KIPRAH EKS-DIGULIS AHMAD SJU’EIB GELAR MALIN PERMATO PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG SAMPAI PROKLAMI KEMERDEKAAN INDONESIA

  KIPRAH EKS- DIGULIS AHMAD SJU’EIB GELAR MALIN PERMATO PADA

MASA PENDUDUKAN JEPANG SAMPAI PROKLAMI KEMERDEKAAN

  

INDONESIA

  1

  2

  3 Mario Dwi laksono , Prof. Dr. Mestika Zed, M.A , Drs. Zul Asri, M.Hum

ABSTRAK.

  Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato seorang tokoh eks-digulis yang berasal dari Sumatera Barat, dalam artikel ini akan membahas sebuah kajian biografi. Digulis adalah julukan bagi mereka kaum pergerakan yang pernah di buang ke Boven Digul, sebuah kamp pengasingan yang terdapat di pedalaman hutan Papua. Mereka mendapatkan hukuman ini dengan dijatuhi

  

exorbitant rechten , sebuah hak istimewa gubernur jendral Hindia Belanda. Pada penelitian

  biografi ini penulis mencoba memaparkan dan menganalisis kehidupan seorang eks-digulis pada masa pendudukan Jepang sampai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan seorang guru agama yang ikut dalam pergerakan bersama Sarekat Rakyat di Batusangkar. Ia di buang di Boven Digul selama 10 tahun, sampai akhirnya kembali lagi ke kampong halamannya da ikut dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang dimulai dari proses; heuristic, atau pengumpulan sumber; kemudian dilanjutkan proses kritik sumber dan intepretasi data; tahap terakhir adalah penulisan sejarah sehingga Biografi ini dapat diselesaikan. Penulisan Biografi ini diharapkan dapat menambah literasi dan pengetahuan masyarakat tentang kamp pembuangan Boven Digul, dimana Boven Digul memeliki tempat khusus dalam sejarah pergerakan bangsa sebagai tempat pembungan para Perintis Kemerdekaan Indonesia

  Kata Kunci : Ahmad Sju ’eib, biografi, digulis, boven digul, exorbitant rechten,

  1 2 Mahasiswa Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang 3 Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang Dosen Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang

A. Pendahuluan

  Sumatera Barat merupakan salah satu basis kaum pergerakan nasional sejak awal abad ke-20. Di wilayah ini lahir banyak tokoh nasional, founding father seperti Moh. Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dan aktivis pergerakan lainnya. Selain tokoh-tokoh pergerakan nasional tadi, banyak lagi para tokoh dari Sumatera Barat yang berkecimpung di dunia pergerakan kebangsaan dalam upaya merintis kemerdekaan Indonesia. Pilihan sebagai tokoh aktivis pergerakan dizaman kolonial memiliki tantangan tersendiri. Selain hidup tidak nyaman dan di bawah bayang-bayang penangkapan oleh Belanda, hukuman pengasingan menjadi salah satu ancaman tersendiri. Pasca pemberontakan PKI tahun 1926 pengasingan terhadap banyak tokoh pergerakan seringkali dilakukan. Para tokoh pergerakan ini diasingkan jauh dari basis kekuatan mereka. Salah satu tempat yang menjadi tempat pengasingan bagi mereka yang melawan dan dianggap berbahaya adalah Boven Digul, satu daerah terpencil dipedalaman Papua.

4 Salah seorang digulis

  dari Sumatera Barat adalah Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato. Ahmad Sju’eib merupakan salah satu tokoh perintis kemerdekaan dari Sumatera

  Barat yang berasal dari Nagari Salimpaung, Batusangkar. Pada mulanya Ahmad Sju’eib adalah seorang pengajar agama Islam pasca-menyelesaikan pendidikan di perguruan Sumatera Tawalib di Padang Panjang. Pertemuannya dengan tokoh-tokoh pergerakan terutama Djamaludin Tamim dan bergabungnya tokoh di Sarekat Rakyat,membawa dirinya kedalam perjuang panjang dalam merintis kemerdekaan Indonesia. Ahmad Sju’eib aktif berpropaganda ke Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Malaya, Singapura, Indragiri, dan Kampar sejak Oktober 1925. Propaganda anti-kolonial yang ia sebarkan selama kegiatan politiknya dianggap membahayakan pemerintah. Pada Oktober 1926, Ahmad Sjua’eib ditangkap di Cubadak, Talu, Pasamandan dihukum selama empat tahun penjara yang dijalankan di penjara Cipinang sampai akhirnya ia diasingkan ke Tanah

5 Merah, Digul pada Oktober 1930.

  Boven Digul bukanlah sebuah koloni narapidana. Seperti dijelaskan oleh pemerintah Hindia Belanda, pembuangan bukanlah sanksi yang dijatuhkan melalui proses hukum (penal

  

saction ) melainkan tindakan administratif, ditetapkan oleh kewenangan istimewa gubernur

  6 jenderal, exorbitant rechten, yang bisa menentukan para interniran hidup di daerah tertentu.

  Sebagai seorang tokoh perintis kemerdekaan dan eks-digulis, keberadaan Ahmad Sjua’eib memiliki banyak kontribusi dalam perang kemerdekaan Indonesia. Pasca-dibebaskan dari pengasingannya pada tahun 1940, tokoh ini kembali aktif dalam perjuangan kemerdekaan dan perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Jabatan-jabatan penting sering ia terima, mulai dari Wedana Painan, Wedana Talu, lalu menjadi Wedana Militer Batusangkar dan Staf

7 Gubernur Militer Sumatera Barat. Namun, keberadaannya dalam panggung sejarah seakan dilupakan dan terlupakan.

  Dalam penulisan biografi, biografi adalah catatan hidup seseorang, meskipun sangat

  8 4 mikro menjadi bagian dalam mosaik sejarah yang lebih besar . Penulisan sejarah ini Digulis adalah julukan bagi mereka kaum pergerakan yang pernah di buang ke Boven Digul, sebuah kamp pengasingan yang terdapat di pedalaman hutan Papua. Istilah digulis sendiri muncul pasca penutupan kamp pengasingan ini. Sebuah 5 identitas baru tercap pada pribadi yang pernah dibuang di kamp pengasingan Boven Digul yaitu digulis. 6 Dokumen Pribadi Keluarga A hmad Sju’eib gelar Malin Permato 7 Takashi Shiraishi. Hantu Digoel.... (2001). hlm 2 8 Dokumen Pribadi Keluarga Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato Kuntowijoyo.Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana,2003),hlm. 203

  diharapkan mampu menghasilkan sebuah biografi dan aktivitas Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato. Penulisan biografi seharusnya mengandung empat hal, yaitu: a) kepribadian sang tokoh, b) kekuatan sosial yang mendukung, c) lukisan sejarah zamannya, dan d)

  9

  keberuntungan dan kesempatan yang datang. Pada penelitian ini, penulis mencoba menggambarkan kehidupan seorang tokoh eks-digulis dan peranannya pada masa Perang Kemerdekaan Indonesia.

