Pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi

1

PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
BERWAWASAN KONSERVASI

ABDUL MUIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

2

3

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Pengusahaan Perkebunan
Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi adalah karya saya sendiri dengan arahan
Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan

Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013

Abdul Muin
E361080041

4

RINGKASAN
ABDUL MUIN. Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi.
Dibimbing oleh YANTO SANTOSA, BAMBANG HERO SAHARJO dan TRI
WISMIARSI.
Pengembangan kebun sawit memberi konsekuensi terhadap kebutuhan
lahan yang semakin besar, yang dalam prakteknya memanfaatkan lahan dari
mengkonversi kawasan hutan sehingga menyebabkan rusaknya ekosistem hutan
hujan tropis, terganggunya hidupan liar (flora dan fauna) dan fragmentasi habitat

hingga kepunahan sejumlah besar spesies, khususnya jenis langka. Penelitian ini
dilakukan pada 3 (tiga) unit perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Provinsi
Kalimantan Tengah dengan tujuan untuk (1) mengetahui penggunaan dan
perubahan tutupan lahan, (2) menduga jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang
hilang (biodiversity loss) dan bertambah (biodiversity gain) sebagai akibat dari
perubahan tutupan lahan, (3) melakukan perhitungan finansial pengusahaan di
lahan gambut dari berbagai tipe tutupan lahan, dan memasukan biodiversity loss
dan biodiversity gain dalam analisisnya, (4) merumuskan model alternatif dan
profile pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi.
Pengusahaan perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi didefinisikan
sebagai pengusahaan yang apabila tidak terjadi kehilangan biodiversitas, dengan
kata lain hipotesisnya adalah biodiversity loss (bio-loss) sama dengan nol.
Berdasarkan RTRWP Kalimantan Tengah Tahun 2003 (Perda Nomor 8
Tahun 2003), bahwa status lahan sebelum dibuka menjadi kebun sawit adalah
bukan kawasan hutan. Analisis penggunaan lahan sebelum kebun sawit dibuka,
menunjukkan bahwa lahan sebelum diambil alih merupakan areal eks konsesi
HPH, bekas lahan perkebunan perusahaan lain, bekas ladang dan semak. Tutupan
lahan berdasarkan hasil penafsiran citra landsat sebelum menjadi kebun sawit
berupa hutan sekunder, semak belukar, pertanian campuran dan tanah kosong.
Areal berhutan yang masih terdapat di dalam perkebunan dipertahankan

sebagaimana kondisi awalnya, dan ditunjuk sebagai areal konservasi yang
dilapangannya berupa areal sempadan sungai dan areal hutan bergambut.
Identifikasi dan analisis potensi keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwaliar di areal berhutan (hutan primer, hutan sekunder) dan semak belukar
dilakukan untuk mengetahui spesies yang patut diduga hilang (biodiversity loss).
Hasilnya menunjukkan bahwa kerapatan vegetasi di areal konservasi dalam
perkebunan kelapa sawit lebih sedikit dibanding di hutan primer dan di hutan
sekunder, volume tegakan di areal konservasi perkebunan lebih sedikit potensinya
dibanding pada hutan primer dan di hutan sekunder. Keragaman jenis Shannon
(Indeks Shannon H’) menujukkan jenis di hutan primer masih lebih berlimpah
dibanding pada areal berhutan dalam perkebunan. Kekayaan jenis Margalef
(Indeks Margalef DMg) di perkebunan tergolong dalam kriteria sedang hingga
tinggi kekayaan jenisnya. Akibat adanya perubahan tutupan lahan hutan yang
merupakan habitat penting bagi primata arboreal, menjadi kebun kelapa sawit
menyebabkan beberapa jenis primata seperti orangutan dan owa yang sangat
bergantung hidupnya dari keberadaan hutan menjadi tidak mampu bertahan hidup
lebih lama. Demikian pula dengan jenis trenggiling yang semakin langka karena
perburuannya yang meningkat akibat permintaan pasar. Beberapa jenis tumbuhan

5


dan satwa liar (TSL) yang dulunya hidup di areal tertentu kemudian setelah
habitatnya berubah menjadi sulit bahkan tidak dijumpai lagi keberadaanya,
diterjemahkan sebagai suatu kehilangan potensi biodiversitas atau “biodiversity
loss”. Biodiversity loss (bio-loss) ini menjadi penting dan merupakan keharusan
atau wajib diperhitungkan dalam pengusahaan perkebunan kelapa sawit
berdasarkan skema konservasi. Namun di sisi lain akibat perubahan tutupan lahan
yang awalnya berupa lahan yang kurang potensi (seperti tutupan lahan tanah
terbuka/kosong) menjadi lahan perkebunan kelapa sawit, diyakini menguntungkan
bagi perkembangan satwa liar predator seperti burung hantu dan ular sawa yang
menguntungkan bagi pengelolaan kebun sawit terutama dalam pengendalian hama
tikus yang sangat merugikan produksi tanaman sawit. Hal ini diterjemahkan
sebagai “biodiversity gain”, meskipun pemanfaatan potensinya dalam
pengelolaan kebun bagi pengusaha bukan merupakan keharusan melainkan suatu
pilihan alternatif dan sifatnya voluntary.
Berkaitan dengan skema pengusahaan perkebunan kelapa sawit
berwawasan konservasi, maka penilaian kelayakan investasi perkebunan kelapa
sawit pada lahan gambut berdasarkan ukuran kriteria investasinya (NPV, IRR dan
PBP), menghasilkan 8 (delapan) model alternatif yang layak dilaksanakan
(menguntungkan), yaitu: pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada LGDang (03 m) dari tutupan lahan (1) Semak belukar nilai NPV Rp 278.246.174,-,IRR 38%,

PBP 4.50 tahun; (2) Hutan sekunder nilai NPV Rp 183.779.650,-, IRR 15%, PBP
7.90 tahun; (3) Tanah terbuka nilai NPV Rp 282.597.650,-, IRR 41%, PBP 4.30
tahun; (4) Hutan primer nilai NPV Rp 89.141.650,-, IRR 9%, dan PBP 10.70
tahun; dan pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada LGDal (>3 m) dari
tutupan lahan (5) Semak belukar nilai NPV Rp 220.570.287,-, IRR 32%, PBP
5.00 tahun; (6) Hutan sekunder nilai NPV Rp 126.040.287,-, IRR 13%, PBP 8.81
tahun; (7) Tanah terbuka nilai NPV Rp 224.858.287,-, IRR sebesar 35%, PBP
4.80 tahun; dan (8) Hutan primer nilai NPV Rp 40.320.287,-, IRR 8% , dan PBP
11.80 tahun. Model alternatif terbaik yang terpilih dan prioritas dilaksanakan
adalah pengusahaan kelapa sawit pada lahan gambut dari tutupan lahan tanah
terbuka dengan nilai NPV tertinggi per ha-nya Rp 282.597.650,-, IRR sebesar
41% (di atas suku bunga diskonto yang 6.5%), dengan PBP selama 4.3 tahun.
Sebagai konsekuensi dari skema pengusahaan perkebunan kelapa sawit
berwawasan konservasi yang menjawab hipotesis atas tidak terjadinya kehilangan
potensi biodiversitas (bio-loss sama dengan nol), maka profil pengusahaannya
harus (1) dilakukan pada tutupan lahan tanah terbuka (bukan berasal dari tutupan
lahan berhutan); namun jika terjadi pada tutupan lahan hutan maka (2) harus ada
penggantian biaya terhadap bio-loss tersebut; dan (3) investasi tersebut harus
layak dilaksanakan (menguntungkan) yang ditunjukkan dari NPV bernilai positif,
nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) dan jangka

