Bentuk-bentuk Ijarah
2.1. Bentuk-bentuk Ijarah
Dari segi objeknya ijarah terbagi kepada dua macam yaitu :
2.1.1. Ijarah yang bersifat manfaat. Pada ijarah ini khusus akad sewa menyewa manfaat benda, misalnya sewa menyewa rumah, toko, kendaraan dan lain-lain.
2.1.2. Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Yaitu dengan mempekerjakan seseorang melakukan suatu pekerjaan. Menurut ulama fiqih ijarah seperti ini adalah boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas. (Haroen, 2000, 236)
Ijarah ini berlaku dalam beberapa hal seperti menjahit pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu :
2.1.2.1. Ijarah Khusus Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya
orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah.
2.1.2.2. Ijarah Musytarak Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau
melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain. (Syafei, 2001, 133-134) Contohnya orang yang bekerja di perusahaan atau bekerja di bawah komando seorang pemborong.
Masalah yang tak bisa diabaikan dalam akad ijarah adalah pemenuhan hak pekerja dan hak atas upah yang layak. Persoalan upah dalam Islam tidak ada ketentuan rinci secara tekstual, baik dalam Al-Qur'an maupun dalam Sunnah Rasul. Namun secara umum ada beberapa ketentuan yang mengandung substansi pengupahan perspektif Islam, diantaranya yang terdapat dalam an-Nahl ayat 90
“ Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang melakukan perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl. 90) (Depag RI, 2002, 442)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah memerintahkan untuk berlaku adil dan berbuat dermawan kepada kaum kerabat. Menurut Chairul Pasaribu dalam bukunya Perjanjian Kerja
menyatakan bahwa kata “kerabat” dalam ayat di atas dapat diartikan dengan “tenaga kerja ”, sebab pekerja tersebut sudah merupakan bagian dari suatu perusahaan kalau bukan karena jerih payah pekerja tidak mungkin majikan dapat berhasil menyelesaikan pekerjaannya. (Pasaribu, 1994, 157)
Seseorang yang telah melakukan perjanjian kerja sama hendaknya menunaikan upah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 1:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu". (Depag RI, 2002, 84)
Ayat ini mengandung maksud jika majikan dengan pekerja melakukan akad kerja sama, misalkan majikan akan membayar upah pekerja setiap minggu atau setelah pekerjaan diselesaikan atau barangkali membayar upah perhari, maka wajib menunaikan akad yang telah disepakati itu.
Salah satu norma yang ditentukan Islam adalah memenuhi hak-hak pekerja. Islam tidak membenarkan jika seseorang pekerja mencurahkan jerih payahnya dan keringatnya sementara upah tidak didapatkan, dikurangi, dan ditunda-tunda. (Qardawi, 1997, 403)
Dalam pembahasan lain, menurut ketentuan fiqh muamalah, ijarah dibagi kepada 3 macam yaitu:
2.1.3. Sewa-menyewa tanah Melihat betapa pentingnya keberadaan tanah, Islam sebagai
agama yang luwes membolehkan persewaan tanah dengan prinsip kemaslahatan dan tidak merugikan para pihak, artinya antara penyewa yang menyewakan sama-sama diuntungkan dengan adanya persewaan tersebut. Sebagai agama yang mencintai perdamaian dan persatuan, Islam mengatur berbagai hal mengenai persewaan tanah agar terhindar dari kesalahpahaman dan perselisihan di antara para pihak yang melakukan perjanjian sewa-menyewa.
Dalam suatu perjanjian persewaan tanah, haruslah disebutkan secara jelas tujuan persewaan tanah tersebut, apakah untuk pertanian, mendirikan tempat tinggal atau mendirikan bangunan lainnya yang dikehendaki penyewa.
