Analisis Debit Sungai Dengan Model Swat Di Das Batanghari Hilir, Provinsi Jambi

ANALISIS DEBIT SUNGAI DENGAN MODEL SWAT
DI DAS BATANGHARI HILIR, PROVINSI JAMBI

BETRIA ZAHARA

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Debit Sungai
dengan Model SWAT di DAS Batanghari Hilir, Provinsi Jambi adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.


Bogor, Juni 2015
Betria Zahara
NIM F44100062

ABSTRAK
BETRIA ZAHARA. Analisis Debit Sungai Dengan Model SWAT Di DAS
Batanghari Hilir, Provinsi Jambi. Dibimbing oleh NORA HERDIANA
PANDJAITAN.
Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada meningkatnya kebutuhan air
baku dan perubahan tata guna lahan. Perubahan penggunaan lahan akan
mengakibatkan perubahan debit aliran yang ada pada suatu DAS. Untuk itu
dilakukan penelitian ini dengan tujuan melakukan analisis debit sungai di Sub DAS
Batanghari Hilir, Provinsi Jambi. Penelitian berlangsung dari bulan Februari hingga
Juli 2015 di wilayah Sub DAS Batanghari Hilir dengan menggunakan model
SWAT. Tahap penelitian dimulai dengan delineasi batas DAS berdasarkan SRTM
DEM, pembentukan HRU, kalibrasi parameter dengan menggunakan tata guna
lahan 2010 dan validasi model. Simulasi dilakukan dengan memasukkan data iklim
tahun 2004-2013. Debit rata-rata harian dengan model yang telah dikalibrasi adalah
270,1 m3/detik sedangkan debit observasi sebesar 359,7 m3/detik. Setelah itu model

hasil kalibrasi tersebut divalidasi dengan menggunakan penggunaan lahan tahun
2013. Debit harian dengan model yang telah divalidasi adalah 422,9 m3/detik
sedangkan debit observasi sebesar 416,5 m3/detik.
Kata Kunci : DAS Batanghari Hilir, debit sungai, kalibrasi dan validasi, model
SWAT, parameter hidrologi

ABSTRACT
BETRIA ZAHARA. Discharge Analysis Using SWAT Model in Batanghari Hilir
Watershed, Jambi Province. Supervised by NORA HERDIANA PANDJAITAN.
An increasing number of population has an impact on the increasing need for
raw water and in land use change. Land use change will lead to changes in flow rates in
a watershed. This research aimed to analyse discharge in Batanghari Hilir Sub
Watershed, Jambi Province. The research was done from February to July 2015 in
the Batanghari Hilir watershed. The research was started with watershed
delineation using SRTM DEM, establishment of HRU, parameter calibration using
land use of 2010 and validation model. The simulation has done by using climate
data of 2004-2013. Mean discharge of calibration model was 270,1 m3/s, while the
observation discharge was 359,7 m3/s. After that calibration model was validated
using land use of 2013. And the result showed that mean discharge of the validation
model was 422,9 m3/s, while observation discharge was 416,5 m3/s.

Keyword : Batanghari Hilir Watershed, calibration and validation, hydrology
parameter, SWAT model, river discharge

ANALISIS DEBIT SUNGAI DENGAN MODEL SWAT
DI DAS BATANGHARI HILIR, PROVINSI JAMBI

BETRIA ZAHARA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

Judul Skripsi : Analisis Debit Sungai dengan Model SWAT di DAS Batanghari
Hilir, Provinsi Jambi

Nama
: Betria Zahara
NIM
: F44100062

Disetujui oleh

Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nora H .Pandjaitan, DEA
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

i

PRAKATA

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Februari sampai Juli 2015 ini ialah
analisis debit, dengan judul Analisis Debit Sungai dengan Model SWAT di Sub
DAS Batanghari Hilir, Provinsi Jambi.
Terima kasih diucapkan kepada Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA selaku
dosen pembimbing serta Ir. Machmud A. R, M.Sc dan Bapak Maulana Ibrahim Rau
S.T M.Si selaku dosen penguji. Ucapkan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah dan ibu atas doa dan kasih sayangnya, rekan-rekan SIL 47 dan SIL 48 atas
semangatnya, serta teman-teman MNH 47 atas bantuannya selama penelitian ini
berlangsung.
Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan selanjutnya.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi berbagai pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2015

Betria Zahara

ii


ii

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iii

DAFTAR GAMBAR

iii

DAFTAR LAMPIRAN

iii

PENDAHULUAN
Latar belakang
Tujuan
Manfaat
Ruang Lingkup


1
1
1
1
2

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool)

2
2
3

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Metode Analisis


5
5
6
6

HASIL dan PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Proses Delineasi Sub DAS
Pembuatan HRU (Hydrological Response Unit)
Simulasi Debit Harian
Kalibrasi dan Validasi Model

8
8
9
10
14
15

SIMPULAN


20

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

42

iii

DAFTAR TABEL
1 File Data Input pada SWAT untuk Analisis Hidrologi
2 Penggunaan Lahan di Sub DAS Batanghari Hilir Tahun 2010

dan 2013
3 Jenis Tanah di Sub DAS Batanghari Hilir
4 Kemiringan Lereng di Sub DAS Batanghari Hilir
5 Koefisien Limpasan untuk Berbagai Kondisi Lahan
6 Nilai p_value Parameter Hidrologi

8
12
12
13
16
18

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10
11
12
13

Peta Administrasi Sub DAS Batanghari Hilir
Peta Delineasi Sub DAS Batanghari Hilir
Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Batanghari Hilir Tahun 2010
Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Batanghari Hilir Tahun 2013
Peta Jenis Tanah di Sub DAS Batanghari Hilir
Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Batanghari Hilir
Simulasi Debit Harian dengan Model yang Belum Dikalibrasi
Hubungan Debit Observasi dan Simulasi Sebelum Kalibrasi
Sensitivitas Parameter Hidrologi terhadap Model
Simulasi Debit Harian dengan Model yang Telah Dikalibrasi
Hubungan Debit Simulasi dan Observasi Setelah Kalibrasi
Simulasi Debit Harian dengan Model yang Telah Dikalibrasi
Hubungan Debit Simulasi dan Observasi Setelah Kalibrasi

9
10
11
11
13
14
15
15
17
18
19
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6

Diagram Alir Penelitian
Nilai Parameter Setiap Jenis Tanah
HRU yang Terbentuk Pada Setiap Subbasin
Nilai Parameter Kalibrasi
Data Curah Hujan Harian Rata-rata Tahun 2004-2013 (mm)
Debit Harian Minimum dan Maksimum (2004-2013)

