Analisis Bentanglahan Untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung Sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor

ANALISIS BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN KAWASAN
HUTAN LINDUNG SEBAGAI ARAHAN PENYEMPURNAAN
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOGOR

PRIYO SUPRAYOGI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bentanglahan
untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung sebagai Arahan Penyempurnaan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2016
Priyo Suprayogi
NIM A156140234

ii

RINGKASAN
PRIYO SUPRAYOGI. Analisis Bentanglahan untuk Penentuan Kawasan Hutan
Lindung sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan WIDIATMAKA.
Kegiatan penataan ruang khususnya di bidang penatagunaan kawasan
lindung memegang peranan penting dalam rangka mewujudkan ruang kehidupan
yang menjamin tingkat produktivitas yang optimal dengan tetap memperhatikan
prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan (environmental sustainability). Pada
kenyataannya, perencanaan tata ruang di daerah sering tidak sesuai dengan
kondisi fisik/lingkungan. Terbitnya RTRWP Jawa Barat yang merubah status
hutan lindung seluas 8.558 ha di kawasan Puncak Kabupaten Bogor menjadi

kawasan hutan produksi, kawasan permukiman, dan kawasan perkebunan menjadi
dasar diperlukannya arahan baru untuk penyempurnaan rencana tata ruang
Kabupaten Bogor (khususnya dalam penentuan kawasan hutan lindung) yang
sesuai dengan kondisi fisik lingkungan/bentanglahan.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menyusun arahan penetapan
kawasan hutan lindung sebagai penyempurnaan rencana tata ruang wilayah
Kabupaten Bogor. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : (a)
penentuan kawasan hutan lindung berdasarkan kriteria-kriteria fisik
lingkungan/bentanglahan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan
Kepmentan No. 837 Tahun 1980 serta berdasarkan pembobotan alternatif menurut
pendapat para ahli melalui teknik AHP (Analytical Hierarchy Process); (b)
penentuan arahan penetapan kawasan hutan lindung melalui metode analisis
kesatuan hamparan kawasan hutan dan analisis dominasi luas fungsi hutan
terklasifikasi; serta (c) evaluasi kesesuaian peta kawasan hutan lindung yang telah
ditetapkan dalam peta penunjukan kawasan hutan dan dalam dokumen
perencanaan tata ruang (RTRW) Kabupaten Bogor melalui teknik overlay dan
analisis deskriptif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa untuk seluruh ruang administrasi
Kabupaten Bogor, kawasan yang terklasifikasi sebagai kawasan hutan lindung
berdasarkan kriteria dari Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun

1980 yaitu seluas 20 001.4 ha atau 6.69 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor,
sedangkan berdasarkan metode pembobotan alternatif seluas 24 655 ha atau 8.25
% dari luas wilayah Kabupaten Bogor. Untuk area di kawasan hutan yang telah
ditentukan (penunjukan), kawasan yang terklasifikasi sebagai kawasan hutan
lindung berdasarkan kriteria dari Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837
Tahun 1980 yaitu seluas 15 589.4 ha atau 5.22 % dari luas wilayah Kabupaten
Bogor, sedangkan berdasarkan metode pembobotan alternatif seluas 9 486.3 ha
atau 3.17 % dari luas wilayah Kabupaten Bogor.
Untuk kawasan hutan, arahan penetapan kawasan hutan lindung yang
digunakan adalah dari peta arahan kawasan hutan versi Keppres No. 32 Tahun
1990/ Kepmentan No. 837 Tahun 1980, karena peta ini dianggap lebih baik
(karena lebih luas kawasan hutan lindungnya) dibandingkan dengan peta arahan
kawasan hutan versi pembobotan alternatif. Namun jika dilihat dari seluruh ruang
administrasi (Kabupaten Bogor), versi pembobotan alternatif lebih baik, karena

mempunyai hamparan hutan lindung yang lebih luas dan persebarannya secara
dominan berada pada daerah pegunungan (ketinggian > 500 mdpl).
Klasifikasi kawasan hutan (HL, HPT, dan HP) pada peta penunjukan
kawasan hutan didapatkan tidak hanya berbasis pada kriteria Keppres No. 32
Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 karena menunjukan hasil pemetaan

yang berbeda. Hal ini mungkin dikarenakan masih ada faktor lain yang harus
dipertimbangkan agar pengelolaan kawasan hutan bisa operasional, efektif, dan
efisien. Faktor pertimbangan tersebut antara lain adalah kesatuan hamparan hutan
serta infrastruktur yang mendukungnya (seperti jaringan jalan).
Klasifikasi kawasan hutan (HL, HPT, dan HP) dalam pola ruang (RTRW)
Kabupaten Bogor yang ada tidak sesuai dengan klasifikasi kawasan hutan
berdasarkan peta penunjukan kawasan hutan dan kriteria Keppres No. 32 Tahun
1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 . Adapun peta rekomendasi kawasan hutan
untuk pola ruang RTRW Kabupaten Bogor dapat digunakan untuk
penyempurnaan peta pola ruang yang ada, karena telah didasarkan pada peta
penunjukan kawasan hutan dan kondisi aktual bentanglahan (kriteria Keppres No.
32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 ) di wilayah penelitian.

