BAB I PERIODE KEMERDEKAAN INDONESIA (1945-1949

BAB I
PERIODE KEMERDEKAAN INDONESIA
(1945-1949)
A. Makna Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
1. Kelahiran PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia)
Sejarah mencatat munculnya pergolakan politik akibat kehadiran Belanda yang
membonceng sekutu. Dalam situasi perjuangan melawan sekutu itulah, dilangsungkan
Kongres Pendidik Bangsa. Kongres I yang berlangsung tepat 100 hari setelah Proklamasi
Kemerdekaan. Kongres ini diselenggarakan di Sekolah Guru Putri (SGP) di Surakarta, Jawa
Tengah, yang digerakkan dan dipimpin oleh para tokoh guru, Amin Singgih, RH. Koesnan dan
kawan-kawan. Kongres selama dua hari, tanggal 24-25 November 1945 tersebut melahirkan
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai wadah perjuangan kaum guru turut serta
menegakkan dan mempertahankan serta mengisi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka.
Lahirnya PGRI telah menghapus segala bentuk perpecahan di antara kelompok guru
akibat perbedaan ijazah di lingkungan pekerjaan dan lingkungan daerah, aliran politik atau
perbedaan agama dan suku. Hal itu selaras dengan azas, tujuan dan cita-cita PGRI yang juga
selaras dengan Proklamasi Kemerdekaan.
Kongres PGRI I telah merumuskan 4 tujuan mulia PGRI, yaitu:
a. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
b. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran dengan dasar kerakyatan.

c. Membela hak dan nasib buruh umumnya, serta hak dan nasib guru khususnya.
d. PGRI merupakan organisasi pelopor perjuangan.
2. Perjalanan Sejarah Kelahiran PGRI
Lahirnya PGRI bukanlah hal yang mendadak, lahirnya PGRI merupakan kelanjutan dari
perjuangan para guru sejak masa penjajahan Belanda, yaitu PGHB (Persatuan Guru Hindia
Belanda) dan perjuangan para guru masa pendudukan tentara Jepang, yaitu PGI (Persatuan
Guru Indonesia), apalagi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Untuk lebih jelas berikut ini
lintasan sejarah bangsa yang mempengaruhi kelahiran PGRI:
 Masa Pergerakan Nasional 1900-1942
Pergerakan Nasional adalah masa lahirnya kesadaran nasional bangsa Indonesia.
Sadar sebagai satu bangsa Indonesia tanpa membedakan suku, agama dan keturutan.
Masa ini ditandai dengan lahirnya organisasi Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang
selalu kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Yang segera diikuti oleh
munculnya organisasi-organisasi lain seperti Muhammadiyah, NU, SDI, NIP, Perhimpunan
Indonesia, PNI, Parindra dan lain-lain.
 Perang Dunia II 1939-1945
Perang ini mula-mula terjadi di Eropa dan Afrika Selatan, kemudian sejak tanggal 08
Desember 1941 meluas ke Asia pasifik. Pada tanggal 08 Maret 1942 di Kalijati Gubernur
jenderal Hindia Belanda menandatangani naskah penyerahan kekuasaan atas Indonesia
kepada Panglima Tentara Jepang Jenderal Imamura. Pendudukan tentara Jepang di tanah

air kita, berarti berakhirnya masa penjajahan Belanda di Indonesia.
 Perang Dunia di Asia Pasifik berakhir
Pada tanggal 1 Agustus 1945 tentara sekutu memberikan ultimatum kepada tentara
Jepang, agar segera menyerah kepada tentara sekutu, namun ultimatum tersebut ditolak
oleh tentara Jepang. Karena tidak mengindahkan ultimatum tersebut, maka pada tanggal
6 dan 8 Agustus 1945 tentara sekutu menjatuhkan bom atom di atas kota Hiroshima dan
Nagasaki. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Kaisar Jepang secara resmi melalui radio NHK



memerintahkan para tentara Jepang untuk meletakkan senjara dan menyatakan
menyerah tanpa syarat kepada tentara sekutu.
Tentara Pendudukan Sekutu
Setelah tentara Jepang menyatakan menyerah pada sekutu, maka tentara sekutu
kemudian mengirimkan tentaranya ke tanah iari yang terdiri dari 3 (tiga) Divisi Tentara
Kerajaan Inggris yang diesbut AFNEI (Alied Forces for Nedherland Indien) yang
mempunyai tugas:
a) Melucuti dan memulangkan tentara Jepang ke tanah airnya
b) Mengambil alih kekuasaan tentara Jepang atas Indonesia dan selanjutnya
menyerakan kepada tentara Belanda.

c) Mengurus para tawanan perang, yaitu orang-orang yang selama perang Dunia II
ditawan oleh Tentara Jepang.

B. Peran PGRI di Masa Kemerdekaan
1. Kongres PGRI I, tanggal 24-25 November 1945
Kongres PGRI I yang berlangsung 100 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan turut
membantu membangkitkan semangat para guru. Hal ini sejalan dengan tujuan PGRI ketika
didirikan, yaitu memperkuat berdirinya Republik Indonesia. Dengan tujuan tersebut PGRI
merupakan salah satu organisasi perjuangan yang ada saat itu. Perjuangan tersebut bukan
saja dilakukan melalui bangku sekolah, tetapi para guru juga turut berjuang mengangkat
senjata melawan sekutu yang tidak berperan sesuai dengan tujuan kedatangan mereka ke
Indonesia. NICA (Nedherland Indis Civil Administration) yang membonceng pada sekutu
berusaha kembali menguasai Indonesia, rakyat Indonesia yang tidak mau dijajah kembali
bahu membahu bersama Tentara Keamanan (TKR) mengangkat senjata melawan tentara
sekutu/Belanda. Demikian pula para guru, mereka rela meninggalkan tugasnya untuk
berjuang mempertahankan kemerdekaan yang telah mereka miliki.
Kongres PGRI I ini dihadiri oleh lebih kurang 300 orang guru, wakil-wakil dari seluruh
pulau Jawa, sedang wakil-wakil dari luar pulau Jawa tidak dapat hadir karena sulitnya
transportasi dan komunikasi saat itu. Kongres PGRI I di Surakarta ini merupakan kongres yang
melahirkan satu-satunya organisasi profesi bagi guru, yaitu PGRI yang membawa tugas:

a) Mempersatukan para guru dalam tugas mengubah sistem pendidikan kolonial menjadi
sistem pendidikan nasional.
b) Mempersatukan para guru agar tidak terpecah-pecah dan ikut serta dalam perjuangan
menegakkan dan memepertahankan kemerdekaan.
2. Bentuk Perjuangan Guru dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Proklamasi membawa perubahan besar, dari kehidupan bangsa yang terjajah menjadi
kehidupan bangsa yang merdeka dan berdiri sendiri. Di bidang ekonomi, ekonomi yang
hanya untuk kepentingan penjajah harus dirubah menjadi ekonomi nasional untuk
kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pertanian tanaman ekspor di masa
penjajahan harus diubah menjadi pertanian tanaman pangan, terutama untuk rakyat. Dan
pendidikan kolonia harus segera diubah menjadi pendidikan nasional untuk membina dan
mendidik anak-anak Indonesia yang berjiwa merdeka, bertanggung jawab kepada bangsa
dan tanah airnya sendiri.
Dalam perjuangan mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan, para guru disamping
berjuang melalui bangku sekolah/pendidikan tetapi juga ikut berjuang bergabung menajdi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melawan Belanda. Mereka rela meninggalkan tugas untuk
berjuang mempertahankan kemerdekaan, demikian pula dengan para guru wanita banyak
yang ikut berjuang di dapur-dapur umum atau menjadi anggota Palang Merah Indonesia
(PMI). Tidak sedikit dari para guru yang gugur di medan perang sebagai pahlawan bangsa.


