Hubungan Keberadaan Jentik Aedes Aegypti Dan Pelaksanaan 3m Plus Dengan Kejadian Penyakit Dbd Di Lingkungan XVIII KELURAHAN BINJAI KOTA MEDAN TAHUN 2012
HUBUNGAN KEBERADAAN JENTIK Aedes aegypti DAN PELAKSANAAN 3M PLUS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DBD DI
LINGKUNGAN XVIII KELURAHAN BINJAI KOTA MEDAN TAHUN 2012
SKRIPSI
OLEH:
NIM. 091000173 SULINA PARIDA S
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(2)
HUBUNGAN KEBERADAAN JENTIK Aedes aegypti DAN PELAKSANAAN 3M PLUS DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DBD DI
LINGKUNGAN XVIII KELURAHAN BINJAI KOTA MEDAN TAHUN 2012
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
OLEH:
NIM. 091000173 SULINA PARIDA S
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
ABSTRAK
Kota Medan merupakan salah satu daerah endemis DBD dan kecamatan yang paling endemis adalah Kecamatan Medan Denai, di mana cara paling efektif untuk memberantas penyakit DBD adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk atau PSN DBD, sehingga perlu diketahui keberadaan jentik Aedes aegypti dan keefektifan dari pelaksanaan 3M Plus.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan.
Lokasi penelitian adalah di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Sampel penelitian ini adalah 100 ibu rumah tangga, yang diambil dengan teknik purposive sampling. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan desain studi cross sectional menggunakan uji Exact Fisher.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai House Index (HI) adalah 5%,
Container Index (CI) adalah 4%. Pelaksanaan 3M Plus yang termasuk ke dalam kategori baik 78% dan kurang baik 22%. Dari hasil penelitian, hubungan keberadaan jentik dengan penyakit DBD memiliki nilai p = 0,002. Hubungan pelaksanaan 3M Plus dengan penyakit DBD memiliki nilai p = 0,047. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan.
Disarankan agar Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Desa Binjai melakukan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta melakukan pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti atau PSN DBD secara teratur sehingga dapat menurunkan angka kejadian penyakit DBD di Kelurahan Binjai terutama di Lingkungan XVIII.
(4)
ABSTRACT
Medan is one of DHF endemic area and the most endemic subdistrict is Medan Denai Subdistrict, where the most effective way to eradicate DHF disease is with eradicating mosquito nest or PSN DBD, so that is important to know the Aedes aegypti larva existence and effectiveness of 3M Plus implementation.
This research aims to know the relation of Aedes aegypti larva existence and 3M Plus implementation with DHF disease in Area XVIII Binjai District Medan.
The research location is in Area XVIII Binjai District Medan Denai Subdistrict. This research samples are 100 housewive, that is taken by purposive sampling technique. This research is analytic survey with cross sectional design study using Exact Fisher test.
Results showed that the House Index (HI) value is 5%, Container Index (CI) is 4%. 3M Plus implementation that includes to good category 78% and bad 22% . From the results, the relation of Aedes aegypti larva existence with DHF disease has p=0,002. The relation of 3M Plus implementation with DHF disease has p=0,047. From the results, it can be known that there is relation of Aedes aegypti larva existence and 3M Plus implementation with DHF disease in Area XVIII Binjai District Medan.
It is suggested to Medan Health Department and Desa Binjai Health Service Center to socialize and motivate people to do eradicating Aedes aegypti mosquito nest or PSN DBD regularly to decrease the number of DHF disease in Binjai District especially in Area XVIII.
(5)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Sulina Parida S
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 09 Juli 1992 Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Anak ke : 2 dari 4 Bersaudara Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat Rumah : Jln. Turi Ujung Gg. Pemilu No. 6 Medan
Riwayat Pendidikan : 1. Tahun 1997-2003 : SD St. Antonius V Medan 2. Tahun 2003-2006 : SMP RK Tri Sakti 1 Medan 3. Tahun 2006-2009 : SMA Negeri 5 Medan
4.Tahun 2009-2013 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia-Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan Keberadaan Jentik Aedes aegypti dan Pelaksanaan 3M Plus dengan Kejadian Penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan Tahun 2012, guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Selama penulisan skripsi ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (FKM USU).
2. Ir. Evi Naria, MKes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.
3. dr. Surya Dharma, MPH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
4. Dr. dr. Wirsal Hasan, MPH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
5. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS, selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
(7)
6. Ir. Indra Chahaya S, MSi, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.
7. Fitri Ardiani, SKM, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis selama mengikuti pendidikan di FKM USU.
8. Seluruh Dosen dan staf di FKM USU yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis mengikuti pendidikan.
9. Dr. Fajarina M. Girsang, selaku Kepala Puskesmas Desa Binjai dan seluruh staf yang telah membantu penelitian penulis.
10. Khairuddin Burhan, selaku Kepala Kelurahan Binjai, seluruh staf dan masyarakat di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai yang telah membantu penelitian penulis. 11. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tercinta Papaku Drs. S. Simorangkir, SH.,
MPd., dan Mamaku Dra. M. Sinambela, MSi., yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis selama ini, serta kakakku Sabrina dan adik-adikku Hevenli dan Andreas, serta seluruh keluarga besarku.
12. Sahabatku Evalin, teman-teman Agnes, Rachel, Debora, Fransiska, Yolanda, Winda, Maria, Devi, Sarah, dan Fitriana yang selalu memberikan motivasi.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Januari 2013 Penulis Sulina Parida S
(8)
DAFTAR ISI
Halaman Persetujuan ... i
Abstrak ... ii
Abstract ... iii
Daftar Riwayat Hidup Penulis ... iv
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... viii
Daftar Tabel ... ix
Daftar Lampiran ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 3
1.3. Tujuan Penelitian ... .4
1.3.1. Tujuan Umum ... 4
1.3.2. Tujuan Khusus ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti ... 6
2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti ... 6
2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti ... 6
2.1.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 7
2.1.4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti ... 9
2.2. Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD ... 11
2.2.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 11
2.2.2. Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 13
2.2.3. Mekanisme Penularan DBD ... 14
2.2.4. Pencegahan Penularan DBD ... 16
2.3. Ukuran Kepadatan Populasi Nyamuk Penular ... 19
2.3.1. Survei Nyamuk ... 19
2.3.2. Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik) ... 19
2.3.3. Survei Perangkap Telur ... 21
2.4. Kerangka Konsep ... 22
2.5. Hipotesis Penelitian ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
3.1. Jenis Penelitian ... 23
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23
3.2.1. Lokasi Penelitian ... 23
3.2.2. Waktu Penelitian ... 23
3.3. Populasi dan Sampel ... 24
3.3.1. Populasi ... 24
(9)
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 25
3.4.1. Data Primer ... 25
3.4.2. Data Sekunder ... 25
3.5. Defenisi Operasional ... 26
3.6. Aspek Pengukuran ... 27
3.7. Analisis Data ... 27
3.7.1. Analisis Univariat ... 27
3.7.2. Analisis Bivariat ... 28
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 29
4.1. Gambaran Lokasi Penelitian ... 29
4.2. Karakteristik Responden ... 30
4.3. Hasil Survei Jentik, Nilai House Index dan Container Index ... 31
4.4. Hasil Penilaian Pelaksanaan 3M Plus ... 33
4.5. Distribusi Kejadian Penyakit DBD ... 35
4.6. Hubungan Keberadaan Jentik dengan Penyakit DBD ... 36
4.7. Hubungan Pelaksanaan 3M Plus dengan Penyakit DBD ... 36
BAB V PEMBAHASAN ... 38
5.1. Hubungan Keberadaan Jentik dengan Penyakit DBD ... 38
5.2. Hubungan Pelaksanaan 3M Plus dengan Penyakit DBD ... 39
5.3. Penanggulangan Kejadian Penyakit DBD ... 40
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 42
6.1. Kesimpulan ... 42
6.2. Saran ... 42
DAFTAR PUSTAKA ... 44 LAMPIRAN
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Responden di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Tahun 2012 ... 30 Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Jentik di Kelurahan
Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012 ... 32 Tabel 4.3. Distribusi Jenis-jenis Tempat Penampungan Air Berdasarkan
Keberadaan Jentik di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai
Tahun 2012 ... 32 Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pelaksanaan 3M
Plus di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012 ... 33 Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Tindakan Pelaksanaan
3M Plus di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012 ... 35
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Penyakit DBD di
Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012 ... 35 Tabel 4.7. Hubungan Keberadaan Jentik Aedes aegypti dengan Kejadian DBD
di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012 ... 36 Tabel 4.8. Hubungan Pelaksaan 3M Plus dengan Kejadian DBD di Kelurahan
(11)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuesioner Penelitian Hubungan Keberadaan Jentik Aedes aegypti dan Pelaksanaan 3M Plus dengan Kejadian Penyakit DBD di Lingkungan XVIII
Kelurahan Binjai Kota Medan Tahun 2012 Lampiran 2 Master Data Penelitian
Lampiran 3 Hasil Analisis Data
Lampiran 4 Surat Permohonan Izin Penelitian di Kelurahan Binjai dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Lampiran 5 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai
Lampiran 6 Surat Keterangan Selesai Penelitian dari Puskesmas Desa Binjai Kota Medan
(12)
ABSTRAK
Kota Medan merupakan salah satu daerah endemis DBD dan kecamatan yang paling endemis adalah Kecamatan Medan Denai, di mana cara paling efektif untuk memberantas penyakit DBD adalah dengan pemberantasan sarang nyamuk atau PSN DBD, sehingga perlu diketahui keberadaan jentik Aedes aegypti dan keefektifan dari pelaksanaan 3M Plus.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan.