waktu pengembalian modal (PBP) yang relatif singkat.
Kata kunci: Perkebunan kelapa sawit, perubahan tutupan lahan, biodiversity loss,
dan analisis kelayakan finansial

6

SUMMARY
ABDUL MUIN. Conservation-based Oil Palm Cultivation. Supervised by
YANTO SANTOSA, BAMBANG HERO SAHARJO and TRI WISMIARSI
The development of oil palm plantations has given a number of
consequences on the great demand in land; however, in practice, there are a lot of
accusations that land utilized comes from the conversion of forest areas, and this
is suspected to be the cause of the loss of biodiversity of tropical rain forest
ecosystems, cause of disruption of wildlife (flora and fauna), habitat
fragmentation, and extinction of a large number of species, especially endangered
species. The research was conducted in three (3) units of oil palm plantations
located in Central Kalimantan Province in order to (1) determine the use and land
cover change, (2) assume the plant species of wildlife suspected to be lost
(biodiversity loss) and thought to be increased (biodiversity gain) as consequences
of changes in land cover due to oil palm plantations (3) demonstrate the

calculation of the financial analysis of oil palm cultivation carried out on various
types of land cover and different peat depths, and perform analysis by taking
biodiversity loss and gain biodiversity into account, and (4) formulate alternative
models and describe the profile of conservation-based oil palm cultivation.
Conservation-based oil palm cultivation in this research was defined as an activity
with no biodiversity loss; in other words, the hypothesis indicated that
biodiversity loss (bio-loss) was equal to zero.
Based on the Provincial Spatial Plan of Central Kalimantan Province Year
2003 (Local Law Number 8 Year 2003), it is stated that the status of the land
before it is opened for oil palm plantation is not a forest, but is located in the
cultivation area/or in an area for other uses (APL). The result of analysis of land
use prior to the opening of oil palm plantation showed that land for palm oil
development was not entirely derived from wooded land cover (tuplah), but also
from the areas of shrubs, mixed farming land/communal farms, and open land. Oil
palm land developed came from the former concession, former estates of other
companies, including land owned by the community through the process of
compensation. Land cover based on the interpretation of land satellite images
before land opening for oil palm plantations showed no identification of primary
forests but only secondary forests, shrubs, mixed farming land and vacant land.
The forested area that is still present in the plantation has retained its initial

conditions and is designated as a conservation area in the forms of a riparian area
and peaty forest area.
Identification and analysis of the diversity potential of plants and wildlife
in the forested areas (primary and secondary forests) and in shrubs were
performed to determine the suspected missing species (biodiversity loss). The
result showed that the density of vegetation in the conservation area inside the
plantations was less than that in the primary and secondary forests, and the stand
volume in the conservation area in the plantations had less potential than that in
the primary and secondary forests. The abundance of Shannon species (Shannon
H' Index) showed the species in the primary forest were still more abundant than
those in the forested areas in the plantations. The Margalef species richness
(Margalef DMg Index) in the plantations belonged to the criteria of moderate to

7

high species richness. Changes in forest land cover which is an important habitat
for arboreal primates and has turned into palm oil plantations have caused some
primates such as orangutans and owas that are highly dependent on the presence
of forest life unable to survive safely and comfortably, and anteaters have become
endangered as result of hunting to meet their high demand in market. Some

species that used to live in the area, after their habitat had changed, are difficult to
find; as a result, it can be said there has been a loss in plant and wildlife potential
or "biodiversity loss", and this becomes an important and compulsory factor in
conservation-based oil palm utilization/concession scheme. On the other hand,
due to changes in land cover that was originally in the form of less potential land
(such as land cover of open/vacant land) before it was changed into oil palm
plantations, it is believed that the land cover can be beneficial for the development
of wildlife predators such as owls and sawa snakes which will be beneficial for
the oil palm plantation management, especially in pest control of mice because
they disturb the oil palm crop production, and this is translated as part of
"biodiversity gain". Although the utilization of biodiversity potentials in
plantation operations for the business agents is not a must, it should be voluntary.
In relation to the conservation-based oil palm concession scheme, the
appraisal of the investment feasibility of oil palm utilization on peat land was
based on the size of its investment criteria (NPV, IRR and PBP), producing eight
feasible (profitable) alternative models, including cultivation of oil palm
plantations in LGDang (0-3 meters) from the land cover of (1) shrubs with an
NPV of Rp 278.246.174,-, an IRR of 38%, and a PBP of 4.50 years; (2) a
secondary forest with a NPV of Rp 183.779.650,-, an IRR of 15%, and a PBP
7.90 years; (3) open land with a NPV of Rp 282.597.650, an IRR of 41%, and a

PBP of 4.30 years; (4) a primary forest with a NPV of Rp 89.141.650,-, an IRR of
9%, and a PBP 10.70 years. Furthermore, the oil palm cultivation in LGDal (> 3
meters) from the land cover of (5) shrubs with, a NPV of Rp 220.570.287,-, an
IRR of 32%, and a PBP of 5.00 years; (6) a secondary forest with a NPV of Rp
126.040.287,-, an IRR of 13%, and a PBP of 8.81 years; (7) open land with a NPV
of Rp 224.858.287,-; an IRR of 35%, a PBP 4.80 years; and a primary forest with
a NPV of Rp 40.320.287,- ; an IRR of 8% , and a PBP of 11.80 years
Cultivation model selection which has the highest priority and provides the
highest NPV per ha is Rp 282.597.650,- with an IRR of 41% (well above the
disconto rate of 6.5 %) and a PBP for 4.30 years. As a consequence of the
conservation-based oil palm cultivation scheme in answering the hypothesis
whether there was a potential biodiversity loss (bio-loss was equal to zero), (1) the
utilization should be conducted on open land cover (not on forested land cover).
However, (2) if it should be conducted on forested land cover, there must be a
replacement cost for the bio-loss, and (3) the investment must be feasible
(profitable) indicated by a positive value of NPV, a greater IRR value than the
discount rate and a shorter term of capital repayment (PBP).
Keywords: Oil palm plantations, changes in land cover, biodiversity loss and
financial feasibility analysis.


