Karakteristik Tanah Gambut Topogen Yang Dijadikan Sawah Dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi Arabika Dan Hortikultura

KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT TOPOGEN YANG DIJADIKAN SAWAH DAN DIALIHFUNGSIKAN MENJADI PERTANAMAN KOPI ARABIKA DAN HORTIKULTURA
SKRIPSI Oleh:
LINDA WATI SIHITE 080303031/ILMU TANAH
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara

KARAKTERISTIK TANAH GAMBUT TOPOGEN YANG DIJADIKAN SAWAH DAN DIALIHFUNGSIKAN MENJADI PERTANAMAN KOPI ARABIKA DAN HORTIKULTURA
SKRIPSI Oleh:
LINDA WATI SIHITE 080303031/ILMU TANAH Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Agar Dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013
Universitas Sumatera Utara

Judul penelitian
Nama NIM Program Studi Minat

: Karakteristik Tanah Gambut Topogen yang Dijadikan Sawah dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi Arabika dan Hortikultura
: Linda Wati Sihite : 080303031 : Agroekoteknologi : Ilmu Tanah

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing


(Ir. Posma Marbun, MP.) Ketua

(Ir. Mukhlis, MSi.) Anggota

Diketahui Oleh :

(Ir. T. Sabrina, Magr, Sc. PhD.) Ketua Departemen

Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura. Penelitian ini dilakukan di Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Analisis Tanah di Laboratorium Kimia Kesuburan Tanah dan Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dilakukan pengamatan profil di lapangan pada tiga penggunaan lahan berbeda. Profil pertama pada lahan sawah (P1), profil kedua pada lahan tanaman kopi arabika (P2) dan profil ketiga pada lahan tanaman hortikultura (P3). Masing-masing profil diamati sifat morfologi tanah dan karakteristik tanah. Analisa tanah meliputi bulkdensiti, pH H2O, KTK, KB, C-organik, N-total, dan rasio C/N.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan karakteristik yang terjadi pada tanah Gambut Topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika dan hortikultura di Desa Hutabagasan Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan adalah pada warna tanah, kandungan C-organik tanah dan ratio C/N tanah.
Kata kunci : Gambut, Alih Fungsi Lahan
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
This research is aimed to know the changes characteristic of topogenous peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee (Coffea arabica) and horticulture farm. This research was conducted in Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan and soil analyse properties was held in Chemical and Soil fertility Laboratory and Riset and Technology Laboratory, Agriculture Faculty of North Sumatera University. Observation and description of three profiles of each three difference land uses such as paddy field (P1), arabica coffe farm (P2) and horticulture farm (P3). Every land use is observed about morphology and soil characteristic. Soil sample is taken from each layer in soil profile for soil analyse in laboratory. Soil analysis included of bulkdensity, pH H2O, Cation Exchange Capacity (CEC), based saturation, C-Organic content, N-total and ratio C/N.
From research result indicate that the characteristic changes that occur in the topogenous peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee and horticulture farm in Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan is the color of the soil, C-organic content and ratio C/ N of the soil.

Keywords : Peat soil, Land conversion
Universitas Sumatera Utara

RIWAYAT HIDUP
Linda Wati Sihite, lahir di Doloksanggul pada tanggal 23 November 1988. Anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Ayahanda D. Sihite dan Ibunda H. Simanullang.
Selama hidup, penulis menempuh pendidikan formal di : - SD Negeri No. 173395 Doloksanggul lulus pada tahun 2001, - SMP Negeri 1 Doloksanggul lulus pada tahun 2004, - SMA Swasta Budi Murni 3 Medan lulus pada tahun 2007, - Tahun 2008 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara melalui jalur
UMB di Program Studi Ilmu Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kegiatan sebagai : - Anggota Ikatan Mahasiswa Ilmu Tanah (IMILTA) Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara, Medan. - Peserta Seminar dan Lokakarya Nasional “Optimalisasi Pengelolaan Lahan
dalam Upaya Menekan Pemanasan Global Mendukung Pendidikan Berbasis Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development)” pada 12 Februari 2010 di FP USU Medan. - Peserta Pengkaderan Nasional II Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah Indonesia (FOKUSHIMITI) “Mengoptimalkan Kader yang Mampu Menjadi Barometer Dunia Pertanian di Indonesia” pada 22 – 26 Januari 2011 di FP USU Medan. - Panitia Seminar Nasional Pekan Ilmiah dan Reuni Akbar IMILTA USU 2012.
Universitas Sumatera Utara

- Melaksanakan kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Kebun Tanjung Jati PTPN II Binjai, pada bulan Juli tahun 2011.
Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini dengan baik. Adapun judul penelitian yang dipilih adalah “Karakteristik Tanah Gambut Topogen yang Dijadikan Sawah dan Dialihfungsikan Menjadi Pertanaman Kopi Arabika (Coffea arabica) dan Hortikultura.”
Penulis meyampaikan terima kasih kepada Ir. Posma Marbun, MP sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada Ir. Mukhlis, MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan serta memberikan masukan berharga kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan usulan penelitian ini dengan baik. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut membantu dalam penyusunan usulan penelitian ini.
Penulis menyadari dalam penulisan usulan penelitian ini terdapat banyak kekurangan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan usulan penelitian ini. Akhir kata, semoga usulan penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang membutuhkan.
Medan, Mei 2013