Seperti kita ketahui setelah proklamasi 17 Agustus 1945 di seluruh tanah air di bentuk
TKR dan laskar-laskar perjuangan, untuk mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan.
BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan
selanjutnya TNI (Tentara Nasional Indonesia) beranggotakan eks KNIL, eks Heiho dan juga eks
tentara PETA. Sedangkan laskar-laskar perjuangan beranggotakan para pemuda-pemuda
Indonesia yang terpanggil untuk ikut membela kemerdekaan 1945-1949. Berikut proses
sejarah berdirinya TNI:
BKR
(Badan Keamanan
Rakyat)
TRI
(Tentara Republik
Indonesia)

TKR
(Tentara Keamanan
Rakyat)
TNI
(Tentara Nasional
Indonesia)


Laskar-laskar perjuangan 1945:
 BPRI (Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia)
 TRM (Tentara Rakyat Mataram)
 KRIS (Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi)
 Hisbullah
 Laswi (Laskar Wanita)
 Barisan Bambu Runcing
 Batalyon 400
 Barisan Banteng
 TP (Tentara Pelajar)
 TRIP (Tentara republik Indonesia Pelajar)
 Sabilillah dan laini-lain

TKR
(Tentara Keselamatan
Rakyat)

BAB II
PERAN PGRI DI MASA PERJUANGAN FISIK

(1945-1949)
A. Peran PGRI di Masa Perjuangan Fisik
1. Mengubah Sistem Pendidikan Kolonial Menjadi Sistem Pendidikan Nasional
Mengubah sistem pendidikan tidaklah mudah dan memerlukan pemikiran yang
matang. Yang dilakukan oleh para guru di bawah pimpinan PB PGRI adalah menyesuaikan
materi-materi pelajaran yang ada, buku-buku pelajaran yang dicetak di masa penjajahan
Belanda tentu isinya tidak sesuai lagi dengan keadaan setelah Indonesia merdeka. Khususnya
buku bacaan dan pelajaran sejarah, ilmu bumi, ilmu alam dan sebagainya yang secara umum
isi pelajaran di masa penjajahan Belanda bersifat untuk merendahkan harkat dan martabat
bangsa Indonesia, dengan tujuan untuk menanamkan rasa rendah diri. Dimana waktu itu
penduduk Indonesia dibagi menjad 3 golongan:
 Golongan Eropa
 Golongan Timur Asing
 Golongan Pribumi
 Golongan Eropa adalah golongan penduduk yang berasal dari Belanda, Inggris,
Perancis, yang merupakan golongan masyarakat kelas atas.
 Golongan Timur Asing adalah golongan penduduk yang berasal dari Tionghoa, India,
Arab, yang merupakan golongan penduduk kelas menengah atau kelas dua.
 Golongan Pribumi adalah golongan penduduk asli Indonesia yang merupakan
golongan penduduk kelas terendah di kelasnya dengan hak-hak terbatas.

Buku-buku bacaan yang merendahkan derajat rakyat Indonesa segera diganti, bukubuku pelajaran lain dalam bahasa Belanda harus diterjemahkan atau diganti dengan bahasa
Indonesia. Buku-buku sejarah Belanda yang menulis mengenai Pangeran Diponegoro, Untung
Surapati, Thomas Matulessy dan lain-lain adalah penjahat dan pemberontak maka harus
diluruskan kebenarannya, bahwa beliau-beliau adalah pahlawan pembela kebenaran dan
keadilan. Sedangkan Kapten J.P Coen, Kapten Maatsuyker, Kapten de Kock adalah penindas,
pemeras dan pembunuh yang semena-mena.
Bagi PGRI pada waktu itu yang paling penting adalah mengajak para guru untuk
mengubah sikap anggotanya. Mengubah sikap memperlakukan siswa sebagai tunas-tunas
bangsa, bukan lagi sebagai anak-anak tanah jajahan. Anak-anak didik harus diberi bimbingan
ke arah perkembangan yang seluas-luasnya dan didorong untuk mengejar cita-cita yang
setinggi-tingginya. Tidak seperti pada masa penjajahan Belanda yang dibimbing sekedar asal
membaca, menulis dan berhitung dengan sedikit pengetahuan, juga dibina kepada sifat
pasrah dan patuh sampai mati sebagai rakyat jajahan. Disinilah letak peran penting bagi para
guru di masa kemerdekaan dibandingkan pada masa penjajahan.
2. Kongres PGRI II di Surakarta tanggal 21-23 November 1946
Perang kemerdekaan yang berlangsung sejak 1945-1949 ini merupakan masa sulit
yang turut menguji kebulatan tekad anak bangsa untuk mempertahankan kemerdekaannya,
termasuk para guru. Di tengah situasi politik dan keamanan yang bergejolak, PGRI melakukan
kongres II pada tanggal 21-23 November 1946 di Surakarta. Kongres II ini menghasilkan 3
tuntutan yang diajukan kepada pemerintah, yaitu:

a) Sistem pendidikan agar dilakukan atas dasar kepentingan nasional
b) Gaji guru supaya jangan dihentikan
c) Diadakannya Undang-undang Pokok Pendidikan dan Undang-undang Pokok Perburuhan.

3. Kongres III PGRI di Madiun
Sedangkan kongres PGRI III diselenggarakan di tengah berkecamuknya perang
kemerdekaan, yaitu pada tanggal 27-29 Februari 1948 di Madiun. Kongres yang berlangsung
dalam suasana darurat menghasilkan keputusan:
a) Menghapus Sekolah Guru C, yaitu pendidikan guru 2 tahun setelah Sekolah Rakyat.
b) Membentuk komisariat-komisariat daerah pada setiap karesidenan.
c) Menerbitkan majalah Sasana Guru (Suara Guru)
B. Perjuangan Diplomasi dalam Mengakhiri Kekuasaan Belanda
Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak hanya
menggunakan kekuatan senjata dalam melawan penjajah Belanda tetapi juga perjuangan dalam
bentuk Diplomasi atau perundingan-perundingan dengan Belanda.
1. Perjanjian Linggarjati
Jarak antara Kongres PGRI I, II, dan III terasa amat dekat, ini membuktikan semangat
para guru yang ingin mewujudkan persatuan diantara para guru, sesuai dengan tuntutan
yang mendesak dari perjuangan bangsa saat berkonfrontasi dengan Belanda. Seperti kita
ketahui Kongres PGRI II berlangsung dalam suasana perpecahan nasional akibat dari hasil

Perundingan Linggarjati tanggal 10-15 November 1946, ternyata mendapat reaksi keras dari
tokoh-tokoh pemimpin Indonesia lainnya. Mereka menganggap isi keputusan Linggarjati
merupakan kekalahan dan kemunduran pemerintah dalam menegakkan dan
mempertahankan keerdekaan negara Kesatuan republik Indonesia, karena wilayah Indonesia
menjadi sempit.
Isi dari perundingan Linggarjati tersebut yaitu:
a) Belanda mengakui secara de fakto Republik Indonesia atas wilayah pulau Jawa, Madura
dan Sumatera.
b) RI dan Belanda sepakat akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat dengan
nama RIS yang salah satu Negara bagiannya adalah Negara RI.
c) Negara RIS dan Kerajaan Belanda akan menjadi Uni Indonesia-Belanda (Comoonwealth)
dengan mahkota Kerajaan Belanda sebagai Kepala Uni.
Kongres PGRI III tanggal 27-29 Februari 1948 juga diselenggarakan dalam situasi kemelut
akibat tuntutan dari pihak Belanda agar Republik Indonesia mengakui garis Demarkasi Van
Mook dan agar TNI ditarik dari kantong-kantong pertahanan di Jawa Barat dan Jawa Timur ke
ibukota RI Yogyakarta. Sebagai realisasi dari Perundingan Linggarjati maka Belanda segera
mendirikan negara-negara boneka, yaitu:
 Negara Indonesia Timur
 Negara Madura
 Negara Sumatera Timur