23
24
26
37
38
41

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Saat ini peningkatan jumlah penduduk merupakan hal yang patut diperhatikan.
Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan air untuk
rumah tangga dan industri, peningkatan untuk kebutuhan pertanian, dan
peningkatan alih fungsi lahan. Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi di
Indonesia yang mengalami peningkatan jumlah penduduk sebesar 5,7% per tahun
selama periode 2009-2013 (BPS, 2013). Peningkatan kebutuhan air dan perubahan
tata guna lahan akan mempengaruhi debit sungai pada suatu DAS.
DAS Batanghari Hilir merupakan bagian dari DAS Batanghari, yang meliputi
Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten
Batanghari, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tanjung Jabung Barat,
dan Kota Jambi. Menurut Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air,
DAS Batanghari termasuk dalam 12 DAS priorotas di Indonesia. DAS prioritas
lainnya adalah Brantas, Solo, Jratunseluna, Serayu, Citanduy, Cimanuk, Citarum,
Ciliwung, Asahan, Batanghari, Billa Walanae, dan Sadang (Bappenas, 2004).
Sungai utama yang mengalir di Sub DAS Batanghari Hilir adalah Sungai
Batanghari. Pemanfaatan Sungai Batanghari ini meliputi penyediaan kebutuhan air
bersih, sarana transportasi, sumber air untuk irigasi, peternakan, pertambakan, dan
perkebunan, serta industri. Dengan adanya peningkatan jumlah penduduk,
pemanfaatan air di Sungai Batanghari meningkat, demikian juga perubahan tata
guna lahan. Secara sederhana, fenomena manajemen lahan, kebutuhan air baku, dan
perubahan komponen penyusun iklim memberikan dampak pada debit ketersediaan
air sungai di suatu DAS.
Penelusuran analisis debit sungai dapat dilakukan dengan berbagai metode,
salah satunya adalah dengan menggunakan model Soil and Water Assessment Tool
(SWAT). SWAT merupakan suatu model hidrologi yang dibangun oleh Dr. Jeff
Arnold untuk USDA Agricultural Research Services (ARS) (Wahdani, 2011).
SWAT dikembangkan untuk memprediksi dampak praktik-praktik manajemen
lahan terhadap hasil air, sedimen maupun residu kimia pertanian pada suatu DAS
yang kompleks dengan berbagai variasi jenis tanah, penggunaan lahan dan
manajemen lahan pada suatu periode waktu tertentu. Berdasarkan kondisi tersebut,
maka perlu dilakukan analisis debit pada suatu DAS, untuk mengetahui besarnya
ketersediaan air di DAS tersebut.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis debit sungai menggunakan
model SWAT di Sub DAS Batanghari Hilir, Provinsi Jambi.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu memberikan
informasi mengenai debit Sungai Batanghari di Sub DAS Batanghari Hilir.

2

Informasi tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi
Jambi dalam menyusun rencana pengelolaan Sub DAS Batanghari Hilir.
Ruang Lingkup
Penelitian ini mengambil permasalahan mengenai debit Sungai Batanghari di
Sub DAS Batanghari Hilir dengan model SWAT. Ruang lingkup penelitian ini
adalah mensimulasi debit harian Sungai Batanghari dalam periode waktu 20042013. Simulasi ini mmeperhitungkan keadaan topografi lahan, perubahan tata guna
lahan, jenis tanah, kemiringan lereng, dan kondisi iklim. Kemudian
memperhitungkan beberapa parameter hidrologi untuk mengkalibrasi model agar
mendapatkan validitas model dalam periode waktu tertentu.

TINJAUAN PUSTAKA
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah sungai yang dipisahkan dari
wilayah lain oleh pemisah topografi yang berupa punggung bukit, sehingga air
hujan yang jatuh dalam wilayah tersebut mengalir meresap menuju ke sungai dan
bermuara di laut (Kemenhut, 2013). Salah satu fungsi utama dari DAS adalah
sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas yang baik, terutama bagi
pengguna di hilir. Ditambahkan oleh Suripin (2001) dalam Kastolani (2007), DAS
merupakan suatu ekosistem dimana didalamnya terjadi suatu proses interaksi antara
faktor biotik, non biotik, dan manusia.
Jenis penggunaan lahan memberikan dampak yang sangat penting baik bagi
ketersediaan maupun kualitas dari sumber daya air (Alwi dan Marwah, 2014).
Sebagai contoh, bertambahnya daerah terbangun akan menimbulkan peningkatan
debit limpasan yang mengalir ke sungai. Direktorat Tata Guna Tanah Departemen
Dalam Negeri membagi penggunaan lahan menjadi 9 jenis, yaitu hutan,
perkebunan, kebun campuran, tegalan, sawah, areal pertanian tanaman kering
semusim, danau, rawa, dan pemukiman (Saribun, 2007). Secara sederhana menurut
Arsyad (2006), penggunaaan lahan dapat dikelompokkan menjadi penggunaan
lahan untuk pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan
untuk pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan
berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan seperti pertanian dan hutan
produksi.
Jenis penggunaan lahan relatif mengalami perubahan dari tahun ke tahun seiring
dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini diperkuat oleh Rustiadi et al (2009)
dalam Mubarok (2014) yang menyatakan bahwa perubahan penggunaan lahan
dalam pelaksanaan pembangunan merupakan proses yang tidak bisa dihindari.
Namun selain faktor pembangunan, perubahan penggunaan lahan dapat diakibatkan
oleh pertumbuhan penduduk. Mubarok (2014) menambahkan perubahan
penggunaan lahan yang umum terjadi adalah berubahnya penggunaan lahan hutan
dan pertanian menjadi areal terbangun terutama pemukiman.

3

Kondisi hidrologi suatu wilayah pertama-tama bergantung pada iklimnya, dan
kedua pada rupa bumi dan geologinya. Keadaan iklim sebagian besar dipengaruhi
oleh kedudukan geografi (letak keruangan) suatu tempat di permukaan bumi.
Faktor iklim yang penting ialah curah hujan, kelembaban, suhu dan angin. Semua
itu secara langusng mempengaruhi penguapan (Wilson, 1993).
Iklim dapat mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu, seperti
perubahan pola curah hujan. Menurut Hukom et al (2012), salah satu perubahan
iklim global adalah meningkatnya frekuensi dan intesitas iklim yang ekstrim seperti
badai, banjir, dan kekeringan. Indikator dalam perubahan iklim antara lain
meningkatnya permukaan air laut, banjir, kekeringan, beberapa permasalahan
sumber daya dan permasalahan dalam pengembangan sumber daya air.
Salah satu komponen iklim adalah curah hujan. Curah hujan berhubungan
dengan karakteristik daerah aliran sungai. Lama waktu hujan, intensitas, dan
penyebaran hujan mempengaruhi laju dan volume debit sungai. Debit sungai total
akibat suatu hujan tertentu secara langsung berhubungan dengan lama waktu
terjadinya hujan. Infiltrasi akan tinggi pada tahap awal suatu kejadian hujan
(Muchtar dan Abdullah, 2007). Karena itu hujan dengan waktu yang singkat tidak
banyak menghasilkan limpasan. Hujan dengan intensitas yang sama dengan waktu
yang lebih lama akan menghasilkan debit yang lebih besar.
Dalam proses hidrologi, aliran air sungai terbentuk dari beberapa sumber air
yang berada pada bukit atau gunung. Bukit dan gunung merupakan daerah dan
penyimpanan cadangan air yang berasal dari air hujan. Cadangan air yang diserap
tersebut masuk ke dalam tanah dan batuan. Karena volume air tersimpan dalam
jumlah besar, air keluar ke permukaan melalui tekuk lereng. Air yang keluar
tersebut kemudian mengalir menjadi sungai.
Analisis yang digunakan untuk mengetahui karakteristik debit sungai terdiri
atas 2 yaitu analisis pergerakan debit sungai dan analisis hubungan antara curah
hujan dengan debit (Wahyuni, 2012). Selain faktor hujan, debit sungai juga
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti luas dan bentuk DAS, topografi, tanah,
dan penutupan lahan. Menurut Lee (1990), faktor-faktor penentu debit
dikategorikan sebagai faktor-faktor atmosfer, parameter-parameter daerah
tangkapan, dan pengaruh hutan.
Model SWAT (Soil and Water Assessment Tool)
SWAT adalah model skala pengelolaan DAS yang dikembangkan untuk
memprediksi dampak dari praktek pengelolaan lahan di daerah aliran sungai,
sedimen, dan hasil kimia pertanian dalam jumlah besar dengan berbagai jenis tanah,
penggunaan lahan, dan kondisi manajemen dalam periode waktu yang lebih
panjang. Model ini secara fisik berdasarkan komputasi efisien menggunakan input
yang tersedia dan memungkinkan pengguna untuk mempelajari dampak jangka
panjang (Neitsch et al, 2002). SWAT ini terintegerasi dengan model GIS
(Geographic Information System). GIS adalah sistem informasi khusus yang
mengelola data yang memiliki informasi spasial. Dalam arti sempit, GIS adalah
sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan,
mengelola, dan menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang
diidentifikasi menurut lokasinya dalam sebuah database (Indrasmoro, 2013).

