Induksi variasi somaklonal dan seleksi in vitro menggunakan peg untuk identifikasi varian kacang tanah yang toleran cekaman kekekringan

(1)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Komoditas ini adaptatif di daerah tropis, dan mempunyai arti penting sebagai bahan pangan bergizi tinggi, pakan ternak yang potensial, dan tanaman rotasi yang efektif. Sebagai bahan pangan biji kacang tanah mengandung lemak, protein, vitamin B dan E yang relatif tinggi (Maesen dan Somaatmadja 1993, Moss dan Rao 1995). Antara tahun 2000 – 2004 produksi kacang tanah Indonesia berkisar antara 736,5 – 839,1 ton, dengan hasil panen faktual rata-rata sebesar 1,08 – 1,16 ton per hektar (BPS 2005), lebih rendah dibandingkan hasil panen dalam skala penelitian yang dapat mencapai lebih dari 2 ton per hektar (Hidajat et al. 1999). Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus mengimpor kacang tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan produksi kacang tanah.

Upaya peningkatan produksi kacang tanah baik melalui perluasan lahan penanaman maupun peningkatan produktivitas menghadapi berbagai cekaman abiotik. Cekaman abiotik utama adalah kekeringan yang pada masa mendatang diduga akan semakin parah karena berkurangnya distribusi air ke sektor pertanian akibat besarnya kebutuhan air pada sektor non-pertanian, menurunnya daya retensi tanah dan kualitas lingkungan (Makarim 2005). Di samping itu usaha tani kacang tanah, yang bukan merupakan tanaman pangan utama di Indonesia, pada umumnya dilakukan di lahan kering atau pada akhir musim penghujan, sehingga berpeluang besar mengalami kekurangan air atau cekaman kekeringan.

Air merupakan faktor pembatas utama yang menentukan tercapai tidaknya potensi hasil tanaman. Bila air yang terserap tanaman berkurang, maka semua proses biokimia di dalam tanaman akan terhambat dan pertumbuhan serta produksi akan menurun. Produksi kacang tanah dapat menurun hingga 50% akibat cekaman kekeringan (Makarim 2005). Periode kritis tanaman kacang tanah terhadap kekeringan adalah umur 3, 25, 50 dan 75 hari (Balitkabi 2004).

Respon rendahnya produksi kacang tanah pada kondisi kekeringan terjadi pada kultivar tanaman yang peka terhadap kekeringan. Untuk kultivar yang toleran terhadap kekeringan, sampai pada tingkat tertentu yang masih dapat


(2)

ditoleransi, cekaman kekeringan tidak menimbulkan pengaruh seperti yang terjadi pada kultivar peka. Oleh karena itu untuk budidaya kacang tanah di lahan kering atau musim kering diperlukan kultivar yang toleran cekaman abiotik, terutama cekaman kekeringan, sehingga peningkatan hasil yang diharapkan dapat terwujud.

Sampai saat ini, di antara 22 kultivar kacang tanah yang dilepas Departemen Pertanian, hanya enam kultivar yaitu Komodo, Biawak, Jerapah, Panther, Singa dan Turangga yang diidentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan (Hidajat et al. 1999). Pada umumnya mekanisme toleransi yang dilakukan oleh kultivar toleran adalah melalui pembentukan akar yang intensif sehingga dapat menurunkan hasil. Kultivar toleran dengan mekanisme yang tidak menurunkan hasil lebih diinginkan (Williams dan Boote 1995). Karakter tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk diupayakan pada kacang tanah sebab genotipe dengan potensial daya hasil tinggi pada kondisi irigasi optimum biasanya sangat peka terhadap kekeringan. Sebaliknya, genotipe yang memberikan hasil baik pada kondisi tercekam kekeringan, mungkin tidak menjamin hasil yang lebih baik pada kondisi irigasi optimum (Gupta 1997) karena besarnya kemampuan pertumbuhan biomassa (perakaran). Berdasarkan hal itu pengembangan kultivar kacang tanah toleran kekeringan masih diperlukan.

Untuk mengembangkan kultivar yang toleran terhadap kekeringan dengan mekanisme yang berbeda diperlukan keragaman baru sifat toleransi pada plasma nutfah kacang tanah. Peningkatan keragaman sifat toleransi dapat dilakukan secara in vitro melalui kultur jaringan. Teknik ini berpotensi untuk menghasilkan varian somaklonal yang mempunyai karakteristik tertentu. Varian yang secara alamiah terjadi acak pada berbagai karakter tersebut kemudian diseleksi dalam media selektif yang sesuai sehingga diperoleh varian dengan sifat yang diinginkan. Dengan menggunakan seleksi in vitro, intensitas seleksi lebih besar dan homogen sehingga dapat meningkatkan efisiensi didapatkannya varian tanaman dengan sifat-sifat yang diharapkan (Specht dan Graef 1996).

Dalam kultur jaringan terdapat tiga teknik yang dapat dilakukan, yaitu proliferasi tunas pucuk, regenerasi tunas adventif dan regenerasi embrio somatik. Di antara ketiga teknik tersebut regenerasi embrio somatik merupakan teknik yang paling efisien dan paling besar peluangnya untuk memperoleh varian. Selain itu kecepatan multiplikasi lebih tinggi, prosesnya dapat dipertahankan dalam jangka panjang sehingga tidak selalu tergantung pada


(3)

ketersediaan eksplan dan tidak mengakibatkan khimera (Maluszynski 1995). Pada regenerasi embrio somatik eksplan diinduksi berturut-turut menjadi kalus, embrio somatik, dan tunas. Karena embrio somatik berasal dari sel tunggal, maka frekuensi terbentuknya varian relatif besar.

Untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan digunakan bahan seleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang. Ada beberapa bahan seleksi yang dapat digunakan, antara lain manitol, sorbitol, dan PEG (poly ethylene glycol). Dibandingkan agen seleksi yang lain, PEG (terutama yang mempunyai berat molekul lebih dari 3500) mempunyai kelebihan yaitu tidak dapat diserap oleh tanaman. PEG yang ditambahkan ke dalam media kultur dapat menurunkan potensial air media secara homogen karena sifatnya yang larut sempurna dalam air. Besarnya penurunan potensial air tergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG (Michel dan Kaufmann 1973, Steuter 1981). Bila varian yang toleran terhadap potensial air rendah tersebut dapat diperoleh dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman maka kemungkinan besar akan berkembang menjadi tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan.

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui metode seleksi in vitro yang efektif dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah

2. Mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah

3. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro 4. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap

cekaman kekeringan

5. Menduga mekanisme toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan secara fisiologis

Pendekatan Masalah dan Strategi Penelitian

Untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan tahap-tahap seperti disebut di bawah ini.

1. Mengembangkan populasi embrio somatik (ES) kacang tanah dan varian somaklonal

2. Mengembangkan teknik seleksi in vitro yang mengandung bahan penyeleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang


(4)

3. Menyeleksi populasi varian dalam media selektif in vitro untuk mengidentifikasi varian yang toleran terhadap potensial air rendah

4. Meregenerasikan varian yang toleran terhadap potensial air rendah menjadi populasi tanaman lengkap

5. Mengevaluasi karakter kualitatif dan kuantitatif populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES varian hasil seleksi in vitro untuk mengidentifikasi adanya variasi di antara populasi tanaman yang diperoleh

6. Mengevaluasi respon tanaman hasil seleksi in vitro terhadap cekaman kekeringan dengan beberapa pendekatan, untuk mengidentifikasi adanya tanaman varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan

7. Menganalisis secara fisiologis populasi tanaman yang toleran untuk menentukan mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.

Untuk dapat melakukan tahap-tahap tersebut dibutuhkan:

1. metode induksi ES dan variasi somaklonal untuk memperoleh ES varian somaklonal,

2. metode seleksi in vitro untuk mendapatkan ES varian somaklonal yang toleran cekaman kekeringan,

3. metode regenerasi ES menjadi tanaman lengkap,

4. indikasi adanya varian somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif 5. metode evaluasi respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, dan

6. metode analisis fisiologis untuk penentuan mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan.

Metode induksi ES kacang tanah yang efektif telah berhasil dikembangkan menggunakan eksplan leaflet dengan media MS-P16 yaitu media MS (Murashige – Skoog) ditambah zat pengatur tumbuh golongan auksin yaitu pikloram (amino trichloropicolinic acid) sebanyak 16 μM/l. Metode ini terbukti cukup efektif menginduksi ES primer dan sekunder paling tidak untuk 16 kultivar kacang tanah yang diuji (Nursusilawati 2003).

Penelitian awal untuk mendapatkan metode seleksi dalam rangka memperoleh galur kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan telah dilakukan dan menunjukkan bahwa pemberian larutan PEG dalam media in vivo memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan tanaman selama fase vegetatif. Pada penelitian tersebut penambahan konsentrasi PEG secara gradual menyebabkan peningkatan efek negatif pada beberapa peubah pertumbuhan (Nursusilawati 2003). Dari hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa PEG


(5)

dapat digunakan sebagai bahan penyeleksi kacang tanah dalam kondisi ex vitro untuk memperoleh tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan, namun efektivitasnya secara in vitro masih perlu diteliti.

Metode regenerasi tanaman kacang tanah dari ES telah dapat dikembangkan secara efektif, yang meliputi tahap maturasi, perkecambahan, dan pengakaran. Maturasi dilakukan dengan menumbuhkan ES dalam media MSAC, yaitu media MS tanpa fitohormon ditambah active charcoal (arang aktif) 2 g/l agar ES berkembang sempurna. ES sekunder yang telah mengalami tahap maturasi kemudian dikecambahkan dalam media MS yang ditambah BAP (6-benzylamino purine, zat pengatur tumbuh sejenis sitokinin) sebanyak 22 μM sampai terbentuk tunas. Tunas yang tumbuh dipilih yang mempunyai panjang 2 – 3 cm, kemudian dipindahkan ke media pengakaran yang tersusun dari media MS ditambah NAA (naphtalene acetic acid, zat pengatur tumbuh sejenis auksin) sebanyak 10 mg/l selama satu minggu. Setelah itu dipindahkan lagi ke MSAC dan ditumbuhkan sampai membentuk akar yang sempurna yang biasanya berlangsung selama 4 minggu. Dalam semua tahap tersebut kultur diinkubasikan dalam ruang kultur dengan temperatur konstan 24o C dalam kondisi terang terus menerus. Tunas yang telah berakar akan berkembang menjadi plantlet yang siap diaklimatisasi (Nursusilawati 2003).

Berdasarkan hal-hal tersebut maka strategi penelitian yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:

1. mengembangkan metode seleksi in vitro dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah dengan mengkaji pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan jaringan kacang tanah secara in vitro, dan menentukan konsentrasi sub-letal PEG pada sejumlah kultivar kacang tanah yang dilaporkan sebagai kultivar toleran, medium dan peka terhadap cekaman kekeringan,

2. menginduksi terjadinya ES sekunder dan varian somaklonal tanpa seleksi PEG dan meregenerasikannya menjadi tanaman lengkap untuk mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah,

3. menginduksi terbentuknya ES sekunder dan varian somaklonal kemudian menyeleksi dalam media selektif PEG, meregenerasikan untuk memperoleh populasi tanaman varian somaklonal, dan mengevaluasi karakter kualitatif dan kuantitatif varian,


(6)

4. mengevaluasi respon tanaman varian somaklonal terhadap cekaman kekeringan yang dilakukan secara ex vitro di rumah kaca untuk memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dan

5. menganalisis secara fisiologis untuk mengetahui mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan.