 Negara Pasundan
 Negara jawa Timur
 Negara Jawa Tengah
Negara-negara boneka ini dimaksudkan untuk memecah belah perjuangan bangsa
Indonesia, kepala-kepala pemerintahannya sudah tentu boneka-boneka atau pengikut
Belanda. Dengan negara-negara boneka ini Belanda bermaksud memperkecil pengaruh
kekuasaan RI dan juga untuk mengelabui dunia bahwa seolah-olah Belanda hendak
memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
2. Perundingan Renville
Agresi Militer Belanda I ini mendapat kecaman keras dari negara-negara di kawasan Asia
dan negara-negara anggota PBB, sehingga pada tanggal 1 Agustus 1947 Dewan Keamanan

PBB memerintahkan kepada kedua belah pihak, RI-Belanda segera mengadakan gencatan
senjata dan maju ke meja perundingan. Untuk mengawasi jalannya gencatan senjata dan
perundingan maka tanggal 6 September 1947 PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN)
yang terdiri dari Australia (Richard Kerby), Belgia (Paul Van Zuland) dan Amerika Serikat (Dr.
Frank Graham). Setibanya di Jakarta kemudian KTN mengadakan pendekatan-pendekatan
kepada kedua belah pihak agar segera melaksanakan perundingan, atas usul KTN
perundingan RI-Belanda dilakukan di atas sebuah kapal milik Angkatan Laut Amerika Serikat,
yaitu USS Renville di pelabuhan Teluk Jakarta.
Dalam perundingan Renville delegasi RI diwakili oleh Perdana Menteri Amir
Syarifoeddin, sedangkan pihak Belanda diwakili oleh R. Abdoelkadir Widjojoatmodjo
(seorang Indonesia yang memihak Belanda). Belanda sengaja menggunakan orang Indonesia
agar dapat memenangkan perundingan tersebut. Setelah melalui perdebatan yang sengit
akhirnya pada tanggal 17 Januari 1948 Perjanjian Renville ditandatangani.
Isi dari Perjanjian Renville adalah sebagai berikut:
a) Sepuluh pasal persetujuan gencatan senjata
b) Enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian konflik,
antara lain:
 Belanda memegang kedaulatan atas Indonesia sampai pengakuan kedaulatannya
kepada Negara RIS yang merdeka
 RI menjadi bagia dari RIS
 Sebelum pemerintah federal terbentuk, maka RI harus mempunyai wakil-wakil
yang layak dalam tiap-tiap Pemerintahan Federal Sementara
 Akan diadakan plebisit di wilayah Jawa, Madura dan Sumatera untuk
menentukan masuk RI atau RIS
Setelah perjanjian Renville ditandatangani terjadi pro dan kontra pada bangsa Indonesia,
sebab hasil perjajian Renville ternyata sangat merugikan pihak Indonesia, karena kedudukan
Indonesia semakin terdesak, wilayahnya sempit dan memberi peluang kepada meluasnya
kekuasaan Belanda.
3. Perundingan Roem-Roijen
Untuk melaksanakan resolusi dewan keamanan PBB maka pada tanggal 17 April 1949
Belanda dan RI mengadakan pertemuan di Hotel Des Indes (sekarang Hotel Duta Merlin,
Jakarta). Dalam pertemuan tersebut delegasi RI dipimpin oleh Mr. Moh. Roem dan delegasi
Belanda oleh Dr. J.H. Van Roijen, sehingga dikenal dengan Perundingan Roem-Roijen di
bawah pengawasan UNCI (United Nation Commission for Indonesia) yang dipimpin oleh
Merle Cochran. Setelah melalui perdebatan sengit, maka akhirnya pada tanggal 7 Mei 1949
tercapai persetujuan Roem-Roijen, yang isinya sebagai berikut:
a) Belanda harus meninggalkan Yogyakarta
b) TNI memasuki kota Yogyakarta
c) Presiden dan Wakil Presiden kembali ke ibukota Yogyakarta
d) Panglima Besar Jenderal Soedirman kembali ke Yogyakarta dari persembunyiannya
e) PDRI mengembalikan mandatnya kepada pemerintah di Yogyakarta
4. Konferensi Meja Bundar (KMB)
Sebagai tindak lanjut dari perundingan-perundingan antara RI-Belanda, seperti
perjanjian Linggarjati, perjanjian Renville, Resolusi DK PBB dan perjanjian Roem-Roijen
membawa keduanya ke Konferensi Meja Bundar (KMB) yang akan dilaksanakan pada tanggal
23 Agustus 1949 di Den Haag Belanda. Delegasi yang akan menghadiri KMB yaitu:
a) RI di bawah pimpinan Perdana Menteri Drs. Moh. Hatta
b) BFO (Badan Permusyawaratan Negara-negara Federal) yang merupakan gabungan 15
negara boneka bentukan Belanda dipimpin oleh Sultan Hamid II.

c) Belanda dipimpin oleh J.H. Maaeseveen.
d) UNCI diwakili oleh H.M. Cochran dan Romanos.
Konferensi Meja Bundar akhirnya menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a) Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh dan tanpa syarat
kepada RIS.
b) Masalah Irian Barat ditunda dan akan diadakan perundingan lagi dalam waktu satu tahun
setelah penyerahan kedaulatan kepada RIS.
c) Status RIS dengan Kerajaan Belanda terikat dalam suatu Uni Indonesia-Belanda yang
dikepalai oleh Ratu Belanda.
d) Tentara Belanda akan ditarik dari Belanda dan akan dilakukan pembubaran KNIL (Tentara
Hindia Belanda) yang akan digabungkan ke dalam Angkatan Perang RIS.
Sebagai realisasi dari hasil keputusan KMB maka dibentuklah Negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) yang mencakup 15 negara bagian yang tergabung dalam BFO dan Negara RI.
Secara aklamasi Ir. Soekarno terpilih menjadi Presiden RIS yang beribukota di Jakarta dan Drs.
Moh. Hatta terpilih menjadi Perdana Menteri RIS. Sedangkan Mr. Asaaát, SH terpilih menjadi
pejabat Presiden RI yang berkedudukan di ibukota RI Yogyakarta.
Negara RIS secara resmi berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 yang terdiri dari
Negara-negara bagian, yaitu:
a) Negara bagian yang meliputi Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Pasundan, Negara
Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur dan Republik Indonesia.
b) Satuan-satuan kenegaraan, yang meliputi Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau,
Kalimantan Timur, Daerah Istimewa dan Kalimantan Barat.
c) Daerah swapraja (daerah pemerintahan sendiri), yang meliputi Kota Waringin, Sabang
dan Padang.