B. Metode Penelitian

  Penelitian riwayat hidup (individual life history) merupakan jenis penelitian kualitatif yang sering digunakan untuk penelitian salah satu tugas akhir studi dalam bentuk skiripsi, tesis,

  10

  dan disertasi . Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah deskriptif. Maka langkakah-langka yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah: heuristik, kritik,

  11 interpretasi, dan historiografi atau penulisan.

C. Hasil dan Pembahasan

  Ahmad Sju’eib Lahir di Nagari Salimpaung, Kecamatan Salimpaung, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat. Nagari salimpaung terletak di jalur lintas antara

  2 Batusangkar-Bukittingi-Payakumbuh. Nagari seluas 12,30 KM ini terdiri dari 4 jorong antara

  12 lain : Jorong Koto Tuo, Jorong Nan IX, Jorong Padang Jaya, dan Jorong Nan II Suku.

  Ahmad Sju’eib merupakan putra pertama H. Muhammad Sju’eib dan Chaliah dari

  13 5 bersaudara. Keluarga Muhammad Sju’eib merupakan keluarga pedagang yang

agamis. Tumbuh dalam lingkungan keluarga pedagang yang memiliki kecukupan

dan dan agamis membuat Ahmad Sju’eib menjadi seorang pemuda yang rajin dan taat beragama.

  Sebagai seorang anak Datuk dan p edagang membuat Ahmad Sju’eib mendapatkan akses pendidikan yang cukup mudah. Ahmad Sju’eib mengenyam pendidikan dasar diSekolah Negeri (Rakyat) selama 3 Tahun, setelah tamat di sekolah negeri melanjutkan di Sekolah Gubernemen selama 3Tahun lalu meneruskan kembali sekolah agama di Perguruan Thawalib Padang Panjang 7 Tahun.

  Dalam pembuangan di Bovem Digoel Ahmad Sju’eib tidak hanya diam dan menunggu nasib saja, beliau aktif di sekolah-sekolah dan kursus-kursus yang diadakan sesama

  

Interniran, antara lain mengikuti Malay English School (MES). Privaat-lessendan Selfstudi

  bersama A.J Patty, Moh. Hatta, A.C. Salim, R.Munandar, lalu aktif di sekolah yang didirikan Kadarisman untuk bidang pengetahuan umum, politik, jurnalistik, Staakunde, Pendidikan, Sosiologi, Ekonomi, bahasa Inggris dan Belanda. Pasca tamat dari Thawalib Padang Panjang Ahmad Sju’eib pulang ke kampung halaman dan menjadi guru agama serta mendirikan perguruan Sumatera Thawalib di Batusangkar pada tahun 1922. Melalui perguraan inilah tokoh mengembangkan ilmu yang telah ditempuh selama 7 tahun di Thawalib Padang Panjang.

  9 10 Ibid ., hlm. 206 11 Arif Furcham, Agus maimun. Studi Tokoh: Penelitian Mengenai Tokoh.(Yogyakarta:pusat pelajar.2005),hlm .1 12 A. Daliman.Metode Penelitain Sejarah.(Yogyakarta:Penerbit Ombak 2018). Hlm 46-58 13 BPS Tanah Datar.Tanah Datar dalam Angka 2012. (Batusangkar: BPS Tanah Datar, 2012). Hlm. 38 Ranji Keluarga dari Arsip Keluarga Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato.

  1. Terlibat Pergerakan Bersama Djamaludin Tamim

  Selama menuntut ilmu di Thawalib tokoh berinteraksi dengan banyak tokoh seperti Buya Hamka, penulis belum mendapatkan sumber pasti terkait pertemuan tokoh dengan Djamaluddin Tamim apakah sudah mulai terjalin sejak di perguraan Thawalib Padang Panjang atau pasca dari Thawalib. Berdasarkan penuturan anak-anak tokoh, keterlibatan Ahmad Sju’eib dalam pergerakan kebangsaan tak luput dari pengaruh Djamaluddin Tamim.

  Sebuah cerita dikisahkan pula oleh keluarga Ahmad Sju’eib bahwa tokoh pernah di ajak oleh Buya Hamka untuk ikut naik haji dan lanjut menuntut ilmu ke Makkah, pada awalnya Ahmad Sju’eib menerima tawaran Hamka namun niatnya urung diperjalanan dikarenakan melihat keadaan bangsa yang sedang dalam penjajahan kolonial Belanda. Ahmad Sju’eib pun akhirnya berpisah dengan Hamka dan memilih pulang ke kampung halaman untuk mengajarkan ilmu agama sembari ikut dalam perjuangan pergerakan kebangsaan.

  Sering mengikuti propaganda-propaganda yang dilakukan Djamaludin Tamin. Pada bulan Oktober 1923 Ahmad Sju’eib masuk menjadi anggota Sarekat Rakyat dan kemudian menjadi sekretarisnya. Semenjak bergabung di Sarekat Rakyat Ahmad Sju’eib aktif berpropaganda ke Tapanuli, Sumatera Timur, Aceh, Malaya, Singapora, Inderagiri, dan Kampar(Riau). Penulis tidak mendapatkan sumber terkait apakah Ahmad Sju’eib memiliki keterlibatan dengan pemberontakan rakyat Silungkang yang notabene banyak terlibat tokoh Komunis dan Sarekat Rakyat dalam penyusunan rencana serta mobilisasi massa.

