merupakan gabungan dari 10 ikatan kecil yang
berjumlah 10 ikat dengan harga jual Rp 7500-8500/ikat besar.
a
b
c
d
Gambar 5 Petakan yang ditanami pohpohan (a), petakan penanaman awal
pohpohan (c), pohpohan yang sudah diberi ikatan kecil (c), dan
pohpohan yang diberi ikatan besar (b),
Tabel 4 menunjukkan pemupukan yang dilakukan di kedua kampung oleh
petani pohpohan. Jenis pupuk yang digunakan dalam budidaya pohpohan oleh
petani adalah pupuk kandang ayam , urea, dan NPK.
Pupuk kandang ayam merupakan pupuk yang berasal dari kotoran ayam yang
telah dicampur oleh sekam padi. Petani pohpohan memperoleh pupuk kandang
ayam dengan membeli di peternakan ayam yang berada di sekitar kampung. Pupuk
kandang ayam yang diperoleh petani disimpan dalam karung.
Harga jual jenis pupuk kandang ayam, NPK, dan urea berbeda-beda. Petani
membeli jenis pupuk NPK dan urea mencapai Rp 3 000-3 500/Kg di kios pertanian
sekitar kampung. Sementara itu, harga jual pupuk kandang ayam yang dijual kepada
petani pohpohan mencapai Rp 6 000-10 000/karung belum termasuk biaya upah
buruh angkut. Biaya upah buruh untuk mengangkat pupuk kandang ayam mencapai
Rp 1 500-3 000/angkut yang disesuaikan berdasarkan lokasi budidaya pohpohan.
Permasalahan keterbatasan pasokan pupuk kandang ayam menyebabkan
harga pupuk kandang ayam melonjak tinggi, oleh karena itu petani pohpohan di
kedua kampung menggunakan pupuk urea dan NPK sebagai pilihan lain karena
jenis pupuk urea dan NPK lebih mudah diperoleh di kios-kios pertanian dan harga
yang lebih murah dibandingkan dengan harga pupuk kandang ayam ketika
ketersediaan pupuk kandang ayam terbatas di peternakan ayam sekitar kampung.
Pemupukan pupuk kandang ayam dilakukan diawal tanam. Waktu
pemupukan untuk kandang ayam disesuaikan dengan ketersediaan pupuk kandang
ayam di peternakan. Pada umumnya pemupukan menggunakan pupuk kandang
ayam dilakukan 1-2 setiap bulannya atau setelah panen. Pemupukan pupuk kandang
9
ayam di Kampung Bobojong berkisar 1-5 karung/petak sedangkan di Kampung
Calobak berkisar 1/2-1 karung/petak.
Pemupukan urea dan NPK umumnya dilakukan secara berselang dengan
kurun waktu 2-6 bulan mengikuti periode waktu setelah penggunaan pupuk
kandang ayam. Namun, penggunaan urea dan NPK merupakan pilihan lain petani
pohpohan jika ketersediaan pupuk kandang ayam tidak mencukupi untuk budidaya
pohpohan. Pemupukan urea di Kampung Calobak 1/2-3/4 kg/petak tidak jauh
berbeda dengan pemberian pemupukan yang diberikan petani pohpohan di
Kampung Bobojong sekitar 1/2-1 kg/petak. Pemupukan NPK hanya dilakukan oleh
petani dari Kampung Calobak, dimana setiap petaknya diberikan 1 kg/petak.
Tabel 4 Pemupukan di pohpohan
Kampung
Jenis pupuk
Pupuk
kandang
ayam
Urea
NPK
dosis
(karung/petak)
frekuensi
waktu (bulan)
dosis
(kg/petak)
frekuensi
waktu (bulan)
dosis
(kg/petak)
frekuensi
waktu (bulan)
Calobak
1/2 – 1
Bobojong
1-5
awal
1-2
1/2-3/4
awal
1-3
1/2-1
awal
1-2
1
awal
1-6
tidak ada
awal
1
tidak ada
tidak ada
Hama Tanaman Pohpohan
Permasalahan dalam budidaya antara lain hama dapat merugikan secara
ekonomi. Tabel 5 menunjukkan masalah hama pohpohan berdasarkan hasil
wawancara petani pohpohan di kedua kampung. Gangguan hama dalam budidaya
pertanian merupakan permasalahan umum.
Tabel 5 Hama-hama tanaman pohpohan menurut petani pohpohan
Tingkat kepentingan
Jenis hama
Bagian diserang
Calobak
Bobojong
Babi hutan
+++
+++
petakan
Monyet
++
++
bagian batang
Ulat jengkal
++
++
daun
Belalang
++
++
daun
Keterangan : + = Tidak bermasalah, ++ = sedang, +++= Bermasalah, ++++= Sangat bermasalah
Hama babi hutan (Sus scrofa) dan kera (Macaca spp.) merupakan masalahmasalah yang dihadapi oleh petani pohpohan dalam budidaya pohpohan karena
lokasi budidaya pohpohan yang berada di kawasan hutan dan merupakan habitat
bagi babi hutan dan kera. Jenis kerusakan yang disebabkan oleh babi hutan adalah
kerusakan pada petakan pohpohan. Kerusakan mengakibatkan petani pohpohan
10
harus menanam ulang kembali pohpohan. Kerusakan yang diakibatkan kera dengan
mematahkan bagian batang sehingga mengurangi jumlah hasil bagian daun yang
akan dipanen. Babi hutan dan kera termasuk kedalam hama dalam pertanian.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh babi hutan dapat merusak pada fase pembibitan
sedangkan kera merusak dengan cara memakan buah, akar dan batang (Kalshoven
1981).
Individu Hama tidak ditemukan pada tanaman contoh di kedua kampung.
Namun, gejala akibat serangan hama ditemukan pada tanaman contoh di kedua
kampung adalah daun berlubang, daun gerigitan, dan daun bintik putih.(Gambar
6). Hasil wawancara petani pohpohan belum ada permasalahan serius mengenai
hama dari kelompok serangga. Hama-hama yang ditemukan di luar tanaman contoh
antara lain: belalang dari famili Acrididae, belalang dari famili Tetrigidae, larva ulat
jengkal dari famili Noctuidae, dan wereng daun dari famili Cicadellidae (Gambar
7).
Bintik putih pada daun disebabkan oleh hama-hama yang mempunyai taji di
bagian tarsus. Hama yang mengakibatkan gejala bintik putih ialah wereng daun.
Wereng daun menggesekkan taji di daun sehingga mengakibatkan permukaan daun
timbul menjadi bintik putih. Selain itu, gejala bintik putih dapat disebabkan oleh
larva dari Ordo Lepidoptera yang hanya memakan bagian epidermis daun.
a
b
c
Gambar 6 Gejala serangan yang ditemukan di kedua kampung gerigitan (a),
berlubang (b), dan bintik putih (c)
Tabel 6 menunjukkan tingkat serangan hama berdasarkan gejala yang
ditemukan pada tanaman contoh. Secara umum serangan hama ditemukan di kedua
kampung sama. Gejala daun berlubang di lapangan disebabkan oleh larva dari
famili Noctuidae. Tingkat serangan hama berlubang di Kampung Calobak sebesar
78% dan Kampung Bobojong sebesar 69%. Gejala gerigitan atau sisi ujung daun
tidak beraturan merupakan ciri dari serangan hama belalang dari famili Acrididae
dan Tetrigidae. Serangan gerigitan di Kampung Calobak mencapai 85% dan
Kampung Bobojong mencapai 69%, sedangkan untuk gejala bintik putih wereng
daun dari famili Cicadellidae di Kampung Bobojong 32% dan Kampung Calobak
mencapai 87%
11
a
c
b
d
e
Gambar 7 Serangan hama yang ditemukan pada tanaman pohpohan : wereng daun
cicadellidae(a,b), belalang acrididae (c),belalang tetrigidae (d), dan larva
ulat noctuidae (e)
Tabel 6 Tingkat serangan hama pohpohan berdasarkan gejala
Tanama bergejala (%)
Desa
Daun berlubang Daun gerigitan
Daun bintik putih
Calobak
78.00 ± 20.43
85.00 ± 12.69
87.00 ± 20.57
Bobojong
69.00 ± 28.06
69.00 ± 20.78
32.00 ± 31.19
Keberadaan jumlah populasi serangga dapat dipengaruhi oleh berbagai
kondisi lingkungan seperti pengaruh panjang hari, angin, dan kelembaban saat
pengamatan. Sementara itu, pengamatan berlangsung saat musim hujan sehingga
diduga keberadaan hama dipengaruhi dari curah hujan, cahaya, suhu, dan
kelembaban saat pengamatan berlangsung. Menurut Henley et al. (2015), hama–
hama yang ditemukan di Pilea sp. antara lain kutu – kutuan, ulat jengkal, thrips,
tungau, keong, dan siput.
Jumlah serangga di alam dapat dipengaruhi dari faktor-faktor abiotik dan
biotik. Jumlah populasi serangga di alam cenderung tidak stabil dalam suatu
periode waktu, pengaruh faktor abiotik seperti ketinggian, suhu, panjang hari,
cahaya, curah hujan, kelembaban, angin, dan perubahan iklim sedangkan faktor–
faktor biotik yang mempengaruhi keberadaan serangga di alam dilihat dari
organisme atau serangga karena setiap individu mempunyai karakter masingmasing untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar oleh sebab itu, jumlah
keberaadan serangga untuk bertahan di alam antara lain dipengaruhi populasi,
kompetisi, dan mush alami (Speight dan Wylie 2001).
Penyakit Tanaman Pohpohan
Permasalahan penyakit dalam budidaya tanaman merupakan hambatan dalam
budidaya. Pengetahuan mengenai penyakit–penyakit merupakan dasar
pengendalian untuk pencegahan dini dan strategi pengendalian penyakit dalam
12
budidaya. Tabel 7 menyajikan jenis-jenis penyakit yang menyerang tanaman
pohpohan berdasarkan wawancara petani pohpohan.
Tabel 7 Penyakit-penyakit pohpohan menurut petani pohpohan
Tingkat kepentingan
Nama lokal penyakit
Bagian diserang
Calobak
Bobojong
Lodoh
++
++
Batang
Poken
++
++
Daun
Budug
++
++
Batang, Daun
Pirang
++
++
Daun
Keterangan : += Tidak bermasalah, ++ = sedang, +++= Bermasalah, ++++= Sangat bermasalah
Petani pohpohan memberi nama penyakit berdasarkan gejala yang muncul misalnya
layu disebut lodoh, gejala bercak daun disebut poken, dan gejala bercak daun hitam
disebut budug. Petani pohpohan masih menggangap jenis-jenis penyakit yang
muncul di pertanaman masih dalam kategori sedang.
Busuk pangkal batang atau lodoh hanya ditemukan di Kampung Bobojong.
Busuk pangkal batang mempunyai gejala dan tanda pada pangkal batang berwarna
hitam dan terlihat miselium berwarna putih (Gambar 8a dan b). Tanda bagian
batang terinfeksi berwarna putih adalah miselium yang merupakan salah satu tanda
penyakit dari kelompok cendawan. Pengamatan secara mikroskopik dengan
mengambil bagian batang terinfeksi, terlihat hifa-hifa hialin (Gambar 8c) dan
percabangan siku-siku (Gambar 8d). Penyakit ini menyebabkan tanaman layu
hingga tanaman mati sehingga mengganggu hasil produktivitas tanaman budidaya.
