Optimasi Model Swat Dalam Pendugaan Debit Sungai (Studi Kasus: Sub-Das Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat)

OPTIMASI MODEL SWAT
DALAM PENDUGAAN DEBIT SUNGAI
(Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat)

MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Optimasi Model
SWAT dalam Pendugaan Debit Sungai (Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten
Bandung, Jawa Barat) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2016

Muhammad Iqbal Firdaus
NIM E14110086

ABSTRAK
MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS. Optimasi Model SWAT dalam Pendugaan
Debit Sungai (Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat).
Dibimbing oleh HENDRAYANTO.
Ketersediaan dan kualitas data merupakan tantangan dalam pemodelan SWAT
(Soil and Water Assessment Tools). Oleh sebab itu, perancangan skema diskriminasi
data pada pengaturan model (sebelum kalibrasi) diperlukan. Skema diskriminasi data
merupakan pembagian skenario ke dalam kombinasi input dan konseptual model
untuk memperoleh skenario yang memberikan pengaturan model yang optimal.
Selanjutnya, optimasi model SWAT dipertimbangkan berdasarkan performa model
sebelum dan setelah kalibrasi. Model SWAT digunakan untuk menduga debit
sungai di outlet DTA (Daerah Tangkapan Air) Majalaya dan Cengkrong di SubDAS Cirasea. Pengaturan model yang optimal diperoleh dengan memilih
kombinasi stasiun curah hujan terefektif sebagai input model yaitu Chichona,

Cipaku dan Ciparay selain dari stasiun Cibeurem, Cisonda, dan Paseh. Setelah itu,
konseptual model dipilih dengan menerapkan threshold delineasi sub-DAS lebih
detail (757 Ha) yang memberikan hasil pengaturan model lebih optimal dari pada
threshold delineasi sub-DAS yang kurang detail (3000 Ha). Optimasi kalibrasi
model menggunakan SWAT-CUP prosedur SUFI-2 (Sequential Uncertainty
Fitting Version 2). Hasil kalibrasi optimal dalam penelitian ini diperoleh dengan
menerapkan regionalisasi parameter pada masing-masing DTA dengan jumlah
parameter yang dioptimasi lebih banyak. Hasil model yang paling optimal sebelum
dan sesudah dilakukannya kalibrasi dan validasi yaitu pada skenario yang
menggunakan input model stasiun terefektif (Chichona, Cipaku, dan Ciparay) dan
konseptual model yang detail (757 Ha).

Kata kunci: skema diskriminasi data, input model, konseptual model, kalibrasi dan
validasi model

ABSTRACT
MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS. SWAT Model Optimization in Estimation of
River Discharge (Case Study: Cirasea Sub-Watershed Bandung Regency, West
Java). Supervised by HENDRAYANTO.
The availability and quality of data is a challenge in modelling SWAT (Soil

and Water Assessment Tools). Hence, design of data discrimination scheme in
model setup (pre calibration) is required. Data discrimination scheme is dividing
scenarios into combination of model input and model conceptual to obtain a
scenario which provide the optimal model setup. Furthermore, SWAT model
optimization is considered by the performance of pre and post calibration model.
SWAT was used to simulate river discharge at outlet of Majalaya and Cengkrong
catchment in Cirasea sub watershed. Optimal model setup was obtained by
selecting the combination of best effective raingage stations as model input i.e
Chichona, Cipaku, and Ciparay apart from Cibeurem, Cisonda, and Paseh raingage.
Afterwards, model conceptual was selected by applying the more detail subbasin

delineation threshold (757 Ha) which give the optimal result, rather than applying
the less detail subbasin delineation threshold (3000 Ha). Optimization of model
calibration used SWAT-CUP SUFI-2 (Sequential Uncertainty Fitting Version 2)
procedure. Optimal calibration result in this study was derived by applying
parameter regionalization to each catchment with the more number of optimized
parameter. Optimal model result pre and post calibration validation was the
scenario that have the model input of best effective raingage stations (Chichona,
Cipaku and Ciparay) and detail model conceptual (757 Ha).
Keywords: data discrimination scheme, model input, model conceptual, model

calibration and validation

muh.firdausiqbal@gmail.com

OPTIMASI MODEL SWAT
DALAM PENDUGAAN DEBIT SUNGAI
(Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat)

MUHAMMAD IQBAL FIRDAUS

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2016

muh.firdausiqbal@gmail.com

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2015 ini ialah
model hidrologi, dengan judul Optimasi Model SWAT dalam Pendugaan Debit
Sungai (Studi Kasus: Sub-DAS Cirasea Kabupaten Bandung, Jawa Barat).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda Holid Rosyidi dan Ibunda
Ida Farida tercinta, serta saudara Randy Noviandi, M. Zulhaedi Ramdani, Yusfika
Permatasari dan Dea Fediana yang telah memberikan dorongan moral dan materi
kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr Ir Hendrayanto M Agr selaku pembimbing yang telah memberikan
pengetahuan, bimbingan, motivasi, kritik, saran, dan perbaikan terhadap tulisan
ilmiah ini. Tidak lupa juga penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih
kepada Sri Malahayati Yusuf SP, MSi yang telah memberi saran dan dukungan
dalam pengumpulan data dan pengetahuan yang menunjang dalam kegiatan
penelitian. Kemudian ungkapan rasa terima kasih penulis sampaikan kepada temanteman seperjuangan Departemen Manajemen Hutan Laboratorium Hidrologi dan

seluruh Keluarga Manajemen Hutan 48.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2016