Lokasi penelitian adalah di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai. Sampel penelitian ini adalah 100 ibu rumah tangga, yang diambil dengan teknik purposive sampling. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan desain studi cross sectional menggunakan uji Exact Fisher.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai House Index (HI) adalah 5%,
Container Index (CI) adalah 4%. Pelaksanaan 3M Plus yang termasuk ke dalam kategori baik 78% dan kurang baik 22%. Dari hasil penelitian, hubungan keberadaan jentik dengan penyakit DBD memiliki nilai p = 0,002. Hubungan pelaksanaan 3M Plus dengan penyakit DBD memiliki nilai p = 0,047. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan.
Disarankan agar Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Desa Binjai melakukan sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat untuk ikut serta melakukan pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti atau PSN DBD secara teratur sehingga dapat menurunkan angka kejadian penyakit DBD di Kelurahan Binjai terutama di Lingkungan XVIII.
(13)
ABSTRACT
Medan is one of DHF endemic area and the most endemic subdistrict is Medan Denai Subdistrict, where the most effective way to eradicate DHF disease is with eradicating mosquito nest or PSN DBD, so that is important to know the Aedes aegypti larva existence and effectiveness of 3M Plus implementation.
This research aims to know the relation of Aedes aegypti larva existence and 3M Plus implementation with DHF disease in Area XVIII Binjai District Medan.
The research location is in Area XVIII Binjai District Medan Denai Subdistrict. This research samples are 100 housewive, that is taken by purposive sampling technique. This research is analytic survey with cross sectional design study using Exact Fisher test.
Results showed that the House Index (HI) value is 5%, Container Index (CI) is 4%. 3M Plus implementation that includes to good category 78% and bad 22% . From the results, the relation of Aedes aegypti larva existence with DHF disease has p=0,002. The relation of 3M Plus implementation with DHF disease has p=0,047. From the results, it can be known that there is relation of Aedes aegypti larva existence and 3M Plus implementation with DHF disease in Area XVIII Binjai District Medan.
It is suggested to Medan Health Department and Desa Binjai Health Service Center to socialize and motivate people to do eradicating Aedes aegypti mosquito nest or PSN DBD regularly to decrease the number of DHF disease in Binjai District especially in Area XVIII.
(14)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Menurut Soegijanto (2006), sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini didukung oleh data-data seperti: (1) sejak ditemukannya kasus DBD pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, angka kejadian penyakit DBD terus meningkat dan menyebar ke seluruh daerah kabupaten di wilayah Republik Indonesia, (2) pada pengamatan selama kurun waktu 20-25 tahun sejak awal ditemukan kasus DBD, angka kejadian luar biasa (KLB) penyakit DBD diestimasikan terjadi setiap 5 tahun dengan angka kematian tertinggi pada tahun 1968 saat awal ditemukan kasus DBD dan angka kejadian penyakit DBD tertinggi pada tahun 1988, (3) angka kematian kasus DBD masih tinggi, terutama penderita DBD yang datang terlambat dengan derajat IV, (4) vektor penyakit DBD yaitu nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus masih banyak dijumpai di wilayah Indonesia, dan (5) kemajuan teknologi dalam bidang transportasi disertai mobilitas penduduk yang tinggi memudahkan penyebaran sumber penularannya dari satu kota ke kota lainnya (Soegijanto, 2006).
Menurut Llyod yang dikutip oleh Supartha (2008), serangan penyakit DBD berimplikasi luas terhadap kerugian moral dan material berupa biaya rumah sakit dan pengobatan pasien, kehilangan produktivitas kerja bagi penderita, kehilangan wisatawan akibat pemberitaan buruk terhadap daerah kejadian dan yang paling fatal adalah kehilangan nyawa (Supartha, 2008).
(15)
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2010 yang diambil dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2011), penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara sebagai angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. Berdasarkan KLB, wilayah Provinsi Sumatera Utara dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu: (1) Daerah Endemis DBD: Kota Medan, Deli Serdang, Binjai, Langkat, Asahan, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Kabupaten Karo, (2) Daerah Sporadis DBD: Kota Sibolga, Tanjung Balai, Simalungun, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Dairi, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Padang Sidempuan, Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Humbang Hasundutan, Pak-Pak Barat, Serdang Bedagai, dan Kabupaten Samosir, dan (3) Daerah Potensial/Bebas DBD: Kabupaten Nias dan Nias Selatan (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2011).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Medan (2009), kota Medan merupakan daerah endemis DBD. Dari 21 kecamatan di kota Medan, tercatat enam kecamatan yang merupakan daerah endemis DBD, yaitu Kecamatan Medan Denai, Medan Helvetia, Medan Perjuangan, Medan Amplas, Medan Baru dan Medan Selayang (Dinkes Kota Medan, 2009).
Menurut Dinkes Kota Medan (2012), dari 21 kecamatan di kota Medan, telah tercatat 1.578 kasus dan 21 orang meninggal dunia yang terjadi sejak Januari hingga Agustus 2011. Kecamatan yang paling endemis di kota Medan adalah Medan Denai, yang terdiri dari 6 kelurahan yaitu Kelurahan Binjai, Tegal Sari Mandala I, Tegal Sari Mandala II, Tegal Sari Mandala III, Denai, dan Medan Tenggara, yang pada Januari hingga Maret 2011 terjadi 87 kasus DBD (Dinkes Kota Medan, 2012).
(16)
Menurut data dari Puskesmas Desa Binjai Kota Medan (2012), tidak terdapat penderita DBD yang meninggal dunia, akan tetapi tercatat 111 kasus yang terjadi sepanjang tahun 2011 di Kelurahan Binjai tersebut. Pada bulan Januari hingga Maret 2011, telah terjadi 34 kasus DBD. Dengan perkataan lain, kasus DBD di Kelurahan Binjai mencakup lebih dari sepertiga kasus DBD di Kecamatan Medan Denai pada bulan Januari hingga Maret 2011.
Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara 2010 yang diambil dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2011), upaya pemberantasan DBD dititikberatkan pada penggerakan potensi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pemberantasan sarang nyamuk (PSN) melalui 3M Plus (menguras, menutup, mengubur) plus menabur larvasida, penyebaran ikan pada tempat penampungan air, penggerakan juru pemantau jentik (jumantik) serta pengenalan gejala DBD dan penanganannya di rumah tangga. Angka Bebas Jentik (ABJ) digunakan sebagai tolak ukur upaya pemberantasan vektor melalui PSN-3M dan menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat dalam mencegah DBD (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2011).
Oleh karena PSN dianggap sebagai cara paling efektif menangani DBD, dapat disimpulkan bahwa keberadaan tempat-tempat perindukan nyamuk dapat dijadikan indikator kejadian DBD. Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti
dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012.
