Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah, Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat Tahun 2014

(1)

Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah Kelurahan Kebon

Kacang, Jakarta Pusat Tahun 2014

SKRIPSI

DISUSUN OLEH : ILHAM EKA PRADITYA

1110101000015

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah saru persyaratan memperoleh gelar strata

I di Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Semua sumber yang saya gunakan dalarn penelitian

ini

telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jika d-ikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Juli 2014

1.

2.

3.


(3)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 3 Juli 2014

Ilham Eka Praditya, NIM : 1110101000015

Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah, Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat Tahun 2014

(xvii + 118 + Lampiran + 3 Gambar + 11 Tabel ) ABSTRAK

Kelurahan Kebon Kacang merupakan salah satu wilayah di Jakarta Pusat yang berbatasan langsung dengan zona merah di Kelurahan Menteng. Zona merah adalah daerah yang dalam tiga minggu berturut-turut terdapat lebih dari sembilan penderita DBD atau ada yang meninggal akibat DBD. Vektor utama penyebaran DBD adalah nyamuk Aedes aegypti dan cara paling efektif untuk mengurangi penyebaran kasusnya adalah dengan mencegah keberadaan larvanya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah zona merah Kelurahan Kebon Kacang. Desain yang digunakan adalah cross sectional

dengan jumlah sampel sebesar 201 ibu rumah tangga di Kelurahan Kebon Kacang. Faktor yang diteliti adalah perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan (TPA, kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela). Pengambilan data dilakukan pada bulan Mei – Juni 2014.

Hasil penelitian terhadap perilaku 3M Plus ibu rumah tangga adalah terdapat 23,9% memiliki pengetahuan yang baik, 84,6% memiliki sikap yang baik, dan 53,7% memiliki tindakan yang baik. Kemudian, hasil penelitian terhadap kondisi lingkungan adalah terdapat 88,6% TPA yang beresiko, 40,8% suhu yang optimal untuk perkembangan larva, rata-rata kelembaban udara 36,99% dan 61,7% jendela yang tidak berfungsi dengan baik.

Saran yang diberikan kepada masyarakat Kelurahan Kebon Kacang adalah untuk turut serta berperan aktif dalam melaksanakan 3M Plus secara terus menerus. Sedangkan untuk Puskesmas Tanah Abang selaku pihak kesehatan terdekat harus terus mempublikasikan 3M Plus kepada seluruh masyarakat secara rutin dan memberlakukan reward dan punishment agar masyarakat lebih aktif dan bersemangat dalam menjalankan 3M Plus. Harapannya adalah agar kepadatan larva Aedes aegypti

akan berkurang serta angka kasus DBD akan turun dengan sendirinya.


(4)

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH

ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, 3rd July 2014

(xviii + 118 pages + Attachments + 3 Pictures + 11 Tables) Ilham Eka Praditya, NIM : 1110101000015

Housewife’s 3M Plus Behavior and Environment Condition Toward The Density of Aedes Aegypti Larvae in The Red Zone, Kebon Kacang Village, Central Jakarta 2014

ABSTRACT

Kebon Kacang ward is one of the area within Central Jakarta which directly adjacent to the red zone in Menteng ward. The red zone is an area that there were more than nine dengue hemorrhagic fever (DHF) patient in three weeks or any fatality because of DHF. The main vector of DHF spread was Aedes aegypti

mosquitoes and the most effective way to reduce the disease is by prevent the presence of Aedes aegypti larvae.

The purpose of this study was to know housewife’s 3M Plus behavior and environment condition toward the density of Aedes aegypti larvae in the red zone, Kebon Kacang village. Using a cross sectional study design, this study used 201 housewives in Kebon Kacang village as samples. The factors that investigated in this study were housewife’s 3M Plus behavior (knowledge, attitude, and action) and the condition of the environment (the condition of the containers, air humidity, temperature, and window function). Data collection was done by May – June 2014.

The result about 3M Plus showed there were 23,9% housewives had a good knowledge, 84,6% had a good attitude, and 53,7% had a good action. Then, there were 88,6% had containers that can be potential to the development of Aedes aegypti larvae, 40,8% had optimal temperature, had 36,99% average of air humidity and 61,7% had window that wasn’t in its function.

The suggestion to all communities in Kebon Kacang ward is to take an active role doing 3M Plus continuously. While the suggestion for Puskemas Tanah Abang as a health committee is doing a non-stop publication about 3M Plus and imposing a reward and punishment so that all people will take an active role and has spirit doing 3M Plus. The hopes are the density of Aedes aegypti larvae and the DHF cases will reduce by themselves.


(5)

(6)

(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP  IDENTITAS PERSONAL 

 

NAMA    :  ILHAM EKA PRADITYA 

ALAMAT ASAL  :  JL. KEBON KACANG 41 NO. 10 RT/RW 001/008 TANAH ABANG,        JAKARTA PUSAT, 10240 

ALAMAT KOST  :  JL. LEGOSO RAYA NO. 10 RT/RW 004/011 PISANGAN, CIPUTAT        TIMUR, TANGERANG SELATAN, 15419 

TTL    :  PURBALINGGA, 4 OKTOBER 1991 

JENIS KELAMIN :  PRIA  AGAMA   :  ISLAM  GOL. DARAH  :  O 

NO. HP   :  081289177573 

EMAIL    :  iepraditya@gmail.com   

PENDIDIKAN FORMAL   

2010 ‐ 2014 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN 

  PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT    PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN 2006 ‐ 2009 

SMAN 35 JAKARTA  ♦2003 ‐ 2006 

SLTPI AL‐AZHAR 4 KEMANDORAN  ♦1997 ‐ 2003 

SDI AL‐AZHAR 5 KEMANDORAN   

     


(8)

 

PELATIHAN   

2011    :  RESEARCH TRAINING (1ST INDONESIAN PUBLIC HEALTH STUDENT  

      SUMMIT) 

2011    :  LEADERSHIP TRAINING (ESQ LEADERSHIP TRAINING)  2011    :  SCHOLARSHIP EDUCATION TRAINING (INTERNATIONAL    

      SCHOLARSHIP EDUCATION EXPO) 

 

PENGALAMAN ORGANISASI   

2006‐2008  :  ANGGOTA PASKIBRA SMAN 35 JAKARTA  2007‐2008  :  KETUA EKSKUL BASKET SMAN 35 JAKARTA 

2011    :  STAFF DEPARTEMEN PENELITIAN, PENDIDIKAN, DAN KEILMUAN 

      PAMI (PERGERAKAN ANGGOTA MUDA IAKMI) JAKARTA RAYA 

2012‐2013  :  SEKRETARIS JENDRAL PAMI (PERGERAKAN ANGGOTA MUDA 

      IAKMI) JAKARTA RAYA 

2012‐2013  :  ANGGOTA AKTIF ACIKITA (AKU CINTA INDONESIA KITA) 

      FOUNDATION 

2013‐2014  :  KETUA ENVIHSA (ENVIRONMENTAL HEALTH STUDENT 

      ASSOCIATION) UIN JAKARTA 

                   


(9)

 

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang atas rahmatnya telah mendorong saya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga dan Kondisi Lingkungan Terhadap Kepadatan Larva Aedes Aegypti di Wilayah Zona Merah, Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014”.

Shalawat serta salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman yang terang benderang.

Saya sebagai Penulis sangat sadar akan banyaknya keterbatasan dalam penulisan serta dalam penyusunan skripsi ini. Saya mengucapkan kepada berbagai pihak atas segala dukungan, dorongan, bantuan, serta keikhlasannya, kepada :

1. Pimpinan dan staff Fakultas dan Program Studi Kesehatan Masyarakat serta Peminatan Kesehatan Lingkungan atas dukungan dan bantuannya dalam proses penyusunan skripsi.

2. Ibu Febrianti, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes dan Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku Dosen Pembimbing I dan II, atas segala dukungan, saran, kritik, semangat, kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Yuli selaku bagian dari Departemen Kesehatan Lingkungan di Puskesmas Tanah Abang yang telah membantu dan memberikan dorongan selama pencarian data di Kelurahan Kebon Kacang.

5. Para Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat terutama dosen peminatan Kesehatan Lingkungan, atas segala ilmu dan bimbingan yang telah diberikan.


(10)

6. Seluruh rekan-rekan seperjuangan di Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN 2010 dan utamanya Kesehatan Lingkungan 2010 (Angger, Akbar, Febri, Faradillah, Alya, Ifa, Reka, Annis, Fitri, Yuni, Rizka, Tuti, Nida, dan Elfira) atas dukungan, senyuman, saran, dan doa yang tiada henti menemani perjalanan penyusunan skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya!

7. Keluarga besar ENVIHSA UIN yang tercinta. Mereka alasan utama untuk tetap semangat dan giat mengejar cita-cita, tetap tersenyum lebar di kala semangat memudar, serta dukungan serta doa yang tak pernah henti. Terima kasih, kalian luar biasa! I am nothing without them.

8. Nabila Dewi Ichsani atas dorongan, semangat, dan segalanya selama penyusunan skripsi ini.

9. Sahabat super di kampus Misyka Nadziratul Haq, Agung Raharjo, dan Fuad Hilmi Sudasman yang membuat kehidupan kampus menjadi tidak biasa.

10. Dhayfi Lutfina, Atika Fitriani, Bayu Tripratomo, Chairul Anam, dan Haulussy Melkianus. True friends are very difficult to find, hard to leave, and impossible to forget.

11. Terakhir dan menjadi yang paling penting adalah untuk kedua orang tua dan segenap keluarga yang mendukung, mendoakan, serta mencurahkan segalanya setiap saat. Alm. Bapak, Mama, Papa, Ibnu, Intan, Irdina, dan Irsyad. Terima kasih banyak! They are my world.