Kata kunci: kawasan hutan lindung, kriteria fisik lingkungan/bentanglahan,
analytical hierarchy process, rencana tata ruang wilayah,
Kabupaten Bogor

iv

SUMMARY

PRIYO SUPRAYOGI. Analysis of Landscape for Determination of Forest
Protected Area as a Direction for the Improvement of Regional Spatial Plan in
Bogor District. Supervised by BOEDI TJAHJONO and WIDIATMAKA.
Spatial planning activities, especially in the protected areas management has
important role in order to create a space of life that ensures optimal productivity
levels by taking into account the principles of environmental sustainability. In
fact, spatial planning in the regions is often not correspond to the physical
environment landscape conditions. The published of Jawa Barat regional planning
that change the status of protected forest area of 8 558 ha in the Puncak area of
Bogor District into production forest areas, residential areas, and the plantations
became the reason for the need of a new direction for the improvement of spatial
planning of Bogor District (especially in the determination of protected forest
areas) as appropriate with physical environment / landscape conditions.
The main objective of this research is to compose the direction of the
establishment of protected forest areas as the improvement in spatial plans of
RTRW Bogor District. The methods used in this study are : (a) the determination
of protected forest areas based on physical criteria/the criteria for landscape in
Presidential Decree No. 32 of 1990 and Minister of Agriculture Decree No. 837 of
1980 and based on the alternative weighting according to experts with the AHP
(Analytical Hierarchy Process) technique; (b) determination the direction of

protected forest areas with forest unity analysis technique and dominant large
analysis of classification of forest area; (c) evaluation of suitability the established
protected forest areas on the forest designation map and the regional planning map
(RTRW) in Bogor district with overlay technique and description analysis.
The results showed that for the Bogor District administration area, the area
has classification as protected forest areas based on the criteria of Presidential
Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 which is
an area of 20 001.4 ha or 6.69 % of the Bogor District area, while based on the
alternative weighting method areas covering 24 655 ha or 8.25 % of the Bogor
District area. However, for the forest area (designation of forest area map), the
area has classification as protected forest areas based on the criteria of Presidential
Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 which is
an area of 15 589.4 ha or 5.22 % of the Bogor District area, while based on the
alternative weighting method areas covering 9 486.3 ha or 3.17 % of the Bogor
District area.
For the forest area, the direction of protected forest areas use the direction
forest area map based on Presidential Decree No. 32 of 1990/Minister of
Agriculture Decree No. 837 of 1980 version, because the map has more large of
the protected forest areas. However, if viewed from administration spatial (Bogor
District), alternative weighting version is better, because it has more large the

protected forest areas and spreading predominantly located in the mountainous
area (altitude > 500 masl).
The classification of forest area (HL, HPT, and HP) on the designation of
forest area map are not only based on the criteria of the Presidential Decree No.

32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980 because it shows the
different results of mapping. There are other factors that should be considered in
order to be operational forest management, more effective, and efficient. These
factors are the unity of the forests land and supporting infrastructure (such as
roads).
The classification of forest area (HL, HPT, and HP) on the existing of the
regional planning map (RTRW) in Bogor district is not in accordance with the
designation of forest area map and criteria of Presidential Decree No. 32 of
1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of 1980. Even thuough, The
direction of forest area map for the RTRW Bogor district can be used to
improvement the existing of spatial map, because it has based on the designation
of forest area map and the actual condition of the landscape (criteria of
Presidential Decree No. 32 of 1990/Minister of Agriculture Decree No. 837 of
1980) in the study area.


Keywords: protected forest areas, the criteria for landscape, analytical hierarchy
process, regional planning, Bogor District

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS BENTANGLAHAN UNTUK PENENTUAN KAWASAN
HUTAN LINDUNG SEBAGAI ARAHAN PENYEMPURNAAN
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOGOR

PRIYO SUPRAYOGI


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc

Judul Tesis : Analisis Bentanglahan untuk Penentuan Kawasan Hutan Lindung
sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bogor
Nama

: Priyo Suprayogi
NIM
: A156140234

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Boedi Tjahjono, MSc
Ketua

Dr Ir Widiatmaka, DAA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana


Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian : 17 Mei 2016

Tanggal Lulus :

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul Analisis Bentanglahan
untuk Kawasan Hutan Lindung sebagai Arahan Penyempurnaan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten Bogor berhasil diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Boedi Tjahjono MSc dan
Bapak Dr Ir Widiatmaka DAA selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Ernan
Rustiadi MAgr selaku ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Bapak
Dr Ir Suria Darma Tarigan MSc selaku dosen penguji luar komisi pembimbing. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Pusbindiklatren
Bappenas, Kepala Pusdalbanghut Reg.III Kementerian Kehutanan, Direktur Bina
Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan yang telah memberikan izin dan bantuan beasiswa selama mengikuti
program tugas belajar ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh dosen
dan staf kependidikan lingkup PWL, serta semua rekan-rekan mahasiswa PWL
khusus (Bappenas) dan reguler angkatan 2014. Terima kasih disampaikan kepada
istri penulis Atu Badariah Fauziah SHut atas segala kasih sayang, do’a dan
dukungannya. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu, ayah, serta
seluruh keluarga, atas segala do’a dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2016
Priyo Suprayogi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xiv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xvi

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ruang dan Penataan Ruang
Kawasan Lindung
Skoring Fungsi Kawasan Hutan
Hasil Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian

6
6
9
10
12

3

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Alat dan Bahan
Analisis Data

13
13
14
14
16

4

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
Letak Geografis dan Administrasi
Kondisi Fisik Geografis Kabupaten Bogor
Kondisi Sosial dan Ekonomi

21
21
21
26

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Kawasan Hutan Lindung Berdasarkan Kondisi Bentanglahan
Penentuan Arahan Penetapan Kawasan Hutan Lindung
Evaluasi Kesesuaian Kawasan Hutan Lindung yang Telah Ditetapkan
dalam Kepmenhut
Evaluasi Kesesuaian Kawasan Hutan Lindung yang Telah Ditetapkan
dalam Pola Ruang RTRW Kabupaten Bogor