Muhammad Iqbal Firdaus

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL

ii

DAFTAR GAMBAR

ii


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

METODE

2


Lokasi dan Waktu Penelitian

2

Jenis dan Sumber Data

3

Alat

4

Pengolahan dan Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

11


Hujan Rata-rata Daerah Menggunakan Metode Centroid Sub-DAS

11

Skenario Multiple Dataset

15

Kalibrasi dan Validasi

18

SIMPULAN DAN SARAN

23

Simpulan

23


Saran

23

DAFTAR PUSTAKA

24

RIWAYAT HIDUP

27

i

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5

6
7
8
9

10
11

12
13

14
15
16
17
18

Jenis, sumber dan skala/resolusi data
Sumber dan ketersediaan data iklim
Ketersediaan data debit observasi
Pembagian skenario dan kombinasi data
Kalibrasi dengan set input parameter K1
Kalibrasi dengan set input parameter K3
Kriteria performa model
Stasiun curah hujan yang digunakan saat threshold delineasi sub-DAS
3000 Ha dengan semua stasiun curah hujan sebagai input
Total luas daerah subdas yang menggunakan stasiun curah hujan yang
sama pada threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha (DTA Majalaya
dan Cengkrong)
Stasiun curah hujan yang digunakan saat threshold delineasi sub-DAS
757 Ha dengan semua stasiun curah hujan sebagai input
Total luas daerah subdas yang menggunakan stasiun curah hujan yang
sama pada threshold delineasi sub-DAS 757 Ha (DTA Majalaya dan
DTA Cengkrong)
Koefisien determinasi (r2) antara debit observasi dan debit simulasi pada
DTA yang menggunakan masing-masing data curah hujan
Nash-Sutcliffe Coefficienct Efficiency (NS) antara debit observasi dan
debit simulasi pada DTA yang menggunakan masing-masing data curah
hujan
Performa model pada dua periode berdasarkan r2
Performa model pada dua periode berdasarkan NS
Hasil kombinasi stasiun curah hujan terhadap simulasi debit pada
masing-masing DTA
Hasil kalibrasi dan validasi model dengan menggunakan set parameter
(K1 sampai K4)
Performa model terhadap masing-masing DTA

3
4
4
8
9
9
10
12

13
13

13
15

15
16
16
17
19
21

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

5
6

Sub-DAS Cirasea sebagai Lokasi Penelitian
Diagram aliran proses pemodelan SWAT
Titik centroid subdas dan titik stasiun curah hujan Sub-DAS Cirasea pada
delineasi sub-DAS 3000 Ha (kiri) dan delineasi sub-DAS 757 Ha (kanan)
Hyetograph (mm) dan hydrograph (m3/s) pada DTA Majalaya dan
Cengkrong dengan penerapan threshold delineasi sub-DAS 3000 Ha (atas)
dan 757 Ha (bawah)
Boxplot/whisker masing-masing percobaan kalibrasi dan validasi terhadap
seluruh skenario model
Hydrograph 95PPU bulanan antara debit observasi dan simulasi

ii

3
6
12

14
19
20

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
SWAT (Soil and Water Assessment Tools) merupakan suatu model hidrologi
yang dikembangkan oleh Arnold et al. untuk USDA-ARS (United States
Department of Agriculture-Agricultural Research Service). Pengembangan model
dilakukan selama lebih dari 30 tahun dan sebelumnya merupakan turunan secara
langsung dari model Simulator for Water Resources in Rural Basins, SWRRB
(Arnold dan William 1987) yang didesain untuk mensimulasikan dampak
pengelolaan lahan terhadap air dan pergerakan sedimen di DAS (Daerah Aliran
Sungai) pedesaan di Amerika Serikat (Gassman et al. 2007). SWAT merupakan
model yang didasarkan pada proses fisik, dari pada model yang didasarkan pada
persamaan empirik, sehingga memerlukan informasi spesifik untuk menjalankan
model agar hasil model lebih memuaskan (Neitsch et al. 2011).
Model SWAT dapat diaplikasikan di DAS yang luas, dengan variasi jenis
tanah dan kemiringan lereng, kondisi lingkungan yang beragam, digunakan secara
open source dan terus dikembangkan untuk mengatasi tantangan ke depan. SWAT
telah banyak digunakan di berbagai belahan dunia, di antaranya di benua Amerika
(Arnold et al. 1999), benua Eropa (Abbaspour et al. 2015), benua Afrika (Schuol et
al. 2008), Iran (Abbaspour et al. 2009), Kanada (Faramarzi et al. 2015), dan Cina
(Zhang et al. 2015). SWAT juga telah banyak digunakan di Indonesia, di antaranya
di DAS Citarum Hulu (Adrionita 2011), Citarum Hulu Sub-DAS Cirasea
Cengkrong (Yusuf 2010), Ciliwung hulu (Budiaman 2014), Cisadane hulu
(Kriswiyanto 2014), Sub-DAS Gumbasa dan Sub-DAS Cisadane Hulu (Mulyana
2012).
Ketersediaan dan kualitas data merupakan salah satu tantangan dalam
pemodelan SWAT yang akan memberikan ketidaktepatan input model dan
konseptual model dalam proses pengaturan model (model setup). Hal ini juga akan
menuntun pada kesalahan optimasi dan pendugaan parameter dalam proses
kalibrasi dan validasi model. Oleh karena itu, diperlukan skema diskriminasi data
sebelum dilakukan kalibrasi untuk memberikan hasil yang lebih optimal (Faramarzi
et al. 2015).
Skema diskriminasi data telah dilakukan di DAS Alberta Kanada oleh
Faramarzi et al. (2015) untuk memperoleh hasil output model yang akurat dengan
pengaturan model yang tepat. Skema ini dapat dilakukan berdasarkan pengaturan
konseptual model, dan input model. Pengaturan konseptual model salah satunya
dengan mengatur kedetailan model atau besarnya simplifikasi model, sedangkan
pengaturan input model yaitu dengan menggunakan alternatif kombinasi data yang
ada sehingga mendapatkan hasil yang paling optimal. Batasan input kombinasi data
yang ada dalam penelitian ini ialah curah hujan.
Sub-DAS Cirasea digunakan sebagai studi kasus dalam penelitian ini karena
memiliki area yang luas dengan ketersediaan data yang cukup dan beragam. Salah
satu data yang memiliki keragaman tinggi secara spasial dan temporal yaitu curah
hujan. Curah hujan merupakan variabel penggerak (driving variable) utama yang
menentukan dinamika besarnya debit dalam pemodelan SWAT.

