Isolasi, Identifikasi, Patogenisitas, dan Proses Kolonisasi Cendawan Entomopatogen Pada Larva Nyamuk Aedes aegypti

(1)

ISOLASI, IDENTIFIKASI, PATOGENISITAS,

DAN PROSES KOLONISASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

PADA LARVA NYAMUK

Aedes aegypti

Oleh:

ZUVENTI OKTAVIANI

G34102041

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(2)

ABSTRAK

ZUVENTI OKTAVIANI. Isolasi, Identifikasi, Patogenisitas, dan Proses Kolonisasi Cendawan Entomopatogen pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO, dan UPIK KESUMAWATI HADI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi, mengidentifikasi, dan menguji kemampuan membunuh cendawan entomopatogen pada larva nyamuk Aedes aegypti. Uji postulat Koch dan proses kolonisasi cendawan pada larva nyamuk juga dianalisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah isolasi dan identifikasi cendawan yang diisolasi dari larva nyamuk Aedes aegypti instar III dan IV dari tiga lokasi di kota Bogor, dan uji efikasi cendawan pada larva instar III dan IV. Uji efikasi dilakukan pada skala laboratorium dan skala semi lapang menggunakan media air kran steril dan tidak steril.

Sembilan isolat cendawan yang berhasil diisolasi ialah Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolat Mucor racemosus, Emericella nidulans, Aspergillus sp., Aspergillus niger, dan Penicillium sp. Hasil uji postulat Koch menunjukkan bahwa 9 isolat cendawan tersebut ialah cendawan entomopatogen. Dari data pengujian efikasi dari 9 isolat menunjukkan bahwa persentase kematian larva meningkat sebanding dengan konsentrasi cendawan dan lamanya waktu inkubasi yang digunakan. A. niger isolat 8 mempunyai patogenitas paling tinggi terhadap populasi larva A. aegypti, yaitu mampu membunuh 95% instar III dan 88.33% instar IV pada konsentrasi cendawan terendah dalam waktu 12 jam pada skala laboratorium. Pada skala semi lapang, A. niger isolat 8 juga efektif dalam mengendalikan larva A. aegypti instar III menggunakan konsentrasi minimal 254.34 cm3 dari inokulum campuran (miselia dan spora pada media agar). Proses kolonisasi cendawan entomopatogen pada larva A. aegypti dimulai dari penempelan hifa atau hifa kecambah pada kutikuka, selanjutnya membentuk struktur penetrasi yang disebut apresorium dan pertumbuhan miselia pada tubuh larva. Proses infeksi cendawan pada larva juga terjadi melalui penelanan spora per oral.

ABSTRACT

ZUVENTI OKTAVIANI. Isolation, Identification, Pathogenicity, and Colonization Process of Entomopathogenic Fungi on Aedes aegypti Larvae. Supervised by NAMPIAH SUKARNO, and UPIK KESUMAWATI HADI.

The aim of this experiment was to isolate, identify, and test the pathogenicity ability of entomopathogenic fungi on Aedes aegypti mosquitoes larvae. Koch Postulate and colonization process of the fungi on the mosquitoes larvae were also analysed. The fungi were isolated from instar III and IV of A. aegypti larvae that collected from three districts in Bogor city. The fungi were identified morphologically and fungal pathogenicity was tested on laboratory and semi-field scale conditions using sterile and non-sterile water.

Nine isolates were obtained, they were Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolates of Mucor racemosus, Emericella nidulans, Aspergillus sp., Aspergillus niger, and Penicillium sp. The 9 isolates were entomopathogenic fungi based on Koch Postulate analysis. Data from 9 isolates tested showed that the percentage of larvae mortality was positively correlated with the inoculum concentrations and incubation periods. A. niger isolate 8 had the highest pathogenicity on the larvae compared to that of eight isolates tested. It killed 95% and 88.33% of instar III and instar IV, respectively, at the lowest concentration of the fungal inoculum after 12 hours incubation at laboratory test. Similarly, on semi-field experiment, A. niger isolate 8 was the most effective fungi in controlling instar III of A. aegypti larvae at minimum concentration of 254.34 cm3 of mixed inoculum (mycelia and spores on the agar medium). Fungal colonization process on A. aegypti larvae was initiated by production of hyphae or germ tube by the spores, followed by hyphal penetration on larvae cuticle, and development of appresorium and fungal mycelia inside the larvae body. The infection process of the fungi on the larvae was also observed through the spore feeding process.


(3)

ISOLASI, IDENTIFIKASI, PATOGENISITAS,

DAN PROSES KOLONISASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

PADA LARVA NYAMUK

Aedes aegypti

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Gelar Sarjana Sains pada

Departemen Biologi

Oleh:

Zuventi Oktaviani

G34102041

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(4)

Judul : Isolasi, Identifikasi, Patogenisitas, dan Proses Kolonisasi Cendawan

Entomopatogen pada Larva Nyamuk

Aedes aegypti

Nama : Zuventi Oktaviani

NIM : G34102041

Menyetujui :

Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Ir. Nampiah Sukarno

Dr. drh. Upik Kesumawati H, MS

NIP 131 663 017

NIP 131 415 083

Mengetahui :

Dekan Fakultas MIPA

IPB

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS

NIP 131 473 999


(5)

PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Isolasi, Identifikasi, Patogenisitas, dan Proses Kolonisasi Cendawan Entomopatogen pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Karya ilmiah ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Oktober 2006 bertempat di Bagian Mikologi FMIPA IPB dan Laboratorium Entomologi FKH IPB.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Nampiah Sukarno dan Ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS selaku pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan, dan motivasi serta kepada Dra. Taruni Sri Prawasti selaku penguji yang telah memberikan saran dan kritik dalam penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ayahanda, Ibunda, dan kakakku Wahyu atas doa, kasih sayang, dan dukungannya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf Laboratorium Entomologi FKH IPB, staf Bagian Mikologi, Mba Rida, Mba Elita, Awi, Riza, Ade, Mia, Nirli, Popi, Ninda, Usy, Riana, Mita, teman-teman kost MPU, rekan-rekan Biologi 39, serta teman-teman terbaik ROHIS4 angkatan 2002 atas bantuan, perhatian, dan persahabatannya dalam penyelesaian Karya Ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2007


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta tanggal 17 Oktober 1985 dari ayah H. Sumardjo dan ibu Hj. Sugiarti, A.Mk. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 4 Bekasi dan pada tahun yang sama diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Dasar tahun ajaran 2004/2005 dan 2005/2006, mata kuliah Botani Umum tahun ajaran 2005/2006, mata kuliah Mikrobiologi Dasar tahun ajaran 2005/2006, dan mata kuliah Pengenalan Jenis Tumbuhan tahun ajaran 2005/2006. Penulis juga pernah aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler dalam bidang kewirahusahaan di Departemen Biologi yaitu BIOWORLD dan turut serta sebagai panitia dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Penulis pernah mendapat beasiswa PPA-DIKTI pada tahun 2005-2006. Penulis melaksanakan praktik lapangan dengan judul Analisis Kadar Senyawa Nitrogen pada Kolam Pengendap Lumpur dan Kolam Ekualisasi di PT Pupuk Kujang, Karawang, Jawa Barat pada bulan Juli 2005.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR... viii

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan ... 2

BAHAN DAN METODE ... 2

Pengumpulan Larva Nyamuk A. aegypti. ... 2

Isolasi dan Identifikasi Cendawan ... 2

Pemeliharaan Nyamuk untuk Produksi Telur dan Uji Efikasi ... 2

Uji Efikasi ... 2

1 Skala laboratorium ... 2

2 Skala semi lapang ... 3

2a Perlakuan berbagai macam inokulum ... 3

2b Perlakuan berbagai macam konsentrasi dan media air... 3

Postulat Koch... 3

Kolonisasi Cendawan Entomopatogen pada Larva Nyamuk A. aegypti... 4

Analisis Data... 4

HASIL ... ... 5

Isolasi dan Identifikasi Cendawan ... 5

Pemeliharaan Nyamuk untuk Produksi Telur dan Uji Efikasi ... 6

Uji Efikasi ... 6

1 Skala laboratorium ... 6

2 Skala semi lapang ... 7

2a Perlakuan berbagai macam inokulum ... 7

2b Perlakuan berbagai macam konsentrasi dan media air... 8

Postulat Koch... 9

Kolonisasi Cendawan Entomopatogen pada Larva Nyamuk A. aegypti... 9

PEMBAHASAN... 10

SIMPULAN... 11


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Cendawan yang berhasil diisolasi dari larva A. aegypti pada instar III dan IV

dari tiga lokasi di kota Bogor ... 5

2 Persentase rata-rata kematian larva A. aegypti instar III dan IV akibat infeksi 9 isolat cendawan entomopatogen selama 12 jam setelah inokulasi ... 7

3 Persentase rata-rata kematian larva A. aegypti instar III pada konsentrasi dan media air yang berbeda akibat infeksi A. niger isolat 8 selama 24 jam setelah inokulasi ... 8

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Diagram alir metode penelitian ... 4

2 Struktur mikroskopis Trichoderma... 5

3 Struktur mikroskopis miselia sterilia ... 5

4 Struktur mikroskopis Mucor racemosus... 5

5 Struktur mikroskopis E. nidulans. ... 5

6 Struktur mikroskopis Aspergillus sp... 6

7 Struktur mikroskopis A. niger... 6

8 Struktur mikroskopis Penicillium sp. ... ... 6

9 Persentase kematian larva A. aegypti instar III akibat infeksi A. niger isolat 8 pada 3 jenis inokulum berbeda. ... 8

10 Persentase kematian larva A. aegypti instar III akibat infeksi A. niger isolat 17 pada 3 jenis inokulum berbeda ... 8

11 Persentase kematian larva A. aegypti instar III akibat infeksi A. niger isolat 8 pada media air kran steril... 9

12 Persentase kematian larva A. aegypti instar III akibat infeksi A. niger isolat 8 pada media air kran tidak steril... 9

13 Kolonisasi A. niger ke dalam tubuh larva A. aegypti instar III pada pengamatan 12-48 jam ... 9

14 Konidia A. niger yang terkumpul pada bagian saluran pencernaan larva A. aegypti instar III pada pengamatan 48 jam... 10


(9)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh patogen virus dengue yang dapat menyebabkan rusaknya sel-sel darah merah manusia. Di Indonesia kasus penyakit DBD terus meningkat setiap tahunnya dan telah menimbulkan banyak korban jiwa. DEPKES (2006) melaporkan jumlah penderita penyakit DBD di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 60.238 orang, dengan kasus kematian sebanyak 793 orang atau 1.3% dari jumlah penderita. DBD ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Gubler et al. 1980). Nyamuk pembawa virus dengue yang paling utama adalah A. aegypti, sedangkan A. albopictus ialah vektor sekunder virus DBD. A. aegypti umumnya berkembangbiak pada lingkungan perumahan penduduk, terutama pada tempat-tempat penampungan air bersih seperti bak mandi dan gentong air. Namun saat ini, selain air bersih ternyata air terpolusi juga dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk A. aegypti (Agustina 2006).