28
28
48

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

61
61
62

6

1
1
2
3
3
3
3

52
54

DAFTAR PUSTAKA

62

LAMPIRAN

65

RIWAYAT HIDUP

97

vi

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

16
17
18
19
20
21
22

23
24
25
26
27
28
29
30
31
32

Skor kelas kelerengan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Skor kelas jenis tanah sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Skor kelas curah hujan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Matriks pencapaian tujuan penelitian
Kriteria kawasan hutan lindung menurut Keppres No. 32 Tahun
1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980
Kriteria pembobotan parameter fisik lingkungan untuk hutan lindung
Skala dasar ranking analytical hierarchy process (AHP)
Luas jenis tanah di Kabupaten Bogor
Curah hujan di Kabupaten Bogor
PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Bogor menurut lapangan usaha
Tahun 2012-2013 (dalam juta rupiah)
Klasifikasi fungsi kawasan hutan berdasarkan hasil skoring
Perhitungan skoring pada kawasan hutan di Kabupaten Bogor
Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor berdasarkan fungsinya
Luas kawasan hutan di Kabupaten Bogor hasil skoring
Analisis luas kawasan hutan lindung di setiap kecamatan di Kabupaten
Bogor berdasarkan kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No.
837 Tahun 1980
Pembobotan kriteria fisik lingkungan dari hasil analisis AHP
Bobot kriteria dan skor sub-kriteria penentuan hutan lindung
Klasifikasi fungsi kawasan hutan berdasarkan pembobotan alternatif
Klasifikasi fungsi kawasan hutan berdasarkan metode pembobotan
alternatif di Kabupaten Bogor
Klasifikasi kawasan hutan berdasarkan hasil metode pembobotan alternatif
di Kabupaten Bogor
Luas hutan lindung di setiap kecamatan berdasarkan hasil metode
pembobotan alternatif di Kabupaten Bogor
Fungsi kawasan hutan berdasarkan kriteria Keppres No. 32 Tahun
1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan berdasarkan metode
pembobotan alternatif
Analisis luas kawasan hutan (HP, HPT, HL) dari setiap kelompok hutan di
Kabupaten Bogor
Arahan kawasan hutan versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No.
837 Tahun 1980 di Kabupaten Bogor
Arahan kawasan hutan versi pembobotan alternatif di Kabupaten Bogor
Kesesuaian penunjukan kawasan hutan dengan arahan kawasan hutan
Luas arahan hutan lindung di setiap kecamatan di Kabupaten Bogor
Luas kawasan hutan dalam pola ruang Kabupaten Bogor
Perbedaan penunjukan kawasan hutan dengan pola ruang dalam RTRW
Kabupaten Bogor
Kesesuaian pola ruang dengan arahan kawasan hutan
Analisis luas rekomendasi kawasan hutan di Kabupaten Bogor
Luas rekomendasi kawasan hutan lindung di setiap kecamatan di
Kabupaten Bogor

11
11
11
15
16
16
17
24
25
27
28
29
31
31

34
38
39
39
40
41
43

44
47
49
51
52
53
54
55
57
59
60

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33

Kerangka pemikiran penelitian
Daerah penelitian
Hirarki kriteria dan sub-kriteria dalam AHP
Kerangka analisis data dalam metodologi
Peta administrasi Kabupaten Bogor
Peta morfologi Kabupaten Bogor
Peta formasi batuan/geologi Kabupaten Bogor
Peta kelerengan Kabupaten Bogor
Peta jenis tanah Kabupaten Bogor
Peta curah hujan Kabupaten Bogor
Peta ketinggian Kabupaten Bogor
LPE Kabupaten Bogor Tahun 2001-2013 (%)
Peta sebaran skor seluruh kawasan di Kabupaten Bogor
Peta penunjukan kawasan hutan untuk Kabupaten Bogor
Peta kawasan hutan di Kabupaten Bogor hasil skoring
Peta kemiringan lereng > 40% di Kabupaten Bogor
Peta ketinggian > 2 000 mdpl di Kabupaten Bogor
Peta kawasan hutan dan fungsinya di setiap kecamatan berdasarkan hasil
analisis dari kriteria Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837
Tahun 1980
Kelompok hamparan hutan di Kabupaten Bogor
Peta sebaran skor berdasarkan hasil analisis metode pembobotan
alternatif seluruh kawasan di Kabupaten Bogor
Peta kawasan hutan di Kabupaten Bogor berdasarkan hasil analisis
metode pembobotan alternatif
Peta kawasan hutan dan fungsinya di setiap kecamatan berdasarkan hasil
analisis metode pembobotan alternatif
Kawasan HPT menurut metode pembobotan alternatif di Desa Karang
Tengah Kecamatan Babakan Madang
Kawasan HPT menurut metode pembobotan alternatif di Desa Cibadak
Kecamatan Sukamakmur
Kawasan HL menurut metode pembobotan alternatif di Desa Tamansari
Kecamatan Tamansari
Kawasan HL menurut metode pembobotan alternatif di Desa Malasari
Kecamatan Nanggung
Arahan kawasan hutan versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan
No. 837 Tahun 1980
Arahan kawasan hutan versi pembobotan alternatif
Arahan kawasan hutan di Kabupaten Bogor
Kawasan hutan dalam pola ruang Kabupaten Bogor
Hasil overlay peta arahan kawasan hutan dengan peta pola ruang
Peta rekomendasi kawasan hutan untuk pola ruang Kabupaten Bogor
Peta rekomendasi pola ruang Kabupaten Bogor

5
14
18
20
21
22
23
23
24
25
26
27
30
31
32
33
33

34
35
41
42
43
45
45
46
46
50
51
53
55
58
58
60

viii

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Luas wilayah administrasi kabupaten bogor
Luas pola ruang Kabupaten Bogor
Peta pola ruang dalam RTRW Kabupaten Bogor
Kuesioner AHP
Responden AHP ke-1
Perhitungan AHP responden ke-1
Responden AHP ke-2
Perhitungan AHP responden ke-2
Responden AHP ke-3
Perhitungan AHP responden ke-3
Responden AHP ke-4
Perhitungan AHP responden ke-4
Responden AHP ke-5
Perhitungan AHP responden ke-5
Gabungan bobot para pakar
Gabungan skoring para pakar