BAB 3
PERIODE DEMOKRASI LIBERAL
(1950-1959)
A. Masa Demokrasi Liberal
1. Penyimpangan pemerintah pada masa demokrasi liberal
Penyimpangan ini terbukti dengan sering jatuh bangunnya kabinet pada demokrasi
liberal (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959). Dalam kurun waktu 9 tahun terjadi 7 kali pergantian
kabinet yang dijatuhkan oleh parlemen. Pada masa demokrasi liberal ini ditandai oleh
ketidakstabilan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan negara.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat buruk dan tidak menentu. Sementara kaum
politisi sibuk dengan kepentingannya sendiri, berebut kursi dan jabatan dalam pemerintahan.
Pembangunan nasional sulit untuk dilaksanakan karena negara tidak stabil.
Berikut ini ciri-ciri pemerintahan pada masa demokrasi parlementer (1950 – 1959),
yaitu:
a) Kabinet pemerintahan yang sering berganti. Selama 9 tahun telah terjadi 7 kali
pergantian kabinet.
b) Pemerintahan tidak stabil dan diwarnai oleh perebutan pengaruh antar partai politik.
c) Presiden hanya bertindak sebagai kepala Negara, sedangkan kekuasaan pemerintahan di
tangan kabinet atau menteri.
d) Masa dimana kepentingan rakyat terabaikan, pembangunan tidak ada, demikian pula
dengan perbaikan ekonomi.
Ketidakstabilan politik pada masa demokrasi liberal tampak jelas dari jatuh bangunnya
kabinet parlementer. Dalam kurun waktu 9 tahun (1950 – 1959) terjadi pergantian kabinet,
yaitu:
a) Kabinet Natsir dari partai Masyumi (27 April 1950 – 21 Maret 1951).
b) Kabinet Soekirman koalisi dari partai Masyumi dan PNI (27 April 1951 – 23 Februari
1952).
c) Kabinet Wilopo dari partai PNI (3 April 1952 – 3 Juni 1953).
d) Kabinet Ali Wongso koalisi dari PNI dan NU (1 Agustus 1953 – 24 Juli1955).
e) Kabinet Burhanuddin Harahap dari partai Masyumi (12 Agustus 1955).
f) Kabinet Ali Sastroamodjojo II dari PNI (24 Maret 1956).
g) Kabinet Djuanda yang bersifat non partai (9 April 1957 – 10 Juli 1959).
Masalah lain yang menonjol dalam penyelenggaraan kehidupan rakyat pada masa
demokrasi liberal adalah munculnya gangguan-gangguan keamanan akibat pemberontakanpemberontakan daerah sebagai wujud ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah.
Pemberontakan tersebut, antara lain:
a) Pemberontakan DI/TII di bawah pimpinan Kartosoewiryo di Jawa Barat.
b) Pemberontakan APRA di Bandung, di bawah pimpinan Raymond Westerling pada tahun
1950.
c) Pembentokan Abdul Aziz yang berusaha untuk mempertahankan berdirinya Negara
Indonesia Timur di Ujung Pandang.
d) Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) di Ambon di bawah pimpinan Dr.
Soumokil pada tanggal 25 April 1950.
Meskipun banyak peristiwa yang mengganggu ketidakstabilan pemerintah dan
menyengsarakan rakyat, tetapi pada masa demokrasi liberal (1950 – 1959) pelaksanaan
politik luar negeri RI dapat dilaksanakan cukup baik, yaitu:

a) Untuk pertama kalinya RI diterima menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September
1950.
b) Keberhasilan RI dalam mempelopori kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika setelah
pelaksanaan Konferensi Pancanegara di Bogor (28 September 1954) dan Konferensi AsiaAfrika di Bandung (18 April 1955).
c) Pengiriman misi Pasukan Garuda sebagai pasukan perdamaian PBB di berbagai kawasan
dunia.
2. Upaya pemerintah dalam mengakhiri Demokrasi Liberal
Keadaan politik, sosial , ekonomi dan pertahanan keamanan yang tidak menentu dalam
masa demokrasi liberal, mendorong Presiden Soukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada
tanggal 5 Juli 1959, yang isinya sebagai berikut:
a) Pembubaran badan konstituante
b) Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
c) Pembentukan MPRS dan DPAS.
Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia
kembali menggunakan UUD 1945. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mempunyai arti penting bagi
bangsa Indonesia karena merupakan dasar hukum penataan kembali pemerintahan dan
ketatanegaraan menurut Pancasila dan UUD 1945. Karena itu Dekrit Presiden tersebut
mendapat dukungan dari seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Namun, sangat disayangkan
karena kepercayaan rakyat kepada Presiden Soekarno yang berlebihan telah menyeretnya
kepada pemerintahan yang menggunakan Demokrasi Terpimpin.
B. PGRI mempersatukan gurudii seluruh nusantara
1. Kongres PGRI IV di Yogyakarta
Kongres PGRI IV di Yogyakarta ini diselenggarakan pada tanggal 28 Februari 1950.
Dalam kongres ini Pejabat Presiden RI Mr. Asaát, SH memuji PGRI. Menurutnya PGRI
merupakan pencerminan semangat juang para guru sebagai pendidik rakyat dan bangsa.
Kongres ini juga dihadiri oleh beberapa utusan dari luar daerah Renville, yaitu Sukabumi,
Cianjur, Tasikmalaya bahkan ada yang datang dari Sumatera, yaitu Singli, Bukittinggi dan
Lampung. Mereka datang dengan tekad bulat untuk mempersatukan diri dan bernaung di
bawah panji PGRI.
Kongres PGRI IV menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a) Mempersatukan guru-guru di seluruh tanah air dalam satu organisasi kesatuan, yaitu
PGRI.
b) Menyingkirkan segala rasa curiga dan semangat kedaerahan yang mengjangkiti para guru
akibat pengaruh politik yang memecah belah wilayah RI.
c) Mengeluarkan “Maklumat Persatuan” yang berisi seruan kepada seluruh masyarakat,
khususnya guru untuk membantu menghilangkan suasana yang membahayakan antara
golongan yang pro-Republik dan golongan yang kontra-Republik, serta menggalang
persatuan dan kesatuan.
Beberapa persitiwa penting yang terjadi setelah kongres PGRI IV adalah sebagai berikut:
a) Tiga puluh cabang SGI menyatakan bergabung dengan PGRI.
b) Keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1950 yang antara lain berisi tentang
penyesuaian gaji guru-guru menurut HBBL (Herdziende Bezoldingingsregeling der
Burgelijke Landsdienaren).
c) Didirikannya sekolah-sekolah yang khusus diperuntukkan bagi para pelajar pejuang.