Penulis
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... i ABSTRACT ................................................................................................. ii RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................. v DAFTAR ISI ................................................................................................ vi DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................... ix
PENDAHULUAN Latar Belakang .................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ............................................................................... 3 Kegunaan Penelitian .......................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Gambut (Histosol) ................... 4 Sifat-Sifat Fisika Tanah Gambut........................................................ 13 Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut ....................................................... 15 Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Tahunan ............................. 19 Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Pangan Semusim................ 19 Alih Fungsi Lahan Sawah Asal tanah Gambut .................................. 21 Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut............................................ 23
KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ........................................ 25
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................ 28 Bahan dan Alat................................................................................... 29 Metode Penelitian............................................................................... 29 Pelaksanaan Penelitian ....................................................................... 29 Pengamatan Morfologi....................................................................... 31 Analisa Laboratorium......................................................................... 31
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ................................................................................................... 32 Deskripsi Profil Tanah .............................................................. 32 Morfologi Tanah ....................................................................... 36 Karakteristik Fisika Tanah........................................................ 38 Karakteristik Kimia Tanah........................................................ 39 Pembahasan........................................................................................ 43 Morfologi Tanah ....................................................................... 43 Karakteristik Fisika Tanah........................................................ 44 Karakteristik Kimia Tanah........................................................ 45 Klasifikasi Tanah ...................................................................... 48
Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................51 Saran................................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

No.


Judul

Halaman

1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut ......................................... 10

2. Nilai KTK dan pH dari Beberapa Ordo Tanah ..................................... 17

3. Karakteristik Morfologi Tanah Gambut ............................................... 36

4. Tingkat Kematangan/Dekomposisi Bahan Organik dan Bulk Densiti

Tanah Gambut ...................................................................................... 38

5. pH H2O, Basa-Basa Tukar, Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa,

C-Organik, N-Total dan C/N Tanah Gambut....................................... 40

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

No.

Judul

Halaman

1. Proses Pembentukan Gambut di Indonesia .......................................... 6

2. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................... 28

3. Peta Lokasi Pengambilan Profil Tanah Pewakil.................................... 30

4. Penampang Profil Tanah Lahan Sawah................................................. 33

5. Penampang Profil Tanah Lahan Hortikultura........................................ 34

6. Penampang Profil Tanah Lahan Kopi Arabika...................................... 35


Universitas Sumatera Utara

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura. Penelitian ini dilakukan di Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan dan Analisis Tanah di Laboratorium Kimia Kesuburan Tanah dan Laboratorium Riset dan Teknologi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Dilakukan pengamatan profil di lapangan pada tiga penggunaan lahan berbeda. Profil pertama pada lahan sawah (P1), profil kedua pada lahan tanaman kopi arabika (P2) dan profil ketiga pada lahan tanaman hortikultura (P3). Masing-masing profil diamati sifat morfologi tanah dan karakteristik tanah. Analisa tanah meliputi bulkdensiti, pH H2O, KTK, KB, C-organik, N-total, dan rasio C/N.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan karakteristik yang terjadi pada tanah Gambut Topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika dan hortikultura di Desa Hutabagasan Kecamatan Doloksanggul Kabupaten Humbang Hasundutan adalah pada warna tanah, kandungan C-organik tanah dan ratio C/N tanah.
Kata kunci : Gambut, Alih Fungsi Lahan
Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT
This research is aimed to know the changes characteristic of topogenous peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee (Coffea arabica) and horticulture farm. This research was conducted in Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan and soil analyse properties was held in Chemical and Soil fertility Laboratory and Riset and Technology Laboratory, Agriculture Faculty of North Sumatera University. Observation and description of three profiles of each three difference land uses such as paddy field (P1), arabica coffe farm (P2) and horticulture farm (P3). Every land use is observed about morphology and soil characteristic. Soil sample is taken from each layer in soil profile for soil analyse in laboratory. Soil analysis included of bulkdensity, pH H2O, Cation Exchange Capacity (CEC), based saturation, C-Organic content, N-total and ratio C/N.
From research result indicate that the characteristic changes that occur in the topogenous peat soil that increased into paddy field and be converted into arabica coffee and horticulture farm in Desa Hutabagasan, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan is the color of the soil, C-organic content and ratio C/ N of the soil.
Keywords : Peat soil, Land conversion
Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN
Latar Belakang Tanah Histosol atau tanah Organosol yang saat ini lebih populer disebut
tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Tanah gambut umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali didrainase. Secara alami, tanah gambut terdapat pada lapisan tanah paling atas, di bawahnya terdapat lapisan tanah aluvial pada kedalaman yang bervariasi. Disebut sebagai lahan gambut apabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian, lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm (Najiyati, dkk, 2005).
Gambut merupakan salah satu jenis tanah yang marginal untuk dikembangkan di bidang pertanian. Menurut Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian (2008) Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitas 21 juta ha, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua yang mana di Sumatera sendiri luasnya mencapai 2.253.733 ha. Seiring dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk mengakibatkan lahan-lahan pertanian semakin terdesak untuk penggunaan non pertanian maka lahan-lahan marginal seperti gambut harus dimanfaatkan sebagai areal pertanian.
Lahan gambut merupakan lahan marginal untuk pertanian karena kesuburannya yang rendah, pH sangat masam, dan keadaan drainasenya yang jelek. Akan tetapi karena keterbatasan lahan bertanah mineral, ekstensifikasi
Universitas Sumatera Utara


