Local economic system of wajo community (case study on weavers at Wajo Regency South Sulawesi Province)

SISTEM EKONOMI LOKAL MASYARAKAT WAJO:
(Studi Kasus pada Penenun Di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan)

MUHAMMAD SYUKUR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Sisten Ekonomi
Lokal Masyarakat Wajo (Studi Pada Penenun di Kabupaten Wajo Provinsi
Sulawesi Selatan) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor,

September 2013

Muhammad Syukur
NRP. I363090081

RINGKASAN

MUHAMMAD SYUKUR. Sisten Ekonomi Lokal Masyarakat Wajo (Studi
Kasus Pada Penenun di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan), dibawah
bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, DIDIN S
DAMANHURI.
Kegiatan tenun pada masyarakat Bugis Wajo sudah berlangsung sejak
abad ke-13. Kegiatan perdagangan dunia yang ditandai masuk sistem ekonomi
kapitalis dan ekonomi pasar kedalam sistem ekonomi masyarakat mempengaruhi
tatan kehidupan masyarakat penenun. Perubahan kehidupan penenun juga
dipengaruhi perkembangan teknologi tenun dengan masuk Alat Tenun Bukan

Mesin (ATBM) pada tahun 1950. Kondisi ini menyebabkan penenun terbelah
menjadi tiga kelompok yaitu penenun gedogan, penenun ATBM, dan pengusaha
tenun. Ketiga kelompok penenun tersebut, memiliki tindakan yang berbeda dalam
kehidupan sosial-ekonomi. Gejala inilah yang mendasari penulis untuk mengkaji
mengenai Sistem Ekonomi Lokal (SEL) yang dikembangkan oleh penenun di
masyarakat Bugis-Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengakaji dan menganalisis tentang: (1)
sistem ekonomi berbasis kearifan lokal dari penenun di Kabupaten Wajo (2) etika
moral ekonomi yang membentuk sistem ekonomi lokal di bawah pengaruh
ekonomi pasar (3) keterlekatan tindakan ekonomi penenun dalam jaringan sosial
personal dan struktur sosial.
Pendekatan teoritis yang digunakan untuk memahami realitas dilapangan
adalah teori keterlekatan (embeddeness) dan teori jaringan dari Granovetter (1985;
1973; 1992). Sedangkan peralatan metodologis untuk mengungkap dan
menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan
paradigma konstruktivis (Guba dan Lincoln, 2000). Pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan wawancara mendalam dan observasi. Analisis data
dilakukan melalui proses reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan
(Miles dan Huberman, 1994). Pemeriksaan keabsahan data dilakukan melalui
empat cara, yaitu: derajat kepercayaan (credibility); keteralihan (transferability);

kebergantungan (dependability); kepastian (confirmability).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam tradisi tenun
bugis hadir dalam fungsi dan makna kain tenun sebagai busana, hadiah, simbol
status, dan kain tenun sebagai benda upacara adat. Kearifan lokal juga ada dalam
rangkaian kegiatan tenun seperti mitos tentang Walida sebagai senjata bagi kaum
perempuan yang memiliki makna sebagai sistem perlindungan martabat
perempuan. Mitos tentang menganai (massau) yang bermakna sebagai
kedisiplinan dan kehati-hatian.
Penelitian ini mengajukan suatu rumusan teoritis tentang tindakan ”mix
rasionalitas). Tindakan mix rasionalitas merupakan suatu tindakan yang
menghadirkan secara bersama-sama tindakan rasional formal dan tindakan
rasionalitas moral dalam satu tindakan nyata. Tindakan mix rasionalitas bukan
merupakan tindakan yang bersifat paradox melainkan tindakan yang bersifat
menyatu dan kompromistik. Berbagai bukti konkrit yang diajukan untuk
mendukung argumen teoritis ini adalah:

1.

Penenun gedogan lebih mengedepankan nilai-nilai kultural dalam
memproduksi kain tenun, namun disisi lain penenun gedogan ingin mendapat

keuntungan ekonomis dari produksi kain tenun yang dihasilkan.
2. Pengumpulan kapital yang dilakukan oleh pengusaha tenun bukan sematamata diarahkan untuk berperan lebih besar dalam urusan dunia
(pengembangan usaha), tetapi kapital yang dikumpulkan juga digunakan
untuk membantu terhadap sesama dalam kegiatan sosial keagamaan.
3. Pengusaha tenun yang memiliki kekuatan ekonomi lebih kuat dibandingkan
dua tipe penenun lainnya, tidak serta mematikan dan mengekploitasi penenun
yang lebih lemah melainkan pengusaha tenun bermitra dengan penenun
ATBM dan penenun gedogan. Kemitraan ini melibatkan adanya rasa
solidaritas (moral) disatu sisi, namun disisi lain kemitraan tersebut
mendatangkan keuntungan ekonomis kepada masing-masing pihak.
4. Kehadiran patron (pengusaha dan penenun ATBM) memberikan jaminan
sosial dan pekerjaan serta upah kepada para klien (buruh) untuk bekerja
sepanjang yang diinginkan klien, namun patron (pengusaha dan penenun
ATBM) juga mendapatkan keuntungan ekonomi atas kerja (kain tenun yang
dihasilkan oleh klien (buruh tenun).
Dibandingkan dengan sistem ekonomi yang ada diberbagai Negara, maka
Sistem Ekonomi Lokal yang di miliki oleh masyarakat penenun Bugis-Wajo lebih
mirip dengan sistem ekonomi yang ada Jepang Pelaku usaha dalam SEL
masyarakat Wajo adalah swasta yang berbasis pada usaha keluarga. Gejala ini
mirip dengan Jepang dimana pelaku usaha bertumpa pada perusahaan keluarga

(Family base corporate). Pengusaha tenun (patron) memberikan jaminan sosial
dan jaminan bekerja sesuai waktu dan kesempatan kepada buruh tenun (klien).
Hubungan patron-klien ditandai dengan adanya loyalitas. Pelaku usaha bersaing
di tingkat lokal, namun bekerjasama ketika mereka keluar dari komunitasnya.
Sedangkan model ekonomi ala Jepang dimana loyalitas kepada negara diatas
segala-galanya, kerjasama – persaingan, perusahaan berkompetisi di dalam negeri
namun bekerjasama di luar negeri. Basis moral pelaku usaha tenun adalah tolong
menolong (sibali perri dan sibali reso), persaingan, siri (rasa malu) dan pesse
(empati) yang melekat dalam hubungan patronase yang khas lokal, kejujuran
(lempu), pembentukan kapital tidak diarahkan untuk berperan lebih jauh dalam
kegiatan ekonomi, tetapi juga dialokasikan untuk kegiatan sosial dan keagamaan.
Menurut penenun sukses adalah “resopa natinulu, natemmangingngi, namalomo
naletei pammese dewataE“ (hanya dengan dengan kerja keras, ketekunan yang
pantang menyerah yang akan mendapat ridho Tuhan).
Kata Kunci: Sistem Ekonomi Lokal (SEL), Penenun, Masyarakat Wajo.