4

Model SWAT mempunyai beberapa keunggulan yaitu dibangun berdasarkan
proses yang terjadi dengan menghimpun informasi mengenai iklim, sifat tanah,
topografi, tanaman dan pengelolaan lahan yang terdapat dalam DAS, mempunyai
data input yang sudah tersedia, dapat dikerjakan secara efisien menggunakan
komputer sehingga hemat waktu dan biaya dan memungkinkan pengguna untuk
mengevaluasi dampak jangka panjang dalam suatu DAS (Neitsch et al. 2005).
Selain itu Model SWAT menggunakan hubungan deskripsi matematika dan empiris
dalam menghitung respon hidrologi. Dalam penggunaannya, model SWAT
membutuhkan data input yang cukup banyak dan kompleks (Yustika, 2013).
Dalam proses simulasi SWAT, DAS dibagi beberapa sub-DAS berdasarkan
penggunaan lahan dan karakteristik lainnya yang memiliki kesamaan dalam
mempengaruhi siklus hidrologi. Ada beberapa kategori pengelompokan informasi
setiap sub-DAS, yaitu; (1) Hydrologic Response Unit (HRU) yang merupakan Unit
Respon Hidrologi, (2) genangan, (3) iklim, (4) air bawah tanah, dan (5) reach
(saluran utama) (Karim, 2014). HRU merupakan kelompok lahan di suatu kawasan
Sub-DAS yang memiliki elemen kombinasi tanaman penutup, karakteristik tanah
dan faktor pengelolaan yang khas ( Neitsch et al. 2005).
Dalam menjalankan setiap analisis hidrologi, SWAT menggunakan neraca air
sebagai dasar permodelan. Siklus hidrologi yang digunakan oleh SWAT dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Fase lahan yang mengatur jumlah air, sedimen, unsur hara, dan pestisida dalam
pengisian saluran utama pada masing-masing sub basin.
2. Fase air yang berupa pergerakan air, sedimen, dan lainnya melalui jaringan
sungai pada DAS menuju outlet. Skema fase lahan pada siklus hidrologi dan
persamaan neraca air yang digunakan dalam model SWAT dapat dilihat pada
persamaan (1).
� = � + ∑

=�





− � − �





.... (1)

Dimana :

: Kandungan akhir air tanah (mm)

: Kandungan air tanah awal pada hari ke-1 (mm)
� : Jumlah presipitasi pada hari ke-i (mm)
: Jumlah surface runoff pada hari ke-i (mm)

: Jumlah evapotranspirasi pada hari ke-i (mm)

: Jumlah air yang memasuki vadose zone pada profil tanah hari ke-i (mm)
: Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)


Dalam mengestimasi aliran permukaan (Qsurf), SWAT menggunakan dua buah
metode, yaitu SCS curve number (CN) dan infiltrasi Green and Ampt. Berdasarkan
volume aliran permukaan dan puncaknya, dilakukan simulasi pada setiap HRU
(Hidrology Response Units). SCS curve number merupakan fungsi dari
permeabilitas tanah, tata guna lahan, dankondisi air tanah. Persamaan SCS curve
number disajikan pada persamaan (2) (Neitsch et al, 2005).

5

=

(

Dimana :
� : Curah hujan per hari (mm)
: retention parameter (mm)
= ,

(

�−

,

)

� + ,8 )

��

.......... (2)



......... (3)

Besarnya laju Wseep, dan Qgw dihitung dengan persamaan (4), dan (5) (Neitsch
et. al., 2005):

Dimana :




,

, �=

Dimana :


μ
� �
ℎ�



= �

, �=

+ �

,

..... (4)

: Total air yag berada di bawah tanah pada hari ke-i (mm)
: Jumlah air perkolasi yang keluar dari lapisan terbawah (mm)
: Jumlah air yang mengalir melewati lapisan yang lebih bawah dari
muka tanah untuk mengalirkan aliran pada hari ke-i (mm)


=8

. �. �

� . ℎ�

....... (5)

: Jumlah air yang kembali pada hari ke-i (mm)
: Specific yield dari akuifer dangkal (m/m)
: Konstanta resesi aliran mantap
: Tinggi muka air pada watertable

Sebuah model hidrologi memerlukan sebuah standar keakuratan dan
kepercayaan. Aplikasi SWAT-CUP dapat digunakan untuk mengetahui keakuratan
sebuah model hidrologi. Menurut Rau (2012), Soil and Water Assessment Tool Calibration and Uncertainty Program atau SWAT-CUP merupakan program
komputer yang digunakan dalam melakukan kalibrasi model hidrologi SWAT.
SWAT-CUP memiliki empat buah program link yaitu GLUE, ParaSol, MCMC, dan
SUFI2. SWAT-CUP dapat digunakan untuk melakukan analisis sensitivitas,
kalibrasi, validasi, dan analisis ketidakpastian pada model hidrologi SWAT. Pada
penelitian ini, digunakan metode kalibrasi SUFI2 atau Sequential Uncertainty
Fitting version 2.

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari hingga Juli 2015. Penelitian
dilakukan di wilayah Sub DAS Batanghari Hilir, Provinsi Jambi.