Cendawan–cendawan tular tanah umumnya merupakan patogen penyebab
munculnya penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar.
Kisaran inang R. solani sangat luas dan dikenal sebagai cendawan tular tanah.
Gejala yang disebabkan oleh patogen antara lain pangkal batang, busuk akar dan
hawar daun. Hifa-hifa memiliki percabangan 90° yang merupakan ciri dari R.
solani. Sementara itu, penyakit ini dikenal sebagai penyakit di pembibitan. R.solani
dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun di tanaman dan tanah. Pengambilan
nutrisi menggunakan miselium merupakan salah satu strategi bertahan untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan nutirisi yang dibutuhkan (Ceresini 2015).
a
b
13
d
c
Gambar 8 Gejala busuk pangkal batang yang ditemukan di lapangan (a,b) gejala
busuk pangkal batang yang dilembabkan (c), dan hifa R. Solani
perbesaran 40x10 (d)
Bercak daun ditemukan di kedua kampung. Permukaaan daun terlihat bercak
coklat-keemasan dan pinggiran bercak terdapat lesio kuning berdasarkan gejala
pengamatan pada tanaman contoh di kedua kampung. (Gambar 9a dan 9b). Petani
pohpohan di kedua kampung menyebut bercak daun ini pirang. Pemberian istilah
disesuaikan berdasarkan gejala karena daun-daun terlihat menjadi coklat keemasan.
a
b
Gambar 9 Gejala bercak daun (a) dan gejala awal bercak daun
Penyebab penyakit bercak daun yang ditemukan di kedua kampung berdasarkan
hasil pengamatan mikroskopik ialah Phyllosticta sp. konidia berbentuk elips
transaparan dan piknidia berwarna coklat (Gambar 10a dan 10b).
a
b
Gambar 10 Piknidia Phyllosticta sp. (a) dan konidia perbesaran 40x10 (b)
Penyakit antraknosa hanya ditemukan di Kampung Bobojong. Antraknosa
yang ditemukan di Bobojong menginfeksi pada bagian batang dan daun pohpohan
(11a dan b). Bagian daun pohpohan terinfeksi berwarna hitam dan menyebabkan
nekrotik. Pada bagian batang dan daun terlihat seta–seta hitam disekitar batang.
Petani pohpohan di Kampung Bobojong menyebut penyakit antraknosa dengan
istilah budug karena daun dan batang yang terserang menjadi hitam selanjutnya
tanaman terserang akan mati. Hasil pengamatan mikroskopik penyakit antraknosa
14
disebabkan oleh Colletotrichum sp.. Konidia hialin dan berbentuk bulan sabit
(Gambar 11c) sedangkan seta berwarna gelap (Gambar 11d).
a
b
c
d
Gambar 11 Antraknosa (Colletrotichum sp.) pada pohpohan konidia perbesaran
40x10 (a), seta perbesaran 40x10 (b) dan gejala antraknosa pada
bagian batang (c) dan gejala daun terinfeksi yang ditemukan di
lapangan (d)
Kejadian dan keparahan penyakit bercak daun phyllosticta, busuk pangkal
batang dan antraknosa disajikan dalam Tabel 8 dan 9. Kejadian penyakit busuk
pangkal batang hanya ditemukan di Kampung Calobak. Kejadian penyakit busuk
pangkal batang di Calobak mencapai 46%. Busuk pangkal batang hanya ditemukan
di setiap lahan milik petani pohpohan Kampung Calobak.
Tabel 8 Kejadian penyakit pohpohan
Kejadian penyakit (%)
Desa
Busuk pangkal batang
Bercak daun
Antraknosa
(R. solani)
(Phyllosticta sp). (Colletotrichum sp.)
Calobak
46.00 ± 17.76
96.00 ± 8.43
0.00 ± 0.00
Bobojong
0.00 ± 0.00
39.00 ± 29.98
1.00 ± 3.16
Selain itu, keparahan penyakit busuk pangkal batang mencapai 46% sesuai dengan
kejadian penyakit yang diperoleh pada pengamatan. Dugaan tidak ditemukannya
busuk pangkal batang pada tanaman contoh di Kampung Bobojong, petani
pohpohan di Bobojong sudah membuang inang yang sudah terinfeksi.
Perkembangan R. solani masih dalam tahap awal sehingga gejala belum terlihat di
pertanaman pohpohan di Bobojong. Dugaan hal lain yang mendukung
perkembangan R. solani kondisi lingkungan pertanaman pohpohan di Kampung
Calobak. Pengaruh naungan, kelembaban tanah, dan suhu diduga mempengaruhi
perkembangan patogen ini. Sementara itu, beberapa petani pohpohan di Calobak
tidak membuang bagian tanaman terinfeksi yang dapat mengakibatkan bagian
tanaman terinfeksi menjadi sumber inokulum R. solani. Pengaruh dari faktor-faktor
abiotik dapat menyediakan daya dukung lingkungan untuk perkembangan
cendawan tular tanah. Menurut Liddell (1997), faktor-faktor abiotik dapat
mempengaruhi sporulasi, penyebaran, dan perkembangan patogen. Faktor-faktor
tersebut antara lain: kelembaban, suhu, radiasi, angin, kandungan nutirisi dalam
tanah, efek herbisida dan pestisida
Bercak daun phyllosticta ditemukan di kedua kampung. Kejadian penyakit di
Calobak mencapai 96% dan bercak daun di Bobojong mencapai 39%. Keparahan
penyakit bercak daun di Calobak mencapai 24% dan Bobojong mencapai 10.25%.
Hal ini diduga dari umur tanaman contoh di Kampung Bobojong lebih muda
15
dibandingkan dengan Kampung Calobak. Penyebaran patogen ini dapat dibantu
oleh angin dan percikan air hujan. Pengaruh kelembaban dapat mendukung
perkembangan jenis patogen ini. Pengendalian bercak daun phyllosticta tidak
dilakukan oleh petani pohpohan di kedua kampung. Hal ini dapat menyebabkan
daun-daun yang terinfeksi menjadi sumber inokulum baru. Jarak tanam di kedua
kampung diduga mempengaruhi perkembangan patogen. Menurut Pijut (2015)
Phyllosticta sp. terdapat gejala bercak coklat di permukaan daun dan spora dapat
bertahan di daun. Spora-spora yang terbawa oleh angin mempengaruhi penyebaran
patogen ini. Karateristik bercak yang ditimbulkan oleh patogen ini dipengaruhi
faktor-faktor umur, jaringan inang, dan beberapa faktor lingkungan (Jamer dan
Johson 2015). Menurut Jones (2004) Phyllosticta sp. memiliki konidia dan
penyebarannya melalui konidia sangat cepat dibantu melalui percikan air hujan.
Antraknosa hanya ditemukan di Kampung Bobojong. Kejadian penyakit
antraknosa mencapai 1%. Naungan berpengaruh terhadap iklim mikro pertanaman.
Keparahan penyakit antraknosa di Kampung Bobojong mencapai 0.2%. Diduga
tanaman pohpohan yang sudah terinfeksi sudah dibuang oleh petani pohpohan.
Keadaaan tutupan naungan dan jarak tanam diduga berpengaruh terhadap
kemunculan patogen ini. Menurut Waller (1992), Colletotrichum spp.
menggambarkan kondisi lingkungan lembab. Sementara itu, bagian-bagian pada
tanaman seperti batang, daun, dan buah dapat diinfeksi oleh patogen ini. Patogen
ini mempunyai fase dorman ketika kondisi lingkungan dan fisiologis inang tidak
mendukung mengakibatkan patogen hidup dalam keadaan saprob. Keadaan ini
merupakan salah satu strategi jenis patogen dalam bertahan dalam kondisi tidak
menguntungkan.
Tabel 9 Keparahan penyakit pohpohan
Keparahan penyakit (%)
Desa
Busuk pangkal batang
Bercak daun
Antraknosa
(R. solani)
(Phyllosticta sp.)
(Colletotrichum. sp.)
Calobak
46.00 ± 0.00
24.00 ± 2.10
0.00 ± 0.00
Bobojong
0.00 ± 0.00
10.25 ± 8.37
0.20 ± 0.63
Penyakit pada tanaman dapat muncul saat kondisi inang, patogen, dan
lingkungan saling mendukung. Keberadaan penyakit tidak terlepas dari faktorfaktor abiotik dan biotik. Faktor-faktor abiotik dan biotik mempunyai pengaruh
terhadap munculnya sebuah penyakit pada tanaman. Keberhasilan cendawan
patogenik dalam menginfeksi inang salah satunya kelembaban udara di sekitar
lingkungan patogen. Kelembaban ideal cendawan patogenik berbeda-beda sesuai
dengan kenakearagaman sifat yang dimiliknya. Kesesuaian antara inang dan
patogen merupakan syarat bagi perkembangan penyakit dalam menginfeksi
sedangkan kelembaban mempengaruhi bentuk spora, ketahanan, invasi, dan infeksi
(Harrison et al. 1994). Penyebaran spora dibagi menjadi perpindahan dan
penempatan spora. Penyebaran spora pada cendawan dapat dibantu secara alami
melalui angin, air dan manusia. Penyebaran spora merupakan hal penting untuk
diketahui untuk pencegahan dini penyebaran, salah satunya spora yang terbawa
tidak sengaja oleh manusia (McCartney 1994).
16
Pengendalian Hama dan Penyakit Pohpohan
di Kampung Calobak dan Bobojong
Pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan secara khusus oleh petani
pohpohan di kedua kampung. Keberadaan hama pada tanaman pohpohan hanya
didiamkan oleh petani pohpohan karena petani pohpohan menggangap kerugian
belum tinggi. Petani pohpohan melakukan pengendalian penyakit dengan
membuang bagian daun yang terinfeksi jika pohpohan sudah mati. Namun beberapa
petani pohpohan tidak membuang pohpohan yang sakit dan membiarkannya di
lahan milik petani pohpohan di kedua kampung. Hal ini dapat mengakibatkan
menjadi sumber inoculum, sehingga daya dukung perkembangan patogen di
lapangan dipengaruhi keberadaan sumber inokulum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Teknik budidaya pohpohan dilakukan dengan menggunakan sistem wanatani
di bawah tegakan damar, pinus, dan kaliandra. Hama tidak ditemukan pada
tanaman contoh hanya gejala hama seperti daun berlubang, gerigitan, dan bintik
putih. Hama-hama ditemukan pada pohpohan diluar tanaman contoh yaitu belalang
(Orthoptera:Acrididae), larva ulat (Lepidoptera:Noctuidae), dan wereng daun
(Hemiptera:Cicadellidae). Penyakit yang ditemukan busuk pangkal batang
disebabkan oleh Rhizoctonia solani. Bercak daun disebabkan oleh Phyllosticta sp..
Antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum sp.. Penyakit busuk pangkal batang
hanya ditemukan di Calobak. Penyakit antraknosa hanya ditemukan di Kampung
Bobojong. Bercak daun ditemukan di kedua kampung. Tidak ada pengendalian
khusus hama dan penyakit pohpohan di kedua kampung.
Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terkait faktor abiotik dan biotik apa
saja yang mempengaruhi keberadaan hama dan penyakit yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan N, Kurniasih D, Apriady AR, Rahmat H, Roto VA, Bolling WB. 2012.
Polyphenol, caretonoids, and ascorbic acid in underutilized medicina
lvegetables. J Fun Food. 4(2012):339-347. doi:10.1016/j.ff.2012.01.003.
Barnet HL, Hunter BB. 1988. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4.
Minnesota (US). APS Press.
[BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2013. Keanekaragaman
hayati [internet]. Bogor:Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak;
[diunduh 2015 Mar 7]. Tersedia pada: http://halimunsalak.org/tentangkami/keanekaragaman-hayati/.
Ceresini P. 1999. Rhizoctonia solani [internet]. North Carolina(US): North
Carolina State University; [diunduh 2015 Mar 22]. Tersedia pada:
http://www.cals.ncsu.edu/course/pp728/Rhizoctonia/Rhizoctonia.html
Desminarti S. 2001. Kajian serat pangan dan antioksidan alam beberapa jenis
sayuran serta daya serap dan resistensi antioksidan pada tikus percobaan
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Dit PJLKKHI] Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan
Hutan Lindung. 2012. Taman nasional gunung halimun salak [internet].
Jakarta (ID): Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi
dan Hutan Lindung; [diunduh 2015 Mar 10]. Tersedia pada
http://ekowisata.org/galeri/taman-nasional/tn-gunung-halimun-salak/
Duriat SA, Asgar A, Abidin Z. 1999. Indigenous vegetables in Indonesia: Their
conservation and utilization. Di dalam: Engle LM, Altoveros NC, editor.
Collection Conservations and Utilization of Indigenous Vegetables.
Proceedings of a Workshop AVDRC; 1999 Agustus 16-19; Shanhua. Tainan
(TW): Asian Vegetable Research and Development Center and Asian
Development Bank. hlm 29-42.
Dwiyani R. 2008. Identifikasi golongan senyawa antioksidan pada daun pohpohan
(Pilea trinervia) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ekawati R, Susila DA, Kartika GJ. 2010. Pengaruh naungan tegakan pohon
terhadap pertumbuhan dan produktivitas beberapa tanaman sayuran
indigenous. J Hort. [internet] [diunduh 2014 Nov 12]; 1(1)46-52. Tersedia
pada journal.ipb.ac.id/index.php/jhi/article/.../3832/11116
Foulkes J, Murchie HE. 2011. Optimizing canopy physiology traits to improve the
nutrient utilization efficiency of crops. Di dalam: Hawkesford JW,
Barraclough , editor. Molecular and Physiological Basis of nutrient Use
Efficiency in Crops. West Sussex (UK): Wiley-Blackwell. hlm 62-85.
Henley WR, Chase AR, Osborne SL. 2013. Pilea production guide [internet].
Florida (US): Central Florida Research and Education Center;[diunduh 2015
Mar 21. Tersedia pada: http://mrec.ifas.ufl.edu/foliage/folnotes/pilea.htm
Jamer LR, Johson DW. 2015. Phyllostica leafspots of maple an caragana [internet].
Nebraska:(US);USDA National Agroforestry Center;[diunduh 2015 Mar 21.
Tersedia pada: http://nac.unl.edu/documents/diseasetrees/chap4.pdf
Jones S. 2004. Phyllosticta leaf spot [internet]. Florida(US);American Orchid
Society
[diunduh
2015
Mar
23].
Tersedia
pada:
https://www.aos.org/Default.aspx?id=135
19
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Liddell CM. 1997. Abiotics factors and soilborne disase. Di dalam Hillocks, Waller
JM,editor. Soilborne Disease of Tropical Crops. Wallingford(UK): CAB
International. hlm 365-373.
Harrison JG, Lowe R, Williams NA. 1994. Humidity and fungal disease of plantsproblems. Di dalam: Blakeman JP, Williamsom B,editor. Ecology of Plant
Pathogens. Bristol (UK):CAB International. hlm 79-95.
Mahyar UW. 1994. Pilea. Di dalam: Siesmonsa JS, Piluek K, editor. Plant
Resources of South-East Asia No. 8; Vegetables. Bogor (ID): Prosea
Foundation. hlm 225-226.
Mccartney HA. 1994. Spore dispersal: enviromental and biological factors. Di
dalam: Blakeman JP, Williamsom B,editor. Ecology of Plant Pathogens.
Bristol (UK):CAB International. hlm 171-181.
Pijut MP. 2015. Disease in hardwood tree plantings [internet]. Purdue(US);
Department of Forestry and Natural Resources [diunduh 2015 Jan 20].
Tersedia pada: https://www.extension.purdue.edu/extmedia/FNR/FNR221.pdf
Priana AM. 2004. Identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri (kasus usaha
agroforestri pohpohan di hutan pinus dan damar desa taman sari kecamatan
taman sari kabupaten bogor) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Singh P. 1995. Land degradation – a global menace and its improvement through
agroforestry. Di dalam:Sing P, Pathak PS, Roy M, editor. Agroforestry
System for Sustainable Land Use. New Delhi (IN): Sciences Publisher. Hlm
4-20.
Soetiarso TA. 2010. Preferensi konsumen terhadap atribut kualitas empat jenis
sayuran minor. J Hort. [Internet] [diunduh 2014 Nov 12]; 20(4):398-407.
Tersediapada:http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/jurnal_pdf/204/Soeti
arso_Sayuranminor.pdf
Speight M, Wylie RF. 2001. Insect Pest in Tropical Forestry. Ocon (UK):CABI
International.
Sutapradja H. 2008. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit terhadap
pertumbuhan dan hasil kentang varietas granola untuk bibit. J Hort. [Internet]
[diunduh
2015
Mar
12];
18(2):155-159.
Tersedia
pada
http://ilkom.journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalagronomi/article/view/1515/5
88
Waller JM. 1992. Colletrotichum disease of perennial and other cash crops. Di
dalam: Bailey JA, Jeger MJ, editor. Biology, Pathology and Control. Oxon
(UK): CAB International. hlm 167-185.
Watanabe T. 1937. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morfologies of Cultured
Fungi and Key to Species. Ed ke-2. Boca Raton (US): CRC Press.
Wojtkowski A. 2002. Agroecological Perspectives in Agronomy, Forestry, and
Agroforestry. Ed ke-1. (US): Science Publisher.
LAMPIRAN
21
Lampiran 1 Kuesioner wawancara dan blanko pengamtan
WAWANCARA PENELITIAN
Kabupaten/Kota : …………………… Pewawancara : …………………..
Kecamatan : ………………………… Tanggal wawancara : …………….
Desa
: ………………………… Tempat wawancara : Kebun/Rumah
Kampung: …………………………. Waktu wawancara : pk. …. s/d ……
Karakteristik Petani
1. Nama
:
2. Umur
:
Tahun
3. Alamat
:
4. Pendidikan tertinggi :
[ ] Tidak sekolah
[ ] SD [ ] SMP
[ ] SMU
[ ] Perguruan Tinggi
5. Pekerjaan utama
:
Karateristik Lahan
6. Lama berusahatani pohpohan:
[ ] 1-5 tahun
[ ] 5-10 tahun
[ ] 10-15 tahun
[ ] > 15 tahun
7. Luas kebun pohpohan yang diusahakan:
[ ]
< 50 m
[ ] 50 – 100 m
[ ] 100 – 500 m
[ ] 500 – 1000 m
8. Status kepemilikan lahan:
[ ] pemilik dan penggarap [ ] penyewa
[ ] penggarap
[ ] lainnya
Budidaya Pohpohan
9. Varietas pohpohan yang ditanam:
10. Asal benih atau bibit:
[ ] membeli dari perusahaan
[ ] membuat sendiri dari pertanaman sebelumnya
[ ] membeli di toko pertanian/kios [ ] lainnnya
11. Umur tanaman saat ini:
[ ] 10-20 Hari
[ ]30 – 60 Hari
[ ] 60-90 Hari
[ ] > 90 Hari
12. Jarak Tanam:
mx
m
13. Pola tanam:
[ ] monokultur
[ ] tumpang sari dengan
[ ] lainnya
14. Sejarah lahan sebelumnya dan Persiapan lahan yang dilakukan
22
15. Pemupukan
Jenis Pupuk
Intensitas
Pemupukan
Waktu
Pemupukan
Dosis(kg)
Harga/kg
Frekuensi
Waktu
Dosis(kg)
Harga
Kandang
Urea
TSP
KCL
NPK
16. Pestisida :
Jenis
Pestisida
17. Pengendalian gulma/penyiangan :
Cara Pengendalian
Frekuensi
Mekanais/manual
Kimiawi
Waktu
18. Waktu dan Frekuensi panen :
19. Jumlah produksi daun pohpohan dalam satu kali panen....
20. Perlakuan pasca panen :
[ ] dijual sendiri
[ ] dijual ke tengkulak
[ ] keduanya
[ ] lainnya,.....
21. Kejadian penyakit/ Hama
DI = n/N x 100%
DI
= Kejadian penyakit (Disease Incidence)
n
= Jumlah tanaman yang terserang
N
= Jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati
22. Keparahan penyakit
DS = ∑ (ni . vi)/N.V x 100%
DS
= Keparahan Penyakit ( Disease Severity)
ni
= Jumlah bagian tanaman terserang pada kategori ke-I
vi
= kategori kerusakan ke-I
N
= Jumlah tanaman yang diamati
V
= Nilai kategori serangan tertinggi
Jenis
alat/Herbisida
23
Nilai kategori keparahan penyakit bercak daun
Skor
Nilai kepar
(Pilea trinervia Wight) DI KECAMATAN TAMAN SARI,
KABUPATEN BOGOR
ADIYANTARA GUMILANG
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hama dan Penyakit
Tanaman Pohpohan (Pilea trinervia Wight) di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten
Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Adiyantara Gumilang
NIM A34100056
ABSTRAK
ADIYANTARA GUMILANG. Hama dan Penyakit Tanaman Pohpohan (Pilea
trinervia Wight) di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
SURYO WIYONO dan HERMANU TRIWIDODO.
Pohpohan (Pilea trinervia) merupakan salah satu tanaman sayuran
indigenous yang penting. Permasalahan hama dan penyakit di pohpohan belum
pernah diteliti. Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis hama dan penyakit pada
tanaman pohpohan, pengelolaan hama dan penyakit, dan teknik budidaya yang
dilakukan di dua lokasi budidaya pohpohan di wilayah Kabupaten Bogor. Metode
yang digunakan yaitu wawancara terhadap 20 petani, pengamatan lapangan di dua
lokasi berbeda dengan mengambil 10 tanaman contoh secara diagonal dengan total
20 lahan dalam satu kali pengamatan, identifikasi, pengambilan sampel hama dan
penyakit pada tanaman contoh, koleksi dan analisis data. Individu hama tidak
ditemukan pada tanaman contoh. Gejala serangan hama yang ditemukan yaitu daun
berlubang disebabkan oleh serangga dari famili Noctuidae, gerigitan pada daun
disebabkan oleh famili Acrididae, dan bintik putih pada daun disebabkan oleh
famili Cicadellidae. Penyakit yang ditemukan adalah busuk pangkal batang yang
disebabkan oleh Rhizoctonia solani Kuhn. Bercak daun disebabkan oleh
Phyllosticta sp.. Antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum sp.. Pengendalian
hama dan penyakit tidak dilakukan secara khusus. Teknik budidaya pohpohan
menggunakan sistem wanatani di bawah tegakan pohon damar dan pinus.