(17)
1.2. Perumusan Masalah
Pada 21 kecamatan yang terdapat di kota Medan, terdapat enam kecamatan yang merupakan daerah endemis DBD, dan di antara keenam kecamatan tersebut Kecamatan Medan Denai adalah daerah yang paling endemis DBD. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah apakah ada hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012. 1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis-jenis tempat perindukan dan kepadatan populasi jentik nyamuk Aedes aegypti berdasarkan pengukuran House Index (HI) dan Container Index (CI) di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012.
2. Untuk mengetahui nilai dan kategori dari tindakan pelaksanaan 3M Plus dan distribusi kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012.
3. Untuk mengetahui hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012. 4. Untuk mengetahui hubungan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD
(18)
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
1. Sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan untuk menentukan kebijakan serta perencanaan kesehatan pada masyarakat untuk penanggulangan penyakit DBD.
2. Sebagai bahan masukan bagi masyarakat di Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012, khususnya di Lingkungan XVIII untuk dapat berpartisipasi dalam penanggulangan penyakit DBD.
3. Sebagai bahan masukan atau referensi bagi peneliti lain dalam melakukan pengembangan ilmu pengetahuan dan menyelesaikan penelitian selanjutnya.
(19)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti
2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Seogijanto (2006), kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L. (Soegijanto, 2006) 2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Gillot (2005), nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) disebut
black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Panjang badan nyamuk ini sekitar 3-4 mm dengan bintik hitam dan putih pada badan dan kepalanya, dan juga terdapat ring putih pada bagian kakinya. Di bagian dorsal dari toraks terdapat bentuk bercak yang khas berupa dua garis sejajar di bagian tengah dan dua garis lengkung di tepinya. Bentuk abdomen nyamuk betinanya lancip pada ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang dari cerci pada nyamuk-nyamuk lainnya. Ukuran tubuh nyamuk betinanya lebih besar dibandingkan nyamuk jantan (Gillot, 2005).
(20)
2.1.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Soegijanto (2006), masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk
Aedes aegypti dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna atau holometabola (Soegijanto, 2006).
1. Stadium Telur
Menurut Herms (2006), telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat pelampung. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-telurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di tempat-tempat penampungan air bersih dan sedikit di atas permukaan air. Nyamuk Aedes aegypti betina dapat menghasilkan hingga 100 telur apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari terendam air (Herms, 2006).
2. Stadium Larva (Jentik)
Menurut Herms (2006), larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas memiliki siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari (Herms, 2006).
(21)
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
1. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm 2. Instar II : 2,5-3,8 mm
3. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4. Instar IV : berukuran paling besar, yaitu 5 mm (Depkes RI, 2005) 3. Stadium Pupa
Menurut Achmadi (2011), pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk tubuh bengkok, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca ‘koma’. Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa, pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa (Achmadi, 2011). 4. Nyamuk dewasa
Menurut Achmadi (2011), nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode singkat di atas permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlahnya 1:1. Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian kawin dan
(22)
menghisap darah manusia. Umur nyamuk betinanya dapat mencapai 2-3 bulan (Achmadi, 2011).
2.1.4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
1. Tempat Perindukan atau Berkembang biak
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 yang dikutip oleh Supartha (2008), tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat penampungan air bersih di dalam atau di sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung, dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan akan terisi air. Nyamuk ini tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Supartha, 2008).
Menurut Soegijanto (2006), tempat perindukan utama tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya, (2) Tempat Penampungan Air (TPA) bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minuman hewan, ban bekas, kaleng bekas, vas bunga, perangkap semut, dan sebagainya, dan (3) Tempat Penampungan Air (TPA) alamiah yang terdiri dari lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, dan lain-lain (Soegijanto, 2006).
2. Perilaku Menghisap Darah
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena itu, setelah kawin nyamuk
(23)
betina memerlukan darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnya. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Nyamuk betina menghisap darah pada pagi dan sore hari dan biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 WIB. Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang. Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar dengan permukaan kulit manusia. Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti sekitar 100 meter (Depkes RI, 2004).
3. Perilaku Istirahat
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat beristirahat yang disenangi nyamuk ini adalah tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur, dan WC. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju yang digantung, kelambu, dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman yang ada di luar rumah (Depkes RI, 2004).
4. Penyebaran
Menurut Depkes RI (2005), nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia, nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m nyamuk ini tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian
(24)
tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memunginkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).
5. Variasi Musim
Menurut Depkes RI (2005), pada saat musim hujan tiba, tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, akan mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu, pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk ini. Oleh karena itu, pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti akan meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Depkes RI, 2005).
2.2. Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD 2.2.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di Indonesia. Sejak pertama sekali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit, dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 di mana dilaporkan dari 16 propinsi diperoleh IR = 35,19 per 100.000 penduduk dengan CFR 2,0%. Pada tahun 1999, IR menurun menjadi 10,17%. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat, yaitu 15,99% tahun 2000, 21,66% tahun 2001, 19,24% tahun 2002, dan 23,87% pada tahun 2003. Penyebab meningkatnya jumlah kasus dan
(25)
semakin bertambahnya wilayah terjangkit disebabkan oleh peningkatan sarana transportasi penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain sehingga mempermudah mobilisasi dalam waktu singkat, adanya pemukiman-pemukiman baru, adanya tempat-tempat penyimpanan air tradisional yang masih dipertahankan, perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang, vektor nyamuk yang terdapat di seluruh pelosok tanah air (kecuali di ketinggian >1000m dari permukaan air laut) dan adanya empat serotipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Depkes RI, 2004).
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2010), penyakit demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue adalah virus penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS), yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis), yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue. (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Menurut Soedarto (2009), virus penyebab demam berdarah dengue (DBD) yaitu virus dengue mempunyai ukuran virion virus 40 nm dan terbungkus oleh kapsid. Virus ini dapat berkembang biak pada berbagai macam kultur jaringan, misalnya sel mamalia dan sel artropoda seperti Aedes aegypti cell (Soedarto, 2009).
Menurut Sembel (2009), vektor utama penularan DBD adalah nyamuk Aedes aegypti, yang biasanya aktif pada pagi dan sore hari dan lebih suka menghisap darah manusia daripada darah hewan. Nyamuk ini berkembang biak dalam air bersih pada
(26)
tempat-tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah. Sampai saat ini penyebaran DBD masih terpusat di daerah tropis disebabkan oleh rata-rata suhu optimum pertumbuhan nyamuk adalah 25-270C. Namun, dengan adanya pemanasan global, DBD diperkirakan akan meluas sampai ke daerah-daerah beriklim dingin (Sembel, 2009).
2.2.2. Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), tanda-tanda dan gejala penyakit demam berdarah dengue (DBD) antara lain:
1. Demam
Penyakit DBD didahului terjadinya demam tinggi mendadak secara terus-menerus yang berlangsung selama 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun.
2. Manifestasi Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada semua organ tubuh dan umumnya terjadi pada 2-3 hari setelah demam. Bentuk-bentuk perdarahan yang terjadi dapat berupa:
- ptechiae (bintik-bintik darah pada permukaan kulit) - purpura
- ecchymosis (bintik-bintik darah di bawah kulit) - perdarahan konjungtiva
- perdarahan dari hidung (mimisan atau epistaksis) - perdarahan gusi
(27)
- hematenesis (muntah darah) - melena (buang air besar berdarah) - hematuria (buang air kecil berdarah) 3. Hepatomegaly atau Pembesaran Hati
Sifat pembesaran hati antara lain: - ditemukan pada permulaan penyakit
- nyeri saat ditekan dan pembesaran hati tidak sejajar beratnya penyakit
4. Shock atau Renjatan
Shock dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari ke- 3-7 setelah terjadinya demam. Shock terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma darah ke daerah ekstravaskuler melalui pembuluh kapiler yang rusak. Tanda-tanda terjadinya shock antara lain:
- kulit terasa dingin pada ujung hidung, jari, dan kaki - perasaan gelisah
- nadi cepat dan lemah
- tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang)
- tekanan darah menurun (tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang) (Depkes RI, 2005)
5. Komplikasi
Menurut Sembel (2009), penyakit DBD dapat mengakibatkan komplikasi pada kesehatan, komplikasi tersebut dapat berupa kerusakan atau perubahan struktur otak (encephalopathy), kerusakan hati bahkan kematian (Sembel, 2009).
