TA : Perancangan Motif Batik Tulis Ikon Kabupaten Ngawi Sebagai Media Promosi Dalam Menunjang Industri Kreatif.

(1)

PERANCANGAN MOTIF BATIK TULIS IKON KABUPATEN

NGAWI SEBAGAI MEDIA PROMOSI DALAM MENUNJANG

INDUSTRI KREATIF

TUGAS AKHIR

Program Studi

S1 Desain Komunikasi Visual

Oleh:

IKA MEGA APRILIANI 12420100088

FAKULTAS TEKNOLOGIDAN INFORMATIKA

INSTITUT BISNIS DAN INFORMATIKA STIKOM SURABAYA


(2)

vi

ABSTRAK

Batik adalah warisan dari Indonesia yang sudah diakui atau ditetapkan oleh UNESCO sejak tanggal 2 Oktober 2009. Batik memiliki makna atau arti disetiap motifnya. Pesatnya pecinta batik membuat batik semakin berkembang, hingga setiap daerah berlomba-lomba memiliki motif batik yang mengandung makna sesuai dengan karakteristik atau sesuai dengan ciri khas daerah tersebut. Sayangnya daerah Ngawi masih tertinggal motif batiknya. Bahkan disekitar tahun 2009 sampai tahun 2010 Ngawi mulai krisis peminat batik. Berkurangnya pembatik dan berkurangnya minat untuk mengembangkan batik ciri khas daerah tersebut. Padahal jika dilihat dari potensi yang terdapat diNgawi sangat mendukung untuk meningkatkan atau mengembangkan batik Ngawi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk merancang motif batik ikon dari kabupaten Ngawi sebagai media promosi dalam menunjang industri kreatif. Perancangan motif batik ini menggunakan metode pengumpulan data dengan cara kualitatif, yaitu dengan wawancara, observasi, studi literatur dan studi eksisting, yang sangat penting untuk menetukan konsep dari perancangan yang akan dirancang. Dari hasil pengumpulan data tersebut, maka konsep yang dimunculkan adalah Modern. Kata Modern merupakan konsep dari desain motif batik, yang dirancang dengan gaya kontemporer atau masa kini untuk mengembangkan motif batik yang sudah ada. Konsep tersebut digunakan sebagian besar dari perancangan motif batik, baik desain maupun warna yang dipilih. Perlu adanya upaya untuk menarik perhatian warga Ngawi, sehingga motif batik yang dirancang dikemas secara modern, yang berbeda dari motif yang sudah ada. Salah satunya dengan merancang motif batik yang memuat ikon dari Ngawi dengan mengkombinasikan warna ciri khas Ngawi, dengan harapan media ini dapat menjadi salah satu media yang dapat mengembangkan kembali batik Ngawi, dan mendongkrak semangat peminat pembatik, agar batik Ngawi dan potensi Ngawi dapat dikenal oleh masyarakat. Kata Kunci: Motif Batik, Tulis, ikon, kabupaten Ngawi, Media Promosi, Industri Kreatif, Modern.


(3)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Batasan Masalah ... 7

1.4 Tujuan ... 8

1.5 Manfaat ... 8

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.5.2 Manfaat Praktis ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Penelitian Terdahulu ... 9

2.2 Teori Kebudayaan ... 11

2.3 Batik Sebagai Warisan Budaya ... 12

2.4 Pengertian Perancangan ... 13

2.5 Pengertian Desain... 14

2.6 Ikon Daerah ... 15

2.7 Pengertian Batik ... 17

2.7.1 Batik Tulis ... 18

2.7.2 Batik Modern ... 18

2.7.3 Batik Kombinasi ... 18

2.8 Motif Batik ... 19

2.9 Pola Batik ... 22

2.8.1 Pola Batik Kawung ... 22


(4)

x

2.8.3 Pola Batik Parang Rusak ... 23

2.10 Proses Membatik ... 23

2.11 Warna ... 26

2.12 Sejarah Batik Jawa Timur ... 29

2.13 Potensi Kabupaten Ngawi ... 31

2.13.1 Potensi Alam Kabupaten Ngawi ... 32

2.13.2 Potensi Kepurbakalaan ... 32

2.14 Sejarah Batik Ngawi ... 33

2.15 Pengertian Media Promosi ... 34

2.16 Pengertian Warisan Budaya ... 36

2.17 Dewasa Dini ... 37

2.18 Pengertian Industri Kreatif ... 38

2.19 Tipografi ... 40

2.20 Layout ... 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47

3.1 Perancangan Penelitian ... 47

3.1.1 Riset Lapangan ... 47

3.1.2 Identifikasi ... 48

3.1.3 Ide dan Gagasan ... 48

3.1.4 Jenis Penelitian ... 48

3.1.5 Lokasi Penelitian ... 49

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 49

3.2.1 Wawancara ... 50

3.2.2 Observasi ... 51

3.2.3 Dokumentasi ... 51

3.2.4 Studi Pustaka ... 53

3.2.5 Studi Eksisting ... 53

3.3 Teknik Analisa Data ... 54

3.3.1 Reduksi Data ... 54

3.3.2 Penyajian Data ... 54


(5)

xi

BAB IV PEMBAHASAN ... 56

4.1 Hasil dan Analisa Data ... 56

4.1.1 Hasil Observasi (Pengamatan) ... 56

4.1.2 Hasil Wawancara (Interview) ... 58

4.1.3 Literatur ... 59

4.1.4 Hasil Studi Eksisting ... 60

4.2 Konsep atau Keyword ... 62

4.2.1 Segmentasi, Targeting, Positioning (STP) ... 62

4.2.2 Unique Selling Preposition (USP) ... 63

4.2.3 Analisis SWOT (Strenght, Weakness, Opportunity, Threat) ... 64

4.2.4 Tabel Analisis SWOT (Motif Batik Ikon Kabupaten Ngawi) ... 65

4.2.5 Keyword ... 66

4.2.6 Deskripsi Konsep ... 67

4.3 Perancangan Karya... 69

4.3.1 Perancangan Kreatif ... 70

4.3.2 Perancangan Media ... 73

4.3.3 Perencanaan Karya ... 76

4.4 Biaya Produksi ... 86

4.5 Implementasi Desain ... 86

4.5.1 Media Utama ... 87

4.2.2 Media Pendukung ... 85

BAB V PENUTUP ... 93

5.1 Kesimpulan ... 93

5.2 Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 98


(6)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kesenian dan budaya. Salah satu budaya atau kesenian Indonesia yang terkenal adalah batik. Seni budaya batik khususnya sudah ada sejak zaman dahulu, dan hingga saat ini batik telah berkembang dan merupakan karya budaya nasional. Batik adalah salah satu seni budaya yang bersifat khusus, yaitu perpaduan antara seni dan tehnologi, dan batik pada umumnya merupakan karya seni yang memadukan antara seni motif atau ragam hias dan seni warna yang diproses melalui pencelupan dan penglorotan (Sewan S.1982: 3).

Kesimpulannya bahwa batik merupakan warisan budaya Indonesia yang sudah tersebar ke seluruh Indonesia. Batik adalah salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah menjadi sorotan diberbagai kalangan baik dalam negri maupun luar negri karena keunikannya dan keindahannya. Batik dianggap lebih dari sekadar buah akal budi masyarakat Indonesia. Oleh karena itu batik sudah menjadi identitas bangsa, melalui ukiran simbol nan unik, warna menawan, dan rancangan tiada dua, maka pada tanggal 2 Oktober 2009 batik resmi dipatenkan oleh UNESCO sebagai budaya bangsa Indonesia (Marzuqi 2015: 1).

Melestarikan batik warisan budaya Indonesia, memerlukan suatu pegembangkan motif batik dengan karakter suatu daerah, agar disetiap daerah


(7)

diseluruh Indonesia memiliki batik yang berciri khas sesuai dengan daerahnya. Demikian pula dengan Kabupaten Ngawi, yang memulai mengembangkan kembali kegiatan membatiknya setelah terancam gulung tikar, hal ini dibenarkan oleh Kepala Bidang Kebudayaan Kabupaten Ngawi yaitu Bapak Sukadi S.Pd, bahwa batik Ngawi pernah mengalami mati suri karena kurangnya minat untuk mengembangkan motif batik. Ngawi adalah salah satu daerah yang belum memiliki ikon motif batik unggulan. Daerah Ngawi ini hanya memiliki motif batik yang mencirikhaskan daerah tersebut, seperti yang telah diciptakan oleh warga Ngawi adalah adanya motif batik Bambu, Padi, Pohon Jati, Manusia Purba, dan Kali Tumpuk atau pertemuan dua sungai besar (Bengawan Solo dan Kali Madiun). Namun motif batik yang memiliki ciri khas Kabupaten Ngawi dan memiliki nilai keindahan dan seni masih perlu diuji dan dikaji ulang.

Padahal jika dilihat dari potensi-potensi yang ada di Kabupaten Ngawi sangat memungkinkan untuk dijadikan motif batik ikon dari daerah tersebut, dari semua potensi yang ada di Ngawi dijadikan satu kesatuan menjadi sebuah ikon yang dituangkan pada kain batik sebagai motif batik unggulan ikon Kabupaten Ngawi. Ngawi memiliki potensi alam yang melimpah contohnya Padi, luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.298,58 km2 dan 40 persennya berupa lahan persawahan. Dapat dilihat pada gambar 1.1


(8)

Gambar 1.1 Persawahan di Kabupaten Ngawi Sumber : Google (www.instagram.com/ratna.trisnawati/)

Selain padi menurut Kepala Bidang Kebudayaan Ngawi juga memiliki wilayah hutan yang dikelola oleh KPH Ngawi seluas 45.912,2 Ha dengan ribuan pohon jati. Ribuan pohon jati ini terletak di Ngawi bagian barat, jalan menuju Jawa Tengah. Dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut ini. Peneliti mengambil gambar pohon jati yang masih baru tumbuh agar dapat dilihat lebih jelas.

Gambar 1.2 Pohon Jati di Kabupaten Ngawi Sumber : Dokumentasi Peneliti


(9)

Selain memiliki potensi alam yang menonjol Kabupaten Ngawi juga memiliki potensi yang telah dikenal oleh seluruh dunia yaitu potensi kepurbakalaan. Penemuan fosil Manusia Purba (Pithecanthropus Erectus) dimana manusia purba ini adalah manusia kera yang jalannya berdiri tegak. Ditemukan pertama kali di dunia yaitu di daerah Ngawi dekat dengan sungai Bengawan Solo, berupa fosil-fosil manusia purba, fosil gading gajah, fosil gading kerbau dan lain-lain, fosil-fosil tersebut ditemukan oleh Eugene Dubois yang berasal dari Belanda.

Potensi yang sudah dikenal hingga dunia tersebut menjadi ikon Kabupaten Ngawi yang membedakan dengan daerah yang lain, dan dibangunlah sebuah patung manusia purba di bagian kiri kantor Bupati Kabupaten Ngawi, tepatnya di belakang Alun-Alun Kabupaten Ngawi, dapat dilihat pada gambar 1.3.