Bila persewaan tanah dimaksudkan untuk pertanian, maka penyewa harus menyebutkan jenis tanaman yang akan ditanaminya kecuali pemilik tanah memberikan kebebasan kepada penyewa untuk menanam sesuai dengan yang diinginkannya. Menurut Sayyid Sabiq, jika syarat yang tersebut di atas tidak terpenuhi, maka rusaklah sewa-menyewa tersebut, Bila persewaan tanah dimaksudkan untuk pertanian, maka penyewa harus menyebutkan jenis tanaman yang akan ditanaminya kecuali pemilik tanah memberikan kebebasan kepada penyewa untuk menanam sesuai dengan yang diinginkannya. Menurut Sayyid Sabiq, jika syarat yang tersebut di atas tidak terpenuhi, maka rusaklah sewa-menyewa tersebut,
Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah dalam perjanjian dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan penyewa dan pada hakikatnya akan menimbulkan persengketaan antara kedua pihak. Di samping itu penyebutan jenis tanaman yang akan ditanam akan berpengaruh terhadap waktu sewa dan dengan sendirinya berpengaruh pula terhadap jumlah uang sewa.
2.1.4. Sewa-menyewa binatang Dalam perjanjian sewa-menyewa binatang, hendaklah
disebutkan dengan jelas jangka waktu penyewaan, kegunaan atau tujuan penyewaan, apakah untuk alat pengangkutan atau untuk kepentingan lainnya.
Sebagaimana halnya dengan persewaan lainnya maka persewaan binatang juga mengandung resiko. Resiko dalam persewaan binatang adalah terjadinya kecelakaan atau matinya binatang sewaan. Bila binatang sewaan sejak awal sudah mempunyai cacat atau aib kemudian mati ketika dalam tanggungan penyewa maka persewaan menjadi batal. Tetapi bila binatang tersebut tidak cacat kemudian terjadi kecelakaan dan mati ketika berada dalam tanggungan penyewa maka persewaan itu tidak batal dan orang yang menyewakan wajib menggantinya. (Sabiq, 1987, 30)
2.1.5. Sewa-menyewa toko dan rumah
Toko merupakan tempat seseorang menjalankan usahanya dengan cara berdagang. Tidak semua orang bisa mempunyai toko pribadi, tetapi bila seseorang berkeinginan untuk meningkatkan taraf hidupnya dengan cara berdagang. Islam memberikan kemudahan dengan membolehkan persewaan toko atau rumah untuk dijadikan tempat usaha atau sebagai tempat tinggal.
Ulama fiqh yang sangat populer pembahasannya tentang persewaan toko dan rumah adalah ulama Hanafiyah. Mereka memasukkan persewaan toko dan rumah ke dalam pembahasan barang-barang yang sah disewakan, di samping persewaan tanah, binatang, tenaga manusia dan pakaian. Menurut beliau toko-toko dan rumah-rumah boleh disewakan tanpa disertai dengan penjelasan tentang tujuan penyewaan. (Al-Jaziry, tt, 129)
Berdasarkan pendapat ulama Hanafiyah tersebut di atas dapat dipahami, bahwa penyewa mempunyai kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya dalam batas-batas yang wajar, artinya tidak mengakibatkan kerusakan pada bangunan yang disewa. Namun wajib menggantikannya apabila terjadi kerusakan terhadap rumah atau toko yang dikhususkan untuk didiami namun dipergunakan untuk kepentingan lain.
Pada dasarnya Islam membolehkan persewaan berbagai barang yang mempunyai manfaat dan memberikan keuntungan kepada manusia. Islam hanya memberikan batasan-batasan agar terciptanya kerja sama yang baik antar berbagai pihak dan terlaksananya prinsip sewa-menyewa itu sendiri yaitu "keadilan" dan "kemurahan hati", sesuai dengan firman Allah dalam surat an-
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebaikan... (QS. an-Nahl: 90)
Selain itu, tidak saling menzalimi antara kedua belah pihak (penyewa dan yang menyewakan), sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 279:
( ۲٧۹ : ةارقبلا .) …. ...Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) teraniaya. (QS. Al-
Baqarah: 279) Berlaku adil dan berbuat kebajikan menjadi kewajiban setiap
muslim dalam segala aktivitas kehidupan, begitu pula dengan perintah Allah untuk tidak saling menyakiti dan menganiaya orang lain. Dalam hubungannya dengan sewa-menyewa merupakan suatu bentuk transaksi bisnis yang melibatkan banyak pihak, sehingga dituntut untuk berlaku adil dan saling menghormati.