66
67
68
69
75
78
79
82
83
86
87
90
91
94
95
96

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, fungsi utama kawasan dalam penataan ruang dibedakan menjadi kawasan
lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah kawasan yang
dimanfaatkan untuk perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup yang
mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, sedangkan kawasan
budidaya adalah kawasan yang dimanfaatkan untuk budidaya atas dasar kondisi
dan potensi sumberdaya alam. Kegiatan penataan ruang khususnya di bidang
penatagunaan kawasan lindung memegang peranan penting dalam rangka
mewujudkan ruang kehidupan yang menjamin tingkat produktivitas yang optimal
dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan
(environmental sustainability) sehingga memberikan kenyamanan bagi
masyarakat.
Pada kenyataannya, perencanaan tata ruang di daerah sering tidak sesuai
dengan kondisi bentanglahan/biogeofisik/lanskap dan daya dukung wilayahnya.
Hal ini disebabkan antara lain karena perencanaan penatagunaan fungsi kawasan
tersebut tidak memperhatikan keragaman kondisi bentanglahan di setiap wilayah,
serta banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah yang dibuat hanya
atas dasar kesepakatan berbagai pihak untuk kepentingan berbagai sektor di
daerah. Gejala seperti ini tampak terjadi di berbagai tempat termasuk yang terjadi
di Kabupaten Bogor.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor Tahun 20052025, luas Kabupaten Bogor ± 298 838.3 ha, terdiri atas kawasan lindung seluas ±
133 548 ha (44.69 %) dan kawasan budidaya seluas ± 165 289 ha (55.31 %). Di
dalam kawasan lindung tersebut terdapat hutan konservasi seluas 14.24 % (± 45
559 ha) dan hutan lindung seluas 2.86 % (± 8 558 ha) dari luas wilayah
Kabupaten Bogor. Namun dengan diterbitkannya Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP) Jawa Barat Tahun 2009-2029, seluruh hutan lindung tersebut seluas 8
558 ha yang 90 % berada di Kecamatan Cisarua dan Megamendung (kawasan
Puncak) berubah status peruntukannya menjadi kawasan hutan produksi, kawasan
permukiman, dan kawasan perkebunan (Forest Watch Indonesia, 2011).
Terbitnya RTRWP Jawa Barat selanjutnya digunakan sebagai pedoman
dalam penataan ruang wilayah Kabupaten Bogor yang tengah direvisi. Jika
RTRWP Jawa Barat ini dijadikan pedoman dalam revisi RTRW Kabupaten
Bogor, maka tidak dapat dihindari muncul hal yang kontradiktif, yaitu dengan
Pasal 22 Perda RTRW Kabupaten Bogor Tahun 2008 yang mengamanatkan untuk
mempertahankan kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi
hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumber daya air. Mengingat Kabupaten
Bogor, khususnya kawasan Puncak, merupakan wilayah tangkapan air dan
menjadi wilayah hulu bagi 4 Daerah Aliran Sungai (DAS) besar, yaitu Ciliwung,
Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum maka kondisi bentanglahan kawasan Puncak
seharusnya dipertahankan sebagai kawasan lindung.

2

Perumusan Masalah
Pertumbuhan penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi yang terjadi
pada setiap waktu membutuhkan peningkatan akan ruang, sedangkan ruang
bersifat tetap. Di sisi lain komposisi fisik, ekonomi, dan sosial bersifat lebih
dinamis yang selalu berubah seiring dengan perubahan pemanfaatan ruang. Gejala
seperti ini tampak terjadi di berbagai tempat termasuk yang terjadi di Kabupaten
Bogor. Penyebab utama adalah adanya perubahan aktivitas penduduk dalam
memanfaatkan ruang namun seringkali tidak memperhitungkan keseimbangan
sistem pada bentanglahan, hasilnya sering melahirkan bencana alam seperti banjir,
longsor dan lain sebagainya.
Kabupaten Bogor memegang peranan yang sangat vital bagi banyak daerah
yang berada di bawahnya. Seluruh daerah Puncak di Kabupaten Bogor merupakan
hulu dari 4 DAS besar (Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi dan Citarum) yang
mengairi daerah-daerah lumbung pangan Jawa Barat seperti di Jonggol, Kelapa
Nunggal (Kabupaten Bogor), dan terutama persawahan di Pantura (Kabupaten
Bekasi dan Karawang). Tantangan lain untuk Kabupaten Bogor adalah terbitnya
RTRWP Jawa Barat yang telah merubah status hutan lindung seluas 8 558 ha di
kawasan Puncak (RTRW Kabupaten Bogor) menjadi kawasan hutan produksi,
kawasan permukiman, dan kawasan perkebunan. Untuk itu diperlukan arahan baru
untuk penyempurnaan rencana tata ruang Kabupaten Bogor (khususnya dalam
penentuan kawasan hutan lindung) yang sesuai dengan kondisi bentanglahannya.
Belum adanya kajian penentuan kawasan hutan lindung berdasarkan kondisi
bentanglahan di Kabupaten Bogor, menyebabkan belum diketahuinya luas dan
sebaran kawasan hutan lindung di Kabupaten Bogor yang harus tetap
dipertahankan sebagai kawasan hutan lindung. Kajian ini membutuhkan
pengetahuan mengenai kriteria-kriteria bentanglahan yang harus dipenuhi dalam
penentuan kawasan hutan lindung. Pada kenyataannya di lapangan sering terjadi
ketidaksesuaian antara penentuan kawasan hutan lindung dengan kondisi
bentanglahan (berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837
Tahun 1980). Hingga kini belum ada suatu evaluasi kawasan hutan lindung (yang
telah ditetapkan) di Kabupaten Bogor berdasarkan kondisi bentanglahan, baik dari
kawasan hutan lindung yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan,
maupun yang ditetapkan melalui dokumen rencana tata ruang wilayah.
Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan
beberapa permasalahan pokok, yaitu sebagai berikut :
1. Belum diketahuinya luas dan sebaran kawasan hutan lindung yang sesuai
dengan kondisi bentanglahan di Kabupaten Bogor menurut kriteria-kriteria
fisik lingkungan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837
Tahun 1980 dan kriteria-kriteria fisik lingkungan yang dibangun dalam
penelitian.
2. Belum diketahuinya arahan penetapan kawasan hutan lindung untuk
penyempurnaan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor.
3. Belum diketahuinya kesesuaian kawasan hutan lindung (yang telah ditetapkan
melalui Keputusan Menteri Kehutanan) dengan kondisi bentanglahannya di
Kabupaten Bogor.

