105 praktis sistem perekonomian dan keuangan mengikuti ketentuan-ketentuan
yang sudah ditetapkan dalam persetujuan.
C. Kesinambungan Esensialia UUD 1945
Sekalipun penyelenggaraan negara RIS berlandaskan pada Konstitusi yang bersumber pada persetujuan KMB, namun di wilayah Republik
Indonesia masih berlaku UUD 1945 berdasarkan prinsip otonomi untuk membentuk peraturan ketatanegaraan negara bagian.
91
Dengan sendirinya gagasan Revolutiegrondwet yang terkandung dalam UUD 1945 masih tetap
berlaku sekalipun dalam wilayah terbatas. Demikian pula halnya dengan ketentuan mengenai sistem perekonomian sebagaimana tercantum padal
Pasal 33 UUD 1945, sekalipun seperti disebutkan di awal, secara kelembagaan pelaksanaan UUD 1945 telah berubah dengan perubahan
sistem pemerintahan menjadi parlementer murni. Dengan demikian, secara normatif merupakan gagasan untuk melakukan perubahan secara mendasar
atas sistem sosial-ekonomi kapitalistik yang ditinggalkan Belanda dan menggantinya dengan sistem yang berkeadilan sosial.
Masih terpeliharannya gagasan tentang sistem perekonomian pada Pasal 33 UUD 1945 terbukti setelah RIS tidak dapat bertahan lama dan
negara RI kembali berintegrasi menjadi “negara yang berbentuk Republik- Kesatuan”.
92
Perubahan bentuk negara tersebut merupakan hasil persetujuan antara Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi Yogyakarta dan
Republik Indonesia Serikat untuk membentuk Negara Kesatuan Republik
91
Pasal 47 dan 48 Konstitusi RIS.
92
Konsiderans UU Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia LNRI
tahun 1950, Nr 56; TLN Nr 37, Tahun 1950.
106 Indonesia. Hasil persetujuan tersebut dituangkan dalam bentuk perubahan
Konstitusi Sementara RIS menjadi UUD Sementara Republik Indonesia yang disahkan pada tanggal 15 Agustus 1950 –dikenal sebagai UUD Sementara
1950. Perubahan konstitusi itu dimungkinkan berdasarkan Pasal 190
Konstitusi RIS yang berisi ketentuan, bahwa Konstitusi RIS boleh diubah apabila disetujui oleh Sidang Senat dan DPR RIS yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya dua pertiga jumlah anggota sidang. Syarat tersebut dipenuhi sehingga berubahlah bentuk negara federal menjadi negara
kesatuan. Dalam sidang tersebut Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur menguasakan perubahan itu kepada Pemerintah RIS, sedangkan
semua negara-negara bagian lain telah terlebih dahulu menggabungkan diri atas desakan rakyat dan Parlemen RIS kepada negara bagian RI dengan
menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Pasal 44 Konstitusi RIS. Dan pada tanggal 15 Agustus 1950, Presiden Soekarno akhirnya dapat
menyatakan kepastian melalui Piagam Pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1950 suasana
dan susunan negara kesatuan sudah kembali meliputi seluruh tanah air dan segenap bangsa Indonesia.
Pada bagian konsiderans UU Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara RIS menjadi UUD Sementara RI disebutkan, bahwa
“Negara yang berbentuk republik-kesatuan ini sesungguhnya tidak lain dari pada Negara Indonesia yang kemerdekaannya oleh Rakyat diproklamirkan
pada hari 17 Agustus 1945”. Dengan demikian, sesungguhnya NKRI yang
107 dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1950 itu tiada lain adalah NKRI yang
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Berkenaan dengan perubahan konstitusi terdapat kesepakatan
mengenai isi UUD Sementara 1950 yang meliputi: 1. UUD Sementara 1950 diperoleh dengan mengubah Konstitusi RIS
yang terkandung di dalamnya essentialia UUD 1945 ditambah dengan bagian-bagian lain dari Konstitusi RIS. Essentialia UUD 1945 itu
meliputi: Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 33 UUD 1945; 2. Di dalam UUD Sementara 1950 dirumuskan ketentuan yang memuat
pokok pikiran: “Hak milik adalah suatu fungsi sosial”; 3. Diadakan perubahan-perubahan Konstitusi RIS yang terkait dengan:
a penghapusan Senat; b susunan DPRS yang terdiri atas DPR RIS dan BP KNIP RI; c pembentukan Majelis Perubahan UUD atau
Konstituante; d Presiden ialah Presiden Soekarno; e Dewan Menteri harus bersifat Kabinet-Parlementer; f jabatan Wakil Presiden yang
akan dibicarakan lebih lanjut; 4. Ketentuan peralihan yang mengatur agar sebelum diadakan peraturan
perundang-undangan negara kesatuan, maka undang-undang dan peraturan yang ada tetap berlaku, akan tetapi diusahakan sedapat
mungkin supaya peraturan perundang-undangan negara RI berlaku; 5. Penghapusan DPA.