  2. Penangkapan hingga Mendapatkan Exorbitant Rechten

  Pasca banyaknya pemberontakan-pemberontakan rakyat yang didalangi kelompok komunis terjadi dibeberapa wilayah di Hindia Belanda, pemerintah kolonial membangun sebuah kamp pembuangan massal yang ditujukan untuk para tahanan politik dari pemberontakan- pemberontakan yang terjadi. Boven Digoel merupakan sebuah daerah di hulu sungai Digoel yang berjarak sekitar 500 KM dari Merauke, daerah hutan tropis ini masih hutan rimba yang banyak hewanbuas, nyamuk Malaria yang mematikan, dan suku asli Papua yang suka mengayau dan kanibal. Kehidupan di kamp pengasingan Boven Digoel mamaksa para

  14 interniran untuk hidup normal dibawah kondisi yang tidak normal.

  Perlu untuk diketahui bersama, bahwa Boven Digoel bukanlah sebauah koloni narapidana, tempat ini adalah sebuah kamp pengasingan bagi para orang-orang yang terkena

  

exorbitant rechten. Pengasingan atau pun pembuangan buknalah sebuah sanki yang diberikan

  melalui proses hukum (penal sanction), melainkan sebuah tindakan administratif yang ditetapkan oleh gubernur jendral mealui hak istimewanya yang kita kenal exorbitant rechten, dalam hal ini gubernur jendral dapat menentukan para interniatau orang-orang yang mengancam ketertiban dan keamanan (rust en orde) untuk hidup ditempat tertentu. Politik pengasingan bukanlah hal yang baru dalam politik pengamanan politik pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Tjipto Mangunkusumo, Tan Malaka, dan lainnya adalah sederetan tokoh pergerakan yang terkena politik pengasingan ini.Pembuangan orang-orang ke Boven Digoel pun seolah-olah memang di beritakan secara terang-terangan, tak lain tak bukan untuk menunjukkan kepada

  15 masyarakat umum bagaimana resiko bila terlibat dalam pergerakan kebangsaan.

  Daerah Sumatera Barat senadiri pasca pemeberontakan rakyat Silungkang tahun 1927, sekitar 4000 orang ditangkap dan dihukum. Hukuman yang diberikan bermacam-macam, 14 mulai dari hukuman mati, dibuang ke Boven Digoel, hukuman seumur hidup dan sebagainya. 15 Takashi Shiraishi. Hantu digoel ..... ( 2001). Hlm. 1

  Ibid . hlm 2 Akibat dari penangkapan besar-besaran ini Silungkang pun menjadi daerah seperti kota mati

  16 karena banyaknya rakyat yang di tangkap, hanya menyisakan lansia dan anak-anak saja.

  Ahmad Sju’eib sebgai seorang pengurus cabang Sarekat Rakyat Batusangkar belum diketahui apakah terlibat langsung maupun tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan Rakyat Silungkang. Namun pada bulan Oktober 1926, Ahmad Sju’eib ditangkap di Cubadak, Talu-Pasaman dan dihukum selama empat (4) tahun penjara yang dijalankan di penjara Cipinang. Tahun 1930 Ahmad Sju’eib diasingkan ke Boven Digoel. Belum ada kejelasan

  17 keajdian penangkapan dia di Talu Pasaman dalam keadaan seperti apa.

  Proses pembuangan Ahmad Sju’eib ke Boven Digoel sendiri belum diketahui pasti apakah langsung melalui exorbitant rechten atau tidak. Namun dari penjelasan tadi dapatlah diketahui bahwa proses pembuangan ke Boven Digoel pun terjadi melalu proses yang cukup lama. Ahmad Sju’eib mendekam terlebih dahulu selama 4 tahun sampai akhirnya di buang ke Boven Digoel pada tahun 1930.

  Jalan menuju Pengasingan

  Sekali lagi penulis menekankan bahwa Boven Digoel bukanlah sebuah kamp koloni narapidana ataupun sebuah penjara. Bove Digoel ialah sebuah kamp pengasingan yang pada awalnya sebuah yang termasuk dalam daerah onderafdeeling dari Papua Nugini bagia selatan, lalu oleh pemerintah dijadikan sebuah pemerintahan onderafdeelingsendiri dengan Tanah

18 Merah sebagai pusat pemerintahannya.

  Orang-orang yang dibuang pun tidak ditentukan melalui proses pengadilan melainkan melalui apa yang disebut exorbitant rechten sebuah hak istimewa Gubernur Jendral Hinda Belanda yang termaktub dalam Indische Staatsregeling Pasal 37 yang pada intinya memberikan wewenang kepada Gubernur Jendral membuang atau mengasingkan orang-orang yang dianggap mengganggu ketentraman dan ketertiban umum (rust en orde) kesuatu

  19 wilayah tertentu yang ditunjuk khusus dan dalam waktu yang tidak ditentukan.

  Peroses pembuang ke Digoel pun juga memakan waktu berhari-hari karena jaraknya yang jauh. Salah seorang digoelis mengisahkan bagaimana proses keberangkatannya ke Boven Digoel. Mohammad Bondan tokoh PNI ini di buang ke Digoel bersamaan dengan Moh. Hatta dan Sjahrir melalui pelabuhan Ancol. Bondan mengisahkan dalam perjalanan mereka beberapa kali berhendi di banyak tempat guna mengisi bahan bakar kapal dan kebutuh sehari- hari. Perjalanan di mulai dari pelabuhan di Ancol lalu setelah satu hari dua malam kapal berlayar, tiba di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dua hari kemudian mereka sampai di Pelabuhan Makasar. Di Makasar mereka disekap beberapa hari di penjara kota berupa kamar yang biasanya diperuntukkan untuk orang Eropa. Setelah beberapa hari di tahan sementara di Makasar mereka melanjutkan perjalanan kembali, sempat singgah sebentar di Kendari dan berhenti kembali ke Banda Neira. Dari Banda Neira para orang buangan terus berlanjut ke Ambon, dan sempat bermalam disini. Setelah bermalam para meraka baru melanjutkan perjalanan ke Digul namun berganti kapal, sebuah kapal pemerintah yang agak kecil bernama

  16 17 Purnama Suwardi, Koloni pengucilan ....(2003). hlm 54 18 Arsip Keluarga Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato 19 Takashi Shiraishi. Hantu digoel ..... ( 2001). hlm 7 Purnama Suwardi, Koloni pengucilan ....(2003). hlm 61

  Albatros. Dengan kapal inilah para interniran dibawa ke rumah baru merka di Boven Digul.