SUMMARY

MUHAMMAD SYUKUR. Local Economic System of Wajo Community (Case
Study on Weavers at Wajo Regency South Sulawesi Province), Supervised by

ARYA HADI DHARMAWAN, SATYAWAN SUNITO, DIDIN S
DAMANHURI.
Weaving activity in Bugis Wajo Community has been in the area since
thirteen century. World trade activity, marked with the introduction of capitalism
economic and market economic systems into the community economic system,
has influenced weaving community’s life order. The change in the community’s
life is also influenced by development on weaving technology with the
introduction of improved handlooms (Alat Tenun Bukan Mesin/ATBM) in 1950.
This condition has divided the weavers into three groups, gedogan (primitive
looms) weaver, ATBM weaver, and weaving entrepreneur. These three groups
have different action in social and economic lives. These symptoms are the basic
for author to study the Local Economic System (sistem ekonomi lokal/SEL)
developed by weavers in Bugis-Wajo Community South Sulawesi Province.
The research aims to examine and analyze: (1) local wisdom-based
economic system of weavers in Wajo Regency (2) economic-moral ethic shaping
the local economic system under the influence of market economic (3) economic
action embeddednes of weavers in personal and social structure networks.
Theoretical approaches used to understand realities on field are
embeddedness theory and network theory from Granovetter (1985; 1973; 1992).
Qualitative approach is used as methodological tool to uncover and analyze data

using constructivist paradigm (Guba and Lincoln, 2000). Data collection is
conducted with in-depth interview and observation. Data analysis is conducted
through processes of data reduction, data presentation and conclusion (Miles and
Huberman, 1994). To find out about the validity of data, the study uses four ways,
credibility, transferability, dependability and confirmability.
Research results show that local wisdom in Bugis weaving tradition is
exist in the function and meaning of woven cloth as clothing, gift, status symbol
and as part of goods for customary ceremonies. Local wisdom is also exist in the
weaving activity itself such as a myth about Walida as a weapon for women
having meaning as a protection system for women’s status. A myth on menganai
(massau), which is an activity to stretch the yarn to make a warp threads for weaving,
having a meaning of discipline and carefulness.

The research proposes a theoretical formulation on “mix rationality”
action. Mix rationality action is an action presenting formal rational action along
with moral rational action in one real action. However, this action is not paradox
in nature, instead, it is unite and compromise action. Several concrete proofs are
proposed to support the theoretical argument, as follow:
5.


Gedogan (primitive looms) weavers tend to set out cultural values in
producing woven clothes; however, they also gain economic advantage from
woven clothes they produced.

6.

7.

8.

Capital collection conducted by weaving entrepreneurs is not merely toward
world’s matter (business development), but the capital is also used to help
others in social-religious activities.
Weaving entrepreneurs who have stronger economic power compare to two
other weaver groups do not shut down and exploit weaker weavers, instead,
they build partnership with ATBM and gedogan weavers. The partnership
involves solidarity (moral) and brings economic advantages to each party.
The presence of patron (entrepreneurs and ATMB weavers) gives social
guarantee, jobs and salary to clients (labors), in which they can work as long
as they wanted to; however, patron also receives economic advantage from

the work itself (woven clothes produced by client (weaving labors)).

Compare to economic systems in various countries, Local Economic
System existed in Bugis-Wajo weaver community is similar to economic system
in Japan. Business people in SEL of Wajo community are family-based private
corporate. This symptom is similar to Japan, in which the business people depend
on family base corporate. Weaver entrepreneurs (patron) give social and jobs
guarantee based on time and opportunity to weaving labors (client). This patronclient relationship is marked with loyalty. The entrepreneurs compete in local
level, but they work together outside their community. In Japan, on the contrary,
loyalty to the country is above everything, cooperation – competition, companies
are competing within the country but they work together outside the country. The
moral bases of business people are helping each other (sibali perri dan sibali
reso), competition, siri (embarrassment) and pesse (empathy) embedding in
unique, local patronage relationship, honesty (lempu), capital formation is not
directed to play more role in economic activity, but it is also allocated for social
and religious activities. Success, according to weavers, is “resopa natinulu,
natemmangingngi, namalomo naletei pammese dewatae“ (only with hard work,
perseverance and not easily to give up, God will give His bless).
Keywords: Local Economic System, Weavers, Wajo Community


©Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

SISTEM EKONOMI LOKAL MASYARAKAT WAJO:
(Studi Kasus pada Penenun Di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan)

MUHAMMAD SYUKUR

Disertasi
sebagai salah syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Sosiologi Pedesaan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A.
(Sekertaris Program Studi S2/S3 Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi
Manusia – Institut Pertanian Bogor)
2. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Sc.,Agr.
(Dosen pada Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:
1. Prof. Dr. Robert MZ Lawang.
(Guru Besar Sosiologi pada Program Studi Sosiologi – Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik - Universitas Indonesia)
2. Dr. Ir. Lala M. Kalopaking, MS.
(Staf Pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan – Fakultas Ekologi Manusia –
Institut Pertanian Bogor)

Judul Disertasi

: Sistem Ekonomi Lokal Masyarakat Wajo (Studi Kasus

Judul

: Pada Penenun di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi
Selatan)

Nama Mahasiswa

: Muhammad Syukur

NIM

: I363090081

Menyetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr.
Ketua

Drs. Satyawan Sunito, Ph.D
Anggota

Prof.Dr.Ir. Didin S Damanhuri,MS,DEA.
Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi
Mayor Sosiologi Pedesaan,

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr.
NIP. 19630914 199003 1 002

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.,Agr
NIP. 19610905 198609 1 001

Tanggal Ujian: 19 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan
nikmat dan karunianya sehingga penulisan disertasi yang berjudul “Sistem
Ekonomi Lokal Masyarakat Wajo (Studi Kasus Pada Penenun di Kabupaten Wajo
Provinsi Sulawesi Selatan) dapat diselesaikan. Salam dan salawat senantiasa
penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membuka tabir
keilmuan dan senantiasa membimbing manusia kejalan yang benar dan di ridhoi
oleh Allah SWT.
Selama dalam penjalanan hidup saya dan proses penelitian sampai
kepada penyusunan disertasi ini penulis banyak melibatkan berbagai pihak, baik
yang memberi bantuan moril, materil serta berbagai kemudahan fasilitas bahkan
doa yang ihklas dan tulus. Pada kesempatan yang berharga ini perkenankanlah
penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan pada beberapa
pihak.
Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada
Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.,Agr; Drs. Satyawan Sunito, Ph.D;
dan Prof. Dr. Ir. Didin S Damanhuri, MS, DEA. masing-masing selaku ketua
komisi pembimbing dan anggota komisi pembimbing yang dengan tulus dan
ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membimbing dalam
rangka memberi bobot akdemik pada disertasi ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan
kepada Bapak Dr. Ir. Rilus A Kinseng, M.A. dan bapak Dr. Ir. Nunung
Nuryartono, M.Sc.,Agr atas kesediaan beliau meluangkan waktu untuk menjadi
penguji Luar Kamisi dalam ujian tertutup.
Terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis sampaikan kepada
Bapak Prof. Dr. Robert MZ Lawang dan bapak Dr. Ir. Lala M. Kalopaking, MS
atas kesediaan beliau meluangkan waktu untuk menjadi penguji Luar Kamisi
dalam ujian terbuka.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis haturkan kepada segenap
bapak/ibu dosen di program Studi S2/S3 Sosiologi Pedesaan-Institut Pertanian
Bogor atas arahan dan bimbingan selama dalam perkuliahan sehingga
memberikan pencerahan dan pemahaman dalam berbagai hal khususnya yang
berkaitan dengan disiplin ilmu sosiologi pedesaan.
Spesial penghargaan penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta
yaitu ibunda Haji Hajirah dan ayahanda Haji pide (Alm) yang telah memberikan
didikan, kasih sayang, perhatian dan doa dalam setiap malam hening sholat
tahajjud telah memberikan dorongan luar biasa untuk anak bungsumu yang
tersayang ini. Penghargaan yang sama penulis sampaikan kepada kedua mertua
penulis masing-masing ayahanda Arifuddin dan ibunda Dra Fatmawati yang
dengan sabar dan ikhlas memberikan bantuan moril dan meteril sehingga penulis
dapat menyelesaikan disertasi ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Angkatan
2009 sosiologi Pedesaan terutama kepada Dr. Trywati Arsal, M.Si., Sakaria,
S.Sos.,M.Si, Mahmuddin, S.Ag.,M.Si. Ir. Adriana Monica Sahidu, MS. dan Dra.
Soetji Lestari, M.Si atas sikap kritis dalam diskusi dan kekompakannya selama
menjalani hari-hari yang indah selama kuliah.

Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada para
informan yang dengan setia dan sabar melayani penulis sambil memberikan datadata yang berharga bagi penulisan disertasi ini. Terima kepada bapak Kurnia
Syam, Ridwan Pamelleri, Dr. Hatta Akiel, H, Syarifuddin, SE, Haji Muhammad
Baji, Haji Raja, A. Padjarungi, Hj. Nani, Salama, Muntasiah, Rahmatang, Dra.
Hj. Firdahsyari, M.Si (Kepala Bidang Perindustrian Kabupaten Wajo), Dr.
Iskandar, M.Si (Sekertaris Dewan Kabupaten Wajo), Dr. Kahfiati Kahdar M.Sn,
dan Prof.Dr. Rabihatun Idris, M.Si.
Ucapan tulus dan hormat penulis sampaikan kepada kelima kakak penulis
masing-masing ST. Halijah; Drs. Iskandar, S.H; Prof. Dr. Anwar, M.Pd; Dra.
Husnaeni, dan Dr. Akhmad, SE., M.Si. yang selalu memahami dan memanjakan
adiknya.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang paling istimewa penulis
sampaikan kepada istri tercinta Dian Ekawati yang dengan setia mendampingi
dengan penuh pengertian, kesabaran, dan tak henti-hentinya memberi dorongan
dan doa restunya kepada penulis. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada
ketiga buah hati tercinta masing-masing Muh. Rafsanjani At-Tasyriq (8 tahun),
Rifqah Anjali (2 tahun), dan Muhammad Raiyan (1 bulan) yang banyak
kehilangan perhatian dan kasih sayang dari penulis karena kesibukan dalam
menjalani studi.
Penghargaan dan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang
telah membantu dan tak sempat penulis sebutkan satu persatu. Kepada berbagai
pihak yang telah membantu, baik yang sempat penulis sebutkan namanya maupun
yang tak sempat penulis sebutkan namanya, penulis berharap semoga Allah SWT
memberikan pahala yang dilipatgandakan. Amiin-.

DAFTAR ISI

ABSTRACT
RINGKASAN
HALAMAN PENGESAHAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
GLOSARI

iii
iv
vi
vii
xiv
xvii
xviii
xix
xx

1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Penelitian
Perumusan masalah Penelitian
Pertanyaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
Definisi Konsep

1
5
10
10
10
11

2. PENDEKATAN KONSEP TEORI
State of The Art
Konsep Tindakan Ekonomi
Sistem Ekonomi Pasar dan Non-Pasar
Teori Embeddednes (Keterleketan)
Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis
Kerangka Pemikiran

13
18
20
24
28
32

3. METOLODOLOGI PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Lokasi dan Sasaran Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Analisis data
Catatan Tentang Metode Kerja

37
39
41
42
43

4. SEJARAH PERKEMBANGAN TENUN DI KABUPATEN WAJO
Gamabaran Umum Kabupaten Wajo
Transformasi Penenun Bugis-Wajo dari Masa Kerajaan
Sampai Saat Kekinian
Transformasi Corak Kain Tenun
Transformasi Peralatan Tenun yang Digunakan

47
50
58
64

Proses Sosialisasi Tenun Bugis
Simpulan

69
71

5. TENUN BUGIS SEBAGAI KEGIATAN EKONOMI
YANG BERLANDASKAN PADA KEARIFAN LOKAL
Pendahuluan
Fungsi dan Makna Kain Tenun dalam Masyarakat Bugis
Pembentukan Etika Kerja Keras (Reso/Pajjama),
Ketekunan (Tinulu) dan Kecermatan dalam
Kegiatan Tenun
Mitos dan Larangan dalam Kegiatan Tenun
Dimensi Ekonomi dalam Tradisi Tenun
Simpulan

73
74

86
88
91
96

6. TINDAKAN EKONOMI PENENUN BUGIS-WAJO
Pendahuluan
Basis Moral Tindakan Masyarakat Bugis
Tindakan Ekonomi Penenun Bugis-Wajo
Peta Tindakan Ekonomi pada 9 Kasus Penenun di Wajo
Analisis Tindakan Ekonomi Penenun dalam Bingkai
Ekonomi Modern
Simpulan

101
102
104
138
143
156

7. JARINGAN SOSIAL EKONOMI PENENUN BUGIS-WAJO
Pendahuluan
Bentuk-Bentuk Jaringan Sosial-Ekonomi di
Masyarakat Penenun
Basis Jaringan Sosial-Ekonomi
Orientasi Jaringan Sosial-Ekonomi
Luas dan Sempitnya Jaringan Sosial Ekonomi
Manfaat Ekonomi dari Jaringan Sosial-Ekonomi yang Dibentuk
Simpulan

159
160
196
208
210
212
214

8. TEORITISASI PEMBENTUKAN SISTEM EKONOMI LOKAL (SEL)
MASYARAKAT PENENUN
Tipologi Sistem Ekonomi Lokal (SEL) Masyarakat Wajo
Tindakan Mix Rasioalitas
9. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Rekomendasi

219
230

237
239

DAFTAR PUSTAKA

239

DAFTAR LAMPIRAN

248

DAFTAR TABEL

1

2

Review Beberapa Temuan Penelitian Terdahulu Terkait
Keterleketan Tindakan Ekonomi dan Penenun

17

Rincian Jumlah Responden/Informan

41

3 Data Pertenuan Gedogan Sutera di Kabupatan Wajo
Tahun 2012 (Perkecamatan)
4

5

66

Data Pertenuan ATBM Sutera di Kabupatan Wajo
Tahun 2012 (Perkecamatan)

67

Data Pertenuan ATBM Non-Sutera di Kabupatan Wajo
Tahun 2012 (Perkecamatan)