93
Bagian terpenting dari kesepakatan tersebut adalah ketentuan mengenai keharusan untuk memasukkan tiga pasal yang disebut sebagai
93
Muhammad Yamin, op.cit., hlm. 41-42. George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, IthacaLondon: Cornell University Press, 1952, hlm. 401.
108 “essentialia UUD 1945” yakni Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 33 UUD 1945.
Selengkapnya ketiga pasal itu berbunyi sebagai berikut: Pasal 27:
1 Semua warga-negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya; 2 Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.
Pasal 29: 1 Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
2 Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Pasal 33: 1 Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan; 2 Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Masuknya ketiga pasal tersebut menunjukkan bahwa gagasan dan asas-asas pokok yang menjadi esensi dari UUD 1945 tidak pernah hilang
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dan merupakan satu kesatuan dengan NKRI yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Para
pendiri negara tampak menghendaki agar gagasan-gagasan dan asas-asas dasar yang melandasi berdirinya negara nasional Republik Indonesia. Ketiga
pasal tersebut memang mengandung ketentuan yang sangat fundamental bagi negara Indonesia karena mengubah ketentuan-ketentuan hukum yang
sebelumnya mendasari sistem kolonialisme dan kapitalisme Hindia Belanda.
109 Ketiga pasal itu intinya berkenaan dengan:
1. Asas persamaan atau non-diskriminasi. Asas ini sangat fundamental karena bertentangan dengan sistem kolonial yang tersusun
berdasarkan diskriminasi rasial, yaitu adanya pembedaan antara golongan Eropah, Timur Asing, dan Pribumi. Dengan adanya asas
persamaan itu, maka sistem kolonial yang diskriminatif itu diharapkan dapat berubah dalam bingkai NKRI;
2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Ketentuan ini juga bertolak belakang dengan sistem sosial-ekonomi kapitalis kolonial yang
bersifat eksploitatif terhadap manusia, khususnya bangsa Indonesia yang dipekerjakan tidak manusiawi;
3. Asas Ketuhanan Yang Mahaesa. Asas ini secara tegas menolak sistem sekular yang dianut dalam sistem kolonial Hindia Belanda. Asas ini
juga menunjukkan bahwa dalam negara nasional Indonesia terdapat kebebasan beragama dan beribadat yang berbeda dengan praktik
penindasan atas ummat Islam pada masa Hindia Belanda; 4. Asas perekonomian berdasarkan kekeluargaan. Asas ini jelas-jelas
menghendaki agar sistem ekonomi kolonial yang berwatak kapitalistik diubah dengan sistem ekonomi nasional yang berwatak kekeluargaan.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka secara esensial UUD 1945 menghendaki adanya perubahan secara mendasar sistem kolonial yang
bersifat diskriminatif, sekuler, dan kapitalistik kepada sistem nasional yang lebih demokratis, berketuhanan, dan kolektivistik. Dalam konteks inilah UUD
1945 berperan sebagai Revolutiegrondwet yang menghendaki adanya
110 perubahan secara fundamental dan radikal sistem sosial-ekonomi warisan
kolonial yang berwatak liberal-kapitalistik dan menggantinya dengan sistem ekonomi nasional yang berwatak kekeluargaan.