Penelitian dimulai dengan mengetahui efektitivitas PEG dalam mensimulasikan cekaman kekeringan dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon tunas dan kecambah sembilan kultivar kacang tanah terhadap konsentrasi PEG 0%, 5% 10%, 15% dan 20%. Sembilan kultivar kacang tanah tersebut berdasar penelitian sebelumnya mempunyai tingkat toleransi yang berbeda, yaitu Singa, Komodo dan Jerapah (toleran), Kelinci, Trenggiling dan Gajah (medium toleran), Macan dan Simpai (peka) serta Badak yang belum diketahui tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Kemudian dilanjutkan dengan mengevaluasi respon ES primer dari empat kultivar kacang tanah, yaitu Singa, Kelinci, Badak dan Zebra terhadap lima konsentrasi PEG yang sama seperti percobaan sebelumnya. Empat kultivar tersebut dipilih karena induksi pembentukan ES relatif mudah dan berbeda tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Dari percobaan ini dapat diketahui konsentrasi PEG sub-letal dan metode seleksi in vitro yang efektif. Bersamaan dengan hal tersebut dilakukan induksi variasi somaklonal pada ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa karena kedua kultivar tersebut selain mudah diinduksi membentuk ES, juga mempunyai daya hasil yang relatif tinggi, masing-masing sebesar 2,3 ton/ha dan 2,6 ton/ha. Sebagian ES diseleksi dalam media seleksi yang telah dikembangkan sehingga diperoleh ES yang insensitif terhadap cekaman PEG, kemudian bersama-sama dengan ES yang tidak diseleksi diregenerasikan menjadi tunas. Jadi pada setiap kultivar terdapat dua populasi tunas kacang tanah, yaitu tunas yang diseleksi dan yang tidak diseleksi. Tunas-tunas tersebut diakarkan sehingga diperoleh plantlet. Plantlet dikembangkan melalui aklimatisasi menjadi tanaman R0. Tanaman R0 ditumbuhkan di rumah kaca dibiarkan menyerbuk sendiri sehingga diperoleh benih R0-1. Benih kemudian ditanam di rumah kaca. Tanaman R1 yang diperoleh dibiarkan menyerbuk sendiri sehingga diperoleh benih R1-2. Selanjutnya benih tersebut ditanam sehingga didapatkan tanaman R2. Pada setiap generasi tanaman R0, R1 dan R2 dilakukan pengamatan ciri kualitatif dan kuantitatif untuk mengevaluasi


(7)

terjadinya variasi somaklonal. Sejumlah tanaman R1 dan R2 juga dievaluasi responnya terhadap cekaman kekeringan dengan penyiraman PEG dan pengurangan penyiraman. Dari serangkaian percobaan tersebut diharapkan diperoleh galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Galur tersebut kemudian dievaluasi mekanisme toleransinya secara fisiologis yaitu dengan mengukur kandungan prolina. Strategi penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1 berikut.


(8)

Gambar 1. Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian

PERCOBAAN 1 Evaluasi efektivitas PEG untuk mensimulasikan cekaman kekeringan

PERCOBAAN 2A

Penentuan konsentrasi sub letal PEG

MEDIA SELEKSI IN VITRO

PERCOBAAN 2B

Seleksi ES varian dalam media selektif dan regenerasi ES insensitif menjadi

tanaman R0

PERCOBAAN 3A Induksi ES varian somaklonal dan regenerasinya menjadi tanaman R0

TANAMAN R0 VARIAN TANPA SELEKSI DAN DENGAN SELEKSI (INSENSITIF PEG)

PERCOBAAN 3B

Regenerasi tanaman R1 dan R2 serta evaluasi karakter varian pada tanaman R0, R1 dan R2

KARAKTER VARIAN KUALITATIF DAN

KUANTITATIF

POPULASI TANAMAN VARIAN SOMAKLONAL GENERASI R1 DAN R2

PERCOBAAN 4 Evaluasi toleransi terhadap cekaman PEG dan mekanisme

toleransinya

PERCOBAAN 5

Evaluasi toleransi terhadap cekaman kekeringan dan mekanisme

toleransinya

1) TANAMAN VARIAN TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN 2) MEKANISME TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Variasi Somaklonal Kacang Tanah

Pengembangan galur tanaman yang mempunyai karakter tertentu dapat dilakukan apabila di dalam plasma nutfah terdapat materi genetik yang mengendalikan mekanisme karakter yang diinginkan. Semakin besar keragaman genetik dalam plasma nutfah, semakin besar pula peluang untuk mendapatkan materi genetik yang diharapkan. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan melalui kultur jaringan. Media kultur jaringan dapat menginduksi perubahan genetik karena kondisi in vitro memungkinkan pembelahan sel terjadi sangat cepat sehingga memberi peluang terjadinya error yang tinggi. Dalam kegiatan pemuliaan perubahan ini justru memberi keuntungan karena meningkatkan keragaman sifat. Keragaman ini disebut variasi somaklonal (Larkin dan Scrowcrot 1981, Larkin et al. 1989, Bouharmont 1994, Wikipedia 2006).

Pengembangan keragaman genetik tanaman melalui induksi variasi somaklonal pada hakekatnya hampir sama dengan pengembangan dengan teknik mutasi. Tingkat mutasi yang terjadi secara alamiah, buatan maupun dalam kultur in vitro rata-rata sebesar 0,0001% (Duncan et al. 1995), namun dibandingkan mutasi alamiah dan buatan, frekuensi terjadinya mutasi pada kultur in vitro jauh lebih tinggi (Larkin et al. 1989) karena populasi yang ditangani berjumlah sangat besar. Pada satu botol kultur terdapat jutaan sel dan setiap sel mempunyai peluang mengalami mutasi atau membentuk sel varian. Keduanya, teknik mutasi dan induksi variasi somaklonal, menghasilkan tanaman regeneran dengan perubahan sifat yang menguntungkan ataupun merugikan, namun perubahan yang merugikan pada variasi somaklonal terbukti lebih sedikit (Duncan et al. 1995).

Variasi somaklonal merupakan fenomena umum yang dapat terjadi pada semua sistem regenerasi tanaman yang melibatkan fase kalus. Sebagian besar variasi somaklonal yang tampak pada tanaman regeneran dihasilkan selama tahap kultur jaringan. Hal ini dapat dilihat melalui peningkatan frekuensi kromosom yang abnormal sejalan dengan lamanya kultur. Beberapa variasi yang terjadi pada tanaman varian mungkin dihasilkan pula dari variasi yang ada pada eksplan. Perubahan genetik seperti mutasi gen, duplikasi, aneusomatik dan khimera juga dapat terjadi pada sel atau jaringan tanaman dalam kondisi in vivo. Oleh karena itu variasi genetik pada tanaman varian merupakan akumulasi dari


(10)

variasi yang muncul dalam kondisi in vivo dan in vitro. Kontribusi relatif keduanya mungkin berbeda antar kasus, tergantung pada genotipe tanaman, tipe kultur, medium kultur, umur kultur dan sebagainya (Larkin dan Scowcroft 1981, Larkin et al. 1989, Wikipedia 2006).

Perubahan genetik selama pertumbuhan dan regenerasi in vitro dapat terjadi pada genom inti maupun genom organela. Perubahan-perubahan tersebut ada beberapa tipe, yaitu perubahan jumlah genom (monoploid, diploid, sampai poliploid), perubahan jumlah kromosom (monosomi, trisomi, tetrasomi atau nulisomi), perubahan struktur kromosom (translokasi, duplikasi, delesi, inversi, kromosom disentrik atau telosentrik) dan perubahan struktur DNA yang meliputi mutasi gen, pindah silang mitotik, metilasi yang mengakibatkan inaktivasi gen, dan mutasi insersi akibat transposon (Bouharmont 1994, Karp 1995) .

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ada tidaknya dan intensitas variasi yang dihasilkan dari kultur. Menurut Karp (1995), faktor-faktor tersebut berasal dari (1) eksplan, yang meliputi tingkat perkembangan eksplan, jenis eksplan, konstitusi genetik atau genotipe tanaman, dan dari (2) kondisi kultur, yang meliputi panjang waktu kultur, penambahan zat pengatur tumbuh dan bahan penyeleksi dalam media kultur. Tingkat perkembangan merupakan faktor kunci variasi somaklonal. Pada tingkat perkembangan yang belum terorganisasi mekanisme instabilitas genetik lebih mudah terjadi. Jadi makin awal tingkat perkembangan eksplan dan makin panjang waktu yang diperlukan dalam tahap ini, makin besar peluang untuk menghasilkan variasi somaklonal. Selain itu jenis, paduan dan konsentrasi hormon yang dipakai dalam media kultur, serta konsentrasi nutrien seperti Ca dan EDTA juga mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal.

Melalui induksi variasi somaklonal diharapkan dapat diperoleh varian dengan sifat-sifat yang diinginkan dalam jumlah yang memadai. Sepuluh dari 100 varian somaklon pada tembakau mempunyai sifat-sifat agronomi yang positif (Larkin dan Scowcroft 1981). Pada tanaman gandum regeneran terjadi variasi somaklonal sebesar 5% untuk sifat morfologi dan biokimia. Karakter tersebut, baik yang dikendalikan secara monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan sampai dua generasi (Larkin et al. 1984). Frekuensi variasi somaklonal pada tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi auksin dalam media tumbuh. Pada media dengan 22,5 μM 2.4.D terbentuk varian sebesar 40%, sedangkan dengan 18 μM terbentuk 3 % dari tanaman regeneran (Shoemaker et


(11)

al. 1991). Penelitian Claxton et al. (1998) menunjukkan bahwa pada Rorippa nasturtium-aquaticum terjadi 25% variasi somaklonal dalam beberapa karakter morfologi dan ploidi. Frekuensi varian somaklonal sebesar 1,0% diketahui terjadi pada Picea mariana dan 1,6% pada P. glauca, yang dapat dikelompokkan menjadi 9 tipe sifat morfologi dan fisiologi (Tremblay et al. 1999).

Intensitas perubahan karakter yang tampak pada tanaman varian somaklonal tidak sama antar kasus. Perubahan tersebut dapat sangat besar sehingga tanaman tampak abnormal, namun mungkin pula hanya sebagian kecil sedangkan sebagian besar karakter lain tetap menyerupai induknya. Varian yang fungsional untuk perbaikan sifat tanaman adalah yang mengalami perubahan kecil (yang positif/diinginkan) yang bersifat stabil, durable, dan diwariskan secara Mendelian, dengan tetap mempertahankan sebagian besar sifat seperti induknya. Hal ini dilaporkan dapat terjadi sehingga variasi somaklonal memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa karakter tertentu yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul yang dimiliki induk (Hawbaker et al. 1993, Duncan et al. 1995).