2
Selain itu, untuk menentukan besarnya curah hujan dalam setiap subdas,
metode interpolasi curah hujan yang digunakan oleh SWAT ialah interpolasi
centroid. Kelemahan dalam metode ini, SWAT akan mampu merepresentasikan
secara akurat variabilitas curah hujan secara spasial apabila delineasi subdas yang
dilakukan telah cukup mencakup kepadatan dari stasiun curah hujan yang ada
(Galván et al. 2014). Delineasi subdas ditentukan oleh besarnya threshold sebagai
batasan area minimal untuk membentuk asal aliran sungai. Deliniasi subdas secara
konseptual, akan mempengaruhi kedetailan model yaitu jumlah subdas, HRU, dan
jaringan sungai.
Kalibrasi pada model semi terdistribusi SWAT seringkali sangat sulit dan
subjektif ketika pengaturan model dilakukan dengan simplifikasi model yang cukup
besar (Faramarzi et al. 2015). Oleh karena itu, teknik kalibrasi yang optimal akan
memberikan performa hasil model yang lebih baik relatif terhadap hasil observasi
pengukuran. Hasil observasi pengukuran yang telah dilakukan ialah pengukuran
debit sungai. Debit sungai merupakan salah satu respon hidrologi yang
terakumulasi kedalam saluran sungai, sehingga debit merupakan salah satu ouput
simulasi model SWAT yang dapat dibandingkan dengan data observasi di lapangan
sebagai pedoman dalam optimasi saat kalibrasi dan juga keabsahan dari pendugaan
parameter yang dilakukan saat kalibrasi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pemilihan input curah hujan,

threshold delineasi sub-DAS, dan metode kalibrasi yang paling optimal dalam
pendugaan debit simulasi, relatif terhadap debit observasi.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ialah untuk memberikan gambaran prosedur skenario
input dan konseptual SWAT model setup, dan juga penerapan teknik kalibrasi dan
validasi model yang optimal.

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Sub-DAS Cirasea, DAS Citarum Hulu yang
berlokasi pada koordinat: 6° 58' 41"LS−7° 14' 42" LS, 107° 37' 8" BT−107° 49' 50"
BT (Gambar 1). Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan September sampai
Oktober, analisis data dilakukan pada bulan November sampai Desember 2015.

3

Gambar 1 Sub-DAS Cirasea sebagai Lokasi Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang digunakan, disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.
Tabel 1 Jenis, sumber dan skala/resolusi data
Jenis data

Skala/resolusi

Sumber data

1 : 25000

Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) BIG (Badan Informasi Geospasial)

Data Iklim harian

0.3° x 0.3°

CFSR (Climate Forecast System
Reanalysis) Global Weather data for
SWAT http://globalweather.tamu.edu/

Peta Klasifikasi Jenis
Tanah Tahun 1993

1:100000

Litbang (Lembaga Penelitian dan
pengembangan) Sumber daya Lahan

Hasil Analisis
Karakteristik Tanah
DAS Citarum Tahun
1993

-

Litbang (Lembaga Penelitian dan
pengembangan) Sumber daya Lahan

DEM (Digital
Elevation Model)

30 m x 30 m

USGS-SRTM
(Shuttle
Topographic Mission)

Jaringan Sungai

Peta Penggunaan
Lahan Tahun 2000

1:50000

Radar

(feature class .shp) Badan Planologi
Kehutanan

4
Tabel 2 Sumber dan ketersediaan data iklim
Stasiun
Iklim
Cipaku
Cibeurem
Chichona
Ciparay
Cisonda
Paseh
Global
Weather

Ketersediaan
data
2002−2014

Sumber data
Kementrian Pekerjaan Umum (PU)
Kementrian Pekerjaan Umum (PU)
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG)
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG)
Kementrian Pekerjaan Umum (PU)
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG)

1998−2014

CFSR (Climate Forecast System Reanalysis)

1979−2014

1998−2007
1998−2007
1999−2014
1998−2007

Tabel 3 Ketersediaan data debit observasi
Nama
Outlet

Luas DTA
(Km2)

Majalaya

192.70

Cengkrong

71.30

Tipe data

Ketersediaan data

Debit
harian
Debit
harian

2000−2003,
2005−2010
2000−2001,
2005−2010

Sumber data
Kementrian PU
Kementrian PU

DTA: Daerah Tangkapan Air

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer
dengan sistem operasi Windows yang dilengkapi software ArcGIS (ArcMap 10.3),
ArcSWAT 2012, SWAT-CUP 2012 (SWAT-Calibration Uncertainty Program)
dan Microsoft Office 2016 (Word, Excel, Access dan Visio).
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan dan analisis data secara diagramatik menyeluruh disajikan dalam
Gambar 2. Model alih ragam hujan menjadi debit dalam SWAT (running model)
didasarkan pada persamaan neraca air berikut (Neitsch et al. 2011):



��



� = � + ∑(
�=





− �� − �



: kandungan air tanah akhir (mm H2O)
: kandungan air tanah awal (mm H2O)
: curah hujan harian pada hari ke-i (mm H2O)
: run off pada hari ke-i (mmH2O)
: evapotranspirasi aktual pada hari ke-i (mmH2O)

)

5


: total air yang keluar dari lapisan tanah pada hari ke-i (mmH2O)
: total air yang mengalir kembali ke sungai pada hari ke-i
(mmH2O)

Pendugaan limpasan dalam model SWAT, dilakukan berdasarkan metode
SCS Curve Number yang dirumuskan sebagai berikut (Neitsch et al. 2011):
� �=

� �



��


(

(





=







�)

+ )

. (

=

(



(



− .

+ .

)

)

− )
��
: limpasan akumulasi (mmH2O)
: curah hujan harian (mmH2O)
: parameter retensi (mmH2O)
: curve number
: abstraksi awal (initial abstraction) termasuk simpanan air
permukaan, intersepsi, dan infiltrasi. Biasanya diberikan nilai
0.2S

Evapotranspirasi aktual �� dihitung setelah total PET (Potensial
Evapotranspiration) ditentukan. Total PET ditentukan berdasarkan metode
Hargreaves. Sementara itu, evaporasi aktual dihitung pertama kali pada intersepsi
yang terevaporasi pada tajuk. Selanjutnya, SWAT menghitung jumlah maksimum
dari transpirasi dan jumlah maksimum dari evaporasi tanah, sehingga SWAT dapat
menghitung nilai evaporasi tanah aktual (Neitsch et al. 2011).
PET dengan metode Hargreaves ditentukan dengan rumus sebagai berikut
(Neitsch et al. 2011):



̅�

�� = .