Nyamuk A aegypti termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Diptera, famili Culicidae, subfamili Culicinae, genus Aedes, dan subgenus Stegomiya. A. aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu stadium telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Teiji et al. (1993) melaporkan bahwa telur A. aegypti dapat bertahan hidup sampai 74 hari dalam keadaan lingkungan kering. Telur A. aegypti berukuran kecil, berwarna hitam, dan berbentuk oval dengan salah satu ujung lebih tumpul daripada ujung yang lain, dan terpisah satu dengan yang lainnya (Christopher 1960). Telur ini akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-48 jam. Stadium larva terdiri atas empat instar yaitu instar I, II, III, dan IV. Instar I memiliki panjang tubuh 1-2 mm, setelah 1-2 hari larva instar I berubah menjadi instar II dengan panjang tubuh 2.5-3.9 mm, dan setelah 2-3 hari menjadi instar III dengan panjang tubuh sekitar 5 mm. Instar III kemudian menjadi instar IV dengan panjang tubuh 7-8 mm dalam waktu 2-3 hari. Ukuran lebar kepala instar I, II, III, dan IV masing-masing ialah 0.3 mm, 0.45 mm, 0.65 mm, dan 0.95 mm (Christopher 1960). Jumlah gigi-gigi sisir dan pekten pada larva bertambah sesuai dengan bertambahnya umur larva (Rumini

1980). Setelah 2-3 hari instar IV berkembang menjadi pupa, dengan bagian kepala dan toraks berbentuk koma dan tabung pernapasan (respiratory trumpets) berbentuk segitiga, serta abdomen yang melengkung ke bawah dan ke belakang (Christopher 1960). Setelah 1-2 hari pupa berkembang menjadi nyamuk dewasa.

Nyamuk A. aegypti dewasa berukuran 3-4 mm, bagian kepala, toraks, abdomen, dan tungkainya berwarna belang-belang hitam putih. Adapun ciri morfologi yang khas dari A. aegypti ialah pada bagian mesonotum terdapat bulu-bulu halus berwarna putih membentuk lire (lire-shaped ornament) (Christopher 1960).

Upaya pengendalian nyamuk A. aegypti dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk menurunkan kejadian penyakit DBD. Program 3M, yaitu menguras, menutup, dan mengubur tempat penampungan air adalah satu cara yang dianjurkan pemerintah saat ini. Hal ini dilakukan karena belum ada vaksin dan obat yang dapat membunuh virus dengue. Upaya lain pengendalian vektor penyakit DBD ialah dengan penggunaan bahan kimiawi maupun biologis (hayati). Pengendalian secara kimiawi umumnya dilakukan dengan penggunaan berbagai jenis insektisida yang diaplikasikan dengan cara pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa dan pemberian bubuk Abate untuk telur dan larvanya. Adapun pengendalian secara hayati dapat menggunakan mahluk hidup seperti ikan (Legner 1995), bakteri (Becker & Ascher 1998), nematoda (Kaya & Gaugler 1993), dan cendawan entomopatogen. Cendawan entomopatogen ialah cendawan patogen yang menyerang serangga. Beberapa cendawan entomopatogen telah dilaporkan dapat menginfeksi dan membunuh larva nyamuk Culex spp. (Da Costa et al. 1998; De Morales et al. 2001; Geetha et al. 2003; Rahman 2005) dan A. aegypti (Miranpuri 1991; Munif & Mardiana 1991; Natalia 2000) pada skala laboratorium.

Cendawan entomopatogen dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati karena penyebarannya sangat cepat dan mampu bertahan hidup pada kondisi cuaca sangat kering atau pada lingkungan basah. Penyebaran cendawan entomopatogen terutama melalui spora atau konidia yang diterbangkan oleh angin atau disebarkan oleh air dan juga oleh inang yang telah terinfeksi (Sukasman 1996; Scholte et al. 2004). Penggunaan cendawan entomopatogen dalam pengendalian nyamuk telah dilakukan di luar negeri misalnya di Florida (Amerika) yang menggunakan Paecilomyces lilacinus untuk mengendalikan larva nyamuk A. aegypti (Agarwala et al. 1999).


(10)

Indonesia yang memiliki megabiodiversitas cendawan entomopatogen, belum banyak melakukan pengendalian nyamuk dengan cendawan tersebut. Oleh karena itu, penelitian terhadap pemanfaatan cendawan entomopatogen di Indonesia untuk mengendalikan nyamuk A. aegypti sebagai vektor penyakit DBD sangat diperlukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan menguji kemampuan cendawan entomopatogen dalam mengendalikan pertumbuhan larva nyamuk A. aegypti pada kondisi mendekati keadaan di lapang, dan mempelajari proses kolonisasinya.

BAHAN DAN METODE

Tahapan-tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Pengumpulan Larva Nyamuk A. aegypti

Larva A. aegypti diambil dari tiga desa/kelurahan di kota Bogor yaitu Curug, Baranangsiang, dan Menteng. Pengumpulan larva nyamuk dilakukan dengan mengambil secara langsung pada tempat penampungan air dari dalam bak mandi di perumahan penduduk. Kumpulan larva nyamuk yang didapat dipisahkan menggunakan pipet berdasarkan stadium instar (instar III dan IV), kemudian dimasukkan ke dalam wadah terpisah yang berisi air bersih.

Isolasi dan Identifikasi Cendawan

Larva yang terkumpul dicuci dengan larutan Na-hipoklorit 1% (v/v) dan dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali, kemudian ditanam pada medium Agar Dekstrosa Kentang (ADK) yang ditambahkan antibiotik (Kemisetin 500 mg/1000 ml). Larva dalam medium ADK diinkubasi sampai cendawan bersporulasi paling lama 2 minggu. Koloni yang tumbuh dimurnikan dengan cara ditumbuhkan pada medium ADK segar pada suhu kamar selama 4-5 hari. Siapan “riddle” setiap isolat cendawan dibuat untuk identifikasi. Identifikasi cendawan mengacu pada Barnett & Hunter (1972), Pitt & Hocking (1997), dan Kiffer & Morelet (1999).

Cara pembuatan kultur isolat “riddle” yaitu sebagai berikut: pertama, potongan ADK berukuran 1x1 cm2 diletakkan diatas gelas objek. Kemudian sebagian koloni

cendawan dipindahkan ke bagian tengah potongan agar dengan menggunakan jarum inokulasi, lalu ditutup dengan gelas penutup. Selanjutnya siapan diinkubasi selama 3-5 hari pada suhu ruang di dalam cawan petri steril yang telah diberi kapas basah steril agar kelembabannya tetap terjaga.

Pemeliharaan Nyamuk untuk Produksi Telur dan Uji Efikasi

Telur A. aegypti koleksi Laboratorium Entomologi FKH, IPB ditetaskan dalam nampan berisi air bersih sampai terbentuk larva. Larva diberi makan hati ayam yang sudah direbus sampai larva membentuk pupa. Pupa yang terbentuk dimasukkan ke dalam wadah plastik berisi air bersih, kemudian dipelihara di dalam kandang nyamuk sampai stadium dewasa. Nyamuk-nyamuk dewasa diberi pakan larutan sukrosa 10%, nyamuk betina selain diberi pakan sukrosa juga diberi darah marmut. Nyamuk akan bertelur 3-4 hari setelah diberi pakan darah. Telur diletakkan pada perangkap telur yang berupa kertas saring yang direkatkan pada dinding bagian atas wadah plastik yang berisi air setinggi setengah bagian wadah. Telur-telur tersebut kemudian dikering udarakan dan disimpan dalam plastik tertutup pada suhu ruang. Telur-telur selanjutnya ditetaskan dan larva yang dihasilkan digunakan untuk uji efikasi.

Uji Efikasi

1 Skala laboratorium

Isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi selanjutnya digunakan sebagai inokulum untuk uji patogenitas. Patogenitas cendawan diujikan pada larva nyamuk instar III dan IV. Tiga perlakuan konsentrasi inokulum yaitu 201 mm3, 351.7 mm3, dan 502.4 mm3 untuk masing-masing isolat digunakan dalam penelitian ini. Inokulum dari masing-masing konsentrasi cendawan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berukuran 2.5 cm x 13.5 cm yang berisi 10 ml akuades steril dan 20 ekor larva instar III atau instar IV (Natalia 2000). Potongan ADK steril digunakan sebagai perlakuan kontrol. Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan terhadap kematian larva dilakukan pada 12 jam setelah inokulasi. Isolat yang menginfeksi dan membunuh larva instar III dan IV paling banyak dan paling cepat selanjutnya digunakan untuk uji efikasi cendawan terhadap larva nyamuk pada skala semi lapang.


(11)

2 Skala semi lapang

2a Perlakuan berbagai macam inokulum

Satu isolat yang memiliki patogenitas tertinggi hasil uji efikasi pada skala laboratorium digunakan untuk uji efikasi pada skala semi lapang. Isolat cendawan entomopatogen koleksi Bagian Mikologi yaitu Aspergilllus niger (isolat 17) digunakan sebagai isolat pembanding. Tiga macam inokulum digunakan dari masing-masing isolat yaitu inokulum spora, miselia, dan campuran (miselia dan spora pada media agar). Konsentrasi inokulum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 108 spora, 46.7 gr miselia, dan 508.68 cm3 inokulum campuran dalam satu liter media tumbuh larva.

Sebanyak 12 stoples berukuran 1.5 liter diisi dengan 1 liter air kran, kemudian ditambahkan 50 ekor larva instar III. Keduabelas stoples dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok 1 diinokulasi dengan spora, kelompok 2 diinokulasi dengan miselia, kelompok 3 diinokulasi dengan inokulum campuran, dan kelompok 4 ialah kontrol.

Inokulasi spora dilakukan dengan cara mengambil 100 ml air kran yang berasal dari stoples kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer berukuran 250 ml yang berisi kultur cendawan berumur 7 hari. Kultur dikerik dengan sendok plastik kemudian seluruh cairan dimasukkan ke dalam stoples berisi larva. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa spora yang dihasilkan ialah 109 spora/erlenmeyer. Inokulasi miselia dilakukan dengan cara memanen miselia. Selanjutnya miselia dihaluskan dengan blender pada skala no. 2 selama 3-5 menit, kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam stoples berisi larva. Inokulasi inokulum campuran dilakukan dengan cara memanen kultur cendawan sebanyak 8 cawan petri yang berdiameter 9 cm. Kultur dihaluskan dengan blender pada skala no. 2 selama 3-5 menit, kemudian dimasukkan ke dalam stoples berisi larva. Pada perlakuan kontrol untuk inokulum spora dan miselia, wadah yang digunakan hanya diisi dengan 1 liter air kran steril, sedangkan untuk inokulum campuran ditambah agar steril sebanyak 508.68 cm3. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Selanjutnya stoples diinkubasi pada suhu ruang selama 15 hari. Pengamatan terhadap kematian larva dilakukan setiap hari. Isolat dan inokulum terbaik yang menginfeksi dan membunuh larva instar III paling banyak

dan paling cepat selanjutnya digunakan untuk uji efikasi pada berbagai konsentrasi dan media air. Media yang digunakan sebagai media tumbuh larva ialah media air kran steril dan tidak steril.

