Prevalensi Trichinellosis pada Babi di Rumah Potong Hewan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur

(1)

PREVALENSI TRICHINELLOSIS PADA BABI

DI RUMAH POTONG HEWAN KOTA KUPANG

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Prevalensi Trichinellosis pada Babi di Rumah Potong Hewan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2014

Andrijanto Hauferson Angi


(3)

(4)

RINGKASAN

ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI. Prevalensi Trichinellosis pada Babi di Rumah Potong Hewan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN, MIRNAWATI B SUDARWANTO dan ETIH SUDARNIKA.

Trichinellosis adalah penyakit akibat cacing nematoda Trichinella spp. yang bersifat zoonosis dan terdapat hampir di seluruh dunia. Nematoda genus

Trichinella merupakan parasit dengan ciri khas siklus hidup langsung, dua

generasi di host yang sama, serta berspektrum luas meliputi mamalia, burung dan reptil. Trichinella ditularkan melalui konsumsi daging yang terinfeksi, terutama melalui predasi atau kanibalisme dari daging mentah. Infeksi Trichinella pada manusia sangat terkait dengan konsumsi daging mentah atau setengah matang yang mengandung larva infektif. Faktor budaya seperti hidangan tradisional yang berasal dari daging mentah dan setengah matang atau asal produk daging memainkan peranan penting dalam epidemiologi penyakit.

Kejadian trichinellosis di Indonesia jarang, bahkan belum pernah dilaporkan di wilayah Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi prevalensi Trichinella spp. pada babi di Kota Kupang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi cross sectional pada tempat pemotongan babi di Kupang.

Data diperoleh dari wawancara 60 peternak di 6 kecamatan menggunakan kuesioner, pemeriksaan laboratorium terhadap larva Trichinella menggunakan metode pooled sample digestion (33 sampel pooled dari 330 sampel otot) hasil positif dilanjutkan dengan pemeriksaan secara individual dengan metode kompresi, serta uji serologi (376 sampel serum) menggunakan indirect ELISA.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 pooled sampel otot positif mengandung larva Trichinella dan melalui metode kompresi ditemukan 3 dari 330 sampel otot (0.9%) terdapat larva Trichinella spiralis. Uji indirect ELISA terindikasi 3 sampel serum positif dengan seroprevalensi sebesar 0.8%. Semua responden peternak yang diwawancarai tidak tahu dan tidak pernah mendengar tentang trichinellosis. Kejadian trichinellosis pada babi yang dipotong di Kota Kupang dapat menjadi ancaman kesehatan manusia.

Kata kunci: indirect ELISA, metode kompresi, pooled sample digestion, trichinellosis


(5)

SUMMARY

ANDRIJANTO HAUFERSON ANGI. Prevalence of Trichinellosis in Pigs in Kupang City Slaughterhouse of East Nusa Tenggara Province. Supervised by FADJAR SATRIJA, DENNY WIDAYA LUKMAN, MIRNAWATI B SUDARWANTO and ETIH SUDARNIKA.

Trichinellosis is diseases caused by infection of nematode worms

Trichinella spp which is zoonotic and occurs worldwide. Nematodes of the genus

Trichinella is a parasite with the characteristic direct life cycle, two generations in

the same host, and a broad host spectrum involving mammals, birds and reptiles.

Trichinella is transmitted through the ingestion of infected meat, primarily

through predation or cannibalism of raw meat. Trichinella infection in humans is strongly associated with the consumption of raw or undercooked meat that contains infective larvae. The cultural factors such as traditional dishes based on raw or undercooked meat products play an important role in the epidemiology of the disease.

Trichinellosis prevalence in Indonesia is rare, even in the area of East Nusa Tenggara, Kupang, it is not particularly transparently reported. This study was aimed to observe the occurance of Trichinella spp in pigs in Kupang. The research was conducted using cross sectional study in the slaughterhouse in Kupang.

The data was derived from interview of 60 farmers in 6 subdistrics using the questionnaires, laboratory examination on Trichinella larvae using pooled sample digestion method (33 pooled samples of 330 muscle samples) whereas the positive results were individually subjected to the compression method, and serological test (376 serum samples) using indirect ELISA.

The result showed that there were 5 pooled muscle samples were positive and by the compression method it was found 3 of 330 muscle samples (0.9%) containing larvae of Trichinella spiralis. The indirect ELISA test identified that 3 serum samples were positive with the seroprevalence were 0.8%. All the farmer respondents were interviewed did not know or hear about trichinellosis disease. The occurance of trichinellosis in pigs slaughtered in Kupang could be a threat of human health.

Key words: indirect ELISA, compression method, pooled sample digestion, trichinellosis


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

PREVALENSI TRICHINELLOSIS PADA BABI

DI RUMAH POTONG HEWAN KOTA KUPANG

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr drh Trioso Purnawarman, MSi

Drh Risa Tiuria, MSi, PhD

Penguji pada Ujian Terbuka : Drh Pudjiatmoko, PhD Dr drh Yusuf Ridwan, MSi


(9)

Judul Disertasi : Prevalensi Trichinellosis pada Babi di Rumah Potong Hewan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur

Nama : Andrijanto Hauferson Angi

NIM : B261110021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

drh Fadjar Satrija, MSc, PhD Dr med vet drh Denny W Lukman, MSi

Ketua Anggota

Prof Dr med vet drh Mirnawati B Sudarwanto Dr Ir Etih Sudarnika, MSi

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi KMV Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr med vet Drh Denny W Lukman, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala Berkat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ialah Trichinellosis, dengan judul Prevalensi Trichinellosis Pada Daging Babi Di Rumah Potong Hewan Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Terima kasih penulis ucapkan kepada drh Fadjar Satrija, MSc, PhD, Dr med vet drh Denny Widaya Lukman, MSi, Prof Dr med vet drh Mirnawati B Sudarwanto dan Dr Ir Etih Sudarnika, MSi selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak ternilai kepada sahabat dan saudaraku Dr drh Rahmat Setiadji, MSi dari BBALITVET, Anna Lecoc dan Kacja Noor dari IDVET Perancis, Jane Johanis, Sefriwan Silfeto, Oktavren Hun, Ari Benu mahasiswa Program Studi Kesehatan Hewan Politeknik Pertanian Negeri Kupang (POLITANI), drh Dewi dan pak Benyamin dari RPH Oeba, drh Hendrik Taufik, MSi dari DISNAK Kabupaten Sukabumi, Asep Ghondi, Agus Heriyanto, SE dari Departemen IPHK FKH IPB, rekan-rekan kuliah S3 dari FKH pak Andriyanto, Ibu Elsa, pak Gholib, serta saudara-saudaraku mahasiswa Forum Flobamora Pasca IPB NTT. Ungkapan terima kasih yang tak terhingga juga disampaikan kepada istriku tersayang Sri Purwanti-Angi, kedua anakku tercinta Luki Augusto Valentino Angi dan Novira Yolanda Putri Angi serta Almarhum Ayahanda tercinta Drs Ayub Angi, Ibunda tercinta Ny Agustina Angi-Takain, serta kakak dan adik beserta suami dan istri serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Penulisan disertasi ini disadari oleh penulis masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaannya. Semoga disertasi ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2014


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Ruang Lingkup Penelitian 4

2 KASUS TRICHINELLOSIS PADA BABI DI KOTA KUPANG

BERDASARKAN PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS

Pendahuluan 6

Bahan dan Metode 8

Hasil dan Pembahasan 12

Simpulan 14

3 SEROPREVALENSI TRICHINELLOSIS PADA BABI DI KOTA KUPANG

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Pendahuluan 16

Bahan dan Metode 17

Hasil dan Pembahasan 18

Simpulan 19 4 PROFIL PETERNAKAN BABI DI KOTA KUPANG DAN POTENSI

PENULARAN TRICHINELLOSIS

Pendahuluan 21

Bahan dan Metoda 22

Hasil dan Pembahasan 22

Simpulan 29

5 PEMBAHASAN UMUM 30

6 SIMPULAN DAN SARAN 37 7 DAFTAR PUSTAKA 38


(12)

DAFTAR TABEL

1 Sampel positif hasil pemeriksaan dengan metode kompresi 14

2 Klasifikasi sampel serum berdasarkan hasil S/P % 19

3 Hasil pemeriksaan positif (+) serum uji dengan metode indirect ELISA 19 4 Karakteristik peternak babi yang berada di 6 kecamatan wilayah

Kota Kupang 24

5 Keadaan ternak babi serta sumber pakan yang diberikan 25

6 Data manajemen kesehatan 26

7 Sanitasi dan desinfeksi kandang 27

8 Pengolahan limbah 28

9 Keberadaan hewan pengerat dan hewan lainnya di sekitar kandang 29 10 Jumlah pemotongan babi di RPH Oeba periode Juli s/d Oktober 2013 35

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir pemeriksaan laboratorium 5

2 Diagram alir survei kuisioner peternakan babi di Kota Kupang 6 3 Diagram alir analisis data secara kesuluruhan tahapan penelitian 6 4 Kondisi RPH Oeba dan tahapan pengambilan sampel otot 10 5 Alir pemeriksaan pooled sample digestion dengan magnetic stirr method 11

6 Alir pemeriksaan metode kompresi 12

7 Larva Trichinella spp. hasil pemeriksaan pooled sample digestion 13 8 Larva Trichinellaspiralis hasil pemerikasaan metodekompresi 14

9 Peta wilayah Kota Kupang 31

10 Ras babi di wilayah Kota Kupang 32

11 Tipe Kandang babi 33

12 Kemungkinan rute utama penularan Trichinella spp. pada babi di

Kota Kupang 34

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar isian kuisioner responden 44

2 Jurnal Internasional yang sudah dipublikasi 50

3 Surat tentang rencana publikasi di Jurnal Nasional terakreditasi sebagian

penelitian 51 4 Poster hasil penelitian yang ditampilkan saat kegiatan The 3

Joint International Meetings 2014 52


(13)

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Trichinellosis adalah zoonosis akibat infeksi cacing nematoda Trichinella

spp., tersebar hampir di semua benua dan dapat menyebabkan kematian pada kasus berat. Beberapa data menyebutkan Trichinella spp. menginfeksi hewan domestik (terutama babi) di 43 negara (21.9%), sedangkan infeksi pada satwa liar telah didokumentasikan di 66 negara (33.3%). Trichinellosis pada manusia telah dilaporkan di 55 negara (27.8%) di seluruh dunia (Pozio 2007). Diperkirakan sekitar 11 juta orang terinfeksi Trichinella yang secara rutin dilaporkan di berbagai negara di dunia (Dupouy-Camet 2000). Data terbaru dari wabah trichinellosis yang dilaporkan, terjadi 65818 kasus pada manusia di 41 negara antara tahun 1986-2009 (Murrell dan Pozio 2011). Adanya kasus trichinellosis berdampak terhadap ekonomi serta kesehatan masyarakat. Pada tahun 1998, biaya yang dikeluarkan secara global untuk mendeteksi infeksi Trichinella pada babi diperkirakan $3.00 (€2.10) per babi. Pengendalian infeksi Trichinella pada 190 juta babi yang dipotong di 15 negara Uni Eropa memiliki dampak ekonomi sekitar $570 juta (€388 juta) /tahun (Pozio 1998). Di Amerika Serikat, program sertifikasi bebas Trichinella pada ternak memerlukan biaya $0.25 sampai $0.70 (€0.16 - €0.48) per babi (Pyburn et al. 2005).