Akhir kata, sungguh segala sesuatu hanya milik Allah SWT dan sebagai hamba yang dhaif tentu segala kekurangan dan kesalahan datangnya dari Penulis. Kritik dan saran sangat dinantikan oleh Penulis agar bisa menjadi perbaikan di masa yang akan datang.

Jakarta, Juli 2014


(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN………..………..ii

ABSTRAK………..………...iii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING…...……..……….v

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….vi

KATA PENGANTAR…………..………..viii

DAFTAR ISI………..………x

DAFTAR GAMBAR………xv

DAFTAR TABEL…………....………...xvi

DAFTAR LAMPIRAN…..………..xviii

BAB I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 7

1.4. Tujuan Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 8

1.6. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. Demam Berdarah Dengue ... 10

2.1.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue ... 10

2.1.2. Penularan Demam Berdarah Dengue ... 10

2.1.3. Tempat Penularan ... 11

2.1.4. Tanda dan Gejala ... 12


(12)

2.1.6. Faktor Kejadian ... 14

2.2. Siklus Hidup Aedes aegypti ... 17

2.2.1. Telur ... 17

2.2.2. Larva ... 17

2.2.3. Pupa ... 18

2.2.4. Nyamuk ... 18

2.3. Angka Kepadatan Aedes aegypti ... 20

2.4. Pemberantasan Nyamuk ... 23

2.5. Lingkungan ... 26

2.5.1. Tempat Penampungan Air ... 27

2.5.2. Kelembaban Udara ... 27

2.5.3. Suhu ... 27

2.5.4. Jendela ... 28

2.6. Perilaku ... 28

2.6.1. Pengetahuan ... 29

2.6.2. Sikap ... 30

2.6.3. Tindakan ... 30

2.7. Kerangka Teori ... 32

BAB III Kerangka Konsep ... 34

3.1. Kerangka Konsep ... 34

3.2. Definisi Operasional ... 35

BAB IV Metodologi Penelitian ... 40


(13)

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 40

4.4. Besar Sampel ... 41

4.5. Teknik Pengambilan Sampel ... 43

4.6. Pengumpulan Data ... 44

4.6.1. Sumber Data ... 44

4.6.2. Metode ... 44

4.6.3. Instrumen Penelitian ... 45

4.7. Pengolahan dan Analisis Data ... 50

BAB V Hasil ... 50

5.1. Kondisi Geografis Kelurahan Kebon Kacang ... 50

5.2. Kondisi Demografis Kelurahan Kebon Kacang ... 53

5.3. Wawancara Tokoh Masyarakat ... 54

5.4. Kepadatan dan Persebaran Larva Aedes aegypti ... 55

5.5. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga ... 57

5.6. Kondisi Lingkungan ... 58

5.7. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus ... 59

5.7. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi Lingkungan ... 62

BAB VI Pembahasan ... 64

6.1. Keterbatasan Penelitian ... 64

6.2. Kepadatan dan Persebaran Larva Aedes aegypti ... 65


(14)

6.3.1. Pengetahuan 3M Plus Ibu Rumah Tangga ... 69

6.3.2. Sikap 3M Plus Ibu Rumah Tangga ... 70

6.3.3. Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga ... 71

6.4. Kondisi Lingkungan ... 71

6.4.1. TPA ... 71

6.4.2. Kelembaban Udara ... 72

6.4.3. Suhu ... 73

6.4.4. Fungsi Jendela ... 73

6.5. Kepadatan Larva Aedes aegypti Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus ... 74

6.5.1. Kepadatan larva Aedes aegypti menurut pengetahuan 3M Plus ... 74

6.5.2. Kepadatan larva Aedes aegypti menurut sikap 3M Plus ... 76

6.5.3. Kepadatan larva Aedes aegypti menurut tindakan 3M Plus ... 77

6.6. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut kondisi lingkungan ... 79

6.6.1. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut kondisi TPA ... 79

6.6.2. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut kelembaban udara ... 80

6.6.3. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut suhu ... 82

6.6.4. Kepadatan Larva Aedes aegypti menurut fungsi jendela ... 83

BAB VII Simpulan dan Saran ... 86

7.1. Simpulan ... 86

7.2. Saran ... 87

7.2.1. Ibu Rumah Tangga ... 87


(15)

7.2.3. Peneliti Lain ... 88 DAFTAR PUSTAKA ... 89 Lampiran ... 97  

           


(16)

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Teori ... 33 Gambar 3.1. Kerangka Konsep ... 34 Gambar 5.1. Wilayah dan Batas-batas Kelurahan Kebon Kacang ... 53


(17)

Daftar Tabel

Tabel 4.1. Jumlah Sampel ... 41

Tabel 4.2. Jumlah Sampel Per RW ... 42

Tabel 4.3. Hasil Uji Validitas Pengetahuan 3M Plus ... 46

Tabel 4.4. Hasil Uji Validitas Sikap 3M Plus ... 47

Tabel 4.5. Hasil Uji Validitas Tindakan 3M Plus ... 48

Tabel 4.6. Hasil Uji Realibilitas ... 49

Tabel 5.1. Kepadatan dan Persebaran Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 ... 56

Tabel 5.2. Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 ... 57

Tabel 5.3. Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 .. 58

Tabel 5.4. Distribusi Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kepadatan Larva Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 ... 60

Tabel 5.5. Distribusi Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014 ... 62  


(18)

Daftar Lampiran

1. Kuesioner Penelitian 2. Uji Validitas Kuesioner 3. Uji Realibilitas Kuesioner 4. Output Univariat


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

World Health Organization (WHO) memperkirakan penduduk yang terkena DBD telah meningkat selama 50 tahun terakhir. Insiden DBD terjadi baik di daerah tropik maupun subtropik wilayah urban, menyerang lebih dari 100 juta penduduk tiap tahun, termasuk 500.000 kasus DBD dan sekitar 30.000 kematian terutama pada anak-anak dan menjadi endemik di 100 negara termasuk Asia. Perubahan kondisi lingkungan merupakan variabel utama penyebab meluasnya kasus DBD di berbagai belahan dunia (Achmadi, 2010). Belakangan ini memang terjadi peningkatan epidemik DBD di seluruh dunia terutama pada anak-anak yang sering terjadi di negara kawasan Asia Tenggara (Soedarmo, 2010).

Selama ini, vektor DBD yang dikenal di Indonesia adalah Aedes aegypti dan Aedes albopictus namun sampai saat ini Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit tersebut. Vektor ini, secara biologis dan bionomiknya selalu berdekatan dan berhubungan dengan kehidupan manusia (Sukana, 1993). Selain itu WHO (1982), menyatakan untuk mengendalikan populasi Aedes aegypti terutama dilakukan dengan cara

pengelolaan lingkungan (environtmental management). Pengelolaan

sanitasi lingkungan yang dapat diterapkan di masyarakat dalam rangka menekan sumber habitat larva Aedes aegypti antara lain : perbaikan


(20)

penyediaan air bersih, perbaikan pengelolaan sampah padat, pengubahan tempat perkembangbiakan buatan manusia dan perbaikan desain rumah. Aktivitas semacam itu dapat diterapkan pada tempat dimana penyakit dengue bersifat endemik (WHO, 2001). Depkes RI, (2000), juga

menyatakan bahwa keberhasilan upaya penyehatan lingkungan

perumahan/tempat-tempat umum (dalam indikator “Indonesia Sehat 2010”), dapat dilihat dari pencapaian cakupan angka bebas jentik minimal 95%.

Insiden DBD ini erat kaitannya dengan cuaca dan mencapai puncaknya pada awal dan akhir musim hujan (Iriani, 2012). Dewasa ini, iklim juga tidak dapat diprediksi akibat perubahan iklim global sehingga perlu penelitian untuk mengetahui trend DBD di Jakarta sepanjang tahun. Selain itu, Jakarta tetap harus waspada karena DBD pada umumnya terjadi dan penyebarannya dipengaruhi oleh tingkat urbanisasi serta tingginya lalu lintas manusia (Sanofi Pasteur, 2013).

Jumlah penderita DBD terus meningkat pada tahun 2008 dilaporkan 27.400 penderita DBD dan 28 orang diantaranya meninggal dunia (Depkes RI, 2006). Jakarta, sebagai ibukota Indonesia, merupakan wilayah dengan DBD sebagai masalah kesehatan masyarakat yang paling utama. Jumlah kejadian DBD paling serius memang terjadi di Provinsi Jakarta dengan 2768 kasus (Sungka dkk, 2006).

Jakarta Pusat merupakan salah satu wilayah yang paling banyak mempunyai zona merah. Zona merah adalah daerah yang dalam tiga


(21)

minggu berturut-turut terdapat lebih dari sembilan penderita DBD atau ada yang meninggal akibat DBD. Di Jakarta Pusat terdapat 44 kelurahan dan sembilan diantaranya merupakan zona merah. Hal tersebut hanya lebih baik dari Jakarta Timur yang mempunyai sebelas zona merah di wilayah tersebut (Pujiastuti, 2009). Sembilan kelurahan di Jakarta Pusat yang tergolong zona merah DBD adalah Kelurahan Cempaka Putih Barat, Rawasari, Galur, Johar Baru, Serdang, Sumur Batu, Menteng, dan Kramat (Pujiastuti, 2009).