(28)
2.2.3. Mekanisme Penularan DBD
Menurut Soedarto (2009), demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia endemis baik di daerah perkotaan (urban) maupun di daerah pedesaan (rural). Di daerah perkotaan vektor penular utamanya adalah nyamuk Aedes aegypti sedangkan di daerah pedesaan oleh nyamuk Aedes albopictus. Namun sering terjadi bahwa kedua spesies nyamuk tersebut terdapat bersama-sama pada satu daerah, misalnya di daerah yang bersifat semi-urban (Soedarto, 2009).
Menurut Yatim (2007), penularan virus dengue melalui gigitan nyamuk lebih banyak terjadi di tempat yang padat penduduknya seperti di perkotaan dan pedesaan di pinggir kota. Oleh karena itu, penyakit demam berdarah dengue (DBD) ini lebih bermasalah di daerah sekitar perkotaan (Yatim, 2007).
Menurut Achmadi (2008), kota-kota di Indonesia merupakan kota endemis DBD yang setiap tahunnya berkembang menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Di Indonesia terdapat dua vektor yang menularkan dengue, yaitu Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Akan tetapi, saat ini, Aedes aegypti adalah vektor yang mendapat perhatian terbesar terhadap penyebaran penyakit DBD karena distribusi dan hubungannya yang erat dengan manusia (Achmadi, 2008).
Menurut Soegijanto (2006), tahap-tahap replikasi dan penularan virus dengue
terdiri dari:
1. virus ditularkan ke manusia melalui saliva nyamuk 2. virus bereplikasi dalam organ target
3. virus menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik 4. virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah
(29)
5. virus yang ada dalam darah terhisap nyamuk yang lain
6. virus bereplikasi atau melipatgandakan diri dalam tubuh nyamuk, lalu menginfeksi kelenjar saliva
7. virus bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk Aedes aegypti untuk kemudian akan ditularkan kembali ke manusia (Soegijanto, 2006).
2.2.4. Pencegahan Penularan DBD
Menurut Soedarto (2009), pencegahan terhadap penularan DBD dapat dilakukan dengan pemberantasan larva dan nyamuk Aedes aegypti dewasa. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa merupakan cara terbaik mencegah penyebaran virus dengue. Selain itu, repellen dapat digunakan untuk mencegah gigitan nyamuk (Soedarto, 2009).
1. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), pemberantasan nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan atau pengabutan, yang sering disebut dengan istilah fogging) dengan menggunakan insektisida.
Insektisida yang dapat digunakan antara lain insektisida golongan: - organophospate, misalnya malathion
- pyretroid sintetic, misalnya lamda sihalotrin, cypermetrin, dan alfametrin - carbamat
Alat yang digunakan untuk menyemprot adalah mesin Fog atau mesin ULV. Untuk membatasi penularan virus dengue, penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi penularan virus dengue, akan tetapi tindakan ini harus diikuti
(30)
dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat ditekan serendah-rendahnya (Depkes RI, 2005).
2. Pemberantasan Larva atau Jentik
Menurut Depkes RI (2005), pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti
yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara:
a. Fisik
Pemberantasan jentik secara fisik dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu: 1. Menguras (dan menyikat) tempat penampungan air (TPA) seperti bak
mandi, bak WC, dan lain-lain seminggu sekali secara teratur untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk di tempat tersebut. Pengurasan tempat-tempat penampungan air (TPA) perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut.
2. Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, ember, dan lain-lain)
3. Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban, dan lain-lain) yang dapat menampung air hujan.
Selain itu, ditambah dengan cara lain seperti:
a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali
(31)
c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu dan pohon dengan tanah
d. Menaburkan bubuk larvasida di tempat-tempat penampungan air yang sulit dikuras atau dibersihkan dan di daerah yang sulit air
e. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak penampungan air f. Memasang kawat kasa
g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai i. Menggunakan kelambu
j. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
Keseluruhan cara tersebut di atas dikenal dengan istilah 3M Plus (Depkes RI, 2005).
b. Kimia
Menurut Widyastuti (2007), pengendalian jentik Aedes aegypti secara kimia adalah dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik. Insektisida pembasmi jentik ini dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida yang biasa digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (±1 sendok makan rata) temephos untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan (Widyastuti, 2007).
c. Biologi
Menurut Gandahusada (2008), pengendalian jentik secara biologi adalah dengan menggunakan ikan pemangsa sebagai musuh alami bagi jentik.
(32)
Beberapa jenis ikan sebagai pemangsa untuk pengendalian jentik Aedes aegypti adalah Gambusia affinis (ikan gabus), Poecilia reticulata (ikan guppy), Aplocheilus panchax (ikan kepala timah), Oreochromis mossambicus
(ikan mujair), dan Oreochromis niloticus (ikan nila). Penggunaan ikan pemakan larva ini umumnya digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk
Aedes aegypti pada kumpulan air yang banyak seperti kolam atau di kontainer air yang besar. Sedangkan untuk kontainer air yang lebih kecil dapat menggunakan Bacillus thuringlensis var. Israeliensis sebagai pemakan jentik (Gandahusada, 2008).
2.3. Ukuran Kepadatan Populasi Nyamuk Penular
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei di beberapa rumah, seperti:
2.3.1. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah yang sama. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.
Indeks nyamuk yang digunakan: 1. Biting/Landing Rate:
�����ℎ�������������������������������������� �����ℎ�����������������ℎ��������������
(33)
2. Resting per rumah:
�����ℎ�������������������������������������������������ℎ������ �����ℎ����ℎ������������������������
2.3.2. Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik)
Menurut Depkes RI (2005), untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai berikut:
a. semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
b. untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya, jika pandangan atau penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½-1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
c. untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.
d. untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh biasanya digunakan senter.
Metode survei jentik antara lain:
a. Single larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.
(34)
b. Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran kepadatan populasi jentik dapat ditentukan dengan mengukur: 1. Angka Bebas Jentik (ABJ)
�����ℎ����ℎ��������������������������������
�����ℎ����ℎ��������������������� × 100% 2. House Index (HI)
�����ℎ����ℎ���������������������������
�����ℎ����ℎ��������������������� × 100% 3. Container Index (CI)
�����ℎ���������������������
�����ℎ����������������������× 100% 4. Breteu Index (BI)
�����ℎ���������������������
�����ℎ����ℎ������������� × 100% 2.3.3. Survei Perangkap Telur
Menurut Depkes RI (2005), survei perangkap telur dilakukan dengan cara memasang ovitrap yaitu berupa bejana, seperti potongan bambu, kaleng, atau gelas plastik, yang bagian dalam dindingnya dicat warna hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana tersebut dimasukkan padel berupa potongan bambu yang berwarna gelap sebagai tempat untuk meletakkan telur bagi nyamuk. Kemudian ovitrap diletakkan di tempat gelap di dalam dan luar rumah. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada tidaknya telur nyamuk di padel.
(35)
Perhitungan ovitrap index adalah:
�����ℎ����������������
�����ℎ�������������� � 100%
Untuk mengetahui gambaran kepadatan populasi nyamuk penular secara lebih tepat, telur-telur pada padel tersebut dikumpulkan dan dihitung jumlahnya.
Kepadatan populasi nyamuk berdasarkan jumlah telur pada padel: �����ℎ�����
(36)
2.4. Kerangka Konsep
2.5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012.
Tempat-tempat Penampungan
Air
Survei Jentik
Kasus DBD +
Kasus DBD - Pelaksanaan
(37)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti
2.1.1. Klasifikasi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Seogijanto (2006), kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Culicidae Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L. (Soegijanto, 2006) 2.1.2. Morfologi Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Gillot (2005), nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) disebut
black-white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Panjang badan nyamuk ini sekitar 3-4 mm dengan bintik hitam dan putih pada badan dan kepalanya, dan juga terdapat ring putih pada bagian kakinya. Di bagian dorsal dari toraks terdapat bentuk bercak yang khas berupa dua garis sejajar di bagian tengah dan dua garis lengkung di tepinya. Bentuk abdomen nyamuk betinanya lancip pada ujungnya dan memiliki cerci yang lebih panjang dari cerci pada nyamuk-nyamuk lainnya. Ukuran tubuh nyamuk betinanya lebih besar dibandingkan nyamuk jantan (Gillot, 2005).
