xxiii “…setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.”
Oleh karena itu untuk mengetahui sinkronisasi kebijakan netralitas PNS dalam UU Pokok Kepegawaian, perlu dikaji berdasarkan kriteria
pembatasan hak asasi manusia yang ditetapkan dalam norma hukum dasar
UUD 1945, yaitu : pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum. Telaah tersebut perlu dilakukan dalam rangka menjunjung tinggi
HAM khususnya hak politik PNS sebagai salah satu pilar demokrasi, dengan tetap menjaga keseimbangan dengan kepentingan masyarakat lain yang juga
mempunyai hak asasi untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari birokrasi, di samping sebagai upaya pembinaan manajemen kepegawaian PNS.
2. Kerangka Teori
Menurut teori hukum yang dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD yang merupakan hasil penelitian dalam disertasi tentang hubungan
konfigurasi politik dengan karakter produk hukum, bahwa konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik
yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter selalu melahirkan
hukum-hukum yang berkarakter konservatif ortodoks.
7
7 Moh. Mahfud MD, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, hal. 80.
xxiv Apabila dikaji berdasarkan teori konfigurasi politik dan produk
hukum tersebut maka kebijakan netralitas PNS sebagai produk hukum akan menampakkan karakternya apakah termasuk berkarakter responsif atau
berkarakter konservatifortodoks. Selanjutnya karakter UU Pokok Kepegawaian khususnya yang mengatur netralitas PNS tersebut akan dapat
menggambarkan ciri-ciri konfigurasi politik yang berlaku pada saat dilahirkannya, apakah itu demokratis, ataukah otoriter, atau semi demokratis,
dan sebagainya. Selain itu terdapat suatu teori lain yang dikemukakan oleh Arief
Hidayat yang menyatakan bahwa perubahan sistem politik berpengaruh terhadap penafsiran hukum. Dengan menganalisis secara khusus penafsiran
ketentuan pasal 28 UUD 1945 mengenai kebebasan berserikat, teori ini menegaskan bahwa sistem politik yang demokratis menafsirkan pasal 28
UUD 1945 secara ekstensif-terbuka, sedangkan sistem politik yang otoritarian menafsirkannya secara restriktif-limitatif.
8
Dalam pandangan Penulis dan seperti ditulis beberapa pengamat dan peneliti, bahwa masa awal reformasi merupakan masa transisi dari sistem
politik otoriter ke demokratis, oleh karena itu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dengan kebijakan netralitasnya memiliki karakter yang unik,
bukan saja karena dilahirkan pada masa transisi, tetapi juga mengundang pertanyaan : apa bedanya pada masa lalu PNS “dipaksa” terjun ke dunia
8 Arief Hidayat, 2006, Kebebasan Berserikat Di Indonesia Suatu Analisis Pengaruh Perubahan Sistem Politik Terhadap Penafsirah Hukum, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 266.
xxv politik, tetapi sekarang PNS “dilarang” masuk wilayah politik ? padahal
melarang dan memaksa kedua-duanya mengandung konotasi otoriter. Apabila terjadinya mobilisasi politik PNS pada masa Orde Baru
menjadi alasan adanya kebijakan netralitas PNS, sedangkan sistem politik pada masa itu adalah dominasi politik oleh penguasa yang otoriter, maka
dengan adanya perubahan ke sistem politik demokrasi yang menganut sistem multi partai, jelas tidak ada parpol yang dominan dan memobilisir PNS. Oleh
karena itu perlu dipertanyakan juga relevansi dan urgensi kebijakan larangan PNS turut serta dalam parpol.
K. METODE PENELITIAN