Khusus berkaitan dengan Pasal 33 UUD 1945, secara normatif ketentuan pasal tersebut tidak terputus dalam konstitusi-konstitusi yang
berlaku di Indonesia. Artinya, sekalipun sejak tanggal 14 November 1945 telah terjadi perubahan sistem pemerintahan menjadi parlementer yang
berakibat pada hilangnya lembaga tertinggi MPR dan GBHN yang menjadi instrumen perencanaan ekonomi, tetapi
berkenaan dengan konsep perekonomian nasional para pendiri negara kita konsisten untuk memegang
teguh gagasan tentang sistem perekonomian yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.
Secara koherensi pemuatan kembali norma Pasal 33 UUD 1945 dalam UUD Sementara 1950 itu diikuti pula oleh perubahan konsepsi dasar yang
menjadi fondasi dari sistem sosial-ekonomi liberal-kapitalistik, yakni konsepsi tentang hak milik. Pada Pasal 25 Konstitusi RIS ketentuan tentang hak milik
terdiri atas dua ayat, yakni:
1 Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain;
2 Seorangpun tidak boleh dirampas miliknya dengan semena-mena.
Ketentuan tersebut tetap diadopsi pada Pasal 26 UUD Sementara 1950 tetapi ditambah satu ketentuan baru pada ayat 3 yang berbunyi:
3 Hak milik itu adalah suatu fungsi sosial.
Penambahan ketentuan ini memiliki makna perubahan yang sangat fundamental karena mengubah konsepsi hak milik yang semula bersifat
111 mutlak menjadi hak yang memiliki fungsi sosial. Hak milik mutlak adalah
fondasi dari sistem liberal-kapitalis. Hernando de Soto menyebutkan bahwa karakteristik penting dari sistem ekonomi kapitalis adalah fungsi perlindungan
negara terhadap hak milik dalam suatu sistem hak milik formal yang kepemilikan dan transaksinya secara jelas diketahui.
94
Hak milik mutlak muncul dari paradigma hukum kodrat yang memandang hak sebagai
perwujudan dari kedaulatan individu yang berakar dari kebebasan individu individual liberty. Bentuk ini adalah dasar filosofis dari laissez-faire atau
liberalisme ekonomi.
95
Berbeda dengan hak milik mutlak, sistem hak milik dengan fungsi sosial meletakkan hak milik dalam konteks sosial. Pandangan ini terutama
berasal dari Leon Duguit, Profesor Hukum Tatanegara di Bordeaux Prancis, yang mengatakan bahwa hukum adalah perwujudan dari kebutuhan hidup
manusia sehari-hari yang tergantung pada suatu dukungan sosial. Apalagi dalam kehidupan modern yang ditandai dengan pembagian kerja yang
terspesialisasi, maka mau tidak mau membutuhkan organisasi sosial. Konsep sosial Duguit ini sesungguhnya terkait dengan teori Durkheim
tentang pergeseran masyarakat dari solidaritas mekanis kepada solidaritas organik, yakni dari suatu solidaritas yang berdasar pada homogenitas
kebutuhan dan fungsi kepada solidaritas yang berdasarkan heterogenitas spesialisasi fungsi yang sangat tinggi. Masyarakat industrial modern adalah
masyarakat yang memiliki landasan organisasi sosial yang sangat kompleks. Duguit menyebutkan adanya suatu “solidaritas sosial” yang merupakan faktor
perekat dari kohesivitas masyarakat industrial modern dalam menghadapi
94
“Property” dalam http:en.wikipedia.orgwikiProperty diakses tanggal 7 Oktober 2009.
95
“Classical Liberalism” dalam http:en.wikipedia.orgwikiClassical_liberalism diakses tanggal 7 Oktober 2009.
112 tuntutan berbagai kebutuhan dan pembagian kerja. Dalam kaitan inilah, hak
milik tidak dapat berdiri sendiri dan mutlak, tetapi harus berada dalam konteks solidaritas sosial yang disebutnya sebagai fungsi sosial dari hak milik,
sehingga perlindungan negara terhadap hak milik hanya dapat dibenarkan bila hak milik memiliki fungsi sosial.
96
Berdasarkan konsep Duguit itu maka konsep hak milik menjadi berwatak kolektivistik atau sosialistik.