2. Kongres PGRI V di Bandung
Kongres V di selenggarakan di Bandung pada tanggal 19-24 Desember 1950. Kongres V
diadakan 10 bulan setelah kongres IV di Yogyakarta, selain untuk menyongsong Lustrum I
PGRI, juga untuk merayakan peleburan SGI/PGI ke dalam PGRI dan dapat dikatakan sebagai
“Kongres Persatuan”. Untuk pertama kalinya cabang-cabang yang belum pernah hadir
sebelumnya pada akhirnya datang.
Kongres PGRI V ini menghasilkan keputusan, sebagai berikut:
a) Menegaskan kembali Pancasila sebagai asas organisasi
b) Menugaskan kepada PB PGRI agar dalam waktu singkat melakukan segala usaha untuk
menghilangkan perbedaan gaji antara golongan yang pro dan kontra republik.
c) Melakukan konsolidasi organisasi dengan membentuk pengusu komisariat-komisariat
daerah.
d) PGRI menjadi anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia (SBSI)
Peristiwa penting yang terjadi pasca kongres V adalah:
a) Masuknya 47 cabang di Kalimantan dan Sulawesi ke dalam PGRI yang mengakibatkan
2.500 orang guru yang gajinya berbeda-beda menurut ketentuan mendapatkan gaji
sesuai dengan standar dari pusat.
b) PGRI berhasil memperjuangkan nasib para guru di sekolah-sekolah lanjutan, jumlah
honorariumnya meningkat dan maksimum jam mengajar dikurangi.
3. Kongres PGRI VI di Malang
Kongres PGRI VI diselenggarakan pada tanggal 24-26 November 1952 di Malang, Jawa
Timur. Dalam kongres ini PGRI telah mencapai banyak kemajuan yang pesat, hal ini
mengakibatkan pengakuan dan penghargaan masyarakat terhadap organisasi PGRI, tetapi
dipihak lain telah menarik perhatian dan keinginan sementara partai politik untuk menguasai
PGRI guna kepentingan politiknya. Pada saat itu, surat kabar tertentu mulai mencoba
mempengaruhi suasana kongres dengan jalan menjagokan calon-calonnya melalui berbagai
cara, kadang-kadang dengan cara intrik dan fitnah. Tidak heran bila dalam susunan
kepengurusan PB PGRI yang baru ini hampir 50% duduk orang atau simpatisan PKI.
Kongres PGRI VI di Malang ini menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a) Dalam bidang organisasi;
 Asas PGRI adalah keadilan, dasar PGRI adalah komunikasi
 PGRI tetap berada dalam GBSI
b) Dalam bidang perburuhan, memperjuangkan kendaraan bermotor bai Penilik Sekolah,
Instruktur Pendidikan Jasmani dan Pendidikan Masyarakat.
c) Dalam bidang Pendidikan;
 Dibahas untuk pertama kalinya, konsep “Pendidikan Nasional”
 Kursus Persamaan Kewajiban Belajar (KPKB) ditiadakan dan diubah menjadi Sekolah
Rakyat 6 tahun.
 Kursus B-I/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya.
 Diadakannya hari Pendidikan Nasional.
d) Dalam bidang hukum;
 Disepakati memperjuangkan peningkatan anggaran belanja Kementrian PP&K
menjadi 25% dari seluruh APBN.
 Disahkan Mars PGRI ciptaan Basoeki Endropranoto.
Peristiwa penting pasca kongres PGRI VI adalah sebagai berikut:
a) PB PGRI membentuk Panitia Konsepsi Nasional yang diketuai oleh F. Warchendorff.
b) Diangkat wakil PGRI dalam bidang Kongres Pendidikan Indonesia (BKPI).
c) Ikut serta dalam kongres Bahasa.

d) Adanya wakil PGRI dalam Panitia Sensor Film dan dalam Panitia Nasional UNESCO pada
tahun 1953.
e) Adanya tunjangan hari raya sebesar 25% dari pendapatan bersih sebulan.
4.

Kongres PGRI VII di Semarang
Kongres VII diselenggarakan pada tanggal 24 November – 1 Desember 1954 di
Semarang. Kongres ini dihadiri pula oleh wakil dari FISE yang berkedudukan di Paris, wakil
dari World Confederation of Organization of The Teaching Profession (WCOTP), wakil dari
Serikat Buruh Pendidikan RRC dan wakil Organisasi Guru dari Malaysia.
Kongres PGRI VII menghasilkan keputusan sebagai berikut:
a) Di bidang hukum;
 Pernyataan mengenai Irian Barat
 Pernyataan mengenai korupsi
 Resolusi mengenai desentralisasi sekolah
 Resolusi mengenai pemakaian keuangan oleh Kementrian PP&K
 Resolusi mengenai penyempurnaan cara kerja Kementrian PP&K
b) Di bidang Pendidikan
 Resolusi mengenai anggaran belanja PP&K yang harus mencapai 25% dari seluruh
anggaran belanja negara
 Resolusi mengenai UU SR dan UU Kewajiban Belajar
 Resolusi mengenai film, lektur, gambar dan radio
 Pembentukan Dewan Bahasa Indonesia
 Pelajaran agama diajarkan di luar sekolah (keputusan ini kemudian diralat karena
bertentangan dengan UUDS Pasa 41 ayat (3)
c) Di bidang perburuhan
 Resolusi tentang UU Pokok Kepegawaian
 Pelaksanaan Peraturan Gaji Pegawai Baru
 Tunjangan khusus bagi pegawai yang bertugas di daerah yang tidak sama, ongkos
perjalanan cuti besar, ongkos perjalanan berdasarkan PP Nomor 35 Tahun 1954
 Guru SR dinyatakan sebagai pegawai negeri tetap
 Penyelesaian kepegawaian
d) Di bidang organisasi ; pernyataan PGRI keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai
organisasi Non Vaksentral.
a)
b)
c)
d)

Peristiwa penting yang terjadi selama paska kongres PGRI VII adalah sebagai berikut:
Bergabungnya kembali ikatan Guru lulusan CVO dan ikatan Guru SR ke dalam PGRI.
Terselenggaranya konferda di sejumlah wilayah.
Meningkatkan usaha PKI mempengaruhi anggota-anggota PGRI, dengan cara
melumpuhkan kegiatan-kegiatan PGRI dan menghalangi kelancaran iuran anggota PGRI
di daerah-daerah.
Munculnya organisasi-organisasi non PGRI yang didirikan oleh golongan yang anti PKI,
PERGUNU, IGM dan PERGUKRI.

5. Kongres PGRI VIII di Bandung
Kongres PGRI VIII diselenggarakan pada bulan Oktober 1956 di Bandung. Kongres ini
dihadiri hampir oleh semua cabang PGRI Indonesia. Suasana kongres ini sangat meriah,
namun sewaktu diadakan pemilihan Ketua Umum PB PGRI keadaan menjadi tegang. Pihak
Soebandri menambahkan kartu pemilihan (kartu palsu) sehingga pemilihan tersebut di
batalkan dan diulang kembali menggunakan kartu yang baru.
Periode 1957-1959 masih merupakan tahun-tahun perkembangan organisasi, baik dari
pengisian kegiatan maupun peningkatan perjuangan organisasi agar hasilnya dapat dirasakan

oleh para anggotanya. Untuk meningkatkan daya juang organisasi, maka untuk pertama
kalinya diadakan Kursus Kader tingkat pusat, yang diselenggarakan di gedung SMA 3
Setiabudi, Jakarta pada tanggal 23 Desember- 8 Januari 1958. Kongres PGRI VIII ini juga
menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Pendidikan.
Peristiwa yang terjadi pasca Kongres VIII adalah sebagai berikut:
1. Terbentuknya Komisariat Daerah Kalimantan Timur pada bulan Maret 1957.
2. Diadakannya Kursus Kader di tingkat pusat pada tanggal 23 Desember 1957 – 8 Januari
1958 di Jakarta.
3. Mengadakan dialog segitiga antara PB PGRI, Menteri PP&K dan Menteri Dalam Negeri
pada tanggal 2 September di Kantor Menteri PP&K tentang tuntutan PGRI untuk
menaikan anggaran belanja Kementrian PP&K hingga 25%.
4. Sosialisasi tuntutan PGRI untuk menaikan anggaran belanja Kementrian PP&K hingga 5%
kepada anggota parlemen pada tanggal 13 Februari 1958.
5. Mendesak pemerintah untuk segera mengubah sistem pendidikan yang mengandung
unsur-unsur pendidikan kolonial menjadi sistem pendidikan yang lebih bersifat nasional,
membiasakan anak-anak Indonesia untuk menghormati bendera nasionalnya,
memberikan pelajaran sejarah dan ilmu bumi yang materinya lebih menekankan pada
sejarah dan wilayah nasional Indonesia dan Negara-negara tetangganya.
6. Dikembangkan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) akibat dari usulan PGRI kepada
pemerintah agar lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan murid dan guru
dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan atau memfasilitasi pemeriksaan murid
dan guru oleh dokter ke sekolah-sekolah dan menyediakan obat-obatan di sekolah.
7. Menjadi pemrasarana dalam Simposium Badan Musyawarah Nasional (BMN) di
Denpasar Bali pada bulan Juli 1957.
8. Dibentuknya Panitia Amandemen PGPN dan ME. Subiandinata duduk dalam panitia
sebagai wakil PGRI.
9. Diperhitungkan masa kerja bagi guru SR di sekolah-sekolah swasta.
6. Kongres PGRI IX di Surabaya
Kongres IX ini diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober – 4 November 1959 di
Surabaya.