Kelurahan Kebon Kacang terletak di dekat Kelurahan Menteng yang sudah disebutkan menjadi salah satu wilayah yang tergolong zona merah. Tingginya lalu lintas manusia juga diketahui menjadi salah satu penyebab penyebaran kasus DBD (Tjokronegoro, 2005). Hal tersebut kemudian menjadi alasan masih adanya kasus DBD yang terjadi di Kelurahan Kebon Kacang. Jumlah kasus DBD berturut-turut di Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang dari tahun 2010-2013 adalah sebesar 57, 6, 17, dan 5 (Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang, 2010-2013). Padahal angka bebas jentik (ABJ) di Kelurahan Kebon Kacang pada tahun 2011-2013 adalah 99,38%, 95,5%, dan 99,5% (Bagian Kesehatan Lingkungan Puskesmas Tanah Abang, 2011-2013). Angka tersebut lebih tinggi dari anjuran ABJ dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia yakni 95%. Tetapi, pada kenyataannya masih ditemukan kasus DBD di wilayah tersebut setiap tahunnya.


(22)

Suatu daerah dinyatakan mempunyai resiko penularan DBD yang tinggi jika container index ≥ 5%, house index ≥ 10%, dan breteu index > 50 (Ramadhani, Astuty, 2009). Indikator tersebut merupakan gambaran keberadaan jentik nyamuk di rumah penduduk dan di tempat penampungan airnya. Khusus untuk breteu index, indikator ini merupakan jumlah akumulasi dari keberadaan jentik nyamuk dalam 100 rumah (Depkes RI, 1998). Dari data di atas maka perlu dilakukan pemberantasan DBD dengan mencegah perkembangan larvanya yaitu dengan melakukan program 3M Plus (Rini dkk, 2012).

3M Plus adalah program yang berisi kegiatan berupa ; menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air, mengubur dan menyingkirkan barang bekas, dan pengelolaan lingkungan berlanjut seperti meningkatkan kesadaran akan kebersihan lingkungan dan sebagainya (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008). Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk melakukan 3M Plus dan kesadaran mengelola lingkungan, kasus DBD akan menurun dengan sendirinya (Ulumuddin, 2010).

Seperti yang sudah kita ketahui bahwa siklus hidup nyamuk Aedes aegypti adalah 10 hari dari telur hingga dewasa. Jadi, jika Pemberantas Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan seminggu satu kali sudah pasti akan memutus siklus hidup nyamuk. Cara yang dapat dilakukan dalam memberantas sarang nyamuk adalah dengan cara mengaplikasikan metode


(23)

3M plus, yakni menguras, menutup, mengubur barang bekas, dan pengelolaan lingkungan (Amin, 2013).

Sasaran pemberantasan sarang nyamuk DBD yaitu semua tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti seperti ; tempat penampungan air (TPA untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, dan tempat penampung air alamiah). Sedangkan ukuran keberhasilan PSN DBD dapat diukur dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) yang apabila ABJ bernilai sama dengan 95%, diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Depkes RI, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu melakukan penelitian untuk menganalisis perilaku 3M plus (menguras, menutup, mengubur, dan pengelolaan lingkungan) ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Hal tersebut dikarenakan bahwa nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit DBD (Sukana, 1993) dan cara paling ampuh untuk memberantas penyakit tersebut adalah dengan

memberantas larva Aedes aegypti di tempat perkembang biakannya

(Ganie, 2009). Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah salah satu zona merah yang disebutkan di atas (Kelurahan Menteng) berbatasan dengan Kelurahan Kebon Kacang. Jumlah kasus yang masih fluktuatif dari dari empat tahun terakhir di Kelurahan Kebon Kacang juga menjadi alasan kuat untuk melakukan penelitian di lokasi ini.


(24)

1.2. Perumusan Masalah

Kasus DBD di Kelurahan Kebon Kacang erat kaitannya dengan kepadatan larva Aedes aegypti yang diketahui akan berkembang sebagai vektor utama penyakit DBD. Perilaku 3M plus sebagai bagian dari pencegahan penyakit ini yang mencakup sikap, tindakan dan pengetahuan ibu rumah tangga di wilayah penelitian juga dilihat. Kelurahan Kebon Kacang, yang berdekatan dengan Kelurahan Menteng (salah satu Kelurahan dengan zona merah DBD di Jakarta Pusat), memiliki potensi untuk turut serta dalam penyebaran kasus DBD yang dikarenakan tingginya lalu lintas manusia.

Jumlah kasus yang masih fluktuatif dari dari empat tahun terakhir di Kelurahan Kebon Kacang menjadi alasan kuat untuk melakukan penelitian di lokasi ini. Jumlah kasus DBD berturut-turut di Kelurahan Kebon Kacang, Kecamatan Tanah Abang dari tahun 2010-2013 adalah sebesar 57, 6, 17, dan 5 (Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang, 2010-2013). Kemudian, angka bebas jentik (ABJ) yang sebesar 95,5% (Bagian Kesehatan Lingkungan Puskesmas Tanah Abang, 2012) dan melebihi target dari nilai ABJ Departemen Kesehatan Republik Indonesia tidak diikuti dengan tidak ditemukannya kasus DBD di Kelurahan Kebon Kacang. Cara yang dilakukan untuk melakukan penelitian ini adalah dengan cara melihat perilaku 3M Plus ibu rumah


(25)

tangga dan kondisi lingkungan untuk mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti yang berkaitan erat dengan penyakit DBD.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan penelitian yang diajukan dan diharapkan dapat dijawab dengan penelitian ini, yaitu:

1. Berapa kepadatan larva Aedes aegepty di wilayah Kelurahan Kebon Kacang?

2. Bagaimana pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu rumah tangga

mengenai 3M plus?

3. Bagaimana kondisi lingkungan (kondisi tempat penampungan air

(TPA), suhu, kelembaban udara, dan fungsi jendela suatu rumah) di wilayah zona merah Kelurahan Kebon Kacang?

4. Bagaimana kepadatan larva Aedes aegypti menurut perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dengan masalah di atas, penelitian ini memiliki tujuan yaitu:

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk melihat perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegepty di wilayah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat periode 2014.


(26)

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah zona

merah Kelurahan Kebon Kacang

2. Mengetahui pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu rumah tangga mengenai 3M Plus

3. Mengetahui kondisi lingkungan (keberadaan dan kondisi

tempat penampungan air, suhu di sekitar tempat penampungan air, kelembaban udara di sekitar tempat penampungan air, dan fungsi jendela suatu rumah)

4. Mengetahui kepadatan larva Aedes aegypti menurut

perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi

lingkungan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini merupakan analisis perilaku 3M plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegepty di wilayah zona merah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Populasi dari penelitian ini adalah ibu rumah tangga sebagai pengelola di dalam rumah tangga. Ibu rumah tangga dinilai memiliki peran paling penting dalam melakukan pengelolaan lingkungan di sekitar rumahnya. Perilaku 3M plus yang di dalamnya terdapat pengetahuan, sikap, dan tindakan juga dinilai dengan skoring sesuai pertanyaan yang ada di kuesioner. Data


(27)

kepadatan jentik akan dinilai dengan observasi langsung menggunakan senter lampu. Pengumpulan data tersebut akan diambil langsung oleh peneliti dan akan dilakukan selama bulan Mei - Juni 2014.

1.6. Manfaat Penelitian

1.6.1. Masyarakat Kelurahan Kebon Kacang

Penelian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya perilaku 3M plus sebagai program pengendalian penyakit DBD. Dari hal tersebut harapannya adalah kasus DBD akan turun atau bahkan segera menghilang.

1.6.2. Peneliti

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang DBD serta merupakan syarat kelulusan Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1.6.3. Peneliti lain


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1. Pengertian Demam Berdarah Dengue

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang di sebabkan oleh infeksi virus DEN-1, DE-2, DEN-3, atau DEN-4 yang di tularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus yang sebelumnya telah terinfeksi virus Dengue dari penderita DBD lainnya (Ginanjar, 2008).

Demam dengue (DD) adalah penyakit fibris–virus akut, sering kali di sertai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam dan leukopenia sebagai gejalanya. demam berdarah dengue (DBD) di tandai oleh empat manifestasi klinis utama demam tinggi, fenomena hemoragik, sering dengan hepatomegali dan pada kasus berat, tanda-tanda kegagalan sirkulasi, pasien ini dapat mengalami syok hipovolemik yang diakibatkan oleh kebocoran plasma (WHO, 1999).

2.1.2. Penularan Demam Berdarah Dengue

Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus betina. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui

gigitan nyamuk Aedes sp. yang mengigit penderita DBD kemudian


(29)

berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun, dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia. Karena nyamuk yang menggigit orang yang

darahnya mengandung virus dengue, sepanjang nyamuk tersebut hidup

akan tetap mengandung virus dengue dan setiap saat dapat ditularkan

kepada orang lain melalui gigitannya pula (menggigit pada siang hari)

(Wahono, 2004).

2.1.3. Tempat Penularan

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat

nyamuk penularnya. Tempat potensial untuk terjadi penularan DBD

adalah (Depkes RI, 1992) :

1. Wilayah yang banyak kasus DBD (endemis)

2. Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya

orang-orang yang datang dari berbagai wilayah. Tempat-tempat tersebut

antara lain :

• Sekolah, karena anak/murid sekolah berasal dari berbagai wilayah

selain itu merupakan kelompok umur yang paling susceptible

terserang DBD


(30)

Karena dalam hal ini orang yang datang dari berbagai wilayan dan

kemungkinan diantaranya adalah penderita DBD atau carier virus dengue

• Tempat umum lainnya seperti : hotel, pertokoan, pasar, restoran,

dan tempat ibadah

2.1.4. Tanda dan Gejala DBD

Pada umumnya penderita DBD dikenal dengan gejala bintik-bintik

atau ruam merah pada kulit yang apabila diregangkan malah terlihat jelas

bintik-bintiknya. Hal itu memang menjadi salah satu tanda bahwa telah

tergigit nyamuk Aedes aegepty. Untuk lebih waspada dan menindaklanjuti

kasus DBD, berikut beberapa gejala DBD :

1. Demam

Penyakit ini didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus

berlangsung 2-7 hari. Panas dapat turun pada hari ke-3 yang kemudian

naik lagi, dan pada hari ke-6 atau ke-7 mendadak turun. Jika digambarkan,

maka grafiknya menyerupai pelana kuda (Depkes RI, 2005).