  20 Dan setelah dua hari berlayar barulah para interniran tiba di pelabuhan di Tanah Merah.

  Proses perjalanan Ahmad Sju’eib ke Boven Digoel tidak begitu jelas, namun yang jelas sebelum pembuangan ke Boven Digul pasca penangkapannya di Pasaman, ia mendekam terlebih dahulu di penjara cipinang selama 4 tahun baru kemudian di buang ke Digul. Kemudian dari arsip pribadi yang dimiliki Ahmad Sju’eib, ia sempat berfoto bersama

  21

  beberapa rekannya di Makasar. Nampaknya bisa kita simpulkan proses perjalan para

  

interniran memiliki pola yang mirip, dimana berhari-hari menggunakan kapal dan berhenti

  dibeberapa kota-kota penting pemerintah Hindia Belanda sampai akhirnya tiba di Tanah Merah. Ahmad Sju’eib tiba di Tanah Merah pada tanggal 28 November 1930 dengan nomor

  

22

pokok (stambook) selaku orang buangan 1328.

  Kehidupan di tanah pengasingan

  Di kamp pembuangan Boven Digul, tepatnya di Tanah Merah terdapat klinik kecil bagi

  

interniran , Rumah Sakit Wilhelmina. Pada awal pembukaan Kamp pembuangan di tanah

  merah dibagi menjadi 7 kampung yakni kampung A, B, C, D, E , F, dan G. Lalu seiring dengan pemulangan beberapa interniran pada tahun 1931 hanya trersisa 2 kampung saja, kampung B yang mayoritas diidi oleh golongan naturalist dan kampung C yang disi oleh

  23

werwelinger. Lalu kampung yang tersisa, 3 kampung yaitu, kampung A, dan B berbatasan

  dengan hutan di utara dan kampung C membelakangi Sungai Digul. Di awal-awal para

  

interniran hidup terpisah-pisah berdasarkan etnisnya. Di ujung utara kamp, di tepi sungai

  adalah kampung Ujung Sumatera yang penghuninya mayoritas etnis Minangkabau. Etnis Aceh dan Lampung menetap terpisah. Orang-orang dari Jawa (etnis Jawa, Sunda, dan Madura) berkumpul di pemukiman sendiri. Orang Banten sebagian besar dari pemberontakan petani Banten 1926 membentuk kelompok terpisah juga. Pada awal-awal konflik antara orang

24 Jawa dan Sumatera cukup sering terjadi

  Setiap ada interniran baru yang datang, di Boven Digul ada sebuah tradisi yang menarik, yakni tradisi penyambutan kedatangan para interniran oleh panitia yang dibentuk sesama digulis. Penyambutan biasanya dilakukan dengan diiringi lagu-lagu populer dizaman itu. Selesai acara penyambutan para interniran yang baru datang langsung dibawa ke tempat yang

  25 diperuntukkan bagi mereka.

  Para interniran yang datang ke Digul diberikan kesempatan untuk memilih status mereka

  26 di Boven Digul, apakah menjadi seorang werkwilinger atau menjadi seorang naturalist .

  Lebih rinci lagi di Boven Digul tepatnya Tanah Merah, ada Empat kategori struktural kehidupan antara lain : a.

  De Werkwilinger

  Werkwilinger adalah kelompok orang yang mau bekerja dengan pemerintah. Bisa

  dibilang mereka adalah para pegawai pemerintah yang bekerja di badan-badan pemerintah 20 seperti kepala kampung, juru tulis, kantor pos, dan lainnya. Para werkwilinger ini

  

Mohammad Bondan, memoar seorang eks-digulis : totalitas sebuah perjuangan. (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 21 2011) h33-37 Arsip Keluarga Ahmad 22 Sju’eib gelar Malin Permato 23 ANRI,Boven Digul No 101 & 102 24 Mohammad Bondan, memoar seorang eks-digulis.... 2011). hlm 44-45 25 Takashi Shiraishi. Hantu digoel ..... ( 2001), hlm 25 26 Purnama Suwardi, Koloni pengucilan ....(2003). hlm 80 Ibid . hlm 44 mendapatkan gaji dari yang terendah f. 10.5 sampai yang tertinggi f. 90 per bulannya, selain itu menjadi para werkwikinger berarti dikemudian hari memeiliki kesempatan untuk dipulangkan ketempat asalnya.

  b.

  De Eigenwerkzoekenden

  Eigenwerkzoekenden adalah kelompok pekerja mandiri. Artinya para Eigenwerkzoekenden

  adalah orang-orang yang tidak ingin bekerja untuk pemerintah namun mereka membuat pekerjaan mandiri seperti menjadi nelayan, petani, tukang cukur, guru, dan lain sebagainya. Golongan ini memiliki kemungkinan yang kecil untuk dipulangkan.

  c.

  De Steuntrekkers

  Steuntrekkers adalah para orang yang invalid atau takbisa bekerja. Orang-orang dalam

  kategori ini biasanya adalah par interniran yang mengalami sakit parah seperti TBC atau mereka yang terkena gangguan jiwa.

  d.

  De Naturalist Kaum naturalist adalah mereka orang-orang yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah tetapi tetap menerima jatah barang poko dari pemerintah namun dalam jumlah yang kecil. Pemerintah kolonial di Tanah Merah menganggap mereka adalah kelompok keras

  27

  kepala yang perlu selalu diawasi gerak geriknya Selain empat kategori diatas, ada sebuah ketegori lain yang berada di Boven Digul,

  

onverzoenlijken. Onverzoenlijken adalah kelompok yangkeras kepala,nekad,berkemauan baja,

  berprinsip, dan tidak mau menyerah. Para kelompok Onverzoenlijkenini tidak ditempatkan di

  28 Tanah Merah, tetapi di kamp pengasingan yang lebih jauh yaitu di Tanah Tinggi. Tanah

  Tinggi berlokasi 55 kilometer ke arah hulu sungai dari Tanah Merah. Dibutuhkan waktu lima

  29 jam dari Tanah Merah untuk mencapai Tanah Tinggi.

  Ahmad Sju’eib sendiri tidak diketahui pasti apakah ketika tiba di Tanah Merah langsung memilih menjadi Werkwilinger atau sempat memilih menjadi naturalist danEigenwerkzoekenden . Namun dari sumber pribadi Ahmad Sju’eib bisa dikatakan ia adalah seorang werkwelinger, selama di Boven Digul ia sempat mendapatkan beberapa pekerjaan di pemeritnahan Tanah Merah antar lain :

  a. Menjadi adjunct-kamponghoofd Tanah Merah,

  b. Menjadi telefonist pada kantor telepon Tanah Merah,

  c. Menjadi Kepala-pekerja (voorman) Tanah Merah, d. Menjadi Beheerder pada gudang V &

30 W Tanah Merah.

  Dari banyaknya jabatan pekerjaan yang diterima Ahmad Sju’eib menandakan tingginya aktifitas ia di tanah pengasingan Boven Digul. Perlu untuk kita ingat kembali bahwa pembagian kelompok orang-orang buangan di Tanah Merah adalah taktik lama yang selalu digunakan pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang tak lain tak bukan tujuannya untuk 27 memecah belah para interniran. Orang-orang yang mengambil pilihan sebagai werkwelinger Susanto T Handoko.