Kata kunci : gejala serangan hama, hama dan penyakit, pohpohan, sayuran
indigenous, wanatani.
ABSTRACT
ADIYANTARA GUMILANG. Pests and Diseases of Pohpohan (Pilea trinervia
Wight) in Taman Sari District, Bogor Regency. Supervised by SURYO WIYONO
and HERMANU TRIWIDODO.
Pohpohan (Pilea trinervia) is one of important indigenous vegetables. Pests
and diseases on pohpohan have not been studied. The aim of this research was to
study pests and diseases of pohpohan, management of pests and diseases, and
cultivation practice which has been conducted at two villages in Bogor. Interview
using structured questionnaire was done on 20 farmers. Field observation at two
different locations by taking 10 plants diagonally with total of 20 pohpohan plants
in once observation was carried out thereafter, identification, taking pests and
disease on plant sample, collection and data analysis were conducted. There were
not insect pests on sampled plants. Symptoms of pest were found on leaf such as
shot leaf hole caused by famili Noctuidae, leaf chunks caused by famili Acrididae,
and leaf white spot caused by famili Cicadellidae. Diseases of pilea were stem rot
caused by R. solani Kuhn. Leaf spot caused by Phyllosticta sp.. Antrachnose caused
by Colletotrichum sp.. There was no specific measures to control plant pests and
diseases. Pilea was cultivated in agroforestry system under pinus and damar stand.
Keywords: agroforestry, attack symptoms of insect, indigenous vegetables, pests
and diseases, pohpohan.
HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN POHPOHAN
(Pilea trinervia Wight) DI KECAMATAN TAMAN SARI,
KABUPATEN BOGOR
ADIYANTARA GUMILANG
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pertanian
pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji syukur penulis haturkan serta panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, selain itu kepada Nabi besar SAW telah
meberikan cahaya serta kasih sayang kepada Umat-nya hingga sekarang, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Hama dan Penyakit Tanaman
Pohpohan (Pilea trinervia Wight) di Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor”.
Penyusunan skripsi bertujuan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.
Dengan penuh rasa hormat dan kasih sayang, penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Dr. Ir. Suryo Wiyono, MScAgr dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, MSc sebagai
dosen pembimbing yang memberikan arahan, motivasi, saran, dan kritik dari
pembuatan usulan penelitian hingga skripisi,
2. Dr. Endang Sri Ratna sebagai dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan dukungan moril selama menempuh kuliah di Departemen Proteksi
Tanaman,
3. Dr. Ir. Ali Nurmansyah MSi selaku dosen penguji yang meberikan kritik dan
saran,
4. Seluruh Dosen dan staf Departemen Proteksi Tanaman yang telah memberikan
ilmu selama penulis menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor,
5. Kedua Orang tua yang selalu tersenyum Agus Sugendar dan Agustina
Hendrawati serta Kakak almarhum Gunaraya Priawan, Adik almarhumah
Azzahra Putri lahiragita dan Kedua adik yang dibanggakan Raka Hadyan
Adzhani dan Rayi Hadyan Awanis, Kakek Entum Dartum dan Nenek Otty serta
Keluarga Besar,
6. Keluarga Besar Fauzi Febrianto yang telah memberikan semangat dan dukungan
selama berkuliah di IPB,
7. Andika Septiana Suryaningsih yang selalu memberikan dukungan selama ini,
8. PT. Pijar Nusa Pasifik yang telah memberikan beasiswa selama kuliah di IPB,
9. Keluarga Besar Departemen Proteksi Tanaman terkhusus “Proteksi Tanaman
47”,
10.Keluarga Besar Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung (PPRPG) Satya
Soedirman SMAN 1 Bogor dan Banyu Karikil yang telah memberikan pola
pandang dan wawasan dalam arti perjuangan,
11.Perkumpulan Mahasiswa Pecinta Alam IPB (LAWALATA) yang telah
memberikan semangat selama menempuh pendidikan di IPB,
12.Warga Desa Taman Sari Kampung Calobak dan Bobojong yang telah
memberikan keramahan dan kerjasama yang baik selama penulis melakukan
penelitian.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang Hama dan Penyakit Tanaman.
Bogor, Maret 2015
Adiyantara Gumilang
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Alat
Metode
Survei dan Penentuan Lahan
Wawancara Petani
Pengamatan Lapangan
Pengambilan Sampel Hama dan Penyakit
Identifikasi Hama dan Penyakit
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah, Kondisi Pertanaman Pohpohan dan Teknik Budidaya
Hama Tanaman Pohpohan
Penyakit Tanaman Pohpohan
Pengendalian Hama dan Penyakit di Bobojong dan Calobak
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
vi
vi
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
4
4
4
5
5
9
11
16
17
17
17
18
20
27
DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi penelitian di kampung Calobak dan Bobojong
hasil digitasi menggunakan Google maps
2 Titik contoh pengamatan pada masing – masing lahan di dua desa.
3 Peta Taman Nasional Gunung Halimun Salak
4 Kondisi umum pertanaman pohpohan
5 Pohpohan
6 Gejala serangan yang ditemukan di kedua kampung
7 Serangga yang ditemukan di kedua kampung
8 Busuk pangkal batang
9 Gejala bercak daun phyllostica dan hasil pengamatan mikroskopik
10 Pengamatan mikroskopik bercak daun phyllosticta
11 Gejala antraknosa di daun,batang dan hasil pengamatan mikroskopik
2
3
5
5
8
10
11
12
13
13
14
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Skoring keparahan penyakit antraknosa pada pohpohan
Skoring keparahan bercak daun phyllosticta
Kondisi dan cara budidaya di dua lokasi pertanaman pohpohan
Aplikasi pemupukan di dua kampung berdasarkan hasil wawancara
Jenis-jenis hama berdasarkan wawancara di kedua kampung
Serangan hama di dua kampung
Informasi penyakit pohpohan berdasarkan hasil wawancara
Kejadian penyakit di kedua kampung
Keparahan penyakit di kedua kampung
3
4
6
9
9
11
12
14
15
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner wawancara petani pohpohan
2 Blanko Pengamatan lapangan
3 Tabel pengamatan kejadian dan keparahan penyakit
21
25
26
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pohpohan (Pilea trinervia) merupakan salah satu jenis tanaman sayuran
indigenous yang penting di Jawa Barat. Pohpohan dikonsumsi dalam keadaan
segar. Pohpohan ditemukan di hutan alam sebagai tumbuhan liar. Budidaya
pohpohan masih dalam lingkup terbatas seperti di halaman rumah sebagai tanaman
hias dan pagar (Mahyar 1994). Sayuran indigenous merupakan suatu tanaman yang
dibudidayakan di daerah tertentu oleh sejumlah masyarakat. Menurut Duriat et al.
(1999) sayuran indigenous yang dibudidayakan oleh petani masih dalam skala
kecil.
Manfaat dari pohpohan diketahui memiliki antioksidan yang dapat
menangkap munculnya radikal bebas. Senyawa fenol, asam askorbat, β–karoten, αtofokerol merupakan sumber dari antioksidan (Desminarti 2001). Menurut Dwiyani
(2008), pohpohan dikonsumsi dalam keadaan segar oleh Suku Sunda. Sayuran
segar memiliki vitamin dan kandungan serat lebih besar dibandingkan dengan
sayuran yang sudah dimasak.
Kurangnya informasi terhadap nilai gizi pohpohan merupakan salah satu
kendala dan akar permasalahan untuk mengembangkan bisnis budidaya pohpohan
di masa mendatang. Jika hal ini tidak disadari secara terus menerus, pohpohan tidak
mempunyai nilai jual di masyarakat yang mengakibatkan daya tarik konsumen
terhadap pohpohan di kota–kota besar masih terbatas sehingga daya tarik konsumen
terhadap pohpohan akan lebih rendah dibandingkan pada daya tarik jenis–jenis
sayuran yang sudah umum dikonsumsi. Namun jika dibandingkan, pemberian
informasi mengenai nilai gizi dari berbagai jenis sayuran yang sudah dilakukan di
negara-negara barat untuk mengetahui informasi nilai gizi dari berbagai jenis
sayuran yang dapat menjadi daya tarik suatu jenis sayuran. Oleh sebab itu, sayuran–
sayuran dapat dimanfaatkan dan diketahui potensinya dari segi kesehatan dan
ekonomi (Andarwulan et al. 2012).
Hama dan penyakit pada tanaman merupakan salah satu faktor yang dapat
mengurangi produktivitas dari suatu tanaman budidaya. Sayuran indigenous
berpotensi dikembangkan dalam skala lebih luas. Oleh karena itu, hama dan
penyakit perlu diketahui untuk pengendalian hama penyakit di masa mendatang.
Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai hama dan penyakit pohpohan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui jenis hama dan penyakit pohpohan,
pengelolaan hama dan penyakit, dan teknik budidaya pohpohan yang dilakukan di
Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang hama
dan penyakit pada pohpohan sebagai dasar pengelolaan dan pengendalian hama
penyakit pohpohan.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Kampung Bobojong dan Calobak, Desa Taman Sari,
Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Identifikasi penyakit dilakukan di
Klinik Tanaman dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian IPB. Identifikasi hama dilakukan di Laboratorium
Biosistematika Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB
dari bulan November 2014 hingga Februari 2015.
Bahan dan Alat
Bahan–bahan yang digunakan pada penelitian: sampel daun sakit, sampel
hama yang menyerang tanaman, dan air steril. Alat yang digunakan jarum
inokulasi, plastik, gunting, pinset, botol film, pinset, laminar air flow, mikroskop
compound, mikroskop stereo, preparat, cover glass kamera digital, koran bekas,
dan GPS.
Metode
Survei dan Penentuan Lahan
Survei dilakukan di 2 lokasi Kampung Bobojong dan Calobak, Desa Taman
Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor. Kegiatan survei antara lain untuk
memperoleh informasi awal terkait: budidaya pohpohan, perizinan penelitian
kepada instansi terkait, perizinan kepada warga sekitar, pengamatan lahan petani
pohpohan, pemilihan lahan contoh dan keadaan umum yang terdiri dari tanaman
sekitar dan ketinggian.
Penentuan lahan dilakukan setelah pemilihan lahan contoh. Lahan contoh
yang dipilih berjumlah 20 lahan terbagi di dua Kampung Bobojong dan Calobak.
Pembuatan titik di setiap lahan dilakukan untuk visualisai ke dalam bentuk peta
menggunakan alat GPS Garmin 60i dan diolah menggunakan perangkat lunak
Google Maps (Gambar 1).
