Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembayaraan Uang Cas Akibat Pembatalan Sewa Menyewa Bus pada PO. Jasa Malindo.

2. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembayaraan Uang Cas Akibat Pembatalan Sewa Menyewa Bus pada PO. Jasa Malindo.

Sewa menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atau manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Hukum dari sewa menyewa adalah mubah atau diperbolehkan. Contoh sewa menyewa dalam kehidupan sehari-hari misalnya seperti kontrak mengontrak gedung kantor, sewa lahan tanah untuk pertanian, menyewa/carter kendaraan, sewa menyewa vcd dan dvd original, dan lain-lain.

Pada sewa menyewa harus ada barang yang disewakan, penyewa, pemberi sewa, imbalan dan kesepakatan antara pemilik barang dan yang menyewa barang. Penyewa dalam mengembalikan barang atau aset yang disewa harus mengembalikan barang secara utuh seperti pertama kali dipinjam tanpa berkurang maupun bertambah, kecuali ada kesepatan lain yang disepakati saat sebelum barang berpindah tangan.

Berdasarkan kasus pembayaran uang cas akibat pembatalan sewa menyewa seperti yang dilakukan oleh PO. Jasa Malindo, seperti yang

ijarah bersifat mengikat, tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat udzur dari salah satu pihak yang berakad seperti, salah satu pihak wafat, atau kehilangan kecakapan bertindak dalam hukum. Jumhur ulama berpendapat bahwa akad ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan (Ghazali dkk, 2010, 283- 284). Akibat perbedaan pendapat ini terlihat dalam kasus apabila salah seorang meninggal dunia. Menurut ulama Hanafiyah, apabila salah seorang yang berakad meninggal dunia, maka akad ijarah batal, karena manfaat tidak boleh diwariskan. Akan tetapi jumhur ulama mengatakan bahwa itu boleh diwariskan karena termasuk harta. Oleh karena itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad ijarah.

Sementara itu, menurut Hendi Suhendi akad menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:

1) Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa.

2) Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah dan runtuhnya bangunan gedung.

3) Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit.

4) Telah tepenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan (berakhirnya masa sewa).

5) Menurut Imam Hanafi salah satu pihak yang berakad boleh membatalkan ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, atau objek ijarah hilang atau musnah.

6) Pembatalan akad atau ada udzhur dari salah satu pihak.

Jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang bergerak) seperti, kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya langsung pada pemiliknya. Jika berbentuk barang yang tidak dapat berpindah (barang yang tidak bergerak) seperti, rumah, tanah, bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong seperti, keadaan semula.

Jadi dari paparan di atas dapat diketahui bahwa perbuatan hukum yang meliputi perjanjian-perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Mengenai apa yang telah diperjanjikan, masing-masing pihak haruslah saling menghormati terhadap apa yang telah mereka perjanjikan. Sebagaimana firman Allah yang terdapat dalam surat Al Maidah ayat 1 yang berbunyi:

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. (QS. Al Maidah: 1) (Depag RI, 2002, 158)

Ayat di atas dijelaskan bahwa akad atau perjanjian itu termasuk janji kepada Allah, dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia Ayat di atas dijelaskan bahwa akad atau perjanjian itu termasuk janji kepada Allah, dan juga meliputi perjanjian yang dibuat oleh manusia

Sewa menyewa, seperti halnya jual beli dan perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual. Artinya, ia sudah sah dan mengikat pada detik tercapainya kesepakatan mengenai dua unsur pokoknya, yakni barang dan harga (Subekti, 1995, 39). Berdasarkan Pasal 1233 dalam R Subekti, maka kontrak sewa menyewa mobil rental, tergolong perikatan yang bersumber dari perjanjian. Perjanjian rental mobil antara perusahaan rental dan perusahaan pemakai, termasuk perjanjian tertulis, dan sudah dianggap sah, karena dalam kontrak ini, sudah tercantum dua unsur pokok kesepakatan, yakni barang dan harga. Pemakai berhak atas kenikmatan tertentu, karena telah membayar sejumlah harga (Subekti, 1995, 39).

Kerugian ataupun ganti rugi adalah hal yang cukup pokok dalam hukum kontrak, khususnya untuk kontrak komersil. Apapun pengaturan hukum kontrak, seluruh tujuannya adalah kontrak tersebut bisa dipatuhi. Sebab, jika ada pelanggaran terhadap kontrak yang telah dibuat oleh para pihak, maka pengaturan terhadap pelanggaran harus dibuat seadil- adilnya.

Kata “kerugian” berasal dari kata “rugi”. BW pun merinci kerugian dalam arti luas ke dalam tiga kategori, antara lain; (1) Biaya

(2) Kerugian (dalam arti sempit) (3) Bunga

Biaya yang dimaksud di atas adalah setiap cost yang harus dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, Biaya yang dimaksud di atas adalah setiap cost yang harus dikeluarkan secara nyata oleh pihak yang dirugikan. Dalam hal ini,

Sementara itu, yang dimaksud dengan kerugian (dalam arti sempit), adalah merosotnya atau berkurangnya nilai kekayaan kreditur, sebagai akibat adanya wanprestasi dari pihak debitur. Misalnya terhambatnya operasional untuk menagih nasabah, akibat pihak penyewa menunda penyerahan mobil sewa yang sudah disepakati dalam kontrak

sebelumnya. Dalam kajian fiqih, perbincangan masalah Ijarah oleh ulama fiqih

dimasukkan ke dalam kategori mu’amalah. “Mu’amalah itu sendiri dimaksudkan oleh ulama adalah sebagai bentuk pengaturan hubungan

sesama manusia demi menciptakan kemashlahatan dan menolak mafsadat (mudharat)”, di dalamnya (Syaltut, 1966, 11-12). Sejalan

dengan ini, Ahmad Husnain menyatakan: “bahwa Islam telah menetapkan syarat kepemilikan yang mengacu kepada “terciptanya

maslahat jama’ah”( Husnain, 1413 H, 45)

Artinya : “tidak boleh memudharatkan dan dimudharatkan”.