  Boven Digul dalam Panggung Sejarah Indonesia” (Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2, 28 2016). H 86-87 29 Ibid. hlm 88 30 Takashi Shiraishi. Hantu digoel ..... ( 2001). hlm.17 Arsip Keluarga Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato

  tidak dapat kita katakan bahwa semangat perjuangannya telah hilang atau berubah haluan mendukung pemerintahan kolonial. Pilihan ini kadang diambil untuk tetap menjaga kewarasan mereka selama dipembuangan karena selalu disibukkan oleh banyak kegiatan, kemudian tentang adanya harapan untuk dapat kembali ke daerah asalnya.

  Selain menjaga kewarasan dengan selalu beraktifitas senormal mungkin, para interniran banyak membuat perkumpulan: ada klub opera “Orient”, grup musik dan opera “Liberty”, teater Sunda Kebinangkitan Pasoendan, grup Ketoprak dan wayang orang Jawa, Langen Oedo Matojo, dipimpin oleh seorang interniran dari Solo, dan grup keroncong yang dipimpin oleh Samsoedin Katjamata dan Mohammad Jasin dari Medan. Kub yang paling penting dan bertahan hingga hari-hari terakhir Digul adalah Asosiasi Seni dan Olahraga (Kunst en

Sportvereeniging Digoel ). Asosiasi ini didirikan tahun 1928 yang diketuai oleh Winanta.

  31 Didalam asosiasi ini masuk juga grup Jazz Abdul Xarim dan Konser Digul. Dalam

  pembuangan di Boven Digoel Ahmad Sju’eib termasuk interniran yang selalu menyibukkan

  32 diri dengan banyak kegiatan. Ia aktif juga dalam klub sepak bola.

  Di Tanah Merah juga terdapat sekolah dasar, sekolah yang resmi hanya diperuntukkan bagi anak-anak werkwelingr. Bagi golongan naturalist mereka mendirikan sekolah swasta merka sendiri. Tetapi sekolahnya tidak berbentuk gedung, tetapi terpencar di berbagai rumah- rumah para golongan naturalist. Orang-orang naturalist pun sebenarnya tidak diperboehkan mendirikan sekolah tanpa seizin pemerintah. Kaum naturalist yang pada dasarnya adalah kelompok yang tidak mau bekerja sama dengan pmerintah tentu tidak mau meminta izin, maka sistem persekolahan yang dibuat adalah dalamkelompok-kelompok kecil yang jumlah muridnya tidak lebih dari tiga orang. Dengan sistem ini maka tidak melanggar peraturan pemerintah yang melarang berkumpul lebih dari tiga orang. Sekolah kaum naturalistdisebut perguruan MES, singkatan dari Malay English School, yang mengunakan sistem tiga keluarga ( satu guru dan tiga murid). Pada suatu ketika sang guru ditangkap oleh pemerintah maka murid yang tertua menggantikan tempatnya untuk mengajar adik-adiknya. Pelajaran dalam perguraun MES setingkat dengan sekolah dasar, ditambah dengan bahasa Inggris.

  33 Mata pelajarannya antara lain seperti ilmu bumi, ilmu alam dan lain sebagainya.

  Ahmad Sju’eib sendirimengikuti banyak kelompok belajar, salah satunya MES, Malay English School. Lalu ia juga aktif Privaat-lessen dan Selfstudi bersama A.J Patty, Moh.

34 Hatta, A.C. Salim, R.Munandar , lalu sekolah yang didirikan Kadarisman untuk bidang

  pengetahuan umum, politik, jurnalistik, Staakunde, Pendidikan, Sosiologi, Ekonomi, bahasa

35 Inggris dan Belanda.

  Dalam pengasingannya Ahmad Sju’eib bertemu dengan banyak tokoh- tokoh pergerakan yang semakin menempa semangat perjuangannya.

  Pembebasan dan kembali ke Minangkabau

  Pembebasan ataupun pemulangan para interniran dilatarbelakangi dari protes kaum liberal di negeri Belanda. Keras dan memperhatinkannya kehidupan di Boven Digoel membuat perhatian banyak pihak terutama kaum liberal Belanda. Perhatian besar ini ditandai dengan perginya seorang anggota Dewan Hindia Belanda, W.P Hillen. Hillen melakukan pengamatan langsung ke Boven Digoel dan mewawancarai para interniran. Pasca pengamatannya Hillen mendesak pemerintah kolonial unutk segera memulangkan para interniran yang ada. Menurut 31 hasil wawancara Hillen kepada 610 interniran, sebanyak 412 interniran adalah para petai dan 32 Ibid . hlm. 28 33 Wawancara dengan anak-anak Tokoh pada 5 Oktober 2018 34 Mohammad Bondan, memoar seorang eks-digulis....(2011). hlm 48-49 35 Arsip Keluarga Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato ANRI, Boven Digoel. No 318 pedagang yang termakan provokasi tokoh-tokoh PKI ataupun Sarekat rakyat, merka bukanlah aktor-aktor intelektual dalam pemberontakan-pemberontakan yang ada.

  Ahmad Sju’eib sendiri sempat di pulangkan pada tahun 1938 namun ketika diperjalanan pulang di Surabaya, ia dikembalikan ke Digul lagidan barulah pada tanggal 7 Mei 1940, Ahmad Sju’eib dipindahkan dari tempat pembuangannya di Boven Digoel ke Painan, Sumatera Barat sampai tiba pada masa pendudukan Jepang.

  Pendudukan Jepang

  Pendudukan Jepang di Indonesia ditandai dengan menyerahnya Pangglima Tentara Belanda kepada Panglima tentara Jepang di lapangan udara Kalijati, Jawa Barat pada tanggal 9 Maret 1942. Kedatangan tentara Jepang di kota Padang dipimpin oleh Kolonel Fujiyama, seajak subuh tanggal 17 Maret 1942 tentara Jepang tampak telah mulai nampak meamsuki jalan-

  36 jalan di kota Padang dan mulai menduduki tempat-tempat penting.