6

Alat dan Bahan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan peralatan seperti laptop core i3
dan kalkulator. Laptop yang digunakan telah dilengkapi software Microsoft Word
2013, Microsoft Excel 2013, Google Earth, ArcGIS 10.1, ArcSWAT 2012, SWATCUP 2012, dan Notepad. Data sekunder yang digunakan adalah DEM SRTM 30 x
30 m, koordinat titik outlet pengukuran debit, peta jaringan aliran Sungai
Batanghari, peta batas Sub DAS, peta administrasi Provinsi Jambi, peta
penggunaan lahan tahun 2010 dan 2013, peta jenis tanah. Data iklim yang
digunakan berupa data curah hujan 2004-2013 dari tiga stasiun yaitu Stasiun Sipin,
Stasiun Sengeti dan Stasiun Pauh Ilir sedangkan data kelembaban, intensitas
matahari, suhu, dan angin dari weather generator data. Data debit Sungai
Batanghari 2004-2013 diperoleh dari Pos Duga Air Tanggo Rajo. Data iklim 20042007 digunakan untuk menjalankan model. Data curah hujan disajikan pada
Lampiran 5 dan data debit disajikan pada Lampiran 6.
Metode Analisis
Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: studi
pustaka, pengambilan data sekunder, pengolahan data dan penyusunan laporan.
Metode studi pustaka dilakukan agar mendapatkan bahan yang diperlukan untuk
menganalisis permasalahan. Bahan diperoleh dari publikasi ilmiah atau jurnal
laporan penelitian yang berkaitan dengan permasalahan, dan buku- buku yang
menerangkan tentang aspek terkait.
Pengumpulan data meliputi proses pengumpulan data yang terkait dengan data
penelitian yaitu peta DEM SRTM, peta administrasi Provinsi Jambi, peta jaringan
aliran sungai, peta tata guna lahan 2010 dan 2013, peta jenis tanah, peta batas Sub
DAS Batanghari Hilir, dan koordinat titik outlet pengukuran debit harian di Pos
Tanggo Rajo dari Badan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Batanghari
Provinsi Jambi. Data debit harian diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Provinsi
Jambi, sedangkan data curah hujan 2004-2013 dari Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) Provinsi Jambi.
Tahapan pengolahan data secara umum dibagi tiga tahap yaitu tahap simulasi,
kalibrasi, dan validasi. Pada tahap simulasi, pengolahan data diawali dengan
melakukan konversi sistem proyeksi peta DEM SRTM dari decimal degree menjadi
UTM (Universal Transerve Mercator) WGS 48 menggunakan software ArcGIS
10.1. Setelah itu data DEM dipotong menggunakan peta batas Sub DAS dan
dilakukan delineasi menggunakan software ArcSWAT 2012. Data yang
dimasukkan pada tahap delineasi adalah peta jaringan aliran sungai. Selanjutnya
dilakukan proses pembuatan HRU atau Hydrological Response Unit. Pada tahap
ini, data yang dimasukkan adalah peta tata guna lahan 2010 dan peta jenis tanah.
Kemudian dilakukan input data iklim berupa data curah hujan, kelembaban, suhu,
angin, dan lama penyinaran matahari. Dari input tersebut dihasilkan debit harian
hasil simulasi SWAT dari tahun 2004-2013.
Tahapan kedua adalah proses kalibrasi. Sebelum dilakukan kalibrasi, terlebih
dahulu diketahui nilai NS dan R2 dari debit harian hasil simulasi SWAT. Menurut
Latifah (2013), nilai NS atau Nash-Sutcliffe efficiency didefinisikan sebagai

7

objective function tujuan optimasi. Cara menentukan nilai NS ini dengan
menggunakan persamaan (6).
� =

∑ �−�̂

− [∑ �−�̅̅̅ ] ... (6)

Debit aktual yang terukur (m3/dt) dinyatakan dengan y, sedangkan �̂ adalah
debit hasil simulasi (m3/dt) dan �̅ adalah rata debit terukur (m3/dt). Kriteria hasil
simulasi dikategoikan baik apabila nilai NS > 0,75 dan memuaskan apabila 0,36<
NS< 0,75. Sedangkan jika nilai NS < 0,36 dikategorikan kurang memuaskan dan
perlu dilakukan kalibrasi. Selain itu, untuk melihat keakuratan pola hasil keluaran
model dengan hasil observasi lapangan digunakan koefisien deterministik atau
persamaan linear R2. Nilai R2 ditentukan menggunakan persamaan (7).

= [

∑�= (

√∑�= (

�,� − ̅

�,� − ̅

�,� )

�,� )(

∑�= (

�,� − ̅

�,� )

�,� − ̅

�,� )

] ... (7)

3
adalah debit observasi (m3/dt),
,� adalah debit hasil simulasi (m /dt),
3
̅ ,� adalah debit simulasi rata-rata (m /dt), sedangkan ̅ ,� adalah debit
observasi rata-rata (m3/dt). Apabila R2 mendekati 1 maka terdapat pola hubungan
yang erat antara hasil prediksi model dengan hasil observasi lapangan.
Model SWAT menggunakan lebih dari 500 parameter hidrologi untuk kalibrasi.
Pada kalibrasi ini digunakan software SWAT-CUP 2012. Tidak semua parameter
digunakan pada tahap kalibrasi. Pemilihan parameter yang akan digunakan
dilakukan dengan mempelajari berbagai skripsi, tesis, disertasi dan jurnal di
Indonesia untuk mengumpulkan semua parameter yang sering digunakan dalam
model SWAT. Setelah itu dipilih parameter yang sensitif saja dengan menggunakan
analisis nilai p-value. Semakin kecil nilai p-value maka parameter semakin sensitif.
Data debit input yang digunakan adalah data iklim dan debit harian hasil simulasi
SWAT tahun 2008-2011. Pemilihan data tahun 2008-2011 karena data tersebut
dekat dengan data penggunaan lahan tahun 2010. Jika digunakan data debit dengan
tahun yang terlalu jauh, dikhawatirkan data tersebut tidak relevan dengan
penggunaan lahannya.
Nilai kalibrasi dari parameter dilakukan dengan cara trial and error untuk
mendapatkan nilai terbaik. Kalibrasi yang sukses dilakukan adalah iterasi ke-16
dengan 700 kali simulasi. Semakin banyak simulasi yang dilakukan model, maka
model dianggap makin baik. Hal ini dikarenakan model lebih banyak melakukan
trial and error terhadap nilai parameter terbaik. Model melakukan simulasi
minimum 700 kali untuk mendapatkan nilai parameter terbaik. Nilai terbaik ini
dilihat dari angka NS dan R2 nya. File data input yang terdapat di software SWATCUP disajikan pada Tabel 1. Tahap ketiga adalah proses validasi. Pada tahap ini
nilai parameter terbaik hasil kalibrasi dimasukkan kedalam software ArcSWAT
2012. Data yang digunakan sama seperti pada tahap simulasi, tetapi data tata guna
lahan yang digunakan adalah tata guna lahan tahun 2013. Dari validasi dengan
model hasil kalibrasi diperoleh debit harian pada tahun 2012-2013. Kemudian
dicek kembali nilai NS dan R2 nya terhadap debit tahun 2012-2013. Diagram alir
penelitian disajikan pada Lampiran 1.

,�

8

Tabel 1 File data input pada SWAT untuk analisis hidrologi
Nama file
Fungsi
CIO
Fileuntuk mengontrol data input dan output
COD
Mengontrol file inputdan output
FIG
Mengidentifikasi jaringan hidrologi sungai
BSN
Mengontrol keragaman parameter di tingkat DAS
SUB
Mengontrol keragaman parameter di tingkat sub DAS
HRU
Mengontrol keragaman parameter di tingkat HRU
GW
File air bawah tanah
RTE
File pergerakan air, sedimen, hara dan pestisida
CROP
Fileparameter tumbuh tanaman
URBAN
File data lahan terbangun atau urban area
PCP
File data curah hujan harian
File temperatur udara maksimum dan minimum
TMP
harian
SLR
File radiasi matahari harian
HMD
File kelembaban udara harian
WGN
File data generator iklim
SOL
File data tanah
MGT
File pengolahan dan penutupan lahan
Sumber : Neitsch et.al., 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Wilayah DAS Batanghari meliputi tiga provinsi, yaitu Jambi, Sumatera Barat,
dan Bengkulu. Seluas 4,5 juta ha wilayah ini berada di Provinsi Jambi. DAS
Batanghari terbagi menjadi enam Sub DAS, yaitu Sub DAS Batangahari Hulu, Sub
DAS Batang Tebo, Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Sumai, Sub DAS Batang
Merangin Tembesi, dan Sub DAS Batanghari Hilir (Tikno, 2000). Sub DAS
Batanghari Hilir berada di bagian paling bawah dan merupakan muara bagi seluruh
sumber aliran yang berasal dari bagian hulu.
Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Jambi (2004), luas daerah tangkapan Sub
DAS Batanghari Hilir adalah 1 juta ha dan mencakup daerah konservasi Taman
Nasional Berbak yang terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur seluas 24.000
ha. Nursanti (2009) mengemukakan bahwa DAS Batanghari disamping bernilai
penting untuk jalur transportasi, irigasi, perkebunan, rencana PLTA dan
persawahan, secara ekologis DAS Batanghari juga penting karena memiliki
berbagai tipe ekosistem alami (selain ekosistem sungainya sendiri) seperti
ekosistem pesisir/muara, lahan basah, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan
dataran tinggi, serta hutan hujan pegunungan dengan vegetasi sub alpin dan alpin.
Hasil layout peta administrasi Sub DAS Batanghari Hilir menunjukkan luas Sub
DAS Batanghari Hilir sebesar 1.036.432 ha. Secara geografis lokasi penelitian