Di sini kelihatan semakin jelas bahwa hukum Islam mempunyai konsep dan tujuan demi kepentingan masyarakat dan hukum Islam juga mencela dan sama sekali tidak mentolerir perbuatan warga masyarakat

yang menimbulkan kerugian bagi sesamanya. maksudnya “seseorang tidak boleh merugikan orang lain, baik ia memperoleh manfaat dari yang menimbulkan kerugian bagi sesamanya. maksudnya “seseorang tidak boleh merugikan orang lain, baik ia memperoleh manfaat dari

Apa bila dikaitkan dengan masalah praktek sewa menyewa dalam PO Jasa Malindo, yaitu adanya praktek pembayaraan uang ganti rugi akibat pembatalan sewa menyewa bus pada PO. Jasa Malindo, tentu saja menjadi sebuah kajian fiqh dalam Islam terutama yang berkaitan dengan Muamalah, karena memang dalam fiqh Muamalah ini salah satunya dibahas tentang masalah sewa menyewa atau Ijarah.

Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam d alamcabang fiqh muamalah juga mengakui adanya ganti rugi, yang disebut dengan dhamam.

Ganti rugi (dhamam) dapat dilakukan jika adanya unsur ta’addi, yaitu melakukan perbuatan terlarang dan atau tidak melakukan kewajiban menurut hukum. Ta’addi dapat terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad yang sepertinya harus dipenuhi. Misalnya, penerima titipan barang tidak sebagaimana mestinya, seorang yang menyewakan dengan penyewa sama tidak komitmen terhadap akad yang mereka sepakati.

Ta’addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum syariah ( mukhalafatu ahkâm syari’ah) seperti pada kasus perusakan barang( al- itlâf),perampasan (al-gasb), maupun kelalaian atau penyia-nyiaan barang secara sengaja (al-ihmâl).

Dhaman sendiri ditetapkan untuk melindungi hak-hak individu. Kewajiban pada dhaman bertujuan untuk mengganti atau menutupi (al- jabru) kerugian pada korban. Ganti rugi hanya dibebankan pada debitur yang ingkar janji apabila kerugian yang dialami oleh kreditur memiliki Dhaman sendiri ditetapkan untuk melindungi hak-hak individu. Kewajiban pada dhaman bertujuan untuk mengganti atau menutupi (al- jabru) kerugian pada korban. Ganti rugi hanya dibebankan pada debitur yang ingkar janji apabila kerugian yang dialami oleh kreditur memiliki

1. Adanya ingkar janji yang dapat dipersalahkan.

2. Adanya ingkar janji itu menimbulkan kerugian bagi pihak kerditor

3. Kerugian kreditor disebabkan oleh (memiliki hubungan sebab-

akibat dengan) perbuatan ingkar janji debitur. (Harahap, 1986: 897)

Ketentuan Allah yang berkaitan dengan hukum muamalah pada dasarnya memperbolehkan sewa menyewa selama tidak merugikan salah satu pihak yang melakukan transaksi. Apabila ada dalam transaksi yang merugikan dan memenuhi dua syarat dalam jual beli/ sewa menyewa maka ransaksi dengan menggunakan uang cros tersebut tidak sah. Adapun syarat batil tersebut yaitu syarat memberikan uang cros dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha.

Oleh karena memang tujuan hukum Islam adalah untuk menciptakan kemaslahatan (maslahah) bagi seluruh ummat manusia, sehingga dapat dikatakan bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh alam. Menurut Lahmuddin Nasuti on, dalam kajian syari’at, “kata maslahah dapat dipakai sebagai istilah untuk mengungkapkan pengertian yang khusus, meskipun tidak lepas dari arti aslinya. Sedangkan arti mashlahah adalah menarik manfaat atau menolak mudharat ” (Nasution, 2001, 127).

Maslahah adalah segala bentuk, baik material maupun nonmaterial, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa maslahat adalah sesuatu yang banyak mendatangkan manfaat atau kebaikan.

Maka berdasarkan uraian di atas penulis mengambil kesimpulan bahwa ganti rugi akibat pembatalanan sewa menyewa bus seperti yang dialami oleh Jendri dan kawan-kawannya ketika melakukan penyewaan pada Bus Jasa Malindo tidaklah sah, karena tidak mengandung unsur- unsur kemaslahatan yang merupakan tujuan dari hukum Islam, karena perjanjian ganti rugi tidak diberitahukan apabila penyewa tetap memakai PO Jasa Malindo walaupun bus yang dipakai tidak sesuai dengan yang dipesan.