.5



∙ ̅� −

.

: panas laten dari penguapan (MJ kg-1)
: evapotranspirasi potensial (mm hari-1)
: radiasi ekstraterestrial (MJ m-2 hari-1)
: temperatur udara maksimum pada hari tertentu (℃
: temperatur udara minimum pada hari tertentu (℃
: temperatur udara rata-rata pada hari tertentu (℃

Evapotranspirasi aktual dalam menghitung evaporasi pada intersepsi tajuk
dihitung dengan rumus (Neitsch et al. 2011):

�� = �





Apabila � <

= � ,

���

Apabila � >

=

��� �

,

���

:

���

:

=

���

��� �

=

− �



6
��

��

���

��� �

: evapotranspirasi aktual (mmH2O)
: evapotranspirasi potensial (mmH2O)
: evaporasi tajuk (mmH2O)
: jumlah akhir air bebas yang tertahan pada tajuk (mmH2O)
: jumlah awal air bebas yang tertahan pada tajuk (mmH2O)

Informasi lengkap mengenai konsep, teori, dan formula dari SWAT untuk
menentukan nilai transpirasi dan evaporasi tanah aktual dalam menduga debit
mengacu pada Neitsch et al. (2011).
DEM
Land use
Tanah
Curah Hujan
Iklim

Mulai

Debit
Observasi

Pengumpulan
data

Formatting
data SWAT

DEM

Land use
Tanah
Slope
(DEM)

Iklim dan
Curah
Hujan

Delineasi
sub-DAS
3000 Ha

Delineasi
sub-DAS
757 Ha

Masingmasing
stasiun
curah
hujan
Semua
Stasiun
Curah
Hujan

Debit
Observasi

Deliniasi subDAS

SWAT-CUP SUFI-2
Kalibrasi debit

Pembentukan
HRU

Debit
simulasi
terkalibrasi

Pembatasan
HRU
Definition

Write Input
Table

Muskingum
Routing
Method

General
Watershed
Channel
Routing

Hargreaves
PET Method

General
Watershed
Water
Balance

Rewrite
Input
Table

Stasiun
Curah
Hujan
Efektif

Edit Input
SWAT

No

NS > 0.5 & R2 > 0.5
(Iterasi 4-5x)

Yes

Running
Model

Parameter
dan
Simulasi
terbaik

Validasi

TxtInOut

Selesai

Gambar 2 Diagram aliran proses pemodelan SWAT
SWAT Model Setup
a. Delineasi DAS
Sub-DAS Cirasea memiliki luasan area sebesar 378.42 km2 dan merupakan
bagian dari DAS hulu Citarum. Sub-DAS didelineasi menggunakan DEM srtm 30
x 30 m2, dan menggunakan jaringan sungai dari BIG sebagai burn in stream seperti
yang telah dilakukan oleh Yunxiang et al. (2011). Delineasi DAS dilakukan dengan
dua skenario yaitu dengan default threshold sebesar 757 Ha ≈ 2% x total luas area
DAS yang dikaji dan dengan menggunakan threshold 3000 Ha. Percobaan luasan
threshold subdas yang lebih luas dari default threshold bertujuan untuk simplifikasi
model, dan untuk keperluan efisiensi eksperimen dalam kombinasi input data dan
mengetahui pengaruh simplifikasi model terhadap performa model yang dihasilkan.

7
b. Pembentukan dan pembatasan threshold HRU (Hydrologic Response Unit)
HRU merupakan suatu unit informasi yang memiliki satu kesamaan
(homogenitas) unik dan memberikan respon hidrologi terhadap DAS. HRU dalam
SWAT terbagi ke dalam informasi penggunaan lahan, tanah dan kelas kemiringan
lereng (0−8%, 8−15%, 15−25%, 25−40% dan > 40%). Kombinasi informasi
penggunaan lahan/tanah/kelas kemiringan lereng ditimpal (overlay) menjadi
kesatuan informasi dan terdistribusi dalam DAS yang telah terdeliniasi, serta dalam
masing-masing sub-DAS nya. Kelas kemiringan lereng dihasilkan berdasarkan data
DEM yang digunakan (Winchell et al. 2013). Informasi Penggunaan lahan (land
use), tanah (soil) dan kemiringan lereng (slope) ditimpal, kemudian threshold
distribusi dari HRU dalam DAS berdasarkan nilai default (land use/soil/slope class:
(20/10/20) %) sebagaimana direkomendasikan dalam manual guide SWAT
(Winchell et al. 2013).
c. Write input table
Write input table merupakan perintah untuk menghasilkan ArcSWAT
geodatabase table yang digunakan sebagai input variabel penggerak yaitu curah
hujan dan iklim ke dalam database SWAT, kemudian penulisan parameterparameter default SWAT kedalam ArcSWAT tabel geodatabase.
d. Membangun weather generator
Data curah hujan yang kosong, atau tidak dilakukannya observasi
disimulasikan oleh weather generator (wgn). Weather generator mensimulasikan
data iklim yang kosong atau tidak dilakukan observasi dengan menginput nilai -99
pada data yang kosong tersebut agar weather generator mengisi data pada hari
tersebut. Weather generator diisi berdasarkan parameter statistik yang dibutuhkan
seperti dalam Arnold et al. (2012a) dengan acuan data observasi yang memiliki
ketersediaan data seperti pada Tabel 2.
Kombinasi Stasiun Curah Hujan Efektif (Best Effective Stations)
Optimasi input data stasiun curah hujan diperoleh dengan memilih kombinasi
stasiun efektif di sub-DAS Cirasea. Pemilihan stasiun efektif berdasarkan pada hasil
performa model yang dihasilkan dengan menggunakan masing-masing input
stasiun curah hujan yang terpisah. Sebagai contoh, proses running model pertama
menggunakan satu stasiun Cibeurem sebagai input model, kemudian memberikan
hasil simulasi debit dan dibandingkan dengan observasi debit sehingga dapat
mengetahui performa model yang dihasilkan oleh stasiun curah hujan Cibeurem.
Selanjutnya pada stasiun Cisonda dilakukan hal yang sama sehingga mengetahui
respon terhadap performa model yang dihasilkan oleh stasiun Cisonda. Hal ini
dilakukan sampai semua stasiun sudah diketahui responnya masing-masing
terhadap performa model. Performa model dapat diketahui berdasarkan r2 dan NS.
Pembagian Skenario
Pembagian skenario merupakan bagian dari skema diskriminasi data (Tabel
4) yang didasarkan pada sumber error model yang mungkin terjadi pada bagian
konseptual model (delineasi subdas), dan input model (input curah hujan). Skenario