pertanian ke lahan gambut tidak dapat dihindari. Dewasa ini lahan gambut digunakan untuk berbagai komoditas pertanian, termasuk kelapa sawit, karet, buah-buahan dan sayur-sayuran. Dengan tingkat pengelolaan dan input yang tinggi, produktivitas lahan gambut bisa lebih tinggi dari lahan mineral (Balai Penelitian Tanah, 2011).
Humbang Hasundutan merupakan salah satu daerah penyebaran tanah gambut di Sumatera Utara. Menurut BAPPEDA (2009), luas lahan gambut di Humbang Hasundutan diperkirakan sekitar 1.042 Ha yang tersebar di Kecamatan Lintong Nihuta, Kecamatan Pollung dan Kecamatan Doloksanggul. Gambut di daerah ini tergolong unik dan langka karena pada umumnya gambut dijumpai di dataran rendah yang berdekatan dengan pantai, akan tetapi gambut di daerah Humbang Hasundutan ini merupakan gambut dataran tinggi (topogen) yang terhampar pada ketinggian 1000-1450 m dpl.
Tanah Gambut di daerah Humbang Hasundutan ini termasuk gambut fibrik (belum matang) dan berdasarkan kedalamannya masih tergolong gambut dalam. Jenis gambut ini rawan terhadap kebakaran dan belum dapat dijadikan areal pertanian, sehingga kebanyakan masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan kayu bakar. Akan tetapi, sebagian kecil gambut di daerah ini ada yang sudah tergolong gambut saprik (sudah matang), karena sudah diolah dan dibuat drainase oleh masyarakat setempat dan dimanfaatkan sebagai areal pertanian seperti di areal penelitian penulis yaitu di Desa Hutabagasan Kecamatan Doloksanggul.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat setempat, awalnya tanah gambut hanya dijadikan sebagai lahan sawah. Tetapi seiring berjalannya waktu
Universitas Sumatera Utara

dan semakin bertambahnya kebutuhan, mereka merasa hasil dari lahan sawah saja tidak cukup lagi memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Sehingga sekarang banyak masyarakat mengalihfungsikan lahan gambut yang awalnya dijadikan lahan sawah menjadi lahan pertanaman kopi dan tanaman hortikultura seperti cabai, tomat, bawang, dan berbagai jenis sayuran dan sudah berlangsung selama lebih kurang sepuluh tahun.
Penggunaan lahan akibat budidaya pertanian akan mempengaruhi masingmasing kondisi tanah. Ini bisa terjadi karena aktifitas budidaya pertanian yang intensif seperti pengolahan tanah yang meliputi penanaman, pemeliharaan dan pemanenan akan merubah tingkat kesuburan tanah yang pada akhirnya akan mempengaruhi sifat tanah Gambut tersebut baik secara morfologi, kimia, maupun fisika. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti perbedaan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah gambut topogen yang dijadikan sawah dan dialihfungsikan menjadi pertanaman kopi arabika (Coffea arabica) dan hortikultura. Kegunaan Penelitian - Sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar Sarjana di
Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. - Sebagai bahan informasi bagi kepentingan ilmu pengetahuan.
Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA
Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Gambut (Histosol) Menurut Taksonomi Tanah, disebut tanah gambut (histosol) dengan
ketentuan apabila 1) tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pad≥a 60% ketebalan di antara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan tanah dan kontak densik, litik, atau paralitik, atau duripan, apabila lebih dangkal; dan 2) memiliki bahan tanah organik yang memenuhi satu atau lebih sifat berikut; a) terletak di atas bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung dan/atau mengisi celah-celah di antara batu-batuan tersebut, dan langsung di bawah bahan-bahan tersebut terdapat kontak densik, litik, atau paralitik; atau b) apabila ditambahkan dengan bahan-bahan sinderi, fragmental, atau batu apung yang berada di bawahnya, maka total ketebalannya sebesar ≥ 40 cm, di antara permukaan tanah dan kedalaman 50 cm; atau c) menyus≥un 2/3 dari ketebalan total tanah sampai ke kontak densik, litik, atau paralitik dan tidak mempunyai horizon mineral atau memiliki horizon mineral dengan ketebalan tota≤l 10 cm atau; d) jenuh air selam≥a 30 hari setiap tahun dalam tahun -tahun normal (atau telah di drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari permukaan tanah, dan memiliki ketebalan total sebagai berikut: (1) ap≥abi¾la bagian volumenya terdiri dari serat-serat lumut, atau apabila berat jenisnya, lembab, sebesar < 0,1 g/cm3, ≥ 60 cm; atau (2) apabila terdiri dari bahan saprik atau hemik, atau bahan fibrik yang < ¾ (berdasarkan volume) terdiri dari serat-serat lumut dan berat jenisnya, lembab, sebesar ≥ 0,1 g/cm 3, 40 cm atau lebih (Soil Survey Staff, 2010).
Universitas Sumatera Utara