9

terletak di 00 42’ 11” LS - 10 46’ 11” LS dan 1030 0’ 28” BT - 1030 40’ 18” BT dan
termasuk zona UTM 48. Daerah ini didominasi oleh pertanian kering dan
perkebunan seperti kelapa sawit dan karet. Wilayah tangkapan terbesar yaitu
Kabupaten Batanghari seluas 306.340 ha. Peta Sub DAS Batanghari Hilir disajikan
pada Gambar 1.
Outlet atau tempat pengukuran debit yang dilakukan oleh Dinas Pekerjaan
Umum Provinsi Jambi adalah Pos Duga Air Tanggo Rajo. Pos pengukuran ini
secara administratif terletak di Kota Jambi dan secara geografis terletak di koordinat
10 35’ 36” LS dan 1030 36’ 40” BT. Pengukuran debit dilakukan secara otomatis.
Hasil pengukuran debit harian ini yang akan dibandingkan dengan debit harian hasil
simulasi model SWAT.

Gambar 1 Peta Administrasi Sub DAS Batanghari Hilir
Proses Delineasi Sub DAS
Tahap delineasi ini pada dasarnya membagi wilayah Sub DAS menjadi
beberapa daerah tangkapan hujan. Data input yang digunakan adalah DEM SRTM
resolusi 30. Peta DEM ini dipotong menggunakan peta batas Sub DAS.
Pemotongan ini bertujuan untuk membatasi wilayah penelitian. Peta DEM
menggambarkan elevasi dari wilayah yang akan diteliti. Pada Gambar 3 terlihat
bahwa elevasi tertinggi dari wilayah penelitian adalah 647 mdpl. Kemudian
dimasukkan peta jaringan aliran sungai dan terbentuklah pola aliran sungai. Untuk
melihat arah alirannya, dapat diinterpretasi dari ketinggian wilayah. Pada Gambar
2, daerah yang semakin gelap menggambarkan elevasi yang lebih tinggi. Artinya,
air mengalir dari punggung-punggung bukit yang berwarna gelap menuju ke
lembah yang berwarna lebih terang.

10

Segitiga berwarna ungu pada Gambar 2 adalah stasiun pengukuran data iklim.
Ketiga stasiun tersebut adalah Stasiun Sipin, Stasiun Tembesi, dan Stasiun Pauh
Ilir.
Hasil dari delineasi ini membagi wilayah Sub DAS Batanghari menjadi 21
daerah tangkapan. Lalu dipilih titik outlet sesuai koordinat titik pengukuran debit
obervasi. Pada Gambar 3 terlihat simbol titik berwarna kuning. Selanjutnya semua
air yang mengalir berkumpul di outlet nomor 18. Daerah yang terdilineasi adalah
seluas 362.146 ha. Artinya terdapat pengurangan seluas 674.286 ha atau sebesar
65%. Menurut Andayani (2014), penguruangan ini disebabkan adanya anak sungai
yang tidak terhubung atau masuk ke outlet sehingga tidak termasuk dalam wilayah
penelitian.

Gambar 2 Peta Delineasi Sub DAS Batanghari Hilir
Pembuatan HRU (Hydrological Response Unit)
Pembuatan HRU ini menghasilkan tiga output, yaitu identifikasi tata guna
lahan, jenis tanah, dan kemiringan lereng. Dalam penggunaan lahan, data yang
dimasukkan adalah peta tata guna lahan 2010 dan peta tata guna lahan 2013 dalam
bentuk .shp. Perubahan tata guna lahan dari tahun 2010 ke tahun 2013 memberikan
dampak pada respon hidrologi baik air tanah maupun air permukaan. Gambar 3
menyajikan peta tata guna lahan tahun 2010, sedangkan Gambar 4 menyajikan peta
tata guna lahan 2013.

11

Gambar 3 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Batanghari Hilir Tahun 2010

Gambar 4 Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Batanghari Hilir Tahun 2013
Berkurangnya hutan dari 17,3% sampai 2,6% dari total keseluruhan
penggunaan lahan menyebabkan berkurangnya daerah resapan. Data penggunaan
lahan disajikan pada Tabel 2. Selain itu, persentase pemukiman juga meningkat dari
0,9% menjadi 1,3%. Walalupun angka ini termasuk masih kecil, tetapi perubahan

12

ini memberikan dampak meningkatnya aliran permukaan. Ditambah lagi
peningkatan area pertanian dari 26,4% menjadi 40,1% yang berarti mningkatnya
penggunaan bahan-bahan pertanian pupuk. Hal ini akan mengakibatkan
berubahnya struktur tanah dan akan mempengaruhi infiltrasi.
Jenis tanah di Sub DAS Batanghari Hilir didominasi oleh tanah podzol merah
dengan persentase 41,14%. Podzol merah merupakan tanah berwarna abu-abu
muda sampai kekuningan pada horison permukaan sedang, lapisan bawah berwarna
merah atau kuning dengan kadar bahan organik dan kejenuhan basa yang rendah
serta reaksi tanah masam sampai sangat masam (pH 4,2 - 4,8) (PPT,1982). Setiap
jenis tanah memiliki nilai parameter yang berbeda-beda dan dimasukkan ke
database program SWAT. Nilai parameter setiap jenis tanah disajikan pada
Lampiran 2. Jenis tanah di Sub DAS Batanghari Hilir disajikan pada Tabel 3 dan
peta jenis tanah disajikan pada Gambar 5.
Tabel 2 Penggunaan Lahan di Sub DAS Batanghari Hilir Tahun 2010 dan 2013
2010
2013
Penggunaan
No
Lahan
ha
%
ha
%
Hutan Lahan
1
62.829,0
17,3
9.412,4
2,6
Kering
2
Hutan Tanaman
69.732,0
19,3
70.055,3
19,3
3
Pemukiman
3.106,2
0,9
4.797,9
1,3
4
Tanah Kosong
58.292,4
16,1
23.616,9
6,5
5
Badan Air
9.646,0
2,7
17.231,7
4,8
6
Belukar
60.027,0
16,6
88.953,0
24,6
Pertanian Lahan
7
95.516,0
26,4 145.157,5
40,1
Kering
8
Sawah
2.998,0
0,8
2.921,9
0,8
Total
362.146,6 100,0 362.146,6 100,0

No
1
2
3
4
5

Tabel 3 Jenis Tanah di Sub DAS Batanghari Hilir
Luas
Jenis Tanah
ha
%
Asosiasi Andosol Coklat dan
90.856,8
25,1
Regosol Coklat (AACRK)
Aluvial Hidromorf (ALHR)
77.664,6
21,4
Aluvial Kelabu Tua (AKT)
16.511,2
4,6
Podzol Merah (PZM)
117.241,9
32,4
Latosol Coklat (LCK)
59.872,1
16,5
Total
362.146,6
100,0

Kemiringan lereng di Sub DAS Batanghari Hilir didominasi oleh kemiringan
8-15% dan kemiringan 0-8% (Tabel 4). Dapat dikatakan topografi Sub DAS
Batanghari Hilir ini cukup landai. Kemiringan ini mempengaruhi laju aliran air dari
punggung bukit menuju lembah. Semakin curam topografi, air yang mengalir akan
semakin cepat. Data kemiringan lereng disajikan pada Tabel 4 dan peta kemiringan
lereng disajikan pada Gambar 6.