8
(S1) dilakukan untuk memperoleh kombinasi stasiun curah hujan efektif pada DTA
Majalaya dan Cengkrong. Masing-masing kombinasi input dan konseptual model
digabungkan ke dalam bagian multiple dataset yang selanjutnya dianalisis
berdasarkan DTA, dan juga performa masing-masing model saat sebelum dan
sesudah dilakukan kalibrasi dan validasi model.
Tabel 4 Pembagian skenario dan kombinasi data
Sumber Error
Optimasi Input CH

Konseptual Model
Multiple Dataset

Skenario/Dataset
I1: masing-masing stasiun curah hujan di input terpisah
I2: semua stasiun curah hujan digunakan
I3: kombinasi Stasiun curah hujan efektif digunakan
a: delineasi sub-DAS threshold 3000 Ha
b: delineasi sub-DAS threshold 757 Ha
S1a: a+I1
S1b: b+I1
S2a: a+I2
S2b: b+I2
S3a: a+I3
S3b: b+I3

Kalibrasi Model
Proses kalibrasi merupakan pencocokan nilai parameter-parameter terhadap
suatu model yang sudah memiliki konseptual dan input model yang tepat. Kalibrasi
dilakukan secara deterministik dan stokastik. Kriteria performa model deterministik
ditentukan berdasarkan simulasi terbaik oleh r2 dan NS, sedangkan secara stokastik
performa model dijelaskan oleh p-factor dan r-factor.
Kalibrasi yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan prosedur SUFI-2
(Sequential Uncertainty Fitting version 2) dalam SWAT CUP. SUFI-2 merupakan
kalibrasi semi-automatic yang dilakukan untuk mendapatkan rentang nilai kalibrasi
yang terbaik (Abbaspour 2015).
Input parameter dilakukan berdasarkan 4 percobaan (K1 sampai K4). Setiap
percobaan kalibrasi dan validasi dalam menduga parameter, diberikan pada setiap
skenario (S2 sampai S3). Percobaan K1 (Tabel 5) merupakan set parameter yang
disarankan untuk dikalibrasi berdasarkan Abbaspour et al. (2015). Percobaan K2
merupakan regionalisasi parameter dari K1 seperti yang dilakukan oleh Ashraf
Vaghefi et al. (2013) yang dilakukan berdasarkan lokasi DTA. Selanjutnya
percobaan kalibrasi K3 (Tabel 6) dilakukan untuk membandingkan banyaknya
jumlah parameter terhadap hasil pendugaan parameter. Parameter tersebut seperti
pada Rouholahnejad et al. (2014) dan juga berdasarkan “SWAT_Absolute
Value.txt” yang ada di SWAT-CUP. Kemudian percobaan keempat (K4) dilakukan
dengan menerapkan regionalisasi parameter yang dilakukan pada percobaan
kalibrasi ketiga (K3). Hal ini dimaksudkan agar mengetahui bagaimana hasil dari
regionalisasi parameter terhadap kalibrasi yang dilakukan dengan banyak
parameter.
Kalibrasi dilakukan dengan parameterisasi berdasarkan angka relatif (r), dan
angka pengganti (v). Angka (r) yaitu 1+ (nilai yang diberikan) kemudian dikalikan
angka parameter sebelum dikalibrasi, sementara angka (v) yaitu angka yang
diberikan untuk menggantikan angka parameter yang dikalibrasikan. Angka yang

9
diberikan berada pada rentang batas atas dan batas bawah pada iterasi pertama.
Iterasi dilakukan sebanyak 4 sampai 5 kali, dengan masing-masing iterasi dilakukan
sebanyak 500 kali sebagaimana direkomendasikan dalam Abbaspour (2015).
Tabel 5 Kalibrasi dengan set input parameter K1
Parameter
r__CN2.mgt
r__GWQMN.gw
r__GW_REVAP.gw
r__REVAPMN.gw
r__SOL_AWC(1).sol
r__ESCO.hru
r__SLSUBBSN.hru
r__OV_N.hru
r__HRU_SLP.hru
v__MSK_CO1.bsn
v__MSK_CO2.bsn
v__MSK_X.bsn

Batas bawah Batas atas
-0.35
-0.35
-0.8
-0.8
-0.8
0.8
-0.8
0.8
-0.8
0.8
-0.8
0.8
-0.4
0.4
-0.4
0.4
-0.4
0.4
0
10
0
3
0
0.3

Tabel 6 Kalibrasi dengan set input parameter K3
Parameter
r__CN2.mgt
r__ALPHA_BF.gw
r__GW_DELAY.gw
r__GWQMN.gw
r__GW_REVAP.gw
r__REVAPMN.gw
r__RCHRG_DP.gw
v__SHALLST.gw
v__DEEPST.gw
r__CH_N2.rte
r__CH_K2.rte
r__ALPHA_BNK.rte
r__SOL_AWC().sol
r__SOL_K().sol
r__SOL_BD().sol
r__SOL_ALB().sol
v__ROCK().sol
v__SOL_ZMX.sol
v__ANION_EXCL.sol
v__SOL_CRK.sol
r__SLSUBBSN.hru
r__OV_N.hru
r__HRU_SLP.hru
v__ESCO.hru
v__EPCO.hru
v__CANMX.hru