Kebanyakan histosol dicirikan dan dikenal melalui epipedon histik yang tebalnya lebih dari 12 inci, jenuh dengan air sekurang-kurangnya 30 hari terusmenerus dalam setahun, dan mengandung paling sedikit 20 persen bahan organik. Histosol ditemukan di seluruh dunia, jumlah luas keseluruhannya kurang dari 1 persen dari permukaan tanah dunia (Foth, 1994).
Tentang pembentukan gambut di Indonesia, pada zaman pleistosen permukaan laut turun kurang lebih 60 meter di bawah permukaan air laut sekarang. Pada waktu itu bagian timur Sumatra, Malaysia, bagian barat dan selatan Kalimantan di hubungkan oleh selat Sunda, sedangkan bagian selatan Irian Jaya menempati sebagian dari selat Sahul. Kemudian selama zaman holosin daerah-daerah ini secara berangsur-angsur digenangi air laut. Naiknya permukaan air laut menyebabkan naik pula permukaan air tanah di daerah pedalaman, maka lokasi dimana air laut tidak dapat lagi ke daratan akan terbentuk rawa. Pada cekungan-cekungan terjadi proses longgokan bahan organik yang berasal dari vegetasi rawa sehingga terbentuklah gambut. Pada cekungan yang dalam secara berangsur-angsur terjadi penimbunan bahan organik sehingga akan terbentuk gambut tebal (Budianta, 2003).

Proses pembentukan gambut dimulai dari adanya pendangkalan danau yang secara perlahan ditumbuhi oleh tanaman air dan vegetasi lahan basah. Tanaman yang mati dan melapuk, secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral. Tanaman berikutnya tumbuh pada bagian yang lebih tengah dari danau dangkal ini dan secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut, sehingga danau tersebut menjadi penuh
Universitas Sumatera Utara

(Gambar 1a dan 1b). Bagian gambut yang tumbuh mengisi danau dangkal tersebut dikenal sebagai gambut topogen, karena proses pembentukannya disebabkan oleh topografi daerah cekungan. Gambut topogen umumnya relatif subur (eutrofik) karena adanya pengaruh tanah mineral. Bahkan pada waktu tertentu, misalnya jika ada banjir besar, terjadi pengkayaan mineral yang menambah kesuburan gambut tersebut. Tanaman tertentu masih dapat tumbuh subur di atas gambut topogen. Tanaman yang tumbuh dan mati di atas gambut topogen akan membentuk lapisan gambut baru yang lama kelamaan membentuk kubah (dome) gambut yang mempunyai permukaan cembung (Gambar 1c). Gambut yang terbentuk di atas gambut topogen dikenal dengan gambut ombrogen, yang proses pembentukannya dipengaruhi oleh air hujan. Gambut ombrogen mempunyai kesuburan yang lebih rendah dibandingkan dengan gambut topogen karena hampir tidak ada pengkayaan mineral (Noor, 2001).
c. pembentukan kubah gambut
Gambar 1. Proses pembentukan gambut di Indonesia (Noor, 2001)
Universitas Sumatera Utara

Luas lahan gambut Indonesia diperkirakan berkisar antara 17 - 21 juta ha. Data yang akurat mengenai luas lahan gambut sulit ditemui karena terbatasnya survei dan pemetaan tanah gambut, terutama di Provinsi Papua dan Papua Barat. Dengan luasan yang cukup besar yaitu berkisar 9-11% dari luas daratan di Indonesia, maka sulit dihindari pengembangan lahan pertanian ke lahan marginal ini, terutama di kabupaten dan provinsi yang luas lahannya didominasi lahan gambut, seperti Provinsi Riau dan Kalimantan Tengah (Balai Penelitian Tanah, 2011).
Di pulau Sumatera, penyebaran lahan gambut pada umumnya terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu dengan urutan dominasi berturut turut terdapat di wilayah propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat pulau, khususnya di wilayah propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai. Tanah gambut dan tanah mineral (non gambut) secara bersama menyusun lahan rawa (Wahyunto, dkk, 2005).
Selain dianggap sebagai lahan marginal gambut dikategorikan sebagai lahan tidur, padahal sudah diketahui bahwa gambut juga merupakan salah satu sumberdaya alam yang berfungsi sebagai pengatur tata air (hidrologi). Apabila fungsi ini dirubah maka akan dapat menimbulkan dampak terhadap ekosistem. Dirubahnya sistem hidrologi alam dengan dibangunnya berbagai saluran drainase mengakibatkan fungsi gambut sebagai reservoir dan pengatur tata air juga akan
Universitas Sumatera Utara