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Kampung Calobak ( ) dan Bobojong ( )
hasil digitasi menggunakan Google maps
3
Wawancara Petani Pohpohan
Wawancara dilakukan secara langsung kepada 20 petani yang dipilih secara
acak terbagi di Kampung Bobojong dan Calobak. Wawancara dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang: permasalahan hama dan penyakit pada pohpohan,
pengendalian hama penyakit pada pohpohan, dan teknik budidaya pohpohan.
Wawancara petani pohpohan menggunakan blanko wawacara petani dari Klinik
Tanaman IPB.
Pengamatan Lapangan
Pengamatan dilakukan sekali dengan mengambil 20 petak contoh terbagi di
Kampung Calobak dan Bobojong. Setiap petak contoh tanaman pohpohan diambil
5 titik pengamatan dimana dalam satu titik terdiri dari 2 tanaman dan diberi jarak 5
tanaman berikutnya (Gambar 2). Lahan amatan yang digunakan adalah milik petani
pohpohan yang sudah diwawancarai.
Gambar 2 Titik contoh pengamatan pada masing–masing petak lahan di dua
kampung
Bagian tanaman yang diamati adalah daun, batang, dan keseluruhan
tanaman. Penghitungan serangan hama dan kejadian penyakit di lapangan
menggunakan rumus:
Luas serangan hama atau kejadian penyakit (%) = Jumlah tanaman yang terserang x100%
Jumlah keseluruhan tanaman
Penghitungan keparahan penyakit menggunakan rumus:
∑ nivi
x 100%
Keparahan Penyakit (%) =
NV
ni = jumlah tanaman dengan skor ke-i, vi = nilai skor penyakit dari, N = jumlah
tanaman yang diamati, V= skor tertinggi
Penilaian penyakit bercak daun phyllosticta pada tanaman pohpohan dilakukan
dengan menggunakan penilaian keparahan seperti Tabel 1.
Tabel 1 Penilaian keparahan bercak daun phyllosticta pada pohpohan
Skor
Keparahan serangan (%)
0
tidak ada serangan
1
serangan
1 ≤ x < 25
2
serangan
25 ≤ x < 50
3
serangan
50 ≤ x < 75
4
serangan
x ≥ 75
4
Penilaian keparahan penyakit antraknosa pada tanaman pohpohan Tabel 2.
Tabel 2 Penilaian keparahan penyakit antraknosa pada pohpohan
Skor
Keparahan serangan (%)
0
tidak ada serangan
1
serangan
1 < x < 20
2
serangan
20 < x < 40
3
serangan
40 < x < 60
4
serangan
60 < x < 80
5
serangan
x > 80
Pengambilan Sampel Hama dan Penyakit
Sampel hama dan penyakit diambil dari bagian tanaman contoh untuk di
identifikasi di laboratorium. Sampel hama disimpan di dalam botol film dan
kantong plastik. Bagian tanaman bergejala penyakit disimpan di dalam kantong
plastik dan koran bekas.
Identifikasi Hama dan Penyakit
Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga
IPB. Identifikasi penyakit dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan
Klinik Tanaman IPB. Identifikasi penyakit dilakukan dengan menggunakan buku
identifikasi (Barnett dan Hunter 1998;Watanabe 2002) dengan bimbingan dosen
pembimbing. Identifikasi penyakit dilihat secara mikroskopik menggunakan
mikroskop compound dan stereo.
Analisis Data
Data luas serangan hama, kejadian dan keparahan penyakit tanaman
pohpohan yang diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan ditampilkan dan
diolah menggunakan Microsoft Excel 2013 sehingga diperoleh nila rata-rata dan
simpangan baku.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sejarah, Kondisi Umum Pertanaman dan Teknik Budidaya Pohpohan
Lokasi budidaya pohpohan di Kampung Bobojong dan Calobak, Desa Taman
Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor berada dalam kawasan Taman
Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Awalnya, Taman Nasional Halimun
dan Hutan Gunung Salak berada dalam kawasan kerja terpisah. Pengelolaan Hutan
Gunung Salak awalnya dikelola oleh Perum Perhutani yang termasuk kedalam
hutan lindung dan produksi terbatas. Penambahan luas area Taman Nasional
Halimun mengakibatkan kawasan Hutan Gunung Salak bergabung menjadi
kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak pada tahun 2003 berdasarkan
surat keputusan Menteri Kehutanan 175/Kpts-II/2003 dengan luas total ± 113 357
ha (BTNGHS 2013) (Gambar 3).
Gambar 3 Peta Taman Nasional Gunung Halimun Salak sebelum penambahan luas
area dan setelah penambahan (Dit PJLKKHl 2012).
Kondisi umum budidaya pohopohan di Kampung Calobak dan Bobojong
memiliki kondisi yang hampir sama dilihat dari kondisi lingkungan sekitar dan
teknik budidaya yang dilakukan. Budidaya pohpohan berada di bawah tegakan
pohon pinus (Pinus merkusii), damar (Agathis damara) (Gambar 4), dan kaliandra
(Calliandra callothyrsus dan C. tetragoma).
a
b
Gambar 4 Kondisi umum budidaya pohpohan dengan sistem wanatani dibawah
tegakan pohon pinus (a) dan damar (b).
6
BTNGHS (2013) menginformasikan pohon damar, kaliandra, dan pinus merupakan
pohon-pohon yang mendominasi sehingga mudah ditemukan di kawasan TNGHS
karena pihak pengelola pada saat itu Perum Perhutani melakukan penanaman ketiga
jenis pohon tersebut untuk keperluan penghijauan lahan. Petani pohpohan di kedua
kampung merupakan petani penggarap karena kepemilikan lahan dipegang
sepenuhnya oleh pihak TNGHS. Kondisi umum budidaya pohpohan dan teknik
budidaya disajikan di dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kondisi dan cara budidaya pohpohan di dua lokasi pengamatan
Informasi
Budidaya Pohpohan
Budidaya
Calobak
Bobojong
Dataran lokasi
tinggi
tinggi
Ketinggian (m dpl)
743-821
685-922
Luas (m2)
500-2500
250-1000
Cara tanam
wanatani
wanatani
Jarak tanam (cm)
5x5, 10-20x10-20
5x5, 10-20 x 10-20
Pengendalian gulma
manual
manual
Kondisi lahan
terawat
terawat
Waktu panen (bulan)
1-2
1
Produksi hasil panen
3000-25000
300-20000
(ikat)
Teknik budidaya yang digunakan oleh sejumlah petani pohpohan di kedua
kampung menggunakan sistem wanatani atau agroforestry. Wanatani merupakan
salah satu teknik budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian. Sistem
wanatani pohpohan di bawah tegakan damar dan pinus sudah dilakukan semenjak
tahun 1991. Petani pohpohan memanfaatkan area di bawah tegakan pohon damar,
pinus, dan kaliandra untuk budidaya pohpohan. Alasan lain untuk melakukan
budidaya pohpohan adalah tambahan penghasilan bagi warga di kedua kampung.
Pada awalnya petani pohpohan di kedua kampung belum mempunyai izin
resmi untuk memanfaatkan lahan kosong dibawah tegakan pinus dan damar, namun
pada tahun 2002 kegiatan wanatani di kedua kampung mempunyai kekuatan hukum
sehingga munculah Kelompok Tani Hutan Mekarsari (Priana 2004). Keterpaduan
antara masyarakat sekitar hutan dan Perum Perhutani melalui Program Pengelolaan
Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang bertujuan untuk
pengelolaan sumberdaya hutan berkelanjutan bersama masyarakat sekitar hutan
dapat terwujud. Kegiatan masyarakat di kedua kampung selain melakukan
budidaya pohpohan adalah pemanfaatan buah pala, penjualan daun pisang, daun
honje, daun pandan, penyadapan getah pinus dan damar.
Pengaruh naungan berpengaruh terhadap diameter batang, tinggi tanaman,
panjang dan lebar daun (Ekawati et al. 2010). Menurut Foulkes dan Murchie
(2011), naungan mempunyai pengaruh fisiologi yang berdampak pada pengunaan
efisiensi nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman karena mengoptimalisasikan;
pengangkapan radiasi/pengambilan nutrisi, penyebaran vertikal N, peningkatan
fotosintetis daun/unit N, optimisasi N dalam penyimpanan daun, batang, biji dan
remobilisasi nitrogen.
7
Peran agroekologi wanatani mempunyai peranan dalam hubungan antar
sesama komponen seperti: keberlanjutan, keanekearagaman, dan ekonomi sehingga
terbentuknya sebuah sistem keterpaduan di dalamnya. (Wojtkowski 2002).
Menurut Singh (1995) wanatani mempunyai sejumlah kelebihan diantaranya
pencegahan erosi, siklus nutrisi, fiksasi nitrogen, penambahan bahan organik dan
perubahan iklim mikro.
Petani pohpohan mendapatkan bibit dari budidaya pohpohan sebelumnya
dengan cara memotong bagian batang kemudian ditanam di petakan. Perolehan
bibit pohpohan tidak dapat dipastikan, bibit yang diperoleh hingga kini merupakan
bibit yang diperoleh dari sesama petani pohpohan dan diperbanyak sendiri.
Menurut Mahyar (1994) pohpohan termasuk kedalam Famili Urticacae.
Pohpohan tumbuh tegak herba monoecious atau dioceous dapat mencapai 2 m.
Pertumbuhan luas daun 6-20 cm x 2-10 cm P. trinervia dan P. glabberima 6-25 cm
x 2-8 cm. Bentuk daun meruncing dan panjang petiol mencapai 1-10 cm. Terdapat
dua spesies utama yang umum diketahui yaitu P. Trinervia dan P. glabberima
(Blume). Pohpohan memiliki bunga jantan atau betina dan warna bunga putih
kehijau-hijauan.
Pohpohan dapat ditemukan di hutan, perbatasan hutan, dan sekitar aliran air
dengan ketinggian ketinggian 500-2500 mdpl. Budidaya pohpohan tidak mudah
tergantung lingkungan tempat tumbuh. Perbanyakan pohpohan dapat dilakukan
menggunakan pemotongan cabang lateral dan benih. Namun pengguanan benih
harus terlebih dahulu disemai di dalam tray karena ukuran benih pohpohan sangat
kecil.
Petani pohpohan di kedua kampung umumnya menggunakan jarak tanam 520 cm. Petani pohpohan menggunakan jarak tanam dengan kerapatan tinggi
bertujuan untuk mendapatkan hasil panen lebih tinggi. Alasan utama kerapatan
jarak tanam ialah tambahan pendapatan bagi para petani pohpohan untuk menutupi
modal yang telah dikeluarkan untuk keperluan budidaya pohpohan. Berdasarkan
penelitian Sutapradja (2008) penggunaan jarak tanam mempunyai pengaruh
terhadap persaingan antar tanaman, selain itu pertumbuhan dan hasil yang diperoleh
pada jarak tanam berbeda dan ukuran bibit yang digunakan berpengaruh terhadap
hasil yang dapat dijadikan bibit kentang.
Pengendalian gulma yang dilakukan petani pohpohan di kedua kampung
tersebut sama. Pengendalian dilakukan secara manual menggunakan alat kored.
Waktu pengendalian gulma dilakukan setiap 1 bulan atau setelah panen.
Pengendalian secara kimia menggunakan herbisida tidak pernah dilakukan oleh
petani pohpohan di kedua kampung tersebut.