2.1.5. Pencegahan DBD

Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau

mengurangi vektor nyamuk demam berdarah yaitu Aedes aegypti.

Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :


(31)

1) Lingkungan

Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh : menguras bak mandi / penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu, mengubur kaleng-kaleng dan ban-ban bekas, menutup dengan rapat bak penampungan air, dan mengganti/menguras vas bunga / tempat minum burung seminggu sekali (Ditjen P2MPL, 2000).

2) Biologi

Yaitu berupa intervensi yang dilakukan dengan memanfaatkan musuh- musuh (predator) nyamuk yang ada di alam seperti ikan pemakan jentik (ikan cupang, dll), dan bakteri (Ditjen P2MPL, 2000).

3) Kimiawi

Yaitu berupa pengendalian vektor dengan bahan kimia, baik bahan kimia sebagai racun, bahan penghambat pertumbuhan, dan sebagai hormon.

Penggunaan bahan kimia untuk pengendalian vektor harus

mempertimbangkan kerentanan terhadap pestisida, bisa diterima

masyarakat, aman terhadap manusia dan organisme lain. Caranya adalah : a)

pengasapan/fogging , b) memberi bubuk abate pada tempat-tempat

penampungan air seperti gentong, vas bunga, kolam, dan lain-lain (Ditjen P2MPL, 2000).


(32)

4) Terpadu

Langkah ini tidak lain merupakan aplikasi dari ketiga cara yang dilakukan secara tepat/terpadu dan kerja sama lintas program maupun lintas sektoral dan peran serta masyarakat.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan “3M Plus”, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat (Ditjen P2MPL, 2000).

2.1.6 Faktor Kejadian DBD

Menurut Sari (2005) menyatakan bahwa faktor- faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia adalah :

1) Kepadatan penduduk, lebih padat lebih mudah untuk terjadi penularan

DBD, oleh karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter.

2) Mobilitas penduduk, memudakan penularan dari suatu tempat ke

tempat lain.

3) Kualitas perumahan, jarak antar rumah, pencahayaan, bentuk rumah, bahan bangunan akan mempengaruhi penularan. Bila di suatu rumah ada nyamuk penularnya maka akan menularkan penyakit di orang


(33)

yang tinggal di rumah tersebut, di rumah sekitarnya yang berada dalam jarak terbang nyamuk dan orang-orang yang berkunjung kerumah itu.

4) Pendidikan, akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan

penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan.

5) Penghasilan, akan mempengaruhi kunjungan untuk berobat ke

puskesmas atau rumah sakit.

6) Mata pencaharian, mempengaruhi penghasilan

7) Sikap hidup, kalau rajin dan senang akan kebersihan dan cepat tanggap dalam masalah akan mengurangi resiko ketularan penyakit.

8) Perkumpulan yang ada, bisa digunakan untuk sarana PKM

9) Golongan umur, akan memperngaruhi penularan penyakit. Lebih

banyak golongan umur kurang dari 15 tahun berarti peluang untuk sakit DBD lebih besar.

10) Suku bangsa, tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-masing, hal ini juga mempengaruhi penularan DBD.

11) Kerentanan terhadap penyakit, tiap individu mempunyai kerentanan tertentu terhadap penyakit, kekuatan dalam tubuhnya tidak sama dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang mudah kena penyakit, ada yang tahan terhadap penyakit. Sedangkan faktor yang dianggap dapat memicu kejadian DBD adalah :

1) Lingkungan. Perubahan suhu, kelembaban nisbi, dan curah


(34)

penular penyakit bertambah dan virus dengue berkembang lebih ganas. Siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa akan dipersingkat sehingga jumlah populasi akan cepat sekali naik. Keberadaan penampungan air artifisial/ kontainer seperti bak mandi, vas bunga, drum, kaleng bekas, dan lain-lain akan memperbanyak tempat bertelur nyamuk. Penelitian oleh Ririh dan Anny (2005) tentang “Hubungan Kondisi Lingkungan, Kontainer, dan Perilaku Masyarakat dengan Keberadaan Jentik Nyamuk Aedes Aegypti di Daerah Endemis Surabaya” menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban, tipe kontainer, dan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap keberadaan jentik nyamuk Aedes Aegypti.

2) Perilaku. Kurangnya perhatian sebagian masyarakat terhadap kebersihan lingkungan tempat tinggal, sehingga terjadi genangan air yang menyebabkan berkembangnya nyamuk. Kurang baik perilaku masyarakat terhadap PSN (mengubur, menutup penampungan air), urbanisasi yang cepat, transportasi yang makin baik, mobilitas manusia antar daerah, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan, dan kebiasaan berada di dalam rumah pada waktu siang hari (Sari, 2005).


(35)

2.2. Siklus Hidup Aedes Aegypti 2.2.1. Telur

Telur Aedes aegypti berbentuk lonjong dengan panjang kira-kira 0,6 mm. Saat diletakkan telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam dalam 40 menit. Sekali bertelur jumlah telurnya dapat mencapai 100-300 butir, rata-rata 300 butir. Frekuensi nyamuk betina bertelur yaitu setiap dua atau tiga hari. Selama hidupnya, nyamuk betina dapat bertelur lima kali. Jumlah telur yang dihasilkan tergantung dari banyak darah yang dihisapnya. Telur diletakkan satu persatu pada dinding tempat air atau pada benda yang terapung di permukaan air yang terlindung dari cahaya matahari langsung. Tidak seperti spesies lain, tidak semua telur langsung diletakkan. Semua telur diletakkan dalam beberapa jam sampai hari. Pada iklim yang hangat, telur dapat bertumbuh dan berkembang dalam dua hari, namun pada iklim

yang sejuk dapat mencapai waktu satu minggu.

Telur tersebut dapat menetas beberapa saat setelah terkena air hingga dua sampai tiga hari setelah berada di air (Depkes RI, 2004).

2.2.2. Larva

Larva terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen, serta ada corong udara dengan pekten dan sekelompok bulu-bulu. Sepanjang hidupnya, larva kebanyakan berdiam di permukaan air walaupun mereka akan berenang ke dasar kontainer jika terganggu terdahap rangsang getaran dan cahaya atau sedang mencari makanan. Pada waktu istirahat, larva membentuk sudut dengan permukaan air (Depkes RI, 2004).


(36)

Umur rata-rata pertumbuhan mulai jentik sampai menjadi pupa berkisar antara 8-14 hari. Larva mengalami empat masa pertumbuhan (instar) yaitu instar I sampai instar IV. Perkembangan larva tergantung pada suhu sekitarnya. Jika suhunya sejuk, larva Aedes aegypti dapat bertahan hingga berbulan-bulan selama ada air yang cukup. Perkembangan instar I sampai menjadi instar III hanya sebentar, dan kira-kira 3 hari pada tahap instar IV. Instar IV mencapai panjang 8 mm. Perbedaan masing-masing instar tersebut adalah ukurannya dan kelengkapan bulunya. Tiap kali larva mengalami pergantian instar disertai dengan pergantian kulit. Nyamuk jantan tumbuh lebih cepat dari jetina. Larva banyak dijumpai pada genangan air di tempat tertentu (drum, bak, tempayan, kaleng bekas, pelepah pohon, objek apapun yang dapat menampung air) (Hu, 2012).

2.2.3. Pupa

Setelah menjadi instar IV, larva memasuki tahap menjadi pupa. Berbeda dengan larva, pupa terdiri atas sefalotoraks, abdomen, dan kaki pengayuh. Terdapat sepasang corong pernafasan berbentuk segitiga pada sefalotoraks dan kaki pengayuh yang lurus dan runcing terdapat pada distal abdomen (Sungkar, 2002).

2.2.4. Nyamuk

Nyamuk Aedes aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika

dibandingkan dengan rata-rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai dasar hitam dengan bintik- bintik putih pada bagian badan, kaki, dan sayapnya.


(37)

Nyamuk jantan menghisap cairan tumbuhan atau sari bunga untuk keperluan hidupnya. Sedangkan yang betina mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia dari pada binatang. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya pagi (pukul 09.00-10.00) sampai petang hari (16.00-17.00). Aedes aegypti mempunyai kebiasan mengisap darah berulang kali untuk memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat infektif sebagai penular penyakit. Setelah mengisap darah, nyamuk ini hinggap (beristirahat) di dalam atau diluar rumah. Tempat hinggap yang disenangi adalah benda-benda yang tergantung dan biasanya ditempat yang agak gelap dan lembab. Nyamuk akan bertelur dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih, seperti tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari: bak mandi, WC, tempayan, drum air, bak menara (tower air) yang tidak tertutup, sumur gali. Selain itu, wadah berisi air bersih atau air hujan: tempat minum burung, vas bunga, pot bunga, ban bekas, potongan bambu yang dapat menampung air, kaleng, botol, tempat pembuangan air di kulkas dan barang bekas lainnya yang dapat menampung air walau dengan volume kecil, juga menjadi tempat kesukaannya (Depkes RI, 2004).

