Kajian Trichinellosis Pada Babi Di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara.

KAJIAN TRICHINELLOSIS PADA BABI DI KOTA MANADO
PROVINSI SULAWESI UTARA

SYAHDU PRAMONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Trichinellosis
pada Babi di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015
Syahdu Pramono
B251130124

RINGKASAN
SYAHDU PRAMONO. Kajian Trichinellosis pada Babi di Kota Manado Provinsi
Sulawesi Utara. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA and TRIOSO
PURNAWARMAN.
Trichinellosis adalah penyakit zoonotik bersumber makanan yang
disebabkan oleh cacing nematoda Trichinella spp. Penyakit ini termasuk penyakit
yang kurang mendapatkan perhatian di negara maju maupun negara berkembang
meskipun dampak kerugian yang diakibatkan oleh penyakit ini sangat luas baik
dari sisi kesehatan hewan dan manusia juga mempengaruhi ekonomi suatu negara.
Host dari cacing ini sangat luas meliputi mamalia, burung, dan reptil. Penularan
penyakit ini melalui konsumsi daging yang terinfeksi oleh larva infektif.
Distribusi Trichinella spp. berkaitan dengan budaya mengonsumsi daging babi
mentah atau setengah matang, dan merupakan faktor utama yang mendukung
infeksi pada manusia di negara-negara industri dan nonindustri.
Kajian trichinellosis di Indonesia masih sangat sedikit. Kejadian
trichinellosis di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara belum pernah dilaporkan.

Penelitian ini dilakukan secara cross sectionnal untuk mengkaji trichinellosis
pada babi peliharaan yang dipotong di rumah potong babi milik pemerintah dan di
tempat-tempat pemotongan babi milik perseorangan di Kota Manado Provinsi
Sulawesi Utara.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan uji digesty terhadap 278
sampel yang terbagi dalam 28 pool masing masing 139 sampel otot maseter dalam
14 pool dan 139 sampel otot diafragma dalam 14 pool. Hasil yang positif pada uji
digesty dilanjutkan pengujian individu dengan metode kompresi untuk melihat
bentuk morfologi larva Trichinella spp. apakah termasuk golongan encapsulated
atau non-encapsulated menggunakan stereo mikroskop, dan dilakukan pewarnaan
Hematoxilin Eosin (HE) untuk mewarnai jaringan dan larva dari Trichinella spp.
sehingga memudahkan dalam pengamatan morfologi larva.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat satu pooled sampel otot difragma
yang diduga mengandung larva Trichinella spp. sehingga dilanjutkan dengan
pengujian secara individual terhadap sampel tersebut. Hasil dari pengujian
individu dengan metode kompresi dan pewarnaan HE tidak ditemukan adanya
kista dari larva Trichinella spp. pada semua sampel yang diuji. Program yang
menjamin pengujian Trichinella spp. di rumah potong hewan babi maupun di
tempat pemotongan babi pada daging babi untuk konsumsi manusia diperlukan
agar dapat mendeteksi secara cepat keberadaan Trichinella spp.

Kata kunci: Digesty, Kompresi, Trichinella.

SUMMARY
SYAHDU PRAMONO. Study of trichinellosis in pig in Manado North Sulawesi
Province. Supervised by FADJAR SATRIJA and TRIOSO PURNAWARMAN.
Trichinellosis is a food-borne zoonotic disease caused by the nematode
Trichinella spp. However the disease is still neglected disease in developed and
developing countries. The impact of the loss caused by this disease is very large
both in terms of animal and human health also affects the economy of a country.
This worm has a very broad host spectrum involving mammals, birds, and
reptiles. Transmission of the disease is through the consumption of infected meat
by infective larvae. Distribution of Trichinella spp. associated with the
cosumption culture of meat raw or undercooked pork, and is a major factor that
supports human infection in industrialized countries and nonindustri.
Study trichinellosis in Indonesia is rare. Even in the Manado city North
Sulawesi, trichinellosis incident has not been reported. The study was conducted
to assess trichinellosis in pigs slaughtered in the slaughterhouse pigs belonging to
the government and in places pig slaughter private property in the Manado city
North Sulawesi, by taking a sample of the masseter and diaphragm muscle pigs.
The aims of this study were to observe the occurance Trichinella spp. in pig in

Manado. The research was conducted using cross sectional study.
Laboratory tests conducted by the test digesty to 278 samples divided into
28 pooled. 139 sample pools each masseter muscle in 14 pools and 139 samples
and the diaphragm muscle in 14 pools. A positive result on the digesty test
continued by individual testing with compression method to identified the
morphology of larvae Trichinella spp. whether belonged encapsulated or nonencapsulated using a stereo microscope, and Hematoxilin eosin staining (HE) to
influence the network and larvae of Trichinella spp. to facilitate the observation
of the morphology of the larvae.
The results showed there is a pooled sample of a diaphragma muscle
suspected larvae Trichinella spp. and with testing individually sample with
compression method and HE staining could not be identified any kista of larvae
Trichinella spp. on all sampel tested. Programs that ensure Trichinella spp testing.
The slaughterhouse pigs and in pig slaughter on pork for human consumption
needed to be able to quickly detect the presence of Trichinella spp.
Keywords: Compression, Digesty, Trichinella.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN TRICHINELLOSIS PADA BABI DI KOTA MANADO
PROVINSI SULAWESI UTARA

SYAHDU PRAMONO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Drh Yusuf Ridwan, MSi

Judul Tesis : Kajian Trichinellosis pada Babi di Kota Manado Provinsi Sulawesi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan
judul Kajian Trichinellosis pada Babi di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh Fadjar Satrija, MSc PhD dan Dr
Drh Trioso Purnawarman, MSi selaku pembimbing yang banyak meluangkan
waktu untuk membimbing, mengarahkan dan mendorong penulis sejak awal
usulan penelitian hingga selesainya karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dr med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi selaku Ketua Program
Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang telah banyak memberi saran dan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Badan Karantina Pertanian
yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi S2
pada Program Studi Kesehatan MasyarakatVeteriner. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada istri tercinta Suwati, buah hati kami Arfa dan Qirania atas
doa dan kasih sayangnya. serta rekan-rekan KMV 2013, atas dukungan moral dan
material yang diberikan selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Syahdu Pramono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Trichiella spp.
Morfologi
Siklus Hidup
Distribusi
Gejala Klinis
Diagnosa
Pencegahan dan Pengendalian

3
3

3
4
5
6
6
7

3 METODE PENELITIAN
Kerangka Konsep Penelitian
Waktu dan Tempat Penelitian
Desain Penelitian
Metode Pengujian
Analisis Data

7
8
8
8
9
10


4 HASIL DAN PEMBAHASAN

10

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

18
18
18

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

21


DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Lokasi dan jumlah pengambilan sampel
Hasil uji digesty
Hasil uji kompresi
Hasil pemeriksaan degan metode pewarnaan HE