Karakter yang berubah pada variasi somaklonal dapat merupakan karakter morfologi, biokimia, fisiologi maupun molekuler. Variasi morfologi dan fisiologi yang dihasilkan dari variasi somaklonal yang telah diteliti pada berbagai tanaman meliputi perubahan ukuran dan warna bunga, warna dan morfologi daun, tinggi tanaman, resistensi terhadap penyakit dan waktu panen (Wikipedia 2006). Variasi morfologi dan fisiologi meliputi filotaksis, jumlah anak daun, jumlah percabangan, sterilitas polen, dan kadar prolin tampak pada somaklon kedelai (Widoretno 2002). Varian yang tampak pada varian kacang tanah adalah jumlah cabang, panjang gynofor, jumlah anak daun, dan ukuran polong (Yusnita 2005).

Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Tanaman

Ditinjau dari segi agronomi kekeringan merupakan kondisi ketersediaan air yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, meliputi simpanan air bawah tanah dan kelembaban tanah, yang terjadi pada sebagian atau sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspesikan potensi genetiknya (Mitra 2001). Kekeringan mengakibatkan cekaman osmotik pada tanaman yaitu mengurangi aktivitas air dan menyebabkan hilangnya turgor sel. Cekaman osmotik merupakan cekaman multidimensi yang dapat mempengaruhi aktivitas fisiologi dalam berbagai tingkat organisasi sel dan tahap


(12)

perkembangan karena air berperan sangat vital dalam kehidupan tanaman. Air merupakan komponen penting dalam metabolisme, yaitu sebagai komponen protoplasma, bahan fotosintesis, pelarut sebagian besar senyawa, media transportasi, pengatur suhu dan faktor yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia. Oleh karena itu pengaruh kekurangan air pada tanaman bersifat sangat kompleks (Salisbury dan Ross 1992, Blum 1996, Mundree et al. 2002).

Intensitas pengaruh cekaman kekeringan terhadap tanaman ditentukan oleh tingkat cekaman dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Cekaman kekeringan dapat mempengaruhi berbagai mekanisme seluler, biokimia dan fisiologi. Pada tingkat seluler kekeringan mengakibatkan kehilangan air protoplasmik sehingga konsentrasi ion meningkat, menghambat fungsi-fungsi metabolik, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi antar molekul yang dapat menyebabkan denaturasi protein dan fusi membran (Mundree et al. 2002). Selain itu kekeringan menurunkan kandungan klorofil daun, kadar protein khlorofil dan fotosistem II pada gandum (Shimada et al. 1992; Gaspar et al. 2002), degradasi protein D1 pada pusat reaksi fotosistem II dan kerusakan membran serta dinding sel (Pieters et al. 2003).

Pengaruh kekeringan terhadap mekanisme biokimia dan fisiologi antara lain menurunkan kecepatan fiksasi dan akumulasi N (Masyudi dan Peterson 1991), transportasi fotosintat dan transpirasi (Pookpadi et al. 1990; Vieira et al. 1992), dan kecepatan fotosintesis (Loggini et al. 1999). Menurut Mundree et al (2002) cekaman kekeringan cenderung merusak sistem transport elektron sehingga mendorong terbentuknya radikal oksigen bebas (reactive oxygen species atau ROS) pada organela tempat terjadinya metabolisme yang melibatkan transport elektron atau yang melakukan oksidasi, yaitu khloroplas, mitokhondria dan mikrobodi. ROS pada umumnya merusak komponen penting dalam sel seperti DNA, protein dan lipid, serta mengakibatkan gangguan pada integritas membran, aktivitas enzim dan struktur intra seluler.

Pengaruh cekaman kekeringan pada tahap perkembangan vegetatif dan generatif tampak pada berbagai organ. Menurut Blum (1996) kekeringan berpengaruh terhadap vigor dan pemunculan kecambah di atas tanah, namun pada kecambah jagung justru meningkatkan diameter akar utama (Schmidhalter et al. 1998). Kekeringan menurunkan pemanjangan daun (Schmidhalter et al. 1998) dan pertumbuhan primordia daun pertama pada jagung (Zhongjin dan Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif, kecepatan pertumbuhan


(13)

relatif, dan luas daun Phaseolus vulgaris (Franca et al. 2000), luas helaian daun, jumlah daun per tanaman, luas daun total per tanaman, dan rasio akar/batang pada empat spesies Quercus (Fotelli et al. 2000). Cekaman kekeringan menurunkan bobot biji dan bobot kering polong (Pookpadi et al. 1992), kualitas biji (Franca-Neto et al. 1993), volume bunga dan nektar serta konsentrasi gula dalam nektar Epilobium angustifolium (Caroll et al. 2001). Pada jagung cekaman kekeringan menurunkan hasil karena mengurangi efisiensi penggunaan cahaya (Earl et al. 2003).

Pada kacang tanah kekeringan mempengaruhi penyerapan kalsium oleh polong dan fiksasi nitrogen. Jika kekeringan terjadi pada tanaman yang telah mencapai tahap panen, ada kemungkinan biji terkontaminasi oleh aflatoksin yang mengakibatkan biji beracun dan tidak layak makan baik oleh manusia maupun ternak (Sharma dan Lavanya 2002, Ham 2004). Vorasoot et al. (2003) mengemukakan bahwa pada empat kultivar kacang tanah di Thailand kekeringan berpengaruh pada hasil dan beberapa karakter agronomi. Kekeringan tingkat sedang (kadar air setengah kapasitas lapang) menurunkan jumlah polong, jumlah biji per tanaman, ukuran biji dan berat biji. Pada cekaman kekeringan tingkat tinggi (kadar air ¼ kapasitas lapang) hampir semua polong gugur.

Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan

Mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan terjadi melalui proses signal transduction. Proses tersebut melibatkan reseptor sebagai penerima signal, phosphoprotein cascade sebagai penghantar signal, dan trans-acting factor sebagai pengaktif gen yang mengendalikan respon. Pada tanaman tertentu ABA (absisic acid) berperan sebagai reseptor sekunder yang menghubungkan reseptor utama di membran dengan phosphoprotein cascade, namun pada tanaman lain ABA tidak berperan (Mundree et al. 2002).

Menurut Mitra (2001) mekanisme respon terhadap kekeringan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu mekanisme escape (pelarian), avoidance (ketahanan) dan tolerance (toleransi). Pelarian merupakan kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman. Ketahanan adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif tinggi pada saat mengalami kekeringan, sedangkan toleransi adalah kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dengan potensial air jaringan yang rendah.


(14)

Pada umumnya tanaman melakukan lebih dari satu mekanisme respon dalam waktu yang sama. Mekanisme ketahanan pada berbagai tanaman merupakan faktor penting dalam menghadapi cekaman kekeringan. Hasil tinggi di bawah kondisi cekaman kekeringan pada beberapa tanaman tertentu lebih disebabkan oleh mekanisme ketahanan dibandingkan mekanisme toleransi cekaman kekeringan (Ndunguru et al. 1995). Ketahanan dilakukan dengan cara mengurangi kehilangan air lewat daun dan meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap air tanah. Faktor yang memiliki kontribusi pada ketahanan terhadap cekaman kekeringan adalah (1) pertumbuhan akar yang ekstensif dan dalam (sering kali menjadi faktor yang paling penting); (2) penutupan stomata untuk mengurangi kehilangan air; (3) penggulungan daun untuk mengurangi luas daun yang terpapar lingkungan; (4) deposit lilin pada epicuticular untuk menghambat kehilangan air (Sullivan 1983).

Mekanisme toleransi juga mempunyai kontribusi yang tinggi dalam mempertahankan hasil di bawah kondisi cekaman. Pada hakekatnya toleransi meliputi aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan, menjaga kondisi homeostatik, dan mempertahankan agar pertumbuhan dapat tetap berlangsung meskipun dengan kecepatan yang lebih rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut, aktivitas dalam mekanisme toleransi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) detoksifikasi khususnya terhadap ROS melalui pembentukan protein stres dan osmolit yang kompatibel, (2) menjaga keseimbangan osmotik, dan (3) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel (Mundree et al 2002).

Protein stres yang dibentuk dalam menghadapi cekaman kekeringan dapat dibedakan menjadi (a) protein fungsional, antara lain berupa enzim kunci biosintesis osmolit, enzim antioksidan, protein proteksi, dan (b) protein regulator, antara lain berupa trans acting factor. Osmolit selain berperan dalam detoksifikasi, juga berperan dalam keseimbangan osmotik yaitu mempertahankan tekanan turgor sel (Serraj dan Sinclair 2002, Mundree et al 2002).

Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan sangat bervariasi tergantung pada spesies, tingkat cekaman, lamanya cekaman, tahap perkembangan tanaman ketika terjadi cekaman dan tingkat toleransi tanaman (Mullet dan Whitshitt 1996). Tanaman toleran mengembangkan mekanisme detoksifikasi


(15)

terhadap ROS secara efisien dengan membentuk enzim-enzim anti-oksidan (misalnya katalase, peroksidase, dismutase), membentuk senyawa penghilang radikal (misalnya karotenoid, askorbat, tokoferol-glutation tereduksi); dan mengembangkan struktur untuk meminimalkan pembentukan ROS. Pada tanaman rentan sistem penghilangan radikal cepat jenuh dan akibatnya kerusakan tidak dapat dihindari (Mundree et al. 2002).

Pada gandum yang mengalami kekeringan terjadi penurunan kandungan glutation baik pada kultivar yang rentan maupun toleran terhadap kekeringan, namun kultivar yang rentan menunjukkan peningkatan aktivitas glutation reduktase (Loggini et al. 1999). Stres kekeringan menginduksi akumulasi ABA dan meningkatkan pembentukan ROS serta aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti SOD (superoxide dismutase), CAT (catalase), APX (ascorbate peroxidase) dan GR (gluthatione reductase) pada daun jagung (Mingyi dan Jianhua 2002).

Detoksifikasi senyawa radikal juga dilakukan dengan pembentukan osmolit yang kompatibel yang dapat berperan sebagai penghilang radikal, agen proteksi untuk stabilisasi protein selama cekaman dan pelindung DNA dari efek degradasi akibat ROS. Selain itu osmolit juga berperan dalam menjaga homeostasi osmotik agar sel tetap turgor. Oleh karena itu osmolit disebut pula osmoprotektan. Ada bermacam-macam senyawa osmolit antara lain dari kelompok polyol (sorbitol), gula (rafinose, sukrose, trehalose), asam amino (prolin), betain dan komponen lain yang terlarut dalam plasma sel. Molekul gula selain berperan sebagai osmoprotektan, juga dapat mempertahankan stabilitas membran sel dengan menjaga permukaan membran dari hidrasi dan mencegah fusi komponen-komponen membran (Munns 2002, Serraj dan Sinclair 2002).

Osmolit yang dibentuk oleh spesies bersifat spesifik, misalnya alfalfa, padi, dan canola membentuk prolin (Girousse et al. 1996, Iyer dan Caplan 1998, Gibon et al. 2000); Populus membentuk protein sejenis dehidrin (Pelah et al. 1997), prolin dan sukrose (Watanabe et al. 2000); kedelai mengakumulasi pinitol yang merupakan senyawa inositol (Guo dan Osterhuis 1997) dan prolin (Zheng dan Li 2000; Widoretno 2002); jagung membentuk sukrose (Zinselmeier et al. 1999) dan prolin (Verslues dan Sharp 1999). Ryegrass yang mengalami kekeringan mengakumulasi fruktan pada jaringan daun, khususnya pada bagian pelepah dan dasar daun yang meristematik, tetapi tidak meningkatkan pembentukan sukrose. Pada akar terjadi sebaliknya, fruktan tidak meningkat sedangkan


(16)

sukrose mengalami peningkatan (Amiard 2003). Kacang tanah kultivar Jerapah dan Singa yang sebelumnya dilaporkan toleran, jika mengalami cekaman kekeringan mengakumulasi prolin jauh lebih besar dibanding kultivar yang rentan. Kultivar toleran dapat mempertahankan kandungan gula total saat tercekam kekeringan, sementara pada kultivar rentan kandungan gula total menurun (Sudarsono et al. 2004).