Telur akan diletakkan dan menempel pada dinding penampungan air, sedikit di atas permukaan air. Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar seratus butir telur dengan ukuran sekitar 0,7 milimeter perbutir. Di tempat kering (tanpa air), telur dapat bertahan sampai enam bulan. Telur akan menetas menjadi jentik setelah sekitar dua hari terendam


(38)

air. Setelah 6-8 hari, jentik nyamuk akan tumbuh menjadi pupa nyamuk. Pupa nyamuk yang masih dapat aktif bergerak di dalam air tanpa makan, itu akan memunculkan nyamuk menunggu proses pematangan telurnya. Selanjutnya nyamuk betina akan meletakkan telurnya didinding tempat perkembangbiakan, sedikit diatas permukaan air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam waktu 2 hari setelah terendam air. Suhu air yang cocok antara 26° – 30°C, kelembaban antara 26 – 28%. Larva akan menjadi kepompong dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa (Depkes RI, 2004).

2.3. Angka Kepadatan Aedes Aegypti

Untuk mengetahui kepadatan vektor di suatu lokasi dapat di lakukan beberapa survei yang di pilih secara acak yang meliputi survei nyamuk, survei larva dan survei perangkap telur, survei jentik di lakukan dengan cara pemeriksaaan terhadap semua tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang di periksa di suatu daerah dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Menurut Depkes RI (2005) pelaksaaan survei ada 2 (dua) metode yang meliputi:

a. Metode single survei

Survei ini di lakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang di temukan ada jentiknya untuk identifikasi lebih lanjut jentiknya.


(39)

b. Metode visual

Survei ini di lakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genagan air tanpa melakuan pengambilan jentik. Dalam program pemberantasan penyakit DBD, survei jentik yang biasa di gunakan adalah cara visual dan ukuran yang di pakai untuk mengetahui kepadatan jentik yaitu:

1. Angka bebas jentik (ABJ)

Angka bebas jentik adalah persentase pemeriksaan jentik yang di lakukan di semua desa/kelurahan setiap 3 (tiga) bulan oleh petugas puskesmas pada rumah - rumah penduduk yang diperiksa secara acak (Depkes RI, 1998).

2. House indeks (HI)

House Indeks (HI) adalah persentasi jumlah rumah yang di temukan jentik yang di lakukan di semua desa/kelurahan oleh petugas puskesmas setiap 3 (tiga) bulan pada rumah-rumah yang di periksa secara acak (Depkes RI, 1998).

  Jumlah rumah atau bangunan yang tidak ditemukan jentik 

      x 100 % 

  Jumlah rumah atau bangunan yang diperiksa 

  Jumlah rumah atau bangunan yang ditemukan jentik 

      x 100 % 


(40)

3. Container indeks (CI)

Container indeks (CI) adalah persentase pemeriksaan jumlah container yang di periksa di temukan jentik pada container di rumah penduduk yang dipilih secara acak (Depkes RI, 1998).

4. Breteau indeks (BI)

Jumlah container yang terdapat jentik dalam 100 rumah. Container adalah tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembang biaknya

nyamuk Ae.aegypti. Angka bebas jentik dan house index lebih

menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu daerah. Tidak ada teori yang pasti angka bebas jentik dan house index minimal 1% yang berarti persentase rumah yang di periksa jentikya harus negatip. Ukuran tersebut di gunakan sebagai indikator keberhasilan pengendalian penularan DBD (Depkes RI, 1998).

  Jumlah container yang ditemukan jentik 

      x 100 % 


(41)

2.4. Pemberantasan Nyamuk

Pemberantasan nyamuk Ae.aegypti dan Ae.albopictus bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan hingga ke tingkat yang bukan merupakan

masalah kesehatan masyarakat lagi. Kegiatan pemberantasan nyamuk Aedes

aegypti yang dilaksanakan sekarang adalah terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya (Rithie, 2003).

a. Pemberantasan nyamuk dewasa

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara

penyemprotan (pengasapan/pengabutan=fogging) dengan insektisida.

Mengingat kebiasaan nyamuk senang hinggap pada benda-benda bergantungan seperti kelambu dan pakaian, maka penyemprotan tidak dilakukan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Insektisida yang dapat digunakan antara lain golongan: Organophospate, misalnya malathion; Pyretroid sintetik, misalnya lamda sihalotrin, cypermettrin, alfamethrin; Carbamat (Depkes RI, 2005).

Alat yang di gunakan untuk menyemprot adalah mesin Fog atau mesin ultra light volum (ULV) dan penyemprotan dengan cara pengasapan tidak mempunyai efek residu. Untuk membatasi penularan virus Dengue, penyemprotan di lakukan dua siklus dengan interval 1 minggu. Pada penyemprotan siklus pertama, semua nyamuk yang mengandung virus Dengue (nyamuk infektif) dan nyamuk-nyamuk lainya akan mati. Tetapi akan segera muncul nyamuk-nyamuk baru yang di antaranya akan


(42)

menghisap darah penderita viremia yang masih ada yang dapat menimbulkan terjadinya penularan kembali. Oleh karena itu perlu di lakukan penyemprotan siklus kedua, penyemprotan yang kedua dilakukan 1 minggu sesudah penyemprotan yang pertama agar nyamuk baru yang infektif tersebut akan terbasmi sebelum sempat menularkan pada orang lain (Depkes RI, 2005).

Dalam waktu singkat, tindakan penyemprotan dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini harus diikuti dengan pemberantasan terhadap jentiknya yaitu dengan memprioritaskan gerakan pemberantasan sarang nyamuk DBD agar populasi nyamuk penular dapat tetap ditekan serendah-rendahnya. Dengan demikian bila ada penderita DBD atau orang dengan viremia, maka tidak dapat menular ke orang lain (Depkes RI, 2005).

b. Pemberantasan jentik

Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD). Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuan PSN DBD ini adalah untuk mengendalikan populasi nyamuk Aedes aegypti, sehingga penularan DBD dapat di cegah atau di kurangi. Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008).


(43)

Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) dilakukan dengan cara:

1. Fisik

Cara ini dikenal dengan kegiatan “3M”, yaitu menguras dan menyikat tempat- empat penampungan air, seperti bak mandi/WC, drum dan tempat lainya seminggu sekali (M1), menutup rapat-rapat penampungan air, seperti gentong air/tempayan dan lain-lain(M2), mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampungan air hujan (M3).

Selain cara di atas pada saat ini telah dikenal pula dengan istilah “3M” plus (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008) yaitu mengganti atau menyingkirkan air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat yang sejenisnya seminggu sekali, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak, menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan tanah atau benda sejenisnya), menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air, memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, mengunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk.


(44)

2. Kimia

Cara memberantas jentik Ae.aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik dengan (larvasida) yang dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasidasi yang biasa digunakan adalah granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gram (± 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Larvasidasi dengan temephosini mempunyai efek risidu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golongan insect growth regulator (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008).

3. Biologi

Misalnya memelihara ikan pemakan jentik (ikan kepala timah, ikan gupi, ikan cupang/tempalo, dan lain-lain). Dapat juga digunakan Bacillus thurringlensisvar, Israeliensia (Bti) (Ditjen P2P dan PL, Depkes RI, 2008).

2.5. Lingkungan

Aktivitas dan metabolisme nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi secara langsung oleh faktor lingkungan, yaitu : temperatur atau suhu, kelembaban udara, tempat perindukan (TPA), dan curah hujan (Oktaviani, 2009). Selain itu, terdapat pula faktor kesehatan lingkungan lainnya seperti fungsi dan keadaan jendela di dalam rumah, jarak antar rumah, kepadatan penghuni, jumlah tanaman hias, dan sebagainya (Ekaputra dkk, 2010).


(45)

2.5.1. Tempat Penampungan Air

Tempat penampungan air adalah suatu wadah yang digunakan untuk menampung air sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, tempat penampungan air yang biasa digunakan masyarakat adalah bak mandi, ember, kontainer air, dan sebagainya. Tempat penampungan air dapat menjadi faktor resiko penyebab adanya larva Aedes aegypti di dalamnya karena sangat berkaitan dengan perilaku pemilik TPA tersebut. Hal yang dapat menyebabkan TPA menjadi breeding places bagi nyamuk Aedes aegypti berkaitan dengan kebiasaan menutup TPA yang ada di dalam rumahnya (Hayunurdia, 2010).

2.5.2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara merupakan salah satu kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan larva Aedes aegypti (Yudhastuti dkk, 2005). Kelembaban udara sendiri merupakan banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang dinyatakan dalam %. Menurut Mardihusudo (1988), disebutkan bahwa kelembaban udara yang optimal untuk perkembangbiakan dan perkembangan embrio nyamuk berkisar antara 81,5 – 89,5%.

2.5.3. Suhu

Selain kelembaban udara, suhu juga merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan larva Aedes aegypti (Sugito,


(46)

1989). Suhu merupakan derajat panas dingin yang dinyatakan dalam satuan

°C. Menurut Iskandar, et al. (1985), pada umumnya nyamuk Aedes aegypti akan meletakkan telurnya pada suhu optimal untuk perkembangan larva Aedes aegypti yakni antara 20-30°C. Selain suhu yang tersebut, perkembangan dan pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali (Yotopranoto et al., 1998).

2.5.4. Jendela

Salah satu faktor kesehatan lingkungan menurut Ekaputra dkk (2010) yang mempunyai faktor penting terhadap keberadaan larva Aedes aegypti adalah keberadaan dan fungsi jendela. Jendela dikatakan berfungsi apabila dapat dilewati oleh cahaya dan berfungsi sebagai ventilasi, serta dibuka secara teratur (Gulo, 2012). Fungsi jendela juga akan semakin baik bila ditambahkan kawat nyamuk untuk mencegah masuknya nyamuk ke dalam rumah seseoarang.