3

4. Belum diketahuinya kesesuaian kawasan hutan lindung yang ditetapkan dalam
dokumen perencanaan tata ruang (RTRW) Kabupaten Bogor dengan kondisi
bentanglahannya.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan utama dari
penelitian ini adalah menyusun arahan penetapan kawasan hutan lindung untuk
penyempurnaan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Bogor. Tujuan utama
tersebut dapat dicapai dengan beberapa tujuan rinci sebagai berikut :
1. Menentukan kawasan hutan lindung berdasarkan kondisi bentanglahan di
Kabupaten Bogor menurut kriteria-kriteria fisik lingkungan dalam Keppres
No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980 dan kriteria-kriteria fisik
lingkungan yang dibangun dalam penelitian.
2. Menentukan arahan penetapan kawasan hutan lindung.
3. Mengevaluasi kesesuaian kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan
melalui Keputusan Menteri Kehutanan dengan kondisi bentanglahan di
Kabupaten Bogor.
4. Mengevaluasi kesesuaian kawasan hutan lindung yang ditetapkan dalam
dokumen perencanaan tata ruang (RTRW) Kabupaten Bogor dengan kondisi
bentanglahan.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bogor dalam
pengalokasian dan penetapan kawasan hutan lindung yang sesuai dengan
kondisi bentanglahan untuk penyempurnaan rencana tata ruang Kabupaten
Bogor.
2. Sebagai bahan masukan bagi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
dalam arahan penunjukan dan penetapan kawasan hutan lindung yang sesuai
dengan kondisi bentanglahan di Kabupaten Bogor.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini yaitu pada kawasan hutan yang berfungsi
sebagai Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), dan Hutan
Lindung (HL) di Kabupaten Bogor berdasarkan SK Menhut No. 195/Kpts-II/2003
tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah Provinsi Jawa Barat.

Kerangka Pemikiran
Kajian penelitian ini diawali dengan analisis kondisi bentanglahan pada
kawasan hutan yang berfungsi sebagai Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi
Terbatas (HPT), dan Hutan Lindung (HL) di Kabupaten Bogor berdasarkan SK

4

Menhut No. 195/Kpts-II/2003 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di Wilayah
Provinsi Jawa Barat. Dari analisis tersebut ditentukan kawasan hutan lindung yang
sesuai dengan kriteria-kriteria fisik bentanglahan. Dalam penelitian ini, analisis
kawasan hutan lindung dilakukan dengan dua metode, yaitu : (1) metode
berdasarkan kriteria penentuan kawasan lindung menurut Keppres No. 32 Tahun
1990/Kepmentan No. 837 Tahun 1980; dan (2) metode pembobotan alternatif
yang dibangun dalam penelitian ini berdasarkan pendapat para ahli melalui AHP
(Analytical Hierarchy Process). Dari kedua metode tersebut diperoleh peta
kawasan hutan berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837
Tahun 1980 dan peta kawasan hutan berdasarkan metode pembobotan alternatif.
Kemudian kedua versi peta kawasan hutan tersebut dianalisis kesatuan
hamparan/kelompok hutan dengan memasukkan pertimbangan kemudahan dalam
pengelolaan/manajemennya. Dari hasil analisis kesatuan hamparan diperoleh peta
arahan kawasan hutan versi Keppres No. 32 Tahun 1990/Kepmentan No. 837
Tahun 1980 dan peta arahan kawasan hutan versi pembobotan alternatif.
Kemudian kedua versi peta arahan kawasan hutan tersebut dikomparasi.
Selanjutnya dipilih peta arahan kawasan hutan yang memiliki kawasan hutan
lindung lebih banyak sebagai peta arahan penetapan kawasan hutan lindung.
Langkah selanjutnya dilakukan evaluasi kawasan hutan lindung yang telah
ditetapkan di Kabupaten Bogor, baik kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Kehutanan, maupun kawasan hutan lindung yang
ditetapkan dalam dokumen rencana tata ruang wilayah dengan peta arahan
penetapan kawasan hutan lindung. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa
peta rekomendasi penetapan kawasan hutan lindung untuk penyempurnaan peta
pola ruang RTRW Kabupaten Bogor. Kerangka pemikiran ini dilakukan dengan
suatu pendekatan sistem sebagaimana tertera pada Gambar 1.

5

Analisis Seluruh Kawasan Kabupaten Bogor

Kriteria-kriteria Fisik Berdasarkan
Keppres No.32 Tahun 1990/
Kepmentan No.837 Tahun 1980

Kriteria-kriteria Fisik Berdasarkan
Pembobotan Alternatif Menurut
Para Ahli Melalui AHP

Peta Seluruh Kawasan Berdasarkan
Keppres No.32 Tahun 1990/
Kepmentan No.837 Tahun 1980

Peta Seluruh Kawasan
Berdasarkan Metode Pembobotan
Alternatif

Ruang Lingkup Dibatasi Dengan Batas Peta Penunjukan Kawasan Hutan di
Kabupaten Bogor Berdasarkan Kepmenhut No. 195/Kpts-II/2003
Peta Kawasan Hutan Berdasarkan
Keppres No.32 Tahun 1990/
Kepmentan No.837 Tahun 1980

Peta Kawasan Hutan Berdasarkan
Metode Pembobotan Alternatif

Analisis Kesatuan Hamparan
Kawasan Hutan

Analisis Kesatuan Hamparan
Kawasan Hutan

Peta Arahan Kawasan Hutan
Versi Keppres No.32 Tahun 1990/
Kepmentan No.837 Tahun 1980

Peta Arahan Kawasan Hutan Versi
Pembobotan Alternatif

Komparasi

Peta Arahan dengan Kawasan
Hutan Lindung Lebih Sedikit
Tidak Digunakan

Peta Arahan yang Lebih Baik
(Lebih Luas Kawasan Hutan Lindung)
Peta Penunjukan
Kawasan Hutan
(SK Menhut)