Homeostasi atau keseimbangan ionik bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi ion di tingkat seluler, jaringan dan tanaman. Hal tersebut dilakukan dengan menambah jumlah vakuola, mengaktifkan mekanisme pompa ion, saluran ion, transporter ion dan ATP-ase vakuolar. Konsentrasi ion di sitoplasma dipertahankan pada rentang tertentu sehingga proses-proses fisiologi normal dapat dilakukan (Mundree et al. 2002). Pada tanaman yang rentan, jika terjadi cekaman kekeringan turgor sel turun sehingga menimbulkan hambatan mekanik pada dinding dan membran sel yang tidak dapat balik. Tetapi pada tanaman yang toleran, kerusakan mekanik dapat ditanggulangi antara lain dengan mengurangi volume sel secara signifikan akibat mengerutnya dinding sel, atau mempertahankan volume sel dengan pembentukan vakuola kecil dalam jumlah banyak (Mundree et al. 2002).

Regulasi pertumbuhan pada umumnya dilakukan melalui pengaturan pembukaan stomata dan aktivitas ABA untuk menurunkan intensitas fotosintesis dan perbanyakan sel. Kultivar kapas yang toleran dapat mempertahankan konduktan stomata dan fotosintesis seperti tanaman yang tidak mengalami cekaman sehingga hanya mengalami penurunan potensial osmotik sebesar 20– 25%, sedangkan potensial air tidak nyata menurun. Sebaliknya pada kultivar yang rentan potensial osmotik relatif tetap, sedangkan potensial air nyata menurun (Nepomuceno et al. 1998). Pada kultivar buncis yang rentan, stomata menutup sangat cepat dan menutup sempurna pada potensial osmotik –0,6 MPa, sedangkan pada kultivar yang toleran mekanisme tersebut terjadi pada -0,9 MPa. Akibatnya pada kondisi kekeringan, NAR (net assimilation rate) pada kultivar toleran lebih tinggi dibanding kultivar rentan (Franca et al. 2000). Jagung mempertahankan proses pemanjangan akar pada saat kekeringan melalui perubahan beberapa mekanisme penting dari homeostasi ion. Akumulasi ABA memainkan peranan penting dalam pengaturan proses transpor ion (Ober dan Sharp 2003).


(17)

Pada kacang tanah di Argentina terdapat perbedaan dalam hal kemampuan penyerapan air dan efisiensi penggunaan air antara varitas yang toleran dengan yang rentan terhadap kekeringan. Dibandingkan varitas rentan, varitas toleran menyerap lebih banyak air selama periode kekeringan karena kemampuannya ‘menghabiskan’ air tanah yang sangat tinggi. Selain itu akibat tahap perkembangan peg (calon polong) yang berlangsung lebih awal mengakibatkan polong segera dapat masuk ke lapisan tanah, sehingga meningkatkan pembagian asimilat ke polong. Akibatnya produksi polong lebih tinggi dibandingkan varitas rentan (Collino et al. 2000).

Seleksi In vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan

Variasi somaklonal terjadi secara acak dan tidak terarah, sehingga untuk memperoleh variasi yang diinginkan perlu dilakukan seleksi. Seleksi semacam ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki karakter toleransi terhadap cekaman lingkungan (Skirvin et al. 2001). Seleksi dilakukan secara in vitro dalam media yang mengandung bahan selektif yang efektif, yaitu bahan yang dapat mensimulasikan kondisi yang diinginkan dengan tepat, yang efektivitasnya dapat dilihat dari kemampuan bahan tersebut memisahkan varian yang diinginkan dengan yang tidak diinginkan.

Dalam mekanisme seleksi in vitro terdapat dua pendekatan utama, yaitu seleksi positif dan seleksi negatif. Seleksi positif hanya memungkinkan sel-sel varian dengan sifat yang diinginkan hidup dan berkembang, sedangkan sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan akan mati karena tekanan bahan selektif. Sebaliknya pada seleksi negatif, sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan dapat hidup dan membelah terus menerus sehingga justru akan mati akibat tekanan bahan seleksi, sedangkan sel varian dengan sifat yang diinginkan tetap hidup tetapi tidak mampu membelah sehingga terhindar dari tekanan bahan seleksi. Sel ini kemudian dipindahkan ke media penyelamatan (Wikipedia 2006).

Pendekatan seleksi positif dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu seleksi langsung, seleksi dengan penyelamatan, seleksi ganda dan seleksi bertahap. Dalam seleksi langsung, sel varian dengan sifat yang diinginkan dapat hidup dan berkembang membentuk koloni, sebaliknya sel yang tidak diinginkan mati akibat tekanan bahan selektif. Seleksi dengan penyelamatan hampir sama dengan seleksi langsung. Meskipun sel dengan sifat yang diinginkan hidup tetapi tidak mampu membelah akibat tekanan media selektif sehingga harus


(18)

dipindahkan ke media non selektif dalam rangka recovery. Seleksi ganda pada prinsipnya juga hampir sama dengan seleksi langsung. Sel-sel yang diinginkan tidak hanya sel yang mampu hidup dan membelah saja, melainkan juga yang mempunyai karakter visual tertentu. Dalam seleksi bertahap, konsentrasi bahan selektif dinaikkan secara gradual dari konsentrasi yang relatif rendah hingga konsentrasi yang bersifat sub-letal. Sel yang tahan pada media dengan tekanan seleksi tertentu, diseleksi lagi dalam media dengan tekanan seleksi yang lebih tinggi sampai diperoleh sel yang hidup dan mampu membelah dalam media selektif dengan konsentrasi tinggi (Wikipedia 2006).

Seleksi in vitro menuntut penggunaan bahan selektif yang dapat mensimulasi kondisi ex vitro secara tepat. Senyawa PEG (polyethylene glycol) diketahui merupakan senyawa yang dapat mensimulasi kondisi kekeringan dengan tepat karena merupakan senyawa yang terlarut sempurna dalam air. PEG merupakan polimer etilen oksida (-CH2-O-CH2-). Dalam rantai polimer PEG kekuatan matriks monomer etilen oksida merupakan faktor penting yang mengontrol potensial air. Atom oksigen pada monomer tersebut dapat mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen, sehingga energi bebas H2O secara proporsional menurun sesuai panjangnya rantai polimer PEG (Steuter et al. 1981). Akibatnya penurunan potensial air dapat terjadi secara homogen. Meskipun kekuatan osmotik juga muncul, kekuatan matriks merupakan komponen utama potensial air dalam larutan PEG. Oleh karena itu PEG lebih berperan sebagai matrikum daripada sebagai osmotikum sehingga penurunan potensial air dalam media yang mengandung PEG sesuai dengan penurunan potensial air dalam tanah yang mengalami cekaman kekeringan.

PEG tersedia dalam kisaran berat molekul (BM) yang cukup luas sampai dengan BM 20.000. Michel dan Kaufmann (1973) menyatakan bahwa PEG 6000 paling tepat digunakan untuk penelitian dengan tanaman jika dibandingkan PEG dengan BM yang lebih rendah. Penggunaan PEG dengan BM sama atau lebih dari 6000 dalam jangka panjang tidak menyebabkan terserapnya PEG ke jaringan tanaman. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian Chazen dan Neumann (1994) yang memperlihatkan bahwa PEG 6000 tidak dapat masuk ke jaringan, karena menurut Hardegree dan Emmerich (1992) dinding selulosa hanya dapat mengeksklusi atau menginklusi molekul maksimal dengan BM 3500. Berdasarkan hal tersebut penambahan PEG 6000 dalam media kultur dapat merupakan agen seleksi kekeringan yang efektif. Besarnya penurunan potensial


(19)

air tergantung pada konsentrasi dan BM PEG, makin tinggi konsentrasi dan BM makin besar penurunan yang terjadi (Michel dan Kaufmann 1973; Steuter et al. 1981).

Efektivitas penggunaan PEG untuk mensimulasikan kondisi kekeringan secara in vitro dapat dievaluasi dengan mengamati pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan PEG berpengaruh nyata terhadap peubah perkecambahan benih (Verslues et al. 1998; Zhongjin dan Neumann 1999; Widoretno et al. 2002). Penyiraman PEG secara in vivo juga telah terbukti dapat digunakan untuk menapis respon kacang tanah terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003). Penggunaan PEG dalam media in vitro dilaporkan dapat menapis ketahanan terhadap stres kekeringan pada anggur (Dami dan Hughes 1997), Tagetes minuta (Mohamed et al. 2000) dan kedelai (Widoretno et al. 2002).


(20)

KACANG TANAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

DALAM MEDIA

IN VITRO

*)

Abstrak

Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas kacang tanah terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan, serta perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG. Tiga macam organ dari sembilan kultivar kacang tanah, yaitu kecambah, TDK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio dengan kotiledon) dan TTK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio tanpa kotiledon) digunakan sebagai eksplan. Eksplan ditanam dalam media MS-0 cair dengan penambahan PEG (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) dan diamati pertumbuhan serta perkembangannya selama 6 – 8 minggu. Pada saat panen dilakukan pengamatan terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang, jumlah daun sempurna, bobot basah dan kering kecambah; pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, tingkat kerusakan dan kandungan prolina jaringan tunas. Hasil percobaan menunjukkan penambahan larutan PEG ke dalam media MS-0 menghambat pertumbuhan kecambah dan perkembangan tunas. Meningkatnya konsentrasi PEG menurunkan semua peubah pertumbuhan, tetapi meningkatkan skor kerusakan tunas dan kandungan prolina. Sembilan kultivar kacang tanah yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan konsentrasi PEG. Kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah menunjukkan respon toleran; kacang tanah cv. Kelinci dan Gajah menunjukkan respon medium; sedangkan kacang tanah cv. Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak menunjukkan respon peka terhadap cekaman kekeringan. Dari hasil percobaan disimpulkan bahwa penambahan larutan PEG dalam media in vitro memberikan kondisi cekaman yang ditandai dengan terhambatnya perkembangan eksplan dan peningkatan kandungan prolina dalam jaringan seperti respon terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan. Respon kecambah dan tunas terhadap medium yang mengandung PEG 15% dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap kekeringan. Kecambah, TDK maupun TTK dapat digunakan sebagai eksplan, dan pertambahan tinggi (TTK), pertambahan jumlah daun (TDK dan TTK), jumlah daun layu (TDK dan TTK), jumlah akar (TDK), dan skor kerusakan tunas TDK dapat digunakan sebagai kriteria toleransi terhadap kekeringan.