2.6. Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung (Notoatmodjo, 2003).


(47)

Menurut Robert Kwick (1974) dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari. Perilaku tidak sama dengan sikap. Sikap adalah hanya suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan terhadap suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia. Jadi, pada dasarnya perilaku manusia merupakan urutan proses yang dimulai dari mempelajari sesuatu untuk mendapatkan pengetahuan, menumbuhkan rasa ingin tahu dan respon terhadap sesuatu berupa sikap, dan keinginan untuk melakukan aksi berupa tindakan.

Hal tersebut berkaitan dengan domain perilaku yang dijelaskan oleh Bloom (Notoatmodjo, 2005) yang mengatakan bahwa perilaku itu dibagi menjadi tiga domain yang saling melengkapi untuk membentuk perilaku seseorang, yakni :

a. Pengetahuan b. Sikap c. Tindakan

2.6.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang dapat diterangkan dengan metode ilmiah yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu persoalan


(48)

sekarang atau masa yang akan datang (Tjokronegoro, A & Sudarsono, S., 2001). Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri (Bakhtiar, 2004). Pengetahuan adalah suatu proses untuk mengetahui dan menghasilkan sesuatu yang didorong rasa ingin tahu yang bersumber dari kehendak dan kemauan manusia (Suhartono, 2005).

2.6.2. Sikap

Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku. Merupakan respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak langsung dilihat akan tetapi harus ditafsirkan terlebih dahulu sebagai tingkah laku yang tertutup.

2.6.3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behaviour). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2003). Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :


(49)

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tingkat pertama (Notoatmodjo, 2003).

b. Respon terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatau sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat dua (Notoatmodjo, 2003).

c. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga (Notoatmodjo, 2003).

d. Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2003).


(50)

2.7. Kerangka Teori

Vektor Aedes aegypti merupakan penyebab penyebaran virus penyakit

DBD. Vektor tersebut erat kaitannya dengan perkembangan dan pertumbuhan larvanya. Kepadatan larva Aedes aegypti dipengaruhi oleh perilaku manusia dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Dewasa ini, program untuk mencegah keberadaan larva Aedes aegypti disebut 3M Plus. Program 3M Plus harus dijalankan oleh masyarakat di suatu wilayah agar dapat mencegah bahkan mengurangi kasus DBD di kemudian hari. Program tersebut sangat erat berkaitan dengan perilaku masyarakat terkait 3M Plus yang disusun atas pengetahuan, sikap, dan tindakan.

Kondisi lingkungan seperti kondisi tempat penampungan air (TPA), kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela juga mempengaruhi kepadatan larva Aedes aegypti. Selain itu terdapat faktor kepadatan penduduk, keberadaan pemukiman kumuh, dan keberadaan pasar Tanah Abang juga turut serta disebut sebagai faktor pendukung kepadatan larva Aedes aegypti di wilayah Kelurahan Kebon Kacang.

Selain itu, frekuensi penyuluhan terkait DBD pun menjadi faktor pendukung dalam mengurangi kepadatan larva Aedes aegypti di suatu daerah. Hal tersebut berkaitan dengan penyadaran kepada masyarakat tentang bahaya dari DBD.

Oleh sebab itu, dasar pemikiran inilah yang menjadi landasan dalam pembuatan kerangka teori. Kerangka teorinya adalah sebagai berikut.


(51)

Gambar 2.1. Kerangka Teori

(Kurnianto, 2013; Depkes RI, 2005; Sugito, 1989; Mardihusodo, 1988; Gulo, 2012; Asri, 2008; Aisyah, 2013; Wiratanya dkk, 2008)

a. Tempat

Penampungan Air (TPA)

b. Suhu

c. Kelembaban udara

d. Jendela

Pengetahuan, sikap, dan tindakan 3M plus :

a. Menguras b. Menutup c. Mengubur

d.Pengelolaan lingkungan

Perilaku Ibu Rumah Tangga

i. Kepadatan

penduduk

ii. Keberadaan

pemukiman kumuh

iii. Keberadaan

pasar Kepadatan Larva Aedes aegypti Kondisi Lingkungan Pelayanan Kesehatan Frekuensi penyuluhan tentang DBD


(52)

BAB III

KERANGKA KONSEP 3.1. Kerangka Konsep

Kerangka konsep yang dibuat oleh peneliti adalah berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan terdahulu. Kepadatan larva Aedes aegypti selama ini dikenal sebagai penyebab awal vektor utama penyakit DBD. Kepadatan larva tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor dan beberapa faktor yang akan diteliti adalah : Perilaku 3M plus ibu rumah tangga yang mencakup pengetahuan, sikap, dan tindakan serta kondisi lingkungan seperti tempat penampungan air, kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Tempat Penampungan Air

(TPA)

Kepadatan Larva Aedes aegypti

Pengetahuan 3M Plus

Sikap 3M Plus

Tindakan 3M Plus

Kelembaban Udara

Suhu


(53)

3.2. Definisi Operasional No

.

Variabel Definisi Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur

1. Tempat

Penampun

gan Air

(TPA)

Tempat penampungan air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari dan

berpotensi menjadi

breeding places nyamuk

dan dalam kondisi

terbuka. Contohnya

adalah bak mandi, ember air, kontainer air, dan lainnya. Responden yang tidak memiliki tempat

penampungan air

dimasukkan ke dalam

kategori tertutup.

Lembar observasi

1. Terbuka 2. Tertutup

Nomina l


(54)

No .

Variabel Definisi Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur

2. Suhu Derajat panas dingin di

sekitar TPA dan

dinyatakan dalam ° C dan rentang waktu observasi adalah 15 menit setiap rumah yang dimulai dari pukul 08.00 – 16.00 WIB.

Thermohy drometer

1. Optimal : 20-30° C

2. Tidak

optimal : <20°C & >30°C (Iskandar, et al., 1985)

Ordinal

3. Kelembab

an udara

Banyaknya uap air yang terkandung dalam udara

di sekitar TPA dan

rentang waktu observasi adalah 15 menit setiap rumah yang dimulai dari pukul 08.00 – 16.00 WIB.

Thermohy drometer


(55)

No .

Variabel Definisi Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur

4. Jendela Adanya suatu tempat yang

berfungsi sebagai

ventilasi, serta dibuka secara teratur.

Lembar Observasi

1. Berfungsi 2. Tidak

Berfungsi

Nomina l

5. Kepadatan

larva Aedes aegypti

Hasil dari observasi larva yang dilakukan pada saat penelitian.

Lembar Observasi

1. Ada 2. Tidak

Nomina l


(56)

No .

Variabel Definisi Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur

6. Pengetahu

an terhadap 3M+

Segala sesuatu yang

diketahui responden

tentang 3M+ dan akan dihitung dengan skoring (Ganie, 2009)

Kuesioner 1. Baik :

≥80%

2. Buruk :

<80% (Yudhastuti dkk, 2005)

Ordinal

7. Sikap

terhadap 3M+

Tanggapan atau reaksi responden tentang 3M+ dan akan dihitung dengan skoring (Ganie, 2009)

Kuesioner 1. Baik :

≥80%

2. Buruk :

<80% (Yudhastuti dkk, 2005)


(57)

No .

Variabel Definisi Alat Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur

8. Tindakan

terhadap 3M+

Segala tindakan yang

dilakukan responden

tentang 3M+ dan akan dihitung dengan skoring (Ganie, 2009)

Kuesioner 1. Baik :

≥80%

2. Buruk :

<80% (Yudhastuti dkk, 2005)


(58)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini, desain yang digunakan adalah cross sectional study. Hal ini dikarenakan tujuan dari penelitian yang dilakukan untuk menganalisis perilaku 3M Plus ibu rumah tangga dan kondisi lingkungan terhadap kepadatan larva Aedes aegypti pada saat penelitian dijalankan. Sehingga hal tersebut sesuai dengan kriteria penggunaan desain cross sectional dimana desain ini berfungsi dalam meneliti pada waktu yang bersamaan.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kelurahan Kebon Kacang, Jakarta Pusat pada bulan Mei-Juni 2014.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga dan seluruh rumah di wilayah Kelurahan Kebon Kacang.


(59)

2. Sampel

Sampel yang merupakan bagian dari populasi tersebut adalah rumah tangga dengan unit analisisnya ibu rumah tangga sebagai pengelola lingkungan di dalam rumahnya.

4.4. Besar Sampel

Rumus besar sampel yang digunakan pada penelitian kali ini adalah komparatif kategorik tidak berpasangan, yaitu :

Gambar 3. Rumus Komparatif Kategorik Tidak Berpasangan Tabel 4.1. Jumlah Sampel

No. P1 P2 Variabel Jumlah Sampel

Sumber

1 0,6 0,7 Suhu 182 Yudhastuti dkk, 2005

2 0,6 0,5 Suhu 138 Yudhastuti dkk, 2005

a. Nilai P1 yang diambil sebesar 0,6 mengenai hubungan suhu dengan keberadaan larva Aedes aegypti (Yudhastuti dkk, 2013)

b. Nilai P2 yang diambil adalah menggunakan estimasi beda 10%

dikarenakan peneliti tidak mengetahui nilai P2 dari penelitian sebelumnya. 1. P2 yang pertama adalah 10% > P1

P2 = 10% + 60% = 70% P2 = 0,7


(60)

2. P2 yang kedua adalah 10% < P1 P2 = 60% - 10% = 50%

P2 = 0,5 c. Kesalahan tipe I 5%, Z1-α/2 = 1,96

d. Kesalahan tipe II 10%, Z1-β = 1,28

Jadi, sampel yang didapat adalah sampel terbesar dari hasil perhitungan tersebut.

n = 182

n + 10%(n) = 182 + 19 = 201

Untuk mengantisipasi adanya data yang hilang atau kurang, peneliti merasa perlu menambahkan 10% dari total sampel yang telah di dapat. Jadi, total sampelnya adalah 201 KK.