Trichinellosis merupakan penyakit penting yang bersumber dari makanan serta dapat menimbulkan gejala penyakit akut dan kronis. Manusia dapat terinfeksi larva Trichinella melalui proses mengonsumsi daging yang tidak dimasak dengan sempurna (tidak matang). Semua spesies Trichinella, kecuali dari spesies non-encapsulated (T. pseudospiralis, T. papuae, dan T. zimbabwensis), sangat patogenik pada manusia (Jongwutiwes et al. 1998; Kociecka 2000). Meskipun trichinellosis secara historis terkait dengan daging babi, namun saat ini munculnya trichinellosis sebagai zoonosis juga terkait dengan meningkatnya konsumsi daging hewan liar (Foreyt 2013). Kebiasaan mengonsumsi daging asal hewan yang terinfeksi berperan penting dalam penularan Trichinella mengingat kemampuan parasit ini menginfeksi hampir di semua mamalia (Pazio et al. 2009).

Manifestasi klinis trichinellosis kompleks dan tergantung pada umur host, kondisi resistensi, serta jumlah larva yang ditelan. Umumnya gejala klinis muncul antara 1 dan 6 minggu setelah infeksi (Capo dan Despommier 1996). Gambaran klinis trichinellosis pada manusia bervariasi dan dipengaruhi oleh jumlah larva infektif yang ditelan, strain Trichinella yang terlibat, serta berbagai faktor terkait individu host seperti usia, jenis kelamin, dan status kekebalan (Pawlowski 1983; Ljungstrom et al. 1998).

Terdapat tiga tahap atau fase penyakit pada manusia yaitu fase enteral atau intestinal, fase migrasi atau fase invasi mukosa, serta fase parenteral (Gould 1983). Selama fase enteral, larva dilepaskan saat tertelan kista dan menyerang dinding usus halus, kemudian larva menjadi cacing dewasa. Kebanyakan orang yang terinfeksi pada fase enteral menderita diare ringan dan mual. Selama fase enteral, jika larva yang tertelan dengan jumlah yang rendah maka tidak terlihat gejala klinis penyakit. Tanda-tanda klinis lainnya menyerupai gangguan usus, seperti keracunan makanan (Foreyt 2013).


(14)

Pada fase migrasi, 2 hingga 6 minggu setelah infeksi, newborn larva masuk ke peredaran darah vena dan bermigrasi melalui jaringan, menyebabkan kerusakan mekanis jaringan serta menimbulkan respon alergi dari hostnya dengan tanda dan gejala yang berbeda dari fase enteral. Peningkatan jumlah sel darah putih (eosinofil) muncul sekitar 2 minggu setelah infeksi. Kerusakan pembuluh darah dapat menyebabkan oedema lokal di wajah dan tangan. Hal ini sering terjadi sepanjang fase migrasi, jika orang yang terinfeksi tidak mendapatkan pertolongan medis. Pada fase migrasi sebagian besar penderita tidak mengalami gejala apapun di tahap awal infeksi. Selama fase migrasi penderita sering mengalami kesulitan berjalan, bernapas, mengunyah, serta menelan. Infeksi berat terutama pada otot masseter, otot lidah, diafragma, laring dan leher, parainterkostalis, serta terjadi insersi otot tendon dan sendi kapsul (Foreyt 2013). Pada infeksi berat, terlihat tanda dan gejala seperti demam tinggi dan nyeri otot hebat serta pembengkakan otot. Larva dapat menyerang otot jantung atau jaringan saraf, menyebabkan miokarditis, neuritis, dan gangguan sistem saraf pusat. Tanda-tanda neurologis umum meliputi sakit kepala, vertigo, tinnitus, kehilangan kemampuan berbicara, kemampuan tulis serta kejang (Capo dan Despommier 1996). Kematian pada manusia biasanya berhubungan dengan kerusakan pada otot jantung serta terjadi antara minggu ketiga dan minggu kelima setelah infeksi.

Fase parenteral dimulai saat masuknya sel perawat (nurse cell) dan sel dewasa ke formasi jaringan otot. Penderita mengalami beberapa tanda atau gejala seperti penurunan berat badan serta kelelahan selama masa pemulihan antara minggu ke-5 sampai minggu ke-6 setelah mengonsumsi daging yang terinfeksi. Penderita yang menelan larva dalam jumlah yang besar dapat menderita efek dari infeksi hingga 10 tahun setelah pemulihan (Harms et al. 1993). Larva tetap berada dalam nurse cell dan memiliki kista selama beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah pemulihan dari gejala klinis penyakit (Pawlowski 1983). Beberapa penderita, setelah fase pemulihan mengalami depresi serta lelah yang berkepanjangan akibat efek psikologis dari infeksi. Terapi mental dianggap penting untuk meyakinkan penderita bahwa mereka dapat kembali normal terlepas dari keberadaan larva berkista di otot mereka (Pawlowski 1983).

Siklus hidup semua spesies pada genus Trichinella terdiri dari dua generasi dalam host yang sama serta mencakup spesies host yang luas diantaranya mamalia, burung, dan reptil. Trichinella spiralis merupakan spesies yang sangat adaptasi pada babi domestik, babi liar, dan tikus dalam siklus hidupnya.

Trichinella spiralis memperlihatkan penyebaran secara global dan luas, serta

merupakan penyebab terpenting penyakit di manusia (Pozio dan Murrel 2006).

Pada siklus domestik dan siklus silvatik, T. spiralis tersebar secara luas hingga karnivora liar serta menjadi asal siklus hidup pada populasi host domestik (Pozio 2001). Babi yang terinfeksi Trichinella pada siklus domestik merupakan sumber infeksi utama untuk hewan-hewan sinantropik(misalnya tikus, kuda, kucing tanpa pemilik, dan anjing).

T. spiralis membutuhkan hanya satu host untuk siklus hidupnya, yaitu larva

dan tahap dewasa terjadi pada organ yang berbeda. Infeksi terjadi akibat mengonsumsi daging, terutama daging yang tidak dimasak dengan sempurna yang mengandung larva bentuk pertama. Larva dilepaskan dari kapsulnya di duodenum oleh aksi dari enzim pencernaan induk semang saat tertelan. Larva berpenetrasi dan melakukan absorpsi pada sel goblet mukosa, kemudian melakukan perubahan


(15)

dalam waktu 30-36 jam serta mengalami dewasa seksual (Natasa et al. 2006). Setelah melakukan perkawinan, cacing jantan keluar dari host, cacing betina berlindung di dalam mukosa dan submukosa, kadang-kadang masuk dalam saluran limfatik menuju limfonodus mesenterium.

Sekitar 5 hari setelah tertelan, larva infektif host di cacing betina dewasa

ovovipar mengandung larva tahap pertama (Natasa et al. 2006). Larva tahap

pertama (L1) dibawa oleh pembuluh darah limfatik ke sisi sebelah kanan jantung pada pembuluh darah vena. Larva masuk peredaran perifer lewat hati dan dibawah ke berbagai jaringan tubuh. Larva masuk hanya ke otot khususnya otot diafragma, otot mandibula, lidah, laring, dan mata, serta berkembang menuju tahap infektif (Wakelin dan Denham 1983). Penetrasi ke sel otot dan sebagai parasit intraseluler pada miofibril terjadi sekitar 6 hari setelah infeksi. Setelah penetrasi, beberapa perubahan terjadi di dalam serabut otot kontraktil seperti hilangnya miofibril, degenerasi mitokondria, meningkatnya retikulum endoplasma halus, penyempitan nukleus, dan pembentukan lingkungan kompleks larva. Kista berbentuk seperti massa nukleus sekitar larva dikenal sebagai nurse cell yang merupakan sel perawat atau penyokong pertumbuhan larva. Larva menggulung, menyerap nutrisi dari sarkoplasma otot host sekitar hari ke 17-21 (Natasa et al.

2006). Jaringan kapiler sekitar host dan kompleks nurse cell menjadi sumber pertumbuhan larva. Larva yang mengalami pertumbuhan secara cepat dengan berkembang sekitar 1 mm dan puncaknya pada minggu ke-8, yang mana larva menjadi infektif. Enkapsulasi dimulai sekitar hari ke-21, yang mana larva diselubungi oleh dua bentuk kapsul ellipsoidal (0.26-0.4 mm). Membran terluar kapsul berkembang dari sarkolema, sementara membran terdalam dari kombinasi miofibril degeneratif serta sel lainnya seperti fibroblast. Formasi kapsul menjadi lengkap sekitar 3 bulan.

Tahap akhir, kapsul menjadi terkalsifikasi yang merupakan sebuah proses lebih awal 6 bulan setelah infeksi serta membutuhkan waktu  18 bulan untuk penyelesaian proses kalsifikasi. Larva T. spiralis dapat hidup selama beberapa tahun jika kalsifikasi diperlambat. Selama pembentukan kapsul, larva yang tertutup dapat bertahan lama. Ketika otot yang mengandung larva enkapsul termakan oleh karnivora atau mamalia, larva keluar serta kembali pada siklus hidupnya (Bogitsh et al. 2005).

Kasus trichinellosis di kawasan Asia Tenggara mulai banyak dilaporkan, namun kasus di Indonesia masih sangat sedikit. Identifikasi Trichinella secara serologis pada penduduk di Pulau Bali menunjukkan reaksi seropositif pada sampel 19.5% (Chomel et al. 1993). Kebiasaan masyarakat lokal memasak atau memanggang daging babi hingga matang di daerah Tapanuli (Sumatera Utara) cukup efektif menghambat transmisi ke manusia (Pazio 2001). Agen penyebab trichinellosis pada babi lokal di Pulau Bali dan Sumatera tidak pernah teridentifikasi, meskipun dilaporkan T. spiralis. Wilayah Asia Tenggara lain yaitu di Singapura, wabah trichinellosisterjadi pada 84 siswa dan guru saat berkunjung ke sebuah pulau di Malaysia tahun 1998 (Kurup et al. 2000). Wabah trichinellosis terjadi pada manusia di Laos yang terdata pada 51 orang akibat mengonsumsi daging babi terinfeksi dan telah didokumentasikan pada tahun 1975 (Pazio 2001). Trichinellosis juga muncul pada babi di Myanmar (Watt et al.