Kata kunci : respon cekaman kekeringan, seleksi in vitro, cekaman PEG, prolina total

*) Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah terakreditasi BERKALA PENELITIAN HAYATI 11 (1): 39-48. Desember 2005


(21)

Abstract

The objectives of this experiments were to evaluate the effectiveness of polyethylene glycol (PEG)-6000 as in vitro selective agent, determine response of seedling and epycotyl of nine peanut cultivars against PEG-6000 induced stress under in vitro conditions, effective concentration of PEG to inhibit growth and development of seedling and epycotyl, evaluate tolerance of the cultivars against PEG stress, and evaluate changes in total proline content due to PEG stress. Seedling, growing epycotyls from nine peanut cultivars seeds (TDK) or from embryo axis (TTK) were planted on liquid MS-0 medium containing PEG 6000 (0%, 5%, 10%, 15%, and 20%). Growth, development, and the tissue damage score of the epycotyl were observed after six weeks. Total content of proline were analyzed for stressed and non stressed epycotyl to determine effect of PEG stress on proline accumulation. Results of the experiment indicated that addition of PEG 6000 in to MS-0 medium inhibited growth and development of peanut seedling and epycotyl, and increased the tissue damage score and total proline content of epicotyl. Addition of PEG 6000 might be used to simulate drought stress under in vitro condition. PEG at 15% concentration was effective for inhibiting growth and development of epycotyl explant. The response of peanut epycotyls against medium containing 15% PEG 6000 might be used as alternative methods for screening peanut tolerance against drought stress. The TDK and TTK might be used as explant, while increased in shoot length (TTK), in leaf number (TDK and TTK), in milted leaf number (TDK and TTK), in root number (TDK) and score of tissue damage (TDK) might be used as criteria for drought tolerance.

Keywords: drought stress response, in vitro selection, PEG induced stress, total proline content


(22)

Pendahuluan

Ketersediaan air merupakan faktor pembatas utama dalam budi daya tanaman. Pada genotipe tanaman yang toleran cekaman kekeringan, penurunan daya hasil akibat cekaman tidak sebesar yang terjadi pada genotipe peka sehingga penggunaan genotipe yang toleran mempunyai arti penting dalam budidaya tanaman di lahan kering.

Untuk menghadapi cekaman kekeringan, pada umumnya tanaman melakukan mekanisme avoidance (ketahanan) dengan cara meningkatkan pertumbuhan biomasa akar untuk menjangkau kedalaman tanah yang kadar airnya lebih tinggi (Monneaux dan Belhassen, 1996), tetapi mekanisme ini kurang efektif karena pertumbuhan biomasa akar yang berlebihan dapat menurunkan daya hasil tanaman. Mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan yang tidak berpengaruh negatif terhadap daya hasil lebih diinginkan dibandingkan dengan mekanisme ketahanan.

Genotipe kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan relatif terbatas jumlahnya (Hidajat et al. 1999), sehingga pengembangan plasma nutfah dengan sifat toleran masih perlu dilakukan. Seleksi in vitro dapat menjadi alternatif cara untuk mengembangkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan.

Penggunaan seleksi in vitro untuk mendapatkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan memerlukan tersedianya teknik kultur jaringan yang efektif untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dan untuk menginduksi variasi somaklonal. Selain itu, selective agent yang dapat menapis sel/jaringan varian dengan sifat toleran diantara sel/jaringan yang peka cekaman kekeringan perlu tersedia. Manitol, sorbitol, garam, dan polietilena glikol (PEG) telah digunakan sebagai bahan penyeleksi dalam seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan (Gulati dan Jaiwal 1993, Rajashekar et al. 1995, Dami dan Hughes 1997).

Senyawa PEG merupakan senyawa yang dapat menurunkan potensial osmotik larutan melalui aktivitas matriks sub-unit etilena oksida yang mampu mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen. Penyiraman larutan PEG ke dalam media tanam diharapkan dapat menciptakan kondisi cekaman karena ketersediaan air bagi tanaman menjadi berkurang. Ukuran molekul dan konsentrasi PEG dalam larutan menentukan besarnya potensial osmotik larutan yang terjadi. Menurut Michel dan Kaufmann (1973), larutan PEG 6000 dengan


(23)

konsentrasi 5% mempunyai potensial osmotik -0,13 MPa (1,26 bar) sedangkan konsentrasi 20% mempunyai potensial osmotik -0,71 MPa (7,06 bar). Tanah dalam kondisi kapasitas lapang mempunyai potensial osmotik 0,33 bar dan dalam kondisi titik kelembaban kritis (koefisien layu) mempunyai potensial osmotik 15 bar. Penggunaan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5%-20% diharapkan dapat menciptakan potensial osmotik yang setara dengan kondisi tanah kapasitas lapang dan titik kelembaban kritis.

Sebagai bahan penyeleksi, PEG 6000 dilaporkan lebih unggul dibandingkan manitol, sorbitol, atau garam karena tidak bersifat toksik terhadap tanaman (Verslues et al. 1998), tidak dapat diserap oleh sel akar (Chazen dan Neumann 1994), dan secara homogen menurunkan potensial osmotik larutan. Penambahan larutan PEG dalam media in vitro diharapkan dapat mensimulasi kondisi cekaman kekeringan. Eksplan yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan PEG diharapkan memberikan respon yang sama dengan yang mengalami cekaman kekeringan. Evaluasi untuk menentukan respon eksplan kacang tanah terhadap cekaman PEG dalam media in vitro perlu dilakukan sebagai langkah awal penggunaan PEG dalam seleksi in vitro.

Salah satu respon tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah meningkatkan kandungan osmolit dalam sel, antara lain dengan mengakumulasikan senyawa prolina (Mundree et al. 2002). Enam kultivar kacang tanah Indonesia yang diuji juga menunjukkan peningkatan akumulasi senyawa prolina sebagai respon terhadap cekaman kekeringan (Sudarsono et al. 2004). Terjadinya peningkatan kandungan prolina jaringan eksplan kacang tanah yang ditanam dalam media dengan penambahan PEG dapat digunakan sebagai indikator kemampuan senyawa PEG untuk mensimulasikan cekaman kekeringan dalam media in vitro.

Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas sembilan kultivar kacang tanah Indonesia terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan, mengevaluasi toleransi sembilan kultivar kacang tanah yang diuji terhadap cekaman PEG dan perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG.


(24)

Bahan dan Metode

Bahan Tanaman dan Perlakuan PEG

Bahan tanaman terdiri atas benih sembilan kultivar, yaitu kacang tanah cv. Singa, Komodo, dan Jerapah yang dilaporkan toleran terhadap cekaman kekeringan (Hidajat et al. 1999, Nursusilawati 2003), Kelinci, Trenggiling dan Gajah yang bersifat medium toleran, Simpai dan Macan yang dilaporkan peka terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003) serta Badak yang belum diketahui responnya terhadap cekaman kekeringan. Benih diperoleh dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika (Balitbiogen) Bogor.

Konsentrasi PEG yang ditambahkan dalam media in vitro terdiri atas 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%; yang masing-masing setara dengan potensial osmotik 0; -0,13; -0,19; -0,41 dan -0,67 MPa (Michel dan Kaufmann 1973). Perkecambahan dan Pertumbuhan Tunas

Pada sebagian percobaan, poros embrio yang diisolasi dari benih kacang tanah steril, dikecambahkan pada media MS-0 (Murashige and Skoog 1962, tanpa zat pengatur tumbuh tanaman) padat, diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25oC dan penyinaran 1000 lux selama 24 jam (untuk selanjutnya inkubasi dalam ruang kultur selalu dilakukan dengan kondisi tersebut, kecuali dinyatakan lain). Kecambah dengan panjang epikotil 1 cm digunakan sebagai eksplan tipe I (eksplan kecambah). Pada sebagian percobaan yang lain, benih (poros embrio beserta kotiledon) dikecambahkan, epikotil yang tumbuh dipotong 2 cm dari ujung dan digunakan sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe II (eksplan TDK, tunas dari benih dengan kotiledon). Pada percobaan berikutnya, poros embrio dikecambahkan, epikotil dipotong 2 cm dari ujung dan digunakan sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe III (eksplan TTK, tunas dari poros embrio tanpa kotiledon).

Respon Eksplan terhadap Cekaman PEG

Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap dua faktor, yaitu sembilan kultivar dan lima konsentrasi PEG. Unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanami empat eksplan kecambah, atau dua TDK, atau dua TTK. Untuk setiap kombinasi perlakuan diulang lima kali.

Media yang digunakan terdiri atas media MS-0 cair ditambah PEG 6000 dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Media sebanyak 35 ml dituangkan dalam botol kultur (volume 150 ml) dan di atasnya diletakkan berturut-turut satu lembar busa sintetis, kertas saring dan satu lembar busa yang


(25)

kedua, kemudian disterilkan. Eksplan tipe I, tipe II atau tipe III ditanam dalam lubang berdiameter 2 mm pada lapisan busa yang kedua (Gambar 2). Kultur dipelihara selama enam minggu.

Pengamatan dan Analisis Data

Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah pertumbuhan kecambah, yaitu panjang epikotil, panjang akar primer , jumlah akar cabang, jumlah daun yang membuka sempurna, bobot basah, bobot kering, persentase kecambah yang epikotilnya tumbuh (PET), persentase kecambah yang akar-cabangnya tumbuh (PAT), dan persentase kecambah yang daunnya tumbuh sempurna (PDT). Panjang epikotil diukur dari pangkal kotiledon hingga ujung epikotil.

Bobot kering ditimbang setelah kecambah disimpan dalam oven dengan suhu 70oc selama tiga hari. PET dan PAT berturut-turut dihitung dengan menentukan rasio antara jumlah kecambah yang epikotil atau akar cabangnya tumbuh dengan jumlah kecambah yang ditanam. Epikotil dianggap tumbuh bila panjangnya lebih dari satu sentimeter, sedang akar cabang dianggap tumbuh bila terdapat minimal satu akar cabang dengan panjang ≥ 0.5 cm. PDT ditentukan dengan menghitung rasio antara kecambah yang minimal satu daunnya tumbuh membuka sempurna dengan seluruh kecambah yang ditanam.

Gambar 2. Media selektif berupa media cair MS (Murashige-Skoog 1962) tanpa zat pengatur tumbuh (MS-0) dengan penambahan berbagai konsentrasi PEG 6000. (a) Eksplan tunas kacang tanah kultivar Macan yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%. (b) Eksplan tunas kacang tanah cv. Singa yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%, setelah dibuka penutupnya. 1. lembaran busa pertama, 2. kertas saring, 3. lembaran busa kedua, dengan lubang untuk menanam eksplan tunas, 4. eksplan tunas yang mati setelah enam minggu ditanam dalam media selektif dengan PEG 15%, 5. eksplan tunas yang tumbuh normal setelah enam minggu dalam media selektif dengan PEG 15%.

4 3 2 1

5 3 2 1


(26)

Gambar 3. Kriteria penentuan skor kerusakan eksplan tunas kacang tanah setelah ditanam dalam media selektif selama enam minggu. (a) skor 0: tunas sehat, terjadi kerusakan < 5% dan eksplan tunas mampu berakar, (b) skor 1: terjadi kerusakan 5% - 25% pada daun atau sebagian batang, (c) skor 2: terjadi kerusakan 25% - 50% pada daun dan sebagian batang, (d) skor 3: terjadi kerusakan 50% - 75% pada daun dan sebagian atau seluruh batang, dan (e) skor 4: terjadi kerusakan > 75% pada daun dan seluruh batang, tunas telah mati

Pertumbuhan dan perkembangan eksplan TDK dan TTK diamati dengan mencatat pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, jumlah daun yang layu, jumlah akar cabang yang terbentuk, dan tingkat kerusakan tunas. Tingkat kerusakan tunas diukur dengan sistem skoring (Gambar 3), yaitu: skor 0 (eksplan mengalami kerusakan <5%), skor 1 (kerusakan antara 5%-25%), skor 2 (kerusakan antara 25%-50%), skor 3 (kerusakan antara 50%-75%), dan skor 4 (kerusakan >75%).