2b Perlakuan berbagai macam konsentrasi dan media air

Isolat dengan patogenitas tertinggi hasil uji efikasi pada skala laboratorium dan bentuk inokulum yaitu inokulum campuran dan inokulum spora dipilih untuk uji efikasi. Perlakuan yang digunakan ialah empat macam konsentrasi dan dua macam media air. Empat macam konsentrasi inokulum campuran yang digunakan ialah 127.17 cm3, 254.34 cm3, 381.51 cm3, dan 508.68 cm3 yang diperoleh dari kultur stok cendawan pada media ADK. Empat macam konsentrasi inokulum spora yaitu 106 spora/L, 108 spora/L, 1010 spora/L, 1012 spora/L yang diambil dari larutan stok spora digunakan sebagai perlakuan. Sedangkan perlakuan media air ialah media air kran steril dan tidak steril.

Sebanyak 96 stoples berukuran 1.5 liter diisi dengan 1 liter air kran steril dan tidak steril secara terpisah. Kemudian sebanyak 50 ekor larva instar III ditambahkan ke dalam stoples. Stoples selanjutnya dibagi menjadi 2 kelompok yaitu perlakuan air kran steril dan tidak steril. Selanjutnya setiap kelompok dibagi kedalam 16 perlakuan yang terdiri atas perlakuan jenis dan konsentrasi inokulum. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali.

Cara inokulasi inokulum spora dan inokulum campuran sama dengan metode pada perlakuan berbagai macam inokulum (2a). Pada perlakuan kontrol untuk inokulum spora, wadah yang digunakan hanya diisi dengan 1 liter air kran steril atau tidak steril, sedangkan untuk inokulum campuran ditambah agar steril sesuai dengan konsentrasi inokulum campuran yang digunakan. Kemudian stoples diinkubasi pada suhu ruang selama 15 hari. Pengamatan terhadap kematian larva dilakukan setiap hari.

Postulat Koch

Postulat Koch dilakukan pada setiap uji efikasi untuk membuktikan bahwa kematian larva disebabkan oleh cendawan yang diinokulasikan. Larva yang telah mati hasil uji efikasi kemudian ditanam kembali pada media ADK dan diinkubasi selama 3-5 hari pada suhu ruang. Cendawan entomopatogen yang tumbuh selanjutnya diisolasi dan diidentifikasi serta dibandingkan dengan isolat yang sebelumnya diinokulasikan ke dalam populasi larva.


(12)

Kolonisasi Cendawan Entomopatogen pada Larva Nyamuk A. aegypti

Pengamatan proses kolonisasi cendawan entomopatogen terhadap larva A. aegypti dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan cendawan pada larva nyamuk. Pengamatan dilakukan dalam rentang waktu

12-48 jam setelah inokulasi dibawah mikroskop stereo dan compound.

Analisis data

Kematian larva hasil uji efikasi diuji secara statistik dengan Rancangan Acak Lengkap yang dilanjutkan dengan uji Duncan.

METODE PENELITIAN

Keterangan pelaksanaan skala laboratorium (*) dan skala semi lapang a (**) dan b (***)

Skala *)

laboratorium

Skala semi lapang **) (a)

Skala semi lapang ***) (b) Isolat 9 isolat satu isolat terbaik &

isolat pembanding

satu isolat terbaik Inokulum campuran spora, miselia,

campuran

campuran & spora Wadah media

tumbuh

tabung reaksi ( 2.5 cm x 13.5 cm)

stoples plastik 1.5 liter

stoples plastik 1.5 liter Media tumbuh akuades steril air kran air kran steril &

air kran tidak steril Volume media

tumbuh

10 ml 1 liter 1 liter Jumlah larva 20 ekor larva instar

III/IV

50 ekor larva instar III 50 ekor larva instar III Konsentrasi

cendawan

201 mm3 , 351.7 mm3

, 502.4 mm3 10 8

spora/L 46.7 gr miselia 508.68 cm3

campuran : 127.17 cm3 , 254.34 cm3

, 381.51 cm3

, 508.68 cm3 . spora : 106

spora/L, 108 spora/L, 1010

spora/L, 1012 spora/L Waktu inkubasi 48 jam 15 hari 15 hari

Waktu pengamatan

12 jam setiap hari setiap hari

Gambar 1 Diagram alir metode penelitian.

SKALA LABORATORIUM *)

IDENTIFIKASI CENDAWAN

• Siapan “Riddle

• Barnett & Hunter (1972)

Pitt & Hocking (1997) Kiffer & Morelet (1999)

PENGUMPULAN LARVA A. aegypti

•Instar III dan IV dari 3 desa/kelurahan

di kota Bogor

Isolat terbaik

SKALA SEMI LAPANG ***) (b) Perlakuan berbagai macam

konsentrasi dan media air SKALA SEMI LAPANG **)

(a)Perlakuan berbagai macam

inokulum UJI EFIKASI

Isolat-isolat

Isolat terbaik Dua inokulum terbaik

KOLONISASI

•Larva A. aegypti instar III

diinfeksi dengan A. niger isolat 8

•Inkubasi selama 12-48 jam.

ISOLASI

POSTULAT KOCH

•Inokulum terbaik

•Konsentrasi terbaik

•Media air terbaik

Cendawan entomopatogen

pengendali hayati larva A.

aegypti yang telah teridentifikasi dan diketahui proses kolonisasinya


(13)

HASIL

Isolasi dan Identifikasi Cendawan

Cendawan yang berhasil diisolasi dari larva A. aegypti instar III dan IV yang berasal dari lapangan berjumlah 9 isolat. Kesembilan isolat tersebut ialah Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolat Mucor racemosus, Emericella nidulans, Aspergillus sp., Aspergillus niger, dan Penicillium sp. (Tabel 1).

Tabel 1 Cendawan yang berhasil diisolasi dari

larva A. aegypti pada instar III dan IV

dari tiga lokasi di kota Bogor

Kode Nomor isolat Isolat Cr/L3 Isolat 1 Trichoderma sp.

Cr/L3 Isolat 2 Miselia sterilia

Cr/L4 Isolat 3 Mucor racemosus

Bs/L3 Isolat 4 Mucor racemosus

Bs/L4 Isolat 5 Mucor racemosus

Mt/L3 Isolat 6 Emericella nidulans

Mt/L4 Isolat 7 Aspergillus sp.

Mt/L4 Isolat 8 Aspergillus niger

Mt/L4 Isolat 9 Penicillium sp.

Keterangan: L3 = instar III Cr = Curug

L4 = instar IV Bs = Baranangsiang

Mt = Menteng

Isolat 1 (Cr/L3) ialah Trichoderma sp. dengan ciri-ciri morfologi yang terbentuk pada media ADK sebagai berikut: warna koloni hijau, tekstur seperti bulu; konidia berwarna hijau tua, hialin; fialid tersusun berkelompok; konidiofor hialin, dan bercabang banyak (Gambar 2).

Isolat 2 (CR-01) ialah miselia sterilia dengan ciri-ciri morfologi yang terbentuk pada media ADK sebagai berikut: warna koloni putih dengan tekstur halus seperti kapas; medium menjadi hitam pada bagian bawahnya apabila koloni sudah memenuhi seluruh permukaan agar yaitu 7 hari setelah inokulasi (Gambar 3).

Tiga isolat yaitu isolat 3, 4 dan 5 ialah Mucor racemosus. Koloni ketiga isolat tersebut pada media ADK memiliki ciri-ciri: warna koloni putih, dan tekstur halus seperti kapas; hifa aseptat; kolumela terdapat di ujung hifa; dan sporangiospora berbentuk bulat (Gambar 4).

Isolat 6 ialah Emericella nidulans dengan ciri-ciri morfologi yang terbentuk pada media ADK sebagai berikut: warna koloni hijau gelap dengan tekstur seperti beludru atau kapas; konidia hijau tersusun kolumner; biseriat, fialid memenuhi setengah permukaan vesikel; vesikel hemisfer; konidiofor halus, berlekuk-lekuk, dan berwarna coklat. Kleistotesium berwarna merah keunguan yang mempunyai askus berisi 4-8 askospora. Cendawan askomiset ini merupakan teleomorf dari Aspergillus nidulans (Gambar 5).

a

c

a

d

b

e

10 um

Gambar 3 Struktur mikroskopis miselia sterilia: (a) hifa. Pebesaran 400X.

Gambar 4 Struktur mikroskopis Mucor racemosus:

(a) spora (b) kolumela (c) sporangiofor. Perbesaran 400X.

Gambar 5 Struktur mikroskopis A. nidulans

(anamorf) : (a) konidia (b) fialid (c) vesikel (d) konidiofor

(e) askus. Perbesaran 400X.

Gambar 2 Struktur mikroskopis Trichoderma sp.:

(a) konidia (b) fialid (c) konidiofor Perbesaran 400X.

a

b

c

10 um

b

a

c


(14)

Isolat 7 ialah Aspergillus sp.Cendawan ini memiliki ciri-ciri morfologi yang terbentuk pada media ADK sebagai berikut: warna koloni hijau-kuning; tekstur seperti bulu; konidia hijau; susunan konidia radiat; uniseriat, fialid hampir memenuhi seluruh permukaan vesikel; vesikel bulat seperti bola; konidiofor kasar, berdinding tebal, dan berwarna hijau gelap (Gambar 6).

Isolat 8 ialah Aspergillus niger dengan ciri-ciri morfologi yang terbentuk pada media ADK sebagai berikut: warna koloni hitam; tekstur koloni seperti bulu; konidia hitam, susunan konidia radiat; biseriat, fialid memenuhi seluruh permukaan vesikel; vesikel bulat besar; konidiofor halus, berdinding tebal, berwarna coklat (Gambar 7).

Isolat 9 ialah Penicillium sp. Cendawan ini memiliki ciri-ciri morfologi yang terbentuk pada media ADK sebagai berikut: warna koloni hijau, teksturnya seperti bulu; konidia hijau, radiat; jarak antar fialid cukup rapat, berbentuk seperti botol dengan konidium di ujung-ujungnya; konidofor besekat (Gambar 8).

Gambar 8 Struktur mikroskopis Penicillium sp.:

(a) konidia (b) fialid (c) percabangan (d) konidiofor. Perbesaran 400X.

Pemeliharaan Nyamuk untuk Produksi Telur dan Uji Efikasi

Pemelihaan nyamuk dilakukan mulai dari stadium telur, larva, pupa, hingga nyamuk dewasa. Jumlah telur yang diproduksi sebanyak ±4.000 butir. Telur-telur yang ditetaskan bersifat bebas dari infeksi patogen. Larva instar III dan IV yang terbentuk dari telur yang bebas patogen dipisah-pisahkan untuk uji efikasi isolat cendawan.

Uji Efikasi

1 Skala laboratorium

Dari uji efikasi pada skala laboratorium menunjukkan bahwa seluruh isolat cendawan yang berhasil diisolasi mempunyai kemampuan membunuh larva, baik larva instar III maupun larva instar IV dalam waktu 12 jam setelah inokulasi. Kematian larva berbanding lurus dengan konsentrasi cendawan. Patogenitas setiap isolat cendawan menunjukkan hasil yang berbeda nyata berdasarkan statistik pada taraf uji 5% (Tabel 2). Semakin tinggi konsentrasi cendawan yang diberikan maka akan semakin banyak pula larva yang mati (Tabel 2). Isolat cendawan yang digunakan untuk uji efikasi pada skala laboratorium membunuh larva instar III lebih banyak dibandingkan dengan larva instar IV.