Peta Arahan
Penetapan Kawasan
Hutan Lindung

Peta Pola Ruang
Kabupaten
Bogor

Peta Rekomendasi Kawasan Hutan Lindung
di Kabupaten Bogor
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Ruang dan Penataan Ruang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut,
dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang dalam hal ini juga dapat diartikan
sebagai sumberdaya lahan. Sumberdaya lahan (land recources) adalah lingkungan
fisik yang terdiri dari iklim, relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di
atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan. Sumberdaya
lahan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting untuk kelangsungan
hidup manusia, karena sumberdaya lahan diperlukan dalam setiap kegiatan
manusia. Penggunaan sumberdaya lahan pada umumnya ditentukan oleh
kemampuan lahan atau kesesuaian lahan (Sitorus, 2004).
Ruang merupakan sumberdaya yang terbatas dan jumlahnya tetap,
sedangkan aktivitas manusia dan pesatnya perkembangan penduduk memerlukan
ketersediaan ruang untuk beraktivitas yang senantiasa berkembang setiap hari. Hal
ini mengakibatkan kebutuhan akan ruang semakin tinggi. Ruang merupakan
sumberdaya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan
bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sehingga
dalam konteks ini ruang harus dilindungi dan dikelola secara terkoordinasi,
terpadu, dan berkelanjutan (Dardak, 2006).
Secara alamiah, tanpa atau dengan keterlibatan manusia, berlakunya hukumhukum alam telah menyebabkan terdistribusinya segala benda ataupun
sumberdaya alam dengan suatu keteraturan dinamis yang berpola dan terstruktur
secara spasial maupun waktu. Adanya keteraturan sedemikian rupa sehingga
seluruh benda fisik di alam yang tertata dalam ruang membentuk pola distribusi
yang disebut sebagai pola ruang. Berbagai bentuk interaksi, baik antara sesama
manusia maupun antara manusia dengan sumberdaya-sumberdaya yang
dikelolanya atau juga keterkaitan antar sumberdaya-sumberdaya itu sendiri,
menuntut manusia untuk menyediakan berbagai prasarana dan sarana untuk
mempermudah mengakses dan mengelola sumberdaya tersebut. Susunan
prasarana yang dibangun manusia di dalam ruang membentuk jaringan yang
terstruktur, sehingga membentuk struktur ruang. Secara keseluruhan, berbagai
bentuk konfigurasi spasial di atas membentuk suatu “keseimbangan” pola dan
struktur spasial yang disebut sebagai tata ruang (Rustiadi et al., 2011).
Rustiadi et al. (2011) menyatakan bahwa tata ruang sebagai wujud pola dan
struktur ruang terbentuk secara alamiah dan juga sebagai wujud dari hasil prosesproses alam maupun dari hasil proses sosial akibat adanya pembelajaran (learning
process) yang terus-menerus. Dengan demikian tata ruang dan upaya perubahanperubahannya sebenarnya sudah terwujud sebelum manusia secara formal
melakukan upaya-upaya mengubah tata ruang yang terstruktur yang disebut
sebagai perencanaan tata ruang.

7

Perencanaan tata ruang (land use planning) mewadahi pengertian yang
sangat luas, mencakup perencanaan penggunaan lahan atau tata guna tanah (yang
bisa juga diterjemahkan sebagai penataan penggunaan lahan, perencanaan
penggunaan lahan) dan juga tata ruang. Namun sebenarnya perencanaan tata
ruang tidak sekedar menyangkut land use planning, karena disamping
perencanaan tata guna lahan juga menyangkut perencanaan tata guna air, ruang
bawah tanah (perut bumi) dan tata guna udara (Rustiadi et al., 2011). Secara
normatif, penataan ruang harus dipandang sebagai upaya pemanfaatan
sumberdaya ruang agar sesuai dengan tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (UU No. 5/1960 Pasal 2 ayat 3). Dengan demikian perencanaan tata ruang
adalah bagian yang tak terpisahkan dari tujuan pembangunan secara keseluruhan.
Sebagai suatu proses setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang.
Pertama,
menyangkut
unsur
kelembagaan/institusional
(Institusional
arrangement) penataan ruang. Kedua, menyangkut proses penataan fisik ruang
(physical
arrangement).
Unsur
non-fisik/kelembagaan
(Institusional
arrangement) dalam penataan ruang mencakup aspek-aspek mengenai
penyusunan aturan-aturan (rule) dan aspek-aspek pengorganisasian atau
pembagian peran (role) dalam rangka mengimplementasikan aturan-aturan
penataan ruang. Unsur-unsur fisik penataan ruang menyangkut pengaturanpengaturan fisik (physical arrangement) dan sekaligus merupakan produk fisik
dari suatu penataan ruang itu sendiri. Unsur-unsur fisik penataan ruang meliputi :
pengaturan pemanfaatan fisik ruang, penataan struktur/hierarki pusat-pusat
aktivitas sosial-ekonomi, penataan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas,
dan pengembangan sistem prasarana dan sarana (Rustiadi et al., 2011).
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) pentingnya perencanaan
tata guna lahan antara lain karena :
(1) Jumlah lahan terbatas dan merupakan sumberdaya yang hampir tak terbaharui
(non renewable), sedangkan manusia yang memerlukan lahan jumlahnya terus
bertambah. Pertumbuhan penduduk berlangsung dengan kecepatan sekitar 2.5
persen/tahun.
(2) Meningkatnya pembangunan dan taraf hidup masyarakat dapat meningkatkan
persaingan penggunaan ruang (lahan), sehingga sering terjadi konflik
(perebutan) penggunaan lahan.
(3) Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya dapat
menyebabkan kerusakan lahan.
(4) Konversi lahan pertanian dengan tanah subur termasuk sawah irigasi menjadi
lahan non-pertanian seperti wilayah industri, perumahan dan lain-lain perlu
ditata karena sulitnya mencari lahan pengganti yang lebih subur atau minimal
sama di luar lahan pertanian yang telah ada.
(5) Banyak lahan hutan yang seharusnya digunakan untuk melindungi kelestarian
sumberdaya air kemudian digarap menjadi lahan pertanian tanpa
memperhatikan azas kesesuaian lahan, sehingga dapat merusak tanah maupun
lingkungan.
(6) Pandangan bahwa tanah semata-mata merupakan faktor produksi, cenderung
mengabaikan pemeliharaan kelestarian tanah. Padahal tanah juga mempunyai
kemampuan terbatas dalam memberi daya dukung bagi kehidupan manusia
Penataan ruang ditujukan untuk : (1) memenuhi efisiensi dan produktivitas,
(2) mewujudkan distribusi sumberdaya guna terpenuhinya prinsip pemerataan,