Gambar 1.3 Bangunan Manusia Purba (Phitecantropus Erectus) ikon Kabupaten Ngawi Sumber : Dokumentasi Peneliti


(10)

Potensi-potensi yang ada di Kabupaten Ngawi ini sudah dikenal sebagai ciri khas Kabupaten Ngawi. Selain yang disebutkan di atas Ngawi juga memiliki ikon yaitu Bambu. Menurut Kepala Kebudayaan Kabupaten Ngawi Bapak Sukadi S.Pd, Ikon bambu berasal dari sejarah pertama kali ditemukkan daerah Ngawi yang rimbun dengan pohon bambu. Seakan pohon bambu menjadi pagar daerah Ngawi, dari situlah nama Ngawi berasal. Kata Ngawi “Awi” diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti bambu yang selanjutnya mendapat tambahan huruf sengau “Ng” menjadi “Ngawi”. Sayangnya bambu yang menjadi ikon dari nama Ngawi ini sudah tiada, karena dipergunakan oleh warga sekitar untuk kehidupan sehari-hari. Meski begitu kata Ngawi yang berarti bambu ini masih tetap menjadi ikon Ngawi dan mendorong pemerintah Ngawi untuk membangun patung bambu sebagai ikon Kabupaten Ngawi. Patung bambu sudah ditampilkan di depan Alun-Alun Kabupaten Ngawi. Dapat dilihat pada gambar 1.4.

Gambar 1.4 Bangunan Bambu di Alun-Alun Kabupaten Ngawi Sumber : Dokumentasi Peneliti


(11)

Potensi Kabupaten Ngawi yang menonjol bukan hanya Padi, Pohon Jati, Fosil Manusia Purba, dan Bambu saja tetapi juga Kali Tempuk. Dimana Sungai Bengawan Solo bertemu dengan Kali Madiun bertemu atau tempuk di belakang Benteng Pendem Ngawi. Menurut bapak Suwandi pemilik salah satu sentra batik atau UKM batik pertama kali berdiri di Ngawi, yang bernama Batik Sido Mulyo. Bahwa Ngawi memiliki 5 (lima) yang mencirikhaskan daerah Ngawi dan membedakan dengan keunikan batik di daerah lain yaitu Bambu, Manusia Purba, Pohon Jati, Padi, dan Kali Tempuk. Kali tempuk yang terdapat di Ngawi ini diambil dari google maps. Dapat dilihat pada gambar 1.5.

Gambar 1.5 Peta Kali Tempuk Kabupaten Ngawi Sumber : Foto Google Maps

Potensi-potensi yang telah disebutkan diatas sudah dikenal oleh banyak orang hingga mendunia. Maka akan dengan mudah sekali memperkenalkan motif batik ikon Kabupaten Ngawi. Keunggulan yang menonjol ini salah satunya memiliki nilai bersejarah, maka akan sangat sayang sekali bila tidak dikembangkan dengan maksimal, yang nantinya dapat menjadi pusat kekuatan


(12)

pada industri kreatif, dan berdampak positif pada perekonomian masyarakat Kabupaten Ngawi ,serta pada nama Kabupaten Ngawi sendiri.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dibutuhkan perancangan motif batik, guna untuk mengangkat atau menciptakan ekonomi kreatif pada warga Ngawi. Promosi yang meluas agar mampu merangkul masyarakat luas untuk dapat mencintai produk budaya lokal yang ada di Kabupaten Ngawi. Perancangan motif batik tulis ikon Kabupaten Ngawi sebagai media promosi dalam menunjang industri kreatif ini, sebagai upaya melestarikan produk budaya lokal. Berdasarkan wacana tersebut, penetili sebagai putri dari daerah Kabupaten Ngawi mempunyai keinginan untuk ikut serta menciptakan motif batik ikon Kabupaten Ngawi. Dengan merancang motif batik ikon Kabupaten Ngawi, agar batik Ngawi memiliki ikon unggulan yang berbeda dari daerah lain, serta mengangkat atau menciptakan ekonomi kreatif. Sebagai wujud syukur kepada kota kelahiran yaitu Kabupaten Ngawi.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka maka peneliti merumuskan permasalahan Bagaimana merancang motif batik tulis ikon Kabupaten Ngawi sebagai media promosi dalam menunjang industri kreatif ?

1.3 Batasan Masalah

Adapun batasan masalah yang diambil dari rumusan masalah di atas meliputi :


(13)

b. Menerapkan motif batik pada kain melalui proses pencantingan, pewarnaan hingga hasil akhir jadi kain batik.

c. Menerapkan pola pada media promosi selain Guidebook Batik sebagai media utamanya. Dan media pendukung seperti kain batik, Poster, Video Pendek, Sosial Media Facebook, Twitter, Instagram, dan Web site.

1.4 Tujuan

Tujuan dari tugas akhir ini adalah :

a. Merancang desain motif batik ciri khas Ngawi untuk mempromosikan Kabupaten Ngawi.

b. Merancang media promosi daerah Kabupaten Ngawi melalui motif batik yang berciri khas serta sebagai upaya meningkatkan industri kreatif yang dapat diterima oleh kalangan masyarakat.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat Teoritis dalam perancangan motif batik ini adalah sebagai berikut : a. Memberikan pemahaman terhadap makna atau filosofi dalam motif batik

yang dirancang melalui proses canting, pewarnaan hingga hasil jadi kain batik yang mempunyai ciri khas ikon daerah Kabupaten Ngawi.

b. Dapat digunakan sebagai referensi keilmuan proses perancangan motif batik. Manfaat Praktis

1.5.2 Manfaat Praktis


(14)

a. Sebagai inspirasi untuk membuat pola motif batik khas ikon Kabupaten Ngawi kepada pengrajin batik

b. Membantu pemerintah Kabupaten Ngawi sebagai media promosi daerah melalui media batik.

c. Merancang motif batik tulis ikon kabupaten Ngawi sebagai media promosi dalam menunjang industri kreatif


(15)

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam proses perancangan motif batik ini ada beberapa teori serta konsep yang memerlukan penjelasan secara detail sebagai pokok pembahasan yang akan penulis kaji sehingga dianggap mudah mendukung, sehingga perancangan motif batik ini dapat dipertanggungjawabkan, antara lain :

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian Terdahulu pernah dilakukan oleh mahasiswa Institut Bisnis dan Informasi Stikom Surabaya yang bernama Ahmad Marzuqi, dengan judul Penciptaan Motif Batik Sebagai Ikon Kabupaten Lumajang. Perancangan difokuskan untuk menciptakan motif batik berciri khas Lumajang melalui kreasi motif batiknya. Motif batik ini merupakan objek untuk menciptakan motif baru yang memiliki ciri khas Lumajang. Visual motifnya memiliki tema keagungan alam, tema ini merupakan ikon khas Kabupaten Lumajang sebagai penghasil panen pisang.

Perbedaan tujuan penelitian saat ini dengan tujuan penelitian terdahulu ada pada tema yang di ambil untuk dijadikan ikon dan daerah yang diteliti. Dimana pada penelitian terdahulu merancang desain untuk percontohan bagi para pengrajin batik di Lumajang melalui motif batik berciri khas Kabupaten Lumajang, sedangkan dipeneliti saat ini perancangan ikon batik berbasis seni dan budaya yang nantinya akan dijadikan ikon batik bagi Kabupaten Ngawi. Meskipun terdapat kesamaan tujuan untuk sama-sama menginformasikan kepada


(16)

masyarakat luas pada ciri khas motif batik kedaerahan, namun ada juga yang membedakannya adalah konsep dari desain batik, ciri khas daerah yang akan dituangkan pada kain batik dan strategi yang dilakukan masing-masing berbeda.

2.2 Kebudayaan

Kata “Kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” Atau “akal” (Koentjaraningrat 1979: 181). Definisi lain tentang kebudayaan yang disusun oleh Sir Edward Taylor (Harton, 1996: 58; Harsojo, 1988: 92; Soekanto, 2003: 172) menyebutkan bahwa kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperolehkan sesorang sebagai anggota masyarakat. Ada pendirian lain mengenai asal dari kata “kebudayaan” itu, ialah bahwa kata itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi-daya, artinya daya dari budi, kekuatan dari akal (P.J. Zoetmulder, Cultuur, Oost en West. Amsterdam, P.J. van der Peet, 1951). Menurut Koentjaraningrat (1974: 9) keseluruhan gagasan dari karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dan hasil budi dan karyanya itu, maka istilah “kebudayaan” memang suatu istilah yang amat cocok.

Menurut Koentjaraningrat (1974: 5) berpendapat bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud :

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dan masyarakat.


(17)

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Munurut ke tiga wujud kebudayaan yang telah dijelaskan di atas, maka yang sangat berkaitan dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah wujud yang ketiga dari kebudayaan yaitu kebudayaan fisik, yang artinya berupa seluruh total dari hasil fisik dari aktifitas yang dilakukan. Perbuatan, dan semua karya manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling kongkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto. Misalnya bangunan hasil seni arsitek seperti suatu candi yang indah atau ada pula benda-benda kecil seperti kain batik. Serta wujud kebudayaan yang ke dua yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola manusia itu sendiri. Salah satu contohnya aktivitas–aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul dengan yang lain, yang dari detik ke detik, hari ke hari, tahun ketahun, selalu mengikuti pola tertentu yang berdasarkan pada adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktifitas manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat kongkret, terjadi disekitar, bisa di observasi, difoto, dan didokumentasi.

2.3 Batik Sebagai Warisan Budaya

Menurut hasil penelitian Marzuqi (2015: 9) Batik merupakan salah satu karya dari warisan budaya nenek moyang Indonesia, hal itu tertulis dan diakui oleh UNESCO. Kata batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” yang berarti menulis dan “nitik”. Kesenian batik adalah kesenian gambar diatas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya


(18)

untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Motif yang dibuat disesuaikan dengan peruntukan kain tersebut, misalnya kain untuk raja berbeda dengan permaisuri dan berbedapula dengan pejabat kerajaan yang lain. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal di luar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan di tempat masing-masing. Menurut Poerwadarminta (1984: 96), batik sebagai kain dan sebagainya, dengan cara tertentu atau mula-mula ditulis dengan atau ditera dengan lilin. Sedangkan menurut Djoemena (1990), batik adalah gambar pada mori yang dibuat dengan teknik pencantingan. Jadi orang yang menggambar atau menulis di atas mori memakai canting disebut membatik (bahas Jawa: batik). Membatik menghasilkan batikan yang mempunyai bermacam-macam motif dan filosofi yang dimiliki oleh batik tersebut.

Hasil lukisan ini kemudian disebut dengan ragam hias, umumnya sangat dipengaruhi oleh letak geografis daerah pembuat batik yang bersangkutan, adat istiadat, keadaan alam termasuk flora dan fauna, maka pengaruh ini yang akan muncul dalam karya khas batik dari daerah tersebut. Dalam situs UNESCO juga dituliskan bahwa batik juga berisi kumpulan pola yang mencerminkan berbagai pengaruh bangsa lain. Batik kerap diwariskan dalam keluarga, dari generasi ke generasi (Marzuki 2015: 10).

2.4 Pengertian Perancangan

Menurut Al-Bahra Bin Ladjamudin (2005: 51) yang terdapat dalam buku yang berjudul Analisis dan Desain Sistem Informasi, menjelaskan bahwa:


(19)

“ perancangan adalah kemampuan untuk membuat beberapa alternatif pemecahan masalah”. Sedangkan menurut Azhar Susanto (2004: 331) menjelaskan dalam buku berjudul Sistem Informasi Manajemen Konsep dan Pengembangannya yaitu: “perancangan adalah spesifikasi umum dan terinci dari pemecahan masalah berbasis komputer yang telah dipilih selama tahap analisis”.