Dari sembilan isolat yang diuji, patogenitas cendawan dapat dikelompokkan kedalam tiga kelompok. Kelompok I yaitu A. niger, kelompok II yaitu Trichoderma sp., Emericella nidulans, Aspergillus sp., Penicillium sp., dan kelompok III yaitu 3 isolat Mucor racemosus, dan miselia sterilia.

a

b

c

d

5 um

c

a

d

b

10 um

Gambar 7 Struktur mikroskopis A. niger:

(a) konidia (b) fialid (c) vesikel

(d) konidiofor. Perbesaran 100X.

c

d

a

b

10 um

Gambar 6 Struktur mikroskopis Aspergillus sp.:

(a) konidia (b) fialid (c) vesikel (d) konidiofor. Perbesaran 400X.


(15)

Tabel 2 Persentase rata-rata kematian larva A. aegypti instar III dan IV akibat infeksi 9 isolat cendawan entomopatogen selama 12 jam setelah inokulasi

Larva instar dan konsentrasi

III IV Isolat

cendawan

201.0 mm3 351.7 mm3 502.4 mm3 201.0 mm3 351.7 mm3 502.4 mm3

Trichoderma sp. 10.00cd 11.67de 16.67d 8.33c 10.00cd 13.33d

Miselia sterilia 8.33d 10.00de 13.3de 6.67c 8.33de 10.00de

Mucor racemosus 6.67d 8.33def 11.67de 0.00d 6.67de 10.00de

Mucor racemosus 3.33d 3.33f 5.00e 0.00d 1.67e 3.33e

Mucor racemosus 5.00d 6.67ef 10.00de 0.00d 5.00de 8.33de

Emericella nidulans 11.67cd 13.33d 33.33c 8.33cd 11.67cd 28.33d

Aspergillus sp. 16.67bc 21.67c 28.33c 11.67c 16.67c 21.67c

Aspergillus niger 95.00a 100a 100a 88.33a 100a 100a

Penicilliumsp. 21.67b 45.00b 60.00b 16.67b 38.33b 55.00b Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Pada konsentrasi cendawan terendah yaitu 201.0 mm2 dengan waktu inkubasi 12 jam menunjukkan bahwa kelompok I yaitu A. niger mampu membunuh larva instar III dan IV paling tinggi dengan nilai masing-masing sebesar 95% dan 88.33%. Kelompok II yaitu Penicillium sp. memiliki daya bunuh relatif rendah terhadap larva instar III dan IV dengan nilai masing-masing sebesar 21.67% dan 16.67%. Isolat yang memiliki daya bunuh paling rendah pada kedua instar yang diuji yaitu, Mucor racemosus isolat 4 yang termasuk ke dalam kelompok III. Isolat tersebut hanya membunuh 3.33% larva instar III dan tidak mampu membunuh larva instar IV (0%) (Tabel 2).

Pada konsentrasi cendawan 351.7 mm2 dengan waktu inkubasi 12 jam menunjukkan pola yang sama dengan konsentrasi 201.0 mm2. Kelompok I, A. niger mampu membunuh 100% larva instar III dan IV. Kelompok II, Penicillium sp. mampu membunuh 45% larva instar III dan 38.33% larva instar IV. Kelompok III, Mucor racemosus isolat 4 masing-masing mampu membunuh larva instar III dan IV yaitu sebesar 3.33% dan 1.67% (Tabel 2).

Pada konsentrasi cendawan tertinggi yaitu 502.4 mm2 dengan waktu inkubasi 12 jam juga menunjukkan pola yang sama dengan perlakuan konsentrasi 201.0 mm2. Kelompok I, A. niger mampu membunuh 100% larva instar III dan IV. Kelompok II, Penicillium sp. mampu membunuh 60% larva instar III dan 55% larva instar IV. Kelompok III, Mucor racemosus isolat 4 masing-masing mampu membunuh larva instar III dan IV yaitu sebesar 5% dan 3.33% (Tabel 2).

2 Skala semi lapang

2a Perlakuan berbagai macam inokulum

Dari pengamatan kematian larva yang dilakukan sampai 15 hari setelah inokulasi menunjukkan bahwa ketiga inokulum dari masing-masing isolat yaitu isolat yang diuji dan isolat pembanding menunjukkan hasil yang bervariasi. Semua perlakuan pada berbagai macam inokulum yaitu inokulum spora, miselia, dan campuran dapat membunuh larva. Inokulum campuran memiliki kemampuan membunuh larva instar III paling tinggi. Sedangkan inokulum spora mempunyai daya bunuh paling rendah pada kedua isolat yang diuji (Gambar 9 dan 10). Kemampuan membunuh setiap bentuk inokulum cendawan menunjukkan hasil yang berbeda nyata berdasarkan statistik pada taraf uji 5% (Gambar 9 dan 10).

Pada inkubasi 24 jam setelah inokulasi, ketiga inokulum A. niger isolat 8 mampu membunuh larva instar III. Kematian larva yang tertinggi dan tercepat terjadi pada inokulum campuran. Pada inokulum campuran kematian larva terjadi sebanyak 95%. Inokulum miselia membunuh 64.67% sedangkan inokulum spora hanya membunuh 6% (Gambar 9). Hal yang sama juga terjadi pada isolat pembanding yaitu A. niger isolat 17. Inokulum campuran A. niger isolat 17 membunuh larva 81%. Inokulum miselia membunuh 10.7% sedangkan inokulum spora tidak mampu membunuh larva instar III (Gambar 10).

Pada inkubasi lebih dari 24 jam setelah inokulasi, ketiga inokulum A. niger isolat 8 menunjukkan kematian larva instar III yang semakin meningkat hingga mencapai 77.33%-100% pada hari ke-4 setelah inokulasi (Gambar 9). Hal yang sama juga terjadi pada A. niger isolat 17. Kematian larva instar III meningkat


(16)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Waktu (hari ke-)

P ers en ta se k em a ti a n ( % )

Spora (108 spora/L) Miselium (47,5 gr) Campuran (508.68 cm3) Kontrol air Kontrol agar 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Waktu (hari ke-)

P e rs en ta se k em a ti a n ( % )

Spora (108 spora/L) Miselium (47,5 gr) Campuran (508.68 cm3) Kontrol air Kontrol agar

yaitu sebesar 2.67%-100% pada hari ke-4 setelah inokulasi (Gambar 10). Pada perlakuan kontrol yang menggunakan media agar, tidak terjadi kematian larva sampai pada hari ke-5 setelah inokulasi. Pada perlakuan kontrol air tidak terjadi kematian larva sampai pada hari ke-3 setelah inokulasi. Namun pada hari ke-4 setelah inokulasi, pada kontrol air terdapat kematian sebesar 1.33% (Gambar 9 dan 10). Oleh karena itu data kematian pada perlakuan inokulum spora dan miselia pada gambar 9 dan 10 telah dikurangi dengan jumlah kematian larva pada kontrol.

2b Perlakuan berbagai macam konsentrasi dan media air

Berdasarkan pengamatan kematian larva yang dilakukan sampai 15 hari setelah inokulasi menunjukkan bahwa kematian larva terjadi pada kedua media air yaitu media air kran steril maupun media air kran tidak steril yang digunakan dalam penelitian ini. Pada perlakuan berbagai konsentrasi yang digunakan menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan yang diberikan maka akan semakin tinggi pula larva yang mati (Gambar 11 dan 12). Kemampuan membunuh setiap bentuk inokulum cendawan pada berbagai macam konsentrasi menunjukkan hasil yang berbeda nyata berdasarkan statistik pada taraf uji 5% (Gambar 11 dan 12).

Tabel 3 Persentase rata-rata kematian larva A.

aegypti instar III pada konsentrasi dan

media air yang berbeda akibat infeksi A.

niger isolat 8 selama 24 jam setelah inokulasi

Media air Inokulum

steril nonsteril

Spora (106 spora/L) 0.00d 0.00d

Spora (108 spora/L) 6.67c 6.00c

Spora (1010 spora/L) 72.00b 78.67b

Spora (1012 spora/L) 85.33a 96.00a

Campuran (127.17 cm3) 63.33c 75.33c

Campuran (254.34 cm3) 80.67b 83.33b

Campuran (381.51 cm3) 87.33ab 90.67ab

Campuran (508.68 cm3) 94.00a 94.67a

Kontrol 0.00d 0.00d

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%

Data uji efikasi pada skala semi lapang pada inkubasi 24 jam setelah inokulasi menunjukkan bahwa kematian larva terendah yang terdapat pada media air kran steril dan tidak steril ialah masing-masing 63% dan 75%. Data tersebut diperoleh pada konsentrasi inokulum campuran terendah yaitu 127.17 cm3. Sedangkan kematian larva tertinggi dijumpai pada konsentrasi inokulum campuran tertinggi (508.68 cm3)baik pada media air kran steril maupun tidak steril yaitu sebesar 94%. Inokulum campuran dengan konsentrasi 254.34 cm3 mampu membunuh larva instar III lebih dari 80% baik dalam media air kran steril maupun tidak steril. Pada inokulum spora dengan konsentrasi terendah yaitu 106 spora/L baik pada media air kran steril maupun tidak steril ternyata tidak membunuh larva instar III. Sedangkan kematian larva tertinggi pada media air kran steril sebesar 85.33% dan pada media air kran tidak steril sebesar 96% pada konsentrasi inokulum spora tertinggi yaitu 1012 spora/L (Tabel 3).

Gambar 9 Persentase kematian larva A. aegypti

instar III akibat infeksi A. niger

isolat 8 pada 3 jenis inokulum berbeda.

Gambar 10 Persentase kematian larva A. aegypti

instar III akibat infeksi A. niger

isolat 17 pada 3 jenis inokulum berbeda.


(17)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Waktu (hari ke-)

P er s en tas e kem a ti a n ( % )

spora (106 spora/L) spora (108 spora/L) spora (1010 spora/L) spora (1012 spora/L) Campuran (127.17 cm3) Campuran (254.34 cm3) Campuran (381.51 cm3) Campuran (508.68 cm3) Kontrol air Kontrol agar

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Waktu (hari ke-)

P e rse n ta s e k e m at ia n (% )

spora (106 spora/L) spora (108 spora/L) spora (1010 spora/L) spora (1012 spora/L) Campuran (127.17 cm3) Campuran (254.34 cm3) Campuran (381.51 cm3) Campuran (508.68 cm3) Kontrol air Kontrol agar

Setelah 24 jam inkubasi, pada media air kran steril kematian larva mencapai minimal 76% dan pada media air kran tidak steril mencapai 89.33% pada hari ke-5 setelah inokulasi. Kecuali pada perlakuan inokulum spora dengan konsentrasi 106 spora/L, yang hanya membunuh larva sebesar 1.33% pada media air kran steril maupun tidak steril. Pada konsentrasi 108 spora/L dan 1010 spora/L, kematian larva sebesar 76%-100% pada media air kran steril dan tidak steril pada hari ke-5 setelah inokulasi. Pada perlakuan kontrol air maupun kontrol agar, tidak terjadi kematian larva sampai pada hari ke-5 setelah inokulasi baik pada media air kran steril maupun tidak steril (Gambar 11 dan 12).

Postulat Koch

Cendawan yang tumbuh pada larva yang mati pada seluruh uji efikasi menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan isolat yang sebelumnya diinokulasi ke dalam populasi larva. Hal ini menunjukkan bahwa kematian larva disebabkan oleh cendawan yang diinokulasikan ke dalam populasi larva.