68

6 Warna Bajo Bodo dan Pemakainya

81

7 Data Pertenunan Kabupaten Wajo 2012

94

8

9

Perbandingan Tindakan Rasionalitas Formal dan
Tindakan Moral pada Ketiga Tipe Penenun

132

Peta Tindakan Ekonomi pada 9 Kasus Penenun di Wajo

140

10 Daftar Nama-Nama Pengusaha Tenun dan Jenis Usaha

147

11 Perkembangan Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga
di Kabupaten Wajo tahun 2012

150

12 Kesamaan dan Perbedaan Jaringan Penenun Dalam Kegiatan
Produksi

175

13 Perbedaan dan Persamaan Jaringan Penenun dalam
Kegiatan Distribusi

190

14 Rekapitulasi Jaringan Sosial-Ekonomi pada 9 Kasus
Penenun Bugis-Wajo

215

15 Perbandingan Antara Sistem Ekonomi Lokal (SEL)
Penenun Bugis – Wajo Dengan Sistem Ekonomi di
Berbagai Negara di Dunia

225

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran

36

2 Bagan Proses Produksi Kain Tenun

63

3 Alokasi Penggunaan Sumber Pendapatan Penenun Gedogan

151

4 Alokasi Penggunaan Sumber Pendapatan Penenun ATBM

153

5 Alokasi Penggunaan Sumber Pendapatan Pengusaha Tenun

155

6 Jalur Distribusi Penenun Gedogan

179

7 Jalur Distribusi Penenun ATBM

182

8 Jalur Distribusi Pengusaha Tenun

188

9 Orientasi Pembentukan Jaringan Bisnis Penenun Bugis

209

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4

Peta Lokasi Penelitian Kabupaten Wajo
Daftar Nama-Nama Raja Yang Pernah Berkuasa di Wajo
Foto-Foto Penelitian
Profil Responden

248
249
251
255

GLOSSARY
Ade': salah unsur pangadereng yang mengatur pelaksanaan sistem norma dan
aturan-aturan adat dalam hal kehidupan manusia Bugis
Ade’ akkalabineng: norma yang mengatur hal ikhwal dalam kehidupan berumah
tangga.
Ade’ tana atau ade’ wanua: norma yang mengatur hal ikhwal dalam kehidupan
bernegara
Aja' mugaukenngi padammu tau ri gau' tessitinajae: jangan engkau melakukan
sesuatu yang tidak patut terhadap sesamamu manusia.
Apparisi: Pencucukan, yaitu memasukan benang helai demi helai kedalam lubang
gun.
Bicara: norma yang mengatur semua aktivitas dan konsep-konsep yang berlaku
sebagai aturan peradilan yang menentukan sesuatu hal yang adil atau benar,
dan sebaliknya curang atau salah. Bicara, mempersoalkan hak dan
kewajiban setiap orang di mata hukum
Cecceng ponna cannga tenngana sapu ripale cappa'na: Serakah awalnya,
menang sendiri pertengahannya, kehilangan sama sekali akhirnya.
Ewangeng tennun (bahasa Bugis) ewangang tannung (Bahasa Makassar): Alat
tenun gedogan.
Ganra: menguntai benang pakan dialas pelangkan/medanan.
Getteng: teguh pendirian
Lempu na ada tongeng: kejujuran atau perkataan yang benar
Mattulu parajo: persatuan atau solidaritas yang kuat diantara sesama manusia
Mali siparappe: jika seseorang hanyut, hendaklah ia ditolong ke pinggir. Makna
dari konsep ini yaitu jika seseorang tertimpah musibah hendaklah ia di
tolong agar orang tersebut bisa terbebas dari musibah atau meringankan
beban orang dari musibah yang menimpanya
Massijing warang-parang temma sijing balu-balu: bersaudara dalam hal
kepemilikan harta tetapi tidak dalam hal barang jualan.
Olo oloka otere’na nitaggala’, tau kananna nitaggala”: bagi binatang talinya
yang dipegang, bagi manusia kata-katanya yang dipegang.
Pali: Membuat gulungan benang dengan menggunakan bobin untuk persiapan
penghanian.
Pengadereng: merupakan wujud kebudayaan yang berupa sistem norma dan
aturan-aturan adat, serta juga mengandung unsur-unsur yang meliputi

seluruh kegiatan bertingkah laku dan mengatur kehidupan meterial dan nonmaterial. Sistem pangadereng ini berupa aturan-aturan yang diaggap sakral
dan harus diperhatikan dalam segala aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pesse: secara harfiah berarti pedis. Sedangkan makna pesse (Bugis) Pacce
(Makassar) dalam nilai utama kebudayaan Bugis berarti ungkapan perasaan
yang paling dalam untuk membantu atau menolong terhadap sesama
manusia. Orang Bugis senantiasa selalu bertenggang rasa terhadap sesama
keluarga dan kerabat serta dengan masyarakat lainnya. Jika salah satu
keluarga dianiaya oleh orang lain, maka pihak keluarga ataupun kerabat dari
yang teraniaya tersebut memiliki rasa pesse untuk membalas kepada pihak
penganiaya sebagai bentuk tenggang rasa dan untuk memulihkan siri’ dari
keluarga.
Rapang: norma yang menempatkan kejadian atau ihwal masa lalu sebagai teladan
yang patut diperhatikan atau diikuti bagi keperluan masa kini dan masa yang
datang.
Rebba sipatokkong: jika seseorang rebah/roboh/miring, maka hendaklah ia di
tegakkan kembali. Makna dari Konsep rebba sipatokkong kurang lebih
sama dengan makna dari konsep mali siparappe.
Reso: Kerja
Resopa natemmangingngi: ketekunan dan kerja keras
Resopa natinulu, natemmangingngi, namalomo naletei pammese DewataE: hanya
dengan kerja keras, ketekunan yang tidak kenal lelah yang akan di Rahmati
oleh Allah SWT
Mabbebbe: Pengikatan benang penampakan diatas pelangkan/medanan untuk
melindungi motif dari zat warna dasar.
Mangoa: Rakus
Mallilu sipakainge: saling mengingatkan ketika seseorang melakukan perbuatan
yang menyimpang norma dan nilai dalam masyarakat.
Mappasikoa: kepatutan
Mappasitinaja: kepantasan
Sara: Norma yang mengandung pranata-pranata dan hukum menurut syariat
Islam. Aspek ini dimasukkan menjadi bagian pangadereng setelah Islam
diterima sebagai agama resmi dan umum dalam masyarakat Bugis
Sau/massau: Penghanian/menghani yaitu menggulung bentangan benang dalam
gulungan boom pertenuan baru kemudian ditenun
Sibali reso/sibali perri: saling tolong menolong dalam suka dan duka

Sipakatau: Saling menghargai terhadap sesama manusia. Hak-hak dan kewajiban
setiap manusia harus dihargai dan di hormati.
Sipakatuo: Saling memberi pengihidupan yang layak kepada setiap manusia.
Sipakalebbi: Saling menghargai atau menghormati terhadap sesama manusia
siri’: Secara harfiah diartikan sebagai malu. Sebagai kata sifat, siri; mengandung
makna penyesalan diri terhadap perasaan harga diri, aib atau noda. Bagi
orang Bugis, tidak ada yang lebih berharga dalam hidupnya selain
menegakkan siri’.
To Wajo:orang Wajo
Warani: berani atau pemberani
Wari’: norma berupa petunjuk untuk melakukan klasifikasi dari segala benda,
peristiwa dan aktivitas manusia dalam kehidupan masyarakat menurut
kategorinya atau dengan norma yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan kewajaran atau kepantasan
Were’: Nasib baik.