2000), tetapi prevalensi infeksinya tidak diketahui. Kasus trichinellosis pada manusia juga ditemukan di Bensbach Papua Nugini bagian barat, dan T. papuae


(16)

terdeteksi pada babi liar. Prevalensi secara serologi terdeteksi pada orang yang tinggal di 6 desa di daerah tersebut sebesar 28.9% berdasarkan metode ELISA menggunakan antigen tyvelose sintetis (Pazio 2001).

Kasus terbaru trichinellosis yang terjadi di kawasan Asia Tenggara yang dilaporkan adalah di Thailand, Vietnam dan Malaysia. Seroprevalensi infeksi

Trichinella pada babi di Thailand yang dilaporkan adalah sebesar 4%, 19.9% di

Vietnam serta seroprevalensi sebesar 2% di Malaysia (Chandrawathani et al. 2010). Kerugian ekonomi akibat infeksi parasit Trichinella tidak dapat diabaikan seperti di Cina, lebih dari 500 wabah trichinellosis yang terjadi pada 20000 orang menyebabkan 213 orang meninggal. Di Thailand dalam 27 tahun terakhir, dilaporkan terjadi 120 wabah yang melibatkan hampir 6700 pasien serta menyebabkan 97 orang meninggal (Gajadhar dan Gamble 2000).

Populasi babi di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 1739481 ekor, dengan populasi di wilayah Kota Kupang sendiri sebanyak 25426 ekor (BPS NTT 2013). Kejadian trichinellosis sangat mungkin terjadi di peternakan babi di Kota Kupang, dan apabila ditemukan kasus trichinellosis pada babi akan berdampak besar terhadap kelangsungan peternakan babi dan menjadi ancaman kesehatan masyarakat di Kota Kupang. Kajian secara epidemiologi perlu dilakukan untuk mengembangkan strategi pengawasan dalam menghindari penularan ke manusia. Data prevalensi Trichinella spp. pada peternakan babi di Kota Kupang sangat terbatas.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi keberadaan parasit Trichinella

spp. pada ternak babi di wilayah Kota Kupang, (2) identifikasi jenis Trichinella

yang terdapat pada ternak babi di Kota Kupang sebagai langkah awal untuk pemetaan di wilayah NTT dan dijadikan acuan untuk studi epidemiologi trichinellosisdi wilayah NTT lainnya, (3) identifikasi seroprevalensi trichinellosis pada babi menggunakan metode indirect ELISA, serta (4) mengetahui profil peternakan babi dan faktor-faktor yang berpotensi terhadap penularan trichinellosis

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan (1) memberikan informasi pada masyarakat tentang trichinellosis, bahaya yang ditimbulkan serta cara pencegahan dan penanggulangannya, (2) meningkatkan kesadaran masyarakat NTT khususnya Kota Kupang akan bahaya penyakit yang bersifat zoonotik terutama yang berasal dari hewan seperti trichinellosis, (3) meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan pemerintah akan peluang timbulnya penyakit infeksi new-emerging dan

reemerging (PINERE).


(17)

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini seperti yang tertuang dalam tujuan penelitian. Untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan beberapa tahap kegiatan penelitian antara lain tahap 1; Pemeriksaan laboratorium untuk melakukan identifikasi prevalensi trichinellosis dengan metode uji atau pemeriksaan langsung sampel otot babi di Rumah Potong Hewan (RPH) Oeba milik Pemerintah Daerah Kota Kupang dengan metode pemeriksaan pooled sample digestion menggunakan cara

magnetic stirrer method. Hasil positif dari pemeriksaan pooled sample digestion

dilanjutkan dengan pemeriksaan individu sampel otot babi menggunakan metode kompresi. Hasil pemeriksaan dengan metode kompresi akan diketahui berapa besar prevalensi trichinellosis di wilayah Kota Kupang serta identifikasi dari spesies Trichinella. Pemeriksaan secara serologis dengan metode indirect ELISA juga dilakukan untuk mengetahui berapa besar seroprevalensi trichinellosis yang terindikasi di wilayah Kota Kupang.

Tahap selanjutnya yaitu survei kuisioner terhadap beberapa peternak babi di 6 kecamatan di wilayah Kota Kupang. Survei kuisioner dilakukan untuk melihat secara garis besar profil peternakan babi di Kota Kupang dengan melihat beberapa aspek terkait dengan manajemen pemeliharaan. Tahap terakhir penelitian ini yaitu analisa data hasil uji laboratorium dan survei kuisioner. Ruang lingkup penelitian secara garis besar disajikan dalan diagram alir penelitian (Gambar 1).

Gambar 1 Diagram alir pemeriksaan laboratorium Tahap Pertama : Pemeriksaan Laboratorium

SAMPEL

376 sampel @ 10 ml darah 330 sampel ototmasing-masin 15-20 g Masseter Serum melalui sentrifugasi Metode digesti (10 sampel yang digabung,

masing- masing 5 gr ) Identifikasi dengan

indirectELISA

Positif Diragukan Negatif

Pengulangan Identifikasi dengan

indirect ELISA

Dibuang

Positif

Positif Negatif

Metode Kompresi (Sampel individu)

Larva terlihat

Capsulatedataunon-capsulated

larva Trichinella

Dibuang Larva

Trichinella spp.

SEROPREVALENSI

IDENTIFIKASI

PREVALENSI


(18)

Tahap Kedua : Survei kuisioner

Gambar 2 Diagram alir survei kuisioner pada peternakan babi di Kota Kupang Tahap Ketiga : Analisis data

Gambar 3 Diagram alir analisis data secara keseluruhan tahapan penelitian

Pengumpulan data terkait kasus trichinellosis yang dijadikan

parameter kuisioner

Wawancara pendahuluan 10 responden peternak di 6 kecamatan di Kota Kupang

Validasi data untuk melihat validatas dan reabilitas pertanyaan yang diajukan

Survei kuisioner menggunakan daftar isian pertanyaan yang telah divaliditas terhadap 60

responden peternak

Analisa data kuisioner secara deskripsi gambaran profil peternakan di Kota Kupang terhadap potensi penularan trichinellosis

Data hasil pemeriksaan pooled

sample digestion dengan magnetic

stirrer method pada 330 sample otot

Data hasil pemeriksaan individual dengan metode kompresi dari sampel positif hasil pemeriksaan pooled sample digestion

Data hasil survei kuisioner

Kesimpulan umum dari hasil analisa data terkait kejadian trichinellosis di Kota kupang


(19)

2

KASUS TRICHINELLOSIS PADA BABI DI KOTA KUPANG

BERDASARKAN PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS

Abstract

Trichinellosis is a zoonotic disease caused by infection of nematode worms Trichinella spp and occurs worldwide. The prevalence of Trichinellosis in Indonesia is rare, even in the area of East Nusa Tenggara, Kupang, it is not particularly transparently reported. This study was aimed to observe the occurance of Trichinella spp in pork meat at slaughterhouse in Kupang City, East Nusa Tenggara Province. The research was conducted using cross sectional study involving 330 pork meat (muscles) samples which were slaughtered at the slaughterhouse in Kupang City. The meat samples were subjected to laboratory examination of Trichinella larvae using pooled sample digestion method (33 pooled samples of 330 muscle samples) whereas the positive results were then individually subjected to the compression method. The result showed that there were 5 positive pooled muscle samples, and by the compression method it was found 3 of 330 muscle samples (0.9%) contained Trichinella spiralis larvae. The occurance of Trichinella in pigs slaughtered in Kupang city indicated that the pigs were infested by Trichinella and it could be a threat of human health.

Keywords : compression method, pooled sample digestion, trichinellosis

Abstrak

Trichinellosis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi cacing nematoda Trichinella spp dan terjadi di seluruh dunia. Prevalensi trichinellosis di Indonesia jarang, bahkan di Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian

Trichinella spp pada daging babi di rumah potong hewan di Kota Kupang,

Provinsi NTT. Penelitian dilakukan dengan studi cross sectional pada 330 sampel otot (daging) babi di rumah potong hewan di Kota Kupang. Sampel otot diperiksa secara laboratorium terhadap keberadaan larva Trichinella dengan

pooled sample digestion (33 pooled dari 330 sampel otot) dimana jika hasil positif

dilakukan pemeriksaan secara individual dengan metode kompresi. Hasil pemeriksaan menunjukkan terdapat 5 sampel pooled otot positif Trichinella dan pemeriksaan dengan metode kompresi ditemukan 3 sampel dari 330 sampel otot (0.9%) mengandung larva Trichinella spiralis. Hasil ini menunjukkan adanya

Trichinella pada babi yang dipotong di Kota Kupang dan dapat menjadi ancaman

kesehatan manusia.

Kata kunci: metode kompresi, pooled sample digestion, trichinellosis


(20)

Pendahuluaan

Penyakit akibat infeksi larva cacing nematoda Trichinella spp. atau trichinellosis merupakan salah satu penyakit zoonosa yang terjadi hampir di seluruh dunia. Manusia dapat terinfeksi setelah tertelan atau makan daging mentah atau kurang matang yang mengandung larva encysted hidup Trichinella

spp.

Menurut Gajadhar et al. (2009), ada dua strategi utama diagnostik untuk mendeteksi hewan yang terinfeksi Trichinella yaitu pemeriksaan langsung parasit atau deteksi antibodi terhadap parasit. Uji serologis dilakukan untuk mendeteksi infeksi pada hewan hidup, diantaranya pemeriksaan dengan metode ELISA yang dapat mendeteksi antibodi dalam serum paling cepat 12 hari setelah infeksi (Bogitsh et al. 2005). Metode pemeriksaan langsung merupakan metode pilihan untuk tujuan pemeriksaan daging. Metode pemeriksaan langsung dapat menggunakan trichinoscopy atau teknik pencernaan buatan. Teknik pencernaan buatan lebih disukai karena sensitivitas yang lebih baik dan kapasitas yang lebih tinggi (Gajadhar et al. 2009; Wang et al. 2007).

Pemeriksaan dengan trichinoscopy, potongan kecil jaringan 1 gram jaringan ditekan atau dikompresi antara dua pelat kaca dan diperiksa dengan mikroskop untuk mendeteksi adanya larva Trichinella. Diasumsikan bahwa jaringan harus berisi minimal 3 larva per gram (LPG) untuk deteksi yang akurat (Wang et al. 2007). Penggunaan trichonoscopy convensional untuk memeriksa 28 ukuran inti potongan otot diafragma yang sesuai dengan 0.5 g sampel tidak direkomendasikan lagi. Hal ini disebabkan metodenya kurang peka serta fakta bahwa spesies larva

non-encapsulated seperti T. pseudospiralis sangat sulit dideteksi (Nockler dan

Kapel 2007). Meskipun demikian trichinoscopy dapat digunakan pada kondisi tertentu di mana alat dan bahan sulit didapat untuk melakukan pengujian yang lebih sensitif lewat pencernaan buatan (Radua et al. 2011).