8

keberimbangan dan keadilan, (3) menjaga keberlanjutan (sustainability).
Berdasarkan pertimbangan ketiga tujuan penataan ruang di atas, jelas bahwa
pengaturan fisik penataan ruang memiliki nilai penting. Terkait dengan hal
tersebut, maka informasi lengkap mengenai sumberdaya fisik wilayah sangat
diperlukan untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan penataan ruang dengan
baik. Evaluasi sumberdaya fisik wilayah akan sangat terkait dengan daya dukung
dan sumberdaya yang terkandung dalam ruang (Rustiadi et al., 2011).
Di Indonesia, penataan ruang telah diatur dalam Undang-undang No. 24
Tahun 1992 dan telah direvisi dengan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Di dalamnya dijelaskan pengertian tentang ruang meliputi ruang
daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta sumberdaya yang terkandung di
dalamnya. Di dalam UU No. 26/2007 tersebut, disebutkan bahwa penataan ruang
terdiri atas : perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Penataan ruang disusun berasaskan : (a) pemanfataan ruang
bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang
dan berkelanjutan; (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan
hukum.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang
diperbaharui dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah maka sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah berimplikasi
luas. UU No. 32/2004 ini meletakkan pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan
nyata kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, maka penyelenggaraan
penataan ruang secara operasional, termasuk perizinan pun dilakukan oleh Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota. Adapun kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di
bidang penataan ruang meliputi :
a. Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota beserta perangkat
regulasi (insentif dan disinsentif) pemanfaatan ruang.
b. Melakukan konsultasi/koordinasi teknis dalam rangka penataan ruang dengan
instansi/pemerintah yang lebih tinggi.
c. Melakukan diseminasi rencana tata ruang kepada seluruh instansi pemerintah
daerah Kabupaten/Kota dan masyarakat.
d. Melakukan penyelenggaraan (pengelolaan) pemanfaatan ruang, pengawasan
dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Menurut tingkat administrasi pemerintahan, perencanaan tata ruang
dilaksanakan secara berhierarki mulai dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Dikaitkan dengan substansinya,
RTRWN berisi arahan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang yang memiliki
nilai strategis nasional (sistem nasional). RTRWP berisi arahan struktur ruang dan
pola pemanfaatan ruang yang merupakan sistem provinsi dengan memperhatikan
sistem nasional yang ditetapkan dalam RTRWN. RTRWK berisi arahan struktur
ruang dan pola pemanfaatan ruang di wilayahnya dengan memperhatikan hal-hal
yang telah diatur dalam rencana tata ruang pada hirarki di atasnya. Rencana tata
ruang yang berhierarki ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan
kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing tingkat pemerintahan, untuk
menghindari tumpang tindih pengaturan pada obyek yang sama. Dengan kata lain,
perencanaan
yang
berhirarki
harus
memenuhi
prinsip
saling
melengkapi/komplementer (Dardak, 2006).

9

Kawasan Lindung
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990, kawasan lindung
adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya manusia, dan
sumber daya buatan. Kawasan yang termasuk dalam kawasan lindung menurut
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 dibedakan ke dalam :
 Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, antara lain
kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air;
 Kawasan perlindungan setempat, antara lain sempadan pantai, sempadan
sungai, kawasan sekitar danau/waduk dan kawasan sekitar mata air;
 Kawasan suaka alam dan cagar budaya, antara lain kawasan suaka alam,
kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan
bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, cagar budaya
dan ilmu pengetahuan;
 Kawasan rawan bencana alam, antara lain kawasan rawan letusan gunung
berapi, kawasan rawan gempa bumi, kawasan rawan tanah longsor, kawasan
rawan gelombang pasang dan kawasan rawan banjir;
 Kawasan lindung lainnya, misalnya taman buru, cagar biosfer, kawasan
perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan terumbu karang.
Penjabaran kawasan tersebut telah diatur secara rinci dalam Peraturan
Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN), yakni :
1. Kawasan lindung
a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya
- Kawasan hutan lindung (HL)
- Kawasan bergambut
- Kawasan resapan air
b. Kawasan perlindungan setempat
- Sempadan pantai
- Sempadan sungai
- Kawasan sekitar danau/waduk
- Kawasan sekitar mata air
- Kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota
c. Kawasan suaka alam
- Cagar alam (CA)
- Suaka margasatwa (SM)
d. Kawasan pelestarian alam
- Taman nasional (TN)
- Taman hutan raya (Tahura)
- Taman wisata alam (TWA)
e. Kawasan cagar budaya
f. Kawasan rawan bencana alam
g. Kawasan lindung lainnya
- Taman buru (TB)
- Cagar biosfir
- Kawasan perlindungan plasma nutfah
- Kawasan pengungsian satwa