berubah, bahkan dapat hilang sama sekali bila gambut semakin menipis atau menyusut (Boyman, 2002).
Tanah Gambut (Histosol) sifatnya bermacam-macam tergantung dari jenis vegetasi yang menjadi tanah gambut tersebut. Tanah-tanah Gambut yang terlalu tebal (lebih dari 2 m) umumnya tidak subur karena vegetasi yang membusuk menjadi Tanah Gambut tersebut terdiri dari vegetasi yang miskin unsur hara. Tanah Gambut yang subur umumnya yang tebalnya antara 40-100 cm. Tanah Gambut mempunyai sifat dapat menyusut (subsiden) kalau perbaikan drainase dilakukan sehingga permukaan tanah ini makin lama makin menurun. Tanah Gambut juga tidak boleh terlalu kering karena dapat menjadi kering irreversible (kering tak balik), yaitu sulit menyerap air kembali dan mudah terbakar. Kekurangan unsur mikro banyak terjadi pada tanah gambut (Hardjowigeno, 2007).
Lapisan tanah mineral di bawah gambut mempengaruhi tingkat kesuburan alami gambut, dapat berasal dari endapan liat marin, pasir kuarsa, dan liat bukan marin (endapan sungai). Pada gambut dengan lapisan tanah bawah berasal dari endapan marin, berpotensi terjadi bahaya keracunan asam sulfat yang berasal dari oksidasi senyawa pirit. Keracunan ini terjadi apabila lapisan gambut sudah menipis, baik karena kesalahan pembukaan maupun karena terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence), sehingga senyawa pirit teroksidasi dan menghasilkan asam sulfat dan besi terlarut (Fe3+). Lapisan tanah di bawah gambut berupa pasir kuarsa menunjukkan bahwa tanah gambut mempunyai kesuburan rendah, karena terbentuk dari vegetasi hutan yang miskin unsur hara. Tanah gambut yang terletak di atas lapisan tanah mineral di daerah pedalaman relatif
Universitas Sumatera Utara

lebih subur, karena lapisan tanah mineralnya berasal dari lingkungan endapan yang tidak mengandung bahan sulfidik/pirit. Gambut tersebut terdapat di daerah pedalaman yang jauh dari pantai (Balai Penelitian Tanah, 2011).
Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan biologi dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi) karena

drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar. Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah; 2. Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam. Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai humus; 3. Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme (Najiyati, dkk, 2005).
Mengklasifikasikan kesuburan tanah gambut pada tiga tingkat kesuburan; oligotrofik, tingkat kesuburan rendah, mesotrofik, tingkat kesuburan sedang, dan eutrofik, tingkat kesuburan tinggi, dapat mengikuti kisaran kandungan beberapa unsur hara yang terdapat pada tanah gambut seperti berikut :
Universitas Sumatera Utara

Tabel 1. Kriteria Tingkat Kesuburan Tanah Gambut

Tingkat

Kandungan Hara (% bobot kering)

Kesuburan

N

K2O

P2O5

CaO


Abu

Eutrofik

2.50 0.10 0.25 4.00 10.00

Mesotrofik

2.00 0.10 0.20 1.00 5.00

Oligotrofik

0.80 0.03 0.05 0.25 2.00

(Barchia, 2006).

Berdasarkan tingkat kematangan/dekomposisi bahan organik, gambut

dibedakan menjadi tiga yakni:


1. Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih

dari ¾ bagian volumenya berupa serat segar (kasar). Cirinya, bila gambut

diperas dengan telapak tangan dalam keadaaan basah, maka kandungan serat

yang tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah tiga

perempat bagian atau lebih (>¾);

2. Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan sedang

(setengah matang), sebagian bahan telah mengalami pelapukan dan sebagian

lagi berupa serat. Bila diperas dengan telapak tangan dalam keadaan basah,

gambut agak mudah melewati sela-sela jari-jari dan kandungan serat yang

tertinggal di dalam telapak tangan setelah pemerasan adalah antara kurang dari

tiga perempat sampai seperempat bagian atau lebih (¼ dan 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008).
Kerapatan lindak tanah organik dibandingkan dengan tanah mineral adalah rendah, 0.2 hingga 0.6 merupakan nilai biasa bagi tanah organik yang telah mengalami dekomposisi lanjut. Suatu tanah mineral yang telah diusahakan, lapisan atasnya biasanya mempunyai nilai kerapatan lindak dari 1.25 hingga 1.45. Lapisan olah tanah organik mempunyai bobot 400000 hingga 500000 kg tanah kering tiap hektar dibandingkan dengan tanah mineral 2 hingga 2.5 juta kg tiap hektar. Bobot untuk organik ternyata sangat ringan (Soepardi, 1983). Kekeringan Tak Balik (Irreversible drying)
Sifat fisik lain tanah gambut adalah apabila tanah gambut mengalami pengeringan yang berlebihan, menyebabkan koloid gambut menjadi rusak dan terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying). Pada kondisi seperti ini gambut berubah seperti arang dan tak mampu lagi untuk menyerap hara dan menahan air, dan kondisi demikian akan merugikan pertumbuhan tanaman dan vegetasi (Wahyunto, dkk, 2005). Daya Hantar Hidrolik
Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara
Universitas Sumatera Utara