Berdasarkan definisi para ahli tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa perancangan adalah suatu alternatif yang dibuat untuk memecahkan sebuah masalah yang dihadapi.

2.5 Pengertian Desain

Agus Sachari (2005: 3) menyatakan bahwa pada awalnya desain merupakan kata baru berupa peng-Indonesiaan dari kata design (bahasa Inggris), istilah ini melengkapi kata “rancang/rancangan/merancang” yang dinilai kurang mengekspresikan keilmuan, keluasan dan kewibawaan profesi. Dr. Agus Sachari (2005: 3) menyebutkan bahwa Akar-akar istilah desain pada hakikatnya telah ada sejak zaman purba dengan pengertian yang amat beragam. Istilah “Arch, “Techne”, “Kunst”, “Kagunan”, “Kabinangkitan”, “Anggitan”, dan sebagainya merupakan bukti-bukti bahwa terdapat istilah-istilah yang berkaitan dengan kegiatan desain, hanya penggunaannya belum menyeluruh dan dinilai belum bermuatan aspek-aspek modernitas seperti yang dikenal sekarang.

Secara etimologis kata “desain“ diduga berasal dari kata designo (bahasa Italia) yang artinya gambar (Jervis, 1984). Kata ini diberi makna baru dalam bahasa Inggris di abad ke-17, yang dipergunakan untuk membentuk School of Design tahun 1836. Makna baru tersebut dalam praktik kerap semakna dengan


(20)

kata craft (keterampilan adiluhung), kemudian atas jasa Ruskin dan Morris, dua tokoh gerakan antiindustri di Inggris pada abad ke- 19, kata “desain” diberi bobot sebagai seni berketerampilan tinggi (art and craft). Menurut Sarwono dan Lubis (2007: 33) desain-desain tersebut akan digunakan secara praktis untuk tujuan sebagai berikut:

a. Sarana komunikasi produk atau jasa komersial dalam dunia bisnis. b. Sarana komunikasi dalam organisasi-organisasi non komersial.

c. Sarana komunikasi dalam bentuk visual oleh institusi-institusi swasta untuk mengkomunikasikan pesan-pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat yang akan dituju.

Dari pengertian-pengertian yang ada dapat disimpulkan bahwa desain adalah suatu kegiatan kreatif yang menghasilkan sebuah rancangan ataupun hasil jadi yang inovatif sesuai dengan keilmuan dan profesi khusus yang dijalani dan memiliki prinsip dan unsur yang sama, dapat mengkomunikasikan produk atau jasa, mengkomunikasikan organisasi komersial, serta mengkomunikasikan dalam bentuk visual oleh institusi-institusi swasta.

2.6 Ikon Daerah

Icon atau ikon, adalah bentuk yang paling sederhana, karena ikon hanya pola yang menampilkan kembali obyek yang ditandainya, sebagaimana bentuk fisik obyek itu. Ikon cenderung hanya menyederhanakan bentuk, tetapi mencoba menampilkan bagian yang paling esensial dari bentuk tersebut. Menurut Pierce, (Sobur, 2004: 41) Ikon adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat kemiripan. Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang memiliki


(21)

kemiripan/similaritas dengan objeknya (Budiman, 2005: 45). Akan tetapi, sesungguhnya ikon tidak semata-mata mencakup citra-citra realistis seperti lukisan, foto saja, melainkan juga ekspresi-ekspresi semacam grafik-grafik, skema-skema, peta geografis, persamaan-persamaan matematis, bahkan metafora (Budiman, 2005: 56).

Dari penjelasan para ahli tidak mudah menentukan seberapa mirip sebuah ikon terhadap obyek yang diwakilinya. Semakin sering kita melihat tanda itu, akan menjadi kebiasaan, sehingga dengan mudah dikenali sebagai tanda ikon. Obyek yang diikonkan juga mempengaruhi, karena semakin familiar obyek tersebut, semakin mudah diikonkan, dan dipahami.

Ikon yang sudah mendunia memiliki makna dalam cakupan yang luas. Misalnya pintu kamar mandi sebagai simbol “pria” dan “wanita”. Dalam suatu kedaerahan ikon memiliki fungsi yang sangat penting sebagai identitas dari daerah tersebut, juga sebagai pembeda dari daerah-daerah lain, seperti Sidoarjo yang memiliki ikon udang yang menggambarkan bahwa di Sidoarjo penghasil udang, maka Sidoarjo dikenal sebagai penghasil udang.

Secara umum di beberapa daerah khususnya Jawa sudah memiliki ikon daerah, salah satu diantaranya adalah batik yang telah menjadi ikon budaya Jawa. Dan daerah - daerah yang belum memiliki ciri khas daerahnya sudah memulai untuk mencari ikon-ikon yang mendukung unsur-unsur ikon daerah dalam pembatikan.

Ada beberapa unsur-unsur daerah yang dapat di angkat menjadi simbol-simbol tertentu, antara lain :


(22)

a. Flora dan Fauna b. Nilai sejarah daerah c. Geografik daerah

d. Nilai budaya / kesenian daerah

e. Simbol-simbol baru yang diinovasi (pengembangan dari stilisasi).

Dari penjelasan ikon daerah di atas Kabupaten Ngawi juga memiliki simbol-simbol yang dapat dijadikan ikon, yaitu bambu berasal dari nama Ngawi yang berasal dari kata “awi” yang berarti bambu. Diberi nama Ngawi atau bambu karena dahulu daerah Ngawi banyak ditumbuhi bambu di sekitar sungai Bengawan Solo. Selain bambu, Kabupaten Ngawi juga terdapat penemuan fosil manusia purba yang ditemukan pada tahun 1891, pertama kali di dunia ditemukan manusia purba, padi, Pohon Jati, dan Kali Tempuk.

2.7 Pengertian Batik

Kata batik berasal dari bahasa Jawa yaitu “amba” yang berarti menulis dan “nitik”. Dalam bahasa Jawa berarti titik, yang diturunkan dari kata „ambatik‟ yang berarti “kain dengan titik-titik kecil”. Akhiran „tik‟ berarti titik-titik kecil. Batik juga berasal dari kata dalam Bahasa Jawa „tritik‟ yang mendeskripsikan sebuah proses pewarnaan kain dengan teknik celupan-rintang lilin. Dalam kamus besar bahasa Indonesia batik adalah “kain yang bergambar (bercorak, beragi) yang pembuatannya dengan cara tertentu (mula–mula ditulis atau ditera dengan lilin lalu diwarnakan dengan pewarna alam ataupun tekstil).

Jadi suatu kain dapat disebut batik apabila mengandung dua unsur pokok, yaitu jika memiliki teknik celup rintang yang menggunakan lilin sebagai perintang


(23)

warna dan pola yang beragam hias khas batik. Ada beberapa jenis batik yaitu batik tulis dan batik modern.

2.7.1 Batik Tulis

Menurut (H.M. Soeharto,1997:17) Batik Tulis ialah batik yang dihasilkan dengan cara menggunakan canting tulis sebagai alat bantu dalam melekatkan cairan malam pada kain. Perkembangan teknik yang menghasilkan batik tulis bermutu tinggi di kraton-kraton Jawa ditunjang oleh canting tulis dan kain halus. Pengertian Batik Tulis adalah batik yang dianggap paling baik dan tradisional, yang proses pembuatannya melalui tahap-tahap persiapan, pemolaan, pembatikan, pewarnaan, pelorodan dan penyempurnaan. Pada batik tulis sangat sulit dijumpai pola ulang yang dikerjakan persis sama, pasti ada selintas perbedaan, contohnya : lengkungan garis atau sejumlah titik. Kekurangan tersebut merupakan kelebihan dari hasil pekerjaan tangan.

2.7.2 Batik Modern

Batik Modern dibedakan menjadi Batik Cap, Batik Kombinasi. Pengertian Batik Cap adalah batik yang proses pembuatanya melalui tahap-tahap persiapan, pencapaan, pewarnaan, pelorodan dan penyempurnaan. Pelaksanaan pembuatan batik cap lebih mudah dan cepat. Kelemahan pada batik cap ialah motif yang dapat dibuat terbatas dan tidak dapat membuat motif-motif besar.

2.7.3 Batik Kombinasi

Pengertian Batik Kombinasi (tulis dan Cap) adalah batik yang dibuat dalam rangka mengurangi kelemahan-kelemahan yang terdapat pada produk batik


(24)

cap, seperti motif besar dan seni coretan yang tidak dapat dihasilkan dengan tangan. Dalam proses pembuatan batik kombinasi ini memerlukan persiapan-persiapan yang rumit, terutama pada penggabungan motif yang ditulis dan motif capnya, sehingga efisiensinya rendah (hampir sama dengan batik tulis) dan nilai seni produknya disamakan dengan batik cap. Adapun proses pembuatannya melalui tahap persiapan, pemolaan (untuk motif besar), pembatikan (motif yang tidak dapat dicap), pecapaan, pewarnaan, pelorodan dan penyempurnaan (Afrillyana Purba, Gazalba Saleh dan Andriana Krisnawati, 2005).

Sesungguhnya batik memiliki latar belakang yang kuat dengan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala bidang dan bentuk kebudayaan serta kehidupan sehari-hari. Batik di Indonesia terus mengalami perubahan seiring dengan pengaruh dan perkembangan zaman. Pengaruh ini akan membawa konsekuensi motif dan pola yang dibuat pada batik.

2.8 Motif Batik

Secara etimologi, motif berasal dari kata motive yang dalam bahasa inggris berarti menggerakkan, membuat alasan, juga berarti ragam. Motif juga mempunyai arti sesuatu yang mendasari perbuatan, dasar pikiran, juga berarti corak (Badudu, 1994: 909). Motif batik adalah kerangka gambar atau sebuah pola yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Setiap daerah pembatikan di Indonesia mempunyai motif batik dan tatawarna yang berbeda-beda. Keindahan nilai filosofi terkandung dalam motif batik diciptakan melalui proses yang panjang tentunya juga mempunyai arti sangat dalam. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Djoemena (1990: 10), menurut pengrajin pencipta motif batik


(25)

pada zaman dahulu tidak sekedar mencipta batik yang indah dipandang mata saja, tetapi pengrajin juga memberi makna dan arti yang erat hubungannya dengan filsafat hidup. Motif batik adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan (Susanto, 1980: 212). Pengrajin jaman dahulu menciptakan motif batik dengan harapan yang tulus, semoga akan menebar kebaikan bagi yang memakai.