13

Gambar 5 Peta Jenis Tanah di Sub DAS Batanghari Hilir
Setiap daerah tangkapan atau subbasin memiliki HRU yang berbeda-beda. Hal
ini menyebabkan jumlah air yang jatuh ke jaringan sungai juga memiliki debit yang
berbeda-beda. Rincian HRU untuk setiap subbasin disajikan pada Lampiran 3.
Tabel 4 Kemiringan Lereng di Sub DAS Batanghari Hilir
Luas
Kemiringan
No
Lereng (%)
ha
%
1
0-8
126.568,8
34,9
2
8,1-15
127.865,8
35,3
3
15,1-25
84.019,6
23,2
4
25,1-40
23.066,1
6,4
5
> 40
626,3
0,2
Total
362.146,6
100,0

14

Gambar 6 Peta Kemiringan Lereng Sub DAS Batanghari Hilir
Simulasi Debit Harian
Simulasi model SWAT dilakukan dengan menggunakan data iklim dari tahun
2004 hingga tahun 2013. Data tahun 2004-2007 digunakan untuk warming up
model. Hal ini bertujuan untuk menhindari hasil debit simulasi yang terlalu jauh
dengan debit observasi. Data iklim merupakan data yang penting dalam simulasi
model SWAT. Perubahan unsur-unsur iklim mempengaruhi sistem hidrologi.
Perubahan iklim mengakibatkan dampak yang kompleks terhadap neraca,
kebutuhan, ketersediaan dan kualitas air (Field et al 2008 dalam Setiawan, 2013).
Setiap analisis yang menggunakan permodelan harus disertai dengan pengujian
untuk menilai keakuratan output yang dikeluarkan model terhadap data hasil
observasi atau pengamatan di lapangan (Firdaus, 2014). Dalam penelitian ini,
variabel yang diuji adalah debit aliran (FLOW_OUT). Simulasi dilakukan
menggunakan peta penggunaan lahan tahun 2010.
Simulasi model SWAT di Sub DAS Batanghari Hilir menghasilkan nilai R2 0,5
dan NS 0,22. Artinya, model tersebut masuk kedalam kategori kurang memuaskan.
Hal ini terlihat bahwa model belum mampu menggambarkan debit puncak dalam
waktu yang sama dengan debit observasi. Untuk itu, dilakukan proses kalibrasi dan
validasi agar debit simulasi dari model SWAT mendekati debit observasi di
lapangan. Simulasi debit harian disajikan pada Gambar 7 dan hubungan debit
observasi dan simulasi sebelum kalibrasi disajikan pada Gambar 8.

15

Curah Hujan
0.0

3500.0

30.0

3000.0

60.0

2500.0

90.0

2000.0

120.0

1500.0

150.0

1000.0

180.0

Curah Hujan (mm)

Simulasi

4000.0

210.0

500.0

240.0

0.0
1/1/2008

1/1/2009

1/1/2010

1/1/2011

Tanggal

Gambar 7 Simulasi Debit Harian dengan Model yang Belum Dikalibrasi
4000.0
3500.0

Debit Observasi (m3/dt)

Debit (m3/dt)

Observasi

3000.0
2500.0
2000.0
1500.0
R² = 0.5047

1000.0
500.0
0.0
0.0

500.0

1000.0

1500.0

2000.0

2500.0

3000.0

3500.0

Debit Simulasi (m3/dt)

Gambar 8 Hubungan Debit Observasi dan Simulasi Sebelum Kalibrasi
Kalibrasi dan Validasi Model
Kalibrasi bertujuan untuk mendekatkan hasil debit simulasi dengan debit
observasi di lapangan. Kalibrasi ini dilakukan dengan memperhitungkan parameter
hidrologi yang cocok untuk Sub DAS Batanghari Hilir. Perhitungan parameter ini
dilakukan dengan cara trial and error. Terdapat 500 paremeter hidrologi di dalam
database SWAT-CUP, tetapi parameter yang digunakan hanya beberapa parameter
yang sensitif saja. Parameter terpilih disajikan pada Lampiran 3.
Parameter dengan format (.gw) merupakan parameter groundwater. Parameter
groundwater ini mengidentifikasikan kondisi air tanah yang akan mengalir ke
sungai. Parameter dengan format v__CN2.mgt merupakan koefisien limpasan yang
menggambarkan kondisi penggunaan lahan di suatu DAS. Parameter (.hru)

16

menggambarkan keadaan hydrological Response Unit dan parameter (.rte)
berhubungan dengan konduktivitas hidraulik dan nilai manning. Parameter dengan
format (.sol) adalah parameter yang berhubungan dengan jenis tanah. Data yang
dikalibrasi adalah hasil simulasi pada tahun 2008-2011.
Parameter yang pertama kali dipilih adalah CN2.mgt atau SCS Curve Number
yaitu nilai koefisien limpasan. Parameter ini dipilih pertama kali karena merupakan
faktor yang berdampak langsung pada debit sungai. Koefisien limpasan
memperlihatkan persentase air hujan yang jadi limpasan. Semakin besar koefisien
limpasan, maka limpasan yang terjadi akan semakin besar pula. Dalam memilih
besarnya koefisien limpasan harus mempertimbangan keadaan topografi lahan.
Nilai koefisien limpasan yang dipilih adalah yang berada di rentang 0,45 – 0,70
yaitu pada kondisi daerah tanah dataran yang ditanami. Keadaan lahan Sub DAS
Batanghari Hilir merupakan daerah yang cukup landai dan didominasi oleh
tanaman. Nilai koefisien limpasan terbaik hasil kalibrasi model adalah sebesar 69,2
seperti pada Lampiran 4. Tabel 5 menyajikan nilai koefisien limpasan untuk
berbagai kondisi lahan.
Tabel 5 Koefisien Limpasan untuk Berbagai Kondisi Lahan
Koefisien
No
Kondisi Daerah dan Pengaliran
Limpasan
1
Daerah pegunungan yang curam
0,75 - 0,90
2
Dearah pegunungan tersier
0,70 - 0,80
3
Tanah bergelombang dan hutan
0,50 - 0,75
4
Tanah dataran yang ditanami
0,45 - 0,70
5
Persawahan yang diari
0,70 - 0,80
6
Sungai di daerah pegunungan
0,75 - 0,85
7
Sungai kecil di daratan
0,45 - 0,75
Sungai besar yang lebih dari setengah
8
0,50 - 0,75
daerah pengalirannya terdiri dari daratan
Sumber : Sosrodarsono, 2003.
Parameter selanjutnya adalah ALPHA_BF.gw, GW_DELAY.gw, dan
GW_QMN.gw. ALPHA_BF.gw adalah faktor alfa untuk aliran permukaan di
bawah tanah. GW_DELAY.gw adalah perlambatan aliran bawah tanah. Artinya
disini akan terlihat berapa lama perjalanan air dari mulai menyerap ke dalam tanah
hingga mengalir ke sungai. Lalu GW_QMN.gw merupakan kedalaman ambang air
pada aquifer dangkal yang dibutuhkan agar terjadi arus balik. Ketiga parameter ini
menunjukkan keadaan air tanah.
Selanjutnya parameter yang dipilih adalah ESCO.hru, EPCO.hru, dan
OV_N.hru. ESCO.hru menunjukkan kondisi evaporasi tanah. Evaporasi tanah ini
sangat besar dipengaruhi oleh suhu dan lama penyinaran metahari. Semakin besar
suhu dan semakin lama penyinaran matahari maka nilai ESCO.hru akan semakin
besar. EPCO.hru adalah faktor pergantian terusan tanaman. OV_N.hru adalah
koefisien kekasaran manning. Nilai kekasaran manning menunjukkan kondisi
kekasaran dasar saluran. Semakin besar nilai manning artinya dasar saluran
semakin kasar. Hal ini akan berpengaruh pada kecepatan aliran air dan berdampak
pada debit air di suatu saluran.