ke saluran drainase. Sebaliknya, gambut memiliki daya hidrolik vertical (ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini juga menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Daya hidrolik air ke atas hanya sekitar 40 - 50 cm. Untuk mengatasi perilaku ini, perlu dilakukan upaya untuk menjaga ketinggian air tanah pada kedalaman tertentu. Untuk tanaman semusim, kedalaman muka air tanah yang ideal adalah kurang dari 100 cm. Sedangkan untuk tanaman tahunan disarankan untuk mempertahankan muka air tanah pada kedalaman 150 cm. Pemadatan gambut sering pula dilakukan untuk memperkecil porositas tanah (Najiyati, dkk, 2005). Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)
Perubahan lingkungan yang terjadi saat dilakukan pembukaan hutan rawa gambut untuk usaha pertanian, termasuk usaha perkebunan, adalah menurunnya ketahanan dari bahan organik dalam gambut terhadap proses dekomposisi. Perubahan kondisi dari anaerob menjadi aerob akibat pembuatan saluran drainase mendorong proses perombakan bahan organik berlangsung dengan sangat cepat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan permukaan lahan gambut (Bintang, dkk, 2005).
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung
Universitas Sumatera Utara

kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bias dilihat dari akar tanaman yang menggantung (Agus dan Subiksa, 2008).
Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi maka BD akan lebih besar dan total ruang pori berbanding negatif dengan “bulk density”. Total Ruang Pori rendah (kematangan saprik), total ruang pori terbesar ditunjukkan oleh kerapatan lindak yang rendah (kematangan fibrik). Proses subsidensi adalah proses konsolidasi dengan pengisian material ke ruang pori yang ada. Semakin tersedia ruang pori yang banyak maka peluang untuk melajunya subsidensinya lebih besar. Jadi karakter fisik kerapatan lindak dan total ruang pori berhubungan erat dengan subsidensi (Bintang, dkk, 2005). Warna
Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam. Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap (Najiyati, dkk, 2005). Sifat-Sifat Kimia Tanah Gambut pH
Tingginya kemasaman tanah gambut disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik yang banyak mengandung lignin. Tingginya kemasaman tanah ini disebabkan oleh tingginya kandungan asam-asam organik, yaitu asam humat dan asam fulvat.
Universitas Sumatera Utara

Tapak pertukaran tanah gambut yang didominasi ion hidrogen menyebabkan pH tanah rendah. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam sampai sangat masam dengan pH < 4 (Barchia, 2006).
KTK yang tinggi dan KB yang rendah menyebabkan pH rendah dan sejumlah pupuk yang diberikan ke dalam tanah relatif sulit diambil oleh tanaman. Pada umumnya lahan gambut tropis memiliki pH antara 3 - 4,5. Gambut dangkal mempunyai pH lebih tinggi (pH 4,0 - 5,1) dari pada gambut dalam (pH 3,1 - 3,9). Kandungan Al pada tanah gambut umumnya rendah sampai sedang, berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan N total termasuk tinggi, namun umumnya tidak tersedia bagi tanaman, oleh karena rasio C/N yang tinggi (Najiyati, dkk, 2005). Kejenuhan Basa
Kandungan basa - berupa unsur Ca, Mg, K dan Na - dan kejenuhan basa rendah. Kandungan Al umumnya rendah sampai sedang dan semakin berkurang dengan menurunnya pH tanah. Kandungan unsur mikro khususnya Cu, Bo, dan Zn sangat rendah, sebaliknya kandungan Fe cukup tinggi. Kandungan N total termasuk tinggi, tetapi sebagian besar dalam bentuk tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi (Wahyunto, dkk, 2005).
Terdapat kolerasi positif antara % kejenuhan basa dan pH tanah. Umumnya terlihat bahwa kejenuhan basa tinggi jika pH tanah tinggi. Oleh karena itu, tanah-tanah daerah iklim kering (arid) biasanya mempunyai kejenuhan basa yang lebih tinggi daripada tanah-tanah di daerah iklim basah. Kejenuhan basa yang rendah berarti terdapat banyak ion H+. Kejenuhan basa sering dianggap
Universitas Sumatera Utara

sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah. Kemudahan pelepasan kation terjerap

untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa (Tan, 1995).

Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Muatan negatif (yang menentukan KTK) pada tanah gambut seluruhnya

adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge), dimana KTK akan naik bila

pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif yang terbentuk adalah hasil dissosiasi

hidroksil pada gugus karboksilat atau fenol. Oleh karenanya penetapan KTK

menggunakan pengekstrak amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KTK

yang tinggi, sedangkan penetapan KTK dengan pengekstrak amonium klorida

(pada pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KTK tinggi

menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi, namun

kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kation-kation K, Ca, Mg dan

Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan mudah tercuci

(Agus dan Subiksa, 2008).

Bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah,

maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar nilai KTK tanah. Nilai

KTK dan pH dari beberapa ordo tanah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Nilai KTK dan pH dari beberapa Ordo Tanah

Ordo Tanah

KTK (me/100 g)