Batas bawah Batas atas
-0.35
-0.35
-0.8
-0.8
-0.8
0.8
-0.8
0.8
-0.8
0.8
-0.8
0.8
0.3
0.5
0
50000
0
50000
-0.8
0.8
-0.8
0.8
-0.6
0.6
-0.5
0.5
-0.8
0.8
-0.4
0.4
-0.4
0.4
0
50
0
3500
0.01
1
0
1
-0.4
0.4
-0.4
0.4
-0.4
0.4
0.8
1
0
1
0
100

10
Tabel 6 Lanjutan
Parameter
v__MSK_CO1.bsn
v__MSK_CO2.bsn
v__MSK_X.bsn
v__SURLAG.bsn
v__CH_K1.sub

Batas bawah
0
0
0
0.04
0

Batas atas
10
10
0.3
24
300

Hasil simulasi terbaik berdasarkan pada objective function NS (Nash-Sutcliffe
efficiency coefficient), dan r2 (koefisien determinasi Pearson). Simulasi terbaik
diperoleh berdasarkan NS, sedangkan r2 digunakan untuk mengetahui korelasi
antara variabel simulasi dan observasi. Parameter r2 dijadikan pertimbangan
sebagai bahasan dalam mengetahui performa model.
NS mengukur efisiensi dari model, kecocokkan dari model terhadap ragam
dari data observasi (Mamo dan Jain 2013), yang didefinisikan dengan persamaan
berikut:
∑�=
�−

� = −
∑�=
�− ̅ �

̅






: Nash-Sutcliffe Coefficient of Efficiency
: variabel debit simulasi
: variabel debit observasi
: rata-rata variabel debit observasi

Nilai NS berkisar antara −∞ sampai 1. NS = 1 menunjukkan bahwa model
benar-benar tepat sempurna dibandingkan dengan data observasi. NS = 0
menunjukkan bahwa prediksi model memiliki akurasi sebesar nilai rataan dari data
observasi, sedangkan NS 0.7 dan nilai r-factor 0.5
dan r2 > 0.5 (Moriasi et al. 2007). Tabel 12 dan Tabel 13 menunjukkan performa
model sebagai respon dari masing-masing stasiun curah hujan. Setiap stasiun curah
hujan memberikan respon yang kurang baik (NS 0.14 sehingga dengan
mudah dapat mengetahui kombinasi stasiun terefektif.
Stasiun curah hujan Chichona, dan Ciparay memiliki ketersediaan data tahun
1998 sampai tahun 2007. Sementara itu, stasiun Cipaku memiliki ketersediaan data
tahun 2002 sampai tahun 2014 (Tabel 2). Untuk mengisi data yang kosong,
digunakan weather generator, sehingga weather generator memiliki intervensi
dalam menduga debit selain dari data observasi curah hujan. Hal ini menjadi suatu
hipotesis bahwa weather generator dapat menduga curah hujan dengan baik karena
telah mengisi data kosong selama lebih dari 3 tahun.
Perbandingan antara hasil performa model yang bersumber dari data
observasi dan data dugaan dari weather generator dilakukan dengan
membandingkan periode tahun tahun 2000−2010 dan tahun 2000−2007. Hal ini
dikarenakan pada periode tahun 2000−2007 hanya sedikit digunakan weather
generator sebagai pengisi data yang kosong. Perbandingan tersebut dilakukan pada
skenario S1b yang disajikan pada Tabel 14 dan Tabel 15.
Tabel 14 Performa model pada dua periode berdasarkan r2
Stasiun curah hujan
Chichona
Cibeurem
Cipaku
Ciparay
Cisonda
Paseh

2000 − 2007
M (S1b)
C (S1b)
0.28
0.38
0.21
0.31
0.29
0.28
0.19
0.27
0.25
0.40
0.11
0.18

2000 – 2010
M (S1b)
C (S1b)
0.24
0.31
0.23
0.17
0.36
0.15
0.17
0.35
0.15
0.39
0.09
0.24

Tabel 15 Performa model pada dua periode berdasarkan NS
Stasiun curah hujan
Chichona
Cibeurem
Cipaku
Ciparay
Cisonda
Paseh

2000 − 2007
2000 – 2010
M (S1b)
C (S1b)
M (S1b)
C (S1b)
-1.03
-0.04
-0.85
-0.07
-11.45
-2.14
-14.56
-4.07
-0.91
-0.34
-1.31
-0.51
-0.93
-0.23
-0.81
-0.13
-11.85
-2.60
-9.56
-2.1
-1.97
-0.63
-1.7
-0.51

Berdasarkan Tabel 14 dan Tabel 15 dapat diketahui bahwa intervensi weather
generator terhadap model memberikan hasil yang masih konsisten dilihat pada
stasiun curah hujan Chichona, Ciparay dan Paseh. Selain itu, untuk
menggambarkan hubungan kualitas dan ketersediaan data setiap stasiun curah hujan,
dapat dilihat pada stasiun Chichona dan Cibeurem. Data yang tersedia di stasiun
Chichona ialah tahun 1998−2007 sementara di stasiun Cibeurem ialah tahun
1999−2014. Pada kedua periode di stasiun Chichona dan Cibeurem, nilai NS dan r2

17
stasiun Chichona lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun Cibeurem. Hal ini
dikarenakan hasil pembangunan weather generator stasiun Chichona yang
menggunakan data observasi sebagai acuan dalam menghasilkan parameter statistik
yang dibutuhkan dalam weather generator stasiun Chichona, memiliki hasil debit
simulasi yang lebih baik dibandingkan dengan hasil debit simulasi dari data
observasi stasiun Cibeurem. Oleh karena itu, weather generator dapat menduga
dengan baik data curah hujan yang kosong, sehingga stasiun Chichona
dipertimbangkan sebagai input stasiun curah hujan meskipun ketersediaan data nya
lebih rendah dari pada stasiun Cibeurem.
Skenario S2a, S2b, S3a, dan S3b
Tabel 16 Hasil kombinasi stasiun curah hujan terhadap simulasi debit pada masingmasing DTA
DTA
Majalaya
Cengkrong
Majalaya
Cengkrong
Majalaya
Cengkrong
Majalaya
Cengkrong