17

PARAMETER

Parameter berikutnya adalah GW_REVAP.gw, RCHRG_DP.gw, CH_K2.rte,
dan CH_N2.rte. GW_REVAP.gw dan RCHRG_DP.gw adalah parameter yang
berhubungan groundwater atau air tanah. CH_K2.rte adalah konduktivitas hidrolik
efektivitas saluran. Konduktivitas hidrolik saluran adalah kemampuan dasar saluran
untuk membawa air. Lalu CH_N2.rte adalah nilai manning di saluran utana.
Perbedaannya dengan OV_N.hru adalah CH_N2 hanya untuk saluran utama saja,
sedangkan OV_N.hru untuk rata-rata semua saluran.
Parameter berikutnya adalah SOL_AWC(1).sol, SOL_BD(1).sol, SLSOIL.hru,
CANMAX.hru, dan SLSUBBSN.hru. SOL_AWC(1).sol menunjukkan kapasitas
tanah atau kemampuan tanah untuk menahan air dalam mm H2O per mm tanah pada
lapisan tanah pertama. SOL_BD(1).sol menunjukkan berat suatu masa tanah per
suatu volume tertentu pada lapisan tanah pertama. SLSOIL.hru, CANMAX.hru,
dan SLSUBBSN.hru adalah parameter yang berhubungan dengan hydrological
response unit.
Parameter terakhir yang dikalibrasi adalah SURLAG.bsn, CH_S2.rte,
HRU_SLP.hru, dan SHALLST.gw. SURLAG.bsn adalah koefisien lag aliran
permukaan. CH_S2.rte adalah rata-rata kemiringan dari saluran utama.
HRU_SLP.hru adalah kemiringan rata-rata untuk semua lahan. SHALLST.gw
adalah kedalaman awal air pada aquifer dangkal.
19:V__HRU_SLP.hru
5:V__ESCO.hru
1:V__CN2.mgt
9:V__RCHRG_DP.gw
11:V__CH_N2.rte
6:V__EPCO.hru
18:V__CH_S2.rte
13:R__SOL_BD(1).sol
15:V__CANMX.hru
17:V__SURLAG.bsn
20:V__SHALLST.gw
3:V__GW_DELAY.gw
2:V__ALPHA_BF.gw
16:V__SLSUBBSN.hru
10:V__CH_K2.rte
7:V__OV_N.hru
4:V__GWQMN.gw
12:R__SOL_AWC(1).sol
14:V__SLSOIL.hru
8:V__GW_REVAP.gw
0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

P-VALUE

Gambar 9 Sensitivitas Parameter Hidrologi terhadap Model
Pada saat dilakukan kalibrasi, parameter yang diubah-ubah nilainya
menggunakan metode trial and error hanya parameter yang sensitif saja. Artinya,
ketika nilai dari parameter diubah sedikit saja, terdapat perubahan pada nilai debit
simulasi mendekati debit observasi. Sensitivitas parameter ini dilihat dari nilai p-

18

value. Grafik sensitivitas disajikan pada Gambar 9 dan nilai dari p-value disajikan
pada Tabel 6.

NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20

Tabel 6 Nilai p_value Parameter Hidrologi
Parameter
p_value
Sensitivitas
19:V__HRU_SLP.hru
0,01
5:V__ESCO.hru
0,10
1:V__CN2.mgt
0,12
9:V__RCHRG_DP.gw
0,12
11:V__CH_N2.rte
0,13
6:V__EPCO.hru
0,15
18:V__CH_S2.rte
0,16
Sensitif
13:R__SOL_BD(1).sol
0,17
15:V__CANMX.hru
0,19
17:V__SURLAG.bsn
0,19
20:V__SHALLST.gw
0,20
3:V__GW_DELAY.gw
0,22
2:V__ALPHA_BF.gw
0,26
16:V__SLSUBBSN.hru
0,27
10:V__CH_K2.rte
0,39
7:V__OV_N.hru
0,41
4:V__GWQMN.gw
0,42
Tidak
Sensitif
12:R__SOL_AWC(1).sol
0,62
14:V__SLSOIL.hru
0,69
8:V__GW_REVAP.gw
0,72
Observasi

Simulasi

Curah Hujan

4000.0

0.0

3500.0

Debit (m3/dt)

2500.0

100.0

2000.0
150.0

1500.0
1000.0

200.0

500.0
0.0
1/1/2008

250.0
1/1/2009

1/1/2010

1/1/2011

Tanggal

Gambar 10 Simulasi Debit Harian dengan Model yang Telah Dikalibrasi

Curah Hujan (mm)

50.0

3000.0

19

Setelah dilakukan kalibrasi, nilai R2 berubah menjadi 0,61 dan NS menjadi
0,61. Artinya, model termasuk dalam kategori memuaskan. Hasil kalibrasi model
disajikan pada Gambar 10 dan hubungan debit simulasi dan observasi setelah
kalibrasi disajikan pada Gambar 11.
4000.0

Debit Observasi (m3/dt)

3500.0
3000.0
2500.0
2000.0
R² = 0.6108
1500.0
1000.0
500.0
0.0
0

500

1000

1500

2000

Debit Simulasi

2500

3000

3500

4000

(m3/dt)

Gambar 11 Hubungan Debit Simulasi dan Observasi Setelah Kalibrasi
Tahap selanjutnya adalah melakukan validasi model pada data simulasi tahun
2012-2013. Validasi adalah proses evaluasi terhadap model untuk mendapatkan
gambaran tentang tingat ketidakpastian yang dimiliki oleh suatu model untuk
memprediksi proses hidrologi (Andayani, 2014). Validasi ini dilakukan dengan
memasukkan nilai dari 20 parameter yang ada pada model hasil kalibrasi dari data
debit tahun 2012-2013, serta data penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang
digunakan pada tahap validasi adalah peta tata guna lahan tahun 2013. Nilai dari 20
parameter tersebut dimasukkan ke ArcSWAT 2012 dan dilakukan running ulang.
Simulasi

5000
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

Curah Hujan
0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
250.0

Tanggal

Gambar 12 Simulasi Debit Harian dengan Model yang Telah Divalidasi

Curah Hujan (mm)

Debit (m3/dt)

Observasi

20

5000.0
4500.0

Debit Observasi (m3/dt)

4000.0
3500.0
3000.0
2500.0
2000.0
1500.0
1000.0

R² = 0.5963

500.0
0.0
0

500

1000

1500

2000

2500

Debit Simulasi

3000

3500

4000

4500

5000

(m3/dt)

Gambar 13 Hubungan Debit Simulasi dan Observasi Setelah Validasi
Proses validasi menghasilkan angka R2 0,59 dan NS 0,50. Artinya, model
masuk kategori memuaskan dan dapat dipakai. Penurunan nilai R2 dan NS ini
disebabkan oleh data penggunaan lahan yang digunakan pada tahap validasi
berbeda dengan penggunaan lahan pada tahap kalibrasi. Hal ini sesuai dengan teori
yang ada bahwa manajemen penggunaan lahan mempengaruhi keadaan hidrologi
suatu DAS. Hasil validasi disajikan pada Gambar 12 dan hubungan debit simulasi
dengan observasi setelah validasi disajikan pada Gambar 13.