(38)
2.1.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Soegijanto (2006), masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk
Aedes aegypti dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk dewasa, sehingga termasuk metamorfosis sempurna atau holometabola (Soegijanto, 2006).
1. Stadium Telur
Menurut Herms (2006), telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5-0,8 mm, dan tidak memiliki alat pelampung. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-telurnya satu per satu pada permukaan air, biasanya pada tepi air di tempat-tempat penampungan air bersih dan sedikit di atas permukaan air. Nyamuk Aedes aegypti betina dapat menghasilkan hingga 100 telur apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari terendam air (Herms, 2006).
2. Stadium Larva (Jentik)
Menurut Herms (2006), larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas memiliki siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya langsing, bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju ke permukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama 6-8 hari (Herms, 2006).
(39)
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), ada empat tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
1. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm 2. Instar II : 2,5-3,8 mm
3. Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4. Instar IV : berukuran paling besar, yaitu 5 mm (Depkes RI, 2005) 3. Stadium Pupa
Menurut Achmadi (2011), pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk tubuh bengkok, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca ‘koma’. Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari. Saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa, pupa akan naik ke permukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk persiapan munculnya nyamuk dewasa (Achmadi, 2011). 4. Nyamuk dewasa
Menurut Achmadi (2011), nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat untuk periode singkat di atas permukaan air agar sayap-sayap dan badan mereka kering dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan dan betina muncul dengan perbandingan jumlahnya 1:1. Nyamuk jantan muncul satu hari sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian. Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan untuk mengisi tenaga, kemudian kawin dan
(40)
menghisap darah manusia. Umur nyamuk betinanya dapat mencapai 2-3 bulan (Achmadi, 2011).
2.1.4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
1. Tempat Perindukan atau Berkembang biak
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005 yang dikutip oleh Supartha (2008), tempat perkembangbiakan utama nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat penampungan air bersih di dalam atau di sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung, dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan akan terisi air. Nyamuk ini tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan tanah (Supartha, 2008).
Menurut Soegijanto (2006), tempat perindukan utama tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya, (2) Tempat Penampungan Air (TPA) bukan untuk keperluan sehari-hari seperti tempat minuman hewan, ban bekas, kaleng bekas, vas bunga, perangkap semut, dan sebagainya, dan (3) Tempat Penampungan Air (TPA) alamiah yang terdiri dari lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, dan lain-lain (Soegijanto, 2006).
2. Perilaku Menghisap Darah
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), nyamuk betina membutuhkan protein untuk memproduksi telurnya. Oleh karena itu, setelah kawin nyamuk
(41)
betina memerlukan darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnya. Nyamuk betina menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Nyamuk betina menghisap darah pada pagi dan sore hari dan biasanya pada jam 09.00-10.00 dan 16.00-17.00 WIB. Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari satu orang. Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar dengan permukaan kulit manusia. Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti sekitar 100 meter (Depkes RI, 2004).
3. Perilaku Istirahat
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), setelah selesai menghisap darah, nyamuk betina akan beristirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah daripada di luar rumah. Tempat beristirahat yang disenangi nyamuk ini adalah tempat-tempat yang lembab dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur, dan WC. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat di baju-baju yang digantung, kelambu, dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman yang ada di luar rumah (Depkes RI, 2004).
4. Penyebaran
Menurut Depkes RI (2005), nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia, nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas ketinggian 1.000 m nyamuk ini tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian
(42)
tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memunginkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).
5. Variasi Musim
Menurut Depkes RI (2005), pada saat musim hujan tiba, tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, akan mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu, pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk ini. Oleh karena itu, pada musim hujan populasi nyamuk Aedes aegypti akan meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Depkes RI, 2005).
2.2. Nyamuk Aedes aegypti Sebagai Vektor DBD 2.2.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di Indonesia. Sejak pertama sekali ditemukan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit, dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 di mana dilaporkan dari 16 propinsi diperoleh IR = 35,19 per 100.000 penduduk dengan CFR 2,0%. Pada tahun 1999, IR menurun menjadi 10,17%. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat, yaitu 15,99% tahun 2000, 21,66% tahun 2001, 19,24% tahun 2002, dan 23,87% pada tahun 2003. Penyebab meningkatnya jumlah kasus dan
(43)
semakin bertambahnya wilayah terjangkit disebabkan oleh peningkatan sarana transportasi penduduk dari satu wilayah ke wilayah lain sehingga mempermudah mobilisasi dalam waktu singkat, adanya pemukiman-pemukiman baru, adanya tempat-tempat penyimpanan air tradisional yang masih dipertahankan, perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk yang masih kurang, vektor nyamuk yang terdapat di seluruh pelosok tanah air (kecuali di ketinggian >1000m dari permukaan air laut) dan adanya empat serotipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun (Depkes RI, 2004).
Menurut Kementrian Kesehatan RI (2010), penyakit demam berdarah dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue. Virus dengue adalah virus penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS), yang termasuk dalam kelompok B Arthropod Virus (Arbovirosis), yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu: Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang terinfeksi virus dengue. (Kementrian Kesehatan RI, 2010).
Menurut Soedarto (2009), virus penyebab demam berdarah dengue (DBD) yaitu virus dengue mempunyai ukuran virion virus 40 nm dan terbungkus oleh kapsid. Virus ini dapat berkembang biak pada berbagai macam kultur jaringan, misalnya sel mamalia dan sel artropoda seperti Aedes aegypti cell (Soedarto, 2009).
Menurut Sembel (2009), vektor utama penularan DBD adalah nyamuk Aedes aegypti, yang biasanya aktif pada pagi dan sore hari dan lebih suka menghisap darah manusia daripada darah hewan. Nyamuk ini berkembang biak dalam air bersih pada
(44)
tempat-tempat penampungan air yang tidak beralaskan tanah. Sampai saat ini penyebaran DBD masih terpusat di daerah tropis disebabkan oleh rata-rata suhu optimum pertumbuhan nyamuk adalah 25-270C. Namun, dengan adanya pemanasan global, DBD diperkirakan akan meluas sampai ke daerah-daerah beriklim dingin (Sembel, 2009).
2.2.2. Gambaran Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), tanda-tanda dan gejala penyakit demam berdarah dengue (DBD) antara lain:
1. Demam
Penyakit DBD didahului terjadinya demam tinggi mendadak secara terus-menerus yang berlangsung selama 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 panas mendadak turun.
2. Manifestasi Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada semua organ tubuh dan umumnya terjadi pada 2-3 hari setelah demam. Bentuk-bentuk perdarahan yang terjadi dapat berupa:
- ptechiae (bintik-bintik darah pada permukaan kulit) - purpura
- ecchymosis (bintik-bintik darah di bawah kulit) - perdarahan konjungtiva
- perdarahan dari hidung (mimisan atau epistaksis) - perdarahan gusi
(45)
- hematenesis (muntah darah) - melena (buang air besar berdarah) - hematuria (buang air kecil berdarah) 3. Hepatomegaly atau Pembesaran Hati
Sifat pembesaran hati antara lain: - ditemukan pada permulaan penyakit
- nyeri saat ditekan dan pembesaran hati tidak sejajar beratnya penyakit
4. Shock atau Renjatan
Shock dapat terjadi pada saat demam tinggi yaitu antara hari ke- 3-7 setelah terjadinya demam. Shock terjadi karena perdarahan atau kebocoran plasma darah ke daerah ekstravaskuler melalui pembuluh kapiler yang rusak. Tanda-tanda terjadinya shock antara lain:
- kulit terasa dingin pada ujung hidung, jari, dan kaki - perasaan gelisah
- nadi cepat dan lemah
- tekanan nadi menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang)
- tekanan darah menurun (tekanan sistolik menjadi 80 mmHg atau kurang) (Depkes RI, 2005)
5. Komplikasi
Menurut Sembel (2009), penyakit DBD dapat mengakibatkan komplikasi pada kesehatan, komplikasi tersebut dapat berupa kerusakan atau perubahan struktur otak (encephalopathy), kerusakan hati bahkan kematian (Sembel, 2009).