Kolonisasi Cendawan Entomopatogen pada Larva Nyamuk A. aegypti

Cendawan entomopatogen yang digunakan untuk mempelajari proses kolonisasi pada larva A. aegypti instar III ialah A. niger isolat 8. Proses kolonisasi cendawan dimulai dari adanya kontak antara hifa atau konidia dengan larva melalui lubang spirakel/perispirakel pada kutikula (Gambar 13). Dari proses penempelan konidia, selanjutnya terbentuk hifa kecambah yang melakukan penetrasi pada kutikula larva dan membentuk apresorium di dalam tubuh larva A. aegypti. Selain itu, terdapat spora dalam jumlah cukup tinggi pada bagian dalam tubuh larva yang diduga berasal dari proses penelanan spora (Gambar 14).

d

Gambar 12 Persentase kematian larva A.

aegypti instar III akibat infeksi

A. niger isolat 8 pada media air kran tidak steril.

Gambar 11 Persentase kematian larva A.

aegypti instar III akibat infeksi

A. niger isolat 8 pada media air kran steril.

Gambar 13 Kolonisasi A. niger ke dalam tubuh larva

A. aegypti instar III pada pengamatan 12-48 jam: (a) spora berkecambah (b) hifa eksternal (c) apresorium

(d) hifa internal. Perbesaran 400x.

tubuh larva

a

tubuh larva

b

c


(18)

PEMBAHASAN

Isolat cendawan yang diperoleh dari tiga lokasi di kota Bogor pada penelitian ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan isolat yang berhasil diisolasi oleh Natalia (2000) dari lokasi yang sama. Natalia (2000) berhasil mengisolasi 24 isolat cendawan. Hal ini mungkin disebabkan karena sumber larva yang digunakan pada penelitian ini lebih sedikit yaitu hanya 2 macam instar (instar III dan IV) sedangkan Natalia (2000) mengisolasi cendawan entomopatogen dari 4 macam instar larva yaitu instar I, II, III, dan IV.

Menurut Papp dan Darvas (2000) seluruh stadium dalam siklus hidup nyamuk dapat diserang oleh cendawan entomopatogen. Larva merupakan stadium yang paling rentan terinfeksi cendawan dibandingkan dengan stadium lainnya. Oleh sebab itu dalam penelitian ini digunakan nyamuk pada stadium larva. Kerentanan setiap jenis larva juga berbeda-beda. Larva instar II lebih rentan terhadap serangan cendawan entomopatogen dibandingkan dengan larva instar III dan IV (Natalia 2000). Hal ini diduga karena sistem kekebalan tubuh larva instar II belum sempurna dibandingkan dengan larva instar III dan IV. Larva instar I dan II tidak digunakan dalam penelitian ini karena ukurannya terlalu kecil sehingga menyulitkan dalam pengamatan.

Menurut hasil analisis postulat Koch, larva yang mati pada uji efikasi baik pada skala laboratorium maupun semi lapang disebabkan oleh cendawan entomopatogen yang diinokulasikan. Hal ini ditunjukkan dengan ciri-ciri isolat yang berhasil diisolasi dari larva yang mati sama dengan ciri-ciri isolat yang diinokulasikan pada larva sehat.

Berdasarkan hasil uji efikasi yang dilakukan terhadap sembilan isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan yang digunakan semakin tinggi pula tingkat kematian larva. Dari 9 isolat yang diperoleh, A. niger ialah isolat yang paling efektif membunuh larva pada semua tingkat konsentrasi yang digunakan pada instar III maupun IV. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Natalia (2000) bahwa A. niger merupakan isolat terbaik dari isolat yang berhasil diisolasi dengan kematian larva instar III dan IV sekitar 85% pada konsentrasi cendawan terendah yaitu 201.0 mm3 dalam waktu 12 jam setelah inokulasi. Kemampuan membunuh yang baik isolat A. niger kemungkinan besar karena isolat ini bukan merupakan kelompok dari cendawan oportunis yang hanya mampu membunuh larva ketika tubuh larva dalam keadaan lemah.

Hasil dari pengujian efikasi pada skala semi lapang dengan perlakuan berbagai macam inokulum menggunakan dua isolat A. niger, menunjukkan hal yang sama dengan hasil uji skala laboratorium. Semakin tinggi konsentrasi inokulum cendawan dan semakin lama waktu inkubasi yang digunakan maka semakin tinggi pula kematian larva (Gambar 8 dan 9). Pengujian dengan menggunakan isolat A. niger (isolat 8 dari penelitian ini) dan A. niger (isolat 17, koleksi Bagian Mikologi) menunjukkan bahwa isolat 8 mempunyai daya bunuh yang lebih baik terhadap larva instar III pada semua jenis inokulum. Inokulum miselia tidak digunakan pada uji efikasi skala semi lapang dengan perlakuan berbagai macam konsentrasi dan media tumbuh larva karena beberapa hari setelah inokulasi, media tumbuh menjadi berbau busuk. Hal ini mungkin terjadi karena adanya proses fermentasi dari mikrob lain. Perlakuan dengan inokulum campuran, menunjukkan inokulum ini mampu membunuh populasi larva instar III diatas 80% dalam waktu 24 jam setelah inokulasi. Sedangkan efek pemberian inokulum spora baru dapat terlihat setelah 3-4 hari setelah inokulasi.

Berdasarkan uji efikasi yang dilakukan pada skala semi lapang dengan perlakuan berbagai konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan dan semakin lama waktu inkubasi, tingkat kematian larva pada kedua macam media air kran steril maupun tidak steril semakin tinggi (Gambar 10 dan 11). Inokulum campuran memiliki daya bunuh yang lebih baik daripada inokulum spora. Hal ini mungkin disebabkan karena inokulum campuran mengandung lebih banyak jenis propagul yaitu

Gambar 14 Konidia (k) A. niger yang terkumpul

pada bagian saluran pencernaan larva

A. aegypti instar III pada pengamatan 48 jam. Perbesaran 400x.

tubuh larva

k


(19)

miselia dan spora sehingga dapat bekerja lebih efektif dibandingkkan dengan perlakuan inokulum spora saja. Inokulum campuran dengan konsentrasi 254.34 cm3 berdasarkan kriteria pengendalian hayati sudah memenuhi persyaratan sebagai agen pengendali hayati yang potensial karena dapat membunuh lebih dari 80% patogen.

Chadler (2005) melaporkan bahwa infeksi cendawan entomopatogen pada inangnya dapat dilakukan melalui 2 mekanisme. Mekanisme yang pertama yaitu penempelan konidia pada kutikula larva yang kemudian berkecambah membentuk hifa. Hifa tersebut selanjutnya melakukan penetrasi ke jaringan tubuh serta hemosol larva. Mekanisme kedua yaitu melalui proses pemakanan atau penelanan konidia dalam jumlah banyak yang kemudian akan berkecambah dan tumbuh dibagian belakang saluran pencernaan. Selanjutnya hifa kecambah melakukan penetrasi ke dalam tubuh dan hemosol larva. Pada mekanisme ini biasanya cendawan menyerang inang dengan dua cara yaitu perusakan jaringan oleh miselia dan/atau produksi toksin.

SIMPULAN

Cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari larva A. aegypti instar III dan IV pada tiga lokasi di kota Bogor ialah sembilan isolat. Isolat tersebut yaitu Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolat Mucor racemosus, Emericella nidulans, Aspergillus sp., A. niger, dan Penicillium sp. A. niger isolat 8 mempunyai patogenitas paling tinggi terhadap populasi larva A. aegypti, yaitu mampu membunuh 95% instar III dan 88.33% instar IV pada konsentrasi cendawan 201.0 mm3 dalam waktu 12 jam pada skala laboratorium. A. niger isolat 8 efektif membunuh larva instar III pada skala semi lapang dalam bentuk inokulum campuran dengan konsentrasi minimal 254.34 cm3.

Proses kolonisasi cendawan entomopatogen pada larva A. aegypti dimulai dari penempelan hifa/hifa kecambah pada lubang spirakel/perispirakel selanjutnya terbentuk struktur penetrasi dari cendawan pada tubuh larva. Proses pemakanan atau penelanan spora A. niger juga terjadi oleh larva nyamuk A. aegypti.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwala SP, Sagar SK, Sehgal SS. 1999. Use of mycelial suspension and metabolites of Paecilomyces lilacinus (Fungi: Hypomycetes) in control of Aedes aegypti larvae. Journal of Communicable Diseases 31: 193-196.

Agustina E. 2006. Studi preferensi tempat bertelur dan perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti pada air terpolusi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Barnett HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Minnesota: Burgess Publishing Co.

Becker N, Ascher KRS. 1998. The use of Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Bti) against mosquitoes with special emphasis on the ecological impact. Israel Journal of Entomology 32: 63-69.

Chadler D. 2005. Evolution of fungal virulence. United Kingdom: Warwick University of Warwick.

Christopher SR. 1960. The Life History, Bionomic and Structure ofAedes aegypti (L) the Yellow Fever Mosquito. London: Cambridge Univ Press.

Da Costa GL, de Morales AM, de Oliveira PC. 1998. Pathogenic action of Penicillium species on Mosquito vectors of human tropical diseases. Journal of Basic Biology 38(5-6): 337-341.

De morales AM, da Costa GL, Barcellos MZ, de Oliveira PC, dan de Oliveira RL. 2001. The entomopathogenic potentials of Aspergillus spp. In mosquitoes vectors of tropical diseases. Journal of Basic Biology 41(1): 45-9.

[DEPKES]. Departemen Kesehatan. 2006. Kesehatan Masyarakat.

Geetha I, Paily KP, Padmanaban V, Balaraman K. 2003. Oviposition response of the mosquito, Culex quinquefasciatus to the secondary metabolite(s) of the fungus, Trichoderma viride. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz 98: 2.


(20)

Gubler DJ, Suharyono, Nalim SL, Sumarmo, Yahya E, dan Sulianti SJ. 1980. Studies on DHF in Indonesia. Dengue News Letter: 1-2.

Kaya HK, Gaugler R. 1993. Entomopathogenic nematodes. Annual Review of Entomology 38: 181-206.

Kiffer E, Morelet M. 1999. The Deuteromycetes: Mitosporic Fungi Classification and Generic Keys. New Hamsphire: Science Publishers, Inc.

Legner EF. 1995. Biological control of Diptera of medical and veterinary importance. Journal of Vector Ecology 20: 59-120.

Miranpuri GS, Khachatourians GG. 1991. Infection sites of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana in the larvae of the mosquito Aedes aegypti. Entomologia Experimentalis et Aplicata 59: 19-27.

Munif A, Mardiana. 1991. Patogenitas cendawan Beauveria bassiana terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinguefasciatus di laboratorium. Buletin Penelitian Kesehatan 3: 32-37.

Natalia T. 2000. Isolasi cendawan patogen dari larva nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti) dan pemanfaatannya sebagai agen pengendali hayati [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Papp L, Darvas B (editor). 2000. Manual of Pala Earctic Diptera (with Special Reference to Files of Economic Important. Vol 1 General and Applied Dipterologi). Budapest: Science Herald.

Pitt JI, Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. Ed ke-2. London: Blackie Academic and Professional, an imprint of Chapman & Hall.