10

- Kawasan pantai berhutan bakau
2. Kawasan budidaya
a. Kawasan hutan produksi
- Kawasan hutan produksi terbatas (HPT)
- Kawasan hutan produksi tetap (HP)
- Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi
b. Kawasan hutan rakyat
c. Kawasan pertanian
- Kawasan pertanian lahan basah
- Kawasan tanaman tahunan/perkebunan
- Kawasan peternakan
- Kawasan perikanan
d. Kawasan pertambangan
e. Kawasan peruntukan industri
f. Kawasan pariwisata
g. Kawasan permukiman
3. Kawasan tertentu.
Kawasan hutan secara fungsional mengandung arti sebagai suatu kesatuan
lahan atau wilayah yang karena keadaan bio-fisiknya dan/atau fungsi
ekonomisnya dan/atau fungsi sosialnya harus berwujud sebagai hutan
(Suhendang, 2005). Hutan lindung adalah kawasan yang karena keadaan dan sifat
fisik wilayahnya perlu dibina dan dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan
vegetasi secara tetap guna kepentingan hidroorologi, yaitu tata air, mencegah
banjir dan erosi serta memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam
kawasan hutan yang bersangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi di
sekitarnya. Status kesuburan tanah secara fisik dan kimia, khususnya dibawah
tegakan hutan relatif lebih tinggi dibanding dengan tanah dibawah tegakan kebun
buah (perkebunan) dan semak belukar (Yamani, 2010). Untuk menjaga agar hutan
lindung dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya, maka di dalam hutan lindung
tidak boleh dilaksanakan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi
tersebut.

Skoring Fungsi Kawasan Hutan
Metode skoring untuk penentuan fungsi kawasan hutan diawali penerbitan
beberapa peraturan oleh Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan tahun 1980-an
(Baplan, 2005). Beberapa aturan terkait kriteria fungsi kawasan hutan tersebut
sebagai berikut :
1. Kriteria dan tata cara penetapan hutan lindung diatur dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/11/80.
2. Kriteria dan tata cara penetapan hutan suaka alam dan hutan wisata diatur
dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 681/Kpts/Um/8/81.
3. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi konversi diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 682/Kpts/Um/8/81.
4. Kriteria dan tata cara penetapan hutan produksi diatur dalam Keputusan
Menteri Pertanian Nomor 683/Kpts/Um/8/81.

11

5. Penetapan Batas Hutan Produksi diatur dalam SK Menteri Kehutanan Nomor
83/KPTS/UM/8/1981.
Kriteria hutan produksi dan lindung yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian
memberikan kriteria fungsi kawasan hutan berdasarkan sistem skoring. Faktor
yang dinilai mencakup 3 komponen utama, yaitu : kelerengan, jenis tanah menurut
kepekaannya terhadap erosi, dan curah hujan rata-rata (mm/hari hujan). Tiga
komponen utama tersebut diberi angka penimbang (bobot) masing-masing sebagai
berikut : faktor kelerengan = 20, jenis tanah = 15 dan intensitas hujan = 10.
Adapun skor parameter menurut aturan-aturan di atas untuk tiap komponen faktor
disajikan pada Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3.
Tabel 1 Skor kelas kelerengan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Kelas Lereng
Kelerengan (%)
Keterangan
1
0–8
Datar
2
8 – 15
Landai
3
15 – 25
Agak Curam
4
25 – 45
Curam
5
≥ 45
Sangat Curam
Tabel 2 Skor kelas jenis tanah sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Kelas Tanah
Jenis Tanah
Keterangan
1
Alluvial, Tanah Glei, Planosol, Hidromorf Tidak Peka
Kelabu, Laterit Air Tanah
2
Latosol (Oxisol)
Kurang Peka
3
Brown Forest Soil (Inceptisol), Non Calcic
Agak Peka
Brown (Inceptisol), Mediteran (Alfisol)
4
Andosol (Andisol), Laterit (Oxisol), Grumusol
Peka
(Molisol), Podsol (Spodosol), Podsolik (Ultisol)
5
Regosol, Litosol, Organosol, Renzina
Sangat Peka
Tabel 3 Skor kelas curah hujan sesuai SK Mentan Nomor 837/Kpts/Um/11/80
Kelas Intensitas Hujan
Intensitas Hujan
Keterangan
(mm/hari hujan)
1
< 13.6
Sangat Rendah
2
13.6 – 20.7
Rendah
3
20.7 – 27.7
Sedang
4
27.7 – 34.8
Tinggi
5
≥ 34.8
Sangat Tinggi
Untuk membuat rekomendasi fungsi kawasan hutan, hal pertama yang perlu
dilakukan adalah penentuan batas area yang akan dianalisis. Area tersebut dapat
berstatus sebagai kawasan hutan atau calon kawasan hutan (Baplan, 2005).
Adapun kriteria-kriteria kawasan hutan yang harus ditetapkan sebagai hutan
lindung tanpa melalui proses skoring antara lain yaitu :
1. Kawasan hutan yang mempunyai kelas lereng lapangan > 40 %.
2. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian lapangan di atas permukaan laut
2 000 m atau lebih.

12

3. Tanah sangat peka terhadap erosi yaitu jenis tanah regosol, litosol, organosol,
renzina dengan lereng lapangan > 15 %.
4. Merupakan jalur pengamanan aliran sungai/air, sekurang-kurangnya 100
meter di kiri dan kanan sungai/aliran air.
5. Merupakan pelindung mata air, sekurang-kurangnya dengan jari-jari 200
meter di sekeliling mata air.
6. Tanah bergambut dengan ketebalan 3 m atau lebih yang terdapat di bagian
hulu sungai dan rawa.
7. Daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk
dan kondisi fisik pantai minimal 100m dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
8. Memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan konservasi, seperti Taman
Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dll.
9. Guna keperluan/kepentingan khusus, ditetapkan oleh Menteri sebagai hutan
lindung.
Berkenaan pengecualian tersebut maka area-area yang memenuhi syaratsyarat di atas secara otomatis memenuhi kriteria kawasan lindung dan tidak
memerlukan sistem skoring untuk rekomendasi fungsi kawasan hutan. Adapun
nilai skor masing-masing fungsi kawasan hutan (hutan lindung, hutan produksi
dan hutan produksi terbatas) adalah sebagai berikut :
1. Skor >= 175, maka dicadangkan sebagai hutan lindung.
2. Skor 125-174, maka dicadangkan sebagai hutan produksi terbatas.
3. Skor