(46)
2.2.3. Mekanisme Penularan DBD
Menurut Soedarto (2009), demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia endemis baik di daerah perkotaan (urban) maupun di daerah pedesaan (rural). Di daerah perkotaan vektor penular utamanya adalah nyamuk Aedes aegypti sedangkan di daerah pedesaan oleh nyamuk Aedes albopictus. Namun sering terjadi bahwa kedua spesies nyamuk tersebut terdapat bersama-sama pada satu daerah, misalnya di daerah yang bersifat semi-urban (Soedarto, 2009).
Menurut Yatim (2007), penularan virus dengue melalui gigitan nyamuk lebih banyak terjadi di tempat yang padat penduduknya seperti di perkotaan dan pedesaan di pinggir kota. Oleh karena itu, penyakit demam berdarah dengue (DBD) ini lebih bermasalah di daerah sekitar perkotaan (Yatim, 2007).
Menurut Achmadi (2008), kota-kota di Indonesia merupakan kota endemis DBD yang setiap tahunnya berkembang menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB). Di Indonesia terdapat dua vektor yang menularkan dengue, yaitu Aedes aegypti dan
Aedes albopictus. Akan tetapi, saat ini, Aedes aegypti adalah vektor yang mendapat perhatian terbesar terhadap penyebaran penyakit DBD karena distribusi dan hubungannya yang erat dengan manusia (Achmadi, 2008).
Menurut Soegijanto (2006), tahap-tahap replikasi dan penularan virus dengue
terdiri dari:
1. virus ditularkan ke manusia melalui saliva nyamuk 2. virus bereplikasi dalam organ target
3. virus menginfeksi sel darah putih dan jaringan limfatik 4. virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah
(47)
5. virus yang ada dalam darah terhisap nyamuk yang lain
6. virus bereplikasi atau melipatgandakan diri dalam tubuh nyamuk, lalu menginfeksi kelenjar saliva
7. virus bereplikasi dalam kelenjar saliva nyamuk Aedes aegypti untuk kemudian akan ditularkan kembali ke manusia (Soegijanto, 2006).
2.2.4. Pencegahan Penularan DBD
Menurut Soedarto (2009), pencegahan terhadap penularan DBD dapat dilakukan dengan pemberantasan larva dan nyamuk Aedes aegypti dewasa. Pemberantasan nyamuk Aedes aegypti dewasa merupakan cara terbaik mencegah penyebaran virus dengue. Selain itu, repellen dapat digunakan untuk mencegah gigitan nyamuk (Soedarto, 2009).
1. Pemberantasan Nyamuk Dewasa
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), pemberantasan nyamuk dewasa dapat dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan atau pengabutan, yang sering disebut dengan istilah fogging) dengan menggunakan insektisida.
Insektisida yang dapat digunakan antara lain insektisida golongan: - organophospate, misalnya malathion
- pyretroid sintetic, misalnya lamda sihalotrin, cypermetrin, dan alfametrin - carbamat
Alat yang digunakan untuk menyemprot adalah mesin Fog atau mesin ULV. Untuk membatasi penularan virus dengue, penyemprotan dilakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi penularan virus dengue, akan tetapi tindakan ini harus diikuti
(48)
dengan pemberantasan terhadap jentiknya agar populasi nyamuk penular dapat ditekan serendah-rendahnya (Depkes RI, 2005).
2. Pemberantasan Larva atau Jentik
Menurut Depkes RI (2005), pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti
yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara:
a. Fisik
Pemberantasan jentik secara fisik dikenal dengan kegiatan 3M, yaitu: 1. Menguras (dan menyikat) tempat penampungan air (TPA) seperti bak
mandi, bak WC, dan lain-lain seminggu sekali secara teratur untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk di tempat tersebut. Pengurasan tempat-tempat penampungan air (TPA) perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut.
2. Menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum, ember, dan lain-lain)
3. Mengubur, menyingkirkan atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban, dan lain-lain) yang dapat menampung air hujan.
Selain itu, ditambah dengan cara lain seperti:
a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali
(49)
c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu dan pohon dengan tanah
d. Menaburkan bubuk larvasida di tempat-tempat penampungan air yang sulit dikuras atau dibersihkan dan di daerah yang sulit air
e. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam atau bak penampungan air f. Memasang kawat kasa
g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai i. Menggunakan kelambu
j. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
Keseluruhan cara tersebut di atas dikenal dengan istilah 3M Plus (Depkes RI, 2005).
b. Kimia
Menurut Widyastuti (2007), pengendalian jentik Aedes aegypti secara kimia adalah dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik. Insektisida pembasmi jentik ini dikenal dengan istilah larvasida. Larvasida yang biasa digunakan adalah temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan adalah 1 ppm atau 10 gram (±1 sendok makan rata) temephos untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan (Widyastuti, 2007).
c. Biologi
Menurut Gandahusada (2008), pengendalian jentik secara biologi adalah dengan menggunakan ikan pemangsa sebagai musuh alami bagi jentik.
(50)
Beberapa jenis ikan sebagai pemangsa untuk pengendalian jentik Aedes aegypti adalah Gambusia affinis (ikan gabus), Poecilia reticulata (ikan guppy), Aplocheilus panchax (ikan kepala timah), Oreochromis mossambicus
(ikan mujair), dan Oreochromis niloticus (ikan nila). Penggunaan ikan pemakan larva ini umumnya digunakan untuk mengendalikan larva nyamuk
Aedes aegypti pada kumpulan air yang banyak seperti kolam atau di kontainer air yang besar. Sedangkan untuk kontainer air yang lebih kecil dapat menggunakan Bacillus thuringlensis var. Israeliensis sebagai pemakan jentik (Gandahusada, 2008).
2.3. Ukuran Kepadatan Populasi Nyamuk Penular
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei di beberapa rumah, seperti:
2.3.1. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam dan di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dalam rumah yang sama. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan menggunakan aspirator.
Indeks nyamuk yang digunakan: 1. Biting/Landing Rate:
�����ℎ�������������������������������������� �����ℎ�����������������ℎ��������������
(51)
2. Resting per rumah:
�����ℎ�������������������������������������������������ℎ������ �����ℎ����ℎ������������������������
2.3.2. Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik)
Menurut Depkes RI (2005), untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai berikut:
a. semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk
Aedes aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
b. untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak mandi, tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya, jika pandangan atau penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½-1 menit untuk memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
c. untuk memeriksa tempat-tempat perkembangbiakan yang kecil, seperti vas bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu dipindahkan ke tempat lain.
d. untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh biasanya digunakan senter.
Metode survei jentik antara lain:
a. Single larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap genangan air yang ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.
(52)
b. Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran kepadatan populasi jentik dapat ditentukan dengan mengukur: 1. Angka Bebas Jentik (ABJ)
�����ℎ����ℎ��������������������������������
�����ℎ����ℎ��������������������� × 100% 2. House Index (HI)
�����ℎ����ℎ���������������������������
�����ℎ����ℎ��������������������� × 100% 3. Container Index (CI)
�����ℎ���������������������
�����ℎ����������������������× 100% 4. Breteu Index (BI)
�����ℎ���������������������
�����ℎ����ℎ������������� × 100% 2.3.3. Survei Perangkap Telur
Menurut Depkes RI (2005), survei perangkap telur dilakukan dengan cara memasang ovitrap yaitu berupa bejana, seperti potongan bambu, kaleng, atau gelas plastik, yang bagian dalam dindingnya dicat warna hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana tersebut dimasukkan padel berupa potongan bambu yang berwarna gelap sebagai tempat untuk meletakkan telur bagi nyamuk. Kemudian ovitrap diletakkan di tempat gelap di dalam dan luar rumah. Setelah 1 minggu dilakukan pemeriksaan ada tidaknya telur nyamuk di padel.
(53)
Perhitungan ovitrap index adalah:
�����ℎ����������������
�����ℎ�������������� � 100%
Untuk mengetahui gambaran kepadatan populasi nyamuk penular secara lebih tepat, telur-telur pada padel tersebut dikumpulkan dan dihitung jumlahnya.