8
11
11
12

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

Morfologi Trichinella spp.
Siklus hidup Trichinella spp.
Kerangka konsep penelitian
Gambaran mikroskopik hasil uji digesty
Gambaran mikroskopik hasil uji kompresi
Gambaran mikroskopik hasil pewarnaan dengan metode HE

4
5
7
11
12
12

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kemajuan teknologi khususnya di bidang transportasi menyebabkan
meningkatnya lalulintas perdagangan antar daerah dan negara. Hal ini berdampak
positif pada peningkatan ekonomi dan peningkatan daya saing produk agribisnis
nasional. Lalulintas perdagangan tersebut disamping memindahkan komoditi
peternakan dan produk olahannya, juga berpotensi menyebarkan penyakit dari
satu daerah ke daerah lain.
Sebanyak 75% penyakit-penyakit baru yang menyerang manusia dalam dua
dasawarsa terakhir disebabkan oleh patogen-patogen yang berasal dari hewan atau
produk hewan, sehingga pangan asal hewan lebih berpotensi berbahaya jika
dibandingkan dengan pangan nabati. Oleh sebab itu, aspek keamanan pangan asal
hewan perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu penyakit parasitik zoonotik
yang dianggap berbahaya untuk kesehatan manusia yang dapat ditularkan melalui
produk hewan adalah trichinellosis (WHO 2005).
Trichinellosis adalah penyakit zoonotik yang diakibatkan oleh infeksi cacing
nematoda Trichinella spp. Penyakit ini menyebabkan kerugian pada manusia dan
menjadi masalah epidemiologi di banyak negara setelah diketahui bahwa
kehadiran Trichinella spp. di daging babi merupakan penyebab trichinellosis pada
manusia (Schuppers 2010). Menurut Pozio (2005) Trichinella spp. tidak hanya
ditemukan pada babi, namun juga pada banyak spesies hewan omnivora dan
karnivora domestik maupun satwa liar.
Manusia dapat terinfeksi larva Trichinella spp. melalui proses mengonsumsi
daging yang tidak dimasak secara sempurna. Hal ini umum di negara-negara
berkembang, namun banyak kasus juga yang terjadi di negara-negara maju di
Eropa dan Amerika Utara, karena daging babi mentah atau kurang matang dan
binatang liar dapat dikonsumsi sebagai hidangan. Adanya penyakit yang tidak
terdeteksi dengan tepat menyebabkan meluasnya penyakit (Gottstein et al. 2009).
Trichinellosis pada manusia telah dilaporkan di 41 negara di seluruh dunia
(Murrell dan Pozio 2011). Oleh sebab itu pemeriksaan secara rutin terhadap
Trichinella spp. di tempat pemotongan babi menjadi penting (Schuppers 2010).
Informasi mengenai kejadian trichinellosis di Indonesia sendiri masih sangat
sedikit hanya ada beberapa laporan mengenai penyakit ini yang telah
dipublikasikan. Secara serologis kejadian trichinellosis pada manusia pernah
dilaporkan terjadi pada penduduk di Pulau Bali dan sebesar 19.5% terinfeksi
Trichinella spp. Infeksi Trichinella spp. pada babi domestik telah dilaporkan di
Tapanuli, Sumatera Utara. Studi prevalensi trichinellosis pada daging babi di
Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur yang dilakukan oleh Angi et al.
(2014) menyatakan bahwa 0.9% daging babi mengandung larva Trichinella
spiralis.
Populasi babi di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2013 diperkirakan
mencapai 409 473 ekor (Ditjennakeswan 2013). Olahan daging babi untuk
konsumsi manusia di Kota Manado cukup beragam dan sangat digemari oleh
masyarakat yang mempunyai kegemaran makan makanan khas minahasa.
Menurut Kandou (2009), Jumlah penduduk etnis Minahasa adalah yang

2
terbanyak diantara etnis yang ada di Provinsi Sulawesi Utara dan mempunyai
suatu kebiasaan pesta dengan menghidangkan makanan khas Minahasa yang
sebagaian besar berasal dari babi. Makanan yang dianggap mewah adalah babi.
Makanan yang dikonsumsi sehari harinya juga cenderung mengandung daging
babi. Orang Minahasa makan daging babi sebagaimana kebanyakan penduduk
Indonesia makan daging sapi. Kejadian infeksi oleh Trichinella spp. pada daging
babi akan membahayakan kesehatan masyarakat dan tentunya akan mempuyai
dampak terhadap kelangsungan peternakan babi di Provinsi Sulawesi Utara.
Penelitian yang dilakukan oleh Kant et al. (2013), mengenai gambaran
kebiasaan makan masyarakat di Kelurahan Malalayang Kota Manado
memperlihatkan konsumsi daging babi mempunyai persentase tertinggi sebesar
65.5% dilanjutkan dengan ikan 55.6% dan daging ayam 34.4%. Konsumsi daging
babi yang kurang masak dalam pengolahannya mempuyai risiko menyebarkan
penyakit yang disebabkan oleh Trichinella spp. Menurut Pozio (2007), Distribusi
Trichinella spp. berkaitan dengan budaya mengonsumsi daging babi mentah atau
setengah matang, dan merupakan faktor utama yang mendukung infeksi pada
manusia.
Penelitian tentang kejadian trichinellosis di Kota Manado sampai saat ini
belum pernah dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan kajian terhadap trichinellosis
di Kota Manado sehingga dapat dikembangkan strategi pengawasan dan
pengendalian dalam menghindari penularan trichinellosis ke manusia.

Perumusan Masalah
Tingginya kebutuhan konsumsi terhadap daging babi di kota Manado
memiliki resiko tersebarnya penyakit trichinellosis pada manusia, oleh karena itu
perlu dilakukan suatu kajian terhadap trichinellosis pada daging babi yang
diperuntukan untuk konsumsi manusia di Kota Manado.
Kajian terhadap Trichinellosis pada babi di Kota Manado dilakukan dengan
pengujian laboratorium. Metode pengujian yang digunakan adalah metode digesty,
metode kompresi dan metode pewarnaan Hemaxtocillin Eosin (HE).