(61)

Tabel 4.2. Jumlah Sampel Per RW RW Jumlah Sampel

I 20

II 27

III 18

IV 18

V 25

VI 12

VII 15

VIII 22

IX 12

X 21

XI 11

Total 201

4.5. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling yang digunakan adalah teknik simple random

sampling. Teknik ini akan menentukan sampel yang ada di dalam wilayah penelitian yaitu Kelurahan Kebon Kacang yang terbagi menjadi 11 rukun warga (RW). Jumlah KK yang ada di Kelurahan Kebon Kacang adalah 8347 KK (Laporan Bulanan Kelurahan Kebon Kacang, 2014). Dari seluruh jumlah KK yang ada, akan dibuat nomor urut dari 1 hingga 8347 dan akan dipilih 201 KK secara acak. Pemberian nomor urut tersebut akan


(62)

disesuaikan dengan nomor rumah yang ada di tiap RT yang berada di dalam suatu RW.

4.6. Pengumpulan Data

4.6.1. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer akan diambil saat melakukan observasi di wilayah penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder berupa data statistik penduduk dan data ABJ yang akan diambil di Kelurahan Kebon Kacang dan Puskesmas Tanah Abang.

4.6.2. Metode

a. Data Primer

Variabel tentang perilaku 3M Plus akan diambil melalui pengisian

kuesioner yang di dalamnya mencakup pertanyaan tentang pengetahuan, sikap, dan tindakan terkait 3M Plus. Kuesioner tersebut akan diberikan kepada ibu rumah tangga yang sudah ditunjuk dan setuju menjadi responden. Untuk mendukung hasil kuesioner yang ada, dilakukan pula wawancara mendalam kepada kepala RW 10 yang bernama Bapak Suroso karena beliau merupakan tokoh yang dikenal masyarakat dan paham mengenai 3M Plus di wilayah Kelurahan Kebon Kacang. Kemudian,


(63)

kepadatan larva Aedes aegypti akan diobservasi langsung menggunakan lampu senter (visual survey) di tempat penampungan air yang ada di dalam rumah ibu rumah tangga. Faktor kondisi lingkungan juga diobservasi juga secara langsung oleh peneliti di saat yang bersamaan.

4.6.3. Instrumen Penelitian

Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Kuesioner

Kuesioner yang digunakan mencakup beberapa pertanyaan yang terkait dengan variabel perilaku 3M Plus ibu rumah tangga (pengetahuan, sikap, dan tindakan). Penilaian atau skoring yang dilakukan adalah dengan memberikan nilai 1 untuk jawaban benar dan 0 untuk jawaban salah. Pembagian kategori baik atau buruk amat tergantung dengan total skor yang didapat oleh responden berkaitan dengan jawaban yang ada di dalam kuesionernya. Contoh skoring akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Pengetahuan (8 pertanyaan) = (P1+ … +P8 / 8) x 100% b. Sikap (7 pertanyaan) = (S1 + … + S7 / 7) x 100% c. Tindakan (8 pertanyaan) = (T1 + … + T8 / 8) x100%

Kuesioner yang akan diujikan ini telah melewati uji validitas dan uji realibilitas terlebih dahulu menggunakan 19 responden. Berikut adalah hasil uji validitas dan uji realibilitas yang telah dilakukan.


(64)

a. Uji validitas

Validitas merupakan indeks yang menunjukkan apakah suatu alat ukut yang digunakan dapat mengukur apa yang dia ukur.

Tabel 4.3.

Hasil Uji Validitas Pengetahuan 3M Plus No. Pertanyaan Nilai Uji R Tabel

( n=19)

Status

1 P1 0,635

0,456 (Sugiyono,

1999)

Valid

2 P2 0,635

3 P3 0,652

4 P4 0,462

5 P5 0,461

6 P6 0,854

7 P7 0,642

8 P8 0,642

Semua pertanyaan untuk variabel pengetahuan memiliki nilai uji validitas di atas nilai R tabel pada n = 19. Oleh sebab itu, seluruh pertanyaannya dinyatakan valid.


(65)

Tabel 4.4.

Hasil Uji Validitas Sikap 3M Plus No. Pertanyaan Nilai Uji R Tabel

( n=19)

Status

1 S1 0,459

0,456 (Sugiyono,

1999)

Valid

2 S2 0,667

3 S3 0,667

4 S4 0,667

5 S5 1,000

6 S6 0,667

7 S7 0,667

Semua pertanyaan untuk variabel sikap memiliki nilai uji validitas di atas nilai R tabel pada n = 19. Oleh sebab itu, seluruh pertanyaannya dinyatakan valid.


(66)

Tabel 4.5.

Hasil Uji Validitas Tindakan 3M Plus No. Pertanyaan Nilai Uji R Tabel

( n=19)

Status

1 T1 0,464

0,456 (Sugiyono,

1999)

Valid

2 T2 0,609

3 T3 0,885

4 T4 0,885

5 T5 0,885

6 T6 0,885

7 T7 0,464

8 T8 0,464

Semua pertanyaan untuk variabel tindakan memiliki nilai uji validitas di atas nilai R tabel pada n = 19. Oleh sebab itu, seluruh pertanyaannya dinyatakan valid.

b. Uji realibilitas

Realibilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh mana

suatu alat pengukuran dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Uji realibilitas menggunakan Alpha Cronchbach dimana instrument penelitian dianggap reliabel jika nilai alpha minimal 0,6.


(67)

Tabel 4.6. Hasil Uji Realibilitas

No. Variabel Alpha Cronchbach Alpha Minimal

Status

1 Pengetahuan 0,810

0,6 Reliabel

2 Sikap 0,845

3 Tindakan 0,819

2. Thermohydrometer

Thermohydrometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur kelembaban udara dan suhu. Alat ini dapat bekerja optimal juga sudah diletakkan selama minimal 15 menit.

3. Lampu senter dan lembar kepadatan larva

Lampu senter digunakan untuk melihat keberadaan larva yang ada di dalam TPA rumah responden. Jumlah larva yang ditemukan kemudian dicatat di lembar kepadatan larva yang telah disiapkan.

4. Pedoman wawancara

Pedoman wawancara ini digunakan untuk memperkuat informasi terkait masalah keberadaan larva Aedes aegypti dan kasus DBD yang masih fluktuatif di Kelurahan Kebon Kacang.


(68)

4.7. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data yang akan dilakukan pada penelitian kali ini yaitu melakukan editing dan coding menggunakan Epi Data. Sedangkan untuk melakukan entry data akan menggunakan software SPSS. Proses terakhir yang dilakukan adalah cleaning data. Dalam tahap ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap seluruh data yang telah di entry dan diolah. Jenis analisis data yang digunakan yaitu analisis univariate dan bivariate.

a. Univariat

Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian berupa gambaran distribusi yang ditampilkan dalam tabel distribusi frekuensi.


(69)

BAB V HASIL

5.1. Kondisi Geografis Kelurahan Kebon Kacang

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1227 Tahun 1989 tanggal 8 Mei 1989 tentang Penyempurnaan Lampiran Keputusan KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986 tanggal 29 Mei 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas, Pembaharuan Nomor Kelurahan di DKI Jakarta, luas wilayah Kelurahan Kebon Kacang terdapat 71 Ha dengan batas-batas wilayah sebagai berikut (Laporan Bulanan Kelurahan Kebon Kacang, 2013):

a. Sebelah Utara :

Di sebelah Utara Kelurahan Kebon Kacang dibatasi oleh Jl. KH. Fakhrudin atau Jl. KH. Wahid Hasyim Kelurahan Kampung Bali. Kelurahan ini bukan merupakan zona merah.

b. Sebelah Timur :

Kali Cideng atau Kecamatan Menteng adalah wilayah yang membatasi Kelurahan Kebon Kacang di sisi Selatan. Kecamatan Menteng merupakan satu dari sembilan wilayah yang dinilai sebagai zona merah. Kecamatan ini berbatasan langsung dengan Kelurahan Kebon Kacang. Antara Kecamatan Menteng dan Kelurahan Kebon Kacang hanya dipisahkan oleh Kali Cideng dan jalan di sekitar Bundaran HI. Tingginya aktifitas manusia di daerah ini dapat menjadi


(70)

faktor resiko penyebaran kasus DBD dan aka meningkatkan keberadaan larva Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang.

Di Kecamatan Menteng juga terdapat Taman Menteng yang biasa dijadikan masyarakat sebagai tempat rekreasi dan olahraga di sore hari. Adanya kebiasaan pergi ke taman bisa jadi turut serta dalam meningkatkan kasus DBD dan keberadaan larva Aedes aegypti di wilayah lain. Hal tersebut dikarenakan mungkin pada saat bermain di taman, mereka digigit oleh nyamuk Aedes aegypti yang membawa virus DBD. Berikut akan diberikan gambar peta batas-batas wilayah Kelurahan Kebon Kacang dan akan memperlihatkan bahwa Kelurahan ini sangat berbatasan langsung dengan Kecamatan Menteng.

c. Sebelah Selatan :

Jl. Kebon Kacang Raya atau Jl. Lontar Raya Kelurahan Kebon Melati membatasi bagian Selatan Kelurahan Kebon Kacang dan bukan merupakan wilayah zona merah.

d. Sebelah Barat :

Kali Banjir Kanal atau Kelurahan Petamburan terletak di sebelah Barat Kelurahan Kebon Kacang. Wilayah ini bukan termasuk zona merah.