Kepadatan populasi nyamuk berdasarkan jumlah telur pada padel: �����ℎ�����
(54)
2.4. Kerangka Konsep
2.5. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012.
Tempat-tempat Penampungan
Air
Survei Jentik
Kasus DBD +
Kasus DBD - Pelaksanaan
(55)
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan menggunakan rancangan penelitian cross sectional, yang bertujuan untuk mengetahui hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan pada tahun 2012.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah pemukiman penduduk yang berada di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan, di mana lingkungan XVIII ini terletak di Jalan Pelajar Medan.
Alasan pemilihan lokasi antara lain:
1. Kejadian penyakit DBD hampir selalu terjadi setiap bulannya terutama di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai berdasarkan data Puskesmas Desa Binjai Kota Medan sejak Januari 2011 hingga Mei 2012.
2. Belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya untuk mengetahui hubungan jumlah tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dengan kejadian penyakit DBD di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai tersebut.
3.2.2. Waktu Penelitian
(56)
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu rumah tangga yang berasal dari 1.150 rumah tangga yang berada di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian ibu rumah tangga yang berada di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012, yang diambil dengan menggunakan rumus (Sastroasmoro, 2011).
n = ������.��+�����.��� 2 (�� − ��)2
Di mana:
n = Besar Sampel
po = Proporsi Faktor Risiko Mengakibatkan Efek = 0,701 pa = Proporsi Yang Diharapkan = 0,551
po-pa = Selisih proporsi faktor risiko yang dianggap bermakna, ditetapkan 15% (0,15)
α = 0,05 atau interval kepercayaan 95%, maka Z1-α/2 = 1,96
β = kekuatan, dalam penelitian ini kekuatan 80%, maka Z1-β = 0,842
Berdasarkan data pada survei pendahuluan diketahui bahwa jumlah rumah tangga yang ada di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan tahun 2012 sebanyak 1.150 rumah tangga, maka besar sampel yang diteliti adalah:
(57)
n =������.��+�����.��� 2 (�� − ��)2
= �1,96√0,701�0,299 +0,842√0,551�0,449�
2
0,152
=
(1,96�0,4+0,842�0,5)20,0225
=(0,784 + 0,421) 2 0,0225 = 1,263
0,0225 = 71≈100
Maka jumlah sampel minimal dalam penelitian ini adalah 100 ibu rumah tangga. Dalam penelitian ini, sampel diambil secara purposive sampling, yang didasarkan pada pertimbangan yang dibuat oleh peneliti dengan kriteria responden harus mempunyai tempat penampungan air dan jarak rumah responden satu ke responden lainnya adalah 100 meter.
3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer
Data primer diperoleh dari kuesioner penelitian dan hasil survei jentik pada tempat-tempat penampungan air di pemukiman penduduk di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan.
(58)
Data sekunder diperoleh dari Kantor Kelurahan Binjai berupa data demografi dan dari Puskesmas Desa Binjai Kota Medan berupa profil kesehatan.
3.5. Definisi Operasional
1. Tempat Penampungan Air (TPA) adalah tempat-tempat penampungan air bersih dan tidak beralaskan tanah yang terdiri dari TPA untuk keperluan sehari-hari (bak mandi, bak WC, dan lain-lain), TPA bukan untuk keperluan sehari-hari (vas bunga, tempat minuman hewan, dan lain-lain), dan TPA alamiah (lubang pohon, batang bambu, dan lain-lain), yang berpotensi menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti.
2. Survei jentik adalah pemeriksaan jentik dengan metode visual yang dilakukan untuk mengetahui keberadaan dan kepadatan populasi jentik Aedes aegypti di tempat-tempat penampungan air di kediaman responden.
3. Pelaksanaan 3M Plus adalah upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara menguras TPA, menutup TPA, dan mengubur barang bekas, plus mengganti air tempat minum burung seminggu sekali, memperbaiki talang air yang rusak, menutup lubang pohon dengan tanah, menaburkan larvasida, memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa, tidak menggantung pakaian dalam rumah, menggunakan kelambu dan obat pengusir nyamuk.
4. Kasus DBD Positif (+) artinya penyakit DBD yang pernah diderita responden atau anggota keluarga responden yang diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan responden.
(59)
5. Kasus DBD Negatif (-) artinya penyakit DBD tidak pernah diderita responden atau anggota keluarga responden yang diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan responden.
3.6. Aspek Pengukuran
Aspek pengukuran keberadaan jentik yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. House Index (HI)
�����ℎ����ℎ���������������������������
�����ℎ����ℎ��������������������� × 100% b. Container Index (CI)
�����ℎ���������������������
�����ℎ����������������������× 100%
c. Skala pengukuran tindakan pelaksanaan 3M Plus yang digunakan adalah skala Likert (Sugiyono, 2002). Pengukuran didasarkan pada pertanyaan dari kuesioner. Jumlah pertanyaan sebanyak 13 dengan total skor 26 dan kriteria sebagai berikut:
k. Jawaban ya (a) = 2 l. Jawaban tidak (b) = 0
Berdasarkan jumlah nilai maka dikategorikan sebagai berikut: 1. Baik, apabila skor diperoleh ≥ 75% = ≥ 20
(60)
3.7. Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk mengetahui jumlah dari tempat-tempat penampungan air yang ada dan tidak ditemukan jentik setelah dilakukan survei jentik dan nilai dari tindakan pelaksanaan 3M Plus di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Kota Medan.
3.7.2. Analisis Bivariat
Data yang terkumpul akan diubah dengan sistem komputerisasi, di mana data yang telah dimasukkan akan diinterpretasikan lebih lanjut dengan menggunakan analisis bivariat. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti dan pelaksanaan 3M Plus dengan kejadian penyakit DBD. Adapun statistik uji yang digunakan adalah uji Exact Fisher karena pada hasil penelitian terdapat data yang bernilai nol (0) sehingga tidak dapat menggunakan uji Chi Square (Murti, 2003).
(61)
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Lokasi Penelitian
Kelurahan Binjai berada di Kecamatan Medan Denai Kota Medan, dengan batas wilayah sebagai berikut:
- Utara : Berbatasan dengan Kelurahan Tegal Sari Mandala III dan Kelurahan Tanjung Sari III
- Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Siti Rejo III
- Barat : Berbatasan dengan Kelurahan Tanjung Sari II/ Pasar Merah - Timur : Berbatasan dengan Kelurahan Denai dan Kelurahan Menteng Luas Kelurahan Binjai adalah 415,5 Ha, yang terdiri dari 20 lingkungan.
Jumlah penduduk di kelurahan ini adalah 45.510 jiwa dan 10.792 KK, dengan rincian jumlah KK di setiap lingkungan sebagai berikut:
1. Lingkungan I sebanyak 586 KK 2. Lingkungan II sebanyak 495 KK 3. Lingkungan III sebanyak 352 KK 4. Lingkungan IV sebanyak 278 KK 5. Lingkungan V sebanyak 463 KK 6. Lingkungan VI sebanyak 478 KK 7. Lingkungan VII sebanyak 345 KK 8. Lingkungan VIII sebanyak 436 KK 9. Lingkungan IX sebanyak 237 KK 10. Lingkungan X sebanyak 379 KK
(62)
11. Lingkungan XI sebanyak 483 KK 12. Lingkungan XII sebanyak 897 KK 13. Lingkungan XIII sebanyak 560 KK 14. Lingkungan XIV sebanyak 619 KK 15. Lingkungan XV sebanyak 471 KK 16. Lingkungan XVI sebanyak 401 KK 17. Lingkungan XVII sebanyak 908 KK 18. Lingkungan XVIII sebanyak 1.150 KK 19. Lingkungan XIX sebanyak 531 KK 20. Lingkungan XX sebanyak 723 KK
Lingkungan XVIII merupakan lingkungan yang paling padat penduduknya yaitu sebanyak 1.150 KK.
4.2. Karakteristik Responden
Distribusi karakteristik 100 responden di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden di Lingkungan XVIII Kelurahan Binjai Tahun 2012
No. Karakteristik Responden Jumlah %
1. Umur (Mean ± SD), tahun 48 ± 10 -
2. Pekerjaan
a. Buruh - -
b. Pedagang c. Pegawai Swasta d. PNS
e. Ibu Rumah Tangga Jumlah 1 8 7 84 100 1 8 7 84 100 3. Pendapatan
(63)
4. 5.