  Proses pendudukan jepang di Padang dan sekitarnya tidak lepas dari pengaruh Ir. Soekarno. Ketika pendudukan Jepang, pemerintah Kolonial menganggap perlu membawa tokoh-tokoh pergerakan untuk keluar dari Hindia Belanda, hal ini tak lain adalah untuk mencegah bertemuny atokoh pergerakan dengan Jepang yang nantinya akan dimanfaatkan jepang untuk menghilangkan pengaruh pemerintah kolonial Belanda. Soekarno ketika pendudukan Jepang berada di pengasingannya di Bengkulu. Pemerintah Kolonial segera mengambil tindakan untuk membawa Soekarno ke Autralia melalui Padang. Soekarno dan keluarga di bawa dari Bengkulu via Muko-muko menggunakan jalur darat menuju Padang. Sedianya Soekarno akan dibaw ke Australia menggunakan kapal laut, tetapi karena perang yan gmasih berkecamuk kapal laut itu pun tak kunjung tiba karena terkena serangan Jepang.

  Akibatnya Soekarno dan keluarga dibiarkan begitu saja tinggal di Padang. Di Padang Soekarno dan keluarga tinggal di rumah seorang dokter hewan bernama drh. Waworuntu. Selama di Padang Soekarno sering melakukan pertemuan dan mendatangi undangan bersama masyarakat sekitar. Soekarno selalu memberikan pidato-pidato perjuangan untuk mengobarkan semangat. Selama perjalanannya di Padang Soekarno didanpingi pula oleh

37 Sutan Usman Karim.

  Selama di kota Padang, Soekarno juga pernah mengadakan rapat umum di sebuah lapangan pa sar. Disana Soekarno membentuk “KOMITE RAKYAT” yang bertujuan untuk bertugas sebagai Pemerintahan Sementara dan untuk menjaga ketertiban. Dalam kesempatan

  38 ini juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat yang terdiri dari pemuda di kampung-kampung.

  Pada tanggal 22 Maret 1942 Ahmad Sju’eib diutus rakyat Painan mengikuti rapat umum yang diselenggarakan Bung Karno yang menghasilkan “Komite Rakyat” dan kembali ke Painan menjadi Pimpinan Wilayah Painan. Tanggal 23 Maret 1942 pulang ke Batusangkar dan mendirikan serta meminmpin Komite Rakyat Batusangkar.Tanggal 9 Mei 1942 Komite Rakyat dibubarkan oleh Pemerintah Militer Jepang dan Ahmad Sju’eib ditangkap serta dijebloskan ke penjara Kem Pe Tai Batusangkar selama 9 bulan. Ada sebuah kisah menarik ketika proses penahanan Ah mad Sju’eib, ia mengetahui akan dihukum mati ketika suatu malam diperintahkan tentara yang menajga untuk membuat riwat hidup lalu setelah itu dibacakan keputusan bahwa ia besok akan di hukum tembak. Mengetahui besok ia akan dihukum mati, Ahmad Sju’eib langsung merencanakan lari dari penjara. Ketika larut malam tiba ia mengganti dirinya dengan guling di tempat tidur, lalu ia memanjat sebuah lubang 36 fentilasi yang ukurannya pas-pasan dan berhasil kelaur dari sel, lalu ia melompati pagar

  Ahmad Husein Dkk. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan R.I di Minangkabau/Riau 1945-1950 jilid I. ( Jakarta : BPSIM, 37 1991), hlm. 42-43 38 Ibid , hlm 44-45 Ibid , hlm 45 penajra setinggi 3-4 meter yang dilindungi kawat duri kemudian setelah berhasil lari kehutan. Sebuah kekuatan tersembunyi tiba-tiba muncul dan memperlancar proses melarikan diri dari

  39 penjara tersebut.

  Pasca pendudukannya di wilayah-wilayah Asia Tenggara, rupanya Jepang menghadapi kesulitan menahan serang balik dari sekutu dan mulai membuat kedudukan Jepang di beberapa kawasan Asia Tenggara mulai terancam. Pertempuran di Laut Karang (Mei 1942) dan Guadalcanal (Agustus 1942) membuat semakin banyak armada Jepang dibeberapa front pertempuran yang dihancurkan sekutu. Keadaan mendesak ini membuat niatan belanda untuk membentuk tentara cadangan dari unsur bumiputra tak dapat di tunda lagi. Rencana pembentuka tentara cadangan dan pelatihan Perwira bumiputera di kawasan Selatan di rancang langsung oleh Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata di Tokyo. Penanggung Jawab pembentukan Giyugun dikawasan Selatan langsung dibawah Wakil Kepala Staf

  40 Angkatan PerangJepang Wilayah Selatan Jendral Inada Masazumi.

  Penanggung jawab program Giyugun di Sumatera ialah Panglima Angkatan Darat ke-

  25 Jendral Moritake Tanabe. Untuk wilayah Jawa ialah Panglima Angkatan Darat ke-16 Jendral Kumakichi Harada, sementara untuk wilayah Borneo Utara adalah Panglima Garnisium Jepang Jendral Yamawaki Masataka. Gunseibu (kantor pemerintah pendudukan Jepang) Sumatera mulai melakukan rekruitmen calon peserta Giyugun pada akhir September

  41 1943, hampir bersamaan dengan pembukaan pusat pelatihan PETA di Jawa.

  Ahmad Sju’eib pun turut mendirikan Laskar Rakyat (Gyu Gun) di Batusangkar sebagai penulis merangkap Badan Penerangan. Selain aktif di Gyu Gun ia juga turut mendirikan Majelis Islam Tinggi di Batusangkar antara bulan September-Oktober 1943 dan menjadi

42 Ketuanya. Perlu diketahui proses pembentukan Giyugun tidak hanya melibatkan tokoh

  militer, pemerintah pendudukan jepang di Sumatera Barat ketika proses pendirian Giyugun terlebih dahulu mengumpulkan pemuka rakyat minangakabau dari golongan adat, cerdik pandai dan alim ulama. Setelah diadakan tukar pikiran terpilihlah tiga tokoh Minangkabau yaitu Ahmad Dt. Simarajo dari golongan adat, Chatib Sulaiman dari golongan cerdik pandai, dan H. Muhammad Yunus dari golongan alim ulama. Ketiga tokoh ini dianggap sebagai Tali

  

Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan. Rakyat harus dapat diyakinkan bahwa tentara yang

  akan dibentuk itu adalah tentara mereka sendiri, tentara rakayat, yang diurus rakyat dan mempertahankan tanah airnya sendiri bersama tentara Jepang. Badan yang dibentuk ini

  43 bernama Giyugun Ko En Kai yang diketuai oelh Chatib Soelaiman.