Rahman KP. 2005. Isolasi cendawan patogen dari larva nyamuk Culex spp. dan uji efikasinya di laboratorium [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Rumini W. 1980. Beberapa aspek biologi Aedes (S) albopictus (Skuse) di laboratorium dan pemencarannya di lapangan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Scholte EJ, Knols BGJ, Samson RA, Talken W. 2004. Entomopathogenic fungi for mosquito control: A review. Journal of Insect Science 4: 1-24.

Sukasman. 1996. Entomopatogen sebagai Insektisida. Prociding Seminar Sehari: Alternatif Pengendalian Hama Teh secara Hayati. Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambang.

Teiji S, Motoyoshi M, Ichiro M, Dantje ST. 1993. Desiccation survival time of two Aedes (Stegomiya) mosquito eggs from North Sulawesi. Japanese Journal of Entomology 61: 121-124.


(21)

ISOLASI, IDENTIFIKASI, PATOGENISITAS,

DAN PROSES KOLONISASI CENDAWAN ENTOMOPATOGEN

PADA LARVA NYAMUK

Aedes aegypti

Oleh:

ZUVENTI OKTAVIANI

G34102041

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2007


(22)

Cendawan Entomopatogen pada Larva Nyamuk Aedes aegypti. Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO, dan UPIK KESUMAWATI HADI.

Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi, mengidentifikasi, dan menguji kemampuan membunuh cendawan entomopatogen pada larva nyamuk Aedes aegypti. Uji postulat Koch dan proses kolonisasi cendawan pada larva nyamuk juga dianalisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah isolasi dan identifikasi cendawan yang diisolasi dari larva nyamuk Aedes aegypti instar III dan IV dari tiga lokasi di kota Bogor, dan uji efikasi cendawan pada larva instar III dan IV. Uji efikasi dilakukan pada skala laboratorium dan skala semi lapang menggunakan media air kran steril dan tidak steril.

Sembilan isolat cendawan yang berhasil diisolasi ialah Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolat Mucor racemosus,Emericella nidulans,Aspergillus sp., Aspergillus niger, dan Penicillium sp. Hasil uji postulat Koch menunjukkan bahwa 9 isolat cendawan tersebut ialah cendawan entomopatogen. Dari data pengujian efikasi dari 9 isolat menunjukkan bahwa persentase kematian larva meningkat sebanding dengan konsentrasi cendawan dan lamanya waktu inkubasi yang digunakan. A. niger isolat 8 mempunyai patogenitas paling tinggi terhadap populasi larva A. aegypti, yaitu mampu membunuh 95% instar III dan 88.33% instar IV pada konsentrasi cendawan terendah dalam waktu 12 jam pada skala laboratorium. Pada skala semi lapang, A. niger isolat 8 juga efektif dalam mengendalikan larva A. aegypti instar III menggunakan konsentrasi minimal 254.34 cm3 dari inokulum campuran (miselia dan spora pada media agar). Proses kolonisasi cendawan entomopatogen pada larva A. aegypti dimulai dari penempelan hifa atau hifa kecambah pada kutikuka, selanjutnya membentuk struktur penetrasi yang disebut apresorium dan pertumbuhan miselia pada tubuh larva. Proses infeksi cendawan pada larva juga terjadi melalui penelanan spora per oral.

ABSTRACT

ZUVENTI OKTAVIANI. Isolation, Identification, Pathogenicity, and Colonization Process of Entomopathogenic Fungi on Aedes aegypti Larvae. Supervised by NAMPIAH SUKARNO, and UPIK KESUMAWATI HADI.

The aim of this experiment was to isolate, identify, and test the pathogenicity ability of entomopathogenic fungi on Aedes aegypti mosquitoes larvae. Koch Postulate and colonization process of the fungi on the mosquitoes larvae were also analysed. The fungi were isolated from instar III and IV of A. aegypti larvae that collected from three districts in Bogor city. The fungi were identified morphologically and fungal pathogenicity was tested on laboratory and semi-field scale conditions using sterile and non-sterile water.

Nine isolates were obtained, they were Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolates of Mucor racemosus, Emericella nidulans, Aspergillus sp., Aspergillus niger, and Penicillium sp. The 9 isolates were entomopathogenic fungi based on Koch Postulate analysis. Data from 9 isolates tested showed that the percentage of larvae mortality was positively correlated with the inoculum concentrations and incubation periods. A. niger isolate 8 had the highest pathogenicity on the larvae compared to that of eight isolates tested. It killed 95% and 88.33% of instar III and instar IV, respectively, at the lowest concentration of the fungal inoculum after 12 hours incubation at laboratory test. Similarly, on semi-field experiment, A. niger isolate 8 was the most effective fungi in controlling instar III of A. aegypti larvae at minimum concentration of 254.34 cm3of mixed inoculum (mycelia and spores on the agar medium). Fungal colonization process on A. aegypti larvae was initiated by production of hyphae or germ tube by the spores, followed by hyphal penetration on larvae cuticle, and development of appresorium and fungal mycelia inside the larvae body. The infection process of the fungi on the larvae was also observed through the spore feeding process.


(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan oleh patogen virus dengue yang dapat menyebabkan rusaknya sel-sel darah merah manusia. Di Indonesia kasus penyakit DBD terus meningkat setiap tahunnya dan telah menimbulkan banyak korban jiwa. DEPKES (2006) melaporkan jumlah penderita penyakit DBD di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 60.238 orang, dengan kasus kematian sebanyak 793 orang atau 1.3% dari jumlah penderita. DBD ditularkan oleh vektor nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (Gubler et al. 1980). Nyamuk pembawa virus dengue yang paling utama adalah A. aegypti, sedangkan A. albopictus ialah vektor sekunder virus DBD. A. aegypti umumnya berkembangbiak pada lingkungan perumahan penduduk, terutama pada tempat-tempat penampungan air bersih seperti bak mandi dan gentong air. Namun saat ini, selain air bersih ternyata air terpolusi juga dapat menjadi tempat perindukan dan berkembangbiaknya nyamuk A. aegypti (Agustina 2006).

Nyamuk A aegypti termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Diptera, famili Culicidae, subfamili Culicinae, genus Aedes, dan subgenus Stegomiya. A. aegypti mengalami metamorfosis sempurna yaitu stadium telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa. Teiji et al. (1993) melaporkan bahwa telur A. aegypti dapat bertahan hidup sampai 74 hari dalam keadaan lingkungan kering. Telur A. aegypti berukuran kecil, berwarna hitam, dan berbentuk oval dengan salah satu ujung lebih tumpul daripada ujung yang lain, dan terpisah satu dengan yang lainnya (Christopher 1960). Telur ini akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-48 jam. Stadium larva terdiri atas empat instar yaitu instar I, II, III, dan IV. Instar I memiliki panjang tubuh 1-2 mm, setelah 1-2 hari larva instar I berubah menjadi instar II dengan panjang tubuh 2.5-3.9 mm, dan setelah 2-3 hari menjadi instar III dengan panjang tubuh sekitar 5 mm. Instar III kemudian menjadi instar IV dengan panjang tubuh 7-8 mm dalam waktu 2-3 hari. Ukuran lebar kepala instar I, II, III, dan IV masing-masing ialah 0.3 mm, 0.45 mm, 0.65 mm, dan 0.95 mm (Christopher 1960). Jumlah gigi-gigi sisir dan pekten pada larva bertambah sesuai dengan bertambahnya umur larva (Rumini

1980). Setelah 2-3 hari instar IV berkembang menjadi pupa, dengan bagian kepala dan toraks berbentuk koma dan tabung pernapasan (respiratory trumpets) berbentuk segitiga, serta abdomen yang melengkung ke bawah dan ke belakang (Christopher 1960). Setelah 1-2 hari pupa berkembang menjadi nyamuk dewasa.

Nyamuk A. aegypti dewasa berukuran 3-4 mm, bagian kepala, toraks, abdomen, dan tungkainya berwarna belang-belang hitam putih. Adapun ciri morfologi yang khas dari A. aegypti ialah pada bagian mesonotum terdapat bulu-bulu halus berwarna putih membentuk lire (lire-shaped ornament) (Christopher 1960).

Upaya pengendalian nyamuk A. aegypti dianggap sebagai cara yang paling tepat untuk menurunkan kejadian penyakit DBD. Program 3M, yaitu menguras, menutup, dan mengubur tempat penampungan air adalah satu cara yang dianjurkan pemerintah saat ini. Hal ini dilakukan karena belum ada vaksin dan obat yang dapat membunuh virus dengue. Upaya lain pengendalian vektor penyakit DBD ialah dengan penggunaan bahan kimiawi maupun biologis (hayati). Pengendalian secara kimiawi umumnya dilakukan dengan penggunaan berbagai jenis insektisida yang diaplikasikan dengan cara pengasapan (fogging) untuk membunuh nyamuk dewasa dan pemberian bubuk Abate untuk telur dan larvanya. Adapun pengendalian secara hayati dapat menggunakan mahluk hidup seperti ikan (Legner 1995), bakteri (Becker & Ascher 1998), nematoda (Kaya & Gaugler 1993), dan cendawan entomopatogen. Cendawan entomopatogen ialah cendawan patogen yang menyerang serangga. Beberapa cendawan entomopatogen telah dilaporkan dapat menginfeksi dan membunuh larva nyamuk Culex spp. (Da Costa et al. 1998; De Morales et al. 2001; Geetha et al. 2003; Rahman 2005) dan A. aegypti (Miranpuri 1991; Munif & Mardiana 1991; Natalia 2000) pada skala laboratorium.

Cendawan entomopatogen dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati karena penyebarannya sangat cepat dan mampu bertahan hidup pada kondisi cuaca sangat kering atau pada lingkungan basah. Penyebaran cendawan entomopatogen terutama melalui spora atau konidia yang diterbangkan oleh angin atau disebarkan oleh air dan juga oleh inang yang telah terinfeksi (Sukasman 1996; Scholte et al. 2004). Penggunaan cendawan entomopatogen dalam pengendalian nyamuk telah dilakukan di luar negeri misalnya di Florida (Amerika) yang menggunakan Paecilomyces lilacinus untuk mengendalikan larva nyamuk A. aegypti (Agarwala et al. 1999).


(1)

PEMBAHASAN

Isolat cendawan yang diperoleh dari tiga lokasi di kota Bogor pada penelitian ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan isolat yang berhasil diisolasi oleh Natalia (2000) dari lokasi yang sama. Natalia (2000) berhasil mengisolasi 24 isolat cendawan. Hal ini mungkin disebabkan karena sumber larva yang digunakan pada penelitian ini lebih sedikit yaitu hanya 2 macam instar (instar III dan IV) sedangkan Natalia (2000) mengisolasi cendawan entomopatogen dari 4 macam instar larva yaitu instar I, II, III, dan IV.

Menurut Papp dan Darvas (2000) seluruh stadium dalam siklus hidup nyamuk dapat diserang oleh cendawan entomopatogen. Larva merupakan stadium yang paling rentan terinfeksi cendawan dibandingkan dengan stadium lainnya. Oleh sebab itu dalam penelitian ini digunakan nyamuk pada stadium larva. Kerentanan setiap jenis larva juga berbeda-beda. Larva instar II lebih rentan terhadap serangan cendawan entomopatogen dibandingkan dengan larva instar III dan IV (Natalia 2000). Hal ini diduga karena sistem kekebalan tubuh larva instar II belum sempurna dibandingkan dengan larva instar III dan IV. Larva instar I dan II tidak digunakan dalam penelitian ini karena ukurannya terlalu kecil sehingga menyulitkan dalam pengamatan.