Batik Jawa memiliki sejumlah ratusan motif yang bermakna dan memiliki nilai-nilai lokal. Ada beberapa motif beserta budaya filosofinya adalah sebagai berikut : Motif batik kawung adalah motif batik tertua di tanah Jawa. Motif ini memiliki kandungan makna, bahwa usaha yang keras akan selalu membuahkan hasil yang berlupat ganda. Walaupun kadang harus memakan waktu yang lama. Motif batik tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Motif Batik Kawung Sumber : Google.images

Batik Sidomukti memiliki makna kemakmuran. Demikianlah bagi orang Jawa, ingin hidupnya selain budi, upacara, dan tindakan tentunya agar hidup makmur dunia akhirat. Untuk mencapai kemakmuran dan ketentraman setiap manusia harus bisa mengendalikan hawa nafsu, mengurangi kesenangan,


(26)

menggunjing tetangga, berbuat baik tanpa mengurangi orang lain, dan sebagainya. Motif batik yang memiliki makna tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Motif Batik Sidamukti Sumber : Google.images

Dari bebrapa contoh dapat disimpulkan bahwa motif batik menjadi unsur yang sangat penting karena dengan motif batik inilah dapat diketahui sebuah batik memiliki “roh” atau tidak. Menurut Sewan Susanto (1973:3) dijelaskan bahwa keindahan motif batik terletak dari dua hal yaitu keindahan visual dan keindahan spiritual.

a. Keindahan visual (keindahan luar), yaitu rasa indah yang diperoleh karena perpaduan yang harmonis dari susunan bentuk dan warna melalui penglihatan atau panca indera.

b. Keindahan spiritual (keindahan dalam), yaitu rasa indah yang timbul karena susunan arti atau filosofi lambang bentuk dan warna yang sesuai dengan paham yang dimengerti.

Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa keindahan pada batik adalah keindahan yang dimunculkan oleh kesan dan ditampilkan secara visual. Melalui motif yang berpaduan pada garis, bentuk dan tekstur yang dituangkan pada batik.


(27)

Batik juga dihubungkan dengan filsafat hidup. Dalam hal ini ada hungannya manusia dengan Tuhan (Allah) yang divisualkan melalui hasil karya batik.

Motif batik juga menampilkan dari mana asal dari sutu batik. Masing – masing wilayah memiliki ciri motif yang berbeda, goresan canting, dan warna yang dihasilkan oleh pembatik. Kumpulan dari beberapa ciri yang mendarah daging inilah yang kita kenal sebagai budaya daerah atau sering diistilahkan dengan “kearifan lokal”.

2.9 Pola Batik

Pola adalah suatu motif batik yang didesain dikain mori dengan ukuran tertentu sebagai contoh batik yang akan dibuat. Ada beberapa contoh pola batik yang sering dijumpai yaitu pola batik kawung, pola batik jlamprang, pola batik parang rusak:

2.9.1 Pola Batik Kawung

Pola batik yang disebut “kawung”, terdiri dari sebuah lingkaran yang bersinggungan dengan saling berpotongan. Maka terjadilah satu motif batik yang sama bentuknya dan berulang-ulang.

2.9.2 Pola Batik Jlamprang

Pola batik “jlamprang”, motif ini terdiri dari motif bujur sangkar kecil -kecil. Pola terdiri dari lingkaran yang bersinggungan dan tidak saling potong memotong. Diberi nama “jlambrang” batik ini berasal dari Pekalongan.


(28)

2.9.3 Pola Batik Parang Rusak

Pola batik “parang rusak”, terdiri dari bentuk-bentuk yang disusun menurut garis miring. Bentuk ini berfungsi untuk penyeimbang dari pilin berganda. Selanjutnya motif yang diciptakan dijadikan pola batik dan diberi nama “parang rusak”.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka motif batik juga mengalami perkembangan yang pesat. Seperti munculnya batik kreasi baru yaitu batik lukis. Dengan adanya kreasi batik baru ini membawa angin segar pada perkembangan batik Indonesia. Ada keunikan pada batik kreasi baru ini atau penciptaannya beraneka ragam motif pada sehelai kain. Motif yang digambarkan juga tidak terlalu kaku.

2.10 Proses Membatik

Membatik kain mori harus dikerjakan sesuai tahap demi tahap. Setiap orang dapat mengerjakan tahap yang berbeda-beda. Kain mori salah satu bahan baku dari kain katun. Kain mori memiliki kualitas yang bermacam-macam, dan jenis kainnya mentukan baik buruknya kain batik yang dihasilkan. Sepotong mori tidak dapat dikerjakaan oleh beberapa orang dalam waktu bersamaan. Dalam membatik terdapat tahap-tahapan agar menghasilkan batik yang berkualitas. Tahapan membatik meliputi: membatik kerangka, Ngisen-iseni, Nerusi, Nembok, mbliriki.


(29)

2.10.1 Membatik kerangka

Membatik kerangka dengan memakai pola disebut dengan “mola”, sedang tanpa pola disebut “ngerujak”. Mori yang sudah dibatik seluruhnya berupa kerangaka, disebut “batikan kosong”, atau disebut juga “klowongan”. Canting yang digunakan adalah canting cucuk sedeng yang disebut juga canting klowongan.

2.10.2 Ngisen-iseni (memberi isi atau mengisi)

Ngisen-iseni dari kata “isi”. Maka isen-iseni memberi isi atau mengisi. Ngisen-isen dengan menggunakan canting cucuk atau Canting Isen. Proses membatik harus dengan tahap satu persatu, dan setiap bagian harus selesai sebelum melangkah pada tahap selanjutnya dengan canting yang berbeda. Misal proses isen “nyeceki” (membuat motif yang terdiri dari titik-titik), tahap isen ini harus selesai terlebih dahulu. Setiap mengerjakan bagian-bagian memiliki nama masing-masing, proses pemberian nama inilah dengan mengubah nama benda (nama canting) menjadi kata kerja, sedangkan hasil karyanya diambil dari nama canting yang pergunakan.

Batik yang lengkap dengan isen-isenan disebut “reng-rengan” oleh karena itu namanya reng-rengan, maka pembatik memberi isen isen disebut “ngengreng”. Hal ini merupakan penyelesaian yang pertama.


(30)

2.10.3 Nerusi (meneruskan atau membatik yang mengikuti motif pembatikan pertama)

Nerusi merupakan penyelesaian yang kedua. Membatik nerusi adalah membatik yang mengikuti motif pembatikan pertama pada tembusnya dibalik permukaannya. Nerusi tidak berbeda dengan mola dan batikan pertama berfungsi sebagai pola. Canting yang dipakai masih sama dengan proses pertama pembatikan yaitu pada proses ngengreng. Fungsinya dilakukan nerusi untuk mempertebal batikan pertama serta untuk memperjelas. Setelah selesai batikkan pada tahap ini masih disebut “ngengreng”.

2.10.4 Nembok (Menutup bagian yang tidak diwarna)

Dalam batik tidak seluruh bagian diberi warna yang bermacam-macam pada proses penyelesainan menjadi kain. Maka pada batikan yang tidak diberi warna, ditutup dengan “malam”. Cara menutupnya sama seperti pada membatik namun nembok ini menggunakan canting tembokan. Bentuk canting tembok memiliki ujung yang lebih besar disbanding dengan ujung canting pada canting isen-isen. Bagian yang ditembok biasannya pada sela-sela motif pokok. Bahan menembok tetap menggunakan “malam”. Pada hakikatnya kegunaan malam selain untuk membentuk motif, juga untuk menutup pada tahap pewarnaan pada kain, dimana tahap pewarnaan ini sebagai pembentukan motif batik yang sesungguhnya.


(31)

2.10.5 Bliriki (Nerusi tembok-tembokan)

Bliriki adalah nerusi tembok-tembokan agar bagian yang tembok benar-benar sudah tertutup. Bliriki masih menggunakan canting tembikan dan caranya masih sama seperti nemboki. Blirik I adalah tahan terakhir dalam proses membatik, jika proses bliriki selsai maka proses membatik dianggap selesai. Hasil dari bliriki adalah “blirikan” tetapi kebih biasa disebut “tembokan”.

Pada zaman dahulu di Surakarta, setiap telah menyelesaikan tahap diatas. Batikan dijemur sampai “malam” nya hampir meleleh. Gunanya agar lilin tidak mudah rontok atau hilang. Karena “malam” panas (mendidih) waktu batik bersinggungan langsung dengan mori yang dingin akan membeku secara tiba-tiba karena proses “kejut”, pembekuan “malam” seperti ini kurang baik. Karena batikan atau “malam” sering patah-patah dan mudah rontok. Tetapi ketika batikan dijemur, pemanasan terjadi secara melata dan mori yang dingin ikut panas. Mori yang sudah dipanaskan memiliki daya serap yang tinggi dan mori akan mengembang. Proses pengembangan ini memperkuat melekatnya “malam ” pada batik. Sebelum “malam” mulai leleh, segerang angkat betikan ke tempat yang teduh. Setelah diangkat pada tempat yang teduh batikan akan serentak mendingin, proses ini berguna agar mori dan “malam” saling memperkuat daya lekatnya. Maka telah selesailah proses membatik.

2.11 Warna

Secara naluri manusia mengunakan warna dengan suatu konsep. Dalam penyampaian pesan warna sangat efektif atau memperkuat nilai pesan yang akan disampaikan melalui sebuah batik. Pada jaman dahulu pembatik belum


(32)

menggunakan warna seperti sekarang, tetapi masih menggunakan bahan alam atau tumbuh-tumbuh sebagai pewarnaan. Wedelan digunakan bahan indigo warna biru, pembuatannya menggunakan kayu atau kulit tumbuh-tumbuhan, setelah kulit kayu atau tumbuh-tumbuhan diolah akan menghasilkan sebuah warna yaitu warna coklat. Karena proses pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama, maka saat itu diganti dengan pewarna sintesis, cara pewarnaan lebih mudah dan lebih praktis dibanding dengan proses pewarnaan dengan tumbuh-tumbuhan. Warna sintesis meliputi warna naphtol, bahan cat indigosol, bahan cat warna proison, dan bahan cat warna erga soga, bahan cat warna Koppel soga, bahan cat warna croom soga dan bahan cat warna rapide.

Pada setiap warna mampu memberi kesan dari identitas tertentu. Karena menggunakan warna yang tepat merupakan bentuk sosial yang sangat penting dalam mendesain identitas visual. Masyarakat pengamat warna memiliki pandangan dan pikiran yang berbeda-beda. Ini sangat dipengaruhi pada kondisi lingkungan, pandangan hidup, status sosial, budaya dan komunikasi. Pemikiran atau persepsi terhadap warna sering pula dipengaruhi oleh kondisi emosional dan psikis seseorang (Rustan, 2009:72).

Prang, mengelompokkan warna menjadi lima golongan yaitu : warna primer, warna sekunder, Warna antara (intermediate), Warna tersier.

2.11.1 Warna primer

Warna primer terdiri dari warna merah, biru, kuning. Disebut warna primer karena warna ini adalah sebuah unsur dalam penggunaan pigmen. Warna primer ini tidak dapat diperoleh dari campuran warna lain. Berdasarkan pengertian


(33)

tersebut warna hitam, putih, emas, dan perak termasuk ke dalam deretan warna pokok.

2.11.2 Warna sekunder

Warna sekunder dapat diperoleh dari percampuran dua warna primer dalam jumlah yang sama. Warna-warna sekunder tersebut adalah : Warna Jingga (Merah + Kuning), Warna Hijau (Kuning + Biru) dan Warna Ungu (Biru + Merah).

2.11.3 Warna antara (intermediate)

Warna antara memiliki banyak maam yaitu warna Kuning Hijau, Biru Hijau, Biru Ungu, Merah Ungu,Merah Jingga dan Kuning Jingga. Dari warna-warna tersebut dapat dihasilkan warna-warna lain. Warna antara diperoleh dari campuran warna primer dan warna sekunder.