C. Asas-asas Perjuangan PGRI
Asas-asas itulah yang sejak dulu sampai sekarang telah menyelamatkan PGRI dari berbagai
pertentangan dan perpecahan, dengan tetap mempersatukan para guru dalam kesatuan
organisasi.
 Asas Unitaris, artinya PGRI adalah satu-satunya organisasi profesi untuk guru di seluruh
Indonesia. Unitaris juga mengandung makna PGRI adalah satu-satunya organisasi bagi semua
jenis guru, yang tidak membedakan pangkat, tempat kerja, agama, ijazah dan jenis kelamin.
Semua jenis guru bersatu dalam organisasi PGRI demi tugasnya dan demi persatuan nasional.
 Asas independent, artinya sebagai organisasi PGRI tidak bernaung, menginduk atau
bergantung kepada organisasi lain. PGRI berdiri sendiri, mempunyai anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga sendiri dan mempunyai pengurus sendiri. Namun PGRI membantu
pemerintah dalam membina pelaksanaan tugas guru dan meningkatkan kemampuan guru
dalam tugasnya.
 Asas Non Partai, artinya PGRI bukanlah partai politik. PGRI tidak berpolitik, PGRI tidak
bergabung dengan suatu partai politik dan tidak juga mempunyak hubungan organisatoris

dengan suatu partai politik. Ini berarti bahwa seorang guru sebagai anggota PGRI, tidak boleh
berpolitik atau menjadi anggota suatu partai politik.

BAB 4
PERIODE ORDE LAMA

(1959-1965)
A. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang intinya kembali ke UUD 1945,
Pembubaran Konstituante dan Pembentukan MPRS dan DPAS, maka kekuasaan atas
pemerintahan dan negara berada sepenuhnya di tangan Presiden Soekarno. Sejak saat itu pula
Indonesia memasuki masa Demokrasi Terpimpin, yaitu pelaksanaan demokrasi yang dipimpin
langsung oleh Presiden Soekarno. Hal ini nampak dari tindakan dan kebijaksanaan Presiden
dalam bentuk alat-alat kelengkapan negara, seperti DPR, MPR, MA, Front Nasional melalui
Penetapan Presiden. Bahkan Presiden Soekarno dengan kewenangannya yang mutlak
membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum.
Presiden Soekarno cenderung memerintah secara diktator, seperti memaksakan
konsepsinya Manipol USDEK agar dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan
(GBHN), mengeluarkan Dwikora untuk menggagalkan pembentukan negara Malaysia,
mengarahkan garis politik luar negeri yang berkiblat ke Blok Timur dan memusuhi negara-negara
Blok Barat. Semua kebijakan pemerintah tersebut tentu saja banyak bertentangan dengan
ketentuan UUD 1945.
1. Pembentukan Kabinet Kerja Pertama
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan berlakunya kembali
UUD 1945, maka Kabinet Djuanda dinyatakan demisioner dan dibubarkan mulai tanggal 10
Juni 1959. Kemudian dibentuk Kabinet Presidensial dengan Presiden Soekarno menjadi
Perdana Menterinya. Kabinet yang dibentuk diberi nama Kabinet Kerja. Program Kabinet
Kerja disebut dengan Triprogram, yaitu:
a. Sandang pangan
b. Keamanan
c. Irian Barat
2. Pidato Presiden Soekarno tentang Manipol USDEK
Pada HUT Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mengucapkan
pidato yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”. Pidato tersebut kemudian diberi
sebutan Manifestasi Politik Republik Indonesia (Manipol). Isi pidato Presiden tersebut
mendapat sambutan dari kalangan tokoh-tokoh negara. Pada tanggal 23 September 1959
DPA Sementara mengusulkan agar Manipol dijadikan Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN). Manipol tersebut kemudian dikukuhkan dengan Perpres No. 1 Tahun 1960 dan
Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960.
Pada waktu berpidato dalam Pembukaan Kongres Pemuda di Bandung, bulan Februari
1960 Presiden Soekarno menyatakan bahwa intisari dari manipol ada lima, yaitu:
a. Undang-undang Dasar 1945
b. Sosialisme Indonesia
c. Demokrasi Terpimpin
d. Ekonomi Terpimpin
e. Kepribadian Indonesia
Lima intisari Manipol tersebut disingkat ÜSDEK”.
3. Pembentukan Front Nasional
Dalam rangka melaksanakan Manipol USDEK yang telah menjadi GBHN, maka Presiden
Soekarno dengan Peraturan Presiden No. 13 Tahun 1959 tanggal 31 Desember 1959
membentuk Front Nasional yang tujuan pokoknya adalah sebagai berikut:
a. Menyesuaikan revolusi nasional
b. Melaksanakan pembangunan semesta nasional
c. Mengembalikan Irian Barat dalam wilayah Republik Indonesia