Menurut hasil analisis postulat Koch, larva yang mati pada uji efikasi baik pada skala laboratorium maupun semi lapang disebabkan oleh cendawan entomopatogen yang diinokulasikan. Hal ini ditunjukkan dengan ciri-ciri isolat yang berhasil diisolasi dari larva yang mati sama dengan ciri-ciri isolat yang diinokulasikan pada larva sehat.

Berdasarkan hasil uji efikasi yang dilakukan terhadap sembilan isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan yang digunakan semakin tinggi pula tingkat kematian larva. Dari 9 isolat yang diperoleh, A. niger ialah isolat yang paling efektif membunuh larva pada semua tingkat konsentrasi yang digunakan pada instar III maupun IV. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Natalia (2000) bahwa A. niger

merupakan isolat terbaik dari isolat yang berhasil diisolasi dengan kematian larva instar III dan IV sekitar 85% pada konsentrasi cendawan terendah yaitu 201.0 mm3 dalam waktu 12 jam setelah inokulasi. Kemampuan membunuh yang baik isolat A. niger

kemungkinan besar karena isolat ini bukan merupakan kelompok dari cendawan oportunis yang hanya mampu membunuh larva ketika tubuh larva dalam keadaan lemah.

Hasil dari pengujian efikasi pada skala semi lapang dengan perlakuan berbagai macam inokulum menggunakan dua isolat A. niger, menunjukkan hal yang sama dengan hasil uji skala laboratorium. Semakin tinggi konsentrasi inokulum cendawan dan semakin lama waktu inkubasi yang digunakan maka semakin tinggi pula kematian larva (Gambar 8 dan 9). Pengujian dengan menggunakan isolat A. niger

(isolat 8 dari penelitian ini) dan A. niger (isolat 17, koleksi Bagian Mikologi) menunjukkan bahwa isolat 8 mempunyai daya bunuh yang lebih baik terhadap larva instar III pada semua jenis inokulum. Inokulum miselia tidak digunakan pada uji efikasi skala semi lapang dengan perlakuan berbagai macam konsentrasi dan media tumbuh larva karena beberapa hari setelah inokulasi, media tumbuh menjadi berbau busuk. Hal ini mungkin terjadi karena adanya proses fermentasi dari mikrob lain. Perlakuan dengan inokulum campuran, menunjukkan inokulum ini mampu membunuh populasi larva instar III diatas 80% dalam waktu 24 jam setelah inokulasi. Sedangkan efek pemberian inokulum spora baru dapat terlihat setelah 3-4 hari setelah inokulasi.

Berdasarkan uji efikasi yang dilakukan pada skala semi lapang dengan perlakuan berbagai konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan dan semakin lama waktu inkubasi, tingkat kematian larva pada kedua macam media air kran steril maupun tidak steril semakin tinggi (Gambar 10 dan 11). Inokulum campuran memiliki daya bunuh yang lebih baik daripada inokulum spora. Hal ini mungkin disebabkan karena inokulum campuran mengandung lebih banyak jenis propagul yaitu

Gambar 14 Konidia (k) A. niger yang terkumpul pada bagian saluran pencernaan larva

A. aegypti instar III pada pengamatan 48 jam. Perbesaran 400x.

tubuh larva


(2)

PEMBAHASAN

Isolat cendawan yang diperoleh dari tiga lokasi di kota Bogor pada penelitian ini lebih sedikit bila dibandingkan dengan isolat yang berhasil diisolasi oleh Natalia (2000) dari lokasi yang sama. Natalia (2000) berhasil mengisolasi 24 isolat cendawan. Hal ini mungkin disebabkan karena sumber larva yang digunakan pada penelitian ini lebih sedikit yaitu hanya 2 macam instar (instar III dan IV) sedangkan Natalia (2000) mengisolasi cendawan entomopatogen dari 4 macam instar larva yaitu instar I, II, III, dan IV.

Menurut Papp dan Darvas (2000) seluruh stadium dalam siklus hidup nyamuk dapat diserang oleh cendawan entomopatogen. Larva merupakan stadium yang paling rentan terinfeksi cendawan dibandingkan dengan stadium lainnya. Oleh sebab itu dalam penelitian ini digunakan nyamuk pada stadium larva. Kerentanan setiap jenis larva juga berbeda-beda. Larva instar II lebih rentan terhadap serangan cendawan entomopatogen dibandingkan dengan larva instar III dan IV (Natalia 2000). Hal ini diduga karena sistem kekebalan tubuh larva instar II belum sempurna dibandingkan dengan larva instar III dan IV. Larva instar I dan II tidak digunakan dalam penelitian ini karena ukurannya terlalu kecil sehingga menyulitkan dalam pengamatan.

Menurut hasil analisis postulat Koch, larva yang mati pada uji efikasi baik pada skala laboratorium maupun semi lapang disebabkan oleh cendawan entomopatogen yang diinokulasikan. Hal ini ditunjukkan dengan ciri-ciri isolat yang berhasil diisolasi dari larva yang mati sama dengan ciri-ciri isolat yang diinokulasikan pada larva sehat.

Berdasarkan hasil uji efikasi yang dilakukan terhadap sembilan isolat cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dalam penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan yang digunakan semakin tinggi pula tingkat kematian larva. Dari 9 isolat yang diperoleh, A. niger ialah isolat yang paling efektif membunuh larva pada semua tingkat konsentrasi yang digunakan pada instar III maupun IV. Hasil ini sesuai dengan yang dilaporkan Natalia (2000) bahwa A. niger

merupakan isolat terbaik dari isolat yang berhasil diisolasi dengan kematian larva instar III dan IV sekitar 85% pada konsentrasi cendawan terendah yaitu 201.0 mm3 dalam waktu 12 jam setelah inokulasi. Kemampuan membunuh yang baik isolat A. niger

kemungkinan besar karena isolat ini bukan merupakan kelompok dari cendawan oportunis yang hanya mampu membunuh larva ketika tubuh larva dalam keadaan lemah.

Hasil dari pengujian efikasi pada skala semi lapang dengan perlakuan berbagai macam inokulum menggunakan dua isolat A. niger, menunjukkan hal yang sama dengan hasil uji skala laboratorium. Semakin tinggi konsentrasi inokulum cendawan dan semakin lama waktu inkubasi yang digunakan maka semakin tinggi pula kematian larva (Gambar 8 dan 9). Pengujian dengan menggunakan isolat A. niger

(isolat 8 dari penelitian ini) dan A. niger (isolat 17, koleksi Bagian Mikologi) menunjukkan bahwa isolat 8 mempunyai daya bunuh yang lebih baik terhadap larva instar III pada semua jenis inokulum. Inokulum miselia tidak digunakan pada uji efikasi skala semi lapang dengan perlakuan berbagai macam konsentrasi dan media tumbuh larva karena beberapa hari setelah inokulasi, media tumbuh menjadi berbau busuk. Hal ini mungkin terjadi karena adanya proses fermentasi dari mikrob lain. Perlakuan dengan inokulum campuran, menunjukkan inokulum ini mampu membunuh populasi larva instar III diatas 80% dalam waktu 24 jam setelah inokulasi. Sedangkan efek pemberian inokulum spora baru dapat terlihat setelah 3-4 hari setelah inokulasi.

Berdasarkan uji efikasi yang dilakukan pada skala semi lapang dengan perlakuan berbagai konsentrasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi cendawan dan semakin lama waktu inkubasi, tingkat kematian larva pada kedua macam media air kran steril maupun tidak steril semakin tinggi (Gambar 10 dan 11). Inokulum campuran memiliki daya bunuh yang lebih baik daripada inokulum spora. Hal ini mungkin disebabkan karena inokulum campuran mengandung lebih banyak jenis propagul yaitu

Gambar 14 Konidia (k) A. niger yang terkumpul pada bagian saluran pencernaan larva

A. aegypti instar III pada pengamatan 48 jam. Perbesaran 400x.

tubuh larva


(3)

miselia dan spora sehingga dapat bekerja lebih efektif dibandingkkan dengan perlakuan inokulum spora saja. Inokulum campuran dengan konsentrasi 254.34 cm3 berdasarkan kriteria pengendalian hayati sudah memenuhi persyaratan sebagai agen pengendali hayati yang potensial karena dapat membunuh lebih dari 80% patogen.

Chadler (2005) melaporkan bahwa infeksi cendawan entomopatogen pada inangnya dapat dilakukan melalui 2 mekanisme. Mekanisme yang pertama yaitu penempelan konidia pada kutikula larva yang kemudian berkecambah membentuk hifa. Hifa tersebut selanjutnya melakukan penetrasi ke jaringan tubuh serta hemosol larva. Mekanisme kedua yaitu melalui proses pemakanan atau penelanan konidia dalam jumlah banyak yang kemudian akan berkecambah dan tumbuh dibagian belakang saluran pencernaan. Selanjutnya hifa kecambah melakukan penetrasi ke dalam tubuh dan hemosol larva. Pada mekanisme ini biasanya cendawan menyerang inang dengan dua cara yaitu perusakan jaringan oleh miselia dan/atau produksi toksin.

SIMPULAN

Cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari larva A. aegypti instar III dan IV pada tiga lokasi di kota Bogor ialah sembilan isolat. Isolat tersebut yaitu

Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolat

Mucor racemosus, Emericella nidulans,

Aspergillus sp., A. niger, dan Penicillium sp.

A. niger isolat 8 mempunyai patogenitas paling tinggi terhadap populasi larva A. aegypti, yaitu mampu membunuh 95% instar III dan 88.33% instar IV pada konsentrasi cendawan 201.0 mm3 dalam waktu 12 jam pada skala laboratorium. A. niger isolat 8 efektif membunuh larva instar III pada skala semi lapang dalam bentuk inokulum campuran dengan konsentrasi minimal 254.34 cm3.

Proses kolonisasi cendawan entomopatogen pada larva A. aegypti

dimulai dari penempelan hifa/hifa kecambah pada lubang spirakel/perispirakel

selanjutnya terbentuk struktur penetrasi dari cendawan pada tubuh larva. Proses pemakanan atau penelanan spora A. niger

juga terjadi oleh larva nyamuk A. aegypti.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwala SP, Sagar SK, Sehgal SS. 1999. Use of mycelial suspension and metabolites of Paecilomyces lilacinus (Fungi: Hypomycetes) in control of Aedes aegypti larvae. Journal of Communicable Diseases 31: 193-196.

Agustina E. 2006. Studi preferensi tempat bertelur dan perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti pada air terpolusi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Barnett HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Minnesota: Burgess Publishing Co.

Becker N, Ascher KRS. 1998. The use of

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Bti) against mosquitoes with special emphasis on the ecological impact.

Israel Journal of Entomology 32: 63-69.

Chadler D. 2005. Evolution of fungal virulence. United Kingdom: Warwick University of Warwick.

Christopher SR. 1960. The Life History, Bionomic and Structure ofAedes aegypti

(L) the Yellow Fever Mosquito. London: Cambridge Univ Press.