SIMPULAN
Debit harian Sungai Batanghari di Sub DAS Batanghari Hilir dengan model
yang telah dikalibrasi adalah 270,1 m3/detik dan debit observasi sebesar 359,7
m3/detik. Debit harian dengan model yang telah divalidasi adalah 422,9 m3/detik
dan debit observasi sebesar 416,5 m3/detik. Kalibrasi model SWAT menghasilkan
nilai R2 0,61 dan NS 0,61 sedangkan validasi model SWAT menghasilkan nilai R2
0,59 dan NS 0,50. Dengan demikian model SWAT termasuk dalam kategori
memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA
Adrionita. 2011. Analisis Debit Sungai Dengan Model SWAT Pada Berbagai
Penggunaan Lahan di DAS Citarum Hulu Jawa Barat [Tesis]. Institut
Pertanian Bogor (ID) : Bogor.

21

Alwi LO, Marwah S. 2014. Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Sumber Daya
Air: Studi Literatur dan Hasil penelitian [Jurnal]. J Agroteknos, Vol.4, No.2,
Hal. 134-142. ISSN : 2087 – 7706.
Andayani K. 2014. Analisis Hidrologi di Sub DAS Ciliwung Hulu Menggunakan
Model SWAT [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor (ID) : Bogor.
Arsyad S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press : Bogor.
[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004. Kajian Model
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Bappenas : Jakarta.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Jambi Dalam Angka 2013. BPS : Jambi.
Dinas Kehutanan. 2004. Profil Pembangunan Kehutanan di Bidang Inventarisasi
dan Pemetaan Hutan di Provinsi Jambi. Dinas Kehutanan : Jambi.
Firdaus G. 2014. Analisis Respon Hidrologi Terhadap Penerapan Teknik
Konservasi Tanah Di Sub DAS Lengkong Menggunakan Model SWAT
[Tesis]. IPB (ID) : Bogor.
Hukom E, Limantara LM, Andawayanti U. 2012. Pengaruh Perubahan Iklim
Terhadap Optimasi Ketersediaan Air di Irigasi Way Mital Provinsi Maluku
[Jurnal]. J Teknik Pengairan, Vol.3, No.1, Hal. 24-32.
Indrasmoro GP. 2013. Geographic Information System (GIS) Untuk Daerah Rawan
Longsor Studi Kasus di Kelurahan Karang Anyar Semarang [Jurnal]. J GIS
Deteksi Rawan Longsor.
Karim S. 2014. Strategi Penanggulangan Sedimen di Sub DAS Citanduy Hulu Jawa
Barat Dengan Menggunakan Model SWAT [Tesis]. Institut Pertanian
Bogor (ID) : Bogor.
Kastolani W. 2007. Degradasi Lahan Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Citarik
Hulu di Kabupaten Bandung dan Sumedang [Skripsi]. Universitas
Pendidikan Indonesia (ID) : Bandung.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2013. Peraturan Direktur Jendral Bina
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial. Kemenhut :
Jakarta.
Latifah I. 2013. Analisis Ketersediaan Air, Sedimentasi, dan Karbon Organik
dengan Model SWAT Di Hulu DAS Jeneberang, Sulawesi Selatan [Tesis].
IPB (ID) : Bogor.
Lee R. (1990). Hidrologi Hutan. Diterjemahkan Oleh Sentot Subagya. UGM Press
: Yogyakarta.
Mubarok Z. 2014. Kajian Respons Perubahan Lahan Terhadap Karakteristik
Hidrologi DAS Way Betung [Tesis]. Institut Pertanian Bogor (ID) : Bogor.
Muchtar A, Abdullah N. 2007. Analisis Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Debit
Sungai Mamasa. J Hutan dan Masyarakat, Vol. 2(1), Hal. 174-187.
Neitsch SL, Arnold JG, Luzio MD, Srinivasan R. 2002. ArcView Interface For
SWAT2000 : User’s Guide. Texas Water Resources Institute, College
Station : Texas.
Neitsch SL, Arnold JG, Kiniry JR, Williams JR. 2005. Soil and Water Assessment
Tool Theoretical Documentation Version 2005. Texas Water Resources,
College Station : Texas.
Nursanti I. 2009. Keberadaan Daerah Aliran Sungai Batanghari Jambi dan
Produktivitas Lahan Pertanian [Jurnal]. J Ilmial Universitas Batanghari
Jambi, Vol.9, No.1.
[PPT] Pusat Penelitian Tanah. 1982. Klasifikasi Tanah Indonesia. PPT : Bogor.

22

Saribun DS. 2007. Pengaruh Jenis Penggunaan Lahan dan Kemiringan Lereng
Terhadap Bobot Isi, Porositas Total, dan Kadar Air Tanah Pada Sub DAS
Cikapundung Hulu [Skripsi]. Universitas Padjajaran (ID) : Jatinangor.
Setiawan D. 2013. Kajian Pengaruh Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Di
Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu Terhadap Pembangkit Listrik
Tenaga Air Saguling [Tesis]. Institut Pertanian Bogor (ID) : Bogor.
Sosrodarsono, 2003. Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramita : Jakarta.
Tikno S. 2000. Analisis Debit di Daerah Aliran Sungai Batanghari Provinsi Jambi
[Jurnal]. J Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca. Vol. 1, No.1, 2000 : 101108
Wahdani DK. 2013. Perkiraan Debit Sungai dan Sedimentasi dengan Model
MWSWAT di Sub DAS Citarum Hulu, Provinsi Jawa Barat [Tesis]. Institut
Pertanian Bogor (ID) : Bogor.
Wahyuni. 2012. Karakteristik Debit Sungai Pada DAS Talio Hulu (Sub DAS
Jenepangkalung dan Sub DAS Jenetalinggoa) [Skripsi]. Universitas
Hasanuddin (ID) : Makassar.
Wilson EM. 1993. Hidrologi Teknik. Penerbit. Diterjemahkan oleh Purbo
Hadiwidjoyo. ITB Bandung : Bandung.
Yustika RD. 2013. Pengelolaan Lahan Terbaik Hasil Simulasi Model SWAT Untuk
Mengurangi Aliran Permukaan di Sub DAS Ciliwung Hulu [Tesis]. Institut
Pertanian Bogor (ID) : Bogor.

Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian
Mulai

Pengumpulan Data

Data DEM SRTM
Peta Tata Guna Lahan 2010
Peta Jenis Tanah
Peta Jaringan Aliran Sungai
Peta Batas Sub DAS
Koordinat Titik Outlet

Data Iklim 2004 - 2011 :
Curah Hujan Harian
Kelembaban
Penyinaran Matahari
Suhu
Angin

Data Iklim 2012 – 2013
Peta Tata Guna Lahan
2013

Debit Harian
(2008-2013)

Simulasi
NS > 0,36

Validasi

Perbanding