1.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian
Setiap sistem ekonomi yang dianut oleh suatu masyarakat, maka ia
senantiasa melibatkan tindakan yang berlandaskan pada nilai-nilai yang dianut
oleh masyarakat yang menjadi penganut sistem ekonomi tersebut. Berkaitan
dengan tindakan masyarakat dalam kegiatan ekonomi, maka terdapat perbedaan
pandangan para ahli dalam memahami tindakan masyarakat tersebut. Menurut
prinsip ekonomi neoklasik, asumsi dasar yang memotivasi manusia dalam
melakukan tindakan ekonomi adalah pencapaian manfaat (utility) yang maksimal.
Persoalan untung rugi merupakan hal utama yang menjadi pertimbangan (cost –
benefit ratio). Jika keuntungan ada di depan mata, maka seseorang akan
meraihnya meski harus melanggar nilai dan norma atau agama sekalipun.
Sebaliknya, jika kerugian akan di dapat, maka ia tidak melakukan tindakan
tersebut. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas instrumental. Dalam mengejar
tujuan tersebut, berbagai tindakan manusia dibangun dengan menggunakan
sumber daya, organisasi, sarana, dan teknik yang tersedia. Maksimalisasi ekonomi
(keuntungan) merupakan penciri cara berpikir neoklasik dalam melihat homo
economicus. Kubu ini biasa pula disebut undersocialized. Sedangkan kubu
lainnya yaitu oversocialized sebaliknya menyatakan bahwa tindakan ekonomi
dituntun oleh aturan berupa nilai dan norma-norma yang diinternalisasikan
melalui proses sosialisasi. Tindakan ini disebut tindakan rasionalitas substantif
Granovetter (1985; 1992) mengambil jalan tengah diantara dua kubu
yang saling bertentangan tersebut dengan menyatakan bahwa tindakan ekonomi
secara sosial berada dan tidak dapat dijelaskan dengan mengacu pada motif-motif
individu dan nilai-nilai yang dianutnya. Sebagai bentuk tindakan sosial, tindakan
ekonomi melekat di jaringan hubungan pribadi dan institusi sosial ketimbang yang
dilakukan oleh aktor. Dengan kata lain, tindakan ekonomi disituasikan secara
sosial dan melekat (embedded) dalam hubungan sosial dan struktural yang sedang
berlangsung di kalangan para aktor (Granovetter, 1985; 1992; Biggart, 2002).
Aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan komunitas
adalah juga dirangsang oleh hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan sebagai
suatu realitas yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, maka
keberadaan institusi ekonomi, bukan hanya sekedar berfungsi mempertemukan
penjual dengan pembeli yang secara rasional melakukan transaksi jual-beli atau
pun pertukaran barang dan jasa, namun juga menjadi tempat berlangsungnya
“transformasi nilai-nilai sosial” yang berimplikasi pada aspek kehidupan yang
lain, seperti: ekonomi, politik, budaya, dan agama (Hefner, 1999).
Granovetter juga tidak setuju dengan konsep dikhotomi keterlekatan dan
ketidakterlekatan (embbedded – disembedded) dari Polanyi. Menurut Polanyi
(dalam Smelsel dan Swedberg, 1994; Polanyi, 2003; Trigilia, 2002; Biggart,
2002) bahwa tindakan ekonomi dalam masyarakat pra-industri melekat dalam
institusi sosial, politik, dan agama. Kehidupan ekonomi diatur oleh resiprositas
dan redistribusi. Sedangkan dalam masyarakat modern kegiatan ekonomi tidak
melekat dalam masyarakat, tetapi diatur oleh mekanisme pasar dan terpisah
dengan struktur sosial lainnya (self regulation market). Ketidaksetujuan

Granovetter (1985;1992) terhadap pandangan Polanyi tersebut terletak pada
derajat keterlekatan sehingga ia mengemukakan bahwa tindakan ekonomi
berlangsung di antara keterlekatan kuat (overembedded) dan keterlekatan lemah
(underembedded) .
Menurut pendekatan ekonomi neo-klasik (Swedberg, 1994: 256-282),
diyakini, tindakan ekonomi hanya dipengaruhi oleh pertimbangan rasional. Faktor
atau pertimbangan non-rasional seperti politik, sosial, budaya atau norma-norma
yang ada dalam masyarakat diabaikan atau dianggap sebagai sesuatu yang tidak
rasional. Tindakan aktor dalam kegiatan ekonomi merupakan upaya untuk
meningkatkan derajat kesejahteraannya. Setiap tindakan aktor dalam kegiatan
ekonomi senantiasa terbentuk karena adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dan
non-ekonomi yang bekerja secara terus-menerus. Jadi, dengan demikian tindakan
aktor tidak dapat hanya dijelaskan semata-mata oleh adanya dorongan/motivasi
individual semata, akan tetapi tindakan ekonomi senantiasa dipengaruhi oleh
faktor non-ekonomi seperti politik, budaya, agama, pendidikan dan sebagainya.
Kehadiran sistem ekonomi kapitalis ke dalam sistem sosial ekonomi
masyarakat Indonesia terjadi di hampir semua sendi kehidupan, termasuk dalam
kegiatan industri tenun. Palmer dan Castles (dalam Sitorus, 1999) mengemukakan
bahwa, sejak tahun 1929 sampai awal 1930-an, depresi besar perekonomian dunia
telah memukul sektor pertanian/perkebunan di Hindia Belanda sehingga tenaga
kerja di sektor itu terpaksa harus diciutkan dan sebagai akibatnya tingkat
pengangguran melonjak drastis. Dampak langsung kesulitan ekonomi tersebut
adalah kemerosotan tingkat pendapatan sehingga penduduk mengalami kesulitan
memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebagai jalan keluar, maka pemerintah kolonial
kemudian mendorong perkembangan industri tenun lokal skala kecil. Dorongan
tersebut diwujudkan dalam bentuk peraturan yang menciptakan iklim kondusif
bagi perkembangan industri tenun sekaligus disertai dengan penyebarluasan
teknologi Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Menurut Sitorus (1999) tahun 1930
merupakan tonggak awal terjadinya ledakan industri tenun dan sekaligus revolusi
teknologi tenun dari gedogan ke Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).
Kegiatan pertenunan rakyat di Sulawesi Selatan sebagai salah satu bagian
dari kegiatan ekonomi yang ada pada masyarakat pedesaan juga terpengaruh oleh
adanya sistem ekonomi global yang beroperasi disekitar usaha penenun. Kegiatan
pertenunan lokal mengalami kemunduran drastis yang disebabkan produk tenun
lokal tersaingi oleh tekstil impor. Kahdar (2009) mengemukakan bahwa pada
masa penjajahan Belanda di Indonesia, terdapat lebih dari 200 jenis kain diatur
oleh Belanda dalam perdagangan kain di Indonesia. Sedangkan Sitorus (1999)
mengumukakan bahwa pada abad ke-19 kegiatan pertenunan lokal menjadi
korban persaingan tekstil impor yang antara lain berasal dari Inggris dan Belanda.
Memasuki akhir abad ke-19, impor tekstil murah dari Twente (Belanda),
kemudian menguasai pasaran tekstil di Jawa sehingga kegiatan pertenunan lokal
semakin terdesak. Pada tahun 1920-an, tekstil murah dari Jepang mendominasi
pasaran tekstil dalam negeri dan memukul pasaran tenun lokal dan tesktil impor
dari Belanda. Kondisi tersebut memaksa pemerintahan kolonial untuk
menerapkan sistem quota dan pembatasan impor.
Perjalanan sejarah panjang telah dialami oleh kegiatan pertenunan di
Indonesia termasuk kegiatan tenun di daerah Sulawesi Selatan yang ditandai
dengan aktivitas para penenun dan pengusaha dalam mengelola usahanya secara