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kejadian trichinellosis pada babi
peliharaan yang dipotong di rumah potong hewan babi milik pemerintah dan di
tempat-tempat pemotongan hewan babi milik perseorangan di Kota Manado
Provinsi Sulawesi Utara.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai kejadian
trichinellosis pada babi di Kota Manado sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan untuk menetapkan kebijakan yang harus diterapkan sebagai langkah
pencegahan penyebaran trichinellosis.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Trichinella spp.
Cacing nematoda yang termasuk genus Trichinella spp. adalah agen
penyebab dari zoonosis yang dikenal dengan trichinellosis. Parasit ini tersebar
luas di satwa liar di semua benua kecuali benua Antartika, dan babi domestik dari
banyak negara. Saat ini, delapan spesies dan tiga genotipe diakui dalam genus
Trichinella spp. yaitu Trichinella spiralis, Trichinella nativa, Trichinella britovi,
Trichinella pseudospiralis, Trichinella murrelli, Trichinella nelsoni, Trichinella
papuae, dan Trichinella zimbabwensis. Tidak ada perbedaan morfologi di antara
spesies dan genotipe, tetapi dapat dibedakan dengan menggunakan analisis
biokimia atau molekuler (OIE 2007).
Pada tahun 1860, ahli patologi Jerman Friedrich Albert Zenker menemukan
biologi dan peran patogenik dari Trichinella spiralis pada manusia. dan dapat
mendeteksi sumber wabah trichinellosis dan merumuskan cara tertentu untuk
mengendalikan infeksi yang ditularkan melalui makanan. Virchow pada tahun
1864 menindaklanjuti penemuan ini dan berperan dalam memperkenalkan
metode pemeriksaan untuk infeksi Trichinella spp. di babi domestik di Jerman.
Dari banyak studi, Virchow menyimpulkan bahwa trichinellosis adalah infeksi
individu hewan, dan bahwa babi yang terinfeksi tunggal bisa menjadi penyebab
infeksi pada ratusan orang (Nockler et al. 2000).
Penyebaran Trichinella spp. di sebagian besar wilayah di dunia telah
ditemukan sebagai agen penyebab trichinellosis pada manusia, penyakit yang
tidak hanya berbahaya untuk kesehatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan
masalah ekonomi terutama dalam produksi ternak babi dan keamanan pangan
(Gottstein et al. 2009). Kasus trichinelosis pada manusia di Amerika Serikat (AS)
disebabkan karena memakan larva yang terdapat dalam daging babi mentah atau
dimasak kurang sempurna. Peningkatan praktik pemberian makan babi dan
pemeriksaan secara rutin di rumah pemotongan hewan secara drastis telah
mengurangi kejadian trichinellosis pada daging babi mentah di AS pada tahun
1997-2001, hanya 17% dari kasus yang dikaitkan dengan daging babi komersial
dan 13% dari kasus dari babi non-komersial (Doyle 2003).
Pengendalian di beberapa negara telah difokuskan pada kontrol atau
penghapusan Trichinella spp. dari rantai makanan. Sumber yang paling penting
dari infeksi pada manusia di seluruh dunia adalah babi domestik, walaupun di
Eropa dilaporkan daging kuda dan babi hutan telah memainkan peran penting
selama wabah dalam tiga dekade terakhir (Gottstein et al 2009).

Morfologi
Larva dalam otot adalah larva stadium infeksi (L1) dan perkembangan
selanjutnya terjadi hanya setelah larva melakukan penetrasi di mukosa usus host
yang baru. Larva yang baru lahir (rata-rata panjang 0.11 mm, lebar 0.07 mm)
menunjukkan ciri-ciri morfologi dasar. Pada tahap ini, seks tidak dapat

4
diidentifikasi (OIE 2007). Secara umum morfologi Trichinella spp. dapat dilihat
pada Gambar 1.

Gambar 1 A. Cacing dewasa yang berkembang di usus halus setelah infeksi oral
dengan larva otot; cacing kecil merupakan larva baru lahir (L1 belum
matang), yaitu infeksi pada otot. B. Larva infektif dalam sel otot
dikelilingi oleh kapsul kolagen (biru). C. Larva infektif otot,
pewarnaan Azan dari penampang memanjang larva. M: midgut, G:
primordial genital, S: stichocyte (Dewi dan Sumarwanta 2012)

Siklus Hidup
Siklus hidup parasit ini terdiri dari dua macam siklus yaitu siklus domestik
yang terjadi pada hewan-hewan sinantrhopik maupun hewan-hewan domestik,
dan siklus sylvatik yang terjadi pada hewan liar (Pozio 2001). Jumlah larva yang
akan dihasilkan tergantung pada status imun host yang terinfeksi dan jenis spesies
parasit tersebut. Diperkirakan 500-1 500 larva akan lahir selama rentang
kehidupan cacing betina dewasa sebelum reaksi respon imun host memaksa
mereka keluar dari usus kecil (Dewi dan Sumarwanta 2012). Secara umum
siklus hidup Trichinella spp. dapat dilihat pada Gambar 2.

5

Gambar 2 Trichinellosis diperoleh dengan menelan daging yang mengandung
kista (larva encysted) Trichinella (1). Setelah paparan asam lambung
dan pepsin, larva dilepaskan dari kista (2) dan menyerang mukosa
usus kecil di mana mereka berkembang menjadi cacing dewasa (3)
(betina 2.2 mm panjang, jantan 1.2 mm, rentang hidup di usus halus
selama empat minggu). setelah satu minggu, betina melepaskan larva
(4) yang bermigrasi ke otot lurik dan menjadi bentut kista (5) (CDC
2012)

Distribusi
Cacing nematoda dari genus Trichinella adalah salah satu patogen zoonosis
dengan penyebaran hampir di semua benua. Trichinella spp. telah menginfeksi
pada hewan domestik terutama babi di 43 negara, sedangkan infeksi pada satwa
liar telah dilaporkan di 55 negara di seluruh dunia (Pozio 2007). Dari wabah
trichinellosis pada manusia yang dilaporkan di 41 negara antara tahun 1986-2009
telah terjadi 65818 kasus (Murrell dan Pozio 2011). Diperkirakan sekitar 11 juta
manusia telah terinfeksi trichinellosis di berbagai negara (Dupouy-Camet 2000).
Kasus trichinellosis di wilayah Asia Tenggara mulai banyak dilaporkan di
Laos terdata 51 orang menderita trichinellosis yang didokumentasikan pada tahun
1975 dan di Papua Nugini bagian barat trichinellosis terdeteksi pada babi liar dan
prevalensi pada manusia di daerah tersebut sebesar 28.9% (Pozio 2001). Wabah
trichinellosis terjadi pada 84 siswa dan guru di Singapura, saat berkunjung ke
sebuah pulau di Malaysia tahun 1998 (Kurup et al. 2000), Trichinellosis pernah
juga dilaporkan di Myanmar tetapi prevalensinya belum diketahui (Watt et al.
2000). Kasus terbaru dilaporkan di Thailand dimana seroprevalensi trichinellosis

6
pada babi sebesar 4%, di Vietnam sebesar sebesar 19.9% dan di Malaysia sebesar
2% (Chandrawathani et al. 2010).
Gejala Klinis
Tanda-tanda klinis dari trichinellosis umumnya tidak teramati pada hewan,
dan menjadi penting karena sifatnya sebagai zoonosis (OIE 2012). Hewan yang
menelan larva Trichinella dalam jumlah yang tinggi dari daging yang terinfeksi
tidak akan menunjukkan gejala-gejala klinis seperti yang diamati pada manusia
(Pozio 2007).
Gejala klinis trichinellosis pada pada manusia tergantung pada umur host,
kondisi resistensi, serta jumlah larva yang ditelan. Gejala klinis ini umumnya
tampak pada 1 sampai 6 minggu setelah infeksi (Capo dan Despommier 1996).