6.
b. ≥Rp 1.200.000,00 Jumlah
Jumlah anggota keluarga a. ≤ 4
b. > 4 Jumlah
Pendidikan terakhir a. Tidak tamat b. SD
c. SMP d. SMA
e. Akademi/PT Jumlah 82 100 8 92 100 1 19 28 38 14 100 82 100 8 92 100 1 19 28 38 14 100 Pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata umur responden berkisar antara 38 hingga 58 tahun. Mayoritas pekerjaan yang dilakukan responden adalah ibu rumah tangga sebanyak 84 orang (84%). Pendapatan per bulan ≥Rp 1.200.000,00 sebanyak 82 orang (82%). Sebahagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga > 4 orang sebanyak 92 orang (92%) dan mayoritas pendidikan terakhirnya adalah SMA sebanyak 38 orang (38%).
4.3. Hasil Survei Jentik, Nilai House Index (HI) dan Container Index (CI) Kegiatan yang pertama kali dilakukan adalah melakukan survei jentik untuk melihat keberadaan jentik dan mengetahui nilai House Index (HI) dan Container Index (CI) di lokasi penelitian. Survei dilakukan dengan melihat seluruh kontainer yang terdapat di dalam maupun di luar rumah, kemudian diperiksa ada tidaknya jentik nyamuk di dalam kontainer tersebut.
Hasil pengamatan kontainer dari 100 rumah responden yang diperiksa dapat dilihat pada tabel 4.2 berikut:
(64)
Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Keberadaan Jentik di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012
No. Keberadaan Jentik Jumlah %
1. 2. Ada Tidak Ada Jumlah 5 95 100 5 95 100
Berdasarkan tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa dari 100 rumah responden yang diperiksa, terdapat 5 rumah (5%) yang setelah kontainernya diperiksa ditemukan jentik nyamuk dan terdapat 95 rumah (95%) yang tidak ditemukan jentik nyamuk. Dengan demikian, maka didapat nilai House Index (HI) adalah 5%.
Untuk distribusi jenis-jenis tempat penampungan air berdasarkan keberadaan jentik sehingga diperoleh nilai Container Index (CI), dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 4.3. Distribusi Jenis-jenis Tempat Penampungan Air Berdasarkan Keberadaan Jentik di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012
No. Jenis-jenis Tempat Penampungan Air
(TPA)
Ada Jentik % Tidak
Ada Jentik % 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Bak mandi Ember Dispenser Botol bekas Kulkas Toples bekas Ban bekas Akuarium bekas Jumlah 4 1 - - - 1 1 - 7 2,5 0,5 - - - 0,5 0,5 - 4 88 70 15 5 4 4 1 1 188 46 36 7 2 2 2 0,5 0,5 96
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, dapat diketahui bahwa jenis TPA terbanyak yang ada jentik Aedes aegypti adalah bak mandi dengan jumlah 4, kemudian ember
(65)
berjumlah 1, toples bekas berjumlah 1 dan ban bekas berjumlah 1, dengan total keseluruhan adalah 7. Sedangkan untuk TPA terbanyak yang tidak ada jentik juga adalah bak mandi berjumlah 88, dengan total keseluruhan adalah 188.Dengan kata lain, maka didapat nilai Container Index (CI) adalah 4%.
4.4. Hasil Penilaian Pelaksanaan 3M Plus
Setelah dilakukan wawancara dengan menggunakan kuesioner, maka dapat diketahui distribusi responden yang melaksanakan 3M Plus yang dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut:
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pelaksanaan 3M Plus di Kelurahan Binjai Kecamatan Medan Denai Tahun 2012
No. Tindakan Responden Jumlah %
1. Apakah saudara menguras tempat penampungan air seminggu sekali?
a. Ya 79 79
b. Tidak 21 21
Jumlah 100 100
2. Apakah saudara menutup tempat penampungan air?
a. Ya 80 80
b. Tidak 20 20
Jumlah 100 100
3. Apakah saudara mengubur barang-barang bekas (seperti ban, kaleng, atau drum bekas)?
a. Ya 87 87
b. Tidak 13 13
Jumlah 100 100
4. Apakah saudara mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali?
a. Ya 72 72
b. Tidak 28 28
Jumlah 100 100
5. Apakah saudara memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar atau rusak?
a. Ya 91 91
b. Tidak 9 9
(66)
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Apakah saudara menutup lubang-lubang pada potongan bambu dan pohon dengan tanah?
a. Ya b. Tidak
Jumlah
Apakah saudara pernah menaburkan bubuk larvasida di tempat-tempat penampungan air?
a. Ya b. Tidak
Jumlah
Apakah saudara memelihara ikan pemakan jentik di kolam?
a. Ya b. Tidak
Jumlah
Apakah saudara memasang kawat kasa untuk menghindari masuknya nyamuk?
a. Ya b. Tidak
Jumlah
Apakah saudara jarang menggantung pakaian dalam kamar?
a. Ya b. Tidak
Jumlah
Apakah saudara memiliki pencahayaan dan ventilasi ruangan yang cukup?
a. Ya b. Tidak
Jumlah
Apakah saudara menggunakan kelambu saat tidur? a. Ya
b. Tidak Jumlah
Apakah saudara memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk (anti nyamuk bakar, anti nyamuk elektrik, lotion anti nyamuk)?
a. Ya b. Tidak
Jumlah 58 42 100 52 48 100 0 100 100 54 46 100 76 24 100 93 7 100 68 32 100 100 0 100 58 42 100 52 48 100 0 100 100 54 46 100 76 24 100 93 7 100 68 32 100 100 0 100
(1)
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Ada Tidaknya Jentik * Kasus DBD +/-
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
Ada Tidaknya Jentik * Kasus DBD +/- Crosstabulation
Count
Kasus DBD +/-
Total Ada Penderita
DBD
Tidak Ada Penderita DBD
Ada Tidaknya Jentik Ada Jentik 2 3 5
Tidak Ada Jentik 0 95 95
Total 2 98 100
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig.
(1-sided) Point Probabili
Pearson Chi-Square 38.776a 1 .000 .002 .002
Continuity Correctionb 21.053 1 .000
Likelihood Ratio 12.878 1 .000 .002 .002
Fisher's Exact Test .002 .002
Linear-by-Linear Association 38.388c 1 .000 .002 .002 .002
N of Valid Cases 100
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .10. b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is 6.196.
(2)
Explore
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Total Pelaksanaan 3M Plus 100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
Descriptives
Statistic Std. Error
Total Pelaksanaan 3M Plus Mean 1.32 .047
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound 1.23
Upper Bound 1.41
5% Trimmed Mean 1.30
Median 1.00
Variance .220
Std. Deviation .469
Minimum 1
Maximum 2
Range 1
Interquartile Range 1
Skewness .784 .241
Kurtosis -1.415 .478
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
(3)
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kategori 3M Plus * Kasus DBD +/-
100 100.0% 0 .0% 100 100.0%
Kategori 3M Plus * Kasus DBD +/- Crosstabulation
Count
Kasus DBD +/-
Total Ada Penderita
DBD
Tidak Ada Penderita DBD
Kategori 3M Plus Baik 0 78 78
kurang baik 2 20 22
Total 2 98 100
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 7.236a 1 .007
Continuity Correctionb 3.341 1 .068
Likelihood Ratio 6.204 1 .013
Fisher's Exact Test .047 .047
Linear-by-Linear Association 7.163 1 .007
N of Valid Cases 100
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .44. b. Computed only for a 2x2 table
(4)
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1. Bak mandi salah seorang responden yang ditemukan jentik
Gambar 2. Jumantik sedang memeriksa bak mandi responden menggunakan senter
dan ternyata ditemukan jentik
(5)
Gambar 3. Jumantik sedang menaburkan abate pada ban bekas di pekarangan rumah
responden yang ada jentiknya.
Gambar 4. Ban bekas dan ember bekas di pekarangan rumah responden yang tidak
ditemukan jentik.
(6)