kontinuitas. Kegiatan tenun rakyat di Sulawesi Selatan berakar dari kegiatan
tenunan gedogan yang sudah dipraktekkan oleh masyarakat setempat sejak abad
ke-13 atau hampir bersamaan adanya kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar
(Chabot, 1996; Pelras, 2006). Aktivitas pertenunan mulai berkembang pada abad
ke-15 pada saat Islam berjaya di Sulawesi Selatan. Kegiatan penenun senantiasa
mengalami adaptasi terhadap kondisi waktu tertentu sehingga terjadi dinamika
perubahan corak hasil tenun untuk menyesuaikan perkembangan zaman yang ada
(Kahdar, 2009). Kegiatan pertenunan di Sulawesi Selatan awalnya dilakukan
hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri sebagai busana keseharian dan busana
adat namun dalam perkembangan selanjutnya yaitu sekitar abad ke-14 dan abad
ke-15 para penenun yang memproduksi kain sarung sudah mulai di komersialkan.
Perdagangan kain tenun Bugis sempat mengalami kemunduran ketika di tandatanganinya penjanjian Bongaya pada tahun 1667 antara pemerintah Kolonial
Belanda dengan Kerajaan Gowa – Makassar (Andaya, 2004: 385). Dalam
perjanjian Bongaya diatur bahwa hanya kompeni Belanda yang bebas melakukan
kegiatan perdagangan di Makassar. Suku bangsa lainnya seperti Portugis, Cina,
India, Arab dan suku-suku lainnya yang sudah menjalin kegiatan perdagangan
dengan orang Bugis-Makassar pada abad ke-13 dan abad ke-14 tidak diizinkan
lagi berdagang di Makassar. Kegiatan pedagang-pedagang Bugis-Makassar juga
dibatasi berdagang pada di wilayah-wialayah tertentu seperti Bali, Jawa,
Kalimantan, Jambi, Palembang, dan Johor.
Kondisi sekarang menunjukkan bahwa hasil tenun Bugis disamping
digunakan sebagai busana adat dan keseharian juga digunakan sebagai busana
ibadah, perlengkapan kantor dan hotel, asesoris maupun sebagai busana
keseharian. Oleh sebab itu, tradisi menenun tak lepas hingga kini dari kehidupan
masyarakat di Sulawesi Selatan. Kegiatan itu umumnya ditekuni kaum perempuan
hingga saat ini sebagai sumber mata pencaharian hidup. Menurut Idris (2009: 46)
beberapa hal yang menyebabkan tenun dapat berkembang di daerah Bugis seperti:
1) Laki-laki Bugis gemar merantau ke berbagai daerah dan di perantauan mereka
belajar teknik pewarnaan dan kombinasi warna, sehingga ketika mereka pulang,
maka ia mengajarkan kepada istrinya keterampilan tersebut; 2) Sejak tenunan
Bugis bertambah fungsi dari sekedar busana keseharian dan adat, menjadi barang
yang dapat diperdagangan dengan nilai jual tinggi, maka waktu luang istri
dipergunakan untuk menenun dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga; 3)
Dampak dari tenunan menjadi barang yang dapat mendatangkan keuntungan
secara ekonomis, maka memberi motivasi kepada penenun untuk terus menggeluti
dan mengembangkan usaha tenunnya.
Industri tenun semakin berkembang pasca kemerdekaan Republik
Indonesia dengan digunakannya Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), namun
perkembangan ini tidak serta merta menghilangkan alat tenun gedogan dari
kegiatan pertenunan di Sulawesi Selatan. Penggunaan Alat Tenun Bukan Mesin
(ATBM) di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Wajo sebagai sentra
pengembangan tenun di Sulawesi Selatan baru dikenal sejak tahun 1950-an dan
awalnya hanya memproduksi sarung samarinda (Nuryamin, 2009). Sejak tahun
1980-an berbagai pengusaha tenun muncul di Kabupaten Wajo yang
mempekerjakan buruh tenun (20 – 80 orang) yang bukan berasal dari anggota
keluarga dan digaji dalam jumlah uang tertentu (Armayani, 2008). Kegiatan
produksi sudah mulai dikantrol dan jam kerja sudah mulai diatur oleh pemilik