Pengukuran Kandungan Prolina Jaringan Eksplan

Pada akhir pengamatan, tunas TTK yang tumbuh dalam media selektif dipanen dan dikeringkan selama 1 minggu dalam kantong plastik yang berisi silica gel. Contoh tanaman dari satu perlakuan yang sama yang telah kering dijadikan sebagai contoh komposit, disimpan dalam kantong plastik bersegel, diberi label sesuai perlakuan, dan disimpan dalam freezer (-20oC) hingga saat dilakukan analisis kandungan prolina.

Analisis kandungan prolina dilakukan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Bates et al. (1973). Sekitar 0,5 g jaringan contoh digerus dalam mortar porselin, dihomogenisasi dengan 10 ml asam sulfosalisilat 3%, dan disaring dengan kertas saring Whatman no. 42. Sebanyak 2 ml filtrat yang

(a) (b)


(27)

didapat direaksikan dengan campuran asam ninhidrin 2 ml dan asam asetat glasial 2 ml dalam tabung reaksi. Campuran dipanaskan hingga 100oC dalam air mendidih selama 1 jam dan didinginkan dalam air es selama 5 menit. Setelah dingin, larutan diekstraksi menggunakan toluena 4 ml dan dihomogenisasi selama 15-20 detik menggunakan vorteks sampai terbentuk kromofor berwarna merah jambu hingga merah. Kromofor yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm.

Untuk menentukan konsentrasi kandungan prolina digunakan kurva standar menggunakan larutan prolina dengan konsentrasi antara 0 -1,0 µg. Prolina dalam larutan standar diekstraksi dengan cara yang sama sebagaimana yang dilakukan untuk jaringan tunas kacang tanah. Kandungan prolina jaringan dinyatakan dalam µg/g bobot jaringan kering.

Hasil

Respon Eksplan Kecambah terhadap Cekaman PEG

PET kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang dilaporkan toleran cekaman kekeringan, nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, 10% dan 5%. Untuk kacang tanah cv. Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) masing-masing mengikuti pola seperti Singa dan Komodo, sedangkan PET Gajah (medium), Simpai (peka) dan Badak mengikuti pola seperti Jerapah. Pada kacang tanah cv. Singa dan Komodo (yang dilaporkan toleran) serta Trenggiling (medium toleran) PDT menurun nyata pada konsentrasi PEG 10% (Tabel 1).

Penurunan PDT kacang tanah cv. Kelinci (medium) terjadi pada konsentrasi PEG 15%; sedangkan untuk Simpai (peka), Jerapah, Gajah, Macan dan Badak penurunan terjadi pada konsentrasi PEG 5%. PAT untuk kacang tanah cv. Singa dan Komodo (toleran), serta Kelinci dan Trenggiling (medium) nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, untuk Simpai (peka) nyata menurun pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 1).

Panjang epikotil kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang pada penelitian sebelumnya diidentifikasi toleran serta Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) menurun bertahap sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG, namun pada Gajah (medium), Simpai (peka), Macan dan Badak peningkatan konsentrasi PEG 10%, 15% dan 20% tidak lagi menyebabkan penurunan panjang epikotil yang signifikan (Tabel 2).


(28)

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap PET, PDT dan PAT dari sembilan kultivar kacang tanah

Konsentra-si PEG

(%)

Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah

Sng Kmd Jrph Klc Gjh Trg Smp Mcn Bdk

PET (Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm)

0 100 100 100 100 100 100 98 100 100

5 100 71 5 100 45 100 0 34 9

10 100 8 0 94 0 40 0 22 0 15 8 0 0 41 0 35 0 4 0 20 0 0 0 17 0 0 0 0 0

PDT (Persentase kecambah dengan daun membuka > 1)

0 100 100 100 100 100 100 40 100 90

5 85 75 0 100 0 95 0 10 50

10 65 40 0 80 0 50 0 0 25

15 0 0 0 10 0 10 0 0 20

20 0 0 0 5 0 0 0 0 0 PAT (Persentase kecambah dengan akar cabang > 1)

0 100 100 100 100 100 100 100 100 100

5 100 100 95 100 65 100 20 95 95

10 100 100 55 100 35 100 0 0 95

15 45 20 0 100 20 50 0 0 65

20 20 10 0 95 0 0 0 0 20 Keterangan :

PET : Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm, PDT : Persentase kecambah dengan daun membuka > 1, PAT : Persentase kecambah dengan akar cabang > 1

Pada peubah pertumbuhan akar cabang dan daun sempurna, kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran serta Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) menunjukkan pola penurunan yang sama dengan pola penurunan pertumbuhan epikotil. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan Macan masing-masing mulai konsentrasi PEG 5% dan 10% tidak mampu membentuk akar cabang dan daun sempurna (Tabel 2, Gambar 5).

Untuk kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran cekaman kekeringan, penurunan nyata panjang akar primer terjadi pada perlakuan PEG 15% dan Jerapah (toleran) pada konsentrasi PEG 5%. Untuk kacang tanah cv. Kelinci (medium toleran) penurunan nyata panjang akar primer terjadi pada perlakuan PEG 15%, Gajah dan Trenggiling (medium toleran) serta Badak pada konsentrasi PEG 10%, sedangkan Simpai (peka) pada perlakuan 5% (Tabel 2). Bobot basah dan kering kecambah juga dipengaruhi oleh konsentrasi PEG (data tidak ditampilkan). Pada hampir semua kultivar kedua peubah tersebut menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG, dengan pola penurunan yang sama antar kultivar.


(29)

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang dan jumlah daun kecambah sembilan kultivar kacang tanah serta nilai relatifnya terhadap perlakuan PEG 0%

Kultivar Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah dan nilai relatif (%) terhadap perlakuan PEG 0%

0 5 10 15 20

Panjang epikotil (cm)

Singa 3,4 a (100) 1,4b (41) 1,4 b (41) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Komodo 1,7 a (100) 0,9 b (53) 0,3 c (18) 0,2 c (12) 0,1 c ( 6 ) Jerapah 2,8 a (100) 0,5 b (18) 0,1 b ( 4 ) 0,1 b ( 4 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,9 a (100) 2,4 b (62) 1,4 c (36) 0,6 d (15) 0,4 d ( 0 ) Gajah 1,4 a (100) 0,5 b (36) 0,1 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 1,9 a (100) 1,2 b (63) 0,5 c (26) 0,5 c (26) 0,0 d ( 0 ) Simpai 2,7 a (100) 0,2 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 3,6 a (100) 0,5 b (14) 0,3 b ( 8 ) 0,3 b ( 8 ) 0,0 b ( 0 Badak 1,3 a (100) 0,4 b (31) 0,2 b (15) 0,4 b (31) 0,0 b ( 0 )

Panjang akar primer (cm)

Singa 4,1 a (100) 4,2 a 3,9 a (95) 2,7 b ( 66) 0,7 c (17) Komodo 1,9 a (100) 2,0 a (105) 1,6 b (84) 1,1 b ( 58) 1,1 b (58) Jerapah 6,6 a (100) 5,0 b (132) 2,3cd (46) 3,2 c ( 64) 2,0 d (40) Kelinci 5,2 a (100) 5,1 a ( 98 ) 4,8 a (92) 4,3 b ( 83) 1,7 c (33) Gajah 8,4 a (100) 9,3 a (111) 2,9 b (35) 3,5 b ( 42) 0,0 c ( 0 ) Trenggiling 10,1a (100) 9,7 a ( 96 ) 7,6 b (75) 6,4 b ( 63) 2,0 c (20) Simpai 6,4 a (100) 1,7 b ( 76 ) 1,3 b (82) 1,4 b ( 6 ) 0,1 c ( 0 ) Macan 4,3 a (100) 2,5 b ( 58 ) 0,5 c (12) 0,5 c ( 12) 0,4 c ( 9 ) Badak 3,3 a (100) 2,9 a ( 88 ) 2,0 b (61) 1,6 c ( 48) 1,3 b (39)

Jumlah akar cabang

Singa 15,5a (100) 8,3 b ( 54 ) 3,2cd ( 21) 1,0 d ( 6 ) 0,5 d ( 3 ) Komodo 9,2 a (100) 6,3 b ( 68 ) 4,4 b ( 48) 0,3 c ( 3 ) 0.1 c ( 1 ) Jerapah 8,6 a (100) 5,5 b ( 64 ) 2,8 c ( 33) 0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Kelinci 18,1a (100) 8,9 b ( 49 ) 7,6 b ( 42) 6,9 b (38) 3,1 c ( 17) Gajah 8,3 a (100) 4,0 b ( 48 ) 3,8 b ( 46) 2,9 c (35) 0.8 c ( 10) Trenggiling 10,6a (100) 6,5 b ( 61 ) 5,5 b ( 52) 2,3 c (22 ) 0,0 c ( 0 ) Simpai 6,4 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 13,4a (100) 4,8 b ( 36 ) 0,0 c ( 0 ) 0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Badak 6,1 a (100) 4,0 b ( 66 ) 3,8 b ( 62) 2,9bc (48) 0,8 c ( 13)

Jumlah daun yang membuka sempurna

Singa 3,5 a (100) 1,8 b (51) 1,3 b (37) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Komodo 2,4 a (100) 1,5 b (63) 0,8 b (33) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Jerapah 3,3 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,2 a (100) 2,6 b (81) 1,4 b (44) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Gajah 3,8 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 3,4 a (100) 1,9 b (56) 1,0 c (29) 0,0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Simpai 1,2 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 4,2 a (100) 0,2 b ( 5 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Badak 1,8 a (100) 1,0 b (56) 0,5bc (28) 0,4bc ( 0 ) 0,0 c ( 0 )

Keterangan :

Data dalam satu baris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) taraf signifikansi 5%


(30)

Respon Eksplan TDK terhadap Cekaman PEG

Penambahan PEG dalam media in vitro nyata berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan eksplan tunas kacang tanah tipe I (TDK) yang ditanam secara in vitro. Perlakuan PEG 5% nyata menurunkan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer semua kultivar kacang tanah yang diteliti, serta menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Gajah, Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak. Konsentrasi PEG 15% nyata menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah dan Kelinci (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun dan jumlah akar primer pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0%

Peubah dan kultivar

TT Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0% 0 5 10 15 20 0 5 10 15 20

Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplan

Singa T 8,5a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Komodo T 7,9a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Jerapah T 8,2a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Kelinci M 7,0a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Gajah M 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Trenggiling M 6,7a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Simpai P 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Macan P 6,9a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Badak - 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0

Pertambahan jumlah daun per botol

Singa T 10,4a 10,4a 9,6a 2,4b 0,0b 100 100 92 23 0 Komodo T 10,0a 9,6a 8,0a 0,0b 0,0b 100 96 80 0 0 Jerapah T 10,4a 9,6a 8,8a 1,6b 0,0b 100 92 85 15 0 Kelinci M 8,8a 7,6a 7,6a 0,0b 0,0b 100 86 86 0 0 Gajah M 8,0a 4,8b 2,8c 0,0d 0,0d 100 60 35 0 0 Trenggiling M 8,0a 5,6b 3,2c 0,0d 0,0d 100 70 40 0 0 Simpai P 8,0a 0,8b 0,0b 0,0b 0,0b 100 10 0 0 0 Macan P 7,2a 2,0b 0,0c 0,0c 0,0c 100 28 0 0 0 Badak - 7,6a 2,0b 0,8c 0,0c 0,0c 100 26 10 0 0

Jumlah akar primer per eksplan

Singa T 9,2 a 3,3 b 0 c 0 c 0 c 100 36 0 0 0 Komodo T 9,0 a 3,0 b 0 c 0 c 0 c 100 33 0 0 0 Jerapah T 8,8 a 3,5 b 0 c 0 c 0 c 100 40 0 0 0 Kelinci M 7,3 a 0,2 b 0 b 0 b 0 b 100 3 0 0 0 Gajah M 7,2 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Trenggiling M 6,8 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Simpai P 5,9 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Macan P 6,4 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0 Badak - 6,3 a 0 b 0 b 0 b 0 b 100 0 0 0 0

Keterangan:

TT : tingkat toleransi, T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%


(31)

Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda terhadap suatu konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun, jumlah daun layu dan tingkat kerusakan tunas. Kacang tanah cv. Singa, Jerapah, Komodo yang toleran dan Kelinci yang medium toleran terhadap cekaman kekeringan mulai mengalami penurunan jumlah daun pada konsentrasi PEG 10 - 15%, sedangkan lima kultivar yang lain pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 3).