2.11.4 Warna tersier

Warna tersier dapat diperoleh dari berbagai percampuran warna-warna sekunder dalam jumlah yang sama, yaitu : Tertier Kuning (Hijau + Jingga), Tertier Biru (Ungu + Hijau) Dan Tertier Merah (Jingga + Ungu)

2.11.5 Warna kuarter

Dapat diperoleh dari campuran dua warna Tersier dalam jumlah yang sama akan menghasilkan warna Kuarter, warna Kuarter terdiri dari :

a. Kuarter Hijau : campuran antara Tertier Biru + Tertier Kuning b. Kuarter Ungu : campuran antara Tertier Biru + Tertier Merah


(34)

c. Kuarter Jingga : campuran Tertier Merah + Tertier Kuning

Warna-warna dari golongan Kuarter ini pada umumnya bersifat menetralkan, karena warna ini merupakan campuran dari berbagai macam warna. Warna panas dan warna dingin Semua warna masing–masing memiliki temperatur sehingga dapat menimbulkan sensasi visual (penglihatan) akan perasaan panas dan dingin. Warna kuning, orange, kuning orange, orange merah, merah dan merah violet termasuk warna panas. Warna kuning hijau, hijau, hijau biru,biru, biru violet dan violet termasuk warna dingin. Warna panas memberikan rasa gembira, sedangkan warna dingin memberikan rasa kalem dan tenang.

2.12 Sejarah Batik Jawa Timur

Menurut Yusak Ansor dan Adi Kusrianto (2011: 3) Pada pemerintahan kerajaan Majapahit (tahun 1293 hingga 1500 M) Indonesia kedatanga pada pedagang diantaranya Ayudhyapura, Dharmanagari, Marutma, Rajapura, Singasari, Campa, Kamboja, dan Yawana. Negara- Negara kawasan Asia Tneggara ini menjalin hubungan dagang yang baik, artinya Negara sahabat dan dianggap memiliki kedudukan yang sama.

Sekitar abad ke 7 hingga 15 menurut beberapa artefak asing dan arca-arca syailendra serta beberapa prasasti antara lain prasati Kamalagyan, prasati Semalandi II, dan prasasti Canggy (Trawulan I), mempunyai kesalahan tentang datangnya pedagang asing di pesisi utara Jawa Timur. Pelabuhan itu adalah Kambang putih (Tuban), Pajarakan (Gersik), Surabaya (Hujung Galuh) dan Canggu (Mojokerto).


(35)

Menurut Tome‟Pires (1465-1524 atau 1540) dari Porugal, dalam tulisannya Suma Oriental, Kota pelabuhan Gersik pada sekitar tahun 1512 merupakan Bandar besar yang terbaik diseluruh Jawa, sehingga dijuluki “Permata dari Jawa”. Banyak sekali barang-barang yang diperdagangkan salah satunya pedagang dari Gujarat berdagang kain katun dan sutra. Karena kain katun dan sutra merupakan barang yang melimpah di Negara tersebut. Untuk melancarkan berdagangnya mereka juga mengajarkan teknik menghiasi kain dengan cara membatik.

Pedagang Gujarat adalah pedagang bahan tekstil berupa kain katun dan Sutra, menurut literature bahan pedagang ini memang merupakan barang perniagaan yang melimpah dari Negara tersebut. Selain berdagang mereka juga mengajarkan agama Hindu-Budha ke tanah Jawa. Pedagan India juga mengajarkan teknik cara menghiasi kain dengan cara membatik.

Teknik membatik ini sudah ada di India lebih dari 2000 tahun yang lalu. Awalnya membatik diajarkan pada keluarga kerajaan pada jaman dahulu, sehingga Indonesia tertarik membeli kain katun India tersebut dalam jumlah banyak. Keterampilan batik pun berkembang dilingkungan istana raja sebagai sarana membuatan pakaian raja dan keluarganya. Sedangkan motif yang dibuat disesuikan dengan peruntukan kain batik tersebut, misalnya kain batik untuk raja berbeda dangan permaisuri dan berbeda pula dengan pejabat kerajaan yang lain.

Batik awal pertama muncul di telatah Jawa Timur juga diperkuat catatan Gp Rouffaer (pustakawan berkebangsaan Belanda) dikatakan bahwa teknik batik ini sudah dikenalkan di Jawa abad ke- 6 atau ke-7 dari pedagang India atau Sri


(36)

Langka. (Kitab Negara Kartagama menyebutnya sebagai Negara Ayudhyapura dan Dharmanagara) sementara penulis yang lain Inger McCabe Elliot (2004) mengutarakan hal yang sama pada tulisannya, hanya perkiraan abadnya yang sedikit berbeda.

Dicandi Singosari, terdapat motif ukiran kain batik yang dikenal oleh Pradjnaparamita, patung Budha kebikasanaan trasendental dari Jawa Timur sekitar abad ke- 13 M, menggambarkan Bunga Rumit sama seperti motif pada batik tadisional Jawa. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa motif batik ini sudah ada di Jawa sejak abad ke- 13 atau bahkan lebih awal.

Kata “batikatau hambatik (membatik) baru dengan jelas dipakai dalam Badad Sengkala yang ditulis pada tahun 1633 dan juga dalam Panji Jaya Lengkara yang ditulis pada tahun 1770.

2.13 Potensi Kabupaten Ngawi

Kabupaten Ngawi terletak di wilayah barat Provinsi Jawa Timur yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah. Luas wilayah Kabupaten Ngawi adalah 1.298,58 km2, di mana sekitar 40 persen atau sekitar 506,6 km2 berupa lahan sawah. Secara geografis Kabupaten Ngawi terletak pada posisi 7° 21‟ - 7° 31‟ Lintang Selatan dan 110° 10‟ - 111° 40‟ Bujur Timur. Topografi wilayah ini adalah berupa dataran tinggi dan tanah datar. Tercatat 4 kecamatan terletak pada dataran tinggi yaitu Sine, Ngrambe, Jogorogo dan Kendal yang terletak di kaki Gunung Lawu. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora (keduanya termasuk wilayah Provinsi Jawa Tengah), dan Kabupaten Bojonegoro di utara, Kabupaten Madiun di timur, Kabupaten


(37)

Magetan dan Kabupaten Madiun di selatan, serta Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) di barat. Bagian utara merupakan perbukitan, bagian dari Pegunungan Kendeng. Bagian barat daya adalah kawasan pegunungan, bagian dari sistem Gunung Lawu (3.265 meter).

2.13.1 Potensi Alam Kabupaten Ngawi

Ngawi berasal dari kata “awi”, bahasa Sanskerta yang berarti bambu dan mendapat imbuhan kata ng sehingga menjadi Ngawi. Dulu Ngawi banyak terdapat pohon bambu. Seperti halnya dengan nama-nama di daerah-daerah lain yang banyak sekali nama-nama tempat (desa) yang di kaitkan dengan nama tumbuh-tumbuhan. Seperti Ngawi menunjukkan suatu tempat yang di sekitar pinggir Bengawan Solo dan Bengawan Madiun yang banyak ditumbuhi bambu. “awi” yang selanjutnya mendapat tambahan huruf sengau “ng” menjadi “Ngawi”. (Dinas Pariwisata, Kebudayaan, pemuda dan olah raga, 2013:6).

2.13.2 Potensi Kepurbakalaan

Menurut penjelasan pada Musium Trinil, Kabupaten Ngawi dikenal oleh dunia dengan manusia purba, karena sejak tahun 1891 peneliti Eugene Dubois asal Belanda melakukan penelitian di Kabupaten Ngawi tepatnya di wilayah Musiun Trinil yang menemukan fosil dari Manusia Purba yaitu Pithecanthropus Erectus. Eugene Dubois menemuan fosil bagian kepala, tulang kaki, gigi manusia purba, serta berbagai jenis fosil binatang purba berupa gajah, banteng, kerbau, rusa, harimau, kura-kura, dan kerang di endapan sungai Bengawan Solo. Dengan ditemukan atap tengkorak dan tulang paha yang sangat terkenal namanya membelah dunia.


(38)

Informasi yang disajikan di Musium Trinil menjelaskan bahwa Phitecanthropus Erectus (manusia kera berdiri tegak) volum otaknya sekitar 900 cc yg terletak antara volume otak kera (600 cc) dan volum otak manusia moren (1200-1400 cc). Tengkorak ini sangat kecil tapi milik makhluk yang secara penuh masuk dalam genus Homo (manusia) kemudian diklasifikasikan sebagai bagian dari Homo Erectus (manusia yang telah berdiri tegak). Nama Phitecanthropus Erectus oleh Eugene Dubois masih tetap dipertahankan sejauh dalam konteks sejarah dan geografis. Phitecanthropus Erectus yang melesat cepat mendunia dan merupakan awal dari bukti-bukti evolusi manusia diatas dunia.

2.14 Sejarah Batik Ngawi

Sejarah tentang awal mula batik di Ngawi memang sudah ada sejak jaman nenek moyang.Batik di Ngawi pernah mengalami mati suri. Dengan mempelajari dari berbagai sumber, ternyata sampai saat ini (sekitar tahun 2010) ternyata belum ada motif batik yang diangkat dan menjadi ciri khas Kabupaten Ngawi yang nantinya akan diangkat sebagai ikon Kabupaten Ngawi. Setelah itu ada beberapa warga Kabupaten Ngawi yang mencoba membuat batik tulis dengan ciri khas Kabupaten Ngawi, yaitu batik tulis yang sudah ada merupakan motif dari Manusia Purba atau Trinil, Padi, Pohon Jati, Bambu, Kali Tempuk atau pertemuan dua sungai besar (Bengawan Solo dan Kali Madiun). Sudah ada beberapa motif batik yang berciri khas Ngawi tetapi masih perlu diuji lagi, karena mengingat keunggulan Ngawi ini pada kebudayaannya. Dari keunggulan Ngawi tersebut masih belum dituangkan dalam batik.


(39)

Perkembangan produk-produk unggulan di Ngawi terus menunjukkan peningkatan yang signifikan. Salah satunya yakni perkembangan batik ngawi yang selama ini terus dipromosikan diberbagai kegiatan yang berada di luar daerah Kabupaten Ngawi. Batik yang terkenal dengan motif tulang ini selain dipromosikan diberbagai kegiatan yang berada diluar kota dan provinsi melalui Dinas Koperasi dan UMKM, batik ngawi ini juga dipromosikan langsung oleh Bupati Ngawi Ir.H.Budi Sulistyono dengan cara memakai batik khas Ngawi ini diberbagai acara yang dihadiri olehnya. Disamping itu juga Bupati Ngawi tidak sungkan untuk mempromosikannya kepada koleganya saat menghadiri sebuah acara -acara kedinasannya. Bupati Ngawi sangat serius untuk mengembangkan Batik khas Ngawi ini agar bisa menjadi produk unggulan yang bisa dikenal diseluruh Nusantara.

2.15 Pengertian Media Promosi 2.15.1 Definisi Media

Pengertian Media menurut Purnamawati dan Eldarni (2001 : 4), Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar. Media menurut pengertian kamus adalah sebuah alat, sarana komunikasi, penghubung, atau yang terletak diantara dua pihak. Media memiliki beragam pengertian, karena adanya perbedaan sudut pandang, maksud, dan tujuan.