usaha tenun/pemilik modal. Produksi tenunpun semakin bervariasi, selain sarung
dengan motif khas Bugis, juga diproduksi berbagai jenis kain seperti; kain sutera
motif tekstur polos, selendang, bahan pakaian, perlengkapan adat, asesoris rumah
tangga, hotel, kantor dan sebagainya atau dengan kata lain produksi penenun
disesuaikan dengan permintaan pasar atau konsumen.
Kemunculan beberapa pengusaha tenun di Kabupaten Wajo tidak serta
merta mematikan penenun gedogan dan penenun ATBM skala rumah tangga .
Jumlah penenun yang menggunaan alat tenun gedogan (tradisional) di Kabupaten
Wajo masih lebih banyak dibandingkan penenun ATBM. Penenun gedogan dan
penenun ATBM skala usaha rumah tangga tersebut menggunakan tenaga kerja
dari anggota keluarga sendiri dan bersifat otonom masih tetap bertahan sampai
saat ini. Penenun gedogan dan penenun ATBM skala rumah tangga ini biasanya
berproduksi atas dasar pesanan dari pembeli atau pedagang, tidak memiliki jam
kerja yang teratur dan uang yang mereka terima dari hasil penjualan kain tenun
biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Jenis produksi kain
tenun yang dihasilkan oleh para penenun gedogan yaitu sarung Bugis yang sangat
kental sebagai produk kultural, sedangkan produksi kain yang dihasilkan oleh
penenun ATBM skala rumah tangga dan pengusaha tenun sudah lebih bervariasi.
Data statistik Kabupaten Wajo menunjukkan bahwa terdapat sekitar
4.982 orang penunun gedogan dengan jumlah produksi sekitar 99.640 sarung per
tahun dan penenun yang menggunakan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)
berjumlah 227 orang dengan produksi sekitar 1.589.000 meter kain pertahun.
Khusus untuk pemintal benang sebanyak 91 orang, sedangkan 301 kepala
keluarga bergerak dibidang penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutra
dengan produksi 4.250 kilogram benang pertahun (Kabupaten Wajo dalam
Angka, 2009).
Penetrasi sistem ekonomi global kedalam kegiatan pertenunan di
Sulawesi Selatan merubah tatanam kehidupan sosial ekonomi dalam komunitas
penenun. Gejala ini ditandai dengan adanya tenaga kerja upahan, penggunaan
teknologi tekhnologi tenun yang sudah lebih maju, adanya manajemen produksi,
pemanfaatan modal/uang dari lembaga keuangan formal, kehadiran beberapa
pengusaha tenun, pedagang pengumpul, serta munculnya kelompok pedagang
perantara/pappalele. Fenomena ini sangat nampak ketika Alat Tenun Bukan
Mesin (ATBM) mulai digunakan pada tahun 1950-an.
Sistem ekonomi tenun secara perlahan sebagian berubah dari bentuk
produksi dan distribusi yang bersifat tradisional dan otonom menjadi produksi dan
distribusi yang terlibat dalam jaringan dan struktur sosial yang tergantung pada
sistem ekonomi pasar. Sementara itu, perubahan kultur sebagian penenun ditandai
dengan pergeseran orientasi produksi. Produksi yang sebelumnya untuk keperluan
keluarga dan adat berubah untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam rangka untuk
mengejar keuntungan dan mengakumulasi modal. Terdapat pengusaha tenun di
Kabupaten Wajo yang sudah mendirikan butik di Kota Makassar, bahkan hasil
produksi tenun sudah merambah ke butik-butik di kota-kota besar lainnya yang
tidak pernah dijumpai sebelumnya. Nilai-nilai yang bertujuan untuk mengejar
keuntungan dan mengakumulasi modal merasuk ke sebagian orang pengusaha
tenun ATBM. Namun disisi lain, terdapat penenun yang berproduksi dengan caracara tradisional (penenun gedogan skala rumah tangga) dan semi-tradisional
(penenun ATBM skala rumah tangga) serta bersifat otonom. Penenun yang masih

menggunakan cara-cara produksi yang bersifat tradisional dan semi-tradisional
menggunakan tenaga kerja keluarga dan berproduksi atas dasar pesanan dari
konsumen dan pedagang.
Kehadiran tiga kelompok penenun tersebut yang hidup berdampingan
dalam satu kawasan menjadi menarik untuk dikaji karena masing-masing dari
kelompok penenun memiliki tindakan yang berbeda dalam kegiatan tenun.
Persoalan ini dapat ditelusuri melalui analisis keterlekatan tindakan ekonomi
penenun yang terkait dengan basis kecerdasan dan kearifan lokal yang
dimilikinya, serta etika ekonomi moral yang membentuk sistem ekonomi
penenun. Selanjutnya sistem ekonomi penenun akan ditelusuri melalui tindakan
ekonomi penenun yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam
jaringan sosial personal dan struktural yang sedang berlangsung di antara para
aktor yang terlibat dalam kegiatan tenun.

Perumusan Masalah Penelitian
Berbagai kajian mengenai bagaimana tindakan ekonomi melekat dalam
hubungan sosial dan struktural sosial yang sedang berlangsung di kalangan para
aktor dapat ditelusuri melalui berbagai kajian yang pernah dilakukan oleh para
ahli seperti Boeke (1982), tentang sistem ekonomi penduduk pribumi dan Barat
(Belanda), Portes dan Sensenbrenner, (1993) mengenai tindakan ekonomi dalam
kasus; pinjam-meminjam yang berlangsung dalam solidaritas jaringan (internal
solidarity) para migran Dominika yang ada New York dan migran Kuba di
Miami; Scott, (1972; 1981); tentang moral ekonomi petani dikawasan Asia
Tenggara; dan konsep Geertz, (1989) tentang etika seka dikalangan masyarakat
Tabanan di Bali.
Boeke (1982) mengemukakan teori dual ekonomi untuk menggambarkan
perkembangan ekonomi tradisional/pribumi (pra-kapitalistik) dan sistem ekonomi
yang berasal dari barat/kolonial Belanda (kapitalistik). Menurut Boeke, penduduk
pribumi berada dalam kondisi statis dan sulit berkembang karena sifat dasar orang
pribumi yang tidak ingin mengumpulkan keuntungan dan memupuk modal.
Penduduk pribumi memiliki tindakan ekonomi yang melekat pada agama, etika,
dan tradisi lainnya. Sedangkan ekonomi kapitalis yang diartikulasikan pada
perkebunan Belanda di sisi lain memiliki sifat yang bertolak belakang dengan
sistem ekonomi penduduk pribumi. Orientasi produksi untuk mendapatkan
keuntungan dan akumulasi modal. Karena sifat berbeda ini maka keduanya
berkembang menurut caranya masing-masing. Kehadiran ekonomi kapitalis di
pedesaan tidak mendorong terjadinya akumulasi modal pada penduduk pribumi.
Kedua sistem ekonomi tersebut terjebak pada dualisme hingga tidak pernah bisa
bersatu dan bersifat abadi untuk waktu yang lama.
Berbeda dengan Boeke, Portes dan Sensenbrenner (1993),
mengungkapkan nasib ekonomi imigran sangat tergantung pada struktur sosial di
mana mereka berada, khususnya pada karakter masyarakat mereka
sendiri. Kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan dan pinjaman dari lembaga
keuangan formal disiasati oleh imigran Dominika dan Kuba di USA dengan
masing-masing mendirikan lembaga keuangan informal (Portes dan