Semua kultivar kacang tanah yang diuji mempunyai pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer yang tidak berbeda. Pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer nyata menurun pada perlakuan penambahan PEG 5% dibandingkan dengan PEG 0%. Pada perlakuan PEG 5%, tunas kacang tanah cv. Singa, Komodo, dan Jerapah yang toleran serta Kelinci yang medium toleran masih mempunyai akar primer, sedangkan kacang tanah yang lain tidak mempunyai akar primer (Tabel 3).

Dampak yang nyata terhadap peningkatan jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas terjadi akibat penambahan PEG 10%, 15%, atau 20% (Tabel 4). Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 15% untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran, serta Kelinci, Gajah dan Trenggiling yang medium toleran. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan Macan yang peka serta Badak, jumlah daun layu telah nyata meningkat pada konsentrasi PEG 10% (Tabel 4).

Skor kerusakan tunas pada kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang toleran, Kelinci dan Trenggiling yang medium toleran telah nyata meningkat pada konsentrasi PEG 20%, kacang tanah cv. Gajah yang medium toleran dan Badak, meningkat pada PEG 15%; sedangkan kacang tanah cv. Simpai dan Macan yang peka, meningkat pada PEG 10% (Tabel 4).

Respon Eksplan TTK terhadap Cekaman PEG

Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda terhadap konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun dan jumlah daun layu. Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 10%–15% untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran dan Trenggiling yang medium toleran, sedangkan lima kultivar lain telah meningkat pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 5).


(32)

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) Peubah dan

kultivar

Tole- ransi

Respon terhadap media dengan PEG

0% 5% 10% 15% 20%

Jumlah daun layu per botol

Singa T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,0 c Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,5 b 3,0 c Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,5 b Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,0 b 3,5 c Gajah M 0,0 a 0,0 a 1,0 a 3,5 b 4,5 b Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 3,0 b 4,0 c Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,5 b 5,0 c 7,0 d Macan P 0,0 a 0,0 a 3,0 b 5,5 c 6,5 d Badak - 0,0 a 0,0 a 2,5 b 5,5 c 6,0 d

Skor kerusakan tunas per eksplan

Singa T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,8 b Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,3 a 1,2 b Gajah M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,5 b 1,6 c Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,2 a 1,5 b Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,2 c 3,0 c Macan P 0,0 a 0,0 a 1,2 b 2,5 c 3,4 c Badak - 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,7 b 2,3 c

Keterangan:

T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%

Kacang tanah cv. Singa, Jerapah, dan Komodo yang toleran mulai mengalami penurunan jumlah daun pada media selektif dengan penambahan PEG 10%, Kelinci yang medium toleran mulai menurun pada media dengan PEG 15%, sedangkan Gajah dan Trenggiling yang medium toleran, Simpai dan Macan yang peka serta Badak mulai menurun pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 6).

Tidak ada perbedaan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer antar kultivar. Pertambahan tinggi tunas nyata menurun pada konsentrasi PEG 5%, dengan persentase penurunan yang bervariasi antar kultivar. Pada kultivar kacang tanah yang diidentifikasi toleran (Singa, Komodo dan Jerapah) pertambahan tinggi pada konsentrasi PEG 5% mencapai 75% – 88%, sedangkan pada kultivar yang peka (Macan, Simpai) hanya mencapai 17% – 67% dibandingkan kontrol (Tabel 6).

Akumulasi Prolina Akibat Cekaman PEG

Penambahan PEG dalam media in vitro berpengaruh meningkatkan kandungan prolina total jaringan eksplan semua kultivar kacang tanah yang diuji. Pada semua kultivar kacang tanah yang diuji, peningkatan kadar prolina total yang diamati sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG (Gambar 4).


(33)

Tabel 5. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap jumlah daun layu per botol pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK)

Peubah dan kultivar

Toleransi Respon terhadap media dengan PEG

0% 5% 10% 15% 20%

Singa T 0,0 a 0,0 a 1,0 b 1,5 b 4,0 c Komodo T 0,0 a 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 5,0 c Jerapah T 0,0 a 1,0 a 1,0 a 2,5 b 5,0 c Kelinci M 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 3,0 b 4,0 c Gajah M 0,0 a 2,5 b 3,5 c 6,0 d 7,0 d Trenggiling M 0,0 a 1,0 a 1,0 a 3,5 b 5,0 c Simpai P 0,0 a 3,5 b 6,0 c 6,0 c 7,0 c Macan P 0,0 a 1,5 b 4,0 c 6,0 d 7,0 d Badak - 0,0 a 2,5 b 5,0 c 7,0 cd 8,0 d

Keterangan:

T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%

Tabel 6. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap pertambahan tinggi dan jumlah daun pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0%

Peubah dan kultivar

Tole-ransi

Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0%:

0% 5% 10% 15% 20% 0 5 10 15 20

Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplan

Singa T 0,9 a 0,8ab 0,7b 0,4c 0,0d 100 88 77 44 0 Komodo T 0,8 a 0,6 b 0,5c 0,2d 0,0e 100 75 62 25 0 Jerapah T 0,6 a 0,5 b 0,3c 0,0d 0,0d 100 83 50 0 0 Kelinci M 0,4 a 0,3 b 0,2c 0,1d 0,0d 100 75 50 25 0 Gajah M 0,4 a 0,3 b 0,1c 0,0d 0,0d 100 75 25 0 0 Trenggiling M 0,6 a 0,4 b 0,1c 0,0c 0,0c 100 67 17 0 0 Simpai P 0,3 a 0,2 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 67 0 0 0 Macan P 0,6 a 0,1 b 0,1b 0,0b 0,0b 100 17 17 0 0 Badak - 0,4 a 0,2 b 0,1c 0,1c 0,0d 100 50 26 25 0

Pertambahan jumlah daun per botol

Singa T 3,2a 2,8 a 0,4b 0,4b 0,0b 100 88 13 13 0 Komodo T 3,2a 2,8 a 0,8b 0,0b 0,0b 100 88 25 0 0 Jerapah T 2,0a 1,6 a 0,0b 0,0b 0,0b 100 80 0 0 0 Kelinci M 2,4a 1,6 a 1,6a 0,4b 0,0b 100 67 67 17 0 Gajah M 1,6a 0,8 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 50 0 0 0 Trenggiling M 2,8a 1,2 b 0,0c 0,0c 0,0c 100 43 0 0 0 Simpai P 2,0a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 0 0 0 0 Macan P 1,6a 0,4 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 25 0 0 0 Badak - 1,2a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b 100 0 0 0 0

Keterangan:

T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%


(34)

Kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang toleran, serta Kelinci dan Gajah yang medium toleran secara umum mempunyai kandungan prolina total lebih rendah dibandingkan kacang tanah tanah cv. Simpai yang peka terhadap cekaman kekeringan pada semua perlakuan PEG. Peningkatan kandungan prolina jaringan pada perlakuan PEG 20% untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Kelinci dan Gajah menyamai kandungan prolina pada perlakuan PEG 5% untuk kacang tanah cv. Simpai. Hal ini mengindikasikan kacang tanah yang peka telah mengalami cekaman kekeringan pada perlakuan PEG 5%, sedangkan pada kacang tanah yang toleran dan medium toleran perlakuan PEG yang sama belum mampu menginduksi kondisi cekaman. Akibatnya tunas yang ditanam belum mengaktifkan respon terhadap cekaman yang antara lain dengan meningkatkan kandungan prolina. Kacang tanah cv. Badak cenderung mempunyai pola respon yang sama dengan Simpai (Gambar 4).

Gambar 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kadar prolina total jaringan pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) kacang tanah cv. Singa, Komodo, Kelinci, Gajah, Simpai dan Badak, setelah ditanam selama enam minggu dalam media selektif


(35)

Gambar 5. Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif yang mengandung PEG (dari kiri ke kanan) konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% pada kacang tanah cv. Sng (Singa), Kmd (Komodo), Jrp (Jerapah), Klc (Kelinci), Gjh (Gajah), Trg (Trenggiling), Bdk (Badak), Mcn (Macan), Smp (Simpai)

Pembahasan

Perlakuan PEG 5% yang setara dengan potensial osmotik - 0,13 MPa dapat menurunkan beberapa peubah pertumbuhan kecambah yang meliputi panjang epikotil, jumlah akar cabang dan jumlah daun membuka. Untuk peubah yang lain, hambatan konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan bervariasi antar kultivar, dan berkisar antara 10 – 15%. Penambahan PEG dalam media in vitro juga mengakibatkan terjadinya penghambatan pertumbuhan tunas yang ditunjukkan dengan menurunnya pertambahan tinggi tunas, jumlah akar primer dan jumlah daun. Dibandingkan kontrol, perlakuan PEG 5% dapat menurunkan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer yang berkembang dari eksplan tunas semua kultivar kacang tanah yang diuji, serta menurunkan pertambahan jumlah daun yang berkembang dari eksplan TDK atau TTK kacang tanah cv. Gajah, Trenggiling, Simpai, Macan dan Badak. Penambahan PEG juga mengakibatkan peningkatan jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas.

Sng Kmd Jrp

Klc Gjh Trg


(36)

Sebagian dari dampak negatif cekaman osmotik pada potensial air -0,01 hingga -0,5 MPa adalah penurunan sintesis dinding sel, sintesis protein, pembentukan protoklorofil dan pembelahan sel (Salisbury dan Ross, 1992). Lebih lanjut, hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya pertambahan tinggi tunas, regenerasi akar, dan pertambahan jumlah daun.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penambahan PEG pada media in vitro dapat menghambat mekanisme pertumbuhan, sebagaimana yang terjadi sebagai akibat cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan menghambat pertumbuhan primordia dan pemanjangan daun jagung (Zhongjin dan Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif dan luas daun buncis (Franca et al. 2000), jumlah daun per tanaman dan ukuran daun Quercus (Fotelli et al. 2000), tinggi tanaman dan bobot kering tajuk kacang tanah (Nursusilawati 2003). Perlakuan penambahan PEG dalam media perkecambahan dilaporkan menurunkan pemanjangan akar jagung (Verslues et al. 1998), potensial tumbuh maksimum akar kecambah kapri (Whalley et al. 1998), pertumbuhan hipokotil Arabidopsis thaliana (Weele et al. 2000), dan bobot kering kecambah dan panjang akar kedelai (Widoretno et al. 2002). Semua fenotipik tersebut mencerminkan terhambatnya pembelahan dan perkembangan sel.