8

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9

PENGUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
BERWAWASAN KONSERVASI

ABDUL MUIN

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

10

Penguji pada Ujian Tertutup

:

1. Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS
2. Dr Ir Lalang Buana, MSc

Penguji pada Ujian Terbuka

:

1. Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA
2. Dr Ir Novianto Bambang W, MSi

11

12

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ialah pendekatan konservasi dalam perkebunan kelapa
sawit, dengan judul Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang Berwawasan
Konservasi.
Penghargaan dan terimakasih yang setinggi tingginya penulis ucapkan
kepada:
1. Dr Ir H Yanto Santosa, DEA selaku ketua komisi pembimbing, Prof Dr Ir
Bambang Hero Saharjo, MScAgr dan Dr Ir Tri Wismiarsi, MSc selaku
anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan bimbingan,
arahan, saran dan semangat dalam menyelesaikan penulisan disertasi.
2. Dr Ir Lalang Buana, MSc dan Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS (penguji luar
komisi pada ujian sidang tertutup); Prof Dr Ir Dudung Darusman, MA dan Dr
Ir Novianto Bambang W, MSi (penguji luar komisi pada ujian sidang
terbuka), atas kesediaan waktunya, memberikan koreksi, masukan dan saran
untuk penyempurnaan tesis ini.
3. Dekan Fakultas Kehutanan, Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
dan Ekowisata (KSHE) dan Ketua Program Studi/Mayor KVT dan dosendosen yang telah memberikan dukungan dan fasilitas kepada penulis selama
menjalani pendidikan di kampus.
4. Kementerian Kehutanan cq Pusdiklat Kehutanan dan Ditjen PHKA yang telah
memberikan izin dan kesempatan memperoleh beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor. Kepada Setditjen PHKA cq Bag
Program Anggaran dan BKSDA Kalteng atas segala dukungannya hingga
studi berjalan lancar dan selesai pada waktunya. Ucapan terimakasih tertuju
kepada Ibu Ir Listya Kusumawardhani, MSc; Ir Jefri Susyafrianto, MM; dan
Bapak Ir Suherti Reddy GT beserta Ibu atas dukungan selama penulis
menjalani program studi S3.
5. Kepada almarhum Ayahanda H M Arief dan almarhumah Ibunda Hj Siti
Aminah, kakak dan adik-adik atas doa dan dukungannya, secara khusus
kepada Isteri Dra Lusiana yang dengan sabar dan penuh pengertian
mendampingi dan mendukung penuh dalam penyelesaian studi ini, serta anakanakku tersayang Natasya CM Januatisa (Tasya), Alyssa JZ Anditha (Alyssa),
Muhammad Althaf Muinurraja (Althaf) dan almarhum Ananda MP Pratama
(Nanda) yang memberikan inspirasi, semangat dan suasana keceriaan.
6. Teman seangkatan U Mamat Rahmat (TN Ujung Kulon), Ivan Yusfi Noor (Dit
KKBHL, PHKA) dan Mufti Sudibyo (Universitas Negeri Medan) atas
kebersamaan, kekompakan dan kerjasama dalam suka dan duka selama studi
dan semoga dapat terus berlanjut kedepannya.
7. Reni Sri Mulyaningsih, Moh Sofwan, Umi Uum yang siap sedia memberikan
bantuan
untuk
kelancaran
tugas
pembelajaran
dan
senyum
keramahtamahannya
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2013
Abdul Muin

13

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTRA LAMPIRAN
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis
Kebaruan
Kerangka Penelitian

2

22
24
27
40

ANALISIS (VALUASI) FINANSIAL PENGUSAHAAN
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PADA BERBAGAI TUTUPAN
LAHAN DAN KEDALAMAN LAHAN GAMBUT
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

5

8
9
11
21

ANALISIS KOMPARATIF POTENSI KEANEKARAGAMAN
HAYATI PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

4

1
3
4
4
4
4

ANALISIS TUTUPAN LAHAN AREAL PERKEBUNAN KELAPA
SAWIT
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan

3

xiii
xiv
xv

41
43
46
56

MODEL ALTERNATIF DAN PROFIL PENGUSAHAAN
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERWAWASAN
KONSERVASI
Pendahuluan
Model Alternatif Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit
Berwawasan Konservasi
Profil dan Implikasi Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit
Berwawasan Konservasi
Simpulan

57
59
62
66

14

6

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

68
70
71
79
123

DAFTAR TABEL
2.1 Status lahan berdasarkan TGHK dan RTRWP Kalimantan Tengah
sebelum menjadi konsesi perkebunan kelapa sawit
2.2 Luas lahan hasil pelepasan kawasan HPK berdasarkan Permenhut
P.17/Menhut-II/2011
2.3 Sejarah penggunaan lainnya pada lahan perkebunan kelapa sawit
PT.A, PT.B dan PT.C
2.4 Data luas dan kedalaman gambut pada lokasi perkebunan kelapa
sawit PT.A, PT.B dan PT.C
2.5 Kondisi penutupan lahan pada masing-masing areal kebun lingkup
PT.A, PT.B, dan PT.C di Provinsi Kalimantan Tengah
2.6 Alokasi areal konservasi di dalam kebun kelapa sawit
3.1 Luas total areal kerja sesuai perizinan dan areal yang dibiarkan
seperti sebelum dibuka sebagai kebun sawit (areal konservasi)
3.2 Beberapa jenis dan kerapatan tumbuhan yang teridentifikasi di
kawasan konservasi (hutan primer) dan di areal konservasi (hutan
sekunder) dalam perkebunan kelapa sawit
3.3 Kerapatan vegetasi, volume tegakan, dan keragaman jenis pada
tutupan lahan hutan primer dan hutan sekunder pada tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon
3.4 Besaran kerapatan, potensi tegakkan dan nilai ukuran keragaman
hayati hasil penelitian lainnya pada tutupan lahan hutan primer dan
hutan sekunder
3.5 Jenis satwa liar yang teridentifikasi berdasarkan perjumpaan
langsung, jejak dan informasi pada berbagai tutupan lahan
3.6 Jenis satwa liar yang dianggap sebagai perwakilan indikator
biodiversity loss akibat perubahan tuplah hutan (primer dan
sekunder) menjadi perkebunan kelapa sawit
3.7 Kepadatan satwa liar dan potensi tumbuhan sebagai indikator
biodiversity loss pada berbagai tutupan lahan
4.1 Biaya dan pendapatan (rupiah per hektar) pengusahaan perkebunan
kelapa sawit berdasarkan kedalaman gambut di berbagai tutupan
lahan (2007-2032)
4.2 Ukuran kelayakan investasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit
(per hektar selama 25 tahun) berdasarkan besaran NPV, IRR dan
PBP
4.3 Potensi “biodiversity loss” yang diperhitungkan dalam analisis