Diagnosa
Metode langsung untuk mendeteksi larva Trichinella spp. dalam sampel otot
dirancang untuk memberikan sensitivitas maksimum, tetapi memiliki keterbatasan.
Efisiensi deteksi langsung larva Trichinella spp. tergantung pada metode tertentu
yang digunakan, lokasi sampel dan ukuran sampel. Urutan pentingnya situs
predileksi dapat bervariasi dalam tingkat infeksi yang rendah. Jumlah sampel yang
akan digunakan untuk mendeteksi larva Trichinella spp. harus dipilih untuk
memberikan tingkat yang memadai sensitivitas dan hubungan biaya-manfaat yang
dapat diterima (Nockler et al. 2000).
Pada prinsipnya, metode digesty memungkinkan pemeriksaan sampel otot
hingga 100 sampel. Meskipun teknik pencernaan buatan membutuhkan peralatan
teknis lainnya, tetapi teknik ini memenuhi persyaratan untuk efisiensi, efektivitas
biaya, dan sensitivitas, baik encapsulated dan non-encapsulated larva Trichinella
dapat dengan mudah dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis dari cairan
pencernaan. Metode kompresi digunakan untuk membedakan antara species dari
Trichinella spp. dengan melihat bentuk morphologi larva Trichinella spp. apakah
termasuk golongan encapsulated atau non-encapsulated (Gottstein et al. 2009).
Pewarna histologis diklasifikasikan sebagai pewarnaan asam atau sebagai
pewarna dasar. Setiap bahan yang diwarnai oleh hematoxylin dianggap sebagai
basofilik. Struktur basofilik biasanya mengandung asam nukleat, seperti ribosom
dan kromatin yang kaya inti sel, dan daerah sitoplasma yang kaya RNA. Bila
menggunakan hematoxylin, struktur dalam jaringan akan terlihat sebagai warna
ungu sampai biru. Eosin bertindak sebagai pewarna asam dan karena itu warna
bahan dasar akan terlihat sebagai warna merah sampai merah muda. Sebagian
besar sitoplasma, protein intraseluler dan protein ekstraseluler adalah eosinophilic.
Pewarnaan akan memungkinkan komponen jaringan non-nuklear menjadi jelas
dibedakan satu sama lain, misalkan otot dan kolagen. Beberapa struktur yang
tidak terwarnai dengan baik, seperti lamina basal, dan struktur kaya lemak
hidrofobik (adiposit, myelin) cenderung tetap jelas (Rueg and Meinen 2014).

7
Pencegahan dan Pengendalian
Dilihat dari daur hidupnya, babi dan tikus dapat terinfeksi di alam. Infeksi
pada babi terjadi karena babi tersebut makan tikus yang mengandung larva
infektif dalam ototnya, atau babi makan sampah dapur atau sisa daging babi yang
mengandung larva infektif. Sebaliknya, tikus mendapat infeksi karena makan sisa
daging babi di rumah pemotongan hewan atau di rumah dan juga karena makan
bangkai tikus. Oleh karena itu, pencegahan penularan parasit ini sangat tergantung
pada pengendalian populasi tikus dan konsumsi daging mentah (Dewi dan
Sumarwanta 2012).
Di daerah endemik, tikus dapat menyebabkan risiko trichinellosis untuk
hewan dalam lingkungan sekitarnya karena mencemari pakan mereka.
Pengendalian tikus menjadi penting untuk mencegah trichinellosis, dengan
meminimalkan kontak langsung dan menjaga kebersihan pakan. Ternak babi yang
mempunyai risiko tertinggi untuk infeksi Trichinella spp. adalah peternakan kecil
dengan kandang yang minimal dan sering diberi makan sisa-sisa makanan atau
bentuk lain dari limbah daging yang tercemar oleh tikus yang terinfeksi
Trichinella spp.
Pengetahuan peternak tentang cara penularan Trichinella spp.
memungkinkan peternak babi untuk merancang sistem manajemen yang
mencegah atau secara drastis mengurangi risiko penularan. Poin-poin penting
utama adalah sistem perkandangan dan lingkungan, pakan dan penyimpanan
pakan, kontrol hewan pengerat, kebersihan pertanian termasuk pembuangan
hewan yang mati, dan mengendalikan peternakan babi tradisional (Gottstein et al
2009).
Pencegahan trichinellosis pada manusia didasarkan pada tiga pendekatan
utama yaitu pendidikan konsumen tentang risiko konsumsi daging dan produk
daging mentah atau setengah matang yang bisa menjadi pembawa parasit,
peternakan babi baik modern, industri, dan peternakan tradisional di bawah
kontrol yang ketat dan penggunaan bahan pakan bersertifikat dan kontrol dari
semua hewan yang rentan (baik domestik maupun sylvatic) (Dewi dan
Sumarwanta 2012).

3 METODE PENELITIAN
Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konseptual pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Sampel
1. RPH babi
2. TPH babi

Metode pemeriksaan
1. Digesty
2. Kompresi
3. Pewarnaan
Hematoxilin Eosin
Gambar 3 Kerangka konsep penelitian

Kejadian
Trichinellosis

8
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan dari Agustus sampai Oktober
2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rumah Potong Babi Taas milik
Pemerintah Daerah Kota Manado
dan tempat pemotongan babi milik
perseorangan yang terdapat di Kota Manado Provinsi Sulawesi Utara.
Pemeriksaan dan identifikasi terhadap larva Trichinella spp. pada otot dilakukan
di Laboratorium Helminthologi Institut Pertanian Bogor dan pewarnaan jaringan
otot dilakukan di Laboratorium Patologi Institut Pertanian Bogor.

Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara lintas seksional dengan mengambil sampel
otot masseter dan diafragma babi yang dipotong di rumah potong hewan babi dan
tempat pemotongan babi. Besaran sampel ditentukan dengan menggunakan
software Win Episcope 2.0, dengan tingkat kepercayaan 95% dan prevalensi yang
diharapkan adalah 10% serta tingkat kesalahan 5% sehingga diperoleh besaran
sampel sebesar 139 sampel (Tabel 1).
Pengambilan sampel dilakukan di empat tempat pemotongan babi yang
secara rutin melakukan pemotongan yaitu di Rumah Potong Hewan Babi Taas
milik pemerintah daerah Kota Manado yang terletak di Desa Taas dan di tempat
pemotongan babi milik perseorangan yang terdapat di tiga lokasi yaitu yaitu Pasar
Karombasan, Pasar Perum, dan Pasar Bersihati.
Tabel 1 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel
Lokasi Pengambilan Sampel
RPH Babi
Pasar Karombasan
Pasar Perum
Pasar Bersihati
Jumlah

Jumlah Sampel
Masetter
51
34
34

Diafragma
51
34
34

20
139

20
139

Diagnosa trichinellosis didasarkan pada hasil pemeriksaan mikroskopis
keberadaan larva pada otot babi menggunakan metode sampel kelompok (pooled)
digesty. Hasil yang positif pada uji digesty ditelusuri melalui pemeriksaan
individu dengan metode kompresi. Selanjutnya pengamatan bentuk morfologi
larva Trichinella spp. apakah termasuk golongan encapsulated atau nonencapsulated dilakukan pada jaringan otot yang diwarnai dengan Hematoxilin
Eosin (HE).

Metode Pengujian
Metode Digesty
Pemeriksaan sampel daging dengan metode digesty dilakukan untuk
mendeteksi adanya kehadiran larva Trichinella spp. Digesty dilakukan pada
sampel otot masing-masing 10 gram. Sampel diblender sampai homogen dan

9
ditambahkan 50-100 ml laruran air kemudian diblender sampai campuran
berbentuk cair, lalu ditambahkan 10 gram pepsin, 16 ml HCL 25% dan 200 ml air
dan dicampur selama 5 detik. Sampel yang telah homogen dipindahkan ke gelas 3
liter yang berisi batang pengaduk. Kemudian ditambahkan 2 liter air ke dalam
blender untuk pembilasan semua sisa homogenat dan tuang ke ke gelas 3 liter.
Gelas 3 liter ditempatkan pada hotplate stirer yang dipanaskaan pada suhu 45 0C
+ 2 0C, kemudian gelas ditutup dengan alumunium foil. Pengaduk diaktifkan
dengan kecepatan tinggi untuk membuat deep vortek tanpa percikan. Cairan
pencernaan dituangkan ke dalam 2 liter separator funnel 0.17-0.18 mm dan
dibilas pada suhu kamar dengan air dan tuangkan melalui saringan ke dalam 2
liter separator funnel Setelah itu pindahkan 40 ml cairan pencernaan dari
separator funnel ke dalam conical tube 50 ml dan didiamkan selama 10 menit
kemudian supernatant dibuang sebanyak 30 ml. secara perlahan aduk larutan sisa
dan pindahkan ke dalam cawan petri dan ditunggu minimal 1 menit untuk
memungkinkan larva menetap ke bawah, kemudian menggunakan mikroskop
stereo pembesaran 10-16x secara sistematis cawan petri diperiksa untuk kehadiran
larva Trichinella spp. (OIE 2012).
Metode Kompresi
Sampel otot dipotong setipis mungkin menjadi sejumlah potongan dengan
masing-masing potongan sepanjang serat otot. Selanjutnya sampel otot
dikompresi antara dua pelat kaca sampai terlihat tembus pandang. Otot diperiksa
secara individual untuk melihat bentuk morfologi larva Trichinella spp.
menggunakan mikroskop stereo (OIE 2007).
Metode Pewarnaan Hematoxilin Eosin (HE)
Pembuatan preparat histopatologi dimulai dengan trimming sampel otot dan
didehidrasi di dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat (alkohol 70%, 80%,
90%, 95%, alkohol absolut I dan II), xylol (I dan II) dan parafin (I dan II) dengan
menggunakan tissue processor. Pencetakan adalah suatu proses penananaman
jaringan dalam parafin sehingga terbentuk blok parafin. Proses ini dikerjakan
dengan bantuan alat (embedding console) yang dilengkapi dengan hot plate dan
tempat stock parafin cair sehingga pengaturan posisi jaringan dapat dilakukan
dengan baik. Cetakan diisi dengan parafin cair kemudian jaringan diletakkan di
dalamnya dengan menggunakan pinset. Blok parafin yang sudah setengah beku
diberi label untuk memudahkan identifikasi jaringan. Tahap selanjutnya adalah
pendinginan blok parafin pada suhu 4-5 0C. Pemotongan jaringan dilakukan
dengan menggunakan alat mikrotom dengan ketebalan irisan 4-5 µm. Hasil
potongan jaringan yang didapat ditempelkan pada gelas objek dan dimasukkan ke
dalam inkubator dengan suhu 370C selama 24 jam sampai jaringan melekat
sempurna (Samuelson 2007).
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) merupakan pewarnaan dengan
menggunakan dua jenis zat warna, yaitu Mayer Hematoksilin dan Eosin.
Pewarnaan HE dimulai dengan pencelupan jaringan pada larutan xylol I lalu
berturut-turut xylol II, xylol III, alkohol absolut, alkohol 96%, dan alkohol 70%
masing-masing selama satu menit dan dicuci dengan air selama tiga puluh detik.
Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam pewarna Mayer Hematoksilin
selama satu menit dilanjutkan dengan mencuci dengan air selama tiga puluh detik.

10
Kemudian preparat dicelupkan tiga kali ke dalam li thium karbonat dan dibilas
kembali dengan air selama tiga puluh detik. Tahap selanjutnya dilakukan
pencelupan ke dalam Eosin selama dua menit tiga puluh detik dan dibilas kembali
selam tiga puluh detik. Kemudian dilakukan pencelupan kembali ke dalam
alkohol bertingkat mulai dari 70%, 80%, dan 96% sebanyak sepuluh celupan
untuk alkohol absolut dilakukan sebanyak lima belas celupan. Berikutnya, yang
terakhir adalah melakukan pencelupan ke dalam xylol I, xylol II, xylol III dan
xylol IV selama masing-masing satu menit dan selanjutnya ditutup dengan cover
glass (Samuelson 2007).
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran obyektif 10x sampai dengan 40x, pada beberapa bidang pandang
hingga gambaran histopatologi dapat didiskripsikan secara jelas.

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menyajikan hasil
uji keberadaan Trichinella spp. pada daging babi di Kota Manado Sulawesi Utara,
dalam bentuk tabel dan gambar. Analisis deskriptif adalah bidang statistik yang
membahas tentang metode mengumpulkan, menyederhanakan, dan menyajikan
data sehingga dapat memberikan informasi (Mattjik dan Sumertajaya 2002).