Berdasarkan hasil penelitian eksperimental menggunakan dosis setara dengan infeksi alami terdapat tiga lokasi predileksi larva T. spiralis yaitu lidah, otot maseter serta diafragma cruss (Nockler et al. 2000). Disamping lokasi predileksi, ukuran sampel yang cukup juga diperlukan untuk menghasilkan tingkat kepercayaan yang sensitif dalam mendeteksi larva Trichinella.

Metode pencernaan buatan dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan sekaligus sampel otot hingga 100 karkas. Otot atau sampel daging yang rentan harus menjalani pemeriksaan dengan metode pencernaan buatan terhadap

Trichinella spp. (Nockler et al. 2011). Aplikasi metode pencernaan buatan

memerlukan banyak peralatan teknis, namun metode ini efisien, efektivitas pada biaya, sangat peka, serta larva Trichinellanon-encapsulated bisa dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopik dari cairan pencernaan. Larva dapat keluar setelah tercerna pada jaringan otot dengan penggunaan cairan pencernaan buatan 1% pepsin (1:10000; US National Formulary) dan 1% asam hidroklorat, serta harus dilakukan penyaringan selektif, filtrasi atau sedimentasi serta pemeriksaan mikroskopik (OIE 2004a).

Beberapa prosedur untuk metode pencernaan yang dipakai pada pooled

samples digesty seperti metode magnetic stirrer, stomacher method dan

Trichomatic 35® untuk identifikasi Trichinella pada daging. Metode magnetic

stirrer dianggap sebagai “gold standard” karena merupakan metode yang


(21)

dirancang khusus untuk sampel daging serta telah divalidasi (OIE 2008a; Webster

et al. 2006).

Bahan dan Metode Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan sampel otot dilakukan di rumah potong hewan (RPH) Oeba yang merupakan lokasi pemotongan ternak (sapi dan babi) resmi milik pemerintah daerah (PEMDA) Kota Kupang. Pemeriksaan dan identifikasi sampel otot dilakukan pada Laboratorium Mikro di Program Studi Kesehatan Hewan POLITANI Kupang. Jangka waktu penelitian dimulai dari bulan Juli 2013 sampai dengan bulan Juli 2014.

Desain dan Populasi Sampel Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan studi cross-sectional. Otot yang dipilih untuk pemeriksaan langsung adalah otot maseter babi. Pengambilan sampel otot dilakukan dengan cara pengambilan contoh acak sederhana. Ukuran sampel ditentukan pada tingkat kepercayaan 95%, prevalensi 30% dengan menggunakan

software Win Episcope 2.0, serta tingkat kesalahan 5%, maka jumlah otot yang

diambil sebagai sampel penelitian sebanyak 330 sampel.

Pengujian sampel otot terhadap larva Trichinella spp. dilakukan dengan

pooled sample digestion dengan metode magnetic stirrer dan jika ditemukan hasil

positif dilanjutkan identifikasi sampel individu dengan metode kompresi untuk identifikasi encapsulated atau non-encapsulated larva Trichinella spp. (Nockler et al. 2000) dan menentukan prevalensi trichinellosis di Kota Kupang.

Lokasi dan Proses Pengambilan Sampel Otot

Lokasi RPH Oeba terletak di Kecamatan Kota lama Kelurahan Oeba Kota Kupang Provinsi NTT. RPH ini memiliki dua bagian pemotongan yaitu tempat pemotongan khusus untuk babi serta tempat pomotongan khusus untuk sapi. Rata-rata pemotongan babi bervariasi setiap harinya antara 15 – 30 ekor tergantung kebutuhan konsumsi saat itu serta ternak babi yang dibawah ke lokasi pemotongan. Gambaran kondisi RPH, situasi saat pemotongan serta proses pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 4.


(22)

RPH Oeba Lokasi dan situasi RPH Oeba saat pemotongan

Babi-babi yang akan dipotong

Babi digiring untuk persiapan pemotongan

Penyembelihan (dilanjutkan perendaman dengan air panas)

Proses pembersihan bulu

Proses pengeluaran jeroan dan organ dalam lainnya

Pengambilan otot maseter Penyimpanan sampel dalam

cool box

Gambar 4 Kondisi RPH Oeba dan tahapan pengambilan sampel otot

Pooled Sample Digestion Melalui Prosedur Pemeriksaan Magnetic Stirrer Method

Sebanyak 50 g otot maseter dari 10 ekor babi (masing-masing 5 g/ekor) dicincang dengan blender menggunakan pisau khusus untuk daging yang akan dicerna dengan cairan pencernaan buatan. The International Commision on

Trichinellosis (ITC) merekomendasikasi sampel otot sebanyak 5 g per ekor babi

untuk daerah endemik (Gamble et al. 2000). Cairan pencernaan buatan terdiri dari air (44 – 46 °C), HCl 37%, dan pepsin (1:10000 NF/1:12500 BP/2000 FIP). Pencernaan diaduk selama 30 menit pada suhu 44 – 46 °C dalam gelas piala (volume 2 liter) menggunakan hot plate magnetic stirrer (pada proses ini diharapkan larva terlepas dari otot). Cairan pencernaan kemudian dituangkan melalui saringan logam (diameter lubang  0.18 mm) ke dalam corong kaca yang ditutup selang karet penjepit. Larva dibiarkan selama 30 menit dan selanjutnya sebanyak 40 ml cairan sampel dengan cepat dituang ke dalam tabung 50 ml, kemudian biarkan selama lebih dari 10 menit agar terjadi sedimentasi (suspensi). Sebanyak 30 ml supernatan diambil dan 10 ml sisa sedimen dituang ke dalam cawan petri untuk selanjutnya diperiksa minimal selama 8 menit dengan stereomikroskop untuk visualisasi atau melihat keberadaan larva Trichinella spp. Alur urutan pemeriksaan pooled sampel digestion sampel otot babi dengan

magnetic stirrer method dapat dilihat pada Gambar 5.


(23)

Koleksi sampel otot Maseter

babi

Otot maseter masing-masing ditimbang 5 g untuk 10 pooled

(total 50 g untuk tiap pooled

uji)

Tiap pooled sampel diblender dengan cairan pencernaan buatan

Pengadukan hasil pencernaan dalam hot plate magnetic stirrer selama 30 menit

Cairan pencernaan dituangkan melalui saringan ke corong kaca dengan penjepit

Larva menetap 30 menit dan kemudian 40 ml cairan sampel dituang ke dalam tabung 50 ml.

10 ml sedimen + 10 ml bilasan air keran dituang dalam cawan petri

Sampel dalam cawan petri diperiksa minimal selama 8 menit dengan stereomikroskop

Visualisasi larva Trichinella

dengan stereomikroskop

Gambar 5 Alur pemeriksaan pooled sample digestion dengan magnetic stirrer method

Metode Kompresi

Pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode digesti dengan hasil pemeriksaan positif adanya larva Trichinella dilanjutkan dengan pemeriksaan individu dari setiap sampel dengan metode kompresi. Teknik kompresi terutama digunakan untuk membedakan larva Trichinella spp. encapsulated dan

non-encapsulated. Sampel otot dipotong menjadi beberapa potongan dengan

masing-masing potongan sepanjang serat otot dengan potongan yang setipis mungkin. Potongan otot dikompresi antara dua pelat kaca (kompresi) sampai terlihat tembus, kemudian diperiksa secara individual untuk melihat keberadaan larva

Trichinella dengan stereomikroskop melalui berbagai pembesaran (low range,

mid range dan high range). Gambaran morfologi encapsulated dan


(24)

encapsulated larva Trichinella spp., berbeda serta bervariasi dalam bentuk. Alur pemeriksaan dengan metode kompresi dapat dilihat pada Gambar 6.

Kumpulan sampel otot dari sampel positif Sampel otot diiris setipis mungkin dan dikompresi diantara dua plat gelas obyek sampai terlihat tembus

Pemeriksaan sampel yang telah dikompresi diatara dua gelas objek dengan

stereomikroskopik

Identifikasi larva Trichinella spp.

encapsulated dan non-encapsulated

Gambar 6 Alur pemeriksaan metode kompresi Identifikasi Larva

Hasil pemeriksaan yang dilakukan menggunakan metode pooled sample

digestion, jika ditemukan larva Trichinella dilanjutkan dengan metode kompresi

untuk mengetahui spesies dari larva Trichinella dan dihitung prevalensinya. Bentuk tampilan yang paling membedakan larva Trichinella adalah

stichosome yang terdiri dari serangkaian sel diskoid lapisan esofagus dan

menempati setengah bagian depan dari tubuh cacing. Larva Trichinella mungkin muncul melingkar (saat dingin), motil (ketika hangat) atau berbentuk – C (saat mati). Jika ragu-ragu larva harus dilihat pada perbesaran yang lebih tinggi dan jaringan lebih lanjut harus diperiksa. Larva yang ditemukan dari proses pencernaan otot dapat disimpan dalam 70-75% etanol (atau 95% untuk penyimpanan jangka panjang). Penyimpanan ini berguna untuk pemeriksaan lanjut genotyping dengan polymerase chain reaction (PCR). Laboratorium yang menggunakan metode pencernaan buatan harus menjaga sistem jaminan kualitas yang sesuai untuk memastikan sensitivitas uji (OIE 2012).


(25)

Hasil dan Pembahasan Pooled Sample Digestion dengan Magnetic Stirrer Method

Larva Trichinella spp. ditemukan pada 5 pooled samples otot babi (kode sampel E, I, K, L,dan T). Gambaran secara mikroskopik larva Trichinella

spp.yang ditemukan dapat dilihat pada Gambar 7.

Pooled sample Kode E Pooled sample Kode I

Pooled sample Kode K Pooled sample Kode L

Pooled sample Kode T

Gambar 7 Larva Trichinella spp. hasil pemeriksaan pooled sample digestion

Hasil pemeriksaan yang dilakukan, pooled sampel Kode E kemungkinan larva dalam keadaan suhu dingin (bentuk melingkar). Pooled sampel Kode I, Kode K, dan Kode L larva dalam keadaan motil, sedangkan untuk Kode T kemungkinan larva yang ditemukan sudah mati.

Kasus trichinellosis yang ditemukan di RPH Oeba perlu untuk dilakukan penelusuran lanjut asal dan sumber penyebab adanya kasus tersebut. Kondisi RPH yang jauh dibawah standar dengan sanitasi dan higienis yang buruk berdampak pada kemungkinan sisa-sisa potongan-potongan kecil daging yang berisi beberapa larva dapat menjadi sumber penting infeksi untuk babi lainnya. Kurangnya praktik kebersihan yang memadai dalam produksi ternak dan lemahnya implementasi pemeriksaan Trichinella pada rumah potong hewan penyebab munculnya kejadian trichinellosis (Liu dan Boireau 2002; Wang et al. 2006). Metode pemeriksaan digesti merupakan uji pilihan dalam diagnostik untuk 13


(26)

program pengendalian dan pemberantasan trichinellosis. Pemeriksaan di babi dengan metode digesti disarankan menggunakan  20 g jaringan otot predileksi (otot diafragma dan lidah) sehingga dapat meningkatkan deteksi hewan pada infeksi tingkat rendah.