12
13
15
16
18
20
28

30

32

33
34

36
37

49

50

15

4.4
4.5

4.6
4.7

5.1

ekonomi pengusahaan perkebunan kelapa sawit
Nilai ekonomi (rupiah per ha) dari biodiversity loss pada berbagai
tipe tutupan lahan
Total biaya investasi per hektar (investasi kebun dan biodiversity
loss yang diperhitungkan sebagai biaya investasi) pengusahaan
perkebunan kelapa sawit di lahan gambut dari berbagai tutupan
lahan
Perbandingan investasi kebun (%) dengan investasi untuk
biodiversity loss (bio-loss) terhadap biaya total investasi
Kelayakan finansial investasi pengusahaan perkebunan kelapa sawit
(per hektar selama 25 tahun) yang memperhitungkan biodiversity
loss dan biodiversity gain berdasarkan besaran NPV, IRR dan PBP
Kelayakan finansial dari model terbaik pengusahaan perkebunan
kelapa sawit berwawasan konservasi

53
54

55
55

56
62

DAFTAR GAMBAR
1.1 Kerangka Penelitian
2.1 Lokasi perkebunan kelapa sawit PT A, PT B dan PT C di Provinsi
Kalimantan Tengah
2.2 Perkembangan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan hilangnya
hutan alam di Indonesia dan Malaysia periode 1990-2008
2.3 Perubahan kondisi tutupan lahan pada sebagian areal PT.A di
Kabupaten Kobar : (A) Tutupan lahan tahun 1989, dan (B) Tutupan
lahan tahun 2010
2.4 Kenampakan tutupan lahan pada perkebunan kelapa sawit yang
diteliti: (A) Tutupan lahan pertanian campuran (Pc), (B) Semak
belukar (B), (C) Hutan sekunder (Hs), dan (D) kebun kelapa sawit
(Pkb)
3.1 Bentuk dan ukuran petak pengamatan inventarisasi vegetasi
3.2 Areal konservasi di perkebunan kelapa sawit berupa areal sempadan
sungai (A) dan areal ekosistem gambut (B)
3.3 Jenis satwa predator yang menguntungkan bagi pengendalian hama
tikus di perkebunan kelapa sawit yang dianggap sebagai
“biodiversity gain”
4.1 Produksi tandan buah segar (TBS) pada lahan gambut LGDang (0-3
m) dan LGDal (>3 m) (2010-2032)
4.2 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa
sawit pada kedalam gambut (LGDang 0-3 m) dan berbagai tutupan
lahan
4.3 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa
sawit pada kedalam gambut (LGDal > 3 m) dan berbagai tutupan
lahan
5.1 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa
sawit pada kedalam gambut (LGDang 0-3 m) dan berbagai tutupan
lahan dengan memperhitungkan bio-loss atau bio-gain
5.2 Nilai NPV (a), IRR (b) dan PBP (c) pengusahaan perkebunan kelapa

7
10
16

18

19
25
28

39
49

51

52

61

16

sawit pada kedalam gambut (LGDang > 3 m) dan berbagai tutupan
lahan dengan memperhitungkan bio-loss atau bio-gain

61

LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13

14

15

16

17

18

Peruntukan/status lahan di Provinsi Kalimantan Tengah berdasarkan
Peta TGHK Tahun 1989 dan RTRWP Tahun 1993
Peta sebaran areal konservasi Perkebunan PT. B di Kabupaten
Kotawaringin Timur
Peta sebaran kawasan lindung (sempadan sungai dan areal
bergambut) pada areal konsesi PT. C di Kabupaten Seruyan
Peta citra satelit di areal PT.A di Kabupaten Kotawaringin Barat
(Kobar)
Peta citra satelit di areal PT.B di Kabupaten Kotawaringin Timur
(Kotim)
Peta citra satelit di areal PT.C di Kabupaten Seruyan
Jenis tumbuhan teridentifikasi pada areal kebun kelapa sawit dan
hutan sekitar kebun
Jenis tumbuhan teridentifikasi pada tutupan lahan hutan primer di
kawasan konservasi
Jenis tumbuhan teridentifikasi pada tutupan lahan hutan sekunder
(areal konservasi) di perkebunan kelapa sawit PT.A, PT.B, dan PT.C
Jenis satwa liar teridentifikasi di areal perkebunan kelapa sawit dan
hutan sekitar kebun
Produksi Tandan Buah Segar (TBS) Perkebunan Kelapa Sawit Pada
Lahan Gambut Selama 1 Daur Pengelolaan (25 tahun)
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan
Semak belukar (B) (rupiah per ha per tahun)
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan
Hutan sekunder (Hs) (rupiah per ha per tahun)
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan
Tanah terbuka (T) (rupiah per ha per tahun)
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman 0-3 meter (LGDang) asal tutupan lahan
Hutan primer (Hp) (rupiah per ha per tahun)
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan
Semak belukar (B) (rupiah per ha per tahun)
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan
Hutan sekunder (Hs) (rupiah per ha per tahun)
Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan
Tanah terbuka (T) (rupiah per ha per tahun)

79
81
82
83
85
87
89
91
93
96
99

100

102

104

106

108

110

112

17

19

20

21

22

23

Analisis finansial (Biaya-Pendapatan) perkebunan kelapa sawit pada
lahan gambut kedalaman > 3 meter (LGDal) asal tutupan lahan
Hutan primer (Hp) (rupiah per ha per tahun)
Perbandingan hasil analisis kelayakan financial pada kedalaman
gambut (LGDang & LGDal) dan berbagai tutupan lahan (semak
belukar, hutan sekunder, tanah terbuka & hutan primer) sebelum dan
setelah memperhitungkan biodiversity loss & biodiversity gain
berdasarkan parameter NPV (Rp), IRR (%) dan PBP (Tahun)
Perbandingan parameter kelayakan finansial (NPV,IRR, PBP)
pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalaman lahan
gambut (LGDang) 0-3 mt dengan berbagai tutupan lahan
Perbandingan parameter kelayakan finansial (NPV,IRR, PBP)
pengusahaan perkebunan kelapa sawit pada kedalaman lahan
gambut (LGDal) > 3 mt dengan berbagai tutupan lahan
Daftar questioner