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Lokasi Pengambilan Sampel
Kota Manado sendiri terletak di ujung utara Pulau Sulawesi dan merupakan
kota terbesar di belahan Sulawesi Utara sekaligus sebagai ibukota Propinsi
Sulawesi Utara. Secara geografis terletak di antara 10 25' 88" - 10 39' 50" LU dan
1240 47' 00" - 1240 56' 00" BT (BPS 2014).
Pengambilan sampel dilakukan di empat lokasi yang secara rutin
melakukan pemotongan babi yaitu di rumah potong hewan babi milik pemerintah
daerah kota manado yang terletak di desa Taas dan di tempat pemotongan hewan
babi milik perseorangan yang terdapat di tiga lokasi yaitu yaitu Pasar Karombasan,
Pasar Bersihati, Pasar Perum.
Metode Digesty dengan Metode Magnetic Stirer
Hasil pengujian dengan uji digesty terhadap 278 sampel yang terbagi dalam
28 pool masing masing 139 sampel otot maseter dalam 14 pool dan 139 sampel
otot diafragma dalam 14 pool diperoleh hasil diduga positif pada satu uji digesty
otot diafragma dengan kode pool P.14 (Tabel 2).

11
Tabel 2 Hasil uji Digesty
Hasil Digesty

Kode Pool
Maseter
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi

P.1
P.2
P.3
P.4
P.5
P.6
P.7
P.8
P.9
P.10
P.11
P.12
P.13
P.14

Diafragma
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Tidak terdeteksi
Terdeteksi

Gambaran mikroskopik hasil uji digesty yang diduga larva Trichinella spp.
dapat dilihat pada Gambar 4.
A

Gambar

B

4 (A). Sampel otot babi yang diperiksa menggunakan uji digesty di
bawah stereomikroskop dengan perbesaran 10 kali yang diduga
merupakan larva Trichinella spp. (B). Kontrol positif Trichinella
spp. (Angi et al. 2014)

Metode Kompresi
Hasil pemeriksaan dengan metode kompresi terhadap 9 sampel individu
(dari satu uji digesty yang positif) dengan stereomikroskop terhadap keberadaan
encapsulated dan non-encapsulated larva Trichinella spp. didapatkan tidak
satupun dari sampel terdeteksi larva Trichinella spp. (Tabel 3).
Tabel 3 Hasil uji Kompresi
Kode Sampel
D 131
D 132
D 133
D 134
D 135
D 136
D 137
D 138
D 139

Hasil Pemeriksaan
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi

12
Gambaran mikroskopik hasil uji kompresi. dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 (A). Sampel otot babi yang diperiksa menggunakan uji kompresi di
bawah stereomikroskop dengan perbesaran 10 kali. (B). Kontrol
positif Trichinella spiralis. (Angi et al. 2014).
Metode Pewarnaan HE
Pewarnaan jaringan dengan metode HE dilakukan pada sampel yang diduga
positif terhadap Trichinella spp. Hasil dari pewarnaan ini terhadap sampel yang
diuji didapatkan tidak satupun dari sampel terdeteksi larva Trichinella spp. (Tabel
4), dan untuk gambaran mikroskopisnya dapat dilihat pada gambar 6.
Tabel 4 Hasil pemeriksaan dengan metode pewarnaan HE
Kode Sampel
D 131
D 132
D 133
D 134
D 135
D 136
D 137
D 138
D 139

A

Hasil Pemeriksaan
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi
Tidak Terdeteksi

B

Gambar 6 A. Hasil pemeriksaan sampel otot babi yang diperiksa menggunakan
pewarnaan HE di bawah stereomikroskop. B. Kontrol positif
trichinellosis dokumentasi laboratorium Helminthologi FKH IPB.
Pemeriksaan daging babi dengan metode langsung untuk mendeteksi larva
Trichinella spp. didesain untuk mencegah trichinellosis klinis pada manusia tetapi
tidak untuk mencegah infeksi. Identifikasi larva Trichinella spp. pada sampel otot
babi terbatas pada pemeriksaan postmortem.
Metode yang mempunyai

13
sensitivitas tinggi untuk mendeteksi larva Trichinella spp. dalam sampel otot
sangat diperlukan. Kinerja dari metode langsung sangat dipengaruhi oleh ukuran
sampel, jenis otot yang dipilih untuk sampling, dan metode khusus yang
digunakan.
Hewan yang memakan larva Trichinella spp. dengan jumlah yang banyak
pada daging yang terinfeksi tidak akan menunjukkan gejala klinis seperti yang
diamati pada manusia yang terinfeksi (Gottstein et al. 2009). Saat ini, deteksi
langsung adalah metode pilihan untuk keperluan pemeriksaan daging babi. Kedua
metode pemeriksaan baik metode trichinoscopy (kompresi) dan metode digesty
dapat digunakan, namun metode digesty lebih disukai karena sensitivitas yang
lebih baik dan kapasitas pemeriksaan yang lebih tinggi (Schuper 2010).
Babi yang terinfeksi mungkin tidak terdeteksi positif selama pengujian
dengan pengujian menggunakan metode digesty. Sensitivitas konfirmasi uji
digesty tergantung pada pemilihan otot, ukuran sampel dan kepadatan larva. Di
atas kepadatan larva 3-5 lpg, sensitivitas 100% tercapai, tapi di bawah 1 lpg
sensitivitas turun menjadi 40%. Karena 15-20% dari babi yang terinfeksi secara
alami mempunyai kepadatan larva kurang dari 1 lpg, menyebabkan babi yang
terinfeksi tidak dapat dideteksi dengan metode ini (Schuppers et al. 2010).
Namun demikian, metode digesty dianggap cukup sensitif untuk mencegah
penyakit klinis pada manusia dan karena itu metode pilihan untuk rutin
pemeriksaan daging (Schuppers 2010).
Pada babi domestik, tiga situs predileksi utama untuk Trichinella spiralis
adalah diafragma, lidah, dan otot. Metode yang sering digunakan untuk
mendiagnosis babi yang terinfeksi adalah dengan mencampur daging sampel
(misalnya, diafragma, maseter, lidah atau otot-otot lain) dengan pepsin-HCL dan
kemudian dilakukan pemeriksaan mikroskopis untuk larva. Walaupun agak rumit,
sensitivitas dari metode ini relatif seragam untuk seluruh infeksi (Gottstein et al.
2009)
Selain pemilihan otot untuk diagnosa optimal, ukuran sampel yang memadai
perlu diperhatikan untuk menghasilkan sensitivitas pada tingkat yang dapat
diterima untuk mendeteksi larva Trichinella spp. Untuk pemeriksaan daging babi
yang ditujukan untuk konsumsi manusia, dengan metode yang sensitif minimal 1
sampai 3 lpg jaringan terinfeksi dianggap merupakan masalah keamanan pangan.
Untuk pemeriksaan menggunakan metode digesty di rumah potong babi, minimal
sampel yang digunakan adalah 1 gram jaringan dari tempat predileksi harus
diperiksa. Untuk mencapai sensitivitas diagnostik yang lebih tinggi, 5 sampai 10
gram otot predileksi harus diuji oleh metode pool digesty. Jika otot dari predileksi
Trichinella tidak tersedia untuk diperiksa, pemeriksaan harus diuji menggunakan
jumlah sampel yang lebih besar dari otot-otot lain dalam rangka memberikan
sensitivitas yang memadai (Gottstein et al. 2009).
Sampel yang di uji dengan pepsin digesty pada penelitian ini adalah 10 gram
per sampel dan dalam satu pool terdapat 10 sampel yang diuji sehingga
diharapkan dengan metode pepsin digesty ini dapat mendeteksi hasil positif pada
sampel walaupun jika hanya ada satu larva Trichinella spp yang ditemukan.
Menurut Karn et al.(2008), metode digesty mempunyai limit deteksi 1-3 lpg
sampel otot. Minimum 1 gram sampel otot cukup untuk mendeteksi Trichinella
spp. dimana tujuannya untuk menunjukkan adanya infeksi oleh Trichinella spp.