Pemanenan pohpohan di kedua kampung tidak jauh berbeda. Dalam satu kali
panen, petani pohpohan memerlukan waktu 1-2 bulan jika bibit pohpohan yang
digunakan sudah lebih dari 3-4 bulan. Penanaman awal menggunakan bibit
pohpohan memerlukan waktu sekitar 3-4 bulan (Gambar 5a). Petani pohpohan di
kedua kampung membuat petakan persegi panjang berukuran berkisar 5-6 m x 5-7
m (Gambar 5b). Hasil panen yang diperoleh dikumpulkan dalam ikatan dan dijual
kepada tengkulak. Penjualan pohpohan dari petani pohpohan dibatasi 2000-3000
ikat oleh tengkulak. Petani pohpohan di dua kampung menjual kepada tengkulak
dalam bentuk ikatan kecil dan besar (Gambar 5c dan d). Setiap ikatan pohpohan
terdiri dari 8-10 batang dengan harga jual Rp 800/ikat kecil, sedangkan itu
8
pohpohan dalam ikatan besar merupakan gabungan dari 10 ikatan kecil yang
berjumlah 10 ikat dengan harga jual Rp 7500-8500/ikat besar.
a
b
c
d
Gambar 5 Petakan yang ditanami pohpohan (a), petakan penanaman awal
pohpohan (c), pohpohan yang sudah diberi ikatan kecil (c), dan
pohpohan yang diberi ikatan besar (b),
Tabel 4 menunjukkan pemupukan yang dilakukan di kedua kampung oleh
petani pohpohan. Jenis pupuk yang digunakan dalam budidaya pohpohan oleh
petani adalah pupuk kandang ayam , urea, dan NPK.
Pupuk kandang ayam merupakan pupuk yang berasal dari kotoran ayam yang
telah dicampur oleh sekam padi. Petani pohpohan memperoleh pupuk kandang
ayam dengan membeli di peternakan ayam yang berada di sekitar kampung. Pupuk
kandang ayam yang diperoleh petani disimpan dalam karung.
Harga jual jenis pupuk kandang ayam, NPK, dan urea berbeda-beda. Petani
membeli jenis pupuk NPK dan urea mencapai Rp 3 000-3 500/Kg di kios pertanian
sekitar kampung. Sementara itu, harga jual pupuk kandang ayam yang dijual kepada
petani pohpohan mencapai Rp 6 000-10 000/karung belum termasuk biaya upah
buruh angkut. Biaya upah buruh untuk mengangkat pupuk kandang ayam mencapai
Rp 1 500-3 000/angkut yang disesuaikan berdasarkan lokasi budidaya pohpohan.
Permasalahan keterbatasan pasokan pupuk kandang ayam menyebabkan
harga pupuk kandang ayam melonjak tinggi, oleh karena itu petani pohpohan di
kedua kampung menggunakan pupuk urea dan NPK sebagai pilihan lain karena
jenis pupuk urea dan NPK lebih mudah diperoleh di kios-kios pertanian dan harga
yang lebih murah dibandingkan dengan harga pupuk kandang ayam ketika
ketersediaan pupuk kandang ayam terbatas di peternakan ayam sekitar kampung.
Pemupukan pupuk kandang ayam dilakukan diawal tanam. Waktu
pemupukan untuk kandang ayam disesuaikan dengan ketersediaan pupuk kandang
ayam di peternakan. Pada umumnya pemupukan menggunakan pupuk kandang
ayam dilakukan 1-2 setiap bulannya atau setelah panen. Pemupukan pupuk kandang
9
ayam di Kampung Bobojong berkisar 1-5 karung/petak sedangkan di Kampung
Calobak berkisar 1/2-1 karung/petak.
Pemupukan urea dan NPK umumnya dilakukan secara berselang dengan
kurun waktu 2-6 bulan mengikuti periode waktu setelah penggunaan pupuk
kandang ayam. Namun, penggunaan urea dan NPK merupakan pilihan lain petani
pohpohan jika ketersediaan pupuk kandang ayam tidak mencukupi untuk budidaya
pohpohan. Pemupukan urea di Kampung Calobak 1/2-3/4 kg/petak tidak jauh
berbeda dengan pemberian pemupukan yang diberikan petani pohpohan di
Kampung Bobojong sekitar 1/2-1 kg/petak. Pemupukan NPK hanya dilakukan oleh
petani dari Kampung Calobak, dimana setiap petaknya diberikan 1 kg/petak.
Tabel 4 Pemupukan di pohpohan
Kampung
Jenis pupuk
Pupuk
kandang
ayam
Urea
NPK
dosis
(karung/petak)
frekuensi
waktu (bulan)
dosis
(kg/petak)
frekuensi
waktu (bulan)
dosis
(kg/petak)
frekuensi
waktu (bulan)
Calobak
1/2 – 1
Bobojong
1-5
awal
1-2
1/2-3/4
awal
1-3
1/2-1
awal
1-2
1
awal
1-6
tidak ada
awal
1
tidak ada
tidak ada
Hama Tanaman Pohpohan
Permasalahan dalam budidaya antara lain hama dapat merugikan secara
ekonomi. Tabel 5 menunjukkan masalah hama pohpohan berdasarkan hasil
wawancara petani pohpohan di kedua kampung. Gangguan hama dalam budidaya
pertanian merupakan permasalahan umum.
Tabel 5 Hama-hama tanaman pohpohan menurut petani pohpohan
Tingkat kepentingan
Jenis hama
Bagian diserang
Calobak
Bobojong
Babi hutan
+++
+++
petakan
Monyet
++
++
bagian batang
Ulat jengkal
++
++
daun
Belalang
++
++
daun
Keterangan : + = Tidak bermasalah, ++ = sedang, +++= Bermasalah, ++++= Sangat bermasalah
Hama babi hutan (Sus scrofa) dan kera (Macaca spp.) merupakan masalahmasalah yang dihadapi oleh petani pohpohan dalam budidaya pohpohan karena
lokasi budidaya pohpohan yang berada di kawasan hutan dan merupakan habitat
bagi babi hutan dan kera. Jenis kerusakan yang disebabkan oleh babi hutan adalah
kerusakan pada petakan pohpohan. Kerusakan mengakibatkan petani pohpohan
10
harus menanam ulang kembali pohpohan. Kerusakan yang diakibatkan kera dengan
mematahkan bagian batang sehingga mengurangi jumlah hasil bagian daun yang
akan dipanen. Babi hutan dan kera termasuk kedalam hama dalam pertanian.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh babi hutan dapat merusak pada fase pembibitan
sedangkan kera merusak dengan cara memakan buah, akar dan batang (Kalshoven
1981).
Individu Hama tidak ditemukan pada tanaman contoh di kedua kampung.
Namun, gejala akibat serangan hama ditemukan pada tanaman contoh di kedua
kampung adalah daun berlubang, daun gerigitan, dan daun bintik putih.(Gambar
6). Hasil wawancara petani pohpohan belum ada permasalahan serius mengenai
hama dari kelompok serangga. Hama-hama yang ditemukan di luar tanaman contoh
antara lain: belalang dari famili Acrididae, belalang dari famili Tetrigidae, larva ulat
jengkal dari famili Noctuidae, dan wereng daun dari famili Cicadellidae (Gambar
7).
Bintik putih pada daun disebabkan oleh hama-hama yang mempunyai taji di
bagian tarsus. Hama yang mengakibatkan gejala bintik putih ialah wereng daun.
Wereng daun menggesekkan taji di daun sehingga mengakibatkan permukaan daun
timbul menjadi bintik putih. Selain itu, gejala bintik putih dapat disebabkan oleh
larva dari Ordo Lepidoptera yang hanya memakan bagian epidermis daun.
a
b
c
Gambar 6 Gejala serangan yang ditemukan di kedua kampung gerigitan (a),
berlubang (b), dan bintik putih (c)
Tabel 6 menunjukkan tingkat serangan hama berdasarkan gejala yang
ditemukan pada tanaman contoh. Secara umum serangan hama ditemukan di kedua
kampung sama. Gejala daun berlubang di lapangan disebabkan oleh larva dari
famili Noctuidae. Tingkat serangan hama berlubang di Kampung Calobak sebesar
78% dan Kampung Bobojong sebesar 69%. Gejala gerigitan atau sisi ujung daun
tidak beraturan merupakan ciri dari serangan hama belalang dari famili Acrididae
dan Tetrigidae. Serangan gerigitan di Kampung Calobak mencapai 85% dan
Kampung Bobojong mencapai 69%, sedangkan untuk gejala bintik putih wereng
daun dari famili Cicadellidae di Kampung Bobojong 32% dan Kampung Calobak
mencapai 87%
11
a
c
b
d
e
Gambar 7 Serangan hama yang ditemukan pada tanaman pohpohan : wereng daun
cicadellidae(a,b), belalang acrididae (c),belalang tetrigidae (d), dan larva
ulat noctuidae (e)
Tabel 6 Tingkat serangan hama pohpohan berdasarkan gejala
Tanama bergejala (%)
Desa
Daun berlubang Daun gerigitan
Daun bintik putih
Calobak
78.00 ± 20.43
85.00 ± 12.69
87.00 ± 20.57
Bobojong
69.00 ± 28.06
69.00 ± 20.78
32.00 ± 31.19
Keberadaan jumlah populasi serangga dapat dipengaruhi oleh berbagai
kondisi lingkungan seperti pengaruh panjang hari, angin, dan kelembaban saat
pengamatan. Sementara itu, pengamatan berlangsung saat musim hujan sehingga
diduga keberadaan hama dipengaruhi dari curah hujan, cahaya, suhu, dan
kelembaban saat pengamatan berlangsung. Menurut Henley et al. (2015), hama–
hama yang ditemukan di Pilea sp. antara lain kutu – kutuan, ulat jengkal, thrips,
tungau, keong, dan siput.
Jumlah serangga di alam dapat dipengaruhi dari faktor-faktor abiotik dan
biotik. Jumlah populasi serangga di alam cenderung tidak stabil dalam suatu
periode waktu, pengaruh faktor abiotik seperti ketinggian, suhu, panjang hari,
cahaya, curah hujan, kelembaban, angin, dan perubahan iklim sedangkan faktor–
faktor biotik yang mempengaruhi keberadaan serangga di alam dilihat dari
organisme atau serangga karena setiap individu mempunyai karakter masingmasing untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar oleh sebab itu, jumlah
keberaadan serangga untuk bertahan di alam antara lain dipengaruhi populasi,
kompetisi, dan mush alami (Speight dan Wylie 2001).
Penyakit Tanaman Pohpohan
Permasalahan penyakit dalam budidaya tanaman merupakan hambatan dalam
budidaya. Pengetahuan mengenai penyakit–penyakit merupakan dasar
pengendalian untuk pencegahan dini dan strategi pengendalian penyakit dalam
12
budidaya. Tabel 7 menyajikan jenis-jenis penyakit yang menyerang tanaman
pohpohan berdasarkan wawancara petani pohpohan.