114

116

117

118
119

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sektor perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sektor andalan
pemerintah diluar sektor migas dan bahkan menjadi sektor penyumbang devisa
negara terbesar non migas dari nilai pendapatan yang diperoleh (total ekspor CPO
2012 mencapai 18,14 juta ton dengan nilai 20,78 milyar dolar AS) (Charles 2013).
Dari sisi pelaku usaha/investor, bisnis kelapa sawit merupakan primadona karena
selain keuntungan yang diperoleh berjangka panjang, juga peluang pasar yang
terbuka luas (saat ini pasar CPO dikuasai 44% dari Indonesia, 39% Malaysia dan
17% negara-negara penghasil minyak sawit lainnya) (Wihardandi 2013).
Tingginya permintaan minyak sawit oleh masyarakat dunia, membuat Indonesia
mentargetkan untuk terus mengembangkan perkebunan kelapa sawit dan bertekad
menjadi penghasil minyak sawit terbesar dunia. Total produksi minyak sawit atau
crude palm oil (CPO) Indonesia pada tahun 2012 mencapai 26,5 juta ton yang
dihasilkan dari lahan 9 juta hektar (diperkirakan di tahun 2013 produksinya akan
mencapai 28 juta ton). Dari total produksi tersebut, total ekspor mencapai 18.14
juta ton (sebagai perbandingan di tahun 2011 total ekspor 16.5 juta ton) (GAPKI
2011, Ditjen Perkebunan 2011, Suhendra 2013, Wihardandi 2013). Pada sisi
lainnya yaitu pemerintah, usaha perkebunan sawit mendapat sambutan dan
dukungan yang baik karena mampu memberikan devisa bagi negara (dengan nilai
ekspor mencapai 20,78 milyar dolar AS tahun 2012), dapat meningkatkan
pendapatan petani kebun (50% atau sekitar 4,5 juta hektar merupakan perkebunan
rakyat berskala kecil), menyerap tenaga kerja (sekitar 3 - 3,6 juta kepala keluarga
atau 10 juta jiwa yang terlibat langsung) (GAPKI 2011, Ditjen Perkebunan 2011),
dan mendorong perputaran perekonomian lokal karena multiplier effect yang
ditimbulkan. Berdasarkan roadmap pengembangan industri sawit nasional yang
dicanangkan pemerintah, ditargetkan pada tahun 2020 produksi CPO bisa
mencapai 40 juta ton.
Oil World memaparkan bahwa minyak kelapa sawit kini telah menjadi
minyak nabati dunia paling penting di pasar internasional. Diantara seluruh jenis
produksi minyak nabati, kelapa sawit berada di posisi teratas (30%), diikuti
kedelai (29%), biji rape (14%), bunga matahari (8%) dan lainnya (GAPKI 2012).
Negara-negara yang mengembangkan budidaya tanaman kelapa sawit adalah
Indonesia, Malaysia dan Thailand di Asia Tenggara, Nigeria di Afrika, Kolombia,
Brasil dan Ekuador di Amerika Selatan serta Papua Nugini di kawasan Oceania
(FAO 2009). Kelapa sawit mempunyai beberapa keunggulan komparatif
dibanding tanaman penghasil minyak nabati lainnya, yaitu dengan produksi
minyak sawit per hektar yang tinggi, umur ekonomis yang panjang, dan daya
adaptasi terhadap cekaman lingkungan yang baik, serta pengolahan dan
pemanfaatan yang luas baik di bidang pangan maupun non-pangan (Green
Network Indonesia 2010, UNEP-UNESCO 2007). Diperkirakan 74% minyak
sawit digunakan untuk produk bahan makanan, sementara sekitar 24% sisanya
untuk kebutuhan industri lainnya (USDA 2010). Minyak kelapa sawit secara
global menguasai hampir seperempat minyak konsumsi dunia (sekitar 60%
perdagangan internasional minyak nabati) (Worldbank 2010).

2

Fakta dari aspek ekonomi sebagaimana digambarkan di atas, memberi
suatu konsekuensi pada aspek ekologi atau lingkungannya. Berdasarkan praktek
yang telah dilakukan dimasa yang lalu, bahwa bahwa penyediaan lahan untuk
budidaya kelapa sawit diperoleh dari hasil mengkonversi hutan alam (hutan
produksi), memanfaatkan lahan terlantar berupa semak belukar (diperkirakan ada
sekitar 30 juta hektar) akibat aktivitas pembukaan dan/atau eksploitasi hutan
untuk bermacam keperluan (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan 2000),
atau pada areal yang sudah dicadangkan untuk pengembangan perkebunan yaitu
di APL (Areal Penggunaan Lainnya). Namun ironisnya, kegiatan konversi hutan
alam dan pembukaan areal berhutan di APL disangkakan telah menjadi salah satu
sumber perusakan hutan alam Indonesia, ancaman terhadap hilangnya habitat bagi
beberapa spesies yang bersifat endemik, berkurangnya atau bahkan hilangnya
populasi sejumlah besar spesies, dan menyebabkan timbulnya bencana alam
(Sjahfirdi 2011). Bahkan lebih jauh lagi dari suatu studi mengungkapkan bahwa
pengembangan perkebunan kelapa sawit cenderung akan menurunkan kualitas air
tawar dan tanah serta menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat lokal yang
bergantung pada produk-produk ekosistem. (Fitzherbert et al. 2008). Penelitian
lainnya mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai pendorong utama
penggundulan hutan di hutan tropis (Fitzherbert et al. 2008; Koh & Ghazoul
2008). Padahal hutan tropis diyakini memiliki kekayaan keragaman ekosistem
terrestrial (daratan) yang besar (Corley and Tinker 2003) termasuk biodiversitas di
dalamnya, mempunyai nilai manfaat ekonomi yang besar antara lain sebagai
penyedia barang bagi kebutuhan manusia seperti makanan dan obat-obatan dan
jasa-jasa ekosistem seperti pengaturan siklus hidrologis, perlindungan tanah, jasa
wisata, fungsi penyimpanan karbon, stabilitas iklim, dan lain sebagainya. Nilai
manfaat ekonomi tersebut dikelompokkan sebagai nilai penggunaan (use values)
mencakup nilai guna langsung (direct value) yaitu hasil yang dapat dikonsumsi
langsung seperti kayu, makanan, rekreasi; nilai guna tidak langsung (indirect
value) seperti fungsi ekologis, pengendali banjir, stabilitas iklim; nilai pilihan
(option values) yaitu nilai ekonomi yang masih tersimpan seperti keanekaragaman
hayati, dan nilai non penggunaan (non use values) yang meliputi nilai warisan
(bequest value) dan nilai keberadaan (existence value) seperti kekayaan dan
keindahan alam kawasan konservasi, lansekap/habitat dan spesies langka (Pearce
1992 dalam Munasinghe 1993; Pearce & Moran 1994; dan Simpson 2007). Nilai
manfaat tersebut dari berbagai teori dan penelitian yang ada telah diterapkan dan
dapat diukur melalui suatu penilaian ekonomi yang lazim digunakan dan dikenal
sebagai penilaian total ekonomi atau total economic value (TEV) yang
memberikan nilai yang terukur moneter (nilai uang) (Peterson & Sorg 1987; Pillet
2006; Plottu et al. 2007) melalui penghitungan menggunakan metode pendekatan
harga pasar dan kesediaan untuk membayar atau willingness to pay (WTP)
(Darusman et al. 2004). Sebagai contoh bahwa total nilai ekonomi (TEV) dari
manfaat/keuntungan biodiversitas global (sebagian besar dari Negara sedang
berkembang) dengan perkiraan kasar ditaksir mencapai ratusan juta dolar AS
pertahun (Pearce et al. 1999 dalam Barbier 2000).
Berdasarkan fakta keunggulan ekonomi dan fakta kerugian ekologi
terhadap barang dan jasa lingkungan yang ditimbulkan, maka menjadi penting
artinya kedepan bagaimana pengembangan perkebunan kelapa sawit disatu sisi
diarahkan tetap menghasilkan manfaat ekonomi secara nyata dan disisi lain secara