Metode Kompresi

Hasil pemeriksaan dengan metode kompresi terhadap 50 sampel individu (dari 5 pooled sampel hasil positif pada uji digesti) dengan stereomikroskop terhadap keberadaan encapsulated dan non-encapsulated larva Trichinella spp. menunjukkan larva encapsulated yang merupakan larva dari spesies T. spiralis. Larva T. spiralis yang ditemukan sebanyak 3 larva dari 330 sampel otot (Tabel 1). Tabel 1 Sampel positif hasil pemeriksaan dengan metode kompresi

No kode sampel

Tanggal pengambilan

sampel

Ras babi Umur / Jenis Kelamin Babi

Hasil Pemeriksaan 42 16/11/2013 Lokal Di atas 1.5 thn/

jantan

(+) 105 8/12/2013 Eksotik Di atas 3 thn/betina (+) 193 18/01/2014 Triple cross Di atas 3 thn/betina (+) Prevalensi T. spiralis dari otot babi adalah 0.9%. Gambaran morfologi dari

T. spiralis di otot babi yang ditemukan di RPH Oeba dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Larva Trichinellaspiralis hasil pemeriksaan metode kompresi

T. spiralis, T. nativa, T. britovi, T. nelsoni dan T. murrelli menginduksi

pembentukan nurse cell di otot lurik dari host, sedangkan spesies

non-encapsulated T. pseudospiralis dan T. papuae dicirikan dengan sedikitnya kapsul

sekitar otot larva (Murrell et al. 2000). Spesies larva non-encapsulated akan lebih sulit untuk dideteksi dengan trichinoscopy atau metode kompresi. Semua sampel harus diperiksa terlebih dahulu dengan metode pencernaan, karena metode kompresitidak bisa menjamin keberadaan dari semua spesies Trichinella.

Kejadian T. spiralis pada tempat pemotongan babi di Kota Kupang lebih tinggi dibandingkan dengan pemeriksaan pooled sampel digestion di Thailand

Kode sampel No 193 14

Kode sampel No 105


(27)

yang menggunakan otot diafragma (0.05%) dan di Chiang Mai (0.01%) (Takahashi et al. 2000). Hal ini menunjukkan prevalensi trichinellosis pada babi di Kota Kupang lebih tinggi dari Thailand. Tingkat prevalensi trichinellosis pada babi di Kota Kupang kemungkinan bisa lebih tinggi angka kejadiannya jika dilakukan pemeriksaan pada otot diafragma dan lidah, yang merupakan lokasi predileksi utama infeksi larva Trichinella.

Kejadian prevalensi di Kota Kupang dapat terkait dengan praktik manajemen peternakan seperti sebagian besar peternak masih memberikan makanan sisa rumah atau restoran yang tidak dimasak dengan sempurna sebelum diberikan pada babi, serta kurangnya pengetahuan peternak akan trichinellosis.

Simpulan

Hasil pemeriksaan keberadaan larva Trichinella spp. dari sampel otot babi melalui pooled sample digestion dengan magnetic stirrer method ditemukan larva

Trichinella spp. Pemeriksaan lanjutan terhadap keberadaan larva yang ditemukan

dengan metode kompresi mengarah pada larva jenis Trichinella spiralis, dengan prevalensi sebesar 0.9%.


(28)

3

SEROPREVALENSI TRICHINELLOSIS PADA BABI

DI TEMPAT PEMOTONGAN HEWAN OEBA KUPANG

PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Abstract

Trichinellosis is zoonosis caused by worm infection, Trichinella spp. nematode and it had been spread all over the world. Identification seroprevalence of trichinellosis in pig never been reported in East Nusa Tenggara Province particularly Kupang City. This study aimed to identify seroprevalensi of trichinellosis in pig in kupang city of East Nusa Tenggara Province. Cross-sectional study research conducted through the examination of 376 blood samples, which were taken from a number of pigs in slaughterhouses Oeba Kupang with simple random sampling method. Blood samples were tested by

indirect ELISA method using diagnostic kits ID Screen® Trichinella indirect

multi-species ELISA France. In the presence of antibodies, a blue solution

appears which becomes yellow after the addition of the stop solution. In the absence of antibodies, no coloration appears. The microplate is read at optical density (OD) 450 nm. Indirect ELISA test identified that 3 serum samples were positive with the seroprevalence were 0.8%. The presence of Trichinella in pigs in Kupang city could be a threat of human health.

Keywords : cross sectional study, indirect ELISA, seroprevalence, trichinellosis

Abstrak

Trichinellosis adalah zoonosis akibat infeksi cacing nematoda Trichinella

spp. dan tersebar hampir di seluruh dunia. Identifikasi seroprevalensi trichinellosis pada babi belum pernah dilaporkan di Provinsi Nusa Tenggara Timur khususnya Kota Kupang. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi seroprevalensi trichinellosis pada babi di wilayah Kota Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian studi cross sectional dilakukan melalui pemeriksaan terhadap 376 sampel darah, yang diambil dari sejumlah babi di tempat pemotongan Oeba Kupang menggunakan metode pengambilan contoh acak sederhana. Sampel darah diuji dengan metode indirect ELISA menggunakan kit diagnostik ID Screen® Trichinella indirect multi-species ELISA dari ID-VET Perancis. Kehadiran antibodi, menyebabkan larutan biru yang tampak menjadi kuning setelah penambahan larutan. Jika tidak ada antibody maka tidak ada warna yang muncul. Microplate dibaca pada optical density (OD) 450 nm. Hasil pemeriksaan dengan metode indirect ELISA menunjukkan 3 serum sampel positif dengan seroprevalensi sebesar 0.8 %. Kehadiran Trichinella pada babi di Kota Kupang dapat menjadi ancaman terhadap kesehatan manusia.

Kata kunci : cross sectional study, indirect ELISA, seroprevalesi, trichinellosis


(29)

Pendahuluan

Trichinella merupakan salah satu nematoda parasit zoonosis yang terbagi

dalam 8 spesies berdasarkan studi yang dilakukan terhadap diversitas genetik,

zoogeografi serta penyidikan epidemiologi (Kapel 2001). Duabelas taksonomi

secara genotip menggambarkan 2 klas berbeda yang ditandai oleh kehadiran atau ketiadaan kapsul kolagen dalam otot (Zarlenga 2006). Genotip Trichinella

menampilkan encapsulated hanya pada jaringan otot mamalia, serta yang lainnya tidak menampilkan encapsulated (non encapsulated) setelah diferensiasi sel otot pada mamalia yang terinfeksi, burung (satu spesies), serta beberapa reptil (Pozio dan Murrell2006).

Kehadiran Trichinella pada peternakan babi diakibatkan kurangnya kebersihan serta rendahnya biosekuriti dalam sistem manajemen peternakan. Babi dapat terinfeksi ketika memakan sampah dari dapur yang mengandung daging terkontaminasi Trichinella, limbah tempat pemotongan babi yang terinfeksi

Trichinella, terinfeksi oleh satwa liar, ataupun ketika ternak babi mengais bangkai

babi yang terinfeksi, serta babi terinfeksi oleh hewan pengerat atau satwa liar lainnya (Kapel dan Gamble 2000). Prevalensi infeksi Trichinella pada babi sangat tinggi di China yaitu lebih dari 30%, disamping itu dari informasi yang dilaporkan, anjing terinfeksi Trichinella memainkan peranan penting dalam epidemiologi trichinellosis pada manusia (Gottstein et al. 2009). Di beberapa negara Eropa, Trichinella hampir sepenuhnya tidak ditemukan pada pemeriksaan daging babi. Tahun 1999 hingga tahun 2003 di Jerman, hanya ditemukan 1 babi terinfeksi hasil pemeriksaan dari 212 juta babi (Kociecka 2000). Hasil pemeriksaan terhadap Trichinella pada  300 ribu babi yang diproduksi dalam ruang (kandang tertutup) di Denmark antara tahun 1990 hingga tahun 2005 menunjukkan > 95% tanpa temuan positif (Dupouy-Camet 2006).

Beberapa prosedur uji dapat dilakukan untuk mendiagnosa kasus yang dicurigai akibat infeksi Trichinella, meskipun sebagian besar kasus trichinellosis dengan gejala klinis asimptomatis. Hasil positif jelas terlihat pada pemeriksan kulit dan pemeriksaan serologis. Demikian juga pemeriksaan secara intradermal dimana pemeriksaan ini sangat sensitif dan hasilnya dapat diketahui dalam waktu kurang dari satu jam. Beberapa prosedur pemeriksaan serologis lainnya juga memberikan hasil yang sensitif seperti uji flokulasi dan uji aglutinasi. Namun hasil uji serologis memberikan hasil yang kurang menyakinkan atau hasil pemeriksaan negatif jika dilakukan pada tahap awal infeksi penyakit. Pemeriksaan dengan metode ELISA dapat mendeteksi antibodi anti-Trichinella

paling cepat 12 hari setelah infeksi (Bogitsh et al. 2005).

Metode pemeriksaan ELISA lebih mudah untuk dilakukan, dibandingkan dengan immunofluorescence antibody test (IFAT), western blot analysis (WBA),

complement fixation test (CFT) dan haemagglutination test (HAT). Metode

ELISA direkomendasikan untuk program surveilans kelompok serta berguna untuk pemeriksaan transmisi berkelanjutan Trichinella di tingkat peternakan. Namun metode ELISA kurang sensitif untuk pemeriksaan ternak babi yang terinfeksi pada tahap awal atau pada tingkat infeksi yang lambat. Hal inilah yang menjadi alasan metode serologi tidak dapat digunakan untuk menggantikan pemeriksaan secara langsung, misalnya dengan pooled sample digestion method

dan metoda kompresi dalam mendeteksi larva Trichinella. Namun demikian dapat 17


(30)

direkomendasikan untuk penggunaan praktis pada pengawasan di peternakan babi (Mulia et al. 1999).

Bahan dan Metoda Waktu dan Tempat Penelitian

Pengambilan darah babi untuk sampel serum dilakukan di RPH Oeba. Darah diambil (± 10 ml) dari vena jugularis, disimpan dalam tabung yang diletakkan dalam standar kayu, kemudian dibawa ke Laboratorium Mikro POLITANI untuk didiamkan  24 jam (semalam) pada refrigerator (kulkas). Setelah semalam, sampel darah disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 5 menit untuk mendapatkan serum uji. Pemeriksaan serum dilakukan di BBALITVET Bogor. Jangka waktu penelitian dimulai dari bulan Juli 2013 sampai dengan bulan Juli 2014.