97
Dengan demikian, konsep hak milik dengan fungsi sosial dalam UUD Sementara 1950 adalah konsep hak miliki yang berwatak kolektivistik atau
sosialistik. Hal itu koheren dengan ketentuan tentang perekonomian yang terdapat dalam Pasal 33 UUD 1945 yang diadopsi kembali dalam UUD
Sementara 1950 yang juga berwatak kolektivistik. Mengacu pada konsepsi hak milik dari Duguit itu, maka sistem
“perekonomian [yang] disusun sebagai usaha bersama atas dasar kekeluargaan” pada Pasal 33 UUD 1945 sepadan dengan konsep “solidaritas
sosial” menurut Duguit. Secara semantik istilah “kekeluargaan” memang mengandung konotasi pada masyarakat tradisional yang masih terikat oleh
persaudaraan dibandingkan oleh kebutuhan dan pembagian kerja, tetapi makna kekeluargaan pada Pasal 33 UUD 1945 harus diletakkan dalam
konteks masyarakat industrial modern yang terbentuk berdasarkan kebutuhan dan spesialisasi kerja. Hal itu terkait dengan ketentuan pada ayat 2 dan 3
yang menyebutkan “cabang-cabang produksi” dan eksplorasi “bumi dan air
96
Julius Stone, Human Law and Human Justice, Sydney: Maitland Publications, 1965. hlm. 161-162; “Tierra y Libertad: The Social Function Doctrine and Land Reform In Latin America”
dalam http:www.law.ufl.educgrconference06confmaterials8_Panel8_TomAnkersen
powerpoint.pdf diakses tangal 7 Oktober 2009.
97
Julius Stone, op. cit., hlm. 160. Pandangan Duguit tesebut oleh Dicey disebut sebagai pandangan yang lahir pada era “collectivist legislation” atau dalam istilah Roscoe Pound
disebut “socialization of law”. Pandangan Duguit juga disebut sebagai teori fungsional tentang hak milik functional theory of property. George Whitecross Paton, A Textbook of
Jurisprudence, Oxford: Clarendon Press, 1951, hlm. 440.
113 dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” yang menunjukkan
adanya aktivitas produksi dan eksploitasi sumber daya alam dalam skala industri modern. Makna kekeluargaan dalam masyarakat industrial modern itu
diwujudkan dalam bentuk penguasaan oleh negara sebagai bentuk representasi kolektivitas masyarakat.
Dengan berlakunya ketentuan Pasal 33 UUD 1945 serta asas fungsi sosial hak milik dalam UUD Sementara 1950, maka terdapat inkoherensi
antara ketentuan UUD Sementara 1950 dan isi persetujuan KMB yang secara formal masih mengikat pemerintah Indonesia, khususnya berkenaan dengan
perekonomian dan keuangan. Di satu pihak, UUD Sementara 1950 berwatak kolektivistik, sedangkan persetujuan KMB menganut sistem liberal-kapitalistik.
Keadaan seperti ini tentu saja menimbulkan ketegangan normatif bagi pemerintah dan bangsa Indonesia yang dipaksa oleh persetujuan KMB untuk
tunduk pada rezim kapitalisme internasional – melalui IMF dan Bank Dunia, tetapi, di pihak lain, juga dituntut oleh kewajiban konstitusional untuk
melakukan perubahan secara revolusioner sistem perekonomian liberal warisan Belanda ke arah sistem perekonomian kolektivistik yang berasas
kekeluargaan. Dalam kaitan ini, upaya untuk memasukkan beberapa ketentuan UUD
1945 yang pokok ke dalam UUD Sementara 1950 tampaknya menjadi cerminan dari semangat yang memandu pemerintah waktu itu untuk
menyikapi ketegangan normatif antara UUD Sementara 1950 dan
persetujuan KMB. Secara khusus dimasukkanya kembali ketentuan pasal- pasal esensialia UUD 1945 dalam UUD Sementara 1950 menunjukkan bahwa
para pendiri
negara masih
konsisten pada cita-cita revolusi Indonesia
114 dalam kehidupan sosial ekonomi, sehingga sikap yang sama diperlihatkan
pula dalam menghadapi pelaksanaan persetujuan KMB. Pada perkembangannya pemerintah akhirnya memutuskan untuk
mengabaikan persetujuan KMB dan lebih berorientasi pada perintah konstitusi. Hal itu tampak pada sejumlah kebijakan yang dituangkan dalam
beberapa peraturan perundang-undangan penting yang dibuat selama berlakunya UUD Sementara 1950. Salah satu kebijakan fundamental yang
terkait dengan pembatalan atas KMB itu adalah nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia yang dituangkan dalam UU Nomor 24 tahun
1952 tentang nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Kebijakan nasionalisasi De Javasche Bank ini merupakan bagian dari proses “dekolonisasi ekonomi”
economic decolonization yang terpenting.