  Susunan lengkap badan ini di umumkan oleh surat kabar Kita Sumatora Simbun pada hari senin, 11 Oktober 1943. Pengurus harian badan yang berencana merekrut sekitar 10.000 orang pemuda Sumatera Barat, Pengurus Harian antara lain Chatib Soeaiman sebagai Ketua

  44 merangkap bagian umum, lalu dibantu oleh Ahmad Dt Simarajo dan H, Muhammad Yunus.

  Selain itu ketiga tokoh tadi dibantu juga oleh beberapa tokoh seperti, Suska, Rasuna Said, Latif Usman, Ratna Sari, Leon Slaim, Masur Taib. Rahmah El Yunusiah, Aziz Latif, Husin

  45 Ilyas, Tjik Ani, Mr. Nazaruddin, Nurdin Kajai, dan banyak lagi

  Perlu kita ketahui, propaganda pembentukan Giyugun sangat gencar dilakukan oleh pemuka Minangkabau, bukan berarti kepercayaan yang besar masyarakat dan para pemuka terhadap Jepang, tetapi lebih sikap kerja sama yang dimaksudkan untuk mempersiapkan diri ketika tiba saatnya nanti kemerdekaan itu datang. Bisa kita lihat bagaimana kerjasama 39 pemuka masyarakat dan pemerintahan Jepang pada saat rapat akbar yan dilakukan di 40 Wawancara dengan anak Tokoh pada 5 Oktober 2018 41 Mestika Zed. Gyugun: Cikal bakal Tentara Nasional Di Sumatera.(Jakarta :LP3ES, 2005) hlm 28 42 Ibid . hlm 28 43 Arsip Keluarga Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato 44 Ahmad Husein Dkk. Sejarah Perjuangan.......(1991), hlm 56 45 Mestika Zed. Gyugun...(2005), hlm 57 Ahmad Husein Dkk. Sejarah Perjuangan.......(1991), hlm 57-58 lapangan Keresisdenan Jepang di Bukittinggi, 10 Oktober 1943, dihadiri oleh petinggi Jepang seperti Shu-tyokan(residen atau gubernur Jepang) dan Butai-tyo (Komandan-komandan kompi). Ulama-ulama terkemuka juga turut hadir memberikan pengarahan seperti Inyiak Syekh Soelaiman Ar-Rasuli(Candung), Syekh Mohammad Djamil Djambek, dan Engku

46 Sutan Mangkuto dari Muhammadiyah.

  Ahmad Sju’eib sendiri seperti diterangkan sebelumnya turun membantu proses perekrutan ini dimana ia menjadi penulis merangkap bagian penerangan di wilayah Batusangkar.

  Proklamasi Kemerdekaan

  Diberbagai wilayah di Indonesia pada awal proklamasi, sebagian besar pemimpin dan rakyat Indonesia menyambut gemberi kelahiran Rebublik, negara-bangsa yang baru diproklamasikan. Namun tidak ada daerah dimana pun di Indonesia yang menyambut

  47 kemerdekaan Indonesiaseperti yang terjadi di Sumatera Barat.

  Selama dua tahun pertama perjuangan kemerdekaan, perjalanan revolusi di Sumatera menunjukkan ciri yang otonom, artinya bahwa para pemimpin revolusi di pulau ini harus menyelesaikan masalah-masalh yang ada di daerahnya dendiri. Belum ada usaha langsung dari pemerintahan pusat unutk menjembatani gerak perjuangan di Sumatera, kecuali lewat instruksi-instruksi yang dibawa oleh ketiga tokoh PPKI utusan Sumatera yangdikirim ke Jakarta beberapa hari menjelang proklamasi. Sejak tanggal 23 Agustus 1945, Mr. T.M. Hasan, dr. Amir dan Mr. Abbas sudah kembali ke Sumatera, namun diperlukan waktu beberapa lama sebelum mereka dapat melaksanakan instruksi-instruksi pusat dikarenakan masalah-masalah yang terjadi di daerah merka masing-masing. Dalam hal ini misalnya instruksi unutk membentuk Kominte Nasinal Indonesia Daerah, badan pemerintahan di

  48 sepuluh keresidenan, dan badan-badan perjuangan.

  Pada tanggal 31 Agustus 1945 terbentuklah sebuah Kominte Nasinal Indonesia Daerah Sumatera Barat dengan ketuanya Engku Sjafe’i. Kominte Nasional sedikit banyak mencerminkan sebagai wadah berkumpulnya para tokoh-tokoh terkemuka didaerah ini.

  Secara umum KNI Sumatera Barat dapat dibagi menjadi ke dalam tiga kelompok : kelompok Politik Senior, pemuda aktivis, dan pemuda dengan pendidikan militer Jepang khususnya

49 Gyugun dan Heiho.

  Selain membentuk KNI di keresidenan, pemerintah pusat juga menginstruksikan membentuk KNI sampai ketingkat Kota, kewedanaan, dan dan selanjutnya sampai ketingkat bawah. Pada mmulanya residen merangkap jadi ketua KNI keresidenna, wedana dikewedanaan. Di Minangkabau sebgai suatu kebijaksanaan di nagar-nagari dibentuk juga ranting Komite Nasional Indonesia, diketuai oleh wali nagari. Pembentukan KNI di Kewdanaan dan ranting berjalan lancar dengan adanya Ko en Bu

  • –Ko En Bu yang dahulu ada

  50 di daerah-daerah.

  Ahm ad Sju’eib sendiri yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua MIT Batusangkar dan juga masuk dalam kepanitiaan Gyugun ko en bu sebagai juru tulis merangkap bagian penerangan membentuk KNI Batusangkar dan menjadi ketua komite nasional kewedanaan 46 Batusangkar kemudian Oktober 1945 menjadi Anggota Komite Nasional Daerah Sumatera 47 Mestika Zed. Gyugun...(2005). hlm 59-60 48 Ibid . hlm 12-13 49 Ibid. hlm 31-32 50 Ibid. hlm. 22

  Ahmad Husein Dkk. Sejarah Perjuangan.......(1991), hlm 115-116 Barat. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa KNI merupakan sebuah wadah bagi pemuka- pemuka Minangkabau yang terdiri dari beberapa unsur biasanya disebut Tali Tigo Sapilin,

  Tungku Tigo Sajarangan.