Sensenbrenner, 1993; Portes, 2010). Kegiatan pinjam-meminjam yang dalam
lembaga keuangan informal yang didirikan oleh imigran Dominika dan Kuba di
USA berlangsung atas dasar reputasi atau kepercayaan (trust) si penerima
pinjaman, tanpa adanya jaminan surat-surat sebagaimana lazimnya pada lembaga
keuangan formal yang ada di Amerika.
Berbeda halnya dengan strategi yang dijalan imigran Dominika dan
Kuba, perilaku ekonomis petani di Asia Tenggara bersumber pada kenyataan
bahwa perjuangan untuk memperoleh hasil yang minimun bagi subsistensinya,
berlangsung dalam konteks kekurangan tanah, modal dan lapangan kerja diluar
sektor pertanian (Scott, 1981). Merupakan hal yang wajar, bahwa petani yang
setiap musim bergulat dengan lapar dan segala konsekuensinya, mempunyai
pandangan yang agak berbeda tentang masalah mengambil resiko dibanding
penanam modal yang bermain di tingkat atas. Menurut Scott, posisi kebanyakan
petani di Asia Tenggara yang berjalan ditepi zona krisis subsistensi membuat
kebanyakan petani kecil dan buruh tani menganut etika dahulukan selamat (safety
first). Petani juga selalu mendapati dirinya tergantung pada belas kasihan alam
yang banyak ulahnya. Kondisi petani yang rawan resiko-resiko yang tak dapat
dielakkan karena teknik-tekniknya yang terbatas dan ulah cuaca yang tidak
menentu sehingga petani cenderung menerapkan strategi meminimalkan resiko
(Averse to Risk). Scott, menjelaskan bahwa preferensi petani terhadap ekonomi,
sosial, dan politik yang cenderung menyukai pendapatan yang relatif rendah tapi
pasti, ketimbang hasil yang lebih tinggi tetapi resikonya juga tinggi. Scott (1972)
mengemukakan bahwa prinsip resiprositas mengatur tingkah laku-laku sehari-hari
warga desa, dimana etika subsistensi memperoleh pengungkapannya.
Sementara itu, Geertz (1989) menunjukkan adanya dampak negatif dari
keterlekatan individu dalam kehidupan kolektifnya, sebagaimana ditunjukkan
dalam kasus seka di Bali. Kehidupan sosial di Bali didasarkan pada kelompokkelompok yang disebut seka. Nilai kesetiaan seka, menempatkan kebutuhan
kelompok di atas kepentingan pribadi. Meskipun kewirausahaan sangat dihargai
dalam komunitas ini, pengusaha sukses menghadapi masalah klaim banyak orang
pada keuntungan yang mereka dapatkan. Harapan bahwa keputusan ekonomi
"akan mengarah ke tingkat yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan bagi masyarakat
secara keseluruhan".
Sementara itu, Granovetter (1992) menyatakan bahwa aktor ekonomi
bukan atom yang terlepas dari konteks masyarakat dan bukan pula sepenuhnya
patuh pada aturan sosial yang ada. Tindakan ekonomi aktor melekat pada realitas
relasi sosial antar individu maupun kelompok dalam struktur sosialnya.
Granovetter menjelaskan lebih lanjut adanya keterlekatan (embeddednes) tindakan
manusia pada jaringan, norma dan kepercayaan dalam struktur sosial untuk
merevitalisasi logika studi-studi sosiologi ekonomi yang sebelumnya. Bagi
Granovetter, ikatan interpersonal diyakini memainkan peranan penting dalam
setiap tindakan aktor ekonomi.
Kegiatan pertenunan merupakan hal yang sangat melekat pada kegiatan
ekonomi masyarakat Bugis. Hal ini bisa dipahami dari adanya kepercayaan
masyarakat Bugis pada lampau bahwa seorang perempuan yang baik adalah
perempuan yang bisa menenun dan apabila dapat menyelesaikan minimal satu
kain, maka ia sudah layak menikah. Kegiatan menenun merupakan suatu bentuk
keterampilan perempuan Bugis yang menjadi kebanggaan masyarakat Bugis.

Produksi tenunan Bugis memiliki kekhasan tersendiri dari segi warna, corak, dan
bahan bakunya. Kekhasan corak, warna dan tekstur kain tenun Bugis merupakan
salah penciri identitats etnis Bugis atas etnis yang lainnya.
Bertahannya budaya menenun sampai saat ini tidak terlepas dari kuatnya
adat istiadat serta agama yang dianut sebagai falsafah hidup yang menjembatani
kemajuan zaman. Penyesuaian warna, corak, dan bahan baku terlihat jelas pada
tampilan hasil tenun secara visual. Baik yang dipergunakan untuk keseharian
maupun untuk keperluan adat. Corak dan warna merupakan suatu bentuk yang
menunjukkan identitas tertentu, seperti tampilan status kebangsawanan maupun
umur dari si pemakai. Makin rumit corak, makin tinggi tingkat kebangsawanan.
Makin gelap warnanya (mendekat kearah hitam), maka makin tua usia si pemakai.
Identitas tersebut kemudian menunjukkan adanya makna simbolik tertentu dari
kain tenun Bugis. Oleh sebab itu corak merupakan aspek yang paling mudah
dikenali penyesuainnya pada proses adaptasi estetika yang terjadi pada kain tenun
Bugis.
Kahdar (2009), membagi tiga babakan proses transformasi estetika kain
tenun Bugis Wajo dalam rangka menyesuaikan perkembangan zaman yang ada,
yaitu; Babak I, dikategorikan corak tidak bergambar (perkiraan tahun 14001600), pada kurun waktu ini masyarakat baru mengembangkan tenunan dengan
corak berupa garis-garis vertikal/mattetong maupun horizontal/makkalu (berputar)
bahkan masih banyak yang tidak bergambar/polos sama sekali. Bahan baku yang
digunakan adalah serat katun dengan menggunakan alat tenun gedogan/walida.
Babak II, dikenal dengan corak kotak-kotak/palekat (1600-1900)
masyarakat setempat sudah mulai mengenal tenun dengan lebih baik sehingga
garis-garis horizontal dan vertikal dipadukan menjadi corak kotak-kotak, pada
masa ini kain tenun Bugis sudah banyak mengalami perubahan yang cukup
signifikan, baik pada corak maupun bahan baku. Corak berkembang dengan
dikenalnya benang emas dan perak hasil perniagaan dan perlayaran yang
dilakukan oleh masyarakat Bugis.
Babak III, yaitu babak corak bergambar (1900 - sampai saat ini), yang
ditandai berkembangnya teknologi alat tenun dari alat tenun gedogan menjadi alat
tenun bukan mesin. Hal ini membuat perkembangan corak semakin dinamis.
Paduan antara keterampilan yang tinggi dan teknologi yang memadai maka
corakpun mulai bergambar bunga dan binatang, sesuai dengan perkembangan
pengetahuan dan keterampilan penun saat itu. Hal ini membuktikan bahwa etnis
Bugis sangat dinamis dan mempunyai peradaban yang mampu mengikuti
perkembangan zaman yang ada. Bahkan paduan warna hasil struktur ten

Dokumen yang terkait

Development river management model based on ecohydraulic concept. (case Study at Lawo River of Soppeng Regency, Province of South Sulawesi)

2 39 281

Development river management model based on ecohydraulic concept. (case Study at Lawo River of Soppeng Regency, Province of South Sulawesi)

1 11 546

Risk Factors of Anemia among Pregnant Women in the Community Health Centre Working Area of Puskesmas Wajo Bau-Bau City South East Sulawesi Province

1 15 194

Studies of Self-Organizing Maps (SOM) In Grouping Objects (case study: grouping of villages/urbans in Wajo Regency, South Sulawesi).

1 8 52

Quality Losses Of Rice Due To Delay In Harvesting And The Use Of Differensial Drying Method (Case Study In Wajo District South Sulawesi)

0 3 138

Zoning of local marine conservation areas for marine mariculture (A case study at Pasi Island, District of Kepulauan Selayar, South Sulawesi Province)

0 7 131

Quality Losses Of Rice Due To Delay In Harvesting And The Use Of Differensial Drying Method (Case Study In Wajo District South Sulawesi)

0 4 75

Peranan Komunikasi Pemerintahan Dalam Pelayanan Investasi Di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan The Role Of Governments Communication In Invesment Service Of Wajo Regency Province South Sulawesi.

0 0 2

Implementation of Community-based Environment Sanitation Program (Case Study in Benteng Sub-district, Kepulauan Selayar Regency, South Sulawesi Province)

0 0 7

Strategy of Local Government in Tourism Development of Marina Beach in Bantaeng Regency South Sulawesi Province

0 0 24