98
Persetujuan KMB menetapkan bahwa selama Negara Indonesia berutang kepada Kerajaan Belanda maka De Javasche Bank DJB menjadi
bank sirkulasi yang menangani pembayaran utang kepada Belanda.
99
Padahal DJB adalah bank swasta yang ditunjuk oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bank sentral. Dengan kedudukannya itu DJB menjadi bank
swasta asing yang berfungsi sebagai bank sentral di negara Indonesia. Karena itulah sesuai UUD Sementara 1950 yang menetapkan pada Pasal
110 ayat 1 hanya ada satu Bank Sirkulasi, maka Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menasionalisasi DJB sebagai bank sirkulasi milik
nasional. Akhirnya, setelah proses nasionalisasi yang berlangsung tanpa menunggu terbitnya UU terlebih dahulu pada tanggal 6 Desember 1951
98
J. Thomas Lindbblad, From Java Bank to Bank Indonesia: A Case Study of Indonesianisasi in
Practice, http:www.indie-indonesie.nlcontentdocumentspapers-
economic20sideMakalah-Thomas20Lindblad.pdf diakses 22 Oktober 2009.
99
Pasal 19 ayat 1 Bagian B Perhubungan Keuangan Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian Konferensi Meja Bundar.
115 Presiden Soekarno mengesahkan UU tentang Nasionalisasi DJB yang
kemudian diundangkan pada tanggal 15 Desember 1951. Sejak itu DJB resmi menjadi milik negara Indonesia dan diubah namanya menjadi Bank
Indonesia. Nasionalisasi DJB itu sangat penting terkait dengan perubahan struktur
perekonomian nasional, khususnya bidang moneter atau keuangan, yang didominasi modal asing menjadi struktur ekonomi nasional. Maka dalam hal
inilah terjadi dekolonisasi ekonomi yang bertujuan untuk mengakhiri struktur ekonomi kolonial di Indonesia. Proses nasionalisasi DJB ini juga sangat
revolusioner karena mengabaikan aturan-aturan yang telah dibuat oleh Belanda sebelumnya, yakni Onteigeningssordonnantie Stb. 574 dan
persetujuan KMB tentang prosedur nasionalisasi perusahaan. Pemerintah mengabaikan dan menyimpang dari kedua aturan tersebut dan menetapkan
prosedur sendiri yang ditetapkan dalam UU tersebut. Bahkan, proses nasionalisasinya dilakukan terlebih dahulu tanpa menunggu adanya UU yang
mengatur nasionalisasi DJB. Karena ini praktis setelah UU Nasionalisasi DJB diundangkan proses nasionalisasi telah selesai dan sejak DJB tidak lagi
menjadi bank swasta asing serta resmi menjadi miliki Indonesia.
100
Kebijakan lain yang penting adalah yang ditempuh oleh Kabinet Muhammad Natsir September 1950-Maret 1951 berupa penyusunan
rencana pembangunan.
Pertama kali
disusun Rencana
Urgensi Perekonomian atau Rencana Urgensi Industri 1951-1953 yang dirancang oleh
Soemitro Djojohadikusumo. Rencana tersebut bersifat darurat hanya berlaku untuk tiga tahun dan sebagian besar diambil dari perencanaan pembangunan
100
Lihat Penjelasan UU Nomor 24 Tahun 1951, terutama Bagian III dan IV.
116 yang disusun oleh Belanda, seperti Bijzonder Industrieel Welvaartsplaan.
101
Setelah tiga tahun baru dilanjutkan dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun RPLT. Untuk menyusun RPLT ini pemerintah membentuk Dewan
Perancang Negara dan Biro Perancang Negara. Setelah lama terkatung- katung karena situasi politik, maka pada saat Ir. Juanda menjadi Kepala Biro
Perancang Negara, akhirnya pada tahun 1955 tersusun naskah
perencaanaan yang kemudian menjadi Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960. RPLT merupakan dokumen rencana
pembangunan di Indonesia yang pertama memanfaatkan cara berpikir teori pembangunan modern ala Harrod–Domar.