(40)

2.15.2 Definisi Media Promosi

Media Promosi merupakan suatu alat untuk mengkomunikasikan suatu produk/jasa/image/perusahaan ataupun yang lain untuk dapat lebih dikenal masyarakat lebih luas. Media promosi yang paling tua adalah media dari mulut ke mulut. Media ini memang sangat efektif, tetapi kurang efisien. Media promosi yang klasik berupa; brosur, poster, booklet, leaflet, spanduk, baliho, billboard, neon box, standing banner, kartu nama, kop surat, seragam pegawai, jam dinding, poster di mobil/truk, piring/gelas, iklan di tv, radio, spanduk terbang (ditarik pesawat), balon udara, iklan di media cetak, daftar menu, daftar harga dan sebagainya.

2.15.3 Jenis Media Promosi

Jenis-jenis media promosi di bagi menjadi dua kategori, yaitu : 1. Media ATL ( Above The Line ) Media Above The Line

Media ATL adalah media media promosi yang posisinya berada di lini atas. Hal ini disebabkan media promosi yang termasuk dalam lini atas ini memerlukan budget yang sangat besar. Namun dapat menjangkau target pasar yang sangat luas. Contoh : televisi, koran, radio, billboard, dan lain-lain.

2. Media BTL ( Below The Line ) Media Below The Line

Media BTL adalah media-media promosi yang posisinya berada di lini bawah. Hal ini disebabkan karena media promosi yang termasuk dalam lini bawah tidak memerlukan budget yang besar, langsung tepat sasaran dan jangkauan target pasarnya sempit. Contoh : Pamflet, flyer, poster, brosur, Social Media dan lain-lain.


(41)

Dari penjelasan media promosi diatas peneliti juga menggunakan media promosi sebagai upaya mempromosikan ikon batik Kabupaten Ngawi berbasis seni dan budaya lokal. Peneliti menggunakan media promosi dengan media ATL dan media BTL. Contoh mengunakan media ATL : Kain Batik, video pendek, dan menggunakan media BTL : Guidebook batik, poster, dan media sosial Instagram.

2.16 Pengertian Warisan Budaya.

Warisan budaya menurut Davidson (1991: 2) adalah hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang menjadi elemen pokok dalam jatidiri suatu kelompok atau bangsa. Dari gagasan Davidson ini, warisan budaya dapat diartikan sebagai hasil budaya fisik (tangible) dan nilai budaya (intangible) dari masa lalu.

Pengertian mengenai warisan budaya juga dapat ditemukan pada Konvensi UNESCO tahun 1972 tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Warisan Alam Dunia. Konvensi yang dilakukan pada tanggal 16 November 1972 saat General Conference UNESCO itu mendefinisikan warisan budaya yaitu sebagai berikut, “Warisan dari masa lampau, yang kita nikmati saat ini dan akan kita teruskan kepada generasi yang akan datang”.

Umumnya bagi masyarakat Indonesia, pengertahuan tentang tradisinal dan ekpresi kebudayaan adlah bagian dari integral dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. Terdapat beberapa peristiwa yang penting dalam suatu kehidupan manusia didalam suatu kelompok tertentu, seringkali ditandai dengan ekspresi seni baik mengandung yang sacral. Salah satu contohnya penggunaan hiasan janur kuning sebagai pertanda adanya pesta perkawinan, tari-tarian yang


(42)

dimainkan dalam suatu event tertentu di Kraton Yogyakarta maupun Surakarta dan penggunaan kain batik dengan motif tertentu untuk melaksanakan upacara adat, beberapa contoh tersebut merupakan contoh dari warisan buadaya atau peninggalan budaya dari nenek moyang yang diwariskan secara turun-menurun disuatu daerah tertentu.

2.17 Dewasa Dini

Dewasa dini adalah masa peralihan dari masa remaja menuju masa dewasa. Peralihan dari ketergantungan kemasa mandiri baik dari ekonomi, kebebasan dari menentukan diri, dan pandangan masa depan lebih realistis. Secara secara umur, dewasa dini dimulai dari umur 18 tahun sampai sekitar umur 40 tahun. Saat itu terjadi perubahan-perubahan fisik dan spikologis, yang disertai dengan berkurangnya kemampuan reproduktif. Hurlock menyebutnya sebagai masa penyesuaian pribadi dan sosial.

Orang dewasa dini sudah masuk masa transisi baik secara fisik, intelektual, peran sosial dan psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif. Beberapa karakteristik dewasa dini dan pada salah satu nantinya dikatakan bahwa dewasa dini dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa dewasa dini merupakan salah satu masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperoleh (Hurlock, 1993). Dewasa dini merupakan masa dari perkembangan fisik yang mengalami degradasi mengikuti umur seseorang. Pada masa dewasa dini motivasi untuk meraih sesuatu hal sangat besar yang didukung oleh kekuatan fisik yang prima. Dewasa dini merupakan


(43)

periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan yang baru dan harapan-harapan sosial baru.

Dimana mereka memiliki penghasilan menyesuaikan dengan tingkatan sosial masing-masing. Berbicara tentang minat batik dikalangan dewasa dini tergolong masi kurang. Bagi kalangan dewasa dini yang tergolong mahasiswa, batik adalah pakaian yang terkesan berat dengan desain yang begitu-begitu saja (monoton), dengan adanya presepsi tersebut, maka diperlukan desain batik yang ringan untuk digunakan kalangan dewasa dini golongan mahasiswa maupun pekerja sekalipun. Dimana sebagian besar dari mereka yang senang menggunakan pakaian yang unik, klasik, simpel, elegan dan juga ringan ketika digunakan untuk pakaian sehari-hari. Mereka cenderung memilih pakaian yang menarik dan memiliki daya tarik tinggi dengan harga yang tergolong tidak menguras kantong.

2.18 Pengertian Industri Kreatif

Pengertian Industri Kreatif Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang pada saat ini sudah tidak lagi mampu mencukupi kebutuhan hidup sesuai dengan standar kesejahteraan yang diinginkan. Dimulai dari era ekonomi pertanian, ekonomi industri hingga era ekonomi teknologi dan informasi, penggunaan sumberdaya alam semakin meningkat. Sementara, disisi lain ketersediaan sumberdaya alam semakin terbatas sebagai akibat dari tingginya intensitas eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan industri. Oleh karena itu, diperlukan suatu kreativitas lain yang secara ekonomi menghasilkan nilai tambah, tetapi tidak terlalu bergantung pada sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Kreativitas tersebut diharapkan dapat menggali berbagai potensi lokal yang ada


(44)

secara optimal, sebagai modal untuk mengentaskan kemiskinan serta mendorong peningkatan pendapatan

Maupun penyerapan tenaga kerja. Industri kreatif, menurut United Kingdom Departement Culture, Media and Sport (DCMS, 2001) adalah berbagai hal yang memerlukan kreativitas, ketrampilan, dan bakat yang dilakukan untuk penciptaan kesempatan kerja dan kesejahteraan melalui eksploitasi properti intelektual. Kegiatan yang tercakup, antara lain meliputi iklan, arsitektur, pasar seni dan barang antik, kerajinan, desain, fashion, film dan video, musik, seni pertunjukan, percetakan, software, televisi dan radio serta video dan game komputer.

Menurut UNCTAD (dalam UN, 2008), industri kreatif didefinisikan sebagai :

a. Siklus kreasi, produksi, dan distribusi barang jasa yang menggunakan modal kreativitas dan intelektual sebagai input utama.

b. Serangkaian kegiatan berbasis pengetahuan yang ditekankan pada seni yang berpotensi memberikan pendapatan dari perdagangan dan hak atas properti intelektual.

c. Terdiri atas produk intelektual atau jasa artistik, baik kasat mata dan tidak, dengan materi kreatif, bernilai ekonomi, dan memiliki sasaran pasar yang jelas.

d. Persimpangan antara kesenian, jasa, dan sektor industri.

e. Perwujudan sektor baru yang dinamis pada perdagangan dunia. Jenis dan Kriteria Industri Kreatif Pengembangan industri kreatif tidak terlepas dari


(45)

keluaran dan hasil dari manifestasi kreativitas, yang akan dipengaruhi oleh empat jenis modal yaitu modal sosial, budaya, manusia dan struktur atau institusinya.

Kreativitas atas produk barang dan jasa akan ditentukan oleh keberadaan industri kreatif, dimana seringkali ada perbedaan pemahaman atas produk budaya dan produk kreatif. Konsep produk budaya disini diartikulasikan sebagai representasi budaya yang ada dan diterima dalam masyarakat, dapat pula sebagai produk budaya yang memiliki nilai-nilai sesuai yang dianut oleh masyarakatnya. Berdasarkan atas dua konsep tersebut, produk.

Budaya adalah barang dan jasa yang dihasilkan berdasarkan budaya yang sekarang ini diterima atau dianut oleh masyarakat. Sementara, kreativitas atas barang dan jasa budaya akan didefinisikan sebagai produk yang dibuat manusia (man-made), yang dihasilkan dari suatu tingkatan kreativitas atas produk budaya yang ada. Dengan demikian, produk kreatif lebih luas dibandingkan produk budaya, karena ada upaya mengolah apa yang sudah dihasilkan dalam produk budaya secara kreatif. Dengan kata lain, ada upaya inovasi yang akan muncul.

2.19 Tipografi

Dalam buku “Tipografi Dalam Desain Grafis”, Danton Sihombing mengemukakan bahwa Tipografi merupakan representasi visual dari sebuah bentuk komunikasi verbal dan merupakan properti visual yang pokok dan efektif (Sihombing, 2001: 58). Selain itu Danton Sihombing mengemukakan dalam buku “Tipografi Dalam Desain Grafis”, bahwa pengetahuan mengenai huruf dapat


(46)

dipelajari dalam sebuah disiplin seni yang disebut tipografi (typografi) (Sihombing, 2001:3).

Berikut ini beberapa jenis huruf berdasarkan klasifikasi yang dilakukan oleh James Craig, antara lain sbb :

1. Roman

Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk lancip pada ujungnya. Huruf Roman memiliki ketebalan dan ketipisan yang kontras pada garis-garis hurufnya. Kesan yang ditimbulkan adalah klasik, anggun, lemah gemulai dan feminin.

2. Egyptian

Egyptian adalah jenis huruf yang memiliki ciri kaki/sirip/serif yang berbentuk persegi seperti papan dengan ketebalan yang sama atau hampir sama. Kesan yang ditimbulakn adalah kokoh, kuat, kekar dan stabil.

3. Sans Serif

Pengertian San Serif adalah tanpa sirip/serif, jadi huruf jenis ini tidak memiliki sirip pada ujung hurufnya dan memiliki ketebalan huruf yang sama atau hampir sama. Kesan yang ditimbulkan oleh huruf jenis ini adalah modern, kontemporer dan efisien.

4. Script

Huruf Script menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena, kuas atau pensil tajam dan biasanya miring ke kanan. Kesan yang ditimbulkannya adalah sifast pribadi dan akrab.


(47)

5. Miscellaneous

Huruf jenis ini merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Ditambah hiasan dan ornamen, atau garis-garis dekoratif. Kesan yang dimiliki adalah dekoratif dan ornamental.