Desain dan Populasi Sampel Penelitian

Penelitian ini merupakan studi cross-sectional. Pengambilan darah dilakukan dengan cara pengambilan contoh acak sederhana. Banyaknya sampel ditentukan dengan tingkat kepercayaan 95%, prevalensi 30% dengan software

Win Episcope 2.0, serta tingkat kesalahan 5%, sehingga total sampel darah yang diambil sebanyak 376 sampel darah.

Indirect ELISA

Deteksi antibodi anti-Ttrichinella dilakukan dengan metode indirect ELISA menggunakan Kit diagnostik ID Screen® Trichinella indirect multi-species ELISA dari ID-VET Perancis. Prinsip dasar dari kit ini adalah penggunaan antigen

excretory/secretory (E/S) untuk mendeteksi antibodi terhadap Trichinella spiralis

serta beberapa spesies lain termasuk Trichinella pseudospiralis, Trichinella britovi

dan Trichinella native. Kit ini dapat digunakan pada beberapa jenis hewan

diantaranya kuda, babi, dan babi liar, serta jus daging. Pemeriksaan serologis digunakan untuk sertifikasi pengawasan bebas Trichinella (Gamble et al. 2000), serta pengawasan infeksi dan penyelidikan epidemiologi pada populasi hewan, khususnya di wilayah dengan prevalensi penyakit tinggi (Gamble et al. 2004).

Komponen kit dalam sediaan ID Screen ® Trichinellaindirect multi-species

ELISA terdiri dari microplate yang dilapisi dengan antigen Trichinella E/S, konsentran konjugat (10X), kontrol positif, kontrol negatif, larutan buffer 2, larutan buffer 3, concentrated wash solution (20X), larutan substrat, stop solution

(H2SO4 0,5 M).

Prosedur pengujian yang dilakukan dengan urutan sebagai berikut; semua reagen dibiarkan pada suhu kamar (21 °C ± 5 °C) sebelum digunakan. Reagen dihomogenisasi dengan vortex. Sampel serum dan plasma diencerkan 1:20. Tambahkan larutan buffer 2 190 μl dan 10 μl dari kontrol negatif untuk sumur A1 dan B1. Selanjutnya tambahkan 190 μl larutan buffer 2 dan 10 μl dari kontrol positif untuk sumur C1 dan D1. Tambahkan 190 μl larutan buffer 2 dan 10 μl dari masing-masing sampel yang akan diuji ke sumur yang tersisa. Selanjutnya diinkubasi 45 menit ± 4 menit pada 21 °C (± 5 °C ). Kemudian setiap sumur dikosongkan. Selanjutnya cuci setiap sumur 3 kali dengan 300 μl larutan 18


(31)

pencuci. Hindari pengeringan sumur antara pembilasan. Konjugat 1X disiapkan dengan mengencerkan konsentrat konjugat 10X sampai 1:10 di larutan buffer 3. Penambahan 100 μl dari konjugat 1X pada setiap lubang, inkubasi 30 menit ± menit pada 21 °C ( ± 5 °C ). Kosongkan sumur. Pencucian setiap sumur 3 kali dengan 300 ml larutan pencuci. Pengeringan dihindari disetiap sumur saat pembilasan. Tambahkan 100 μl larutan substrat untuk setiap sumur dan inkubasi 15 menit ± 2 menit pada 21 ° C ± 5 °C ) dalam gelap. Penambahan 100 μl stop

solution pada tiap sumur untuk menghentikan reaksi. Selanjutnya dilakukan

pembacaan OD pada 450 nm.

Intrepretasi Hasil dan Analisa Data

Nilai rata-rata dari OD kontrol positif (ODPC) lebih besar dari 0.350. Rasio rata-rata OD nilai kontrol positif dan negatif (ODPC dan ODNC) lebih besar dari 3.5. Untuk setiap sampel, rasio S/P (S/P %): [ODSample - ODNC] / [ODPC - ODNC] x 100. Sampel kemudian diklasifikasikan sebagai positif, negatif atau meragukan tergantung hasil S/P %, seperti yang ditunjukkan Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi sampel serum berdasarkan hasil S/P %

Hasil Status

S/P %  50% Negatif

50% < S/P < 60% Diragukan

S/P %  60 % Positif

Hasil dan Pembahasan

Pengujian dengan metode indirect ELISA terhadap 376 sampel serum ditemukan 3 sampel positif (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil pemeriksaan positif (+) serum uji dengan metode indirect ELISA Kode

sampel

Tanggal pengambilan

Status babi

S/P% Hasil

Ras Umur/Sex

42 16/11/2013 Lokal Diatas 1,5 th /Jantan

94 (+)

105 8/12/2013 Eksotik Diatas 3 th /Betina

69 (+)

193 18/01/2014 Triplecross Diatas 3 th /Betina

112 (+)

Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa seroprevalensi trichinellosis pada babi di Kota Kupang adalah 0.8%. Seroprevalensi infeksi Trichinella pada babi di Thailand yang dilaporkan adalah sebesar 4%, Vietnam sebesar 19.9% serta Malaysia sebesar 2% (Chandrawathani et al. 2010). Hasil penelitian Wang dan Cui (2001), pada babi di Cina didapatkan seroprevalensi sebesar 0.09%.


(32)

Seroprevalensi pada tempat pemotongan babi di daerah pengungan Kathmandu Nepal sebesar 1% (Sapkota et al. 2006).

Trichinellosis yang terjadi pada babi di Kota Kupang terkait dengan profil peternakan babi di Kota Kupang yang ada saat ini diantaranya manajemen pemeliharaan yang masih tradisional seperti sebagian besar peternak babi di Kota Kupang memberikan pakan dari sisa rumah atau sisa restoran untuk pakan babinya, kandang babi sebagian besar peternak terbuat dari bahan kayu dengan bangunan sederhana yang memungkinkan seringnya kontak dengan tikus. Penerapan manajemen kesehatan juga tidak rutin dilakukan seperti pemeriksaan kesehatan babi, pemberian obat cacing, dll, serta kurangnya informasi atau ketidaktahuan peternak akan trichinellosis dapat menjadi faktor penyebab terjadinya trichinellosis di Kota kupang. Munculnya kejadian trichinellosis berkaitan dengan praktik dalam pengelolaan manajemen peternakan (Gamble dan Bush 1999; Gamble et al. 1999). Babi dapat terinfeksi dengan Trichinella lewat makan daging setengah matang atau mentah yang mengandung larva infektif

Trichinella. Sumber infeksi selain daging mentah adalah makan sisa makanan

yang mengandung larva infektif atau kontak dengan satwa liar, bangkai satwa liar, atau tikus (Gamble 2011). Urquhart et al. (1996), infeksi pada babi diakibatkan pemberian pakan, memakan bangkai hewan pengerat contohnya tikus terinfeksi, infestasi oleh kotoran dari hewan yang terinfeksi serta oleh pakan sisa makanan manusia yang dimasak tidak sempurna. Faktor risiko yang berperan penting dalam penularan Trichinella pada peternakan babi dan ternak rentan lainnya diantaranya makan dari sisa makanan yang terinfeksi, dan paparan dari bangkai babi, tikus dan spesies satwa liar lainnya (OIE 2012).

Simpulan

Seroprevalensi trichinellosis pada babi di Kota Kupang sebesar 0.8%. Kejadian trichinellosis yang ditemukan pada babi berkaitan dengan praktik pengolalaan manajemen peternakan. Ditemukannya trichinellosis di Kota Kupang pada ternak babi dapat menjadi ancaman kesehatan manusia.


(33)

4

PROFIL PETERNAKAN BABI DI KOTA KUPANG

DAN POTENSI PENULARAN TRICHINELLOSIS

Abstract

Trichinellosis is a parasitic disease of humans caused by eating raw from domestic or game animals infected by Trichinella spp. Human trichinellosis contracted from commercial supplies of meat have been most often linked to infected pigs, wild boar, or horses. Trichinella is a nematode which has an atypical direct life cycle that does not involve stages developing outside of the host. This study was conducted to see the profile of pig farms in the city of Kupang and the potential transmission of trichinellosis. The data was derived from interview 60 farmers in 6 sub districts in city of Kupang by using a structured questionnaire and analyzed descriptively. The results of the questionnaire survey showed that many race of pig from a mixed race, the seeds come from traditional breeding. Feed rest of the home or restaurant are usually directly given to the pigs. The presence of rat in around of the cage often. All respondents were interviewed did not know or hear about trichinellosis disease which can be one cause of the spread of trichinellosis in city of Kupang.

Keywords : pig farm, structured questionnaire, trichinellosis

Abstrak

Trichinellosis adalah penyakit parasit yang terjadi pada manusia akibat konsumsi daging mentah dari ternak atau daging hewan asal buruaan yang terinfeksi Trichinella spp. Trichinellosis pada manusia ditularkan lewat suplai daging komersial yang terinfeksi terutama dari babi, babi hutan, atau kuda.

Trichinella merupakan nematoda yang memiliki siklus hidup langsung atipikal

serta tidak melibatkan tahap perkembangan di luar host. Penelitian ini dilakukan untuk melihat profil peternakan babi di Kota Kupang serta potensi penularan trichinellosis. Data diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap 60 peternak di 6 Kecamatan di wilayah Kota Kupang dengan menggunakan kuisioner terstruktur dan dianalisa secara deskripsi. Hasil wawancara responden menunjukkan sebagian besar ras babi yang dipelihara peternak merupakan ras campuran, bibit babi berasal dari peternakan tradisional. Makanan sisa rumahan atau restoran biasanya langsung diberikan kepada babi. Kehadiran tikus di kandang babi cukup banyak. Semua responden yang diwawancarai tidak tahu dan tidak pernah mendengar tentang trichinellosis yang dapat menjadi salah satu penyebab penyebaran trichinellosis di Kota Kupang.

Kata Kunci : peternakan babi, kuisioner terstruktur, trichinellosis


(34)

Pendahuluan

Kota Kupang merupakan daerah perkotaan yang semakin padat penduduknya, sehingga usaha ternak yang ingin dikembangkan dalam wilayah Kota Kupang harus mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Populasi ternak babi di Kota Kupang sebanyak 34977 ekor, yang tersebar di enam kecamatan yaitu Kecamatan Kelapa Lima dengan populasi sebanyak 11145 ekor, Kecamatan Alak 6045 ekor, Kecamatan Oebobo 9131 ekor, Kecamatan Maulafa 7445 ekor, Kecamatan Kotaraja 830 ekor, serta Kecamatan Kota Lama populasinya sebanyak 381 ekor (DISTANNAKBUNHUT Kota Kupang 2011). Kebutuhan masyarakat akan produk peternakan, khususnya daging babi cukup tinggi, terlihat dari jumlah pemotongan ternak babi di RPH Oeba pada tahun 2011 adalah sebanyak 4304 ekor (DISTANNAKBUNHUT Kota Kupang 2011). Jumlah populasi babi yang besar serta pemotongan babi yang tinggi di Kota Kupang berpotensi terhadap timbulnya kasus atau kejadian penyakit salah satunya trichinellosis. Kurangnya praktik higienis yang memadai dalam produksi peternakan serta implementasi pemeriksaan Trichinella pada pemotongan ternak merupakan faktor penularan utama trichinellosis (Gottstein et al. 2009; Wang et al. 2007). Hewan atau ternak yang memiliki akses ke lingkungan, diberi makan dengan pakan berpotensi terinfeksi Trichinella akan menjadi ancaman kesehatan masyarakat, dan harus diperiksa secara individual di tempat pemotongan seperti babi, kuda, babi liar. Salah satu contoh terbaik dari keberhasilan tindakan kesehatan masyarakat veteriner untuk mencegah penularan penyakit pada manusia adalah pengawasan atau kontrol Trichinella pada tempat pemotongan babi (van Knapen 2000).