Untuk memperjelas batas wilayah Kelurahan Kebon Kacang, berikut adalah peta wilayah Kelurahan Kebon Kacang dan batas-batas wilayahnya.


(71)

Gambar 5.1. Wilayah dan Batas-batas Kelurahan Kebon Kacang

5.2. Kondisi Demografis Kelurahan Kebon Kacang

Kelurahan Kebon Kacang memiliki jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 8347 KK dengan jumlah penduduk sebesar 26.380 jiwa. Kelurahan Kebon Kacang juga memiliki 11 Rukun Warga (RW) dan mempunyai 152 Rukun Tetangga (RT) (Laporan Bulanan Kelurahan Kebon Kacang, 2014).


(72)

5.3. Wawancara Tokoh Masyarakat

Saat observasi, peneliti juga melakukan wawancara mendalam kepada tokoh masyarakat yang mengerti tentang keadaan wilayah Kelurahan Kebon Kacang serta masalah kesehatan yang dihadapi di wilayah ini. Beliau adalah seorang ketua RW 10 dan merupakan individu yang aktif berorganisasi dan dekat dengan semua masyarakat. Sudah lebih dari 20 tahun beliau tinggal di wilayah Kelurahan Kebon Kacang dan menurutnya masalah DBD masih menjadi isu di wilayah tersebut.

Menurutnya, program 3M Plus yang dipublikasikan oleh pihak kesehatan belum terlalu didengar oleh masyarakat terutam untuk kalangan menengah ke bawah. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tidak ada inovasi baru dari pihak-pihak kesehatan agar memacu semangat masyarakat menjalankan 3M Plus tersebut.

Hambatan dalam menjalankan program tersebut selain kurangnya inovasi yang dilakukan pihak kesehatan, juga masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk hidup sehat dan menyayangi lingkungannya. Hal tersebut terutama berlaku untuk wilayah RW yang padat penduduk dan di dominasi oleh kalangan menengah ke bawah. Pernyataan itu didukung oleh fakta bahwa hanya beberapa RW saja yang rutin menjalankan kerja bakti di wilayahnya.

Padahal menurut dia, program 3M Plus di masa yang akan datang akan memiliki pengaruh kuat dalam mencegah keberadaan larva Aedes aegypti dan mungkin akan menghilangkan kasus DBD dengan sendirinya.


(73)

Kasus DBD yang ada dapat dihilangkan dengan cara sadar diri untuk menyayangi lingkungan dan keluarganya. Jadi, dengan dilakukannya 3M Plus dimulai dari keluarga masing-masing dan adanya beberapa inovasi dari pihak kesehatan, harapannya kasus DBD akan menghilang dengan sendirinya.

5.4. Kepadatan dan Persebaran Larva Aedes aegypti

Berikut adalah kepadatan dan persebaran larva Aedes aegypti yang ada di Kelurahan Kebon Kacang selama masa penelitian. Metode yang digunakan dalam melihat kepadatannya adalah menggunakan cara single survey dan menggunakan bantuan lampu senter.


(74)

Tabel 5.1.

Kepadatan Dan Persebaran Larva Aedes aegypti di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014

No Rw Rumah Ditemukan Larva

Jumlah Rumah Diperiksa

Jumlah Larva

1 I 2 20 2

2 II 0 27 0

3 III 0 18 0

4 IV 0 18 0

5 V 0 25 0

6 VI 0 12 0

7 VII 3 15 7

8 VIII 0 22 0

9 IX 0 12 0

10 X 6 21 20

11 XI 2 11 2

Total 13 201 31

HI 6,5%

ABJ 93,5%

Menurut tabel 5.1., persebaran larva Aedes aegypti di Wilayah Zona Merah Kelurahan Kebon Kacang terletak di RW I, VII, X, dan XI dengan House Index sebesar 6,5% dan ABJ sebesar 93,5%.


(75)

5.4. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus Ibu Rumah Tangga Hasil wawancara menggunakan kuesioner memperlihatkan distribusi pengetahuan, sikap, dan tindakan ibu rumah tangga mengenai 3M Plus di wilayah Kelurahan Kebon Kacang. Berikut adalah distribusi perilaku ibu rumah tangga terkait 3M Plus.

Tabel 5.2.

Perilaku 3M Plus Ibu Rumah Tangga Kelurahan Kebon Kacang

Tahun 2014

Hasil n %

Pengetahuan

Buruk 153 76,1

Baik 48 23,9

Sikap

Buruk 31 15,4

Baik 170 84,6

Tindakan

Buruk 94 46,8

Baik 107 53,2

Berdasarkan tabel 5.2., dari 201 ibu rumah tangga diketahui bahwa yang memiliki pengetahuan 3M Plus yang buruk ada 76,1%, sikap 3M Plus yang buruk ada 15,4%, dan tindakan 3M Plus yang buruk ada 46,8%.


(76)

5.5. Kondisi Lingkungan

Kondisi lingkungan yang diobservasi selama penelitian adalah kondisi Tempat Penampungan Air (TPA), kelembaban udara, suhu, dan fungsi jendela. Berikut adalah distribusi kondisi kondisi lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014.

Tabel 5.3.

Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014

Hasil n %

Kondisi TPA

Tertutup 23 11,4

Terbuka 178 88,6

Suhu

Tidak Optimal 119 59,2

Optimal 82 40,8

Jendela

Berfungsi 77 38,3

Tidak Berfungsi 124 61,7

Berdasarkan tabel 5.3., diketahui terdapat 88,6% TPA yang terbuka dan berpotensi menjadi breeding places bagi vektor Aedes aegypti, terdapat 40,8% suhu di sekitar TPA yang optimal untuk perkembangbiakan vektor dan perkembangan larva Aedes aegypti, dan terdapat 61,7% jendela yang tidak berfungsi dengan baik. Penelitian ini


(77)

juga ditemukan rata-rata kelembaban udara sebesar 36,99% dengan nilai minimal 15% dan nilai maksimal 65%.

5.6. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan 3M Plus.

Berikut adalah distribusi kepadatan larva Aedes aegypti menurut pengetahuan, sikap dan tindakan 3M Plus ibu rumah tangga di Kelurahan Kebon Kacang.


(78)

Tabel 5.4.

Distribusi Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Perilaku 3M Plus Ibu Rumah

Tanggadi Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014

Hasil

Kepadatan Larva Aedes

aegypti Total Ada Tidak Ada

n % n % n % Pengetahuan

Buruk 11 7,2 142 92,8 153 100

Baik 2 4,2 46 95,8 48 100

Total 13 6,5 188 93,5 201 100 Sikap

Buruk 1 3,2 30 96,8 31 100

Baik 12 7 158 93 170 100

Total 13 6,5 188 93,5 201 100 Tindakan

Buruk 6 6,4 88 93,6 94 100

Baik 7 6,5 100 93,5 107 100


(79)

Berdasarkan tabel 5.4., dari 6,5% rumah yang ditemukan larva Aedes aegypti, 85% berasal dari rumah ibu rumah tangga yang memiliki pengetahuan 3M Plus yang buruk, 92,3% berasal dari rumah ibu rumah tangga yang memiliki sikap 3M Plus yang baik, dan 54% berasal dari rumah ibu rumah tangga yang memiliki tindakan 3M Plus yang baik.


(80)

5.7. Kepadatan Larva Aedes aegypti Menurut Kondisi Lingkungan Berikut adalah distribusi kepadatan larva menurut kondisi lingkungan.

Tabel 5.5.

Distribusi Kepadatan Larva Menurut Kondisi Lingkungan di Kelurahan Kebon Kacang Tahun 2014

Hasil

Kepadatan Larva Aedes

aegypti Total Ada Tidak Ada

n % n % n % Kondisi TPA

Terbuka 10 5,6 168 94,4 178 100

Tertutup 3 13 20 87 23 100

Total 13 6,5 188 93,5 201 100

Suhu

Optimal 13 15,9 69 84,1 82 100

Tidak Optimal

0 0 119 100 119 100

Total 13 6,5 188 93,5 201 100

Fungsi Jendela

Berfungsi 7 9 70 91 77 100

Tidak Berfungsi

6 4,8 118 95,2 124 100


(81)

Berdasarkan tabel 5.5, dari 6,5% rumah yang ditemukan larva Aedes aegypti, 77% berasal dari TPA yang terbuka, 100% pada suhu yang optimal, dan 46% pada jendela yang tidak berfungsi dengan baik. Sedangkan larva Aedes aegypti ditemukan pada kelembaban dengan rata-rata 29,38%.


(1)

Lampiran III Uji Realibilitas Kuesioner

1. Pengetahuan 3M Plus Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

,810 8

2. Sikap 3M Plus Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items

,845 7

3. Tindakan 3M Plus Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha N of Items


(2)

Lampiran IV Output Univariat 1. Pengetahuan 3M Plus

2. Sikap 3M Plus


(3)

4. TPA


(4)

(5)

7. Fungsi Jendela


(6)

Lampiran V Pedoman Wawancara

1. Sudah berapa lama Anda tinggal di Kelurahan Kebon Kacang?

2. Bagaimana pendapat Anda mengenai 3M Plus di wilayah tempat Anda tinggal?

3. Apa saja hambatan program 3M Plus di wilayah tempat Anda tinggal? 4. Apakah ada pengaruh antara 3M Plus dengan kasus DBD di wilayah

tempat Anda tinggal?

5. Jika masih ada kasus DBD, apa yang sebaiknya dilakukan oleh masyarakat dan pihak kesehatan seperti puskesmas untuk menghilangkan kasus DBD?