Ultisol

3,5

Alfisol

9,0

Spodosol

9,3

Mollisol

18,7

Vertisol

35,6

Aridisol

15,2

Inseptisol

14,6

Entisol

11,6

Histosol

128,0

(Mukhlis, dkk, 2011)

pH
5,6 6,0 4,9 6,5 6,7 7,26 6,08 7,3 5,5

Universitas Sumatera Utara

Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut umumnya tinggi dan semakin meningkat sesuai dengan meingkatnya kandungan bahan organik. Di beberapa tempat adanya intrusi garam dapat meningkatkan nilai KTK, kenaikan ini kemungkinan disebabkan karena adanya kenaikan pH (Wahyunto, dkk, 2005). Nilai KTK juga mengalami kenaikan setelah dilakukan reklamasi. Ratio C/N
Untuk unsur C dan N di dalam tanah gambut adalah tinggi. Tetapi dua hal yang kait-mengkait sehubungan dengan kedua unsur penyusun tersebut yang perlu diperhatikan, bahwa tanah gambut mempunyai nisbah (ratio) C dan N yang tinggi, minimum 20 : 1. Di samping itu, tanah gambut memperlihatkan nitrifikasi yang giat meskipun C/N rasio tinggi. Demikian juga akumulasi nitrat lebih besar. Hal ini didasarkan atas banyaknya N dalam gambut, CaO yang cukup dan ketidakaktifan sebagian dari karbon. Dengan demikian perbanyakan organisme nitrifikasi memperoleh kesempatan lebih banyak mengoksidasikan ammonium (Kim, 1991).
Nisbah C/N berkisar antara 31 - 49. Bila nilai C/N rasio lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikrobiologi tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya. Sedangkan, bila rasio C/N antara 20-30, dapat terjadi immobilisasi maupun pembebasan N ke dalam tanah gambut. Dengan rasio C/N tanah gambut di atas 30 maka N pada tanah gambut ini sukar tersedia bagi tanaman. Jadi, walaupun kandungan N-total gambut terkategori tinggi, namun unsur hara N relatif kurang tersedia bagi tanaman karena N dalam bentuk N-
Universitas Sumatera Utara

organik dan pada tingkatan C/N rasio yang lebih tinggi tersebut, terjadi proses immobilisasi N oleh mikrobiologi tanah (Barchia, 2006). Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Tahunan
Lahan gambut dengan ketebalan antara 1,4-2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk beberapa tanaman tahunan seperti karet dan kelapa sawit, sedangkan gambut yang tipis termasuk agak sesuai (kelas kesesuaian S2). Gambut dengan ketebalan 2-3 m tidak sesuai untuk tanaman tahunan kecuali jika ada sisipan/pengkayaan lapisan tanah atau lumpur mineral (Djainudin, dkk, 2003). Gambut dengan ketebalan >3m diperuntukkan sebagai kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32/1990. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan lahan gambut dalam yang rapuh (fragile) apabila dikonversi menjadi lahan pertanian.
Tanaman tahunan banyak diusahakan oleh rakyat. Tanaman tahunan yang banyak diusahakan di lahan gambut diantaranya adalah kelapa sawit, kopi, karet, dan kelapa. Hal yang perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi karena daya dukung lahan yang rendah dan penurunan permukaan gambut (subsidence) sesudah direklamasi (Najiyati, dkk, 2005). Potensi Lahan Gambut Untuk Tanaman Pangan Semusim
Sesuai dengan arahan Departemen Pertanian (BB Litbang SDLP, 2008), lahan gambut yang dapat dimanfaatkan untuk tanaman pangan disarankan pada gambut dangkal (< 100 cm). Dasar pertimbangannya adalah gambut dangkal memiliki tingkat kesuburan relatif lebih tinggi dan memiliki risiko lingkungan
Universitas Sumatera Utara

lebih rendah dibandingkan gambut dalam. Lahan gambut dengan kedalaman 1,4 2 m tergolong sesuai marjinal (kelas kesesuaian S3) untuk berbagai jenis tanaman pangan. Faktor pembatas utama adalah kondisi media perakaran dan unsur hara yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman. Tanaman pangan yang mampu beradaptasi antara lain padi, jagung, kedelai, ubikayu, kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Tanaman hortikultura merupakan tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan umumnya sesuai dengan gambut pada berbagai tingkat ketebalan tanah, bahkan petani lebih menyukai gambut dalam (> 3 m) karena pada musim kemarau petani masih dapat menyirami sayuran mereka karena air gambut masih tersedia untuk penyiraman tanaman. Pada gambut dangkal atau sedang penyiraman tanaman di musim kemarau sulit dilakukan, karena air gambut mengering dan sumber air jauh dari kebun (Sagiman, 2007).
Tanaman hortikultura lain seperti pepaya, semangka, jagung manis dan sayur-sayuran dataran rendah memberikan penghasilan yang cukup baik bagi petani gambut. Tanaman tersebut memerlukan masukan yang cukup tinggi berupa abubakar, limbah ikan, pukan ayam dan pupuk kimia. Untuk tanaman sayursayuran masukan yang sedang – tinggi pada tanah gambut dapat dilakukan karena harga jual yang masih memadai. Selain itu waktu tanam sampai panen tanaman sayur umumnya sangat singkat antara 4 - 6 minggu pada bayam cabut, kangkung, sawi, kailan, seledri, sampai 10-12 minggu pada kacangkacangan dan jagung manis. Namun pengembangan sayuran sampai areal yang luas perlu mempertimbangkan kejenuhan pasar dan ketersediaan input usaha tani (Sagiman, 2007).
Universitas Sumatera Utara