102
Dalam kerangka RPLT itu, pada tahun 1958 pemerintah menerbitkan UU Nomor 80 Tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional LNRI No.
144, 1958 yang bertugas untuk mempersiapkan RUU tentang pembangunan nasional yang berencana serta menilai penyelenggaraan pembangunan.
Pada tanggal 27 Desember 1958 – dua bulan setelah UU Depernas diterbitkan – diundangkanlah UU Nomor 85 Tahun 1958 tentang Rencana
Pembangunan Lima Tahun 1956-1960 LNRI No. 161, Th. 1958, TLN No. 1689. Sekalipun diundangkan pada tahun 1958 tetapi UU ini berlaku surut
sampai tanggal 1 Januari 1956. Pada Pasal 1 ayat 1 UU itu disebutkan bahwa:
Rencana Pembangunan Lima tahun ditujukan untuk mempertinggi tingkat kehidupan rakyat dengan memperbesar produksi dan
pendapatan dan merobah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional dengan membuka kesempatan usaha di seluruh
101
Hadi Soesastro, dkk. eds., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir Buku I 1945-1959, Membangun Ekonomi Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius, 2005, hlm. 178.
102
http:wrihatnolo.blogspot.com2009_09_30_archive.html diakses tanggal 19 Oktober 2009.
117 lapangan ekonomi dan sosial sesuai dengan asas kekeluargaan cetak
miring dari penulis.
Ketentuan pasal tersebut menunjukkan bahwa terdapat kehendak dan kesadaran akan perlunya perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi
struktur ekonomi nasional yang bersifat kekeluargaan. Ketentuan ini jelas merupakan perwujudan dari Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki
terbentuknya sistem ekonomi nasional yang berwatak kekeluargaan. Dalam konteks UUD
1945 sebagai Revolutiegrondwet
ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa tujuan revolusi yang terkandung dalam UUD 1945
tetap dilaksanakan oleh pemerintah karena Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan salah satu essentialia UUD 1945 tidak pernah hilang dan telah
diadopsi dalam UUD Sementara 1950. Berkaitan dengan keberadaan Dewan Perancang Nasional Depernas,
Frans Seda mengatakan bahwa pembentukan Depernas merupakan perlengkapan negara dalam mewujudkan konsepsi UUD Sementara 1950
yang menganut welfare state, yakni “sebuah negara yang aktif berfungsi dalam bidang kemakmuran dan keadilan sosial.”
103
Demikian pula tentunya dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dihasilkan oleh Depernas
merupakan bagian dari upaya mewujudkan konsepsi negara kesejahteraan. Secara teoretik adanya rencana pembangunan tersebut menunjukkan
bahwa terdapat mobilisasi hukum berwatak proaktif. Pada mobilisasi hukum proaktif berlaku model hukum kesejahteraan yang ditandai oleh adanya
inisiatif hukum dan intervensi negara terhadap tuntutan warga. Model ini
103
Frans Seda, “Dewan Perencanaan Nasional“ dalam Hadi Soesastro, dkk. eds., op.cit., hlm. 192.
118 memungkinkan negara melakukan intervensi legal terhadap kelas-kelas sosial
rendah sehingga dapat menghindari akses atas hukum yang tergantung pada stratifikasi sosial. Hanya saja model hukum kesejahteraan cenderung
mengandalkan pada pengendalian sosial yang kuat karena terikat pada rencana-rencana yang telah disusun. Tetapi, justru pada titik inilah model
hukum kesejahteraan memposisikan hukum sebagai instrumen bagi tujuan perubahan sosial tertentu.
Dalam konteks inilah Repelita 1956-1960 menunjukkan kehendak normatif untuk melakukan pengendalian sosial ke arah perubahan sistem
ekonomi kolonial yang berwatak liberal-kapitalistik menjadi sistem ekonomi nasional
yang berwatak
kekeluargaan. Berdasarkan
rencana itu
pembangunan ekonomi dijalankan secara teratur berdasarkan pola-pola tertentu ke arah tujuan terbentuknya sistem ekonomi nasional. Dengan
demikian, negara secara aktif menyelenggarakan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan rakyat banyak.