Skenario
S2a
S2a
S2b
S2b
S3a
S3a
S3b
S3b

r2
0.24
0.39
0.30
0.40
0.30
0.35
0.39
0.42

NS
-10.3
-2.12
-4.93
-1.71
-0.74
-0.07
-0.53
0.03

Tabel 16 merupakan perbandingan hasil model sebelum kalibrasi antara input
kombinasi stasiun curah hujan efektif dan semua input stasiun curah hujan, dengan
membandingkan tingkat kedetailan model terhadap hasil. Kombinasi seluruh
stasiun curah hujan (S2a dan S2b) sebagai input data curah hujan memberikan hasil
yang relatif masih kurang optimal, terutama pada DTA Majalaya. Sementara itu,
pada input stasiun curah hujan efektif, hasil meningkat pada kedua skenario (S3a
dan S3b). Oleh karena itu, kombinasi stasiun curah hujan efektif akan memberikan
model yang lebih optimal sebelum dilakukan kalibrasi.
Pengaruh tingkat kedetailan model khususnya dalam delineasi sub-DAS
dapat diketahui dengan membandingkan antara S2a dan S2b, juga S3a dan S3b.
Hasil menunjukkan bahwa semakin detail delineasi maka akan memberikan hasil
yang lebih baik. Hal ini serupa dengan Rouhani et al. (2009) bahwa semakin sedikit
jumlah sub-DAS yang terdelineasi (3000 Ha), model yang dihasilkan akan kurang
akurat dalam menduga debit puncak, sementara semakin banyak pembagian DAS
kedalam subsub-DAS (757 Ha) akan memberikan kecocokan yang lebih baik antara
observasi dan simulasi pada aliran sungai yang ekstrim.

18
Kalibrasi dan Validasi
Setiap percobaan kalibrasi, dilakukan pada masing-masing skenario model
untuk mengetahui respon parameterisasi yang diberikan terhadap model pada dua
DTA yang berbeda yaitu Majalaya (M) dan Cengkrong (C). Masing-masing hasil
dari setiap percobaan kalibrasi disajikan pada Tabel 17 dan Gambar 5. Berdasarkan
Tabel 17 dapat diketahui bahwa skenario yang memiliki nilai r2 dan NS paling
optimal sebelum dan sesudah kalibrasi yaitu S3b (input stasiun curah hujan efektif
dengan delineasi sub-DAS 757 Ha). Hal ini berarti bahwa kombinasi stasiun efektif
dengan tingkat kedetailan yang lebih tinggi dapat mengoptimalkan hasil model
sebelum dan sesudah kalibrasi. Oleh karena itu, skema diskriminasi data pada tahap
pengaturan model merupakan tahap yang penting sebelum dilakukannya kalibrasi
dan validasi.
Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa percobaan kalibrasi K4 dapat
meningkatkan hasil yang lebih optimal pada seluruh skenario, karena kemenjuluran
hasil NS dan r2 pada K4 secara deskriptif menjulur pada nilai yang lebih tinggi
dibandingkan K1 sampai K3. Hal ini berarti bahwa regionalisasi parameter dan
banyaknya parameter dapat meningkatkan hasil pada kedua subdas. Namun, harus
disadari bahwa regionalisasi parameter dapat memaksakan parameter pada kedua
subdas terlalu jauh berbeda, dan juga semakin banyaknya jumlah parameter yang
dikalibrasikan akan semakin banyak parameter yang dipaksakan optimal dengan
memiliki hasil NS dan r2 yang lebih tinggi. Hal ini dapat meningkatkan peluang
bahwa kalibrasi yang dilakukan dapat merusak representasi fisik pada sistem DAS.
Selain itu, menurut Arnold et al. 2012b input parameter yang dikalibrasikan harus
dalam rentang yang realistis dan tidak ada prosedur otomatis yang dapat
menggantikan informasi fisik sebenarnya (observasi) yang telah diketahui pada
DAS. Oleh sebab itu diperlukan analisis atau teknik lanjutan untuk mengetahui
keterwakilan parameter yang dikalibrasikan terhadap representasi fisik sistem DAS
yang ada pada setiap percobaan kalibrasi.

Tabel 17 Hasil kalibrasi dan validasi model dengan menggunakan set parameter (K1 sampai K4)
K1
Model Awal
Skenario r2
NS
S2a (M) 0.24 -10.3
S2a (C) 0.39 -2.12
S2b (M) 0.3
-4.93
S2b (C) 0.4
-1.71
S3a (M) 0.3
-0.74
S3a (C) 0.35 -0.07
S3b (M) 0.39 -0.53
S3b (C) 0.42 0.03

Kalibrasi
2
r
NS
0.33 -3.51
0.45 -0.93
0.38 -1.87
0.47 -0.73
0.44 0.03
0.29 -0.09
0.44 0.14
0.49 -0.09

Validasi
2
r
NS
0.47 -12.30
0.1 -1.69
0.36 -4.92
0.13 -1.69
0.08 -1.59
0.51 -0.12
0.37 -0.98
0.44 -0.14

K2
Kalibrasi
2
r
NS
0.33 -3.5
0.46 -1.05
0.38 -1.84
0.46 -0.78
0.41 0.23
0.31 0.17
0.42 0.26
0.47 0.25

Validasi
2
r
NS
0.46 -12.27
0.13 -1.56
0.36 -4.84
0.14 -1.47
0.11 -0.83
0.59 -0.19
0.38 -0.42
0.52 0.17

K3
Kalibrasi
Validasi
2
2
r
NS
r
NS
0.36 -2.7 0.48 -9.69
0.41 -0.08 0.12 -0.74
0.33 -1.24 0.39 -2.54
0.4 0.06 0.09 -1.03
0.47 0.34 0.06 -0.72
0.28 -0.19 0.44 0.09
0.47 0.39 0.35 -0.44
0.47 -0.13 0.40 0.01

