Waktu Konjungsi Ijtima’ dan Waktu Terbenam Matahari Data Astronomis Hilal dan Matahari untuk Beberapa Kota di Indonesia

1 INFORMASI ASTRONOMIS HILAL DAN MATAHARI SAAT MATAHARI TERBENAM 10 AGUSTUS 2010 PENENTU AWAL BULAN RAMADHAN 1431 H Keteraturan peredaran Bulan dalam mengelilingi Bumi juga Bumi dan Bulan dalam mengelilingi Matahari memungkinkan manusia untuk mengetahui penentuan waktu. Salah satunya adalah penentuan awal bulan qomariah, yang didasarkan pada peradaran Bulan mengelilingi Bumi. Penentuan awal bulan qomariah ini sangat penting bagi umat Islam, misalnya dalam penentuan awal dan akhir shaum Ramadhan, hari raya Idul Fitri, hari raya Idul Adha, dan awal tahun baru Hijriah. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika BMKG sebagai institusi pemerintah yang salah satu tupoksinya dalam penentuan tanda waktu sangat berkepentingan dalam penentuan awal bulan qomariah ini. Untuk itu, BMKG menyampaikan Informasi Astronomis Hilal dan Matahari saat Matahari Terbenam 10 Agustus 2010 sebagai berikut:

1. Waktu Konjungsi Ijtima’ dan Waktu Terbenam Matahari

Konjungsi Geosentrik atau Konjungsi atau Ijtima’ adalah peristiwa ketika bujur Ekliptika Bulan sama dengan bujur Ekliptika Matahari dengan pengamat diandaikan berada di pusat Bumi. Kejadian ini akan kembali terjadi pada Selasa, 10 Agustus 2010, pukul 03 : 08 UT atau 10 : 08 WIB atau 11 : 08 WITA atau 12 : 08 WIT, yaitu ketika nilai bujur Ekliptika Matahari dan Bulan sama-sama 137 o ,410. Pada saat konjungsi terjadi, jarak sudut Matahari dan Bulan elongasi adalah 2 o ,766. Elongasi ini lebih besar daripada jumlah semi diameter Bulan dan Matahari pada saat tersebut, yaitu 0 o ,541, sehingga pada saat konjungsi terjadi tidak akan terjadi Gerhana Matahari. Dengan demikian, peristiwa konjungsi ini tidak akan teramati secara visual. Waktu terbenam Matahari dinyatakan ketika bagian atas piringan Matahari tepat di horison teramati. Hal ini bergantung pada berbagai hal, yang di antaranya adalah semi diameter Matahari, efek hamburanrefraksi atmosfer Bumi, dan tinggi elevasi lokasi pengamat dari permukaan laut. Dalam perhitungan standar 1 , semi diameter Matahari dianggap 16’, efek refraksi dianggap 34’ dan pengamat dianggap berada di permukaan laut tinggi 0 m di atas permukaan laut. Berdasarkan hal ini Matahari terbenam di wilayah Indonesia paling awal terjadi pada pukul 17 : 38 WIT di Merauke dan paling akhir pada pukul 18 : 54 WIB di Sabang. 2 Karena konjungsi terjadi sebelum Matahari terbenam di wilayah Indonesia, setelah Matahari terbenam tanggal 10 Agustus 2010 tersebut perlu dilakukan ruk’yat Hilal bagi yang menerapkan rukyat dalam penentuan awal bulan qomariah. Adapun bagi yang menerapkan hisab dalam penentuan awal bulan qomariah, perlu diperhitungkan kriteria-kriteria hisab saat Matahari terbenam tanggal 10 Agustus 2010 tersebut.

2. Data Astronomis Hilal dan Matahari untuk Beberapa Kota di Indonesia

Pada Lampiran tentang “Data Astronomis Hilal dan Matahari saat Matahari Terbenam Penentu Awal Bulan Ramadhan 1431 H, Selasa, 10 Agustus 2010 M” ditampilkan informasi astronomis Hilal dan Matahari untuk beberapa kota di Indonesia saat Matahari terbenam tanggal 10 Agustus 2010. Informasi ini adalah informasi dasar penentu awal Ramadhan 1431 H. Pada tabel tersebut, ketinggian Hilal dinyatakan sebagai ketinggian pusat piringan Bulan dari horison dengan pengamat berada di permukaan laut dan efek refraksi atmosfer Bumi belum diikutsertakan dalam perhitungan. Dalam kenyataannya, efek refraksi atmosfer Bumi, tinggi lokasi pengamat dari permukaan laut dan semi diameter Bulan akan berpengaruh terhadap tinggi Hilal. Nantinya, tinggi Hilal dinyatakan sebagai ketinggian titik di piringan Bulan yang jarak sudutnya paling dekat dengan pusat Matahari dari horison teramati. Untuk memperoleh tinggi Hilal dari horison teramati, dapat digunakan persamaan 1 berikut, s d R a a − + + = , 1 dengan a adalah tinggi Hilal dari horison teramati dan a o adalah tinggi Hilal dari horison. Adapun R adalah efek refraksi atmosfer dalam satuan derajat. Untuk Hilal dengan tinggi dari horison kurang dari 15 o , nilai R-nya dinyatakan oleh 1 2 2 0845 , 505 , 1 273 00002 , 0196 , 1594 , a a T a a P R + + + + + = , 2 dengan T adalah temperatur lokasi pengamatan dalam satuan o C dan P adalah tekanan barometrik dalam satuan milibars. Pada persamaan 1 di atas, d adalah kerendahan horison dip dalam satuan menit busur yang dinyatakan oleh 2 h d 93 , 1 = , 3 dengan h adalah tinggi lokasi pengamat dari permukaan laut dalam satuan meter. Adapun s adalah ⎟ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎜ ⎝ ⎛ ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = Da DAz Arc SD s tan cos , 4 3 dengan SD adalah semi diameter Bulan, |DAz| adalah nilai mutlak selisih Azimuth Bulan dan Matahari dan Da adalah selisih tinggi antara Bulan dan Matahari. Rata-rata, nilai semi diameter Bulan saat Matahari terbenam di wilayah Indonesia pada tanggal 10 Agustus 2010 adalah 16’ 41,71”. Pada tabel di atas, nilai selisih tinggi antara Bulan dan Matahari dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut 2 2 DAz Elongasi Da − = . 5 Jika tulisan di samping nilai Elongasi adalah “atas Matahari” maka nilai Da positif dan jika tulisan di samping nilai Elongasi adalah “bawah Matahari” maka nilai Da negatif. Sebagai contoh untuk perhitungan di atas adalah pengamat dengan lokasi di POB Pelabuhan Ratu dengan tinggi 50 m dari permukaan laut dan kondisi refraksi atmosfer standar 2 Temperatur lokasi pengamatan 10 o C dan tekanan barometrik 1010 milibars. Berdasarkan persamaan 2 di atas, nilai R adalah 0,2991 o . Berdasarkan persamaan 3 di atas, nilai d adalah 0,2275 o . Berdasarkan persamaan 4 dan 5 di atas, nilai s adalah 0,1573 o . Jika hasil-hasil ini diterapkan pada persamaan 1 di atas, maka akan diperoleh o o o o o a 4061 , 2 1573 , 2275 , 2991 , 0368 , 2 = − + + = . 6 Dengan demikian, tinggi Hilal dari horison teramati saat Matahari terbenam tanggal 10 Agustus 2010 adalah 2 o 24,37’. Prosedur yang sama dapat dilakukan untuk lokasi lainnya.

3. Peta Ketinggian Hilal