Alih Fungsi Lahan Sawah Asal Tanah Gambut Tanah sawah mempunyai beberapa istilah dalam bahasa Inggris yaitu rice
soil, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthropic, aquarizem, sub-group hydraquic. Dalam Klasifikasi Tanah FAO (Worl Reference Base for Ssoil Resources), tanah sawah termasuk Anthrosols. Sifat tanah sawah dapat sangat berubah dari sifat asalnya (misalnya lahan kering yang disawahkan) atau tidak banyak berubah dari sifat tanah asalnya (misalnya tanah sawah berasal dari daerah rawa-rawa yang sejak semula berupa lahan basah) (FAO, 1998).
Sebelum tanah sawah digunakan sebagai tanah sawah, secara alamiah tanah telah mengalami proses pembentukan tanah sesuai dengan faktor-faktor pembentuk tanahnya, sehingga terbentuklah jenis-jenis tanah tertentu yang masing-masing mempunyai sifat morfologi tersendiri. Pada waktu tanah mulai disawahkan dengan cara penggenangan air, baik waktu pengolahan tanah maupun selama pertumbuhan padi, melalui perataan, pembuatan teras, pembuatan pematang, pelumpuran, dan lain-lain, maka proses pembentukan tanah alami yang sedang berjalan tersebut terhenti. Semenjak itu, terjadilah proses pembentukan tanah baru, dimana air genangan di permukaan tanah dan metode pengelolaan tanah yang diterapkan, memegang peranan penting. Karena itu tanah sawah sering dikatakan sebagai tanah buatan manusia (man-made soil, anthropogenic soil) (Hardjowigeno dan Rayes, 2005).
Tanah sawah dapat berasal dari tanah kering yang diairi kemudian disawahkan, atau dari tanah rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran drainase. Bila relief atau topografi tanah asal berombak bergelombang atau
Universitas Sumatera Utara

berlereng, maka lebih dulu harus dibuat teras bangku. Sawah yang airnya berasal dari air irigasi disebut sawah irigasi, sedang yang menerima langsung dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Berkaitan dengan proses pembuatan lahan sawah, sifat tanah asal (virgin soil ) dimungkinkan dapat berubah. Pada lahan rawa/ pasang surut terjadi proses pengeringan tanah, mulai dari lapisan atas ke lapisan bawah. Sebaliknya pada tanah kering yang disawahkan, akan terjadi proses pembasahan dari lapisan atas ke bawah (Wahyunto, 2009).
Rendahnya hasil padi pada gambut tebal dapat diatasi jika tanaman padi diberi hara lengkap. Pada gambut yang tipis 0-10 cm tanah relatip padat tidak gembur dan pembentukan perakaran padi dapat terganggu, kandungan hara tanah juga rendah dan tidak cukup memberikan hasil yang tinggi. Peningkatan ketebalan gambut sampai 60 cm, menyebabkan kesuburan gambut meningkat dan tanah gembur sehingga baik bagi pertumbuhan akar tanaman. Gambut tebal (>1m ) belum berhasil dimanfaatkan untuk penanaman padi sawah, karena sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Keberhasilan budidaya padi sawah tergantung kesuksesan dalam mengatasi beberapa kendala seperti keberhasilan dalam : pengelolaan dan pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang menjadi faktor pembatas, pengendalian sifat toksik dan kekurangan hara makro maupun mikro (Sagiman, 2007).
Alih fungsi lahan sawah ke non sawah merupakan salah satu penyebab berkurangnya luas sawah di Indonesia. Keadaan ini berlangsung terus sejalan dengan pertumbuhan penduduk, kegiatan industri, perhubungan dan bencana alam sehingga dipandang perlu memberdayakan lahan - lahan marjinal yang belum
Universitas Sumatera Utara

berproduktif optimal. Salah satu lahan yang belum optimal dalam pemanfaatannya adalah lahan gambut (Utama dan Haryoko 2009).
Pemanfaatan lahan tersebut, masih sangat terbatas akibat keterbatasan teknologi dan varietas toleran. Untuk memanfaatkan lahan tersebut, diperlukan teknologi yang dapat menghadapi permasalahan serius akibat cekaman lingkungan. Masalah serius tersebut akibat oleh pH yang rendah, ketersedian hara terbatas dan defisit air yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Utama dan Haryoko 2009 ).
Pengembangan gambut di Sumatera Barat yang semula diperuntukan untuk perluasan lahan usahatani padi akhir-akhir ini secara perlahan beralih inenjadi lahan perkebunan terutama perkebunan sawit. Pengalihan ini terjadi akibat produksi padi sawah gambut rendah. Khusus di kabupaten Pasaman Barat walaupun belum ada data resmi tentang luas pengalihan sawah gambut menjadi perkebunan sawit, tetapi secara jelas luas sawah gambut semakin sempit dan penyempitan luas lahan ini juga diikuti dengan semakin langkahnya varietas padi lokal yang semula banyak dibudidayakan (Haryoko, dkk, 2010). Pengaruh Drainase Pada Lahan Gambut
Kegiatan awal dari pemanfaatan gambut adalah pembangunan saluran drainase untuk pengatusan air agar tanah memiliki kondisi rhizosphere yang sesuai bagi tanaman. Pengelolaan air harus disesuaikan dengan kebutuhan perakaran tanaman. Kedalaman permukaan air tanah pada parit kebun diusahakan agar tidak terlal