Pola pemeliharaan babi di wilayah Kota Kupang saat ini diarahkan ke tujuan utama untuk pembibitan dan penggemukan sehingga sangat rentan dalam peningkatan produksi apabila terjadi isu atau kasus penyakit terutama yang terkait atau berhubungan dengan penyakit yang bersifat zoonosis. Kemungkinan terjadi trichinellosis pada babi serta berpotensi menyebar di wilayah di Kota Kupang dan sekitarnya dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain rendahnya penerapan manajemen peternakan dengan baik seperti perkandangan yang masih dibangun seadanya, higienis serta sanitasi lingkungan disekitar kandang, rendahnya kesadaran peternak akan pencegahan penyakit pada babi. Hal lain yang bisa dilihat pada siklus hidup parasit ini di Kota Kupang yaitu babi peliharaan biasanya diberi makan sisa-sisa makanan (termasuk daging babi sisa yang mungkin terinfeksi Trichinella spp. dan babi yang memakan tikus yang terinfeksi parasit ini (karena tikus memakan daging babi mentah yang terinfeksi (siklus sinantropik zoonotik).

Populasi yang cukup banyak serta permintaan akan daging babi yang tinggi serta pola manajemen pemeliharaan yang belum diterapkan secara baik berpotensi terhadap munculnya trichinellosis di Kota Kupang. Survei secara terstruktur dengan kuisioner terhadap peternak babi perlu dilakukan untuk melihat secara garis besar profil peternakan babi yang ada di Kota Kupang serta faktor-faktor yang berpotensi terhadap penularan trichinellosis.


(35)

Bahan dan Metode

Survei kuisioner dilakukan untuk melihat profil peternakan babi di Kota Kupang dan manajemen pemeliharaannya. Responden dalam survei kuisioner ini adalah para peternak babi yang tersebar di enam kelurahan di Kota Kupang. Survei kuisioner dan analisa data dilakukan bulan Juni 2013 sampai dengan Juni 2014. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara pada responden peternak sebanyak 60 orang responden melalui survei menggunakan kuisioner yang terstruktur. Pemilihan responden berdasarkan beberapa kriteria seperti lamanya beternak, populasi babi yang dipelihara, serta manajemen pemeliharaan yang dilakukan seperti perkandangan, ketersediaan pakan. Setiap kecamatan dipilih 10 responden peternak, jika di salah satu kecamatan kurang dari responden yang ditargetkan di lengkapi dengan responden dari kecamatan lainnya. Pertanyaan dalam daftar isian mencakup aspek karakteristik responden, manajemen pemeliharaan, aspek higiene dan sanitasi serta pencegahan penyakit. Daftar isian pertanyaaan untuk para responden dapat dilihat pada Lampiran 1. Sebelum dilakukan pengambilan data kuisioner dilakukan validasi data kuisioner untuk melihat sejauh mana tingkat validitas dan reabilitas dari pertanyaan pertanyaan yang diajukan.

Hasil dan Pembahasan Karakteristik Responden Peternak Babi

Data karakteristik responden disajikan dalam Tabel 4. Sebagian besar responden peternak babi di Kota Kupang adalah laki-laki (71.7 % ) dengan umur berkisar antara 40- 49 tahun (26.7 %) dan diatas 50 tahun (36.7%). Tingkat pendidikan peternak hasil survei responden bervariasi dan yang tertinggi rata-rata merupakan lulusan SMA dengan angka 38.3 %. Pendidikan masyarakat yang cukup (tamatan SMA) memungkinkan untuk diberi informasi terkait bahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan serta ekonomi masyarakat terkait jika terjadi kasus trichinellosis. Hasil survei juga terlihat rata-rata para peternak sudah memulai usaha atau memelihara ternak babi dengan tingkat yang bervariasi namun mayoritas peternak sudah memulai usaha beternak babi lebih dari 5 tahun (43.3 %). Pencegahan dan pengendalian trichinellosis adalah masalah pendidikan dan kesehatan di lingkungan dan di rumah (Foreyt 2013). Hal yang penting juga dari tabel adalah kecenderungan peternak babi di Kota Kupang merupakan peternak dengan skala usaha kecil dimana terlihat dari jumlah orang yang terlibat dalam usaha lebih kecil dari 5 orang (93.3%).

Kejadian trichinellosis sering terjadi pada peternakan dengan skala usaha kecil hal ini disebabkan peternakan skala kecil rendah dalam manajemen kontrol terhadap penyakit. Peternakan dengan skala besar dan modern berdampak pada kontrol terhadap pengendalian trichinellosis (van Knapen 2000). Di bawah kondisi biosecurity ketat dimungkinkan untuk menjamin ternak babi bebas dari

Trichinella. Siklus hidup Trichinella tidak akan terjadi pada sistem peternakan

modern dengan dasar bahwa tidak ada risiko transmisi Trichinella ke babi (Pozio

et al. 1996). Sistem peternakan modern menggunakan langkah-langkah higienis

dan aturan ketat pada good farming practices (GFP) yang digabungkan dengan 23


(36)

good veterinary practices (GVP) sehingga mengabaikan risiko penularan

Trichinella (van Knapen 2000).

Tabel 4 Karakteristik peternak babi di Kota Kupang

No Keterangan Jumlah %

1 Jenis kelamin

Laki-laki 43 71.7

Perempuan 17 28.3

2 Umur

20 – 29 th 9 15.0

30 - 39 13 21.7

40 - 49 16 26.7

>50 22 36.7

3 Pendidikan

Tidak sekolah / tidak lulus SD 15 25.0

Lulus SD 12 20.0

Lulus SMP 3 5.0

Lulus SMA 23 38.3

Sarjana/pascasarjana 7 11.7

4 Lama usaha beternak babi

0-2 tahun 14 23.3

2-3 tahun 11 18.3

3-5 tahun 9 15.0

>5 tahun 26 43.3

5 Jumlah orang yang terlibat dalam usaha

<5 orang 56 93.3

5-10 orang 4 6.7

>10 orang 0 0

Aspek Manajemen Pemeliharaan dan Pencegahan Penyakit Parasit Keadaan Ternak Babi

Aspek manajemen pemeliharaan yang dilihat serta diamati dalam penelitian ini meliputi jenis babi dan asal babi yang dipelihara, serta sumber pakan yang diberikan ke babi (Tabel 5). Jenis babi yang dipelihara oleh peternak dari berbagai jenis, dari hasil survei kuisioner responden, babi dengan jenis ras campuran yang tertinggi dengan angka 45%, diikuti jenis babi lokal sebesar 40%. Sebagian besar babi yang dipelihara, bibit atau anakannya berasal atau dibeli dari peternak rumahan atau peternak tradisional.

Pakan yang diberikan pada babi dari pakan komersial hasil olahan pabrik, hasil sisa rumahan atau restoran atau juga hasil limbah sisa sayur atau makanan yang dimakan oleh peternak. Sebagian besar pakan sisa rumahan atau restoran biasanya langsung diberikan pada babinya serta ada juga yang dicampur dengan pakan lainnya misalnya dedak atau pakan komersial.


(37)

Tabel 5 Keadaan ternak babi di Kota Kupang serta sumber pakan yang diberikan

No Keterangan Jumlah %

1 Jenis babi/Ras babi yang dipelihara

Ras lokal 24 40.0

Ras eksotik 2 3.3

Ras campuran 27 45.0

Berbagai tipe ras 7 11.7

2 Asal ternak babi yang dipelihara

Peternakan komersial di daerah NTT 11 18.3

Peternakan komersial di luar NTT 0 0

Peternak tradisional/peternak rumahan 47 78.3

Pasar hewan 0 0

Lainnya 2 3.3

3 Jenis bahan pakan yang diberikan

Pakan komersial 17 28.3

Hasil pengolahan sendiri 6 10.0

Pakan sisa (rumahan, restoran, dll) 13 21.7 Lainnya (makanan sisa, sayuran, dedak,

keladi, ampas tahu, dll)

24 40.0

4 Jika merupakan pakan sisa makanan yang diberikan, bagaimana cara pemberiannya ke babi?

Dimasak terlebih dahulu sebelum diberikan 15 25.0 Tidak dimasak dan langsung diberikan 23 38.3 Dicampur dengan pakan lainnya tanpa

dimasak

15 25.0

Lainnya 7 11.7

Kejadian trichinellosis terkait erat dengan praktik pengelolaan manajemen peternakan babi (Gamble dan Bush 1999; Gamble et al. 1999). Babi dapat terinfeksi dengan Trichinella lewat makan daging setengah matang atau mentah yang mengandung larva infektif. Sumber infeksi selain daging mentah adalah produk sampah rumah tangga atau restoran, serta kontak dengan satwa liar, bangkai satwa liar, atau tikus (Gamble 2011).

Manajemen Kesehatan

Peubah-peubah yang terkait dengan manajemen kesehatan adalah lokasi pemeliharaan, kondisi kandang hingga pencegahan penyakit parasit yang dilakukan. Survei terkait manajemen kesehatan dapat dilihat pada Tabel 6.

Aspek manajemen kesehatan yang terlihat dari para responden peternak adalah bahwa sebagian besar peternak babi di wilayah Kota Kupang memelihara babinya dalam kandang (98.3%) dengan bangunan kandang semi permanen berbahan kayu (71.7%).