Tabel 7 Penyakit-penyakit pohpohan menurut petani pohpohan
Tingkat kepentingan
Nama lokal penyakit
Bagian diserang
Calobak
Bobojong
Lodoh
++
++
Batang
Poken
++
++
Daun
Budug
++
++
Batang, Daun
Pirang
++
++
Daun
Keterangan : += Tidak bermasalah, ++ = sedang, +++= Bermasalah, ++++= Sangat bermasalah
Petani pohpohan memberi nama penyakit berdasarkan gejala yang muncul misalnya
layu disebut lodoh, gejala bercak daun disebut poken, dan gejala bercak daun hitam
disebut budug. Petani pohpohan masih menggangap jenis-jenis penyakit yang
muncul di pertanaman masih dalam kategori sedang.
Busuk pangkal batang atau lodoh hanya ditemukan di Kampung Bobojong.
Busuk pangkal batang mempunyai gejala dan tanda pada pangkal batang berwarna
hitam dan terlihat miselium berwarna putih (Gambar 8a dan b). Tanda bagian
batang terinfeksi berwarna putih adalah miselium yang merupakan salah satu tanda
penyakit dari kelompok cendawan. Pengamatan secara mikroskopik dengan
mengambil bagian batang terinfeksi, terlihat hifa-hifa hialin (Gambar 8c) dan
percabangan siku-siku (Gambar 8d). Penyakit ini menyebabkan tanaman layu
hingga tanaman mati sehingga mengganggu hasil produktivitas tanaman budidaya.
Cendawan–cendawan tular tanah umumnya merupakan patogen penyebab
munculnya penyakit busuk pangkal batang dan busuk akar.
Kisaran inang R. solani sangat luas dan dikenal sebagai cendawan tular tanah.
Gejala yang disebabkan oleh patogen antara lain pangkal batang, busuk akar dan
hawar daun. Hifa-hifa memiliki percabangan 90° yang merupakan ciri dari R.
solani. Sementara itu, penyakit ini dikenal sebagai penyakit di pembibitan. R.solani
dapat bertahan hidup selama bertahun-tahun di tanaman dan tanah. Pengambilan
nutrisi menggunakan miselium merupakan salah satu strategi bertahan untuk
menyesuaikan dengan kebutuhan nutirisi yang dibutuhkan (Ceresini 2015).
a
b
13
d
c
Gambar 8 Gejala busuk pangkal batang yang ditemukan di lapangan (a,b) gejala
busuk pangkal batang yang dilembabkan (c), dan hifa R. Solani
perbesaran 40x10 (d)
Bercak daun ditemukan di kedua kampung. Permukaaan daun terlihat bercak
coklat-keemasan dan pinggiran bercak terdapat lesio kuning berdasarkan gejala
pengamatan pada tanaman contoh di kedua kampung. (Gambar 9a dan 9b). Petani
pohpohan di kedua kampung menyebut bercak daun ini pirang. Pemberian istilah
disesuaikan berdasarkan gejala karena daun-daun terlihat menjadi coklat keemasan.
a
b
Gambar 9 Gejala bercak daun (a) dan gejala awal bercak daun
Penyebab penyakit bercak daun yang ditemukan di kedua kampung berdasarkan
hasil pengamatan mikroskopik ialah Phyllosticta sp. konidia berbentuk elips
transaparan dan piknidia berwarna coklat (Gambar 10a dan 10b).
a
b
Gambar 10 Piknidia Phyllosticta sp. (a) dan konidia perbesaran 40x10 (b)
Penyakit antraknosa hanya ditemukan di Kampung Bobojong. Antraknosa
yang ditemukan di Bobojong menginfeksi pada bagian batang dan daun pohpohan
(11a dan b). Bagian daun pohpohan terinfeksi berwarna hitam dan menyebabkan
nekrotik. Pada bagian batang dan daun terlihat seta–seta hitam disekitar batang.
Petani pohpohan di Kampung Bobojong menyebut penyakit antraknosa dengan
istilah budug karena daun dan batang yang terserang menjadi hitam selanjutnya
tanaman terserang akan mati. Hasil pengamatan mikroskopik penyakit antraknosa
14
disebabkan oleh Colletotrichum sp.. Konidia hialin dan berbentuk bulan sabit
(Gambar 11c) sedangkan seta berwarna gelap (Gambar 11d).
a
b
c
d
Gambar 11 Antraknosa (Colletrotichum sp.) pada pohpohan konidia perbesaran
40x10 (a), seta perbesaran 40x10 (b) dan gejala antraknosa pada
bagian batang (c) dan gejala daun terinfeksi yang ditemukan di
lapangan (d)
Kejadian dan keparahan penyakit bercak daun phyllosticta, busuk pangkal
batang dan antraknosa disajikan dalam Tabel 8 dan 9. Kejadian penyakit busuk
pangkal batang hanya ditemukan di Kampung Calobak. Kejadian penyakit busuk
pangkal batang di Calobak mencapai 46%. Busuk pangkal batang hanya ditemukan
di setiap lahan milik petani pohpohan Kampung Calobak.
Tabel 8 Kejadian penyakit pohpohan
Kejadian penyakit (%)
Desa
Busuk pangkal batang
Bercak daun
Antraknosa
(R. solani)
(Phyllosticta sp). (Colletotrichum sp.)
Calobak
46.00 ± 17.76
96.00 ± 8.43
0.00 ± 0.00
Bobojong
0.00 ± 0.00
39.00 ± 29.98
1.00 ± 3.16
Selain itu, keparahan penyakit busuk pangkal batang mencapai 46% sesuai dengan
kejadian penyakit yang diperoleh pada pengamatan. Dugaan tidak ditemukannya
busuk pangkal batang pada tanaman contoh di Kampung Bobojong, petani
pohpohan di Bobojong sudah membuang inang yang sudah terinfeksi.
Perkembangan R. solani masih dalam tahap awal sehingga gejala belum terlihat di
pertanaman pohpohan di Bobojong. Dugaan hal lain yang mendukung
perkembangan R. solani kondisi lingkungan pertanaman pohpohan di Kampung
Calobak. Pengaruh naungan, kelembaban tanah, dan suhu diduga mempengaruhi
perkembangan patogen ini. Sementara itu, beberapa petani pohpohan di Calobak
tidak membuang bagian tanaman terinfeksi yang dapat mengakibatkan bagian
tanaman terinfeksi menjadi sumber inokulum R. solani. Pengaruh dari faktor-faktor
abiotik dapat menyediakan daya dukung lingkungan untuk perkembangan
cendawan tular tanah. Menurut Liddell (1997), faktor-faktor abiotik dapat
mempengaruhi sporulasi, penyebaran, dan perkembangan patogen. Faktor-faktor
tersebut antara lain: kelembaban, suhu, radiasi, angin, kandungan nutirisi dalam
tanah, efek herbisida dan pestisida
Bercak daun phyllosticta ditemukan di kedua kampung. Kejadian penyakit di
Calobak mencapai 96% dan bercak daun di Bobojong mencapai 39%. Keparahan
penyakit bercak daun di Calobak mencapai 24% dan Bobojong mencapai 10.25%.
Hal ini diduga dari umur tanaman contoh di Kampung Bobojong lebih muda
15
dibandingkan dengan Kampung Calobak. Penyebaran patogen ini dapat dibantu
oleh angin dan percikan air hujan. Pengaruh kelembaban dapat mendukung
perkembangan jenis patogen ini. Pengendalian bercak daun phyllosticta tidak
dilakukan oleh petani pohpohan di kedua kampung. Hal ini dapat menyebabkan
daun-daun yang terinfeksi menjadi sumber inokulum baru. Jarak tanam di kedua
kampung diduga mempengaruhi perkembangan patogen. Menurut Pijut (2015)
Phyllosticta sp. terdapat gejala bercak coklat di permukaan daun dan spora dapat
bertahan di daun. Spora-spora yang terbawa oleh angin mempengaruhi penyebaran
patogen ini. Karateristik bercak yang ditimbulkan oleh patogen ini dipengaruhi
faktor-faktor umur, jaringan inang, dan beberapa faktor lingkungan (Jamer dan
Johson 2015). Menurut Jones (2004) Phyllosticta sp. memiliki konidia dan
penyebarannya melalui konidia sangat cepat dibantu melalui percikan air hujan.
Antraknosa hanya ditemukan di Kampung Bobojong. Kejadian penyakit
antraknosa mencapai 1%. Naungan berpengaruh terhadap iklim mikro pertanaman.
Keparahan penyakit antraknosa di Kampung Bobojong mencapai 0.2%. Diduga
tanaman pohpohan yang sudah terinfeksi sudah dibuang oleh petani pohpohan.
Keadaaan tutupan naungan dan jarak tanam diduga berpengaruh terhadap
kemunculan patogen ini. Menurut Waller (1992), Colletotrichum spp.
menggambarkan kondisi lingkungan lembab. Sementara itu, bagian-bagian pada
tanaman seperti batang, daun, dan buah dapat diinfeksi oleh patogen ini. Patogen
ini mempunyai fase dorman ketika kondisi lingkungan dan fisiologis inang tidak
mendukung mengakibatkan patogen hidup dalam keadaan saprob. Keadaan ini
merupakan salah satu strategi jenis patogen dalam bertahan dalam kondisi tidak
menguntungkan.
Tabel 9 Keparahan penyakit pohpohan
Keparahan penyakit (%)
Desa
Busuk pangkal batang
Bercak daun
Antraknosa
(R. solani)
(Phyllosticta sp.)
(Colletotrichum. sp.)
Calobak
46.00 ± 0.00
24.00 ± 2.10
0.00 ± 0.00
Bobojong
0.00 ± 0.00
10.25 ± 8.37
0.20 ± 0.63
Penyakit pada tanaman dapat muncul saat kondisi inang, patogen, dan
lingkungan saling mendukung. Keberadaan penyakit tidak terlepas dari faktorfaktor abiotik dan biotik. Faktor-faktor abiotik dan biotik mempunyai pengaruh
terhadap munculnya sebuah penyakit pada tanaman. Keberhasilan cendawan
patogenik dalam menginfeksi inang salah satunya kelembaban udara di sekitar
lingkungan patogen. Kelembaban ideal cendawan patogenik berbeda-beda sesuai
dengan kenakearagaman sifat yang dimiliknya. Kesesuaian antara inang dan
patogen merupakan syarat bagi perkembangan penyakit dalam menginfeksi
sedangkan kelembaban mempengaruhi bentuk spora, ketahanan, invasi, dan infeksi
(Harrison et al. 1994). Penyebaran spora dibagi menjadi perpindahan dan
penempatan spora. Penyebaran spora pada cendawan dapat dibantu secara alami
melalui angin, air dan manusia. Penyebaran spora merupakan hal penting untuk
diketahui untuk pencegahan dini penyebaran, salah satunya spora yang terbawa
tidak sengaja oleh manusia (McCartney 1994).