Dalam prakteknya Front Nasional dimanfaatkan oleh PKI serta simpatisannya sebagai
alat untuk mencapai tujuan politiknya. Hal ini terbukti dari kegiatan-kegiatan PKI untuk
mempersiapkan diri dalam melakukan pemberontakan kepada pemerintah RI, seperti
melatih para sukarelawan/wati di Lubang Buaya, meminta agar kaum buruh dan tani
dipersenjatai dan lain-lain.
4. Pemberontakan DPR Gotong Royong (DPRGR)
Dengan kekuasaannya yang tidak terbatas Presiden Soekarno pada tanggal 5 Maret 1956
melalui Perpres No. 3 tahun 1960 membubarkan DPR hasil Pemilu, akibat perselisihan
pendapat antara DPR dengan pemerintah mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara untuk tahun 1961. Sebagai penggantinya dengan Perpres No 4 Tahun 1960 tanggal 24
Juni 1960, Presiden Soekarno membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPRGR).
Susunan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong, adalah sebagai berikut:
 Wakil-wakil dari semua partai Politik termasuk PKI
 Wakil-wakil dari TNI/ABRI
 Wakil-wakil dari Golongan dan Utusan Daerah
Yang dimaksud dengan golongan disini umumnya adalah golongan profesi, antara lain
golongan petani, golongan buruh, golongan seniman dan lain-lain. Sifat ikut sertanya semua
pihak dalam pemerintahan ini sesuai dengan pengertian “Gotong Royong”yang oleh
Soekarno sering disebut dengan “Samen aan tafel en samen aan ‘t werk”. Ikut sertanya
orang-orang komunis dan TNI/ABRI dalam pemerintahan, membawa segi positif dan negatif.
 Segi positif, yaitu ikut berperannya kembali TNI/ABRI dalam pemerintahan telah
menempati posisinya sebagai kekuatan HANKAMNAS (Pertahanan Keamanan Nasional)
atau dwi fungsi ABRI.
 Segi negatif, yaitu ikut sertanya orang-orang komunis/PKI dalam pemerintahan telah
menyebabkan gejala perpecahan, sebab PKI bukanlah partai yang bersifat nasional,
tetapi PKI merupakan partai yang bersifat internasional. Oleh karena itu PKI sulit bahkan
tidak mau diajak kerjasama dengan partai-partai lain dalam pemerintahan.
5. Pembentukan MPRS melalui Penetapan Presiden
Sebagai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno kembali membentuk
MPRS melalui Penpres No. 2 Tahun 1959. MPRS yang baru terbentuk kemudian segera
mengadakan sidang-sidang Umum MPRS, yaitu sebagai berikut:
 Sidang Umum MPRS I tahun 1961 di Bandung, menetapkan:
a. Manipol sebagai GBHN
b. Presiden sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan mandataris MPRS
 Sidang Umum MPRS II tahun 1963 di Bandung
Menetapkan : Presiden Soekarno sebagai Penguasa Tunggal Pemerintahan dan Presiden
Republik Indonesia Seumur Hidup.
 Sidang Umum MPRS III tahun 1965 di Bandung
Menetapkan: Pola Pembangunan Semesta Berencana 8 tahun.
B. Trikora, Dwikora dan resimen Guru
1. Tri Komando Rakyat (Trikora)
Trikora adalah perjuangan bangsa Indonesia untuk memasukkan kembali wilayah Irian
Barat ke dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia, perjuangan ini ditempuh bangsa
Indonesia selama 12 tahun yaitu tahun 1951-1963. Dalam perjanjian KMB disebutkan bahwa
Belanda bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia dan bersedia menyerahkan kekuasaan
atas wilayah eks Hindia Belanda kepada pemerintah RIS, kecuali Irian Barat. Disebutkan pula
bahwa masalah Irian Barat akan dibicarakan lagi satu tahun kemudian, oleh karena itu pada

tanggal 27 Desember 1949 dalam perjanjian KMB kekuasaan atas Irian Barat tidak ikut
diserahkan kepada pemerintah RIS.
Dalam pidato di depan rapat raksasa di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961,
Presiden Soekarno dalam rangka pembebasan Irian Barat mengeluarkan suatu komando,
yang dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora).
Isi dari Trikora:
1) Gagalkan pembentukan Negara Papua buatan Belanda
2) Kibarkan Sang Merah Putih di seluruh Irian Barat
3) Bersiap untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air
dan Bangsa
Langkah yang dilakukan oleh pemerintah RI dalam rangka pelaksanaan Trikora untuk
pembebasan Irian Barat, adalah:
a. Pembentukan Komando Mandala
Langkah pertama pelaksanaan Trikora adalah pembentukan komando operasi
militer yang diberi nama Komando Mandala Pembebasan Irian Barat pada tanggal 2
Januari 1962. Dalam operasi pembebasan Irian Barat direncakanakn operasi gabungan
dengan nama sandi “Öperasi Jaya Wijaya”.
Rencana operasi militer pembebasan Irian Barat diatur dalam 3 fase, yaitu:
1) Fase infiltrasi, yaitu memasukkan 10 kompi disekitar sasaran tertentu untuk
menciptakan daerah de facto.
2) Fase eksploitasi, yaitu mengadakan serangan terbuka ke induk-induk pertahanan
lawan.
3) Fase konsolidasi, yaitu menegakkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh wilayah
Irian Barat.
b. Peristiwa Aru
Pada tanggal 12 Januari 1962, tiga buah Motor Torpedo Boat (MTB) yang tergabung
dalam Satuan Patroli Cepat (Fast Patrol Unit), yaitu RI Macan Tutul, RI Harimau dan RI
Macan Kumbang mengadakan patroli rutin di Laut Arafuru. Pemegang komando satuan
MTB adalah Kapten Wiratno, yang juga komandan RI Macan Tutul. Dalam patroli tersebut
terdapat pula pejabat-pejabat tinggi dari Markas Besar Angkatan Laut (MBAL), yaitu
Komodor Yos Soedarso (deputy KSAL), Kolonel Soedomo (Kepala Direktorat Operasi
MBAL) dan Kolonel Moersidi (Asisten II KSAD).
Pada tanggal 12 Januari 1965 sekitar pukul 12.15 WIT, Satuan Patroli Cepat bertemu
dengan dua kapal perusak Belanda jenis Neptune dan Firefly. Menghadapi situasi yang
membahayakan tersebut komodor Yos Soedarso kemudian memerintahkan untuk
menghadapi kapal Belanda tersebut. Komodor Yos Soedarso kemudian memerintahkan
KRI Macan Tutul untuk melakukan manuver sedemikian rupa, sehingga menjadi sasaran
tembakan musuh untuk menyelamatkan MTB lainnya. Siasat tersebut berhasil, namun
KRI Macan Tutul terbakar dan tenggelam bersama seluruh awak kapalnya, termasuk
Komodor Yos Soedarso dan Kapten Wiratno.
c. Gadis Peniti Emas
Seorang gadis yang mendapat gelar Gadis Peniti Emas adalah Herlina seorang siswa
SMU dari Malang, Jawa Timur yang ikut diterjunkan sebagai pasukan relawan Trikora di
pedalaman Irian Barat. Untuk penghargaan atas keberanian dan kepahlawanannya
Presiden Soekarno menghadiahkan sebuah peniti yang terbuat dari emas kepada
Herlina.
2. Dwikora (Dwi Komando Rakyat)
Dwikora adalah perjuangan pemerntah dan rakyat Indonesia menentang dibentuknya
Negara Federasi Malaysia oleh Inggris. Presiden Soekarno menganggap dibentuknya Negara
Federasi Malaysia adalah sebagai proyek imperialis Inggris, oleh karena itu Soekarno
menolaknya. Namun setelah beberapa kali pertemuan KT (Konferensi Tingkat Tinggi) di