(38)

Tabel 6 Manajemen kesehatan pada peternakan babi di Kota Kupang

No Keterangan Jumlah %

1 Lokasi pemeliharaan babi

Di dalam kandang 59 98.3

Di dalam rumah 0 0

Di lepas di luar kandang 1 1.7

Lainnya (diikat di samping rumah) 0 0

2 Kondisi kandang

Kandang permanen dari semen beton 15 25.0 Kandang semi permanen berbahan kayu 43 71.7 Kandang umbaran batas wilayah tertentu 0 0 Lainnya (berbatasan dengan dapur rumah

tinggal)

2 3.3

3 Pengaturan pemeliharaan babi

Pemisahan pemeliharaan menurut umur dan jenis kelamin

50 83.3

Dicampur tanpa pemisahan menurut umur dan jenis kelamin

10 16.7

4 Hewan yang dipelihara selain babi seperti anjing, sapi, kambing dll dan cara pemeliharaannya

Digabung dalam satu kandang 1 1.7

Kandang terpisah 24 40.0

Lainnya (tidak digabung namun anjing, kambing dapat masuk ke kandang babi atau sebaliknya serta babi dan hewan lainnya sering kontak)

35 58.3

5 Frekuensi pemeriksaan kesehatan

< sebulan sekali 0 0

>1 bulan s/d <3 bulan 1 1.7

>3 bulan s/d <6 bulan 5 8.3

Lainnya (kondisi tertentu, tidak pernah diperiksa)

54 90.0

6 Jika terdapat babi yang mati dalam pemeliharaan

Dikubur 30 50.0

Dibakar 3 5.0

Bangkainya dibuang ke tempat tertentu (tempat sampah)

5 8.3

Tidak pernah mati 22 36.7

7 Jika dalam pemeliharaan rutin diberikan obat cacing, maka obat cacing yang diberikan adalah

Golongan Benzimidazole 4 6.7

Preparat ivermectin 3 5.0

Preparat dietylcarbamazine 0 0

Tidak pernah diberikan obat cacing 53 88.3 26


(39)

Sistem pemeliharaannya, sebagian besar memelihara ternak babi dengan pemisahan menurut umur dan jenis kelamin (83.3%). Hal penting yang terlihat dari aspek manajemen kesehatan yaitu tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin terhadap babi yang dipelihara (90.0%). Terkait dengan pencegahan terhadap infeksi penyakit asal parasit seperti penyakit trichinellosis, 88.3% dari responden peternak tidak pernah memberikan obat cacing. Pencegahan terhadap penyakit wajib dilakukan peternak babi agar ternaknya terhindar dari penyakit, contohya secara periodik sesuai dengan aturan pakai yang disarankan memberikan obat cacing atau anti parasit. Beberapa obat cacing dari bahan kimia telah terbukti aman mengendalikan parasit internal pada babi, selama instruksi dari pabriknya secara ketat diikuti. Beberapa obat cacing yang paling efektif diantaranya dichlorvos, levamisole, dan pirantel (Meyer dan Brendemuhl 2003). Peternak babi di Kota Kupang harus diberikan informasi terkait perlunya pemberian obat cacing secara teratur agar babinya terhindar dari penularan trichinellosis.

Aspek Higiene dan Sanitasi Kandang Serta Pengolahan Limbah Sanitasi dan Desinfeksi Kandang

Aspek higiene dan sanitasi kandang serta pengolahan limbah hasil dari limbah ternak peliharaannya seperti babi berperan penting terhadap penularan suatu penyakit, dimana kondisi kandang serta kebersihan kandang sangat berpengaruh terhadap penularan penyakit. Kontrol sanitasi dan hygiene yang ketat akan menjamin ternak babi bebas Trichinella. Hal ini telah dibuktikan bahwa siklus hidup Trichinella tidak akan terjadi pada sistem peternakan modern dengan kontrol dan pengawasan yang ketat dalam pemeliharaan diantaranya sanitasi dan higienis, sehingga tidak adanya risiko untuk transmisi Trichinella ke babi (Pozio et al. 1996). Kondisi kandang yang kotor serta lembab memudahkan dalam penularan penyakit.

Data serta pengamatan langsung di lapangan umumnya para peternak babi di Kota Kupang membersihkan kandang serta tempat makan dan minumnya cukup baik, yang mana para peternak secara rutin kebanyakan membersihkan kandangnya sebelum pemberian makan dan minum pada babinya. Para peternak responden dari aspek sanitasi dan desinfeksi kandang dapat dikatakan baik dimana sebagian besar dari peternak responden secara teratur membersihkan kandang dan tempat makan babi dalam pemeliharaannya. Rata-rata peternak responden membersihkan kandang dan tempat makannya pagi dan sore saat mau memberikan makan dan minum pada babinya. Hasil survei peternak responden terkait aspek higieni dan sanitasi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sanitasi dan desinfeksi kandang pada peternakan babi di Kota Kupang

No Keterangan Jumlah %

1 Apakah tempat makan dan minum dibersihkan secara teratur

Ya 59 98.3

Tidak 1 1.7

2 Apakah kandang dibersihkan secara rutin

Ya 56 93.3

Tidak 4 6.7


(40)

3 Frekuensi pembersihan tempat makan dan minum

Pagi dan sore 47 78.3

Sehari sekali 5 8.3

2-3 kali sehari 2 3.3

> 3 hari s/d seminggu 1 1.7

Tidak tentu 5 8.3

Pengolahan Limbah

Sebagian besar peternak babi di Kota Kupang memelihara babi di area yang berdekatan dengan rumah bahkan sebagian peternak membangun kandang berbatasan langsung dengan tembok rumah tinggalnya. Data hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan rata-rata peternak memiliki saluran khusus limbah atau dibuang ke selokan yang dibuat secara sederhana yang kegunaan utamanya dikhususkan terutama untuk menghindari bau dari hasil pembuangan kotoran babi. Pengolahan limbah yang dilakukan oleh para peternak responden terlihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Pengolahan limbah oleh peternak babi di Kota Kupang

No Keterangan Jumlah %

1 Limbah cair

Dibuang disaluran khusus 24 40.0

Dibuang ke selokan 15 25.0

Ada tempat penampungan khusus dan diolah

1 1.7

Lainnya (dibiarkan saja) 20 33.3

2 Limbah padat

Ada tempat khusus yang disediakan oleh peternak

23 38.3

Ditempatkan dalam kardus atau karung 1 1.7 Dikumpulkan dan diolah sebagai pupuk

organik

16 26.7

Lainnya (dibiarkan saja, dibuang ke selokan)

20 33.3

Data dari tabel pengolahan limbah diatas terlihat bahwa tidak semua peternak memanfaatkan hasil limbah dari ternak babinya. Sebagian besar peternak membiarkan limbah kotaran babi baik limbah padat atau cair (33.3%). Juga 25% dari responden peternak, limbah cairnya dibuang atau dialirkan ke selokan. Hal ini dapat menimbulkan penularan ke ternak babi atau ternak lainnya di sekitar tempat pemeliharaan babi. Selain pemberian makan yang benar untuk babi, seperti memasak makanan sisa dari rumahan atau restoran, metode-metode tertentu dalam manajemen peternakan dapat digunakan untuk mencegah trichinellosis pada babi. Salah satu metode adalah isolasi total, dimana babi dipelihara sepenuhnya di dalam ruangan. Hal ini untuk membatasi jumlah paparan Trichinella ke babi yang ditransmisikan melalui sumber pakan yang tidak 28


(41)

higienis seperti sisa makanan dan hewan pembawa seperti rodensia (Meyer dan Brendemuhl 2003).

Keberadaan Hewan Pengerat dan Hewan Berpotensi Penular Trichinellosis Data hasil survei kuisioner pada peternak terlihat bahwa dari jawaban yang diberikan para peternak terhadap pertanyaan yang diajukan umumnya para peternak mengatakan sering melihat keberadaan tikus dikandangnya (86.67%). Data keberadaan hewan pengerat dan hewan berpotensi penular trichinellosis dapat dilihat Tabel 9.

Tabel 9 Keberadaan hewan pengerat dan hewan lainnya di sekitar kandang

No Keterangan Jumlah %

1 Apakah sering melihat hewan pengerat (tikus) di sekitar kandang ?

Tidak pernah 1 1.7

Selalu 7 11.7

Sering 52 86.7

2 Cara pengendalian tikus

Dibiarkan saja 6 10.0

Menggunakan perangkap 2 3.3

Menggunakan racun tikus 16 26.7

Dibunuh langsung secara mekanis 8 13.3

Lainnya (tidak tentu; kadang dibiarkan, menggunakan perangkap tapi tikus tetap bebas keliaran)

28 46.7

3 Apakah hewan lain seperti babi liar, anjing, dll masuk ke kandang?

Sering 12 20.0

Selalu 8 13.3

Tidak pernah 40 66.7

Hewan pengerat merupakan reservoir utama penularan trichinellosis. Studi epidemiologi pada manusia akibat infeksi trichinellosis dinyatakan bahwa tikus dan babi berperan penting dalam penularan penyakit trichinellosis (Kaewpitoon et al. 2006). Urquhart et al. (1996), infeksi pada babi diakibatkan pemberian pakan, memakan bangkai hewan pengerat contohnya tikus terinfeksi, infestasi oleh kotoran dari hewan yang terinfeksi serta oleh pakan tidak steril sisa makanan manusia. Babi dan ternak lainnya juga harus dijaga sehingga tidak memakan bangkai hewan mati, seperti tikus, yang mungkin mati di kandang babi serta dapat membawa penyakit (CDC 2012).

Aspek Penyuluhan dan Sumber Informasi

Tingkat prevalensi suatu penyakit di suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat akan penyakit tersebut. Wawancara terhadap 60 responden peternak terkait pengetahuan mereka akan trichinellosis dilakukan untuk mengetahui apakah peternak mengetahui atau pernah mendengar trichinellosis.


(42)

Semua responden yang di wawancarai tidak satupun yang mengetahui atau mendengar tentang trichinellosis. Pengetahuan peternak yang rendah atau tidak mengetahui sama sekali tentang trichinellosis menjadi salah satu faktor penyebab adanya kejadian penyakit trichinellosis di Kota Kupang. Masyarakat di wilayah NTT khususnya Kupang perlu diberikan informasi pengetahuan tentang trichinellosis serta bahaya yang ditimbulkannya serta cara pencegahannya.

Simpulan

Ras babi yang banyak dipelihara peternak di Kota Kupang merupakan ras campuran. Sebagian besar babi yang dipelihara, bibit atau anakannya berasal atau dibeli dari peternakan tradisional. Pakan yang diberikan pada babi bervariasi baik pakan komersial hasil olahan pabrik, hasil sisa rumahan atau restoran. Sebagian besar pakan sisa rumahan atau restoran biasanya langsung diberikan pada babinya atau dicampur dengan pakan lainnya misalnya dedak atau pakan komersil. Pemberian pakan pada babi dari sisa rumahan atau restoran yang tidak higienis berpotensi terjadi penularan trichinellosis.

Sebagian besar peternak babi di wilayah Kota Kupang memelihara babinya dalam kandang dengan bangunan kandang semi permanen berbahan kayu. Selain itu tidak dilakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin terhadap babi yang dipelihara. Keberadaan tikus di sekitar kandang cukup banyak yang mana peternak sering melihat keberadaan tikus di kandang atau sekitar kandang. Semua responden yang diwawancarai belum mengetahui atau mendengar tentang penyakit trichinellosis yang dapat menjadi salah satu sebab terjadinya penyebaran trichinellosis.


(1)

Lampiran 4 Poster hasil penelitian yang ditampilkan dalam The 3 Joint International Meetings 2014


(2)

Lampiran 5 Validasi dan reabilitas data kuisioner responden peternak


(3)


(4)

(5)

(6)