Kebijakan perencanaan tersebut kemudian diikuti oleh kebijakan yang sangat fundamental karena bukan saja secara positif melaksanakan prinsip-
prinsip UUD 1945 sebagaimana UU Repelita, tetapi secara negatif bersifat membatalkan persetujuan KMB. Kebijakan itu adalah UU Nomor 86 Tahun
1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda LNRI No. 162, 1958; TLN No. 1690.
Dalam penjelasan UU Nasionalisasi tersebut dinyatakan bahwa: Pemerintah Indonesia sebagai Pemerintah yang berdaulat yang
bertanggung-jawab atas rakyatnya senantiasa berusaha mempercepat pelaksanaan dasar-dasar ekonomi nasional dalam rangka pelaksanaan
pembatalan K.M.B .... Tanggung-jawab Pemerintah yang seberat ini perlu disalurkan kearah keuntungan Pemerintah dalam rangka
pembangunan ekonomi nasional, hingga dengan demikian dapat
119 memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya. Dengan demikian menasionalisasikan perusahaan milik Belanda itu mengandung maksud untuk lebih memperkokoh potensi
nasional kita, maupun untuk melikwidasikan kekuasaan ekonomi kolonial, dalam hal ini ekonomi kolonial Belanda.
Pada bagian Dasar Hukum disebutkan bahwa UU tersebut di antaranya mengacu kepada Pasal 27 jo 38 UUD Sementara 1950. Pasal 27
berkenaan dengan pencabutan hak milik demi kepentingan umum, sedangkan pasal 38 berisi ketentuan Pasal 33 UUD 1945. Dalam satu
kesatuan kedua pasal itu beserta penjelasan UU menunjukkan bahwa terdapat inkoherensi antara UUD Sementara 1950 dan persetujuan KMB.
Sistem perekonomian yang dianut dalam UUD Sementara 1945 adalah sistem perekonomian berasaskan kekeluargaan, sedangkan persetujuan KMB
mewarisi sistem ekonomi kolonial yang berwatak liberal-kapitalistik. Oleh karena itu, demi menjaga koherensi dalam konstitusi maka pemerintah harus
mengambil keputusan untuk melakukan pembatalan persetujuan KMB. Sekali lagi dasar untuk melakukan pembatalan KMB tersebut mengacu pada
ketentuan yang mengandung esensialia UUD 1945 yakni Pasal 33 UUD 1945. Dalam konteks Revolutiegrondwet ketiga UU tersebut, yakni UU
Depernas, UU Repelita 1956-1960, dan UU Nasionalisasi Perusahaan Belanda, merupakan UU yang secara tegas dan eksplisit mengacu pada
ketentuan UUD Sementara 1950 yang mengandung esesialia UUD 1945, terutama Pasal 33 UUD 1945, yang secara substansial menghendaki adanya
perubahan secara fundamental sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional. Perubahan sistem ekonomi tersebut adalah bentuk dari
revolusi Indonesia yang menghendaki dihancurkannya sistem ekonomi
120 kolonial yang liberal-kapitalistik dan digantikan dengan sistem ekonomi
nasional yang berwatak kekeluargaan. Dalam melaksanakan perubahan revolusioner itu dipergunakan hukum
sebagai instrumen pengendalian agar dapat mencapai tujuan perubahan itu sendiri. Di antara instrumen pengendalian itu adalah ditetapkannya rencana-
rencana pembangunan nasional lima tahunan yang secara normatif merupakan perwujudan dari model ekonomi teratur yang dikehendaki oleh
Pasal 33 UUD 1945. Dengan adanya perencanaan pembangunan tersebut diharapkan akan terjadi perubahan ke arah sistem ekonomi nasional dan
dapat dilakukan secara secara teratur dan bertahap. Sepanjang berlakunya UUD Sementara 1950 perencanaan pembangunan tersebut sudah mulai
dilakukan secara sistematis dan melahirkan dokumen yang kemudian menjadi dasar bagi model hukum revolusi yang dilakukan semasa Demokrasi
Terpimpin yang ditandai dengan berlakunya kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara RI.
D. Kembali ke UUD Revolusi