Konsentrasi PEG yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan kacang tanah berbeda antara satu peubah dengan peubah yang lain. Pada eksplan TDK, perlakuan PEG 5% nyata telah menurunkan pertambahan tinggi tunas, jumlah daun, dan jumlah akar primer. Dampak yang nyata untuk jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas baru terjadi akibat penambahan PEG minimal 10%. Pada eksplan TTK, pengaruh nyata terhadap peubah pertambahan tinggi tunas, jumlah daun, dan jumlah daun layu sudah mulai terjadi pada media selektif dengan penambahan PEG 5%. Hal tersebut mengindikasikan TTK lebih sensitif terhadap cekaman PEG dalam media in vitro.

Ada perbedaan respon terhadap konsentrasi PEG antara satu kultivar dengan yang lain. Kacang tanah cv. Simpai dan Macan cenderung sangat peka terhadap cekaman akibat perlakuan PEG. Pada kacang tanah cv. Simpai dan Macan peubah PAU, PET, PDT, dan PAT kecambah sudah nyata menurun pada konsentrasi PEG 5%. Perlakuan PEG 5% menyebabkan pertumbuhan epikotil dan daun pada kecambah terhenti. Dalam penelitian sebelumnya kacang tanah cv. Simpai dan Macan dilaporkan sebagai kultivar yang peka terhadap kekeringan (Nursusilawati 2003; Sudarsono et al 2004). Kacang tanah cv.


(1)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar

percobaan dari seluruh kegiatan penelitian ... 8 2 Media selektif berupa media cair MS (Murashige-Skoog

1962) tanpa zat pengatur tumbuh (MS-0) dengan

penam-bahan berbagai konsentrasi PEG 6000 ... 25 3 Kriteria penentuan skor kerusakan eksplan tunas kacang

tanah setelah ditanam dalam media selektif selama enam

minggu ... 26 4 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kadar prolina total

jaringan pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) kacang tanah kultivar Singa, Komodo, Kelinci, Gajah, Simpai dan Badak, setelah

ditanam selama enam minggu dalam media selektif .... 34 5 Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif

yang mengandung PEG (dari kiri ke kanan) konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% pada kacang tanah kultivar Sng (Singa), Kmd (Komodo), Jrp (Jerapah), Klc (Kelinci), Gjh (Gajah), Trg (Trenggiling), Bdk (Badak), Mcn (Macan),

Smp (Simpai)... 35 6 Pertumbuhan ES kacang tanah kultivar Badak (B), Kelinci

(K), Singa (S), dan Zebra (Z), setelah tiga kali sub-kultur masing-masing satu bulan dalam media selektif PEG

dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% ... 49 7 Regenerasi ES kacang tanah hasil seleksi in vitro dalam

media selektif dengan penambahan PEG 15% ……… 50

8 Pola percabangan pada tanaman kacang tanah yang

diregenerasikan dari ES hasil kultur dan seleksi in vitro .... 59 9 Varian kualitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur

dan seleksi in vitro ... 62 10 Distribusi frekuensi tinggi tanaman dan bobot kering tajuk

kacang tanah populasi tanaman standar, tanaman hasil

kultur dan seleksi in vitro ... 65 11 Distribusi frekuensi jumlah akar cabang primer dan bobot

kering akar tanaman standar serta tanaman hasil kultur


(2)

12 Distribusi frekuensi jumlah polong bernas dan bobot polong bernas tanaman standar serta tanaman hasil kultur

dan seleksi in vitro ... 67 13 Skor kerusakan daun kacang tanah kultivar Kelinci akibat

penyiraman larutan PEG 15% pada media arang sekam di

rumah kaca ... 79 14 Distribusi frekuensi jumlah daun per tanaman pada

populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG

15% ... 82 15 Distribusi frekuensi bobot tajuk kering pada populasi

tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ... 83 16 Distribusi frekuensi bobot akar kering pada populasi

tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ... 84 17 Distribusi frekuensi panjang akar pada populasi tanaman

standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam

kondisi optimum dan cekaman PEG 15% ... 84 18 Keragaan tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang

tumbuh dalam kondisi optimum dan dalam kondisi cekaman akibat penyiraman PEG 15% ...

85 19 Distribusi frekuensi respon tanaman yang ditumbuhkan

dari benih, ES hasil kultur in vitro (R1-K0, R2-K0) dan ES hasil seleksi in vitro (R2-K15) terhadap cekaman PEG

15% berdasarkan nilai indeks kerusakan daun ... 86 20 Distribusi frekuensi respon tanaman yang ditumbuhkan

dari benih, ES hasil kultur in vitro (R1-K0, R2-K0), dan ES hasil seleksi in vitro (R2-K15) terhadap cekaman PEG 15% berdasarkan indeks sensitivitas terhadap kekeringan

yang dihitung menggunakan nilai biomassa ... 86 21 Regresi antara nilai indeks kerusakan daun (IKD) dengan

dengan nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi agak toleran (¦ ), agak peka (? )

dan peka (? ) ... 87 22 Regresi antara nilai ISK yang dihitung menggunakan

biomassa tanaman dengan nisbah akar/tajuk dan dengan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran


(3)

23 Keragaan tanaman kacang tanah dalam (a) kondisi optimum dan (b) kondisi cekaman ...

101

24 Distribusi frekuensi bobot kering tajuk pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan ... 103 25 Distribusi frekuensi bobot kering akar pada populasi

tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan ... 105 26 Distribusi frekuensi jumlah polong bernas pada populasi

tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro

dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan ... 106 27 Distribusi frekuensi kandungan prolina (µg/g) dalam

kondisi optimum dan cekaman kekeringan pada tanaman

kacang tanah populasi standar, R0-K0, R1-K0 dan R2-K15 107 28 Distribusi frekuensi respon tananan standar, R1-K0,

R2-K0, R2-K15 terhadap cekaman kekeringan berdasarkan indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang

dihitung menggunakan jumlah polong bernas... 108 29 Hubungan antara indeks sensitivitas kekeringan(ISK) yang

dihitung berdasarkan jumlah polong bernas dengan peningkatan kadar prolina dan densitas stomata pada tanaman kacang tanah populasi tanaman standar (x) dan populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi

toleran (¦ ), medium toleran (? ) dan peka (? ) ... 109 30 Distribusi frekuensi densitas stomata pada tanaman

kacang tanah populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 109 31 Hubungan antara ISK dengan panjang akar dan nisbah

akar/tajuk pada tanaman kacang tanah pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang


(4)

DAFTAR ISTILAH

Bahan penyeleksi (selective agent)

bahan kimia yang dapat menapis sel/jaringan dengan sifat yang diinginkan (dalam hal ini yang toleran terhadap cekaman kekeringan) di antara sel/jaringan lain dengan sifat yang tidak diinginkan

Cekaman kekeringan

kondisi ketersediaan air media tanam yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, yang terjadi pada sebagian atau sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspresikan potensi genetiknya

Densitas stomata

(dalam penelitian ini) jumlah stomata per satuan luas (cm2) pada jaringan epidermis bawah daun, dihitung menggunakan mi krometer

Embrio somatik

embrio yang terbentuk dari sel vegetatif, dalam penelitian ini dari leaflet (calon daun) embrio zigotik

Generasi R0

tanaman yang merupakan hasil regenerasi jaringan dari kultur in vitro

Generasi R1

tanaman yang merupakan zuriat dari tanaman generasi R0 Generasi R2

tanaman yang merupakan zuriat dari tanaman generasi R1 Kalus embriogen

kalus yang mengandung sel-sel yang berpotensi untuk berkembang menjadi embrio

Karakter kualitatif

karakter yang nilainya tidak berdasarkan pengukuran, menghasilkan variasi berupa kelompok-kelompok yang diskret

Karakter kuantitatif

karakter yang nilainya diperoleh dari pengukuran, menghasilkan variasi yang bersifat kontinyu

Kultur in vitro

(dalam penelitian ini) pembudidayaan embrio somatik pada media MS padat dengan penambahan pikloram 16 µM menjadi plantlet

Medium toleran

tingkat karakter toleransi terhadap cekaman, yang berada di antara karakter peka dan karakter toleran


(5)

Mekanisme avoidance (ketahanan)

mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif tinggi pada saat mengalami cekaman kekeringan

Mekanisme escape (pelarian)

mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman

Mekanisme tolerance (toleran)

mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dengan potensial air jaringan yang rendah

Nisbah akar/tajuk

ratio bobot kering akar dan tajuk

Osmolit

senyawa yang terlarut dalam plasma sel yang dapat berperan untuk mempertahankan potensial osmotik sel dan melindungi kerusakan struktur sel akibat senyawa radikal pada saat mengalami cekaman

Peka

respon tanaman yang tidak mampu mempertahankan diri atau mengatasi pengaruh cekaman kekeringan, yang ditunjukkan dengan menurunnya pertumbuhan dan atau hasil panen secara signifikan pada kondisi cekaman kekeringan

Picloram

asam 4-amino, 3.5.6.trikhloropikolinat, suatu herbisida yang dalam konsentrasi rendah berperan sebagai fitohormon auksin

PEG (poly ethylene glycol)

senyawa polimer yang tersusun atas sub unit etilen-oksida, yang mampu mengikat molekul air pada atom oksigennya dengan ikatan hidrogen Potensial osmotik

potensi suatu larutan untuk melakukan osmosis atau menarik molekul air, yang nilainya negatif dan ditentukan oleh konsentrasi larutan, suhu, konstanta gas dan konstanta ionisasi

Prolina

salah satu jenis asam amino yang terlarut dalam plasma sel dan dapat berperan sebagai osmolit

Seleksi in vitro

penapisan dalam media in vitro untuk memilih sel/jaringan dengan sifat yang diinginkan di antara sel/jaringan lain yang tidak diinginkan


(6)

Toleran

respon tanaman yang mampu mempertahankan diri atau mengatasi pengaruh cekaman kekeringan, yang ditunjukkan dengan menurunnya pertumbuhan dan atau hasil panen yang tidak signifikan pada kondisi cekaman kekeringan

Varian somaklonal

karakter yang mengalami variasi somaklonal Varian somaklonal genetik

karakter yang mengalami variasi somaklonal yang pada umumnya bersifat ir-reversibel dan diwariskan kepada keturunannya

Varian somaklonal epigenetik

karakter yang mengalami variasi somaklonal yang merupakan modifikasi ekspresi genetik, biasanya bersifat reversibel dan tidak diwariskan

Varian somaklonal positif

karakter yang mengalami variasi somaklonal yang lebih unggul dibanding tanaman standar

Variasi somaklonal

perubahan yang terjadi pada sel/jaringan yang dipelihara dalam kultur in vitro