14
Dengan metode digesty jaringan sampel dari beberapa hewan dapat
dikumpulkan dan dianalisis secara bersamaan. Pada babi domestik, sampel 1 gram
jaringan diafragma dari satu babi sampai dengan 100 babi dapat dianalisis di
waktu yang sama. Sampel yang diuji dengan metode ini akan mengalami proses
pencernaan buatan sehingga akan melepaskan larva Trichinella spp. dari
kapsulya. Selanjutnya, cairan dipelajari di bawah mikroskop untuk mendeteksi
larva (Schupper 2010).
Beberapa metode telah dikembangkan dalam metode digesty dan pada
penelitian ini menggunakan metode magnetic stirer. Metode dengan magnetic
stirer dianggap sebagai gold standard karena metode ini khusus dirancang untuk
sampel yang dikumpulkan, dan telah mengalami validasi studi. Penelitian yang
dilakukan oleh Gottstein et al. (2009) menunjukkan bahwa dalam uji coba
validasi dari metode magnetic stirrer, kepadatan larva lebih dari 3 lpg secara
konsisten terdeteksi dengan ukuran sampel yang diterima saat ini adalah dari 1
gram sampel, sedangkan kepadatan larva dari 1.0-1.9 lpg diperlukan ukuran
sampel 3 gram sampai 5 gram.
Bentuk tampilan yang paling membedakan larva Trichinella adalah
stichosome yang terdiri dari serangkaian sel diskoid lapisan esofagus dan
menempati setengah bagian depan dari tubuh cacing. Larva Trichinella mungkin
muncul melingkar (saat dingin), motil (ketika hangat) atau berbentuk seperti huruf
C (saat mati). Jika ragu-ragu larva harus dilihat pada perbesaran yang lebih tinggi
dan jaringan harus diperiksa lebih lanjut (OIE 2012). Menurut Gottstein et al.
(2009) hasil pengujian daging babi secara rutin dengan metode digesty tidak
mampu menunjukkan kebebasan dari infeksi Trichinella spp. pada babi domestik.
Larva nematoda yang bermigrasi kadang-kadang dapat ditemukan pada
jaringan otot, dan untuk membedakan Trichinella spp. dengan nematoda lainnya
diperlukan perbesaran yang kuat sehingga dapat dilakukan identifikasi. Secara
teoritis diferensial diagnosa umum untuk larva Trichinella spp yang dapat
ditemukan dalam pengujian digesy
diantaranya adalah Ascaris suum dan
Metastrongylus apri. Selain itu pengujian infeksi dengan Toxocara canis telah
menunjukkan bahwa larva dapat ditemukan pada saat pengujian digesty
dikarenakan adanya larva migrans ke tempat predileksinya pada tahap awal
infeksi (Davidson et al. 2012).
Penggunaan utama dari metode kompresi adalah untuk deteksi post mortem.
Karena metode ini merupakan metode yang sederhana dan ekonomis dalam
pengerjaannya, hal ini secara rutin digunakan untuk menyelidiki keberadaan larva
Trichinella spp. pada otot, meskipun nilai sensitivitas diagnostik yang dipengaruhi
pengalaman operator dalam pemeriksaan sampel (Melgar et al. 2007).
Dengan uji kompresi, potongan kecil jaringan otot diafragma babi ditekan
diantara dua pelat kaca dan diperiksa dengan seksama menggunakan mikroskop
untuk mendeteksi larva Trichinella spp. Hal ini diasumsikan bahwa jaringan yang
diperksa harus mengandung minimal 3 lpg untuk memmperoleh hasil deteksi
secara handal. Namun, non-encapsulated spesies Trichinella seperti Trichinella
pseudospiralis sangat sulit untuk dideteksi dengan metode ini. Oleh karena itu,
metode ini tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan rutin (Schupper 2010).
Preparat histopatologi dalam beberapa kasus dapat digunakan untuk
menentukan apakah infeksi baru atau lama dengan mengamati beberapa
karakteristik dari kompleks sel parasit. Tidak adanya kapsul dan adanya cacing