Membuat tipografi, kita perlu memperhatikan 2 aspek, yaitu aspek legibility dan readibility. Legibility atau kejelasan huruf adalah tingkat

kemudahan mata mengenali suatu karakter atau rupa huruf tanpa harus susah payah. Hal ini ditentukan oleh:

a. Kerumitan desain huruf b. Penggunaan warna

c. Frekuensi pengamat dalam menemukan huruf tersebut dalam kehidupan sehari hari.

Sedangkan aspek readibility atau keterbacaan adalah tingkat kenyamanan atau kemudahan suatu susunan huruf saat dibaca. Hal ini dapat dipengaruhi oleh: a. Jenis huruf

b. Ukuran

c. Pengaturan, termasuk didalamnya alur, spasi, kerning dan sebagainya d. Kontras warna terhadap latar belakang

2.20 Layout

Menurut Tom Liney, prinsip layout yang baik adalah yang selalu memuat 5 prinsip utama dalam desain, yaitu proporsi, keseimbangan, kontras, irama dan kesatuan. Dalam penerapan perancangan ini desain layout menjadi landasan untuk dijadikan acuan dasar dalam memberikan tuntunan dalam mendesain layout.


(48)

Untuk mengatur layout, di perlukan pengetahuan akan jenis-jenis layout (Kusrianto, 2007: 277).

Jenis-jenis layout pada media cetak, baik brosur, majalah, iklan maupun pada buku meliputi Mondrian Layout, Multi Pane/ Layout, Picture Window Layout, Copy Heavy Layout, Frame Layout, Shilhoutte Layout, Type Specimen Layout, Sircu.s Layout, Jumble Layout, Grid Layout, Bleed Layout, Vertical Panel Layout, Alphabet Inspired Layout, Angular Layout, Informal Balance Layout, Brace Layout, Two Mortises Layout, Quadran Layout, Comic Script Layout, Rebus Layout.

3.20.1 Mondrian Layout

Mengacu pada konsep seorang pelukis Belanda bernama Piet Mondrian, yaitu penyajian iklan yang mengacu pada bentuk-bentuk square / landscape / por/ai/, dimana masing-masing bidangnya sejajar dengan bidang penyajian dan memuat gambar / copy yang saling berpadu sehingga membentuk suatu komposisi yang konseptual.

2.20.2 Multi Pane/ Layout

Bentuk iklan dimana dalam satu bidang penyajian dibagi menjadi beberapa tema visual dalam bentuk yang sama (square/double square semuanya).

2.20.3 Picture Window Layout

Tata letak iklan dimana produk yang diiklankan ditampilkan secara close up. Bisa dalam bentuk produknya itu sendiri atau juga bisa menggunakan model (public figure).


(49)

2.20.4 Copy Heavy Layout

Tata letaknya mengutamakan pada bentuk copy writing (naskah iklan) atau dengan kata lain komposisi layout-nya didominasi oleh penyaj ian teks (copy). 2.20.5 Frame Layout

Suatu tampilan iklan dimana border/bingkai/frame-nya membentuk suatu naratif (mempunyai cerita).

2.20.6 Shilhoutte Layout

Sajian iklan yang berupa gambar ilustrasi atau tehnik fotografi dimana hanya ditonjolkan bayangannya saja. Penyajian bisa berupa Text-Rap atau warna spot color yang berbentuk gambar ilustrasi atau pantulan sinar seadanya dengan tehnik fotografi.

2.20.7 Type Specimen Layout

Tata letak iklan yang hanya menekankan pada penampilan jenis huruf dengan point size yang besar Pada umumnya hanya berupa Head Line saja.

2.20.8 Sircu.s Layout

Penyajian iklan yang tata letaknya tidak mengacu pada ketentuan baku Komposisi gambar visualnya, bahkan kadang-kadang teks dan susunannya tidak beraturan.

2.20.9 Jumble Layout

Penyajian iklan yang merupakan kebalikan dari sircus layout, yaitu komposisi seberapa gambar dan teksnya disusun secara teratur.


(50)

2.20.10 Grid Layout

Suatu tata letak iklan yang mengacu pada konsep grid, yaitu desain iklan tersebut seolah-olah bagian per bagian (gambar atau leks) berada di dalam skala grid.

2.20.11 Bleed Layout

Sajian iklan dimana sekeliling bidang menggunakan frame (seolah-olah belum dipotong pinggirnya). Catatan: Bleed artinya belum dipotong menurut pascruis (utuh) kalau Trim sudah dipotong.

2.20.12 Vertical Panel Layout

Tata letaknya menghadirkan garis pemisah secara vertical dan membagi layout iklan tersebut.

2.20.13 Alphabet Inspired Layout

Tata letak iklan yang menekankan pada susunan huruf atau angka yang berurutan atau membentuk suatu kata dan diimprovisasikan sehingga menimbulkan kesan narasi (cerita).

2.20.14 Angular Layout

Penyajian iklan dengan susunan elemen visualnya membentuk sudut kemiringan, biasanya membentuk sudut antara 40-70 derajat.

2.20.15 Informal Balance Layout

Tata letak iklan yang tampilan elemen visualnya merupakan suatu perbandingan yang tidak seimbang.


(51)

2.20.16 Brace Layout

Unsur-unsur dalam tata letak iklan membentuk letter L (L-Shape). Posisi bentuk L nya bisa tebalik, dan dimuka bentuk L tersebut dibiarkan kosong.

2.20.17 Two Mortises Layout

Penyajian bentuk iklan yang penggarapannya menghadirkan dua inset yang masing-masing memvisualkan secara diskriptif mengenai hasil penggunaan/detail dari produk yang ditawarkan.

2.20.18 Quadran Layout

Bentuk tampilan iklan yang gambarnya dibagi menjadi empat bagian dengan volume/isi yang berbeda. Misalnya kotak pertama 45%, kedua 5%, ketiga 12%, dan keempat 38%. (mempunyai perbedaan yang menyolok apabila dibagi empat sama besar).

2.20.19 Comic Script Layout

Penyajian iklan yang dirancang secara kreatif sehingga merupakan bentuk media komik, lengkap dengan captions.

2.20.20 Rebus Layout

Susunan layout iklan yang menampilkan perpaduan gambar dan leks sehingga membentuk suatu cerita.


(52)

47 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini membahas tentang langkah-langkah atau metode yang digunakan untuk mendapatkan data serta langkah untuk menganalisa Perancangan Motif Batik Tulis Ikon Kabupaten Ngawi Sebagai Media Promosi Dalam Menunjang Industri Kreatif.

3.1Rancangan Penelitian

Dalam tahap penelitian ini merupakan perencanaan menyeluruh dari proses meneliti. Perencanaan disusun secara logis dan sistematis, merupakan poin yang paling penting dalam melakukan sebuah penelitian. Hal ini berjutuan untuk memberi hasil yang maksimal dengan harapan juga dapat memberi solusi permasalahan tentang Perancangan Motif Batik Tulis Ikon Kabupaten Ngawi Sebagai Media Promosi dan Industri Kreatif.

Proses perancangan ini dilakukan dengan beberapa tahapan :

3.1.1 Riset Lapangan

Tahap awal dari penelitian adalah riset lapangan. Bertujuan untuk mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya tentang perkembangan atau masalah yang sedang dihadapi, berfungsi untuk bahan dalam proses perancangan ikon batik.


(53)

3.1.2 Identifikasi

Tahap identifikasi adalah tahap kedua setelah tahap pertama riset lapangan mencari informasi yang berkaitan dengan batik Kabupaten Ngawi. Identifikasi sesuai data yang diperoleh sehingga permasalah yang dihadapi dapat terlihat. Setelah masalah sudah diidentifikasi maka menghasilkan sebuah gagasan atau ide untuk diajukan sebagai perancangan ikon batik.

3.1.3 Ide dan gagasan

Setelah teridentifikasi peneliti sudah dapat membuat konsep rancangan untuk menciptakan sesuatu yang unik dalam perancangan ikon batik. Tahap yang terakhir ini adalah tahap pembuatan konsep untuk menciptakan keunikan dalam perancangan ikon batik, berdasarkan estetika, nilai filosofi dan memiliki nilai fungsi (Djoemena, 1990:10).

3.1.4 Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan Kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2006:4) Penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Dari pendekatan ini diharapkan mampu memperoleh uraian yang mendalam mengenai obyek yang sedang diteliti.

Pendekatan yang dimaksud oleh peneliti adalah meliputi observasi, wawancara, dokumentasi, studi eksisting dan kepustakaan. Setelah itu langkah selanjutnya adalah pengecekan kesalahan data yang dilakukan dengan dua


(54)

kriteria. Kreteria tersebut adalah kredibilitas dan dependabilitas, yaitu dengan model trigulasi dan melibatkan berbagai pihak ahli (pakar). Model trigulasi yang digunakan oleh peneliti adalah trigulasi dari sumber, yaitu dengan cara membandingkan dan mengecek kembali derajat suatu kepercayaan dan informasi yang diperoleh dari waktu dan alat yang berbeda (Patton dalam Moleong, 2001:178).

3.1.5 Lokasi Penelitian

Lokasi yang diteliti oleh peneliti adalah daerah Kabupaten Ngawi, karena lokasi ini memiliki permasalahan yang memerlukan solusi.

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam tektik pengambilan data ini dilakukan sebelum analisis yaitu dengan cara wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi pustaka. Dalam teknik ini pengumpulan data melalui penelitian tentang komunikasi kualitatif, berupa informasi dengan kategori subtansif.

Pada intinya data dalam penelitian komunikasi kualitatif dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis :

1. Data diperoleh dari interview/wawancara 2. Data yang diperoleh dari observasi

3. Data dari dokumen, teks, atau karya seni yang kemudia dinarasikan (dikonversikan ke dalam bentuk narasi).


(55)

Dalam upaya mengumpulkan data, terdapat dua hal yang sangat menentukan kualitas dari data, yakni teknik pengumpulan data dan alat (instrument) yang digunakan (Sugiono, 2005:59).

3.2.1 Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang sangat penting. Wawancara adalah komunikasi dengan dua orang yaitu seorang yang ingin mendapatkan informasi dari seorang yang diwawancarai dengan mengajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu. Pada penelitian ini wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur atau wawancara baku, yang susunan pertanyaannya sudah disiapkan oleh peneliti guna memberikan informasi yang dibutuhkan penliti secara realitas (Dr, Deddy Mulyana 2001:180).

Dalam pembuatan ikon batik Kabupaten Ngawi berbasis seni dan budaya lokal wawancara atau mengambil informasi dengan informan dari Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga, yaitu bapak Sukadi S.Pd, Kepala Bidang Kebudayaan Kabupaten Ngawi. Wawan cara ini dilakukan pada bulan September 2015, beliau dianggap lebih mengetahui tentang sejarah Ngawi, budaya lokal, perkembangan batik yang ada di Kabupaten Ngawi. Wawancara ini dilakukan untuk memperdalam sumber pengetahuan asal-usul perkembangan batik serta motif-motif yang muncul di Kabupaten Ngawi. Menurut beliau batik Kabuaten Ngawi ini sudah mulai bangkit berkembang setelah mengalami mati suri warga mencoba membuat motif-motif berciri khas Ngawi. Beliau juga mengatakan bahwa semua batik yang ada di Ngawi adalah ikon Ngawi, berguna


(56)

untuk mengangkat produk lokal yang telah mati suri, serta sering mengadakan pelatihan agar warga termotifasi untuk membuat motif-motif batik berciri khas Ngawi, mengingat batik Ngawi pernah mengalami mati suri, daerah ini membutuhkan motif-motif batik yang berciri khas Ngawi. Namun bukan hanya sekedar menciptakan motif batik saja atau hanya mengutamakan estetika dari batik tersebut, tetapi juga harus memiliki arti atau filosofi didalam motif batik tersebut untuk dijadikan ikon Kabupaten Ngawi.