3

ekologis tidak menimbulkan kerusakan sumberdaya hutan yang lebih luas lagi
termasuk kelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa liar beserta habitatnya.
Oleh karena itu permasalahan mendasarnya yang pertama adalah terletak pada
lahan yang digunakan baik dari aspek tutupan lahan maupun peruntukkannya
secara hukum. Artinya asal usul lahan yang akan digunakan untuk perkebunan
sawit menjadi topik yang penting untuk diketahui. Kedua, adalah ketika terjadi
perubahan tutupan lahan dari areal berhutan menjadi kebun kelapa sawit, maka
diduga terjadi perubahan berupa kehilangan potensi biodiversitasnya. Oleh karena
itu perlu dikaji mengenai kandungan potensi keanekaragaman hayati, yakni
penilaian sejauh mana kehilangan potensi tersebut (biodiversity loss). Faktor
biodiversity loss (bio-loss) ini menjadi suatu pertimbangan yang harus atau wajib
dikedepankan dalam mengembangkan suatu pengusahaan perkebunan kelapa
sawit yang mempertimbangkan kelestarian atau konservasi lingkungan. Oleh
karena itu dalam penelitian ini, pengusahaan perkebunan kelapa sawit
berwawasan konservasi dimaksudkan apabila dalam pengusahaannya tidak terjadi
kehilangan biodiversitas, atau dengan kata lain hipotesisnya adalah biodiversity
loss (bio-loss) sama dengan nol. Demikian juga sebaliknya, pengembangan
kelapa sawit dapat memberikan dampak positif terhadap keberadaan biodiversitas,
maka penambahan potensi yang ada (biodiversity gain) perlu dilakukan
pengukuran/penilaian juga. Namun berbeda dengan bio-loss, maka bio-gain yang
dimaksud bagi pelaku usaha sifatnya sukarela atau voluntary. Artinya dalam
kegiatan operasionalnya, pemanfaatan potensi biodiversitas dalam perkebunan
tidak menjadi suatu keharusan, melainkan suatu alternatif pilihan. Ketiga, adalah
sehubungan dengan potensi kehilangan atau penambahan tersebut (biodiversity
loss/gain), maka diperlukan adanya suatu analisis (valuasi) finansial dari
pengusahaan sawit dengan memperhitungkan nilai-nilai tersebut. Untuk
menjawab permasalahan dan pertanyaan tersebut di atas, maka suatu penelitian
dilakukan dengan mengambil topik tentang pengusahaan perkebunan kelapa sawit
berwawasan konservasi, yang dimaksudkan sebagai suatu usaha perkebunan yang
dalam pengusahaannya selain untuk memperoleh manfaat (keuntungan) finansial,
juga memperhatikan aspek asal-usul lahan dan mempertimbangkan faktor
biodiversity loss dan biodiversity gain dalam perhitungan analisis kelayakan
usahanya. Penelitian ini mengambil contoh lokasi perkebunan kelapa sawit yang
berlokasi di Provinsi Kalimantan Tengah yang melakukan kegiatan
operasionalnya mulai tahun 2007.

Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah merumuskan profile pengusahaan
perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, maka dilakukan beberapa tahapan penelitian untuk mencapai tujuan
antaranya, yaitu melalui:
1) Analisis Tutupan Lahan Areal Perkebunan Kelapa Sawit yang bertujuan untuk
mengetahui sejarah asal usul penggunaan lahan dan peruntukkannya serta
perubahan tutupan lahan yang terjadi akibat pengembangan perkebunan
kelapa sawit.

4

2) Analisis Komparatif Potensi Keanekaragaman Hayati pada Berbagai Tipe
Tutupan Lahan yang bertujuan untuk menduga jenis-jenis tumbuhan dan
satwa liar yang patut diduga hilang (biodiversity loss) dan yang diduga
bertambah (biodiversity gain) sebagai konsekuensi dari perubahan tutupan
lahan akibat pembukaan perkebunan kelapa sawit.
3) Analisis (Valuasi) Finansial Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit pada
Berbagai Tutupan Lahan dan Kedalaman Lahan Gambut yang bertujuan untuk
melakukan perhitungan analisis finansial pengusahaan perkebunan kelapa
sawit yang dilakukan pada berbagai tipe tutupan lahan dan kedalaman gambut
yang berbeda, berikut analisis dengan memperhitungkan biodiversity loss dan
biodiversity gain dalam analisis finansialnya.
4) Penyusunan Model Alternatif dan mendiskripsikannya sebagai Profil
Pengusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi

Manfaat Penelitian
1) Memberikan pemahaman yang jelas dan bertanggungjawab terhadap
pengembangan kelapa sawit yang mensinergikan kepentingan ekonomi dan
kelestarian ekologis khususnya kepada pelaku usaha/investor, dan pemerintah
serta pemerhati/pegiat konservasi atau lingkungan pada umumnya.
2) Sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan di sektor perkebunan
kelapa sawit khususnya terkait penyediaan lahan budidaya kelapa sawit.
3) Mendorong dilakukannya penelitian lanjutan terkait dengan aspek sosial,
valuasi ekonomi sumberdaya lingkungan yang lebih luas dalam penentuan
kelayakan pengusahaan kebun sawit.

Hipotesis
Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah tidak terjadi kehilangan
biodiversitas akibat perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit
atau dengan kata lain biodiversity loss sama dengan nol.

Kebaruan
Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah suatu Profil Pengusahaan Perkebunan
Kelapa Sawit Berwawasan Konservasi.