16
Pengendalian Hama dan Penyakit Pohpohan
di Kampung Calobak dan Bobojong
Pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan secara khusus oleh petani
pohpohan di kedua kampung. Keberadaan hama pada tanaman pohpohan hanya
didiamkan oleh petani pohpohan karena petani pohpohan menggangap kerugian
belum tinggi. Petani pohpohan melakukan pengendalian penyakit dengan
membuang bagian daun yang terinfeksi jika pohpohan sudah mati. Namun beberapa
petani pohpohan tidak membuang pohpohan yang sakit dan membiarkannya di
lahan milik petani pohpohan di kedua kampung. Hal ini dapat mengakibatkan
menjadi sumber inoculum, sehingga daya dukung perkembangan patogen di
lapangan dipengaruhi keberadaan sumber inokulum.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Teknik budidaya pohpohan dilakukan dengan menggunakan sistem wanatani
di bawah tegakan damar, pinus, dan kaliandra. Hama tidak ditemukan pada
tanaman contoh hanya gejala hama seperti daun berlubang, gerigitan, dan bintik
putih. Hama-hama ditemukan pada pohpohan diluar tanaman contoh yaitu belalang
(Orthoptera:Acrididae), larva ulat (Lepidoptera:Noctuidae), dan wereng daun
(Hemiptera:Cicadellidae). Penyakit yang ditemukan busuk pangkal batang
disebabkan oleh Rhizoctonia solani. Bercak daun disebabkan oleh Phyllosticta sp..
Antraknosa disebabkan oleh Colletotrichum sp.. Penyakit busuk pangkal batang
hanya ditemukan di Calobak. Penyakit antraknosa hanya ditemukan di Kampung
Bobojong. Bercak daun ditemukan di kedua kampung. Tidak ada pengendalian
khusus hama dan penyakit pohpohan di kedua kampung.
Saran
Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan terkait faktor abiotik dan biotik apa
saja yang mempengaruhi keberadaan hama dan penyakit yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan N, Kurniasih D, Apriady AR, Rahmat H, Roto VA, Bolling WB. 2012.
Polyphenol, caretonoids, and ascorbic acid in underutilized medicina
lvegetables. J Fun Food. 4(2012):339-347. doi:10.1016/j.ff.2012.01.003.
Barnet HL, Hunter BB. 1988. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4.
Minnesota (US). APS Press.
[BTNGHS] Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. 2013. Keanekaragaman
hayati [internet]. Bogor:Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak;
[diunduh 2015 Mar 7]. Tersedia pada: http://halimunsalak.org/tentangkami/keanekaragaman-hayati/.
Ceresini P. 1999. Rhizoctonia solani [internet]. North Carolina(US): North
Carolina State University; [diunduh 2015 Mar 22]. Tersedia pada:
http://www.cals.ncsu.edu/course/pp728/Rhizoctonia/Rhizoctonia.html
Desminarti S. 2001. Kajian serat pangan dan antioksidan alam beberapa jenis
sayuran serta daya serap dan resistensi antioksidan pada tikus percobaan
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Dit PJLKKHI] Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi dan
Hutan Lindung. 2012. Taman nasional gunung halimun salak [internet].
Jakarta (ID): Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi
dan Hutan Lindung; [diunduh 2015 Mar 10]. Tersedia pada
http://ekowisata.org/galeri/taman-nasional/tn-gunung-halimun-salak/
Duriat SA, Asgar A, Abidin Z. 1999. Indigenous vegetables in Indonesia: Their
conservation and utilization. Di dalam: Engle LM, Altoveros NC, editor.
Collection Conservations and Utilization of Indigenous Vegetables.
Proceedings of a Workshop AVDRC; 1999 Agustus 16-19; Shanhua. Tainan
(TW): Asian Vegetable Research and Development Center and Asian
Development Bank. hlm 29-42.
Dwiyani R. 2008. Identifikasi golongan senyawa antioksidan pada daun pohpohan
(Pilea trinervia) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ekawati R, Susila DA, Kartika GJ. 2010. Pengaruh naungan tegakan pohon
terhadap pertumbuhan dan produktivitas beberapa tanaman sayuran
indigenous. J Hort. [internet] [diunduh 2014 Nov 12]; 1(1)46-52. Tersedia
pada journal.ipb.ac.id/index.php/jhi/article/.../3832/11116
Foulkes J, Murchie HE. 2011. Optimizing canopy physiology traits to improve the
nutrient utilization efficiency of crops. Di dalam: Hawkesford JW,
Barraclough , editor. Molecular and Physiological Basis of nutrient Use
Efficiency in Crops. West Sussex (UK): Wiley-Blackwell. hlm 62-85.
Henley WR, Chase AR, Osborne SL. 2013. Pilea production guide [internet].
Florida (US): Central Florida Research and Education Center;[diunduh 2015
Mar 21. Tersedia pada: http://mrec.ifas.ufl.edu/foliage/folnotes/pilea.htm
Jamer LR, Johson DW. 2015. Phyllostica leafspots of maple an caragana [internet].
Nebraska:(US);USDA National Agroforestry Center;[diunduh 2015 Mar 21.
Tersedia pada: http://nac.unl.edu/documents/diseasetrees/chap4.pdf
Jones S. 2004. Phyllosticta leaf spot [internet]. Florida(US);American Orchid
Society
[diunduh
2015
Mar
23].
Tersedia
pada:
https://www.aos.org/Default.aspx?id=135
19
Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Laan PA van der,
penerjemah. Jakarta (ID): Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De
Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.
Liddell CM. 1997. Abiotics factors and soilborne disase. Di dalam Hillocks, Waller
JM,editor. Soilborne Disease of Tropical Crops. Wallingford(UK): CAB
International. hlm 365-373.
Harrison JG, Lowe R, Williams NA. 1994. Humidity and fungal disease of plantsproblems. Di dalam: Blakeman JP, Williamsom B,editor. Ecology of Plant
Pathogens. Bristol (UK):CAB International. hlm 79-95.
Mahyar UW. 1994. Pilea. Di dalam: Siesmonsa JS, Piluek K, editor. Plant
Resources of South-East Asia No. 8; Vegetables. Bogor (ID): Prosea
Foundation. hlm 225-226.
Mccartney HA. 1994. Spore dispersal: enviromental and biological factors. Di
dalam: Blakeman JP, Williamsom B,editor. Ecology of Plant Pathogens.
Bristol (UK):CAB International. hlm 171-181.
Pijut MP. 2015. Disease in hardwood tree plantings [internet]. Purdue(US);
Department of Forestry and Natural Resources [diunduh 2015 Jan 20].
Tersedia pada: https://www.extension.purdue.edu/extmedia/FNR/FNR221.pdf
Priana AM. 2004. Identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat
kemandirian petani dalam melakukan usaha agroforestri (kasus usaha
agroforestri pohpohan di hutan pinus dan damar desa taman sari kecamatan
taman sari kabupaten bogor) [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Singh P. 1995. Land degradation – a global menace and its improvement through
agroforestry. Di dalam:Sing P, Pathak PS, Roy M, editor. Agroforestry
System for Sustainable Land Use. New Delhi (IN): Sciences Publisher. Hlm
4-20.
Soetiarso TA. 2010. Preferensi konsumen terhadap atribut kualitas empat jenis
sayuran minor. J Hort. [Internet] [diunduh 2014 Nov 12]; 20(4):398-407.
Tersediapada:http://hortikultura.litbang.pertanian.go.id/jurnal_pdf/204/Soeti
arso_Sayuranminor.pdf
Speight M, Wylie RF. 2001. Insect Pest in Tropical Forestry. Ocon (UK):CABI
International.
Sutapradja H. 2008. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit terhadap
pertumbuhan dan hasil kentang varietas granola untuk bibit. J Hort. [Internet]
[diunduh
2015
Mar
12];
18(2):155-159.
Tersedia
pada
http://ilkom.journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalagronomi/article/view/1515/5
88
Waller JM. 1992. Colletrotichum disease of perennial and other cash crops. Di
dalam: Bailey JA, Jeger MJ, editor. Biology, Pathology and Control. Oxon
(UK): CAB International. hlm 167-185.
Watanabe T. 1937. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morfologies of Cultured
Fungi and Key to Species. Ed ke-2. Boca Raton (US): CRC Press.
Wojtkowski A. 2002. Agroecological Perspectives in Agronomy, Forestry, and
Agroforestry. Ed ke-1. (US): Science Publisher.
LAMPIRAN
21
Lampiran 1 Kuesioner wawancara dan blanko pengamtan
WAWANCARA PENELITIAN
Kabupaten/Kota : …………………… Pewawancara : …………………..
Kecamatan : ………………………… Tanggal wawancara : …………….
Desa
: ………………………… Tempat wawancara : Kebun/Rumah
Kampung: …………………………. Waktu wawancara : pk. …. s/d ……
Karakteristik Petani
1. Nama
:
2. Umur
:
Tahun
3. Alamat
:
4. Pendidikan tertinggi :
[ ] Tidak sekolah
[ ] SD [ ] SMP
[ ] SMU
[ ] Perguruan Tinggi
5. Pekerjaan utama
:
Karateristik Lahan
6. Lama berusahatani pohpohan:
[ ] 1-5 tahun
[ ] 5-10 tahun
[ ] 10-15 tahun
[ ] > 15 tahun
7. Luas kebun pohpohan yang diusahakan:
[ ]
< 50 m
[ ] 50 – 100 m
[ ] 100 – 500 m
[ ] 500 – 1000 m
8. Status kepemilikan lahan:
[ ] pemilik dan penggarap [ ] penyewa
[ ] penggarap
[ ] lainnya
Budidaya Pohpohan
9. Varietas pohpohan yang ditanam:
10. Asal benih atau bibit:
[ ] membeli dari perusahaan
[ ] membuat sendiri dari pertanaman sebelumnya
[ ] membeli di toko pertanian/kios [ ] lainnnya
11. Umur tanaman saat ini:
[ ] 10-20 Hari
[ ]30 – 60 Hari
[ ] 60-90 Hari
[ ] > 90 Hari
12. Jarak Tanam:
mx
m
13. Pola tanam:
[ ] monokultur
[ ] tumpang sari dengan
[ ] lainnya
14. Sejarah lahan sebelumnya dan Persiapan lahan yang dilakukan
22
15. Pemupukan
Jenis Pupuk
Intensitas
Pemupukan
Waktu
Pemupukan
Dosis(kg)
Harga/kg
Frekuensi
Waktu
Dosis(kg)
Harga
Kandang
Urea
TSP
KCL
NPK
16. Pestisida :
Jenis
Pestisida
17. Pengendalian gulma/penyiangan :
Cara Pengendalian
Frekuensi
Mekanais/manual
Kimiawi
Waktu
18. Waktu dan Frekuensi panen :
19. Jumlah produksi daun pohpohan dalam satu kali panen....
20. Perlakuan pasca panen :
[ ] dijual sendiri
[ ] dijual ke tengkulak
[ ] keduanya
[ ] lainnya,.....
21. Kejadian penyakit/ Hama
DI = n/N x 100%
DI
= Kejadian penyakit (Disease Incidence)
n
= Jumlah tanaman yang terserang
N
= Jumlah seluruh tanaman contoh yang diamati
22. Keparahan penyakit
DS = ∑ (ni . vi)/N.V x 100%
DS
= Keparahan Penyakit ( Disease Severity)
ni
= Jumlah bagian tanaman terserang pada kategori ke-I
vi
= kategori kerusakan ke-I
N
= Jumlah tanaman yang diamati
V
= Nilai kategori serangan tertinggi
Jenis
alat/Herbisida
23
Nilai kategori keparahan penyakit bercak daun
Skor
Nilai kepar