  Ahmad Sju’eib sebgai ketua MIT Batusangkar nampaknya mewakili golongan Alim Ulama. Setelah menjadi anggota KNI Sumatera Barat Ahmad Sju’eib pun dipindahkan pada bulan Desember 1945 sampai juli 1948 menjadi Komite Nasional Sumatera (Dewan Perwakilan Sumatera).

  Pada bulan-bulan awal kemerdekaan Indonesia struktur pemerintahan baik di pusat maupun daerah belum begitu kondusif. Masih banyak pergantian struktur dan jabatan yang ada dipemerintahan. Di Sumatera Barat sendiri walau pun diawala kemerdekaan Engku Sjafe’i sudah seperti residen Sumatera Barat namun ia baru benar-benar resmi menjadi residen ketika 1 Oktober 1945 Kominte Nasional Sumatera Barat mengadakan sidang pleno di Passar Gadang, Padang dan menghasilkan keputsan memilih Engku Sjafe’i sebagai Residen Sumatera Barat. Setelah itu pada tanggal 3 Oktober 1945 barulah Gubernur Sumatera Mr. T.M. Hasan mengangkat Engku Sjafe’i sebagai Residen bersama seluruh Residen di wilayah Sumatera. Pada awal kepemimpinannya Sjafe’i fokus kepada perbaikan birokrasi dan struktur pemerintahan daerah di lingkungan Keresidenan Sumatera Barat. Engku Sjafe’i tidak begitu lama menjabat sebagai Residen Sumatera Barat. Tetapi sebagai seorang Residen pertama, dalam beberapa bulan ia mempelopori dan merintis adanya suatu

  51

  pemerintahan di Sumatera Barat Masa pemerintahan Residen Sjafe’i tidak lama, pada akhir Oktober 1945 Sjafe;i mengajukan permintaan berhenti sebgai Residen dikarenakan kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan. Berhentinya Sjafe’i menimbulkan masalah baru dalam pemerintahan dikarenakan kebingungan menunjuk penggantinya, sebenarnya pilihan sebagai pengganti Sjafe’i namun banyak yang menolak dengan halus. Seorang tokoh dimunculkan yaitu Roesad gelar Dt. Perpatih, namun karena ia adalah bekas pegawai Belanda Roesad sedikit diragukan. Atas usul engku Sjafe’i akhirnya kebuntuan itu berakhir, Roesad diangkat menjadi Residen Sumatera Barat kedua yang bersifat ad interim (sementara) dengan ketentuan selalu diawasi oleh Dewan Eksekutif yang kuat dan tidak diperbolehkan bertindak sendiri. Dengan pengangkatan Roesad gelar Dt.Perpatih Nan Baringek sebagai Residen Sumatera Barat yang kedua pada tanggal 15 November 1945 dimulailah reorganisasi pemerintahan : para Demang, Demang muda dan Bupati-bupati harus diganti. Pada tanggal 23 Januari 1946 diumumkanlah

  52 perubahan-perubahan dalam kepamongprajaan sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

  Selama mengemban jabatan anggota Komite Nasional,Ahmad Sju’eib pun juga

  53

  diangkat menjadi Wedana/Demang Painan . Kemudian pada bulan Juli 19

  46 Ahmad Sju’eib kembali di pindahkan ke Talu,Pasaman. Tidak beberapa lama kurang dari satu tahun pada bulan April 1947 Ahmad Sju’eib selanjutnya diperbantukan pada kantor Residen Sumatera

54 Barat bagian Persediaan Makanan Rakyat.

  Akhir Hayat

  Dikehidupan akhirnya Ahmad Sju’eib hidup sebagai pensiunan yang lebih menghabiskan waktu bersama keluarganya. Ahmad Sju’eib mempunyai dua orang istri, istri pertama bernama Moenah yang merupakan seorang guru dan menjadi pensiunan Kepala Sekolah S.R Negeri Pela Pagi, Cipete Jakarta Selatan. Dari Moenah ia diakruniai 3 orang anak, yaitu 51 berurutan Asmun Ahmad Sju’eib, Asmaida Nuryono, dan Asperki A. Sju’eib. Kemudian istri 52 Ibid , hlm 121-122 53 Ibid , hlm 123-125 54 Ibid , hlm 126

  Arsip Keluarga Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato keduanya bernama Masna. Dari istri kedua dikaruniai 7 orang anak, antara lain Asmur A. Sju’eib, Askesatria, Asmai, Asmenpi, Aslira, Asmah, dan Asliatama. Ahmad Sju’eib adalah seorang sosok yang terkenal sederhana. Berdasarkan penuturan anak-anak dan kemenakannya, Ahmad Sju’eib selalu menanamkan jiwa nasionalisme dan kesederhanaan di kehidupan sehari-hari, berjuang tanpa pamri untuk negara dan bangsa.

  Ahmad Sju’eib tutup usia di usia 89 tahun pada tanggal 13 Februari 1997, dan dimakamkan di Pemakaman Umum Tanah Kusir Jakarta. Sebagai seorang Digulis, Perintis Kemerdekaan Indonesia, dan Poltikus Partai Mur ba, Ahmad Sju’eib telah mengabdikan

  55 seluruh hidupnya untuk Tanah Air Indonesia.

D. KESIMPULAN

  Ahmad Sju’eib gelar Malin Permato, seorang eks-Digulis yang lahir di Salimpaung, Tanah Datar pada 19 April 1908 telah berjuang dengan segenap jiwa dan raganya demi bangsa Indonesia. Sejak bergabung dengan pergerakan Sarekat Rakyat bersama Djamaluddin Tamim yang pada akhirnya menyeret ia kedalam perjuangan tiada akhir. Berpropaganda dari satu daerah ke daerah lainnya untuk membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan membuat ia harus ditangkap dan dipenjara hingga akhirnya ia menerima sebuah sanksi yang menjadi ketakutan pagi para tokoh pergerakan, yaitu sanksi pembuangan melalui exorbitant rechten ke Tanah Merah, Boven Digul.