Kerangka Penelitian
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fakta yaitu semakin meningkatnya
ekspansi perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut diperkuat dari kebijakan
pemerintah yang semakin gencar akan mengembangkan pengusahaan perkebunan,
khususnya komoditas kelapa sawit ke wilayah bagian timur Indonesia yaitu pulau
Papua, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Hal tersebut sangat beralasan mengingat

5

permintaan pasar dunia yang tinggi (Indonesia termasuk negara produsen minyak
nabati terbesar bersama Malaysia), telah secara nyata terbukti memberikan
pemasukan yang sangat signifikan bagi keuangan negara (merupakan
penyumbang devisa terbesar dari sektor non migas) dan memberikan efek domino
(multiplier effect) lainnya seperti penyerapan tenaga kerja hingga
mengembangkan infrastruktur (jalan dan pemukiman) pada daerah-daerah
terpencil. Namun disisi lain fakta (hasil studi dan penelitian) juga mengungkapkan
bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit menimbulkan dampak yang merugikan
bagi lingkungan. Beberapa contoh, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan dan
Sumatera yang penyediaan lahannya dilakukan dengan mengkonversi kawasan
hutan/areal berhutan yang memang merupakan habitat penting satwa liar langka
dan dilindungi seperti orangutan, gajah dan harimau, pada akhirnya memicu
terjadinya konflik kepentingan antara satwa liar dan pihak perkebunan (orangutan
mati, harimau ditangkap, gajah terusir, mengamuk dan masuk ke kebun dan
pemukiman masyarakat sekitar kebun). Hutan tropis diyakini memiliki kekayaan
keragaman ekosistem terrestrial (daratan) yang besar termasuk biodiversitas di
dalamnya, mempunyai nilai manfaat ekonomi yang besar antara lain sebagai
penyedia barang bagi kebutuhan manusia seperti makanan dan obat-obatan dan
jasa-jasa ekosistem seperti pengaturan siklus hidrologis, perlindungan tanah, jasa
wisata, fungsi penyimpanan karbon, stabilitas iklim, dan lain sebagainya. Nilai
manfaat ekonomi tersebut oleh para ahli dibidang ekonomi lingkungan kemudian
dikelompokkan sebagai nilai penggunaan (use values), nilai pilihan (option
values) dan nilai non penggunaan (non use values) dari sumberdaya hutan dan
kemudian dikenal sebagai konsep nilai ekonomi total (TEV). Konsep teori nilai
ekonomi total berikut metode penilaiannya mencoba memberikan “nilai” terhadap
seluruh manfaat yang dihasilkan hutan berupa produk dan jasa lingkungan hutan,
baik yang bersifat diperdagangkan dan memiliki harga pasar maupun yang tidak
memiliki harga pasar. Salah satu diantaranya adalah potensi biodiversitas
(tumbuhan dan satwa liar) yang sering “dimarginalkan” dan tidak diperhitungkan
dalam suatu analisis ekonomi finansial suatu usaha termasuk pengusahaan
perkebunan kelapa sawit. Pembukaan lahan untuk kebun kelapa sawit dengan cara
mengkonversi hutan dan atau yang dalam penyiapan lahannya diduga dilakukan
dengan cara membakar khususnya pada lahan bergambut, meskipun secara aturan
tidak dibenarkan, namun hal itu terjadi dan mengakibatkan dampak yang
merugikan bagi lingkungan. Ada biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi
dan seharusnya turut diperhitungkan dalam analisis investasi perkebunan kelapa
sawit, yang tidak pernah dilakukan, tidak pernah memasukan biaya lingkungan
dan biaya sosial ini dalam analisis finansial pengusahaannya. Hal ini terjadi
karena biaya biaya lingkungan dan sosial yang timbul tidak ditanggung (dibayar)
oleh perusahaan perkebunan pada saat melakukan investasi. Sementara disisi lain
masyarakat (khususnya masyarakat setempat) yang mengalami dampak negatif
dari perubahan lingkungan yang terjadi akibat pembangunan perkebunan kelapa
sawit, merupakan pihak yang menanggung biaya sosial dan biaya lingkungan
yang terjadi sejak awal dimulainya proyek pembangunan perkebunan kelapa
sawit. Semua biaya lingkungan dan biaya sosial yang terjadi sesungguhnya
menjadi biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat/negara Indonesia, bahkan
turut ditanggung oleh masyarakat internasional. Oleh karena itu, para pembuat
kebijakan dan khususnya para pengambil keputusan di pemerintahan dalam

6

mengevaluasi (menilai) analisis biaya dan manfaat proyek pembangunan
perkebunan kelapa sawit harus turut memperhitungkan berbagai biaya lingkungan
dan biaya sosial tersebut.
Berdasarkan fakta dan persoalan tersebut di atas, maka diperlukan suatu
penelitian tentang bagaimana model alternatif dan profil pengusahaan kelapa
sawit yang dijalankan secara bertanggungjawab dengan memperhitungkan
kelestarian tumbuhan dan satwa liar serta habitatnya. Dengan kata lain bagaimana
suatu pengusahaan perkebunan kelapa sawit dijalankan sehingga dapat dikatakan
berwawasan konservasi. Untuk tujuan tersebut, maka dilakukan serangkaian
analisis yang menyangkut (1) bagaimana kondisi lahan perkebunan kelapa sawit
pada awalnya dibuka, artinya persoalan asal-usul penggunaan lahan dan status
tutupan lahannya menjadi topik yang menarik untuk diteliti dan sekaligus
mengkonfirmasi atas dugaan/tuduhan pemanfaatan kawasan hutan dalam
penyediaan lahan kelapa sawit; (2) yaitu bahwa telah terjadi perubahan-perubahan
terhadap kondisi keanekaragaman hayati pada lahan sebelum kebun sawit
dikonsesi/dibuka dengan setelah kebun sawit dikelola, artinya potensi
keanekaragaman hayati (dalam penelitian ini dibatasi pada tumbuhan dan satwa
liar) perlu diketahui dan membandingkannya terhadap potensi yang ada di habitat
alaminya. Berkaitan dengan adanya dugaan terjadinya perubahan potensi pada
berbagai tutupan lahan, maka patut diduga disatu sisi adanya kehilangan potensi
yang diistilahkan sebagai “biodiversity loss”, dan di sisi lain patut juga diduga
terjadi penambahan potensi, menggunakan istilah “biodiversity gain” sebagai
akibat terbentuknya kebun kelapa sawit. Faktor biodiversity loss (bio-loss) ini
menjadi suatu pertimbangan yang harus atau wajib diperhitungkan dalam
pengembangan pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempertimbangkan
kelestarian atau berwawasan konservasi. Dalam penelitian ini, pengusahaan
perkebunan kelapa sawit berwawasan konservasi diterjemahkan sebagai suatu
usaha perkebunan kelapa sawit yang apabila dalam pengusahaannya tidak terjadi
kehilangan biodiversitas, atau dengan kata lain hipotesisnya adalah biodiversity
loss (bio-loss) sama dengan nol; (3) terkait dengan adanya perbedaan kondisi
biodiversitas tersebut (kehilangan dan penambahan) sebagai akibat perubahan
tutupan lahan, maka diperlukan suatu analisis (valuasi) ekonomi dari pengusahaan
sawit dengan memperhitungkan nilai “environmental cost” (dalam penelitian ini
dimaksudkan sebagai bio-loss) sebagai wujud pertanggungjawaban menerapkan
kaidah konservasi dalam pengelolaannya. Biodiversity loss tersebut akan dinilai
secara moneter atau dalam bentuk uang dan turut diperhitungkan sebagai bagian
dari komponen biaya investasi (biaya kompensasi) saat berinvestasi dalam usaha
perkebunan kelapa sawit. Dalam perjalanan pengelolaannya, maka biodiversity
gain juga akan turut diperhitungkan sebagai bagian pendapatan dari pengusahaan
perkebunan kelapa sawit. Pada akhirnya, akan diperoleh suatu model pengusahaan
kelapa sawit yang dalam analisis finansialnya telah memasukkan
variabel/parameter bio-loss dan bio-gain. Analisis ini dilakukan pada
pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang lahannya berasal dari berbagai
tutupan lahan dan kedalaman lahan gambut yang berbeda, sehingga nantinya akan
dihasilkan berbagai pilihan model alternatif pengusahaan perkebunan kelapa sawit
berikut Profil pengusahaan perkebunan kelapa sawit dalam skema konservasi.