Da Costa GL, de Morales AM, de Oliveira PC. 1998. Pathogenic action of Penicillium

species on Mosquito vectors of human tropical diseases. Journal of Basic Biology 38(5-6): 337-341.

De morales AM, da Costa GL, Barcellos MZ, de Oliveira PC, dan de Oliveira RL. 2001. The entomopathogenic potentials of Aspergillus spp. In mosquitoes vectors of tropical diseases. Journal of Basic Biology 41(1): 45-9.

[DEPKES]. Departemen Kesehatan. 2006. Kesehatan Masyarakat.

Geetha I, Paily KP, Padmanaban V, Balaraman K. 2003. Oviposition response of the mosquito, Culex quinquefasciatus to the secondary metabolite(s) of the fungus,

Trichoderma viride. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz 98: 2.


(4)

miselia dan spora sehingga dapat bekerja lebih efektif dibandingkkan dengan perlakuan inokulum spora saja. Inokulum campuran dengan konsentrasi 254.34 cm3 berdasarkan kriteria pengendalian hayati sudah memenuhi persyaratan sebagai agen pengendali hayati yang potensial karena dapat membunuh lebih dari 80% patogen.

Chadler (2005) melaporkan bahwa infeksi cendawan entomopatogen pada inangnya dapat dilakukan melalui 2 mekanisme. Mekanisme yang pertama yaitu penempelan konidia pada kutikula larva yang kemudian berkecambah membentuk hifa. Hifa tersebut selanjutnya melakukan penetrasi ke jaringan tubuh serta hemosol larva. Mekanisme kedua yaitu melalui proses pemakanan atau penelanan konidia dalam jumlah banyak yang kemudian akan berkecambah dan tumbuh dibagian belakang saluran pencernaan. Selanjutnya hifa kecambah melakukan penetrasi ke dalam tubuh dan hemosol larva. Pada mekanisme ini biasanya cendawan menyerang inang dengan dua cara yaitu perusakan jaringan oleh miselia dan/atau produksi toksin.

SIMPULAN

Cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari larva A. aegypti instar III dan IV pada tiga lokasi di kota Bogor ialah sembilan isolat. Isolat tersebut yaitu

Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolat

Mucor racemosus, Emericella nidulans,

Aspergillus sp., A. niger, dan Penicillium sp.

A. niger isolat 8 mempunyai patogenitas paling tinggi terhadap populasi larva A. aegypti, yaitu mampu membunuh 95% instar III dan 88.33% instar IV pada konsentrasi cendawan 201.0 mm3 dalam waktu 12 jam pada skala laboratorium. A. niger isolat 8 efektif membunuh larva instar III pada skala semi lapang dalam bentuk inokulum campuran dengan konsentrasi minimal 254.34 cm3.

Proses kolonisasi cendawan entomopatogen pada larva A. aegypti

dimulai dari penempelan hifa/hifa kecambah pada lubang spirakel/perispirakel

selanjutnya terbentuk struktur penetrasi dari cendawan pada tubuh larva. Proses pemakanan atau penelanan spora A. niger

juga terjadi oleh larva nyamuk A. aegypti.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwala SP, Sagar SK, Sehgal SS. 1999. Use of mycelial suspension and metabolites of Paecilomyces lilacinus (Fungi: Hypomycetes) in control of Aedes aegypti larvae. Journal of Communicable Diseases 31: 193-196.

Agustina E. 2006. Studi preferensi tempat bertelur dan perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti pada air terpolusi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Barnett HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Minnesota: Burgess Publishing Co.

Becker N, Ascher KRS. 1998. The use of

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Bti) against mosquitoes with special emphasis on the ecological impact.

Israel Journal of Entomology 32: 63-69.

Chadler D. 2005. Evolution of fungal virulence. United Kingdom: Warwick University of Warwick.

Christopher SR. 1960. The Life History, Bionomic and Structure ofAedes aegypti

(L) the Yellow Fever Mosquito. London: Cambridge Univ Press.

Da Costa GL, de Morales AM, de Oliveira PC. 1998. Pathogenic action of Penicillium

species on Mosquito vectors of human tropical diseases. Journal of Basic Biology 38(5-6): 337-341.

De morales AM, da Costa GL, Barcellos MZ, de Oliveira PC, dan de Oliveira RL. 2001. The entomopathogenic potentials of Aspergillus spp. In mosquitoes vectors of tropical diseases. Journal of Basic Biology 41(1): 45-9.

[DEPKES]. Departemen Kesehatan. 2006. Kesehatan Masyarakat.

Geetha I, Paily KP, Padmanaban V, Balaraman K. 2003. Oviposition response of the mosquito, Culex quinquefasciatus to the secondary metabolite(s) of the fungus,

Trichoderma viride. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz 98: 2.


(5)

miselia dan spora sehingga dapat bekerja lebih efektif dibandingkkan dengan perlakuan inokulum spora saja. Inokulum campuran dengan konsentrasi 254.34 cm3 berdasarkan kriteria pengendalian hayati sudah memenuhi persyaratan sebagai agen pengendali hayati yang potensial karena dapat membunuh lebih dari 80% patogen.

Chadler (2005) melaporkan bahwa infeksi cendawan entomopatogen pada inangnya dapat dilakukan melalui 2 mekanisme. Mekanisme yang pertama yaitu penempelan konidia pada kutikula larva yang kemudian berkecambah membentuk hifa. Hifa tersebut selanjutnya melakukan penetrasi ke jaringan tubuh serta hemosol larva. Mekanisme kedua yaitu melalui proses pemakanan atau penelanan konidia dalam jumlah banyak yang kemudian akan berkecambah dan tumbuh dibagian belakang saluran pencernaan. Selanjutnya hifa kecambah melakukan penetrasi ke dalam tubuh dan hemosol larva. Pada mekanisme ini biasanya cendawan menyerang inang dengan dua cara yaitu perusakan jaringan oleh miselia dan/atau produksi toksin.

SIMPULAN

Cendawan entomopatogen yang berhasil diisolasi dari larva A. aegypti instar III dan IV pada tiga lokasi di kota Bogor ialah sembilan isolat. Isolat tersebut yaitu

Trichoderma sp., miselia sterilia, 3 isolat

Mucor racemosus, Emericella nidulans,

Aspergillus sp., A. niger, dan Penicillium sp.

A. niger isolat 8 mempunyai patogenitas paling tinggi terhadap populasi larva A. aegypti, yaitu mampu membunuh 95% instar III dan 88.33% instar IV pada konsentrasi cendawan 201.0 mm3 dalam waktu 12 jam pada skala laboratorium. A. niger isolat 8 efektif membunuh larva instar III pada skala semi lapang dalam bentuk inokulum campuran dengan konsentrasi minimal 254.34 cm3.

Proses kolonisasi cendawan entomopatogen pada larva A. aegypti

dimulai dari penempelan hifa/hifa kecambah pada lubang spirakel/perispirakel

selanjutnya terbentuk struktur penetrasi dari cendawan pada tubuh larva. Proses pemakanan atau penelanan spora A. niger

juga terjadi oleh larva nyamuk A. aegypti.

DAFTAR PUSTAKA

Agarwala SP, Sagar SK, Sehgal SS. 1999. Use of mycelial suspension and metabolites of Paecilomyces lilacinus (Fungi: Hypomycetes) in control of Aedes aegypti larvae. Journal of Communicable Diseases 31: 193-196.

Agustina E. 2006. Studi preferensi tempat bertelur dan perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti pada air terpolusi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Barnett HL, Hunter BB. 1972. Illustrated Genera of Imperfect Fungi. Minnesota: Burgess Publishing Co.

Becker N, Ascher KRS. 1998. The use of

Bacillus thuringiensis subsp. israelensis (Bti) against mosquitoes with special emphasis on the ecological impact.

Israel Journal of Entomology 32: 63-69.

Chadler D. 2005. Evolution of fungal virulence. United Kingdom: Warwick University of Warwick.

Christopher SR. 1960. The Life History, Bionomic and Structure ofAedes aegypti

(L) the Yellow Fever Mosquito. London: Cambridge Univ Press.

Da Costa GL, de Morales AM, de Oliveira PC. 1998. Pathogenic action of Penicillium

species on Mosquito vectors of human tropical diseases. Journal of Basic Biology 38(5-6): 337-341.

De morales AM, da Costa GL, Barcellos MZ, de Oliveira PC, dan de Oliveira RL. 2001. The entomopathogenic potentials of Aspergillus spp. In mosquitoes vectors of tropical diseases. Journal of Basic Biology 41(1): 45-9.

[DEPKES]. Departemen Kesehatan. 2006. Kesehatan Masyarakat.

Geetha I, Paily KP, Padmanaban V, Balaraman K. 2003. Oviposition response of the mosquito, Culex quinquefasciatus to the secondary metabolite(s) of the fungus,

Trichoderma viride. Memorias do Instituto Oswaldo Cruz 98: 2.


(6)

Gubler DJ, Suharyono, Nalim SL, Sumarmo, Yahya E, dan Sulianti SJ. 1980. Studies on DHF in Indonesia. Dengue News Letter: 1-2.

Kaya HK, Gaugler R. 1993. Entomopathogenic nematodes.

Annual Review of Entomology 38: 181-206.

Kiffer E, Morelet M. 1999. The Deuteromycetes: Mitosporic Fungi Classification and Generic Keys. New Hamsphire: Science Publishers, Inc.

Legner EF. 1995. Biological control of Diptera of medical and veterinary importance. Journal of Vector Ecology 20: 59-120.

Miranpuri GS, Khachatourians GG. 1991. Infection sites of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana in the larvae of the mosquito Aedes aegypti.

Entomologia Experimentalis et Aplicata 59: 19-27.

Munif A, Mardiana. 1991. Patogenitas cendawan Beauveria bassiana

terhadap larva nyamuk Aedes aegypti

dan Culex quinguefasciatus di laboratorium. Buletin Penelitian Kesehatan 3: 32-37.

Natalia T. 2000. Isolasi cendawan patogen dari larva nyamuk demam berdarah (Aedes aegypti) dan pemanfaatannya sebagai agen pengendali hayati [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Papp L, Darvas B (editor). 2000. Manual of Pala Earctic Diptera (with Special Reference to Files of Economic Important. Vol 1 General and Applied Dipterologi). Budapest: Science Herald.

Pitt JI, Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. Ed ke-2. London: Blackie Academic and Professional, an imprint of Chapman & Hall.

Rahman KP. 2005. Isolasi cendawan patogen dari larva nyamuk Culex spp. dan uji efikasinya di laboratorium [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Rumini W. 1980. Beberapa aspek biologi Aedes

(S) albopictus (Skuse) di laboratorium dan pemencarannya di lapangan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Scholte EJ, Knols BGJ, Samson RA, Talken W. 2004. Entomopathogenic fungi for mosquito control: A review. Journal of Insect Science 4: 1-24.

Sukasman. 1996. Entomopatogen sebagai Insektisida. Prociding Seminar Sehari: Alternatif Pengendalian Hama Teh secara Hayati. Pusat Penelitian Teh dan Kina, Gambang.

Teiji S, Motoyoshi M, Ichiro M, Dantje ST. 1993. Desiccation survival time of two

Aedes (Stegomiya) mosquito eggs from North Sulawesi. Japanese Journal of Entomology 61: 121-124.