3.2.2 Observasi

Penelitian dengan metode ini yaitu pengamatan atau observasi (observation research) biasnaya dilakukan untuk melacak secara sistematis dan langsung, gejala-gejala komunikais terkait dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat (Pawito, 1007:11).

Observasi ini dilakukan pada bulan September 2015 dengan mengamati beberapa motif batik Ngawi dari sentra batik ataupun UKM batik yang sudah mereka ciptakan, dan melakukan pengamatan pada karakteristik motif batik yang sudah ada di Ngawi.


(57)

3.2.3 Dokumentasi

Dalam melakukan sebuah penelitian perlu mendokumentasikan untuk memperdalam data penelitian. Dokumentasi ini dilakukan dengan cara memfoto produk-produk budaya lokal khususnya batik Ngawi. melalui foto, arsip ataupun rekaman suara nara sumber yang mendukung penelitian.

Gambar 3.1 Kegiatan membatik di UKM Batik Ngawi Sumber : Dokumentasi Penulis

Gambar 3.2 Kegiatan Mencuci Batik di UKM Batik Ngawi Sumber : Dokumentasi Pribadi


(58)

Gambar 3.3 Kegiatan mencolet warna di UKM Batik Ngawi Sumber : Dokumentasi Pribadi

3.2.4 Studi Pustaka

Untuk mendukung kajian perancangan ikon batik Ngawi maka diperlukan studi pustaka, dengan cara mencari referensi dalam buku, arsip, artikel dan jurnal yang berkaitan dengan objek penelitian tersebut. Studi pustaka ini sangatlah penting agar dapat membantu ketika mengimplementasikan desain ikon batik Ngawi, dan supaya bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan teori dalam rancangan ikon batik Ngawi.

3.2.5 Studi Eksisting

Studi eksisting ini dilakukan untuk mengetahui motif apa yang telah dibuat seperti motif bambu, motif manusia purba, motif padi, dan lain sebagainya untuk memunculkan ciri khas dari Kabupaten Ngawi.


(59)

3.3 Teknik Analisis Data

Pada teknik analisis data ini peneliti menggunakan model spradly dengan menggunakan analisis taksonomi yaitu analisis dimana peneliti bukan hanya penjelajahan umum, melainkan menganalisis yang memusatkan perhatian pada domain tertentu, yang nantinya sangat berguna untuk menggambarkan masalah yang menjadi sasaran studi. Pengumpulan data ini dilakukan secara terus menerus melalui pengamatan wawancara dan mendokumentasi sehingga data yang terkumpul menjadi banyak.

Menurut (Moleong, 2004:84-110) analisis data dilakukan dengan beberapa tahap, yakni reduksi, penyajian data, dan kesimpulan.

3.3.1 Teknik Reduksi Data

Teknik reduksi merupakan teknik penyederhanaan jawaban-jawaban dari seluruh pertanyaan yang telah diajukan kepada pihak-pihak tertentu atau instansi yang diangggap mengetahui lebih pada potensi motif batik dalam teknik pegumpulan data, yang akan difokuskan pada hal-hal yang berkaitan dengan perancangan ikon batik Ngawi, jika ada bebrapa jawaban yang terlalu menyimpang dari fokus penelitian maka akan dibuang dan tidak digunakan.

3.3.2 Teknik Penyajian Data

Setelah selesai selanjutnya adalah tahap menyajikan data yaitu objek objek yang dianggap berpotensi untuk dijadikan ikon daerah dan yang bisa dijadikan


(60)

motif ikon batik Ngawi. Selanjutnya kesimpulan yang mencari kejelasan penelitian dengan cara mencari hal yang dianggap penting.

3.3.3 Kesimpulan

Kesimpulan Dalam penelitian ini akan diungkap mengenai makna dari data yang dikumpulkan. Setelah selesai menganalisis data, maka dapat membuat beberapa perancangan ikon batik Ngawi dengan kriteria konsep yang telah ditentukan. Dengan mempelajari dan memahami kembali data-data hasil penelitian, serta meminta pertimbangan kepala berbagai pihak terkait mengenai data-data yang diperoleh dilapangan untuk merancang motif batik ikon Kabupaten Ngawi.

Analisis SWOT dan strategi utama yang dipergunakan untuk mengetahui suatu hal yang telah ada dan telah diputuskan sebelumnya dengan tujuan meminimumkan resiko yang akan muncul. Tahap selanjutnya menentukan Keyword dan disimpulkan mendai Konsep

Tabel 3.1 Perancangan Penelitia


(1)

92

Gambar 4.31 Gambar Implementasi Scene Video Pendek 3 Sumber : Olahan Peneliti, 2016


(2)

93

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil dari perancangan motif batik tulis ikon kabupaten Ngawi sebagai media promosi dalam menunjang industry kreatif ini adalah :

1. Perancangan motif batik ini adalah untuk mempromosikan keunikan daerah Ngawi dengan mengambil potensi kepurbakalaan dan poteni alam, yang dituangkan pada media batik tulis, serta bertujan untuk menunjang industri kreatif batik di kabupaten Ngawi. Dengan memunculkan batik tulis ikon kabupaten Ngawi ini, diharapkan Ngawi dapat memiliki motif batik unggulan serta dapat memahami sejarah dan potensi Ngawi sendiri.

2. Konsep “Modern” bertujuan untuk mengemas tampilan batik menjadi batik Ngawi yang kontemporer atau batik masa kini, yang dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Konsep “Modern” ini dihadirkan untuk memunculkan ikon batik kabupaten Ngawi yang utama, menjadikan batik Ngawi batik masa kini, mempromosikan potensi kabupaten Ngawi, dan memunculkan semangat pembatik untuk melestarikan budaya batik.


(3)

94

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan, muncul beberapa saran yang diberikan adalah sebagai berikut :

1. Pemerintah kabupaten Ngawi diharapkan mampu melakukan kegiatan promosi, mempertahankan dan mengembangkan keunikan dari kabupaten Ngawi, dengan media-media promosi yang dapat menunjang kegiatan tersebut.

2. Membuat peraturan wajib berpakaian batik Ngawi, dan wajib belajar membatik pada masyarakat Ngawi sejak dini, mulai dari sekolah PG (Play Group) hingga pegawai negri, agar semakin banyak keinginan masyarakat untuk mengembangkan motif batik kabupaten Ngawi. Serta mencegah kembali punahnya batik Ngawi. Dengan seringnya memakai batik Ngawi, akan dengan mudah mempromosikan keunikan dari kabupaten Ngawi.


(4)

95

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku :

Ansor, Yusak dan Kusrianto, Adi. 2011. Keeksotisan Batik Jawa Timur. Jakarta: Elex Media Koputindo.

Djoemena, Nian S. 1990. Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning. Jakarta: Djambatan.

Hamzuri. 1985. Batik Klasik. Jakarta: Djambatan.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : PT. Rineka Cipta. Kotler, P dan G Amstrong. 2008. Prinsip-Prinsip Pemasaran Jilid I. Edisi

Keduabelas.. Termahan_.Jakarta: Erlangga.

Kotler, Philip. 2001. Manajemen Pemasaran di Indonesia : Analisis perencanaan Implementasi dan Pengendalian. Salemba Empat, Jakarta.

Majalah Bende, edisi 76. 2010. UPT Pendidikan dan Pengembangan kesenian sekolah. Surabaya: CV. Karunia.

Majalah Bende, edisi 126. 2014. UPT Pendidikan dan Pengembangan kesenian sekolah. Surabaya: CV. Sumber Alam.

Moleong, Lexy J.2006. Metode Penelitian Kualitatif (edisi revisi). Bandung : Remaja Rosdakarya

Morioka, Adams dan Stone, Terry. 2006 Color Disegn, Amerika Serikat: Rockport.

Nugroho, Eko. 2008. Pengenalan Teori Warna. Yogyakarta: Penerbit Andi. Poerwadarminta, WJS. 1984. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Pelangi

Aksara.

Rustan, Surianto. 2008&2009. Layout Dasar & Penerapannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Rustan, Surianto. 2009. Mendesain Logo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rustan, Surianto. 2009. Typografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama


(5)

96

S, Anggraini, Lia & Nathalia, Kirana. 2014. Desain Komunikasi Visual. Bandung: Nuansa Cendikia.

Sanyoto, Sadjiman. 2006. Metode Perancangan Komunikasi Visual Periklanan. Yogyakarta: Dimensi press.

Sanyoto, Edbi, Sadjiman. 2009 Nirmana Dasar-Dasar Seni dan Desain, Yogyakarta: Jalasutra.

Soeharto. 1997 “Batik”, Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia. Sulistyono, Budi. 2013 Ngawi Ramah. Ngawi: Dinas Pariwisata, Kebudayaan,

Pemuada dan Olah Raga.

Supriyono, Rakmat. 2010. Desain Komunikasi Visual Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Penerbit Andi

Susanto, Sewan. 1973. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: BPKB. Sugiono. 2005. Metode Penelitian Kulitatif, Bandung: Alfabeta.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1994. Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Utoro, Bambang. 1979. Pola-pola Batik dan Pewarnaan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yudoseputro, Wiyoso. 1983. Seni Kerajinan Indonesia. Jakarta: Debdikbud. Sumber Internet :

http://www.distrodoc.com/372605-artikel-tentang-kali-tempuk http://www.idseducation.com/articles/menyelami-prinsip-prinsip-desain/ http://www.kompasiana.com/ajialjatimi/piramida-jamus-kekhasan-perkebunan-teh-di-kaki-gunung-lawu_54f68f48a33311e6058b507e http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/elegant http://www.pindexain.com/apa-itu-swiss-style-typography/ http://www.swissted.com/?page=2

Sumber Jurnal Tugas Akhir :

Marzuki, Ahmad. 2015. Penciptaan Motif Batik Sebagai Ikon Kabupaten Lumajang. Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya.


(6)

Muslihatin, Ambar, Leni. 2010. Warisan Budaya Bendawi Korea, Kajian Strategi Kebudayaan Dalam Perlindungan Warisan Budaya Di Korea Selatan. Jakarta. Universitas Indonesia.

Risanti, N.A.(2011). Perlindungan Hukum Hak Cipta Terhadap Warisan Budaya Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional. Medan: Universitas Sumatra Utara.

Wibowo, Ali. 2011. Desain Kemasan Martabak dan Terang Bulan "Mekar Sari". Surabaya. Institut Bisnis dan Informatika Stikom Surabaya.

Zuhara, Fahmi, Zita. 2011. Perancangan Media Promosi Melalui Desain Komunikasi Visual Untuk Memperkenalkan Warung Hotspot Bojo Di Yogyakarta. Universitas Sebelas Maret.