15
dalam kompleks menunjukkan bahwa infeksi sedang berlangsung. Sebuah kapsul
matang dan parasit melingkar mengindikasikan infeksi yang lebih lama yang
mungkin telah diperoleh (Rueg and Meinen 2014).
Pemeriksaan dengan metode pewarnaan HE pada sampel tidak
ditemukannya bentukan cysta atau nurse cell serta tidak adanya perubahan
morfologi sel otot. Menurut Wu et al. (2001), perubahan sel otot pada babi yang
terinfeksi Trichinella spp. yang tampak pada pemeriksaan HE yaitu adanya
perubahan morfologi segera setelah infeksi oleh larva yang baru lahir dari
Trichinella spiralis. Sel otot akan kehilangan karakteristik myofibril dan akan
bertransformasi ke sel perawat (nurse cell), infeksi Trichinella pseudospiralis juga
akan menyebabkan disintegrasi myofibril, meskipun lebih lambat. Secara umum,
sarcoplasma akan rusak kemudian serabut otot cepat tertutup untuk
meminimalkan nekrosis. Akibatnya, seluruh panjang sel otot dipengaruhi oleh sel
sel intraseluler dan sejumlah besar sel-sel satelit akan diaktifkan.
Sel-sel satelit merupakan sumber pertumbuhan dan perbaikan pada otot
rangka dewasa. Ketika diaktifkan karena cedera, sel-sel satelit memulai aktivitas
sel induk dan gen ekspresi yang mengarah ke regenerasi, penggantian dan
hipertrofi otot rangka. Dalam regenerasi otot, myoblasts ini menyatu satu sama
lain untuk membentuk miofibril baru.
Infeksi pada babi dimulai dengan infeksi fase enteral, yaitu ketika host
memakan daging yang terkontaminasi dan mengandung larva otot stadium infektif.
Cairan pencernakan lambung (pepsin dan asam klorida) menghancurkan kapsul
selubung larva (capsule like cyst) dan melepaskan larva yang akan berpenetrasi
dan melakukan absorbsi pada sel goblet mukosa, kemudian dalam waktu 24-30
jam larva akan mengalami perubahan menjadi cacing dewasa.
Setelah 5 hari kemudian larva tahap pertama (L1) akan lahir, dan masuk ke
peredaran darah perifer masuk ke hati dan dibawa ke berbagai jaringan tubuh
khususnya. otot diafragma, otot mandibula, lidah, laring dan mata, yang kemudian
akan berkembang menjadi larva tahap infektif. Penetrasi larva ke sel otot terjadi
sekitar 6 hari setelah infeksi. Masa nukleus yang terbentuk di sekitar larva dikenal
sebagai nurse cell yang merupakan sel perawat yang menyokong pertumbuhan
larva. Pada hari ke 17 setelah infeksi larva akan menggulung dan menyerap nutrisi
dari sarkoplasma host dan jaringan kapiler host disekitar larva dan kompleks
nurse cell menjadi sumber pertumbuhan larva. Pada minggu ke delapan setelah
infeksi larva akan menjadi infektif. Enkapsulasi dimulai sekitar hari ke 21 dan
formasi kapsul menjadi lengkap sekitar 3 bulan (Bogitsh et al. 2005).
Distribusi Trichinella spp. berkaitan dengan budaya mengonsumsi daging
babi mentah atau setengah matang, dan merupakan faktor utama yang mendukung
infeksi pada manusia di negara-negara industri dan nonindustri, di Indonesia
kejadian Trichinella spp. telah dilaporkan. Pulau Bali merupakan salah satu dari
beberapa daerah yang antibodi Trichinella spp. terdeteksi pada 19.5% dari anakanak dan remaja. Tiga wisatawan Italia yang mengunjungi Pulau Bali terinfeksi
trichinellosis akibat mengonsumsi daging babi. Hanya dua laporan, satu pada
tahun 1962 dan pada 1972, infeksi Trichinella spiralis telah dilaporkan pada babi
domestik di Tapanuli, Sumatra Utara (Pozio 2007). Pengujian sampel otot
maseter babi yang berasal dari Rumah Potong Hewan Oeba di Kecamatan Kota
Lama Kelurahan Oeba Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur terhadap
larva Trichinella spiralis didapatkan prevalensi sebesar 0.9% (Angi et al. 2014).

16
Infeksi Trichinella spp. pada babi hanya dapat disebabkan dari memakan
larva tahap pertama (L1) yang berada di otot-otot dari hewan yang terinfeksi. Babi
dapat terinfeksi Trichinella spp. diantaranya karena memakan produk limbah
mentah atau daging setengah matang yang mengandung larva, paparan babi
dengan hewan pengerat yang terinfeksi, paparan satwa liar yang terinfeksi, dan
paparan bangkai babi yang terinfeksi. Karena beberapa spesies Trichinella terjadi
di alam, harus diasumsikan bahwa babi yang dipelihara dalam kondisi yang
memungkinkan mereka untuk kontak dengan hewan liar atau bangkai hewan liar
akan menjadi beresiko terpapar oleh penyakit ini. Transmisi penyakit antara
hewan domestik (synanthropic) dan satwa liar (sylvatic) dapat terjadi (Pozio 2005).
Manusia dapat terinfeksi oleh semua spesies dari Trichinell spp. dan sangat
patogen, kecuali dari spesies non-encapsulated (T. pseudospiralis, T. papuae, dan
T. zimbabwensis). Manusia hanya terinfeksi larva Trichinella spp. melalui proses
mengonsumsi daging yang dalam proses pemasakannya tidak sempurna (Kociecka
2000). Secara historis trichinellosis selalu dikaitkan dengan daging babi tetapi saat
ini munculnya trichinellosis sebagai zoonosis juga terkait dengan meningkatnya
konsunsi daging hewan liar yang tentunya melalui proses pemasakan yang tidak
sempurna sehingga larva Trichinella masih dapat bertahan dan dapat menginfeksi
manusia (Foreyt 2013).
Fase trichinellosis pada manusia di bagi menjadi tiga fase yaitu fase enteral
atau fase intestinal, fase migrasi atau fase fase invasi mukosa, serta fase parenteral.
Pada fase enteral larva yang tertelan akan menyerang usus halus, dan kemudian
menjadi dewasa yang akan menyebabkan gejala diare ringan. Selama fase enteral
jika jumlah larva yang tertelan sangat rendah maka tidak akan terlihat gejala klinis
penyakit.
Fase migrasi terjadi 2 hingga 6 minggu setelah infeksi, larva akan masuk ke
peredaran darah vena dan bermigrasi melalui jaringan sehingga terjadi kerusakan
mekanis pada jaringan dan menimbulkan reaksi alergi. Kerusakan pembuluh darah
dapat menyebabkan oedema lokal di wajah dan tangan. Pada fase migrasi ini
penderita sering mengalami kesulitan berjalan, bernafas, mengunyah serta
menelan (Foreyt 2013). Pada infeksi berat, terjadi demam tinggi, nyeri otot akibat
adanya pembengkakan pada otot, jika larva menyerang otot jantung atau jaringan
saraf, dapat menyebabkan miokarditis, neuritis, dan ganguan sistem saraf pusat
meliputi sakit kepala, vertigo, kehilangan kemampuan berbicara, serta kejang
(Capo dan Despommier 1996).
Pada fase parenteral penderita akan mengalami penurunan berat badan dan
kelelahan atara minggu ke-5 sampai minggu ke-6 setelah infeksi. Penderita
dengan jumlah infeksi larva yang besar akan menderita efek dari infeksi sampai
10 tahun (Harms et al. 1993).
Pengujian secara langsung memiliki keterbatasan dalam hal sensitivitas
diagnostik dan analitis. Karena alasan ini daging babi dengan pengujian negatif
mungkin terinfeksi oleh larva dengan jumlah yang melebihi jumlah yang dianggap
aman untuk dikonsumsi manusia. Model respon dosis menunjukkan bahwa
konsumsi 100 g daging babi yang terinfeksi dengan 200 larva mungkin akan teruji
negatif dengan metode digesty maupun kompresi tetapi tidak aman untuk
konsumsi manusia karena kemungkinan tertular penyakit ini setelah mengosumsi
200 larva cukup besar (Teunis 2012).

17
Temuan negatif pada penelitian ini mungkin disebabkan sistem peternakan
babi di Kota Manado telah baik dimana babi tidak diberi pakan berupa pakan yang
mengandung daging babi mentah atau setengah matang dan kandang bebas dari
tikus. Hewan pengerat merupakan reservoir utama penularan trichinellosis. Studi
epidemiologi pada manusia akibat trichinellosis dinyatakan bahwa tikus dan babi
berperan penting dalam penularan trichinellosis (Kaewpitoon et al. 2006). Babi
dan ternak lainnya harus dijaga sehingga tidak memakan bangkai hewan mati
seperti tikus yang mungki mati di kandang babi serta membawa penyakit