Manila, akhirnya presiden RI dan presiden Filipina menyetujui dibentuknya Negara federasi
Malaysia dengan syarat harus melalui plebisit di Sabah, Serawak dan Brunei. Seorang
diplomat PBB Michel More ditunjuk mengawasi pelaksanaan pemungutan suara, namun
plebisit belum selesai dihitung pada tanggal 16 September 1963 tiba-tiba Perdana Menteri
Malaya Tengku Abdurahman dari London mengumumkan berdirinya Negara Federasi
Malaysia.
Presiden Soekarno menyatakan berkonfrontasi dengan Malaysia dan mengumumkan
Dwikora, yang isinya:
a. Perkuat Ketahanan Rakyat
b. Bantu perjuangan rakyat Malaya, Sabah dan Serawak untuk menggagalkan pembentukan
Negara boneka Malaysia.
Untuk perjuangan Dwikora ini dibentuklah KOLAGA (Komando Siaga) dengan panglimanya
Laksamana Udara Oemar Dhani dan Wakil Komando Brigjen Supardjo.
3. Resimen Guru di Jawa Barat
Tujuan dari kelahiran Resimen Guru adalah atas prakarsa Kepala Perwakilan Pendidikan
dan Kebudayaan Jawa Barat (R. Abdur Raksanegara), Gubernur Jawa Barat waktu itu (Brigjen
Mashudi) dan ketua PD PGRI Tingkat I Jawa Barat (Basyuni Suriamihardja) adalah:
a. Untuk menggertak dan meredam aksi PKI dan ormas-ormasnya di Jawa Barat agar jangan
coba-coba untuk mempengaruhi dan menyusup ke tubuh PGRI dan Pendidikan.
b. Untuk menggalang kekuatan fisik dan moral menghadapi aksi PKI dan ormas-ormasnya
yang akan pendidikan Pancasila.
c. Untuk menyalurkan hasrat pada guru dalam menunjukkan kesetiaan kepada bangsa dan
negara atas dasar makin merajalelanya aksi PKI dan ormas-ormasnya.
Wujud unjuk kekuatan yang diselenggarakan oleh Resimen Guru, yaitu:
 24 November 1964
Apel resimen Guru dengan tujuan Show of Force di alun-alun Kota Bandung. Dengan
Irup. Brigjen Mashudi dan Danup. Maman Sumantri. Apel ini bertujuan untuk
memperingatkan PKI yang sudah mulai kasak kusuk dan memproses Menteri P dan K
yang telah memecat 28 orang pejabat dan anggota PB PGRI Jawa Barat.
 24 November 1965
Diadakan upacara peresmian Korsat. Hansip resimen Guru Jawa Barat di Alun-alun Kota
Bandung, Resimen Guru ini disyahkan oleh Gubernur Jawa Barat sebagai KMDA Hansip
dengan SK Gub. No. Kpts. 28/A.1/VIII 1965 pada tanggal 24 November 1965.
 24 November 1967
Apel Resimen Guru Jawa Barat yang bertempat di Jalan Talaga Bodas No. 56 Bandung
yang sekaligus sebagai upacara peresmian Wisma Gur/PGRI.
PGRI Jawa Barat juga membentuk KAP3 (Kesatuan Aksi Penyelamat Pendidikan
Pancasila).
Fungsi Hansip adalah:
a. Hansip adalah pertahanan Nasional Non Militer
b. Hansip merupakan bagian integral dari sistem pertahanan nasional
c. Hansip merupakan komplemen yang tidak terpisahkan dari TNI/ABRI
d. Hansip merupakan kekuatan pertahanan rakyat non konvensional aktif maupun
tidak aktif.

BAB 5

PENGHIANATAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA
(PKI)
A. Latarbelakang Penghianatan G-30-S/PKI 1965
Pada masa demokrasi terpimpin yang lebih berorientasi kepada Manipol USDEK, ternyata
telah menyeret Indonesia ke dalam situasi politik, ekonomi dan pertahanan keamanan yang
kacau. Selain itu, kebijaksanaan yang diambil pemerintah ternyata telah memberikan peluang
yang cukup luas kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Dibentuknya Front Nasional, Trikora,
Dwikora dan politik luar negeri yang berkiblat ke blok timur semakin memperkokoh PKI dalam
mempersiapkan diri untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan yang sah dengan
melalui Gerakan 30 September (G-30-S/PKI).
1. Aksi sepihak PKI
Pada bulan November 1961 di Kediri terjadi suatu peristiwa yang dikenal sebagai
Peristiwa Jengkol, yang menyangkut persoalan tanah milik Pemerintah (Perusahaan
Perkebunan Negara) yang digarap secara liar oleh para petani. Untuk menyelesaikan masalah
tersebut para petani diberikan ganti rugi, di samping uang pesangon. Pada waktu
pentraktoran sedang dilakukan, tiba-tiba muncul 3000 orang Barisan Tani Indonesia (BTI),
Pemuda Rakyat dan Gerwani dari desa-desa sambil menghunus senjata dan menyerang
petugas, sehingga beberapa petugas rakyat yang tidak berdosa luka-luka, ternyata peristiwa
tersebut di dalangi oleh PKI.
Aksi sepihak PKI dalam rangka memanaskan situasi ternyata terjadi pula di beberapa
daerah lainnya seperti Peristiwa Indramayu di Jawa Barat, pada bulan Oktober 1964,
Peristiwa Boyolali di Jawa Tengah pada bulan November 1964, Peristiwa Bandar Betsi di
Sumatera pada bulan Mei 1965 dan banyak lagi.
2. PKI menuntut agar kaum buruh dan tani dipersenjatai
Pada tanggal 14 Januari 1965 Ketua CC PKI, D.N Aidit memberikan keterangan kepada
wartawan, bahwa partainya menuntut agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Tuntutan PKI
tersebut ditampung oleh Front Nasional, sehingga tuntutan itu seolah-olah datang dari
semua kekuatan politik. PKI menyatakan Kebulatan Tekad melalui Instruksi Bersama antara
Pengurus Besar Front Nasional, dengan Pimpinan Partai politik, Pengurus Organisasi Masa
dan Golongan Karya pada tanggal 17 Januari 1965.
Sebagai kelanjutannya PKI menyerukan agar dibentuk Angkatan Ke-5 disamping ke
empat angkatan TNI yang ada. Untuk itu senjata sebanyak 100.000 pucuk yang dijanjikan
secara Cuma-Cuma oleh Perdana Menteri RRC Chou En Lai. Gagasan pembentukan Angkatan
ke-5 secara tegas ditentang oleh para Perwira TNI-AD.
3. Isu (Fitnah) Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist
Pada tanggal 15 Mei 1965 melalui Pos Jakarta, Dr. Subandrio menerima sebuah konsep
surat ketikan tanpa ada tanda tangan maupun paraf si pembuat surat, tetapi tertulis disitu
adalah Gilchrist, yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Gilchrist. Gilchrist adalah Duta
Besar Inggris di Jakarta. Dalam surat pengantarnya dituliskan, bahwa apa yang disebut surat
Gilchrist itu diperoleh dari rumah peristirahatan William (Bill) Palmer di Puncak ketika
dilakukan mengobrak-abrik oleh massa atas rumah tersebut. Dokumen Gilchrist itu adalah
dokumen yang seolah-olah menginsyaratkan adanya Dewan Jenderal di lingkungan TNI-AD,
yang bertugas menilai kebijaksanaan politik Presiden Soekarno.
Dr. Subandrio dalam pidatonya pada resepsi Hari Ulang Tahun PKI ke-45 menyatakan,
bahwa “Dokumen Imperialis/CIA telah jatuh ke tangan kita dan sekarang berada di tangan
Pimpinan Besar Revolusi Bung Karno. Oleh Dr. Subandrio salinan Dokumen Gilchrist
disebarluaskan oleh Badan Intelejen Pusat (BIP) ke seluruh wilayah Indonesia.
4. Pendidikan Kader Kilat NASAKOM
NASAKOM singkatan dari Nasionalis-Agama-Komunis adalah ajaran Bung Karno yang
mengharuskan adanya Persatuan Nasional Progresif Revolusioner dengan ketiga golongan

politik tersebut sebagai porosnya. Ajaran Nasakom ini oleh PKI diusahakan diterapkan secara
struktural, yaitu bahwa dalam setiap badan dan kegiatan Negara termasuk ABRI maka
golongan komunis harus diikutsertakan di dalamnya.
Mulai tanggal 1-10 Juni 1965 di berbagai tempat di seluruh Indonesia diadakan
Pendidikan Kilat Kader Nasakom, pendidikan itu diikuti oleh ribuan peserta dari partai-partai
politik, organisasi massa, pegawai negeri, anggota ABRI, lingkungan universitas dan Front
Nasional bertindak sebagai penyelenggaranya.
5. Gerakan 30 September PKI (G-30-S/PKI)
Pada hari Kamis dini hari tanggal 30