7

Pengembangan
Kelapa Sawit
Analisis
Tutupan Lahan

Asal usul, Status &
Tuplah

Analisis Finansial
Kelayakan Investasi

Analisis
Keragaman Hayati

Lahan Kebun Sawit

Investasi
Perkebunan

Keanekaragaman
Hayati Jenis TSL

Biaya & Pendapatan
(Moneter)

Biodiversity Loss &
Biodiversity Gain

Analisis (Valuasi)
Finansial

Perkebunan Kelapa Sawit
Berwawasan Konservasi

Model
Alternatif 3

Model
Alternatif 2

Model
Alternatif 1

Profile Perkebunan Kelapa Sawit
Berwawasan Konservasi

Gambar 1.1 Kerangka Penelitian

8

2 ANALISIS TUTUPAN LAHAN
AREAL PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Pendahuluan
Cerahnya prospek komoditas minyak kelapa sawit dalam perdagangan
minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia mengembangkan
usaha investasi perkebunan kelapa sawit secara lebih luas. Sebagai
konsekuensinya adalah kebutuhan lahan akan areal tanaman kelapa sawit juga
semakin meningkat, meskipun persoalan perluasan lahan menjadi terkendala
manakala pemerintah memberlakukan moratorium pembukaan lahan sawit baru
pada hutan alam primer dan lahan gambut untuk berbagai kepentingan selama dua
tahun terakhir sejak 2011 (GAPKI 2012) dan telah diperpanjang pada tahun 2013.
Secara global lahan perkebunan kelapa sawit telah bertambah tiga kali lipat sejak
tahun 1961 hingga mencapai lebih dari 15 juta hektar (FAO 2009, Fitzherber et al.
2008; Koh and Ghazoul 2008; Koh and Wilcove 2008a). Data lainnya
menunjukkan sejak tahun 1990an, luas areal yang ditanami kelapa sawit
meningkat 43% khususnya karena tingginya permintaan dari Negara India, China
dan Uni Eropa (RSPO 2011). Selama periode 1985-1997 perubahan hutan
menjadi perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit, memberikan kontribusi
signifikan terhadap berkurangnya tutupan hutan di Pulau Sumatera, Kalimantan
dan Sulawesi yang mencapai angka sekitar 2,4 juta ha (Holmes 2002), sementara
data analisa tutupan lahan yang dikompilasi oleh FAO menunjukkan bahwa
selama periode 1990-2005, sekitar 55%-59% perluasan kebun kelapa sawit di
Malaysia, dan sedikitnya 56% di Indonesia berasal dari tutupan lahan hutan (Koh
et al. 2008). Fitzherbert et al. (2008), Koh & Ghazoul (2008) mengungkapkan
bahwa perkebunan kelapa sawit diduga menjadi pendorong utama penggundulan
hutan di hutan tropis. Namun data lainnya menunjukkan terdapat lahan kurang
lebih seluas 60,5 juta hektar berupa areal penggunaan lainnya (APL), yang
umumnya oleh pemerintah daerah areal tersebut dicadangkan untuk
pengembangan perkebunan termasuk kelapa sawit. Artinya, masih terbuka
peluang memperoleh lahan untuk kelapa sawit dari hasil membuka areal berhutan
meskipun areal tersebut secara hukum bukan merupakan kawasan hutan. Data
sampai dengan tahun 2012 menunjukkan luas lahan kebun kelapa sawit di
Indonesia mencapai 9 juta hektar.
Minyak kelapa sawit diproduksi pada awalnya secara tradisional sebagai
bagian dari praktek pertanian campuran di Afrika Barat. Saat ini, produksi minyak
sawit telah berkembang pada skala industri sebagai tanaman pertanian monokultur
yang secara lingkungan berisiko serta memberi dampak bagi kehidupan
masyarakat lokal, khususnya orang-orang yang memiliki kemampuasn ekonomi
secara terbatas (Colchester 2010). Sebagai akibat dari berkembang dan
bergesernya praktek bertanam kelapa sawit secara besar-besaran tersebut,
memberikan konsekuensi pada perubahan penggunaan lahan dan atau tutupan
lahannya. Liliesand & Kiefer (2000) menyatakan bahwa perubahan lahan terjadi
karena manusia yang mengubah lahan pada waktu yang berbeda. Perubahan
penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian
atau perkebunan (Sitorus et al. 2006). Dalam kondisi ini akan terjadi perubahan

9

lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan. Sebagai
akibat dari terjadinya perubahan penggunaan lahan, maka akan tervisualisasikan
pada penutupan lahannya. FAO (1997a) dalam IPCC (2000) mengatakan bahwa
penutupan lahan adalah kemampuan tutupan fisik dan biologi dari daratan bumi,
seperti vegetasi. Sebaliknya, penggunaan lahan adalah keseluruhan dari rencana,
aktivitas, dan input yang manusia lakukan dalam sebuah tipe penutupan lahan
tertentu. Berbagai studi atau penelitian mengungkapkan bahwa penyediaan lahan
untuk berbagai kepentingan dengan cara membuka hutan telah menyebabkan
h