K4
Kalibrasi
Validasi
2
2
r
NS
r
NS
0.33 -2.37 0.54 -7.83
0.41 -0.7 0.06 -1.07
0.37 -1.31 0.37 -3.23
0.44 -0.05 0.11 -0.86
0.47 0.37 0.05 -0.60
0.21 0.1
0.48 0.20
0.45 0.35 0.37 -0.39
0.46 0.3
0.51 0.24

Gambar 5 Boxplot/whisker masing-masing percobaan kalibrasi dan validasi terhadap seluruh skenario model
19

(m3/s)
17
15
13
11
9
7
5
3
1
-1

Jan-00
Jun-00
Nov-00
Apr-01
Sep-01
Feb-02
Jul-02
Dec-02
May-03
Oct-03
Mar-05
Sep-05
Feb-06
Jul-06
Dec-06
May-07
Oct-07
Mar-08
Apr-09
Sep-09
Feb-10
Jul-10
Dec-10

17
15
13
11
9
7
5
3
1
-1

Jan-00
May-00
Sep-00
Jan-01
May-01
Sep-01
Jan-05
May-05
Sep-05
Jan-06
May-06
Sep-06
Jan-07
May-07
Sep-07
Jan-08
May-08
Oct-08
Feb-09
Jun-09
Oct-09
Feb-10
Jul-10
Nov-10

(m3/s)

20

DTA Majalaya skenario S3b kalibrasi K4

Kalibrasi

95PPU band

95PPU band
Validasi

Observasi

Kalibrasi

Observasi
Simulasi

DTA Cengkrong skenario S3b kalibrasi K4

Validasi

Simulasi

Gambar 6 Hydrograph 95PPU bulanan antara debit observasi dan simulasi

21
Tabel 18 Performa model terhadap masing-masing DTA
Majalaya
Kalibrasi
p-factor
0.25
r-factor
0.31
r2
0.45
NS
0.35

Validasi
p-factor
0.25
r-factor
0.39
r2
0.37
NS
-0.39

Cengkrong
Kalibrasi
Validasi
p-factor
0.38 p-factor
0.43
r-factor
0.30 r-factor
0.47
r2
0.46 r2
0.51
NS
0.30 NS
0.24

Secara deskriptif pendugaan debit dilakukan dengan baik hanya pada tahun
tertentu untuk masing-masing DTA (Gambar 6). Pendugaan pada DTA Majalaya
memiliki simulasi debit yang overestimate pada periode validasi. Hasil validasi
DTA Majalaya secara kuantitatif (Tabel 18) menunjukkan bahwa nilai NS periode
validasi (-0.39) memiliki hasil yang tidak konsisten dibandingkan dengan periode
kalibrasi. Hal ini berarti bahwa model tidak dapat menduga secara konsisten pada
DTA Majalaya. Pendugaan pada DTA Cengkrong memiliki hasil yang konsisten
antara periode kalibrasi dan validasi, karena pada Tabel 18 nilai r2 dan NS pada
periode kalibrasi dan validasi secara signifikan tidak berbeda jauh. Walaupun
demikian, performa model masih belum memiliki kriteria yang dapat dikatakan
memuaskan pada DTA Cengkrong karena pendugaan debit yang dilakukan masih
memiliki nilai NS < 0.5 dan r2 < 0.5 pada kedua periode.
Analisis ketidakpastian dan performa model stokastik dapat digambarkan
dengan grafik 95PPU atau secara kuantitatif menggunakan parameter statistik pfactor dan r-factor. Performa model memiliki kriteria yang tidak layak, karena
memiliki p-factor < 0.7 sementara ketidakpastian model memiliki nilai yang baik
karena r-factor < 1.25. Namun, untuk melakukan analisis ketidakpastian, tentu saja
harus menggunakan model yang memiliki performa yang sudah dikatakan layak.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa model yang dihasilkan pada kedua DTA
masih memiliki kriteria yang tidak layak untuk menduga debit dalam jangka waktu
10 tahun. Hal ini disebabkan karena jangka waktu yang sangat panjang, dengan
kurangnya kedetailan informasi yang diberikan pada input model dan konseptual
model. Input model diantaranya ialah perubahan penggunaan lahan, sementara
konseptual model yang dimaksud diantaranya ialah pembagian parameter menjadi
periode musim kering dan musim basah seperti yang dilakukan oleh Zhang et al.
(2015) dan juga konseptual pothole model yang dilakukan oleh Faramarzi et al.
(2015).
Penelitian ini berfokus untuk melakukan optimasi model SWAT sehingga
memiliki model yang paling optimal dari setiap alternatif yang ada dengan
menggunakan kombinasi stasiun curah hujan yang efektif dan dengan metode
kalibrasi yang optimal. Penelitian ini belum sampai pada tahapan selanjutnya agar
model memiliki kriteria yang layak sehingga model dapat digunakan untuk analisis
lanjut seperti pengaruh perubahan lahan, kualitas air dan penerapan pengelolaan
pada DAS.
Penelitian ini menjadi suatu contoh kasus pemodelan SWAT jangka panjang
dengan skala DAS yang luas sehingga perlu memperhatikan kedetailan,
ketersediaan dan kualitas data. Hal ini menjadi suatu perhatian atau peringatan
kepada pembuat kebijakan yang menggunakan SWAT sebagai acuan dalam
pembuatan aturan kebijakan bahwa hasil model SWAT relatif terhadap pengukuran
observasi, sehingga proses pengaturan dan kalibrasi model harus dievaluasi

22
kembali dengan memperhatikan konsistensi model dalam jangka waktu yang
panjang.
Harus disadari bahwa kuantifikasi yang dilakukan dalam model SWAT akan
menduga hasil sejumlah output variabel angka yang tepat, apabila pengukuran input
model (curah hujan) dan output model (observasi debit) dilakukan dengan benar.
Bagaimanapun menurut Abbaspour (2015) pernyataan sangat naif yaitu ketika
model yang diperoleh cukup baik menduga variabel observasi kemudian kita
mengasumsikan bahwa proses dalam model entah bagaimana dianggap tepat
mengarah pada variabel observasi tersebut. Permasalahannya ialah seringkali
proses kombinasi yang salah dalam model mungkin juga akan memberikan hasil
simulasi yang baik. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal tersebut, semakin
banyaknya